No. 8, APRIL 2013
ISSN. 1978 - 0052
U R N A L PENELITIAN ALAT DETEKSI DINI BAHAYA BANJIR DENGAN PENYAMPAIAN INFORMASI TINGGI MUKA AIR MENGGUNAKAN DATA LOGGER BERBASIS GSM GATEWAY Muhammad Andang Novianta, ST, MT, Aru Purba Ardimas Jaya Giri
PEMANFAATAN PASIR MERAPI PASCA ERUPSI SEBAGAI MEDIA PENGOLAH AIR YANG MENGANDUNG BESI DAN MANGAN TINGGI Retno S, ST, MP dan Irene AS, ST, MT
PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH AIR KELAPA DALAM PEMBUATAN BIOPLASTIK RAMAH LINGKUNGAN Dr. Eli Rohaeti, M.Si
STRATEGI PEMBERDAYAAN UNTUK MENINGKATKAN KEPEDULIAN DAN KEMANDIRIAN KESEHATAN MASYARAKAT YOGYAKARTA BERBASIS KEBIJAKAN PREVENTIF DAN PROMOTIF Awang Darumurti, SIP, M.Si, dr. Budi Santosa, S.Psi
PENGEMBANGAN SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY (SSP) BERBASIS NEW TAXONOMY OF SCIENCE EDUCATION UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS Ary Kusmawati, S. Si, Hj. Sri Utari, M.Pd.Si, Alfi Suciati, S.Pd
ANALISIS MUTU LAYANAN PUSKESMAS BERDASARKAN TINGKAT KEPENTINGAN PASIEN DAN KINERJA JASA PELAYANAN (STUDI KASUS DI PUSKESMAS MERGANGSAN DAN PAKUALAMAN YOGYAKARTA) dr. Betty Ekawaty, SpKK, drg. Punik Mumpuni Wijayanti, M.Kes, Adi Nugroho, ST
STRATEGI PENGEMBANGAN KOLABORASI BISNIS UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAN CAKUPAN USAHA DALAM PEMBERDAYAAN UMKM DI KOTA YOGYAKARTA Dra. Sri Utami, M.Si
REBRANDING YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA WISATA BUDAYA Arif Wibawa, M.Si dan M. Edy Susilo, M.Si
APLIKASI WEBSITE PEMASARAN DENGAN TEKNIK SEO (SEARCH ENGINE OPTIMAZION) UNTUK MEMPROMOSIKAN PRODUK-PRODUK UMKM Fatsyahrina Fitriastuti, S.Si, MT
MENGEMBANGKAN PERANAN KOMUNITAS "BECAK" SEBAGAI PENGUATAN TERHADAP SIMBOL YOGYAKARTA KOTA BUDAYA
8
Dra. MC. Candra Rusmala D, M.Si
MENYIKAP WAJAH PELAYANAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN ADMINISTRASI DASAR PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Dwi Priyono,SH, Waryono,S.IP,S.Kep,M.Kes, Sri Arini Winarti, SKM.M.Kep
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ........................................................................................................................... 2 TIM REDAKSI ........................................................................................................................ 3 SALAM REDAKSI .................................................................................................................. 4 ALAT DETEKSI DINI BAHAYA BANJIR DENGAN PENYAMPAIAN INFORMASI TINGGI MUKA AIR MENGGUNAKAN DATA LOGGER BERBASIS GSM GATEWAY Muhammad Andang Novianta, ST, MT, Aru Purba Ardimas Jaya Giri................................... 5 PEMANFAATAN PASIR MERAPI PASCA ERUPSI SEBAGAI MEDIA PENGOLAH AIR YANG MENGANDUNG BESI DAN MANGAN TINGGI Retno S, ST, MP dan Irene AS, ST, MT............................................................................... 17 PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH AIR KELAPA DALAM PEMBUATAN BIOPLASTIK RAMAH LINGKUNGAN Dr. Eli Rohaeti, M.Si ............................................................................................................. 27 STRATEGI PEMBERDAYAAN UNTUK MENINGKATKAN KEPEDULIAN DAN KEMANDIRIAN KESEHATAN MASYARAKAT YOGYAKARTA BERBASIS KEBIJAKAN PREVENTIF DAN PROMOTIF Awang Darumurti, SIP, M.Si, dr. Budi Santosa, S.Psi.......................................................... 40 PENGEMBANGAN SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY (SSP) BERBASIS NEW TAXONOMY OF SCIENCE EDUCATION UNTUK MENINGKATKAN KARAKTER SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS Ary Kusmawati, S. Si, Hj. Sri Utari, M.Pd.Si, Alfi Suciati, S.Pd............................................. 50 ANALISIS MUTU LAYANAN PUSKESMAS BERDASARKAN TINGKAT KEPENTINGAN PASIEN DAN KINERJA JASA PELAYANAN (STUDI KASUS DI PUSKESMAS MERGANGSAN DAN PAKUALAMAN YOGYAKARTA) dr. Betty Ekawaty, SpKK, drg. Punik Mumpuni Wijayanti, M.Kes, Adi Nugroho, ST ........... 58 STRATEGI PENGEMBANGAN KOLABORASI BISNIS UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAN CAKUPAN USAHA DALAM PEMBERDAYAAN UMKM DI KOTA YOGYAKARTA Dra. Sri Utami, M.Si ............................................................................................................. 70 REBRANDING YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA WISATA BUDAYA Arif Wibawa, M.Si dan M. Edy Susilo, M.Si ......................................................................... 80 APLIKASI WEBSITE PEMASARAN DENGAN TEKNIK SEO (SEARCH ENGINE OPTIMAZION) UNTUK MEMPROMOSIKAN PRODUK-PRODUK UMKM Fatsyahrina Fitriastuti, S.Si, MT .......................................................................................... 88 MENGEMBANGKAN PERANAN KOMUNITAS "BECAK" SEBAGAI PENGUATAN TERHADAP SIMBOL YOGYAKARTA KOTA BUDAYA Dra. MC. Candra Rusmala D, M.Si ..................................................................................... 98 MENYIKAP WAJAH PELAYANAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN, KESEHATAN DAN ADMINISTRASI DASAR PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Dwi Priyono,SH, Waryono,S.IP,S.Kep,M.Kes, Sri Arini Winarti, SKM.M.Kep .................... 109
2
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Ir. Edy Muhammad
Ketua
: Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D Drs. Hajar Pamadhi, MA (Hons)
Pemimpin Redaksi
: Dra. Pratiwi Yuliani
Sekretaris
: Sugito Raharjo, SH, M.Hum
Redaktur Pelaksana
: Risdiyanto, ST,MT Drs. Rochmad, M.Pd Drs. Zenni
Layout dan Desain Grafis
: Affrio Sunarno, S.Sos Itmam Fadhlan, S.Si Purwanta
Illustrator
: Budhi Santoso, ST Dwi Sulistiyowati, S.Si
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA KANTOR BAPPEDA
Kompleks Balaikota Timoho Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55156 Tlp. (0274) 515 207 Fax. (0274) 55 44 32 Email:
[email protected] Website: www.jogjakota.go.id
3
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
SALAM REDAKSI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Tema penelitian yang diusung dalam Jurnal kali ini adalah “Peningkatan Peran Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan”. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan tambahan wawasan baik bagi pemerintah maupun masyarakat yang tertarik akan hasil penelitian ini. Jurnal penelitian ini merupakan sarana pemberian informasi dan komunikasi yang dibentuk oleh Bappeda Kota Yogyakarta dalam wadah jaringan penelitian di Kota Yogyakarta. Dengan terbitnya jurnal penelitian ini diharapkan para pembaca dapat ikut serta dalam penelitian-penelitian selanjutnya yang akan diselenggarakan setiap tahunnya oleh jaringan penelitian Kota Yogyakarta, akhirnya semoga hasil penelitian ini dapat lebih bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr Wb
Redaksi
4
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Alat Deteksi Dini Bahaya Banjir Dengan Penyampaian Informasi Tinggi Muka Air Menggunakan Data Logger Berbasis GSM Gateway (Oleh : Muhammad Andang Novianta, ST, MT, Aru Purba Ardimas Jaya Giri) Abstract Changes in water level at a watershed is one of the flooding. Stored measurement data will be used as decision-making to the accumulation of water level changes that occur so that the threat of natural disasters of floods and flash floods can be known at an early stage. The purpose of this study is to design a water level telemetry tool with a rotary encoder type sensor technology and type of resistance wire wound as a digitally-based microcontroller, so that measurement data are stored digitally, and the delivery of measurement data can be via the GSM network. Based on the research instrument calibration with a conventional measuring instrument measuring ruler obtained average error 0.3 cm, and calculations if propped with a level of accuracy of 1 cm, 5 cm, 10 cm, then the error values obtained 30%, 6%, 3%, so it can concluded that the sistem of tools and sensors showed a good performance sistem. Key words : Telemetry, Water Level, Wire Wound Sensor, GSM Network A. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk pada wilayah tropis dengan tingkat curah hujan yang relatif tinggi dibanding dengan negara–negara di luar wilayah tropis. Dengan semakin tingginya curah hujan di suatu kawasan tertentu akan berdampak baik dan bisa juga berdampak buruk. Dampak baiknya sudah jelas adalah tingkat kesuburan tanah yang tinggi sehingga menjadikan tingkat komoditas pangan pada wilayah tersebut. Akan tetapi dampak buruknya harus diperhatikan karena menyangkut keselamatan banyak orang, terutama di daerah dengan tingkat curah hujan yang tinggi, akan tetapi tidak imbang dengan tingginya nilai penyerapan air oleh tanah yang disebabkan oleh buruknya sistem drainase pada kawasan tertentu, maka akumulasi air limpahan akan terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) setempat. Jika akumulasi yang terjadi mempunyai debit yang dapat ditampung oleh DAS maka ancaman luapan air berupa banjir tidak terjadi, tetapi jika debit akumulasinya berlebihan menimbulkan bahaya banjir. Dengan memasang titik-titik pantau perubahan permukaan tinggi muka air di sepanjang DAS, maka akan bisa dipantau kenaikan muka air DAS secara tepat dan cepat. Diharapkan dengan titik–titik stasiun pantau tersebut, kenaikan muka air DAS bisa dipantau dan dicatat pada selang waktu tertentu. Data–data yang tersimpan tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan prediksi kejadian masa mendatang berdasarkan bentuk kenaikan tinggi muka air. Selain itu dengan stasiun pantau muka air DAS bisa secara cepat dipantau nilai tinggi muka airnya (TMA) sehingga saat terjadi akumulasi air pada daerah aliran sungai tersebut maka bisa disimpulkan secara cepat pula berkaitan dengan proses evakuasi masyarakat yang tinggal di sepanjang DAS yang termasuk pada area bahaya rawan bencana banjir. Untuk mewujudkan ide pembuatan stasiun pantau tentunya harus memahami teknik pengukuran dan perancangan alat stasiun pantau itu sendiri, sehingga bisa digunakan masyarakat sebagai wujud penerapan teknologi dalam menjamin keamanan, kesejahteraan hidup, serta keselamatan yang berkelanjutan.
5
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Permasalahan utama pada penelitian ini adalah bagaimana mengubah suatu gerak mekanik ke dalam sistem digital dan mentransfernya menjadi suatu database yang digunakan untuk mengetahui perubahan tinggi muka air pada suatu daerah aliran sungai yang rawan banjir serta bagaimana rancangan sistem pemantauan pengukuran jarak jauh (telemetri) yang terbaik terhadap parameter gejala banjir yaitu besarnya tinggi muka air yang mampu menjamin kompatibilitas dan interoperabilitas. B. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang dan membuat sistem telemetri tinggi muka air berbasis GSM pada daerah rawan banjir secara digital yang dapat dijadikan petunjuk perubahan tinggi muka air pada suatu DAS yang terjadi setiap waktu. Data tinggi muka air yang dihasilkan secara otomatis dari alat pengukur ini dapat disimpan dan ditampilkan melalui layar tampilan untuk diolah secara lebih lanjut sebagai bahan perencanaan dan pertimbangan untuk dilakukan konservasi lebih lanjut. Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat awam yang tidak mengenal sama sekali tentang teknologi pengukuran nilai perubahan tinggi muka air, akan sangat membutuhkan sebuah sistem berbasis teknologi tepat guna hasil perancangan terkait yang mampu mewujudkan keinginan masyarakat dalam rangka menjamin ketenteraman dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan teknologi tepat guna untuk sistem peringatan dini dalam kelompok ini sebatas dimanfaatkan dan didayagunakan seperti tujuan semula, yaitu sebagai alat peringatan dini terhadap bencana, tidak lebih dari itu. Bagi pelajar dan peneliti dapat memperbaiki kinerja dan mengurangi kelemahan dari sistem yang sudah ada dan menjadi titik awal terbukanya gerbang pemikiran yang luas dengan dilakukan inovasi terus menerus dan up to date terhadap situasi dan kondisi zaman yang ada. Sedangkan untuk pemerintah, pemerhati teknologi, untuk mewujudkannya menjadi realita melibatkan kelompok-kelompok yang harus sinergis. Peran pemerintah sangatlah diperlukan dalam rangka menjembatani antara kebutuhan teknologi tepat guna oleh masyarakat awam dan kemampuan serta keahlian dari kelompok cendekia dalam menciptakan teknologi. C. Tinjauan Pustaka Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung dari gunung yang menampung air hujan dan menyimpan kemudian disalurkan ke laut melalui sungai utama. DAS, yaitu suatu sistem dalam bidang hidrologi, sehingga terdapat sistem masukan serta sistem keluaran. Salah satu keluaran dari sistem DAS adalah debit aliran sungai. Debit aliran sungai merupakan integrator dari suatu DAS, hal ini mengartikan bahwa debit aliran sungai adalah penyimpan informasi tentang ciri dan kondisi DAS tersebut. (Asdak, 2002) Terdapat bermacam-macam teknik pengukuran tinggi muka air berdasarkan media penginderaan, akan tetapi yang perlu diperhatikan, yaitu pembacaan nilai oleh sensor yang dapat dipertanggung jawabkan keakuratannya. Pada program penelitian ini akan dipakai teknik pengukuran tinggi muka air dengan teknik menyentuh air dengan model pelampung. Pada teknik ini sensor tidak berinteraksi secara langsung dengan permukaan yang akan diukur tingginya, akan tetapi dengan media perantara lain, yaitu berupa pelampung yang mengapung pada permukaan air yang akan diukur dan dihubungkan sebuah pemberat melalui tali baja lentur. Sensor yang digunakan pada model ini bisa menggunakan jenis rotary encoder maupun jenis resistansi seperti wire wound seperti yang dikembangkan pada program penelitian ini. Pelampung berfungsi untuk memantau setiap variasi tinggi muka air dan pemberat digunakan untuk mempertahankan tegangan tali agar setiap variasi permukaan air bisa dipantau oleh sensor. Setiap perubahan penurunan dan kenaikan permukaan air akan diikuti oleh perubahan sudut putar dari sensor 6
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dengan kalkulasi sederhana berdasarkan nilai datum DAS setempat dapat diketahui tinggi muka air DAS tersebut. Model pengukuran seperti ini banyak diterapkan karena bisa memantau variasi tinggi muka air secara terperinci dan juga sensor terhindar dari adanya rendaman sedimentasi lumpur, tetapi kelemahannya, yaitu operasional pemasangan yang relatif lebih sulit dari metode yang lain, karena selain harus dilakukan kalibrasi juga perlu diperhatikan faktor dari gesekan (friction) antara lingkaran sensor (pulley) dengan tali peregang akibat frekuensi perubahan tinggi muka air yang cepat.
Gambar 1. Model Pengukuran Teknik Pelampung Sebelum menerapkan sistem peringatan dini dari suatu kawasan rawan bahaya bencana, salah satu tahapan adalah melakukan tindakan pemantauan area rawan bencana dalam rangka menentukan langkah–langkah mitigasi bencana alam itu sendiri. Kegiatan survei dilakukan untuk mengidentifikasi pola-pola perubahan tinggi muka air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Sistem peringatan dini merupakan sebuah upaya untuk melakukan tindakan pencegahan (preventive) terhadap jatuhnya korban manusia (yang paling utama) atau harta benda dari bencana alam yang mungkin saja terjadi. Alam akan selalu menunjukkan gejala-gejala yang bisa dikenali baik dengan indera manusia maupun dengan indera alat rekayasa teknologi. Dengan penerapan sistem peringatan dini diharapkan agar sebelum bencana terjadi, nyawa manusia maupun harta benda bisa dievakuasi pada lokasi yang aman (Hadisantono RD, 1994). Terdapat kajian-kajian terkait yang telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan hasil hipotesis yang berbeda-beda. Pada dasarnya adanya diversifikasi penelitian dalam satu kaitan masalah merupakan sebuah mata rantai yang bisa menentukan kesempurnaan hasil sehingga terdapat wujud berupa sistem yang nyata dan bisa langsung diterapkan pada masyarakat. Sri Harto, (2000) Hidrograf bisa digambarkan sebagai penyajian grafis antara salah satu unsur aliran terhadap satuan waktu. Hidrograf akan menunjukkan suatu tanggapan secara menyeluruh dari DAS terhadap suatu masukan yang tertentu. Sesuai dengan sifat serta perilaku DAS yang bersangkutan, hidrograf aliran akan selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu adanya masukan. Bentuk hidrograf pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain. Hari Siswoyo, (2003) DAS adalah suatu sistem hidrologi, sehingga terdapat sistem masukan serta sistem keluaran. Salah satu keluaran dari sistem DAS, yaitu debit aliran sungai. Debit aliran 7
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 sungai adalah integrator dari suatu DAS. Hal ini mempunyai arti bahwa debit aliran sungai merupakan penyimpan informasi tentang ciri dan kondisi DAS tersebut. Debit aliran sungai ini dapat dijadikan petunjuk mampu tidaknya suatu sistem DAS dapat berperan dalam mengatur proses, khusus dari segi sistem hidrologi. Selain itu, dari sistem keluaran DAS tersebut dapat dievaluasi kondisi DAS yang bersangkutan. Dengan demikian masukan ke dalam suatu DAS dapat dioptimalkan menjadi suatu keluaran yang baik dengan mengatur kondisi biofisik yang ada pada DAS tersebut. Adanya suatu perubahan penggunaan lahan pada DAS akan mengakibatkan terjadinya perubahan efektifitas perlakuan dari DAS. Informasi debit aliran sungai akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat apabila disajikan dalam bentuk hidrograf. Namun demikian tidak semua DAS mempunyai data pengukuran debit air, hanya sungai–sungai yang memiliki DAS yang telah dikembangkan akan mempunyai data pengukuran debit yang cukup relevan. Melalui model suatu hidrograf satuan sintetis, optimasi penggunaan lahan pada suatu DAS akan dapat dilakukan dengan merubah pola hidrografnya. Adapun tujuan penelitian yang telah dilakukan oleh Hari Siswoyo adalah memberikan wacana tentang model hidrograf satuan sintetis selain untuk keperluan prediksi debit banjir atau aliran di sungai dapat juga sebagai dasar perencanaan bangunan air, dan memberikan wacana gambaran awal terhadap penggunaan suatu metode alternatif penggunaan lahan sebagai bagian kegiatan pengelolaan DAS. M. Luthful hakim, O. Haridjaja, Sudarsono, dan G. Irianto (2008) Penelitian mengenai pengaruh tekstur tanah terhadap suatu karakteristik unit hidrograf dan model pendugaan banjir pada daerah aliran sungai (DAS) di daerah Kalimantan Timur dilakukan karena intensitas dan luasan daerah banjir semakin meningkat. Hasil dari analisis menunjukkan tekstur tanah berpengaruh terhadap debit puncak dan waktu saat menuju debit puncak, dimana tanah bertekstur lempung akan memiliki debit puncak yang lebih tinggi bila dibandingkan pada tanah bertekstur pasir dan liat, sedangkan untuk waktu menuju debit puncak dimana tanah bertekstur liat memiliki waktu menuju debit puncak yang lebih cepat dibandingkan dengan tanah bertekstur lempung dan bertekstur pasir. Pendugaan banjir (debit puncak dan waktu saat menuju debit puncak) berdasarkan karakteristik lahan serta geomorfologi DAS dapat mensimulasi debit puncak dan waktu menuju debit puncak dengan hasil tidak berbeda dengan pengukuran. Catu Daya, unit ini berfungsi memberi asupan arus dan tegangan ke semua unit elektronis sistem, sehingga jika terjadi kegagalan pada unit ini maka semua komponen elektronis sistem akan terganggu. Untuk alat yang akan digunakan dalam penelitian ini diperlukan asupan arus yang nilainya tidak terlalu besar, yaitu kurang dari 100 mA namun perlu diperhatikan adalah adanya kestabilan tegangan catu daya sebesar 5 volt dengan toleransi ± 10%, untuk mendapatkan tegangan yang stabil pada kisaran tersebut digunakan sebuah IC regulator dengan tipe 7805. Seperti yang terlihat pada Gambar 2, terdapat IC penstabil tegangan, yaitu IC LM7805 yang menyetabilkan tegangan keluaran tepat sebesar 5 volt dengan toleransi ± 10%. Adapun IC LM7805 membutuhkan tegangan masukan yang lebih besar daripada tegangan keluaran stabilnya, yaitu nilainya lebih dari 5 volt. Penggunaan kapasitor adalah sebagai penapis frekwensi rendah yang dapat menghindarkan terhadap adanya cacat arus yang masih terjadi dikarenakan hasil penyearahan oleh diode bridge yang masih belum halus, sehingga masih membutuhkan beberapa tingkat penyaringan hingga diperoleh bentuk yang ideal sebagai arus searah (DC) stabil.
8
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Gambar 2. Sistem Pencatu Daya Stabil 5 volt
Gambar 3. Bentuk Fisik Potensiometer Jenis Wire Wound Sensor Tinggi Muka Air, r, sensor yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis potensiometer wire wound yang dianggap sebagai pembagi tegangan masukan yang tetap. Nilai tegangan masukan yang tetap diumpankan dari tegangan catu sumber yaitu sebesar + 5 volt. Potensiometer wire wound memiliki keluaran berupa tegangan yang bervariasi tergantung dari sudut putar yang diberikan dimana sudut putar yang terjadi sebanding dengan tingkat variasi tinggi muka air yang terukur. Pengendali Utama,, pada penelitian ini digunakan mikrokontroller mikrokontrolle ATMega 8535 untuk pengendali utama sistem. Mikrokontroller akan melakukan antar muka dengan perangkat lain. Pada operasionalnya diperlukan beberapa penambahan komponen pasif, pasif yaitu saklar push on sebagai tombol menu operasional yang terdiri dari fungsi UP, U DOWN dan SET. Pengendali utama tidak menggunakan komponen penggetar secara eksternal karena menggunakan komponen penggetar internal yang terkalibrasi sebesar 4 MHz. Penampil LCD digunakan jenis dot-matrik matrik dengan ukuran 7 x 5 titik per karakter dengan baris ris sebanyak 2 serta kolom sebanyak 16 sehingga total karakternya adalah 32 buah. Jenis karakter yang dapat ditampilkan adalah karakter ASCII, selain itu juga karakter kreasi sendiri (customize).
9
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Gambar 4. Rangkaian Penampil LCD Mode komunikasi yang dipakai akai antara mikrokontroler dan perangkat LCD menggunakan mode 4-bit bit jalur data. Kelebihan dari mode ini adalah tidak memerlukan pengkawatan yang sangat banyak sehingga bisa menghemat pin– pin pin input/output mikrokontroler dan bisa dialokasikan untuk keperluan lainnya, sedang kelemahannya, yaitu semakin panjang waktu eksekusi perintah untuk menampilkan karakter– karakter karakternya bila dibandingkan dengan mode 8-bit, bit, akan tetapi dengan kecepatan eksekusi dari mikrokontroler kelemahan ini akan bisa diabaikan. Penyimpan Data, IC memori yang akan digunakan untuk menyimpan memori adalah tipe AT24C128 produksi ATMEL dengan kapasitas 16 Kbyte untuk tiap kepingnya, sehingga bila menggunakan 3 keping maka diperoleh total kapasitas penyimpanan data sebesar 48 Kbyte.
Gambar 5. Rangkaian Penyimpan Data Dengan menggunakan komunikasi I2C maka ketiga keping IC memori tersebut dapat dikaskade dengan menggunakan jalur data secara bersama-sama. bersama Pada setiap keping IC memori terdapat pin A0 dan A1, jika dilihat secara seksama kondisi logika l pada kedua pin tersebut untuk ketiga buah IC memori adalah berbeda. Perbedaan yang ada tersebut berupa kombinasi digital 2-bit, bit, sehingga maksimal kaskade yang bisa dilakukan pada IC memori AT24C128 sebanyak 4 keping. Sebagai standar operasional pada sistem komunikasi I2C, disarankan menggunakan resistor pull up menuju tegangan sumber (VCC) sebesar 4K7 Ω pada masing-masing masing pin 10
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 SCL dan SDA dari IC memori. Secara internal pada mikrokontroler terdapat resistor pull up akan tetapi nilainya tidak mencukupi apabila difungsikan untuk komunikasi I2C, dan untuk menjaga kestabilan kerja pada masing-masing masing IC memori, digunakan kapasitor 100 nF yang mengkompensasi fluktuasi tegangan sumber yang terjadi pada IC memori. Komunikasi Serial UART, komunikasi antara perangkat pera komputer dengan mikrokontroler secara serial tidak bisa dihubungkan secara langsung. Hal ini karena mikrokontroller menggunakan aras/level TTL sebagai dasar logika digitalnya, digitalnya yaitu logika LOW = 0 volt dan logika HIGH = 5 volt, sedangkan pada komputer kompute mempunyai rentang yang unik, yaitu logika LOW = + 5 volt hingga + 15 volt dan logika HIGH = -5 volt hingga -15 15 volt. Perbedaan ini bisa diatasi dengan menggunakan IC MAX232 yang mampu mengadaptasi komunikasi antara komputer dengan mikrokontroler, hal ini karena pada IC tersebut sudah dibentuk khusus agar bisa mengenali logika digital dari dua jenis rentang tersebut. Agar bekerja secara normal, pada IC MAX232 diperlukan suatu komponen pendukung, yaitu kapasitor yang akan membantu pada proses pemompaan muatan muat yang terjadi pada IC MAX232. Mekanisme dari pemompaan secara elektronis diterapkan agar pin masukan yang akan terhubung dengan aras/level aras/ tegangan besar (± 30 V) dari komputer dapat dikenali, hal ini mengingat bahwa tegangan suplai dari IC MAX232 hanya + 5 volt sehingga butuh pengkondisian.
Gambar 6. Rangkaian Komunikasi Serial Data–data hasil pengukuran selama durasi tertentu (tergantung pada pengaturan yang telah dilakukan) akan disimpan pada sebuah penyimpan elektronis yang lazim disebut sebagai memori. mori. Data yang tersimpan pada memori merupakan data digital yang mengandung konsep pembacaan logika 0 dan 1 dan dimanifestasikan dalam banyak cara operasional (misal, pengisian/pengosongan muatan, pemisahan/peleburan sel avalanche, dan lain-lain). Pada umumnya umnya memori terdiri dari memori yang menguap (volatile) ( dan memori tak menguap (non-volatile). ). Memori yang menguap akan kehilangan data saat catu daya listrik dihilangkan, hal ini karena pola penyimpanan data pada memori jenis ini tidak bersifat permanen yang tergantung pada keberadaan muatan listrik. Memori yang tak menguap tidak akan kehilangan data yang telah disimpan walaupun kehilangan catu listrik, hal ini karena pola penyimpanan data pada memori ini bersifat permanen yang tidak tergantung pada keberadaan adaan muatan listrik setelah catu dihilangkan, akan tetapi jenis memori yang tak menguap yang sering digunakan sebagai penyimpanan data-data data hasil pengukuran, hal ini karena selain operasionalnya yang mudah juga harga yang relatif murah serta mudah dijumpai dipasaran.
11
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Gambar 7. Format Data Tersimpan D. Metodologi Penelitian Dalam rancangan sistem yang akan dilakukan merupakan disain low cost yang berorientasi pada disain sederhana tapi memiliki tingkat keakurasian tinggi (orde milimeter) yang hanya mengukur satu parameter saja, yaitu nilai tinggi muka air. Adapun kesatuan sistem data logger tinggi muka air nampak pada Gambar 8.
Gambar 8. Blok Diagram Pemantau Tinggi Muka Air Adapun perancangan alat pemantau tinggi muka air memiliki spesifikasi rancangan adalah sebagai berikut: a) Menggunakan sensor jenis optical rotary encoder 5-bit 360 derajat dengan satuan ukur cm dan rentang jarak pengukurannya adalah 0 mm – 65535 mm. Model sensor pemberat dan pelampung dengan keliling piringan 25cm, sehingga setiap perubahan muka air yang terukur akan selalu dideteksi oleh sensor. b) Menggunakan penampil LCD 16x2. c) Menggunakan pengendali berbasis mikrokontroler. d) Menggunakan 3 buah tombol operasi: Up-Down-Enter. e) Kapasitas memori penyimpanan 256 Kbyte. f) Interval penyimpanan data minimal 1 menit dan maksimal 24 jam yang bisa diatur sesuai keinginan, semakin cepat interval waktu yang dipilih, maka semakin cepat pula memori penyimpan akan terisi penuh dan sebaliknya. g) Menggunakan piranti RTC (Real Time Clock) yang akurat dengan catu daya ganda, sehingga informasi waktu akan selalu terjaga. h) Mampu berkomunikasi serial tak sinkron RS-232 dengan baudrate 19200 bps dengan format 8n1. i) Menggunakan metode powersave, sehingga akan lebih menghemat daya agar lifetime baterai lebih lama. j) Menggunakan catu daya baterai DC 3 volt jenis AA. Pengambilan data dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan perancangan agar dari karekteristik data yang dikumpulkan dapat diambil kesimpulan hasil beserta 12
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 analisanya yang diharapkan dari hasil akhir dan analisa tersebut dapat menjadi bahan apabila perencanaan akan dilanjutkan. Pengambilan data dilakukan melalui serangkaian pengujian, yaitu pada proses pembuatannya dilakukan pengujian pada setiap bagian sistem, namun dalam pembahasan ini hanya disajikan pengujian dan pembahasan pada bagian yang menentukan kinerja sistem, kemudian pengujian dilakukan sebagai sistem yang bekerja keseluruhan. Pengamatan Elektronis Pengamatan pada sistem elektronis berguna untuk mengetahui karakteristik elektris sistem. Data hasil pengamatan diperoleh terutama dari sistem catu daya berupa nilai arus dan tegangan seperti nampak pada Tabel 1. Tabel 1. Data Arus dan Tegangan Catu Daya No Titik Pengukuran Tegangan (Volt) Arus (Ampere) 1 Pin Input IC 7805 13.5 V 75 mA 2 Pin Output IC 7805 5.6 V 60 mA 3 Pin VCC IC ATMega8535 4.8 V 25 mA 4 Pin VCC LCD 16x2 4.8 V 30 mA 5 Pin VCC Sensor Wire-Wound 4.7 V 0.5 mA Data Hasil Pengukuran Tabel 2. Data Perbandingan Hasil Pengukuran No. Uji Penunjukkan Sensor Penunjukkan Mistar Ukur Error 1 25 cm 24.8 cm 0.2 cm 2 50 cm 50.4 cm -0.4 cm 3 75 cm 75.3 cm -0.3 cm 4 100 cm 99.6 cm 0.4 cm 5 125 cm 124.7 cm 0.3 cm 6 150 cm 150.2 cm -0.2 cm 7 175 cm 175.3 cm -0.3 cm 8 200 cm 199.5 cm 0.5 cm 9 225 cm 225.2 cm -0.2 cm 10 250 cm 249.6 cm 0.4 cm Dari hasil pengukuran di atas, dapat diperoleh data sebagai berikut: error 3 0 .3 cm Error rata rata n pengukuran 10 Jika disandarkan dengan tingkat ketelitian 1 cm, maka diperoleh nilai kesalahan: rerata error 0.3 cm persen kesalahan 100% 100% 30% akurasi 1 cm Jika disandarkan dengan tingkat ketelitian 5 cm, maka diperoleh nilai kesalahan: rerata error 0.3 cm persen kesalahan 100% 100% 6% akurasi 5 cm Jika disandarkan dengan tingkat ketelitian 10 cm, maka diperoleh nilai kesalahan: rerata error 0.3 cm persen kesalahan 100% 100% 3% akurasi 10 cm
13
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Nilai Error Tiap Pengukuran 0.6
Nilai Error
0.5 0.4 0.3
Nilai Error
0.2 0.1 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No. Uji
Gambar 9. Grafik Nilai Error Tiap Pengukuran Dari data perhitungan nilai kesalahan di atas dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam mendisain ulang sistem pengideraan dan juga penyesuaian dengan alat ukur tinggi muka air konvensional yang sudah sering digunakan, yaitu pail scale yang memiliki tingkat akurasi berbeda-beda, misal 1 cm atau 10 cm. Data Hasil Pengamatan Pengamatan dilakukan pada satu hari dengan pengambilan data pada pagi, sore dan malam hari sebanyak 10 kali dengan durasi pengambilan setiap 30 menit.
Gambar 10. Grafik Data Pemantauan Pagi Hari Perhitungan statistik berdasarkan data di atas didapatkan bahwa untuk sensor TMA dalam mendeteksi tinggi muka air di waktu pagi hari adalah rata-rata = 55.7 cm dan standar deviasi sebesar 7.8067 dan varians sebesar 60.9455.
Gambar 10. Grafik Data Pemantauan Sore Hari 14
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Perhitungan statistik berdasarkan data di atas didapatkan bahwa untuk sensor TMA dalam mendeteksi tinggi muka air di waktu pagi hari adalah rata-rata = 62.2 cm dan standar deviasi sebesar 1.5748 dan varians sebesar 2.48.
Gambar 11. Grafik Data Pemantauan Malam Hari Perhitungan statistik berdasarkan data di atas didapatkan bahwa untuk sensor TMA dalam mendeteksi tinggi muka air di waktu pagi hari adalah rata-rata = 51.8 cm dan standar deviasi sebesar 1.7738 dan varians sebesar 3.1466. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Dalam perancangan dan pembuatan perangkat pemantau nilai perubahan tinggi muka air secara telemetri yang dijadikan sebagai bahan penelitian yang sudah dilakukan ini diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat digunakan sebagai pertimbangan pengembangannya ke depan, yaitu antara lain: a) Pembuatan alat nilai perubahan tinggi muka air secara telemetri dapat digunakan untuk mendapatkan data-data hasil pemantauan dari waktu ke waktu terhadap kondisi muka air suatu DAS yang diamati. b) Data hasil pengukuran dapat digunakan untuk peringatan dini kepada masyarakat akan kecenderungan terjadinya bahaya banjir. c) Data-data hasil pengukuran perubahan tinggi muka air yang sudah diperoleh sebelumnya dapat digunakan untuk menggambarkan pola perubahan tinggi muka air, sehingga dapat dilakukan prediksi dan perencanaan di waktu mendatang dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan tempat tinggal masyarakat dan juga mengantisipasi adanya korban dari ancaman bencana banjir. d) Nilai resolusi sensor pada sudut pengujian yang sama akan ditentukan oleh keliling cakram sensor. Semakin besar keliling cakram sensor maka semakin rendah resolusi sensornya dan sebaliknya. e) Dengan disertai pemakaian memori dalam pengoperasiannya dapat dibuat sebuah data logger yang dapat mencatat data otomatis pada durasi tertentu kemudian data –data tersebut dapat diambil secara jarak jauh menggunakan sistem telemetri. Rekomendasi Penelitian yang telah dilaksanakan ini merupakan salah satu upaya pengembangan kajian teknik pengukuran jarak jauh yang berupa sebuah rancangan dan sistem terhadap tinggi muka air berbasis GSM. Hal ini dimaksudkan agar dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir. Dengan memanfaatkan jaringan GSM melalui Base Station Transmitter akan terbangun pemantauan jarak jauh parameter gejala banjir secara realtime. 15
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Data–data hasil pengukuran yang sudah diperoleh sebelumnya dapat digunakan untuk menggambarkan pola perubahan tinggi muka air daerah aliran sungai, sehingga bisa dilakukan prediksi dan perencanaan di waktu mendatang dalam rangka optimalisasi penggunaan lahan tempat tinggal masyarakat dan juga mengantisipasi adanya korban dari ancaman bencana banjir. Daftar Pustaka Asdak C. (2002). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bruninga B. (2006). APRS: Automatic Position Reporting Sistem, Author of APRS. http://web.usna.navy.mil/~bruninga/aprs.html. Diakses tanggal 15 September 2009 Hadisantono. R.D dan Bronto S. (1994). Sistem Peringatan Dini Bahaya Letusan Gunungapi. (Seminar Nasional Mitigasi Bencana alam). Yogyakarta: UGM Hari Siswoyo. (2003). Makalah Pengantar Falsafah Sains. Malang: Universitas Brawijaya. http://rudyct.com/PPS702-ipb/06223/hari_siswoyo.htm Diakses tanggal 25 September 2009 M. Luthful hakim, O. Haridjaja, Sudarsono, dan G. Irianto. (2008). Pengaruh Tekstur Tanah Terhadap Karakteristik Unit Hidrograf dan Model Pendugaan Banjir. (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai, Kartanegara). Kalimantan Timur. Montarcih L. (2007). Hidrograf Satuan Sintesis Untuk DAS Di Indonesia. (Penelitian BPP Fakultas Teknik). Malang: Universitas Brawijaya http://bppft.brawijaya.ac.id/?hlm=bpenelitian&view=full&thnid=2007&pid=1199 415768 Diakses tanggal 25 September 2009 Purwanto, E. (1992). Pemanfaatan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. (Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 th 1991/1992, Diterbitkan oleh Departemen Kuhutanan RI, STT. No. 1162/SK/DITJEN PPG/SST/1987). Jakarta: Departemen Kehutanan RI. Sri Harto Br. (2000). Hidrologi (Teori, Masalah, dan Penyelesaian). Yogyakarta: Nafiri Offset.
16
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Pemanfaatan Pasir Merapi Pasca Erupsi Sebagai Media Pengolah Air Yang Mengandung Besi dan Mangan Tinggi ( Oleh: Retno S, ST, MP dan Irene AS, ST, MT) Abstract Water as an essential need for living organisms, can not be replaced its function. The quality of water consumed by living organisms, especially human being, will effect the degree of his health. Well-water in the edges of Code river is susceptible to quality change because of the Merapi’s volcano-mudflow flood and activities surroundings. In the other hand, Merapi’s sand could have potential to be used as filter media. A study of determining the best treatment for Merapi’s sand, the height of sand media and the number of chlorine diffuser orifice was done to find the optimum combination of the operational condition for water treatment purpose. To have a description of well-water quality in the edges of Code river, nine sampling point represent upstream, middle and downstream area were taken. Furthermore, study was continued by: a) determining best treatment of Merapi’s sand, arranging in phases of determining best combination of using KMnO4 solution (concentration of 2,5, 5, 7,5%) and soaking time (8, 16, 24 hours) continued by determining best diameter of sand (8/+10, -10/+14, -14/+18 mesh); b) determining best height of filter sand media (70, 85, 100 cm) using activated filter device; c) determining best number of chlorine diffuser orifice (20, 30, 40 orifices) applied in the well. The study shown that well-water quality in the edges of Code river on the summer time is relatively good for Fe and Mn, turbidity is slightly above the maximum level and coliform/fecal coli is above the maximum level for all samples. The best treatment of Merapi’s sand as activated media filter can be achieved by using 5 % KMnO4 solution, soaking time 24 hours and media height of 100 cm. Application of chlorine diffuser in the well shown that 40 orifices give best result for reduction of coliform/fecal coli. Package of activated filter device can be used as applied technology to improve well-water quality, especially for those which contain high Fe dan Mn. Key words: Merapi’s sand, Fe and Mn, activated filter, chlorine diffuser A. Pendahuluan Kota Yogyakarta, selain memiliki kerawanan bencana terhadap potensi letusan gunung api, juga berpotensi terhadap bencana banjir. Bahaya banjir tidak hanya berupa banjir dari meluapnya air sungai, namun juga adanya banjir lahar dingin. Hal ini terjadi karena keberadaan Gunung Merapi sebagai hulu dari sungai-sungai tersebut masih aktif dan terus mengeluarkan material, terlebih jika sedang fase erupsi. Banjir lahar dingin dapat diartikan sebagai banjir yang diakibatkan oleh gugurnya atau hanyutnya lahar dingin yang mengendap di kubah gunung, sebagai akibat dari hujan yang terjadi di wilayah gunung tersebut. Endapan lahar yang masih ada di sekitar gunung akan hanyut dan mengalir melalui sungai dan berdampak pada penduduk yang berada sepanjang bantaran sungai. Banyak rumah yang rusak atau hanyut terkena terjangan banjir lahar dingin tersebut. Walaupun berpotensi menimbulkan bahaya banjir lahar dingin, disatu sisi pasir Merapi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai media pengolahan air. Pasir merapi dapat dimanfaatkan sebagai media filter untuk memperbaiki kualitas air. Rekonstruksi dan recovery ekonomi masyarakat korban erupsi gunung Merapi masih terus berjalan dengan semua kekuatan stakeholdersnya. Kualitas air sumur masyarakat di pinggiran sungai Code rentan terhadap perubahan kualitas khususnya 17
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 peningkatan Fe dan Mn akibat banjir lahar dingin, juga akibat aktivitas masyarakat disekitarnya. Ditengarai telah terjadi degradasi kualitas air sumur masyarakat korban erupsi merapi, dengan identifikasi naiknya kandungan parameter Besi (Fe), Mangan (Mn) dan bakteriologik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pergeseran lapisan bumi dan terjadinya keretakkan maupun patahnya saluran buangan sanitasi individu (WC), sehingga mengakibatkan kebocoran. Mengingat air merupakan kebutuhan esensial bagi hidup dan kehidupan manusia serta tidak dapat tergantikan keberadaan maupun fungsinya, maka ketersediaan air bersih yang memenuhi persyaratan mutlak diperlukan. Untuk itu perlu dilakukan upaya sanitasi air sumur masyarakat agar tidak menjadi daerah rawan terhadap penularan penyakit dan untuk peningkatan derajad kesehatan masyarakat. B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara khusus tujuan yang ingin dicapai adalah: 1) Mendapatkan gambaran kualitas air sumur masyarakat di subdas Code terutama kandungan Fe, Mn kekeruhan, dan bakteriologik. 2) Mendapatkan media filter terbaik. 3) Untuk mengetahui jumlah lubang yang optimum pada chlorine diffuser. 4) Dapat diperoleh paket teknologi tepat guna sanitasi air sumur masyarakat. Manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut : 1) Memberikan gambaran kualitas air sumur masyarakat di subdas Code terutama kandungan Fe, Mn dan bakteriologik. 2) Menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kualitas air yang dikonsumsi sesuai syarat kesehatan. 3) Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang alternatif alat pengolah sebagai sarana memperbaiki kualitas air. C. Tinjauan Pustaka 1. Pencemaran Air Tanah Pencemaran pada air tanah dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu sebagai pencemaran alamiah dan pencemaran akibat perilaku manusia. a. Pencemaran Alamiah Struktur kimia tanah yang termasuk di dalam struktur pegunungan berapi di daerah tropis dengan curah hujan sedang dan tinggi pada ketinggian hingga 900 m dari permukaan laut (dpl) banyak mengandung mineral besi (Fe) dan mangan (Mn), oleh karena didominasi oleh jenis tanah regosol, litosol dan latosol. Warna jenis tanah ini adalah berwarna kuning kecoklatan, coklat kemerahan, coklat, coklat kehitaman dan hitam. Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Kalsium (Ca) adalah konstituen alam yang terdapat pada tanah dan batuan yang terdapat pada bahan induk vulkanik berupa tufa ataupun batuan beku. Besi salah satu unsur yang sering didapati lebih besar kandungannya dibanding mangan. Besi terdapat dalam mineral silikat pada batuan beku, sedangkan mangan sering terdapat di dalam batuan metamorphik dan batuan sedimen. ( Khumyahd 1991), Menurut Berthouex (1998), pencemaran alamiah terjadi karena pelapukan biogeokimia di dalam tanah akibat proses pencucian (leaching) bahan organik dari top soil pada proses perkolasi. Proses oksidasi biokimia akan menipiskan oksigen tanah dan memproduksi karbondioksida (CO2) yang semakin lama menghabiskan oksigen terlarut di dalam air dan akan digantikan oleh proses anaerobik (reduksi) atau proses fermentasi biokimia. Dalam kondisi yang demikian ini CO2 akan bereaksi dengan senyawa-senyawa karbonat pada batuan alam seperti CaCO3 (Calcite), FeCO3 (Siderit) dan MnCO3 (Rhodochrosite) menghasilkan mineral18
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 mineral terlarut. Hal ini akan dipercepat lagi apabila terjadi keronggaan lapisan tanah dalam dan pergeseran lapisan tanah oleh gempa, sehingga dapat menyebabkan kandungan mineral besi, mangan dan kalsium di dalam air tanah menjadi meningkat. b. Pencemaran Akibat Perilaku Manusia Pencemaran oleh karena perilaku manusia pada wilayah perkotaan terjadi akibat tingginya kepadatan dan aktivitas penduduk, terutama bila sistem buangan limbah cair dan padat, sampah, dan sanitasi tidak memadai akan menjadi potensi pencemaran air tanah (Sutrisno, 2002). Menurut Berthouex (1998), menyatakan bahwa bakteri patogen analog dengan bahan kimia beracun, karena dapat menyebabkan penyakit apabila melebihi batas toleransi yang diperbolehkan untuk manusia. Bakteri Coliform adalah group bakteri yang sering ditemukan di dalam tanah, tinja manusia, burung dan binatang berdarah panas. Adanya coliform menunjukkan adanya bakteri patogen, sehingga digunakan sebagai indikator kualitas higienis air bersih/ minum. Secara praktis apabila indikator bakteri tidak muncul di dalam air bersih/ minum, maka bakteri patogen juga tidak ada (negatif) dan air aman untuk diminum. Air dapat berfungsi pembawa penyakit (water borne disease), sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan dari kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri patogen pada air bersih/minum sering berasal dari septic tank dan air buangan domestik melalui tanah, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan. Pencegahan kontaminasi bakteri patogen dari septic tank maupun air buangan domestik dapat dilakukan dengan cara pengolahan dan pada akhir pengolahan dilakukan proses desinfeksi menggunakan klorin, ultra violet maupun ozon. 2. Keberadaan Unsur Fe dan Mn pada Air Tanah Keberadaan unsur besi dan Mn dalam air tanah secara kimia dapat dibedakan atas dua macam muatan, yaitu besi bermuatan 2+ yang disebut bentuk ferro dan besi yang bermuatan 3+ disebut ferri dan umumnya bentuk ferro cenderung berubah menjadi ferri. Pada air yang tidak mengandung oksigen, seperti seringkali air tanah, besi berada sebagai Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+, Fe3+ ini sukar larut pada pH 6 –8 (kelarutanya kecil) bahkan dapat menjadi ferri hodroksida Fe (OH)3 salah satu jenis oksidasi yang merupakan zat padat dan bisa mengendap (Alaerts dan Santika, 1984). Sedangkan untuk unsur Mangan (Mn) merupakan komponen utama dari lapisan bumi, terdapat secara alamiah dalam air tanah. Jika tidak ada unsur–unsur pembentuk yang komplek, maka Mn tidak terdapat sebagai unsur terlarut. Dalam kebanyakan air alami konsentrasi organik pembentuk yang komplek atau bahan–bahan organik jarang memadai untuk menstabilkan kondisi Mn3+. MnO2 padat merupakan fase bervalensi tinggi (terdapat sebagai koloid) yang stabil secara termodinamis dalam air alami. Mn bervalensi tinggi sebagai koloid terdispersi yang stabil dalam waktu yang lama. Secara analisis perbedaan terlarut dan tersuspensi Mn4+ sangat sukar (Fair, et. Al 1969). Kandungan Fe dan Mn dalam air tanah pada umumnya terdapat dalam bentuk terlarut bersenyawa dengan bikarbonat dan sulfat, juga ditemukan kedua unsur tersebut bersenyawa dengan hidroden sulfida (H2S). Selain itu Fe dan Mn ditemukan pula pada air tanah yang mengandung asam yang berasal dari humus yang mengalami penguraian dan dari tanaman atau tumbuhan yang bereaksi dengan unsur Fe atau Mn untuk membentuk ikatan kompleks organic. Unsur Fe umumnya terdapat pada hampir semua air tanah, sedangkan unsur Mn tidak ditemukan, tetapi keberadaan unsur Mn biasanya bersama-sama dengan unsur Fe.
19
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 3. Dampak Negatif Fe dan Mn Menurut Tjokrokusumo (1995), identifikasi tingginya mineral Fe dan Mn ditengarai dengan berbau amis logam, meninggalkan noda kuning kecoklatan (Fe) dan coklat kehitaman (Mn) pada porselin maupun alat–alat saniter serta pakaian berwarna cerah, terjadi pengkaratan (korosif) pada logam, memunculkan partikel berwarna kuning coklat/coklat hitam dan mengkilap di permukaan air. Menurut Purdom (1971), dikatakan metabolisme tubuh membutuhkan Fe, Mn, Ca dan Mg selama konsentrasi sesuai dengan standart kualitas Air Minum yang diperbolehkan. Fe, Mn, Ca dan Mg termasuk golongan tidak beracun/toksisitas rendah, tetapi apabila dikonsumsi melebihi standar baku mutu diperbolehkan dan secara reguler melebihi 10 tahun akan berakibat terjadi pembengkakan ginjal, lever, batu ginjal/kandung kemih, iritasi usus besar (lambung) dan sakit pinggang. Hal ini dapat terjadi oleh karena kelebihan mineral dari kebutuhan metabolisme tubuh akan terdeposit pada organ–organ tubuh yang penting dan tidak dapat dibuang keluar dari sistem tubuh seperti halnya vitamin. 4. Prinsip Penghilangan Fe dan Mn Proses penghilangan Fe dan Mn pada prinsipnya adalah proses oksidasi, yaitu menaikkan tingkat oksidasi oleh suatu oksidator dengan tujuan merubah bentuk Fe dan Mn terlarut menjadi Fe dan Mn yang tidak larut (endapan). Endapan yang terbentuk dihilangkan dengan proses sedimentasi dan atau filtrasi di dalam proses adsorpsi. Menurut Khumyahd (1991), beberapa proses untuk menghilangkan Fe dan Mn di dalam air yaitu : 1. Oksidasi dengan oksigen, khlorin dan Permanganat. Fe2+ Fe3+ 2+ Mn Mn4+ (berupa presipitat) 2. Pertukaran ion R –Na + Fe2+ R –Fe + Na+ 2+ Mn R –Mn (reaksi pertukaran ion) R –Fe + Na+ R –Na + Fe2+ R –Mn Mn2+ (regenerasi) 3. Oksidasi dengan pelapisan oksidan (MnO2) pada media (misal : zeolit, pasir kuarsa dll). 3 {Mn (II). Mn O2} (s) + 2 MnO4- + 2H2O 8MnO2 (s) + 4H+ Mn2+ + MnO2 (s) Fast Mn2+. MnO2 (s) Fast 2+ 3+ Fe Fe (oksidasi)
(sorpsi)
5. Tinjauan tentang Pasir Merapi Pasir Merapi merupakan pasir yang berasal dari muntahan lava merapi pada saat terjadinya letusan Merapi. Letusan Merapi yang biasanya mengeluarkan material yang berupa pasir maupun material batu besar lainnya yang dapat berdampak negatif dan positif. Dampak negatif yang timbul seperti kerusakan lingkungan permanen, dapat merubah suhu, dan mengganggu kesehatan serta yang lainnya. Tapi di sisi lain dampak positif dari vulkanik Merapi sebenarnya cukup banyak, yaitu pasir berlimpah, meningkatkan kesuburan tanah, serta sebagai media penjernih air. Vulkanik/tanah gunung berapi adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi dari letusan gunung berapi yang subur mengandung unsur hara yang tinggi. Vulkanik yang dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi umumnya dicirikan oleh kandungan mineral liat allophan yang tinggi. Allophan adalah Aluminosilikat amorf yang dengan bahan organik dapat membentuk ikatan kompleks. Adapun manfaaat pasir gunung berapi 20
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 sangat baik digunakan untuk penjernihan air. Kandungan silika (SiO) tinggi yang terbentuk akibat proses pembakaran unsur geologi di dalam bumi dengan suhu lebih dari 800° C menjadikan pembentukkan kadar silica semakin banyak dan membuat kualitasnya menjadi sangat baik. Pasir gunung api baik digunakan untuk penjernih air. Pola silika yang berujung runcing membuat kemampuan pasir menyerap partikel tidak diinginkan jauh lebih baik ketimbang pasir biasa. 6. Desinfeksi Menurut Sanropie (1984), menyatakan bahwa Desinfeksi adalah suatu proses untuk membunuh bakteri patogen (bakteri penyebab penyakit) yang ada di dalam air dengan menggunakan bahan desinfektan. Desinfeksi secara kimia antara lain dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia seperti Cl2, Br2, I2, O3, KMnO4, O2, Cl2, CuSO4 dan ZnSO4. Bahan kimia yang paling banyak digunakan adalah senyawa khlorin yang disebut proses khlorinasi atau desinfeksi. Di Indonesia kebanyakan digunakan kaporit karena mudah didapat dan mudah penggunaannya. Disinfeksi merupakan bagian dari proses pengolahan air terakhir yang penting dan merupakan teknologi bersih. Disinfektan senyawa khlorin, dapat digunakan untuk menghilangkan bakteri patogen, meminimalkan gangguan mikroorganisme dan sebagai oksidator. Sebagai oksidan, khlorin dapat juga digunakan untuk menghilangkan zat besi, mangan, menghilangkan rasa air dan senyawa berbau serta meminimalkan amonia nitrogen. Terminologi disinfeksi yang berarti menghilangkan atau menghancurkan seluruh mikroorganisme yang hidup termasuk didalamnya spora disebut sterilisasi. Namun istilah disinfeksi tidak seluruhnya benar karena ada beberapa spora bakteri yang lebih tahan terhadap disinfeksi dibanding bentuk vegetatif, seperti halnya organisme tuberculosis lebih tahan dibanding dengan negatif-gram sel coliform. Sumber Khlorin yang banyak digunakan saat ini adalah jenis kaporit tablet dengan kemurnian 90% yang mampu menyuntikkan dosis khlorin sebesar 40 mg/l berupa tablet kaporit ukuran 200 gram sebanyak 2 tablet untuk debit aliran antara 1 –5 liter per detik (Berthouex, 1998). 7. Khlorinator Menurut Winarno (1986), alat yang diperlukan dalam klorinasi disebut klorinator. Klorinator sederhana dapat digunakan dalam khlorinasi kontinyu bagi suplai air yang jumlahnya relatif banyak. Klorinator dapat diupayakan dengan membuat sendiri, salah satunya adalah jenis Klorin Difuser yang terbuat dari bahan PVC. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa khlorinasi air bersih pada sumur gali protected (dinding disemen/diplester minimal sedalam 3 m) dan unprotected (tanpa ada dinding yang disemen/plester) berdasarkan pada standart yang telah ditetapkan dengan dosis kaporit 1,00 ppm untuk sumur gali protected dan 1,5 ppm sumur gali unprotected. Susunan alat klorin difuser dari PVC dengan ukuran : diameter pipa luar 2 inch dan pipa dalam 1 inch, bersekat pasir diantaranya, dengan panjang 30 cm; pasir ukuran diameter 0,4 –0,9 mm; kaporit kadar 60 %; lubang difuser ukuran 5 mm; jumlah lubang sebanyak 15 buah, memberikan sisa khlor 0,51 mg/l pada sumur gali protected dan sisa khlor 0,49 mg/l pada sumur gali unprotected. Khlorin difuser dimaksud seperti pada Gambar di bawah ini :
Dop Ф 2 “ Dop Ф 1 “
Kaporit
Lubang Ф 5 mm PVC Ф 1” Gambar : Khlorin Diffuser
Pasir
21
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 D. Metodologi Penelitian 1. Tahap Pelaksanaan Penelitian a. Analisis dan Evaluasi Masalah Analisis laboratorium dilakukan untuk mengetahui kandungan parameter Fe, Mn, kekeruhan dan Coli masing-masing contoh air sumur. Sampel air sumur yang akan diambil sebanyak 9 titik. Lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan beberapa pendekatan antara lain : Lokasi di sekitar sungai Code yang masuk wilayah Kota Yogyakarta di bagian hulu, tengah dan Hilir Sumur yang dekat dengan bantaran sungai Code, dan secara sanitasi belum memenuhi syarat. Lokasi sumur mudah terjangkau. b. Tahap penelitian meliputi : 1) Penentuan media filter terbaik meliputi : penentuan konsentrasi larutan pengaktif KMnO4, lama perendaman, ukuran diameter pasir, ketebalan media filter 2) Penentuan jumlah lubang pada chlorin diffuser. 2. Variabel Penelitian a. Variabel bebas (independent variable). - Konsentrasi larutan KMnO4 : 2,5, 5, 7,5 % - Lama perendaman : 8,16,42 jam - Diameter pasir : -8/+10, -10/+14, -14/+18 mesh - Ketebalan filter : 70, 85, 100 cm - Jumlah lubang chlorine diffuser : 20, 30, 40 lubang. b. Variabel terikat (dependent variable) : kadar Fe, Mn, kekeruhan dan Coli tinja pada air hasil olahan. 3. Alat dan Bahan Alat Yang Digunakan a. Gergaji kayu dan besi b. Bor listrik arus DC c. Ember plastik d. Test Kit Fe dan Mn e. Instrumen analisis parameter Coli tinja f. Pukul besi
a. b. c. d. e.
Bahan Yang Digunakan Media filter: pasir Merapi KMnO4 Kaporit tablet Air Reagen Fe, Mn, Kekeruhan dan
4. Penyiapan Alat Penelitian a. Filter Aktif Filter Aktif terdiri dari : Tabung Fiter Aktif Material : - pipa PVC (pralon) diameter 4”(dim); tinggi 125 cm - asesoris : dop 4”= 1 buah; sockdrat luar dan dalam ¾”,masing- masing 1 buah, knee (elbow) ¾”= 4 buah, pipa PVC ¾”secukupnya. - Bahan Pembantu : plat PVC berlubang, seal karet ban dalam bekas, lem PVC dan TBA. Media Filter Aktif Material : - Pasir Merapi - Bahan aktif : Permanganat (PK), KMnO4 22
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Cara Pembuatan Tabung Filter Aktif 1. Dop dilubangi dengan ukuran diameter drat sockdrat luar, masukan sockdrat luar dari arah dalam dengan diberi seal karet ban pada luar dan dalam dop. Pasangkan sockdrat dalam pada drat sockdrat luar setelah diberi TBA secukupnya sampai kencang. Potong pipa ¾” secukupnya untuk penyambungan knee pada sockdrat dalam, kemudian potong pipa ¾” secukupnya lagi untuk penyambungan antar knee dan arahkan ke atas dan sambungkan pipa ¾” panjang 120 cm yang telah dipasang knee (pipa keluaran filter). 2. Potong pipa 4”sepanjang 125 cm dan pasangkan rangkaian No 1 pada salah satu ujung pipa 4”, setelah dipasangkan plat plastik berlubang. Tabung filter aktif telah siap digunakan. Media Filter Aktif 1. Larutkan PK (KMnO4) ke dalam ember sesuai variasi konsentrasi yang diinginkan, diaduk hingga larut merata (homogen). 2. Masukan ke dalam larutan KMnO4, media (sesuai variasi diameter) kemudian direndam sesuai variasi lama perendaman. 3. Media yang sudah direndam, kemudian ditiris (dipisahkan dari larutan PK. Larutan PK masih dapat dipergunakan) dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering (berwarna kecoklatan, dari warna ungu larutan PK). 4. Dilakukan pencucian media aktif hingga air pencuci menjadi jernih atau sedikit jingga. 5. Media aktif siap untuk dipergunakan. Cara Pengoperasian a. Masukan air sumur ke dalam filter dengan gayung (lihat gambar filter aktif manual) atau selang/pipa PVC dari bak tandon/penampung secara perlahan hingga air keluar dari pipa keluaran (lihat gambar filter aktif kontinyu). b. Cek air dari pipa keluaran (biasanya masih masih agak berwarna jingga dari sisa PK dan ada partikel hitam dari arang aktif), c. Lakukan hal di atas hingga didapat air keluaran benar-benar jernih (filter stabil) d. Filter aktif siap dioperasikan b. Khlorinator Khlorinator terdiri dari 2 (dua) tabung yaitu : tabung kaporit dan tabung pasir, Material : Pipa PVC bekas/baru; Cara Pembuatan/Pemasangan : a) Tabung Kaporit 1. Siapkan pipa PVC diameter 1”, panjang 25 cm (ukuran dapat bervariasi tergantung material yang ada) sebanyak 1 buah. 2. Siapkan dop diameter 1”, sebanyak 2 buah 3. Pipa PVC dilubangi dengan ukuran diameter lubang 2 mm, sebanyak 20, 30 dan 40 luban, pasangkan dop pada satu ujungnya. 4. Masukan kaporit bubuk ke dalam pipa berlubang, tutupkan dop pada ujung satunya. 5. Tabung kaporit siap digunakan. b) Tabung Pasir 1. Siapkan pipa PVC diameter 2”, panjang 27 cm (ukuran dapat bervariasi tergantung material yang ada) sebanyak 1 buah. 2. Siapkan dop diameter 2”, sebanyak 2 buah 23
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 3. Pipa PVC dilubangi dengan ukuran diameter lubang 1 mm, sebanyak 60 lubang. 4. Pasangkan dop pada salah satu ujung pipa (boleh dilem maupun tidak). c) Khlorinator 1. Masukan tabung kaporit ke dalam tabung pasir dan masukan pasir bersih diantara sela-sela kedua tabung, kemudian pasangkan dop pada ujung satunya. Khlorinator siap digunakan. 2. Pasangkan tali pada khlorinator dengan posisi tergantung tegak, kemudian masukan ke dalam sumur pada kedalaman hampir mencapai dasar sumur (lebih optimal dekat dengan sumber air).
Gambar Rekayasa Filter Aktif Kontinyu
Drum plastik Air sumur
OPERATIONAL MANUAL Penyaringan : Buka Kran : 1, 2, 5 Tutup Kran : 4, 6, 3 Pencucian Filter : Buka Kran : 1, 3, 4 Tutup Kran : 2, 6, 5 Bilas Setelah Pencucian : Buka Kran : 1, 2, 6
100
Kayu penyangga PVC dia. 3/4 “ Dop 4 “ Air Air cucian
Kran 4 Kran 2
PVC dia. 4 “ Pasir aktif
Kran 1
25 60
Tutup Kran : 4, 5, 3
Kran 3
(Untuk operasi penyaringan kembali, buka 5 dan tutup 6)
Air bersih Bilas
Kran 5
Kran 6
Gambar : Alat filter aktif
24
Kerikil Plat plastik berlubang
30 5 50
5
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 E. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Sampel air sumur masyarakat sepanjang pinggir sungai Code di musim kemarau menunjukan kualitas Fe dan Mn masih relatif bagus, kekeruhan sedikit di atas baku mutu sedangkan untuk bakteriologis semuanya di atas baku mutu. 2. Pasir Merapi dapat digunakan sebagai media filter aktif dengan perlakukan terbaik dicapai pada konsentrasi larutan KMnO4 5 % dengan lama perendaman 24 jam diameter -10/+14 mesh dan ketebalan 100 cm. 3. Jumlah lubang terbaik pada chlorin diffuser adalah 40 buah. 4. Paket alat filter aktif dapat digunakan sebagai teknologi tepat guna untuk memperbaiki kualitas air sumur, khususnya yang kandungan Fe dan Mn nya tinggi. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan dan diaplikasikan dengan rekomendasi sebagai berikut : 1. Pemanfaatan filter aktif dengan media pasir Merapi akan memberikan hasil optimum bila digunakan media pasir dengan ketebalan 100 cm, ukuran pasir 10/+14 mesh ((1,40 – 2,00 mm) dan pasir telah diaktifkan dengan larutan KMnO4 5 % dan direndam selama 24 jam. 2. Apabila fungsi desinfeksi diinginkan berjalan optimal, untuk air sumur dengan kandungan Fe. Mn tinggi, chlorin diffuser sebaiknya tidak diletakkan dalam sumur, tetapi setelah filter aktif. Daftar Pustaka Anonim, 1991, Environmental Pollution Control Alternative Drinking Water Treatment for Small Communities, Washington, DC. Anonim, 1990, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416/MENKES/PER/1990, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Anonim, 2001, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Berthouex, 1998, Industrial Pollution & Prevention Controll Fair, Geyer, Okun, D.A, 1969, Water and Waste Water Engineering, Third edition, Mc Graw Hill, New York. Ircham, 1992, Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Lingkungan Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan, Dian Nusantara , Yogyakarta. Khumyahd, 1991, Iron and Manganese Removal in Water Supplies, University Of Wisconsin, Madison Montgomery, 1985, Water Treatment Principles & Design, John Wily & Sons. Purdom, PW, 1971, Environmental Health, Academic Press, Inc., New York. Sanropie, Djasio, Dkk, 1984, “Penyehatan Air Besih“, Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat, Jakarta. Winarno, F.G, 1986, Air Untuk Industri Pangan, PT Gramedia , Jakarta Soemarto, CD, 1995, Hidrologi Teknik, ed. Kedua, Erlangga, Jakarta Sudaryo dan Sutjipto. 2009. “Uji Komposisi Kimia Tanah Abu Vulkanik Gunung Merapi Yogyakarata”. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta. Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Abuvulkanik Sutrisno, T, Suciastuti, E, 1987, Teknologi Penyediaan Air Bersih, Bina Aksara, Jakarta. Sutrisno, C Totok, 2004, “ Teknologi Pengolahan Air Bersih “, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
25
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Sutrisno, S: 2002, Strategi Manajemen Air Tanah Wilayah Perkotaan, Makalah dipresentasikan pada diskusi panel pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan Berwa wasan Lingkungan, Jurusan Geologi FT UGM, Yogyakarta, 15-27 September 2002 Tirtomiharjo, H., 2003, Penjelasan Peta Cekungan Air Tanah P Jawa dan P Madura, Direktorat Tata Lingkungan Geologi Dan Kawasan Pertambangan, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, Jakarta Tjokrokusumo, 1995, Pengantar Engineering Lingkungan, STTL, YLH, Yogyakarta. Tjokrokusumo, 1998, Pengantar Engineering Lingkungan, STTL, YLH, Yogyakarta. Vesilind, P.A., 1997, Introduction to Environmental Engineering, PWS Publishing Company, Boston Yusman, 1981, “Pembuatan Tahu, Buletin Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan”, IPB, Bogor
26
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Peningkatan Kualitas Lingkungan Masyarakat Melalui Pemanfaatan Limbah Air Kelapa dalam Pembuatan Bioplastik Ramah Lingkungan ( Oleh : Dr. Eli Rohaeti, M.Si ) Abstract This research aimed to study effect adding oleic acid and glycerol toward mechanical properties, functional group, and biodegradability of bioplastics from coconut water. The procedure of this research included preparation bioplastics from coconut water without and with adding plasticizer i.e. oleic acid and glycerol, biodegradation, and characterization of bioplastics. The characterization of bioplastics included mechanical properties, functional group, and biodegradability. The study showed that the adding oleic acid 1.5 % (v/v) and glycerol 2% (v/v) in preparation bioplastics from coconut water increased mechanical properties, mass loss, the speed of mass loss, but the functional group wasn’t different among each other. Adding plasticizer caused microorganism in soil can hydrolize bioplastics to simple molecul. Based biodegradation test, the adding oleic acid and glycerol increased biodegradability of bioplastics. Key words: bioplastics, coconut water, plasticizer A. PENDAHULUAN Produksi sampah kota Yogyakarta per hari mencapai 300 ton, sebagian besar berasal dari sampah rumah tangga. Selama ini pengelolaan sampah dilakukan melalui pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir di TPA Bantul yang lahannya semakin lama makin berkurang. Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan produksi sampah dimulai dari jalur rumah tangga melalui kader–kader serta pengurus PKK untuk melakukan pengolahan sampah secara mandiri di rumah tangga masing–masing. Kegiatan pengolahan sampah secara mandiri sudah dilakukan oleh beberapa kader dan telah memberikan hasil nyata berupa pupuk maupun barang bekas yang didaur ulang. (Media Info Kota, 2008) Namun demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Walhi Yogyakarta bahwa volume sampah yang dibuang ke TPA Piyungan Bantul masih saja tinggi dan diperkirakan penuh pada tahun 2012. Saat ini, 80% lahan TPA Piyungan sudah dipenuhi sampah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh sampah yang dibuang sebagian besar merupakan sampah plastik berbasis petrokimia yang sulit diuraikan oleh mikroorganisme di alam. Jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan manusia akan plastik yang sukar untuk dikurangi apalagi dihindari, maka diperlukan suatu terobosan baru atau alternatif untuk mengatasi masalah tersebut tanpa merugikan manusia. Salah satu alternatif yang layak untuk dipertimbangkan adalah dengan menciptakan produk plastik yang lebih mudah terbiodegradasi sehingga aman bagi lingkungan. Untuk mewujudkan hal itu maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengkaji bahan baku pembuatan plastik dari bahan alam yang mudah terbiodegradasi melalui suatu penelitian. Penelitian untuk mendapatkan bahan plastik yang ramah lingkungan sudah mulai dilakukan, seperti yang telah dilakukan oleh Heru Pratomo dan Eli Rohaeti (2010) mengenai Biodegradasi Bioplastik Nata de Coco Menggunakan Lumpur Aktif, yang dari penelitian itu didapatkan bioplastik yang terbuat dari nata de coco. Tetapi Bioplastik yang didapat mempunyai kualitas yang kurang baik. Hal ini terbukti dari sifat mekaniknya yang masih sangat rendah. Selain itu penelitian Demse Pardosi mengenai pembuatan material selulosa bakteri dalam medium air kelapa melalui penambahan sukrosa, kitosan dan gliserol menggunakan Acetobacter Xylinum yang mendapatkan hasil berupa nata de coco yang 27
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 memiliki tekstur permukaan dan kekuatan tarik yang paling baik dengan penambahan 10 g sukrosa, 1,5 g kitosan dan 2 g gliserol. Mengembangkan penelitian yang terdahulu, dan dengan penambahan zat pemlastis, yaitu gliserol diharapkan diperoleh produk bioplastik lebih berkualitas dengan sifat mekanik lebih baik. Nata de coco merupakan produk hasil proses fermentasi air kelapa dengan bantuan aktivitas Acetobacter xylinum. Nata berasal dari bahasa Spanyol yang artinya terapung. Ini sesuai dengan sifatnya, yaitu sejak diamati dari proses awal terbentuknya nata merupakan suatu lapisan tipis yang terapung pada permukaan yang semakin lama akan semakin tebal. Nata de coco mempunyai struktur yang menyerupai selaput/membran sehingga dapat dimanfaatkan sebagai plastik yang ramah lingkungan karena terbuat dari bahan yang alami dan mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Berdasarkan latar belakang maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioplastik adalah nata yang terbuat dari air kelapa. 2. Pemlastis yang digunakan dalam pembuatan bioplastik adalah gliserol dan asam oleat. 3. Karakterisasi bioplastik meliputi analisis gugus fungsi dengan FTIR, uji kehilangan massa serta laju kehilangan massa, serta uji sifat mekanik. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaruh penambahan pemlastis berupa gliserol dan asam oleat terhadap keberhasilan dalam pembuatan bioplastik? 2. Bagaimana pengaruh penambahan gliserol dan asam oleat terhadap sifat mekanik bioplastik? 3. Bagaimana pengaruh penambahan gliserol dan asam oleat terhadap kemudahan biodegradasi bioplastik? B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menentukan gugus fungsi bioplastik nata de coco yang paling optimum. 2. Menentukan pengaruh penambahan gliserol dan asam oleat terhadap sifat mekanik bioplastik nata de coco. 3. Menentukan pengaruh penambahan gliserol dan asam oleat terhadap kemudahan biodegradasi bioplastik nata de coco. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu : 1. Dapat menjadi sumber informasi mengenai cara pembuatan bioplastik dari bahan alam, khususnya dari limbah-limbah bahan alam yang terbuang sia–sia seperti air kelapa yang ternyata memiliki fungsi dan nilai ekonomis. 2. Dapat memberikan informasi baru mengenai plastik yang ramah lingkungan. C. TINJAUAN PUSTAKA Bioplastik merupakan plastik yang terbuat dari sumber yang dapat diperbarui, yaitu dari senyawa–senyawa dalam tanaman misalnya pati, selulosa, dan lignin serta pada hewan seperti kasein, protein dan lipid (Averous, 2002). Bioplastik mempunyai keunggulan karena sifatnya yang dapat terurai secara biologis (biodegradable), sehingga tidak menjadi beban lingkungan (Haryani dan Sailah dalam Anggara, 2001). Bioplastik ini sering disebut juga dengan plastik biodegradable karena sifatnya yang dapat diuraikan. Walaupun tidak semua bioplastik dapat diuraikan. Namun demikian produk bioplastik merupakan produk yang mahal. Mengingat masih barunya teknologi untuk pembuatannya dan kemampuan kompetisi dengan plastik konvensional yang tidak memadai. Selain itu kelemahan pada bioplastik adalah kelenturannya kurang jika 28
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dibandingkan dengan plastik konvensional. Namun bioplastik sendiri memiliki kelebihan tingkat permeabilitas penguapan oksigen dan air yang lebih tinggi, sehingga menjaga kesegaran buah dan sayuran 3 hari lebih lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioplastik memiliki beberapa efek terhadap lingkungan. Beberapa efek tersebut, yaitu bioplastik dapat mengurangi carbon footprint sebesar 42%, menghemat penggunaan bahan bakar fosil antara 25% hingga 68% dibandingkan dengan penggunaan polyethylene. Bioplastik dapat dibuat dari limbah air kelapa. Air kelapa mengandung air 91,5%; protein 0,14%; lemak 1,5%; karbohidrat 4,6%; serta abu 1,06%. Selain itu, air kelapa mengandung berbagai nutrisi seperti sukrosa, dekstrosa, fruktosa, serta vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat, asam pantotenat, biotin, riboflavin, dan asam follat. Nutrisi tersebut sangat berguna untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum. Nata de coco merupakan produk hasil proses fermentasi air kelapa dengan bantuan aktivitas Acetobacter xylinum. Nata berasal dari bahasa spanyol yang artinya terapung. Hal tersebut sesuai dengan sifatnya, yaitu sejak diamati dari proses awal terbentuknya nata merupakan suatu lapisan tipis. Bibit nata adalah bakteri Acotobacter xylinum yang akan dapat membentuk serat nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Secara fisik pembentukkan selulosa merupakan pembentukkan pellicle seperti terlihat pada Gambar 1. Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 –7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH 4,3, sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada suhu 28°– 31°C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glasial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan, yaitu pH 4,5 –5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak. Selain asam asetat, asam-asam organik dan anorganik lain dapat digunakan.
Gambar 1. Pembentukan selulosa Pembuatan bioplastik yang fleksibel perlu ditambahkan bahan pemlastis berupa gliserol dan asam oleat. Gliserol kebanyakan ditemui hampir pada semua lemak hewani dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat (Austin, 1985). Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20°C dan memiliki titik didih yang tinggi, yaitu 290°C gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik. Gliserol bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tita, kosmetik, makanan dan minuman lainnya (Austin, 1985). Gliserol 29
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dapat digunakan untuk gliserolisis iserolisis lemak atau metil ester untuk membentuk gliserolat monogliserida, digliserida dan trigliserida. Gliserol mengandung tiga gugus hidroksi yang terdiri dari dua gugus alkohol primer dan satu gugus alkohol skunder. Atom karbon yang terdapat dalam gliserol serol dapat ditunjukkan sebagai atom karbon α, β dan γ (Nouriedden, dkk, 1992).
Gambar 2. Rumus bangun gliserol Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh berkarbon 18 dengan satu ikatan rangkap dua, memiliki titik beku 140C dan bilangan iodin 90. Rumus struktur asam oleat, oleat yaitu CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOH. Asam oleat termasuk asam lemak omega 9. Asam lemak ini pada suhu ruang berupa cairan kental tal dengan warna kuning pucat atau kuning kecoklatan. D. METODOLOGI PENELITIAN Tahapan penelitian yang dilakukan meliputi: Tahap Pembuatan Bioplastik Murni Nata De Coco Sebanyak 500 mL air kelapa yang sudah tua ditambahkan gula pasir sebanyak 10 %, urea 0,5 %, serta CH3COOH 0,75 % dari banyaknya air kelapa hingga didapat pH 3-4 sambil dipanaskan dan diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, dilakukan penyaringan untuk mendapatkan sari dari bahan hasil perebusan, perebusan kemudian dituangkan pada keadaan panas ke dalam m loyang/ nampan yang sudah steril dan tertutup. Kemudian ditutup rapat kembali dengan menggunakan kertas koran dan ditempatkan pada tempat yang datar pada suhu kamar untuk didinginkan (12 jam).. Setelah dingin, dilakukan penambahan bakteri Acetobacter xylinum (1 botol untuk 5 bak fermentasi ). Larutan hasil penyaringan difermentasikan selama 5 hari. Setelah lama penyimpanan yang ditentukan, nata siap di panen. Bentuk nata de coco hasil fermentasi berupa gel selanjutnya dicuci dengan air mengalir selama 24 jam untuk menghilangkan lendir serta sisa bakteri yang masih tertinggal dalam nata. Untuk selanjutnya dijemur/ diangin– diangin anginkan dan didapat bioplastik dari murni nata de coco yang siap di karakteristik. Tahap Pembuatan Bioplastik dengan engan Penambahan Asam Oleat O Sebanyak 500 mL air kelapa yang sudah tua ditambahkan gula pasir sebanyak 10 %, urea 0,5 %, CH3COOH 0,75 % hingga didapat pH 3– 3 4 serta asam oleat 1,5 % dari banyaknya air kelapa sambil dipanaskan dan diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, dilakukan n penyaringan untuk mendapatkan sari dari bahan hasil perebusan, perebusan kemudian dituangkan pada keadaan panas ke dalam loyang/ nampan yang sudah steril. Kemudian ditutup rapat dengan menggunakan kertas koran dan ditempatkan pada tempat yang datar serta didinginkan (12 jam).. Setelah dingin, dilakukan penambahan bakteri Acetobacter xylinum (1 botol untuk 5 bak fermentasi ). Larutan hasil penyaringan difermentasikan selama 5 hari. Setelah lama penyimpanan yang ditentukan, nata siap dipanen. Bentuk nata de coco hasil il fermentasi berupa gel selanjutnya dicuci dengan air mengalir selama 24 jam untuk menghilangkan lendir serta sisa bakteri yang masih tertinggal dalam nata. Untuk selanjutnya dijemur/ diangin-anginkan diangin dan didapat bioplastik nata de coco dengan penambahan 1 % gliserol.
30
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Tahap Pembuatan Bioplastik dengan Variasi Penambahan Gliserol Sebanyak 500 mL air kelapa yang sudah tua ditambahkan gula pasir sebanyak 10 %, urea 0,5 %, CH3COOH 0,75 % hingga didapat pH 3–4, asam oleat 1,5 % serta gliserol 1% dari banyaknya air kelapa sambil dipanaskan dan diaduk hingga mendidih. Setelah mendidih, dilakukan penyaringan untuk mendapatkan sari dari bahan hasil perebusan, kemudian dituangkan pada keadaan panas ke dalam loyang/ nampan yang sudah steril. Kemudian ditutup rapat dengan menggunakan kertas koran dan ditempatkan pada tempat yang datar serta didinginkan (12 jam). Setelah dingin, dilakukan penambahan bakteri Acetobacter xylinum (1 botol untuk 5 bak fermentasi). Larutan hasil penyaringan difermentasikan selama 5 hari. Setelah lama penyimpanan yang ditentukan, nata siap di panen. Hal yang sama dilakukan variasi penambahan gliserol, yaitu 2 % dan 3 % dari banyaknya air kelapa. Bentuk nata de coco hasil fermentasi berupa gel selanjutnya dicuci dengan air mengalir selama 24 jam untuk menghilangkan lendir serta sisa bakteri yang masih tertinggal dalam nata. Untuk selanjutnya dijemur/ diangin-anginkan dan didapat bioplastik. Tahap Biodegradasi Bioplastik Nata de Coco Pada proses biodegradasi ini uji standar yang dapat dilakukan pada polimer bioplastik antara lain adalah kehilangan berat, di samping perubahan kekuatan tarik, dan perubahan sifat fisik lainnya (Schanabel, 1981). Berat polimer sebelum dan sesudah diinkubasi dalam mikroorganisme dengan waktu tertentu ditimbang. Persen kehilangan berat sesungguhnya dapat dihitung dengan memasukkan faktor koreksi berat yang diperoleh dari kontrol negatif ke dalam berat sampel awal sesungguhnya sebelum mengalami proses biodegradasi, maka perlu disiapkan adanya suatu kontrol negatif bagi polimer yang akan diinkubasi dalam mikroorganisme. Kontrol negatif adalah berat sampel polimer yang diinkubasi selama waktu tertentu tanpa adanya mikroorganisme. Karakterisasi Bioplastik Karakterisasi biopolimer meliputi uji gugus fungsi, uji kehilangan massa, laju kehilangan massa, laju adsorpsi air serta uji sifat mekanik. Untuk uji kehilangan massa serta laju kehilangan massa dilaksanakan pada proses biodegradasi bioplastik, sedangkan untuk analisis gugus fungsi dengan metode FTIR dilakukan sebelum film bioplastik dibiodegradasi dan setelah dibiodegradasi selama waktu yang telah ditentukan dengan menggunakan spektroskopi infra merah pada setiap sampel. Untuk mengetahui sifat mekanik dari bahan polimer dapat dilakukan dengan mengaplikasikan gaya pada sampel tersebut. Sifat mekanik yang diuji dalam penelitian ini meliputi kuat putus (tensile strength) dan perpanjangan (strain) dari bioplastik. Pengujian sifat mekanik menggunakan alat Universal Test Machine dengan test speed 10 mm/min. Untuk spesimen uji sifat mekanik berbentuk dumbble yang dipreparasi sesuai ISO 527-2-5A, dengan ketebalan rata-rata 0,25 mm. Adapun teknik analisis data yang dilakukan meliputi: Penentuan Karakteristik Bioplastik dengan Metode FTIR Spektrum IR yang diperoleh dapat digunakan untuk analisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam mengkarakterisasi bioplastik. Analisis kualitatif, bertujuan untuk melihat puncak serapan dari gugus fungsi yang ada dalam polimer sehingga dapat diketahui keberhasilan dalam pembuatan bioplastik. Biodegradasi Bioplastik Penentuan tingkat biodegradabilitas bioplastik dengan cara uji kehilangan massa. Persen kehilangan massa ditentukan dengan rumus berikut:
31
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 % kehilangan massa =
Wi Wf x 100% Wi
Wi = massa sampel sesungguhya sebelum diinkubasi. Wf = massa sampel sesudah dibiodegradasi. Penentuan laju kehilangan massa dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : v=
Wi Wf t
v ∆t
= laju kehilangan massa. = waktu biodegradasi
Uji Sifat Mekanik Berdasarkan hasil pengujian dengan alat uji tarik selanjutnya dilakukan perhitungan dengan cara membagi gaya dengan luas penampang sampel sehingga dapat diketahui kekuatan tarik dari sampel. Perubahan panjang sampel dibagi dengan panjang sampel mula-mula dapat diperoleh nilai perpanjangan dari sampel. Nilai kekuatan tarik dibagi dengan perpanjangan dapt diperoleh data modulus Young dari sampel bioplastik. E. HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat Fisika Nata de Coco Tabel 1 menunjukkan sifat fisik nata de coco dengan berbagai komposisi, yaitu nata de coco murni, nata de coco dengan penambahan asam oleat, dan nata de coco dengan penambahan asam oleat dan variasi gliserol (1%, 2% dan 3%) masing-masing mengalami pemeraman atau fermentasi selama 5 hari. Tabel 1. Sifat fisika nata de coco dengan berbagai komposisi nata de coco No
Sifat fisika
1
Bentuk
2
Warna Transparan/ tidak
3 4
Tekstur
Tanpa penambahan gliserol dan asam oleat Lembaran tebal dan kenyal Putih Transparan Kenyal dan halus
Penambahan Asam oleat
Asam oleat dan gliserol 1%
Asam oleat dan gliserol 2%
Asam oleat dan gliserol 3%
Lembaran tebal, kenyal dan licin Putih
Lembaran tebal, kenyal dan licin Putih
Lembaran tebal, kenyal dan licin Putih
Lembaran tebal, kenyal dan licin Putih
Transparan
Transparan
Transparan
Transparan
Kenyal, halus dan licin
Kenyal, halus dan licin
Kenyal, halus dan licin
Kenyal, halus dan licin
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa secara umum nata de coco dengan berbagai komposisi memiliki bentuk fisik hampir mirip, yaitu lembaran tebal, kenyal, licin, berwarna putih, dan transparan. Komposisi bahan utama dalam pembuatan nata de coco dalam penelitian ini adalah air kelapa sebanyak 500 mL, dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum dan masa pemeraman atau fermentasi 5 hari didapatkan nata de coco dengan ketebalan 5 mm. Ketebalan tersebut ideal untuk dijadikan bioplastik karena jika nata yang terbentuk terlalu tebal maka nata sulit dikeringkan. Karakter Bioplastik dari Nata de Coco dengan Berbagai komposisi Untuk memperoleh bioplastik dari nata de coco, maka nata tersebut harus dikeringkan. Pengeringan dilakukan dengan dua alat, yaitu pertama menggunakan oven
32
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dengan suhu 100 0C selama 30 menit dan kedua menggunakan hot plate dengan suhu 100 0 C selama 1 jam. Untuk sifat fisika bioplastik yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat fisika bioplastik nata de coco dengan berbagai komposisi Bioplastik nata de coco No.
Sifat fisik
1
Bentuk
2
Warna
3
Tekstur Kaku/ tidak
4
Tanpa penambahan gliserol dan asam oleat Lembaran seperti kertas yang transparan
Penambahan asam oleat
Asam oleat dan gliserol 1%
Asam oleat dan gliserol 2%
Asam oleat dan gliserol 3%
Lembaran seperti kertas yang transparan dan sedikit licin
Lembaran seperti kertas yang transparan dan sedikit licin
Lembaran seperti kertas yang transparan dan sedikit licin
Halus
Lembaran seperti kertas yang transparan dan sedikit licin Kuning kecoklatan transparan Halus dan licin
Kuning kecoklatan transparan Halus dan licin
Kuning kecoklatan transparan Halus dan licin
Kuning kecoklatan transparan Halus dan licin
Tidak kaku
Kaku
Sedikit kaku
Sedikit kaku
Sedikit kaku
Putih transparan
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa dari kelima bioplastik dengan berbagai komposisi baik dengan tambahan pemlastis atau tidak, memiliki sifat fisik hampir sama, yaitu berbentuk lembaran seperti kertas yang transparan dan bertekstur halus. Bioplastik yang terbuat dari nata de coco dengan penambahan bahan pemlastis, baik yang hanya panambahan asam oleat maupun dengan penambahan asam oleat dan variasi gliserol ternyata memliki warna kuning kecoklatan serta tekstur licin, hal ini dikarenakan adanya penambahan asam oleat dengan wujud seperti minyak yang licin jika terkena kulit dan berwarna kuning. Sifat Mekanik Bioplastik Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa peran pemlastis asam oleat dan gliserol sangat jelas, yaitu terbukti pada bioplastik tanpa penambahan asam oleat dan gliserol mempunyai nilai tensile strength dan strain lebih kecil dibandingkan dengan bioplastik yang menggunakan tambahan pemlastis. Hal ini berarti pemlastis dapat meningkatkan kualitas bioplastik dalam hal menahan beban dan mengalami perpanjangan. Tabel 3. Hasil uji sifat mekanik bioplastik dari nata de coco pada berbagai komposisi No 1 2 3 4 5
Sampel Bioplastik Bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 1% Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 3%
Tensile Strength (MPa)
Strain (%)
7,8672
12,0411
7,1117
7,2185
10,9965
6,7973
10,2267
13,8441
6,0412
11,9724
33
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Berdasarkan data tensile strength dan strain tersebut dapat dicari modulus Young. Modulus Young menunjukkan perbandingan tensile strength terhadap strain. Jika nilai modulus Young suatu bioplastik semakin tinggi, maka bioplastik tersebut semakin bersifat kaku. Data modulus Young masing-masing sampel bioplastik dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 1% mempunyai modulus Young paling tinggi, yaitu sebesar 50,4594 MPa. Angka tersebut menunjukkan bahwa bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 1% mempunyai sifat paling kaku atau keras berarti kurang baik karena jika bioplastik tersebut kaku, maka sulit dibentuk dan bersifat lebih rapuh. Berdasarkan data uji sifat mekanik, dapat disimpulkan bioplastik optimum adalah bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% ditunjukkan oleh nilai tensile strength dan strain paling besar dalam penelitian ini. Tabel 4. Modulus Young bioplastik No 1 2 3 4 5
Sampel bioplastik Bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 1% Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% Bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 3%
Modulus Young (MPa) 65,3362 98,5205 161,7775 73,8705 50,4594
Analisis Gugus Fungsi Bioplastik Sebelum Dibiodegradasi Analisis gugus fungsi dilakukan pada sampel bioplastik optimum, yaitu bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2%. Sebagai pembanding dilakukan pula analisis gugus fungsi pada bioplastik dari nata de coco murni. Analisis gugus fungsi dilakukan dengan tujuan mengetahui perubahan gugus fungsi sebagai akibat penambahan bahan pemlastis pada pembuatan bioplastik. Analisis gugus fungsi dilakukan dengan spektrofotometer FTIR (Fourier Transform Infrared). Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco murni dan bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco sebelum dibiodegradasi
34
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Gambar 4. Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco dengan penambahan gliserol 2% dan asam oleat sebelum dibiodegradasi Spektrum FTIR bioplastik tersebut selanjutnya diinterpretasikan untuk mengetahui jenis gugus-gugus fungsi yang ada. Tabel 5 menunjukkan data interpretasi gugus fungsi spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco murni. Tabel 6 menunjukkan hasil interpretasi gugus fungsi spektrum FTIR bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2%. Tabel 5. Interpretasi gugus fungsi spektrum FTIR bioplastik nata de coco murni Bilangan Gelombang (cm-1) 3402,43 2900,94 1635,64 1056,99 601,79
Jenis Gugus Fungsi -OH C-H alifatik C=O karbonil β-1,4-glikosidik C-C
Berdasarkan analisis FTIR, bioplastik dari nata de coco tanpa panambahan asam oleat dan gliserol dan bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% ternyata menunjukkan spektrum dengan gugus fungsi hampir sama. Tabel 6. Interpretasi gugus fungsi spektrum FTIR bioplastik nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% Bilangan Gelombang (cm-1) 3387 2931,8 1627,92 1064,71 478,35
Jenis Gugus Fungsi -OH C-H alifatik C=O karbonil β-1,4-glikosidik C-C
Uji Kemudahan Biodegradasi Bioplastik Uji ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama bioplastik akan terurai, yang diharapkan tidak memerlukan waktu lama untuk terbiodegradasi sehingga bioplastik yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan. Tabel 7 menunjukkan keadaan bioplastik dari nata de coco murni dan bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% setelah mengalami biodegradasi pada selang waktu tertentu. Dilihat dari bentuk fisik kedua bioplastik tersebut, semakin lama biodegradasi maka semakin banyak bagian bioplastik yang terurai, hal ini terlihat dengan adanya lubang35
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 lubang pada sampel. Adanya lubang tersebut berarti massa bioplastik akan menjadi berkurang karena hilangnya bagian dari bioplastik. Tabel 7. Keadaan bioplastik pada saat proses biodegradasi Hari ke3 6 9 10 11 12
Keadaan bioplastik dari nata de coco Tanpa penambahan asam oleat dan Dengan penambahan asam oleat dan gliserol gliserol 2% Bioplastik menjadi agak lembab, warna Bioplastik menjadi agak lembab, tebal, semakin pucat, terdapat beberapa lubang warna semakin pucat, terdapat beberapa kecil pada pinggir bioplastik lubang kecil pada pinggir bioplastik Lubang menjadi semakin besar dan Lubang semakin besar dan bertambah bertambah Bioplastik menjadi rapuh dan lubang Bioplastik menjadi rapuh, lunak dan lubang semakin banyak semakin banyak Lubang-lubang bergabung sehingga Lubang semakin merata pada bioplastik menjadi lubang yang besar Bioplastik sangat rapuh dan hampir hancur Bioplastik sangat rapuh dan hampir hancur Bioplastik sudah terbiodegradasi sempurna Bioplastik sudah terbiodegradasi sempurna
Tabel 8 merupakan pengurangan massa bioplastik selama proses biodegradasi berlangsung. Berdasarkan Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya waktu biodegradasi, maka persen pengurangan massa bioplastik semakin besar pula. Bioplastik mengalami biodegradasi hamper sempurna pada hari ke-12, dengan demikian baik bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol dan bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% mudah mengalami biodegradasi. Tabel 8. Pengurangan massa bioplastik
Hari ke3 6 9 10 11 12
Pengurangan massa bioplastik (%) Bioplastik dari nata de coco Bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dengan penambahan asam dan gliserol oleat dan gliserol 2% 47,18 71,65 52,14 79,71 58,64 83,92 60,58 86,84 62,72 88,53 64,17 89,19
Data laju pengurangan massa bioplastik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan laju pengurangan bioplastik, semakin lama waktu biodegradasi, maka semakin kecil laju pengurangan massanya. Hal ini terjadi karena pada saat awal, nutrisi atau kandungan gugus fungsi dalam bioplastik yang menjadi sumber makanan bagi bakteri pengurai. Dengan bertambahnya hari, nutrisi atau gugus fungsi tersebut mulai berkurang, dan menyebabkan laju pengurangan massa semakin kecil.
36
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Tabel 9. Laju pengurangan massa bioplastik
Hari ke3 6 9 10 11 12
Laju pengurangan massa bioplastik (mg/hari) Bioplastik dari nata de coco Bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dengan penambahan asam dan gliserol oleat dan gliserol 2% 16,2 58,9 8,95 32,8 6,71 23,0 6,24 21,4 5,87 19,8 5,51 18,4
Berdasarkan Tabel 8 dan 9, di antara kedua sampel tersebut, yaitu bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol dengan bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% ternyata bioplastik dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% menunjukkan pengurangan massa dan laju pengurangan massa lebih besar. Hal ini dikarenakan semakin banyak selulosa yang dihidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Berdasarkan uji biodegradasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bioplastik nata de coco baik dengan penambahan pemlastis gliserol dan asam oleat ataupun tanpa penambahan ternyata bisa menghasilkan bioplastik yang mudah terbiodegradasi dalam 12 hari atau waktu sangat singkat. Namun demikian, bioplastik yang dibuat dari air kelapa dengan penambahan bahan pemlastis berupa asam oleat dan gliserol menunjukkan pengurangan massa dan laju pengurangan massa untuk setiap waktu biodegradasi lebih besar dibandingkan dengan bioplastik tanpa penambahan bahan pemlastis. Dengan demikian adanya bahan pemlastis dalam pembuatan bioplastik dari air kelapa menghasilkan bioplastik lebih mudah diuraikan oleh alam atau lebih mudah terbiodegradasi. Analisis Gugus Fungsi Bioplastik Sesudah Dibiodegradasi Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol sesudah biodegradasi pada Gambar 5 dan spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% sesudah biodegradasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco sesudah biodegradasi Bioplastik nata de coco tanpa penambahan asam oleat dan gliserol menunjukkan pada bilangan gelombang 3433,29 cm-1 adanya gugus –OH. Bilangan gelombang 2924,09 cm-1 menunjukkan gugus C-H alifatik. Bilangan gelombang 1635,64 cm-1 menunjukkan 37
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 gugus C=O karbonil yang didukung sidik jari pada bilangan 1041,56 menunjukkan gugus C-O berikatan β-1,4-glikosidik.
Gambar 6. Spektrum FTIR bioplastik dari nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% sesudah biodegradasi Berdasarkan spektrum FTIR untuk bioplastik nata de coco dengan penambahan asam oleat dan gliserol 2% memberikan informasi pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1 menunjukkan gugus –OH. Bilangan gelombang 2924,09 cm-1 menunjukkan gugus C-H alifatik. Bilangan gelombang 1635,64 cm-1 menunjukkan gugus C=O karbonil yang didukung sidik jari pada bilangan 1041,56 menunjukkan gugus C-O berikatan β-1,4glikosidik. Berdasarkan spektrum FTIR bioplastik sebelum dan sesudah biodegradasi, ternyata menunjukkan jenis vibrasi ikatan yang sama dan kedua memiliki bentuk spektrum yang sama. Hal ini berarti gugus fungsi yang terdapat pada bioplastik sebelum dibiodegradasi dengan gugus fungsi sesudah dibiodegradasi adalah sama. Dengan demikian disimpulkan bahwa proses biodegradasi tidak merubah gugus fungsi bioplastik. Hal ini bisa terjadi karena pada proses biodegradasi terjadi hidrolisis atau pemutusan ikatan pada ikatan β-1,4-glikosidik, sehingga molekul selulosa pada bioplastik terurai kembali menjadi suatu oligosakarida atau disakarida atau monosakarida, oligosakarida dan disakarida tersebut memiliki jenis gugus fungsi yang sama dengan selulosa penyusun bioplastik. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa penambahan asam oleat dan gliserol 2% dalam pembuatan bioplastik nata de coco : 1. menghasilkan bioplastik lebih elastis namun tidak mempengaruhi kualitas gugus fungsi dalam bioplastik yang dihasilkan. 2. meningkatkan nilai tensile strength dan nilai strain bioplastik dari air kelapa. Bioplastik mempunyai kualitas lebih baik dalam hal menahan beban dan lebih fleksibel daripada bioplastik dari nata de coco tanpa penambahan pemlastis. 3. meningkatkan pengurangan massa dan laju pengurangan massa bioplastik pada saat proses biodegradasi. Adanya tambahan pemlastis tersebut, menyebabkan mikroorganisme pengurai dapat menghidrolisis atau menguraikan bahan bioplastik tersebut menjadi molekul lebih sederhana dan menjadi nutrisi bagi mikroorganisme. Rekomendasi Dengan sudah mendesaknya permasalahan pencemaran lingkungan yang mengancam kelestarian alam baik daratan, perairan, dan udara serta semakin terbatasnya lahan yang dapat digunakan untuk membuang sampah yang berasal dari kota Yogyakarta maka penelitian ini memberikan rekomendasi supaya pemerintah daerah menerapkan 38
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 peraturan wajib menggunakan bioplastik sebagai pengemas makanan yang pelaksanaannya dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Membuat perda tentang penggunaan bioplastik oleh masyarakat Yogyakarta 2. Menentukan jenis plastik yang dinyatakan layak sebagai pengemas makanan secara bertahap 3. Mensyaratkan lolos uji kemudahan dibiodegradasi/diuraikannya di alam terhadap plastik yang digunakan khususnya sebagai pengemas makanan yang beredar di Yogyakarta 4. Mewajibkan semua toko (supermarket, swalayan, dan sejenisnya) untuk menggunakan bioplastik yang telah lolos uji kemudahan diuraikannya di alam 5. Melaksanakan program pengolahan limbah air kelapa oleh pengurus PKK dan kaderkader lainnya menjadi bahan bioplastik ramah lingkungan selain dibuat nata de coco karena teknologi yang digunakan cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh masyarakat setempat sehingga dapat menambah penghasilan warga masyarakat. DAFTAR PUSTAKA ASTM. 1980. Plastics-general Test Methods; Nomenclature. Di dalam : Annual Book of.ASTM Standards, Part 36, American Society for Testing and Materials, Easten, USA. Austin, 1985. Shreve’s Chemical Process Industries, Mc Graw-Hill Book Co Tokyo Averous, Luc. 2004. Biodegradable Multiphase Sistems Based on Plasticized Starch : A Review, Journal of Macromolecular Science, United Kingdom. Bhat, S.G. 1990. Oleic Acid A Value Added Product From Palm Oil. The Conference Chemistry Technology.PORIM.Kuala Lumpur. Carpenter, L.P. 1972. Microbiology. Third Edition. W.B. Sauders Company. Philadelphia-London-Toronto. Collado,L.S. 1986. Nata, Processing and Problems of The Industry in The Philipines. Di dalam Proceding Seminar on Traditional Foodand Their Processing in Asia. Tokyo. Japan. Heru Pratomo dan Eli Rohaeti. 2010. Pembuatan Bioplastik dari Limbah Rumah Tangga sebagai Bahan Edible Film Ramah Lingkungan. Laporan Penelitian. Universitas Negeri Yogyakarta. Irawan, Bambang. 2010. Peran Mikrobia dalam Proses Degradasi Plastik. Laporan Ekologi. Bogor. Nurul Huda Efendi. 2009. Pengaruh Penambahan Variasi Massa Pati Pada Pembuatan Nata De Coco Dalam Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter Xilynum. Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara. Pardosi, Demse. 2008. Pembuatan Material Selulosa Bakteri Dalam Medium Air Kelapa Melalui Penambahan Sukrosa, Kitosan dan Gliserol Menggunakan Acetobacter Xylinum. Tesis: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara. Perry, Jhon H. (Ed). 1999. Perry’s Chemical Engeneers’ Handbook. Edisi Ketujuh, McGraw-Hill Book Company, New York. Rukaesih Achmad. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : ANDI. W Schnabel. 1981. Polymer Degradation, Principles and Practical Applications. New York : Macmillan Publishing Co., Inc.
39
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Strategi Pemberdayaan untuk Meningkatkan Kepedulian dan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Yogyakarta Berbasis Kebijakan Preventif dan Promotif (Oleh : Awang Darumurti, SIP, M.Si, dr. Budi Santosa, S.Psi) Abstract The title of this research is empowerment strategies to raise awareness and independence of Yogyakarta’s society health condition based on promotion and prevention policy. It uses qualitative approach in its implementation. Then to retrieve the data, it is used questionnaires, interviews and FGDs techniques. From the results which is obtained, we can conclude that health policy which is oriented toward preventive and promotive policy becomes very important. Preventive and promotive policy give the output generated much better than curative and rehabilitative health policy. For that, community empowerment is necessary to support the policy. Appropriate empowerment strategies of public health will produce Societies health outcomes independently. But to achieve that, it takes a lot of synergy start from Health Department, health centers, NGOs, Community Leaders, and the community itself. The focus is more directed towards the empowerment of young person and mens who do not get a lot of health education. Additionally, collective people and self-conscious running environmental health is also one of the focus needs to be done when running the empowerment of public health. Some things related to the contents of the Ottawa Charter should keep in mind to optimize the implementation of community health empowerment in Yogyakarta. This empowerment policy (which is an element of policy advocates preventive and promotive) if successful would create a public health in Yogyakarta increased independence, thus curative and rehabilitative policies only become a side policy. Keywords: Preventive and Promotive policy, Empowernment, Health independently A. PENDAHULUAN Kesehatan menjadi suatu bidang yang begitu sering menjadi pusat perhatian. Hal ini dikarenakan untuk membentuk suatu sumber daya manusia yang berkualitas dan produktifitas tinggi, haruslah berawal dari kondisi yang sehat. Baik sehat secara jasmani dan rohaninya. Sehingga dalam pembangunan suatu bangsa kita tidak terlepas dari faktor kesehatan. Mulai dari gizi anak yang akan mempengaruhi tingkat kecerdasannya hingga tingkat kesakitan masyarakat perlu dinilai. Baru-baru ini di beberapa daerah sering mengkampanyekan akan memberikan biaya kesehatan gratis. Namun demikian kita perlu juga mengkaji sebenarnya program kesehatan yang kita anut diarahkan kemana? Selama ini Pemerintah dapat kita gambarkan seperti kehilangan arah, sebab perhatian hanya tertuju pada tindakan kuratif (pengobatan). Keadaan sehat hanya dipandang dalam konsep sehat-sakit, dimana perlakuan program sebagian besar hanya diarahkan dalam upaya mengobati pasien yang sakit. Hal ini dapat kita lihat dari jumlah anggaran kesehatan yang lebih banyak ditujukan pada biaya obat, pembangunan sarana dan prasarana dan tenaga dokter/ paramedis. Untuk itulah, Kebijakan preventif menjadi sangat penting mengingat fakta menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat dalam memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dinilai masih kurang dan belum menggembirakan, karena reformasi dalam sistem kesehatan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tetapi semua masyarakat. Kebijakan promotif juga harus dilakukan untuk mendukung keberhasilan kebijakan preventif. 40
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri dalam RPJMD tahun 2005-2011 belum optimal mengimplementasikan kebijakan yang bersifat preventif dan promotif terkait dengan kesehatan. Kebijakan yang dipakai masih berfokus pada kebijakan kuratif. Oleh sebab itu paradigma ini harus segera dirubah untuk menuju pada target jangka panjang meningkatkan derajat kesehataan masyarakat Yogyakarta berbasis pada kesadaran mereka sendiri, tidak lagi berbasis bantuan uang yang sifatnya hanya jangka pendek dan tidak menghilangkan permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian strategi pemberdayaan masyarakat Yogyakarta agar lebih peduli dengan kesehatan mutlak untuk dilakukan. Untuk itulah penelitian ini harus segera dilakukan agar ditemukan pola atau strategi pemberdayaan yang tepat dan masyarakat bisa lebih peduli serta kemandirian kesehatan mereka dapat ditingkatkan. Selain akan menghemat anggaran kesehatan, tujuan jangka panjang Yogyakarta sebagai kota yang sehat akan lebih bisa tercapai dengan melakukan pemberdayaan yang berbasis kebijakan preventif dan promotif. B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I. Tujuan Penelitian Secara singkat dapat dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan agar masyarakat Yogyakarta dapat memelihara kesehatannya tidak hanya dengan upaya kuratif yang selama ini lebih banyak ditegakkan, namun dapat menjaga kesehatannya pula, yaitu dengan upaya preventif dan promotif. Dengan kata lain penelitian ini berusaha untuk membuktikan bahwa pemberdayaan, kebijakan preventif dan promotif, akan efektif untuk meningkatkan kepedulian dan kemandirian kesehatan masyarakat Yogyakarta. Selain itu, ada beberapa tujuan khusus yang ditawarkan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Pemberdayaan masyarakat Yogyakarta agar peduli dengan kesehatan dengan demikian kualitas SDM masyarakat Yogyakarta akan meningkat. 2. Penyusunan kebijakan preventif dan promotif dalam kebijakan kesehatan. 3. Memberi masukan ilmiah kepada Pemerintah Kota Yogyakarta terkait kebijakan kesehatan. 4. Meyakinkan stakeholder di Yogyakarta agar menerapkan kebijakan preventif dan promotif daripada kebijakan kuratif dan rehabilitatif. II. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan akan memberikan manfaat yang relatif banyak bagi berbagai elemen di Yogyakarta, baik masyarakat, dunia pendidikan, DPRD, Pemerintah Kota Yogyakarta, Dinas Kesehatan. Manfaat teoritis yang berguna bagi dunia pendidikan adalah ditemukannya pola pemberdayaan yang tepat, diketahuinya strategi kebijakan kesehatan yang akurat. Sedangkan manfaat praktis yang paling utama tentu saja ditemukannya strategi pemberdayaan yang tepat sehingga masyarakat Yogyakarta akan menerima manfaat jangka panjang berupa meningkatnya kesehatan mereka. Ketika kepedulian dan kemandirian kesehatan dapat tercapai, maka manfaat lain akan dirasakan yakni meningkatnya kualitas hidup, meningkatnya kehidupan ekonomi serta tingkat harapan hidup. Demikian juga dengan Pemerintah Kota Yogyakarta ( Dinas Kesehatan ) akan mendapatkan manfaat berupa kajian ilmiah terkait kebijakan preventif dan promotif kesehatan yang ditawarkan dalam penelitian ini. Selain itu, ketika masyarakat Yogyakarta sudah peduli dengan kesehatan dan mandiri kesehatannya maka anggaran yang harus dikeluarkan untuk kebijakan kuratif dapat dikurangi.
41
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 C. TINJAUAN PUSTAKA I. Pemberdayaan Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Beberapa pandangan tentang pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai berikut (Ife, 1996) : 1. Struktural, pemberdayaan merupakan upaya pembebasan, transformasi struktural secara fundamental, dan eliminasi struktural atau sistem yang operesif. 2. Pluralis, pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan daya seseorang atau sekelompok orang untuk dapat bersaing dengan kelompok lain dalam suatu ’rule of the game’ tertentu. 3. Elitis, pemberdayaan sebagai upaya mempengaruhi elit, membentuk aliniasi dengan elit–elit tersebut, serta berusaha melakukan perubahan terhadap praktek–praktek dan struktur yang elitis. 4. Post–Strukturalis, pemberdayaan merupakan upaya mengubah diskursus serta menghargai subyektivitas dalam pemahaman realitas sosial. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah– masalah yang dihadapi dengan menggunakan daya kemampuan kognitif, konatif, psikomotor dan afektif dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat ( Sulistyani : 2004 ). Setiap masyarakat memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari atau daya tersebut masih belum dapat diketahui secara eksplisit. Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang ( Suparjo: 2003 ). Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka. Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang. Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat. II. Kebijakan Publik Kebijakan adalah suatu rangkaian atau pola tindakan bertujuan yang diikuti oleh seorang atau sekelompok aktor dalam berurusan dengan suatu masalah atau suatu hal tertentu. Beberapa karakterisitik dari kebijakan tersebut adalah: Purposive, Courses or patterns of actions, What government actually do, Either positive or negative, Based on law and is authoritative (James E. Anderson). Sedangkan untuk menganalisa sebuah kebijakan publik dapat melalui beberapa pendekatan, diantaranya adalah : Teori Sistem Politik, Teori Kelompok (Group Theory), Teori Elit (Elite Theory), Institutionalism, Teori Pilihan Rasional. Teori Sistem Politik mengatakan bahwa kebijakan publik dipandang sebagai respons sistem politik terhadap tuntutan yang muncul dari lingkungannya. Sistem politik 42
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 terdiri atas institusi dan aktivitas yang saling berkaitan dalam masyarakat yang membuat alokasi otoritatif dari nilai–nilai yang mengikat masyarakat. Input ke dalam sistem politik berasal dari lingkungan dan terdiri atas tuntutan (demands) dan dukungan (supports). Output dari sistem politik mencakup undang–undang, aturan, keputusan pengadilan dan lain–lain. Feedbacks menunjukkan bahwa output atau kebijakan publik yang dibuat pada satu saat tertentu pada gilirannya dapat mengubah lingkungan dan tuntutan yang akan muncul berikutnya, dan juga, karakter sistem politik itu sendiri. Teori Kelompok (Group Theory) : Kebijakan publik merupakan produk dari perjuangan kelompok. Interaksi dan perjuangan antara kelompok–kelompok adalah kenyataan sentral dari kehidupan politik. Kelompok adalah sekumpulan orang yang mungkin, atas dasar sikap atau kepentingan yang sama, membuat klaim terhadap kelompok lain dalam masyarakat. Kelompok menjadi kelompok kepentingan manakala ia membuat klaim melalui atau terhadap setiap institusi pemerintah. Konsep utama dalam teori kelompok adalah akses. Teori Elit (Elite Theory) : Kebijakan publik dipandang sebagai pencerminan nilai dan preferensi elite yang berkuasa. Masyarakat terbagi atas sedikit orang yang mempunyai power dan massa yang tidak mempunyai power. Elite berasal dari lapisan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Perpindahan non–elite ke posisi elite harus lambat dan terus menerus untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Elite mempunyai konsensus terhadap nilai–nilai dasar dari sistem sosial dan pelestarian sistem. Perubahan dalam kebijakan publik akan bersifat inkremental. Elite mempengaruhi massa lebih banyak daripada massa mempengaruhi elite. Institutionalism : Kebijakan publik ditentukan secara otoritatif dan pada awalnya dilaksanakan oleh institusi pemerintah. Terpusat pada pemaparan aspek–aspek formal dan legal dari institusi pemerintah : organisasi formal, kekuasaan hukum, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitas. Teori pilihan rasional: Kebijakan publik sebagai keputusan dari aktor politik yang bertindak rasional untuk memaksimalkan kepuasan mereka (rational utility maximizer). Aktor politik dipandu oleh kepentingan pribadi dalam memilih rangkaian tindakan untuk kemanfaatan terbaik bagi dirinya: (1) Pemilih memberikan suara untuk partai dan kandidat yang terbaik memenuhi kepentingannya, dan (2) Politisi secara terus menerus bersaing untuk pemilihan dalam upaya meningkatkan kepentingannya dalam income, power, dan prestige yang berasal jabatan (office), dan menawarkan kebijakan yang akan memenangkan dukungan pemilih. Partai politik beroperasi mirip politisi, menawarkan paket kebijakan yang menarik bagi pemilih. Self interest birokrasi mengarahkan mereka untuk memaksimalkan budget instansinya karena budget yang lebih besar merupakan sumber power, prestige, perks, dan high salary. Kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan sendiri jika dijabarkan lebih lanjut akan terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah: 1. Promotif adalah upaya untuk memperkenalkan (sosialisasi) dan mengarahkan opini, persepsi, sikap dan tindakan masyarakat dalam menunjang pola perilaku hidup bersih dan sehat. 2. Preventif adalah usaha untuk melakukan pencegahan terhadap risiko penularan penyakit dan penyebaran penyakit yang berpotensi menular atau menimbulkan wabah penyakit. 3. Kuratif adalah upaya dalam pengobatan dan penanganan penyakit yang telah diduga dan didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang. 4. Rehabilitatif adalah upaya untuk mengembalikan dan mengobati pasien seperti pada keadaan yang sehat.
43
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 D. METODE PENELITIAN I. Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya pemberdayaan dan implementasi kebijakan preventif serta promotif untuk mewujudkan kepedulian dan kemadirian kesehatan masyarakat di Yogyakarta. Draft solusi yang ditawarkan oleh peneliti diharapkan bisa diterima oleh Pemerintah Daerah ( Dinas Kesehatan ) dan DPRD Kota Yogyakarta dalam proses negosiasi dan konsolidasi tersebut. Untuk implementasi kebijakan preventif dan promotif tentang kesehatan sepenuhnya menjadi kewenangan dari stakeholders setempat, untuk itu peneliti hanya bisa melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. II. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian didapat dari sumber utama yaitu masyarakat di 3 Kecamatan yang menjadi sampel penelitian melalui metode FGD, semi structured group dan deep interview untuk memperoleh informasi apa saja persoalan kesehatan yang mereka hadapi, faktor penyebab mereka tidak peduli dengan kesehatan serta kurang mandirinya kesehatan masyarakat, potensi dan karakter masyarakat. Data hasil penelitian tersebut kemudian dikorelasikan dengan teori-teori pemberdayaan, kebijakan publik yang relevan dengan kesehatan yang diperoleh dari buku, narasumber, ataupun literatur lainnya. Data sekunder diperoleh dari kajian dokumentasi; baik dari ekspos media massa yang terkait dengan pencarian solusi masalah kesehatan yang pernah dilakukan oleh lembaga lainnya. III. Teknis Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, obyektivikasi data akan didapatkan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada obyek untuk bertutur tentang sesuatu. Artinya peneliti tidak memiliki otoritas untuk melakukan treatment, baik mengarahkan agar responden memilih jawaban tertentu ataupun menginterpretasikan makna keluar dari obyek yang diteliti. Pekerjaan analisis lebih pada upaya mengorganisasikan temuan, dan kemudian mengkonstruksikan temuan tersebut dalam bingkai obyek yang diteliti. Dari analisis ini kemudian akan diperoleh kesimpulan makna yang ramah dengan obyek penelitian, dan bermanfaat bagi pembuatan rekomendasi penelitian yang bisa diterapkan di lapangan. Ini juga mendukung metode penelitian yang beruapaya melibatkan masyarakat secara aktif, menempatkan rakyat/responden sebagai sumber informasi utama dengan tanpa intervensi dari peneliti. IV. Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah rakyat di seluruh Indonesia yang diwakili oleh rakyat Yogyakarta yang berada di Kecamatan Gondomanan, Tegalrejo dan Mantrijeron. Penentuan Sampel dilakukan melalui purposive sampling, yang dimaksudkan guna mengetahui persoalan kesehatan yang dihadapi masyarakat, faktor yang membuat masyarakat kurang peduli dengan kesehatan dan kurang mandiri. Dengan data tersebut pola pemberdayaan dan implementasi kebijakan preventif dan promotif kesehatan bisa lebih mudah diimplementasikan di masyarakat. V. Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di 3 Kecamatan di Yogyakarta dengan mengambil sampel kecamatan dengan karakteristik berbeda–beda. Lokasi Kecamatan yang pertama adalah Kecamatan Gondomanan yang dialiri Sungai Code serta tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta berada di tengah kota menjadi pertimbangan utama karena masalah kesehatan menjadi sangat rentan dengan kondisi seperti itu. Lokasi penelitian kedua berada di Kecamatan Tegalrejo dengan karakterisitik lokasi yang dekat jalur kereta api dan banyak rumah kumuh sehingga persoalan kesehatan juga menjadi masalah serius. Sedangkan lokasi ketiga adalah Kecamatan Gedongkiwo yang mewakili kecamatan di pinggiran kota Yogyakarta serta termasuk kecamatan dengan tingkat kemiskinan masyarakat yang relatif tinggi sehingga masalah kesehatan juga menjadi persoalan penting. 44
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 VI. Rancangan penelitian Tahap penelitian dilakukan dengan mengikuti rancangan sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi pola pemberdayaan, kebijakan preventif dan promotif kesehatan (a) identifikasi potensi implementasi kebijakan tersebut (b) mengumpulkan bahan-bahan data sekunder (terutama dari media) tentang persoalan kesehatan dan kebijakan kesehatan yang akan dianalisis (c) mendokumentasikan untuk bahan penyusunan solusi mewujudkan kepedulian dan kemandirian kesehatan masyarakat. 2. Mengidentifikasi karakter dan potensi masyarakat di 3 Kecamatan : (a) menentukan subyek penelitian (b) menyusun panduan dan pedoman wawancara dalam proses story telling (c) menyelenggarakan focus group discussion dan (d) melakukan wawancara secara mendalam terhadap masyarakat di 3 kecamatan. 3. Mengidentifikasi persoalan kesehatan dan kurangnya kepedulian dan kemandirian kesehatan masyarakat ( FGD dan Interview ); (a) mengklasifikasi persoalan kesehatan (b) mengkaji faktor penyebab kurangnya kepedulian masyarakat (c) mengklasifikasi kurangnya kemandirian kesehatan masyarakat. 4. Menyusun solusi untuk mewujudkan kepedulian dan kemandirian kesehatan : (a) penyiapan materi (b) penyusunan draft solusi (c) mengkonsultasikan draft solusi kepada pakar kesehatan dan kebijakan. 5. Negosiasi dan Konsolidasi dengan stakeholder untuk menyakinkan mereka memakai solusi pemberdayaan, kebijakan preventif dan promotif kesehatan untuk mewujudkan kepedulian dan kemandirian kesehatan masyarakat. 6. Sosialisasi hasil penelitian kepada warga : (a) warga masyarakat menjadi peserta aktif (b) menentukan jadual pelaksanaan sosialisasi (c) menentukan narasumber dalam pelaksanaan sosialisasi (d) pelaksanaan sosialisasi. E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I. Kesimpulan Dari hasil penelitian di lapangan, beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang dijalankan oleh masyarakat di Yogyakarta diantaranya adalah: 1. Pengetahuan tentang pola hidup bersih dan sehat Secara umum masyarakat di Yogyakarta telah mengetahui apa yang dimaksud dengan pola hidup bersih dan sehat, tetapi yang perlu diperhatikan adalah belum semua masyarakat di Yogyakarta mengetahui dengan baik yang termasuk dalam semua indikator pola hidup bersih dan sehat yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Masyarakat di 3 Kecamatan yang menjadi sampel penelitian banyak yang berpendapat bahwa perilaku hidup bersih dan sehat masih seputar menjaga kebersihan diri sendiri dan rumah. Bersih dan higienis adalah kata kunci yang menunjukkan pendapat masyarakat tentang pengertian pola hidup bersih dan sehat ( PHBS ). Apsek–aspek lain ataupun indikator lain dari PHBS ( misalnya merokok, kondisi rumah, lingkungan, dan lain–lain ) belum dilaksanakan atau belum dijalankan dengan baik oleh sebagian masyarakat di 3 Kecamatan. Dari kondisi ini, maka pemberdayaan yang dilakukan adalah mengoptimalkan sosialisasi pada indikator–indikator yang belum dipahami 45
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 ataupun belum dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta terkait dengan PHBS yang berujung pada kemandirian kesehatan masyarakat Yogyakarta. Jika hanya beberapa indikator PHBS saja yang dilakukan oleh masyarakat, maka optimalisasi kemandirian kesehatan masyarakat akan sulit untuk tercapai. Untuk itulah proses pemberdayaan selanjutnya lebih diarahkan kepada indikator di luar unsur kebersihan diri dan higienitas sesuatu. 2. Sumber informasi mengenai PHBS dan intensitasnya Masyarakat yang menjadi sampel dari penelitian mengatakan bahwa mereka mendapatkan informasi tentang kesehatan dari berbagai sumber. Namun yang paling sering mereka dapatkan adalah informasi dari petugas puskesmas atau pengurus PKK. Dengan demikian dapat dianalisa bahwa informasi mengenai kesehatan masih perlu diperluas lagi untuk menjangkau sasaran yang lebih luas lagi. Mayoritas responden perempuan mengatakan bahwa mereka mendapatkan innformasi ini dari pengurus PKK dan Puskesmas, sedangkan untuk responden laki-laki mayoritas mengatakan informasi dari pengurus kampung. Dari data tersebut tampaknya informasi tentang PHBS lebih intensif diterima oleh responden perempuan daripada laki–laki. Ini juga tercermin dari mayoritas jawaban responden ketika ditanyakan mengenai intensitas pemberian informasi mengenai PHBS. Mayoritas responden perempuan banyak yang mengatakan sering mendapatkan informasi, sedangkan proposionalitas responden laki–laki yang mengatakan sering mendapatkan informasi jauh lebih sedikit. Dengan demikian sasaran utama atau fokus pemberdayaan masyarakat ke depan lebih difokuskan untuk mengejar ketertinggalan informasi yang diterima laki–laki agar PHBS bisa dijalankan dengan lebih optimal lagi. Kemandirian kesehatan tidak bisa dicapai jika hanya mengandalkan satu pihak saja, sinergisitas semua pihak harus dijalankan. Untuk itulah kesediaaan dari pihak laki–laki untuk mau dan mampu menjalankan semua indikator dari PHBS sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepatuhan menjalankan PHBS dan Hambatannya. Hampir seluruh responden mengatakan bahwa mereka menjalankan pola hidup bersih dan sehat. Namun yang harus digarisbawahi dalam data tersebut adalah mereka menjalankan PHBS sesuai dengan pemahaman mereka. Artinya, mereka menjalankan PHBS pada konteks menjaga kebersihan diri dan higienitas sesuatu. Setelah dilakukan wawancara mendalam, banyak warga yang belum secara teratur menjalankan indikator yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan lingkungan sekitar mereka ataupun yang membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan tetangga ( kesehatan lingkungan ). Mengenai masalah kesadaran tentang kesehatan, dapat dikatakan bahwa masyarakat di Yogyakarta mempunyai tingkat kesadaran yang cukup tinggi. Optimalisasi hanya diperlukan pada indikator–indikator yang memang belum bisa dilakukan dengan baik. Banyak kendala yang kemudian membuat masyarakat di Yogyakarta terkadang terhambat dalam menjalankan PHBS sesuai pemahaman mereka. Dari data penelitian didapatkan hasil bahwa kesibukan dan tidak adanya orang yang rajin mengontrol pelaksanaan PHBS menjadi dua hambatan utama yang menjadi penghalang bagi masyarakat Yogyakarta untuk bisa secara teratur menjalankan PHBS. Kondisi inilah yang perlu diperhatikan dalam program pemberdayaan yang akan dilakukan. Pendamping kesehatan ataupun duta kesehatan dalam sebuah kampung tampaknya menjadi sebuah hal yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan tersebut. Masyarakat di Yogyakarta masih memerlukan perhatian 46
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 ataupun pendampingan untuk bisa melaksanakan PHBS dengan optimal terutama yang menyangkut kolektifitas kesehatan masyarakat. 3. Strategi peningkatan pelaksanaan PHBS Strategi pemberdayaan yang telah dibahas dalam analisa sebelumnya harus bisa dijalankan sesuai dengan kondisi masing–masing kampung dan karakteristik masyarakat setempat. Dari hasil penelitian didapatkan data bahwa masyarakat memang membutuhkan sinergisitas antar stakeholder untuk meningkatkan pelaksanaan PHBS. Masyarakat meminta pendampingan dan penyuluhan kesehatan dari berbagai elemen, yakni Puskesmas, Pemerintah dan juga tokoh masyarakat agar optimalisasi pelaksanaan PHBS bisa dilakukan dengan baik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pendampingan tampaknya menjadi salah satu kegiatan yang mutlak dilakukan dalam pemberdayaan karena masyarakat merasa akan sangat sulit menjaga konsistensi jika tidak dilakukan pendampingan secara teratur oleh stakeholder terkait. Pendampingan juga akan berjalan optimal jika semua stakeholder mau melaksanakannya. Dengan kata lain kunci utama dalam strategi pemberdayaan ini adalah sinergisitas dalam pendampingan. Masyarakat juga meminta adanya duta kesehatan di kampung yang bisa mendampingi mereka. 4. PHBS untuk anak muda Data dari penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi PHBS untuk anak muda sangat jarang dilakukan oleh pihak terkait, baik itu puskesmas ataupun pihak lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pendidikan terhadap anak muda. Masukan penting yang diperoleh dari masyarakat adalah mereka meminta pihak–pihak yang berwenang untuk melakukan sosialisasi ataupun pendampingan terhadap anak muda yang pola hidupnya tidak menunjukkan pola hidup yang sehat. Gambaran penting yang diberikan oleh masyarakat mengenai pola hidup anak muda yang tidak sehat terkait dengan kebersihan, pola makan, tidur, atau tindakan yang menjurus ke tindak kriminal. Sebuah pendampingan dan juga sosialisasi yang intensif dan teratur kepada anak muda diharapkan akan memberikan efek positif terhadap pelaksanaan PHBS di kalangan generasi muda di Yogyakarta. Sebuah kompetisi kesehatan berbasis anak muda juga diharapkan muncul di Yogyakarta untuk menggugah kemauan dan kesadaran anak muda di Yogyakarta dalam menjalankan pola hidup sehat, ini sekaligus menjadi promosi kesehatan yang efektif. Strategi lain yang bisa digunakan untuk menaikkan kesadaran anak muda dalam menjalankan PHBS adalah menggunakan strategi promosi kesehatan visual. Beberapa anak muda yang menjadi sampel dalam interview mengatakan bahwa mereka akan lebih mencerna makna dari promosi kesehatan jika menggunakan media visual, baik itu gambar ataupun video. Mereka mengatakan bahwa jika sosialisasi hanya bersifat oral saja, tidak akan banyak memberi pengaruh bagi mereka. Dengan kondisi seperti ini, maka pola pemberdayaan anak muda ke depan adalah dengan menggabungkan berbagai strategi pemberdayaan dengan dukungan visualisasi yang baik dan tidak menggunakan pola yang konservatif. Bahkan beberapa di antara mereka meminta duta kesehatan berbasis anak muda juga dimunculkan untuk mendukung pola pemberdayaan yang telah disusun. Untuk itulah, kebijakan kesehatan yang berorientasi kepada kebijakan preventif dan promotif menjadi sangat penting mengingat output yang dihasilkan dari kebijakan tersebut jauh lebih baik daripada kebijakan kesehatan yang bersifat 47
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 kuratif dan rehabilitatif. Untuk itulah pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan itu. Strategi pemberdayaan kesehatan masyarakat yang tepat akan menghasilkan outcome berupa mandirinya kesehatan masyarakat. Namun untuk bisa mencapai hal itu, dibutuhkan sinergisitas banyak pihak mulai Dinas Kesehatan, Puskesmas, LSM, Tokoh Masyarakat, dan masyarakat sendiri. Fokus pemberdayaan lebih diarahkan kepada anak muda dan bapak–bapak yang memang belum banyak mendapatkan pendidikan kesehatan. Selain itu kolektifitas masyarakat untuk mau dan sadar diri menjalankan kesehatan lingkungan juga menjadi salah satu fokus yang harus dilakukan ketika menjalankan pemberdayaan kesehatan masyarakat. Beberapa hal terkait isi dari Ottawa Charter sebaiknya perlu diperhatikan untuk mengoptimalkan pelaksanaan pemberdayaan kesehatan masyarakat di Yogyakarta. Kebijakan pemberdayaan masyarakat ini ( yang merupakan unsur pendukung kebijakan preventif dan promotif ) jika berhasil dilakukan akan membuat kemandirian kesehatan masyarakat Yogyakarta meningkat, dengan demikian kebijakan kuratif dan rehabilitatif hanya menjadi kebijakan pendamping saja. II. Rekomendasi 1. Mengubah paradigma kebijakan kesehatan, dari paradigma kuratif menjadi kebijakan preventif dan promotif dengan memasukkan kebijakan ini dalam RPJMD Kota Yogyakarta tahun 2011-2015. 2. Puskesmas di Yogyakarta dijadikan motor penggerak kebijakan preventif dan promotif melalui dukungan dana Bantuan Operasional Kesehatan ( BOK ) dari Kementerian Kesehatan. 3. Melakukan pemberdayaan kepada masyarakat untuk lebih peduli dan mandiri terhadap kesehatan, terutama ditujukan kepada anak muda dan bapak–bapak. Untuk anak muda menggunakan sosialisasi visual dan Duta Kesehatan. 4. Fokus pemberdayaan juga terkait dengan kolektifitas masyarakat dalam peningkatan kepedulian kesehatan lingkungan. 5. Peningkatan kapasitas SDM Dinas Kesehatan dengan melakukan training dan workshop teratur. 6. Reformasi sistem kesehatan (mengacu pada kebijakan pusat dan kajian ilmiah/penelitian). 7. Jika memungkinkan menambah jumlah tenaga kesehatan (sebagai pendamping masyarakat). 8. Manajemen anggaran kesehatan berbasis pada kebijakan preventif dan promotif tanpa menghilangkan kebijakan kuratif dan rehabilitatif (sebagai pendukung). 9. Penyusunan rencana strategis berbasis data ilmiah/penelitian. 10. Mencipatakan model baru pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat dengan melibatkan pihak lain semisal LSM yang peduli dengan kesehatan.
48
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 DAFTAR PUSTAKA Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press, 1995. Friedman, John, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell, 1992. Kartasasmita, Ginanjar, Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan : Teori, Kebijaksanaan, dan Penerapan, Makalah mata kuliah Pembangunan berbasis Masyarakat, Pasca Sarjana ITB, 1997 Rahayu Sedyaningsing, Endang, Mewujudkan kemandirian kesehatan masyarakat berbasis kebijakan preventif dan promotif, Makalah seminar nasional, Fakultas Ilmu kesehatan UNDIP, 2010 Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D, Manajemen Pemberdayaan, Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007 Sulistiyani, Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta : Gava Media, 2004 Suparjan & Suyatno, Pengembangan Masyarakat dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta : Aditya Media, 2003 Sumodiningrat, Gunawan, JPS dan Pemberdayaan, Gramedia, Jakarta, 1998 -----------, Konsepsi pemberdayaan masyarakat, Makalah kuliah pemberdayaan, ITB 2010. -----------, Sistem Informasi dan Manajemen Puskesmas, Depkes RI, Jakarta, 1997
49
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Pengembangan Subject Specific Pedagogy (SSP) Berbasis New Taxonomy of Science Education untuk Meningkatkan Karakter Siswa Sekolah Menengah Atas (Oleh : Ary Kusmawati, S. Si, Hj. Sri Utari, M.Pd.Si, Alfi Suciati, S.Pd) Abstrak Pembelajaran yang terintegrasi dengan pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan perangkat pembelajaran yang mampu mengakomodasi pendidikan karakter. Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk berupa perangkat pembelajaran yang disebut Subject Specific Pedagogy (SSP) Biologi berbasis New Taxonomy of Science Education (NTSE). Subject Specific Pedagogy (SPP) berisi 5 komponen, yaitu : Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Materi, Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Lembar Penilaian. SSP yang dikembangkan pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan karakter siswa. Penelitian ini menggunakan model Research and Development (R and D). Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 8 Yogyakarta. Pengambilan sampel dilakukan secara random setelah terlebih dahulu dipilih kelas–kelas yang relatif homogen. Dalam model penelitian R and D, produk dikembangkan melalui tahap validasi, uji coba terbatas dan uji coba lapangan. Pada tiap tahap dilakukan revisi produk untuk memperoleh hasil produk akhir yang handal. Berdasar hasil analisis data, SSP yang dikembangkan dalam penelitian ini mampu meningkatkan karakter siswa secara signifikan, baik pada uji coba terbatas maupun pada uji coba lapangan. Karakter kreatif siswa dapat ditingkatkan sebesar 28,13%, sedangkan karakter kreatif dapat ditingkatkan sebesar 15,88%. Key words: SSP, New Taxonomy of Science Education, karakter. A. PENDAHULUAN Pendidikan karakter telah menjadi isu yang sering didengar oleh para guru. Namun langkah konkret dari para guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pembelajaran belumlah terlihat jelas. Hal ini menjadikan pendidikan karakter hanya sebatas wacana yang ramai dibicarakan namun nihil pelaksanaan, apalagi pencapaian. Untuk segera mewujudkan pembelajaran yang bermuatan karakter, maka langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah dengan menyiapkan perangkat pembelajaran yang juga bermuatan karakter. Kondisi di lapangan saat ini, perangkat pembelajaran yang digunakan masih perangkat pembelajaran seperti biasanya yang belum secara eksplisit memuat pendidikan karakter. Sebagai konsekuensinya, kemajuan pendidikan karakter menjadi tak dapat dipetakan. Kota Yogyakarta sebagai salah satu basis pendidikan di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk mewujudkan keberhasilan pendidikan karakter. Bahkan dengan menyandang peran sebagai Kota Pendidikan, sudah sepatutnya Kota Yogyakarta menjadi rujukan kota lain dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Untuk mewujudkan ‘Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkarakter’, tentunya sekolah dan segala bentuk pembelajaran di dalamnya akan menjadi medan–medan pergerakan pendidikan karakter, dengan guru sebagai ujung tombaknya. Maka di samping perlu adanya kebijakan yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter secara kondusif, juga diperlukan profesionalitas guru dalam menyusun dan melaksanakan pembelajaran yang bermuatan karakter. Profesionalitas guru tersebut salah satunya menyangkut bagaimana seorang guru dapat menyusun dan mengembangkan Subject Spesific Pedagogy (disingkat SSP, sama maknanya dengan istilah Perangkat Pembelajaran). 50
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Meskipun penyusunan perangkat pembelajaran adalah kewenangan guru, namun untuk memberikan pedoman bagaimana seorang guru menyusun perangkat pembelajaran yang bermuatan karakter, diperlukan sebuah acuan berupa SSP bermuatan karakter yang telah diuji kesahihannya melalui serangkaian penelitian. Berdasar hal tersebut, maka diperlukan penelitian untuk mengembangkan SSP bermuatan karakter sesuai dengan bidang studi. Untuk itu maksud penyusunan proposal ini adalah untuk mewujudkan penelitian pendidikan yang mampu menghasilkan produk berupa Subject Spesific Pedagogy bermuatan karakter yang didasarkan pada taksonomi baru pendidikan sains (New Taxonomy of Science Education), khususnya untuk mata pelajaran biologi. B. TUJUAN DAN MANFAAT Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengembangkan SSP berbasis New Taxonomy Of Science Education untuk meningkatkan karakter siswa. 2. Mengetahui apakah produk SSP Biologi yang dihasilkan mampu mengembangkan karakter siswa. Manfaat penelitian ini, yaitu : 1. Membantu mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkarakter melalui proses pembelajaran di sekolah. 2. Menghasilkan alternatif SSP yang bisa digunakan oleh guru SMA, khususnya di Kota Yogyakarta, dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran bermuatan karakter. 3. Mengembangkan karakteristik siswa melalui pembelajaran biologi, sesuai dengan nilai–nilai lokal kota Yogyakarta. 4. Membentuk siswa yang memahami hakekat sains (biologi) sebagai sikap, proses dan aplikasi agar mereka memiliki bekal pengetahuan konsep dan keterampilan tingkat tinggi yang dapat diterapkan sebagai life skill, tanpa meninggalkan keluhuran budi. C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pendidikan Karakter Menurut Kemdiknas (2010) hakikat pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai yakni pendidikan nilai–nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter berdasarkan kajian nilai–nilai agama, norma–norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip–prinsip HAM, telah teridentifikasi butir–butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai–nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai–nilai utama yang dimaksud dan diskripsi ringkasnya. 1. Nilai karakter dalam hubungannya dengan Tuhan a. Religius Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai–nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. 2. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri a. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain
51
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 b. Bertanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME. c. Bergaya hidup sehat Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. d. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. e. Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh–sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik–baiknya. f. Percaya diri Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya. g. Berjiwa wirausaha Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. h. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. i. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas–tugas. j. Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. k. Cinta ilmu Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. 3. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama a. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. b. Patuh pada aturan–aturan sosial Sikap menurut dan taat terhadap aturan–aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. c. Menghargai karya dan prestasi orang lain Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. d. Santun Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
52
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 e. Demokratis Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 4. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan a. Peduli sosial dan lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya–upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 5. Nilai kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. a. Nasionalis Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. b. Menghargai keberagaman Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. 2.
Pembelajaran Biologi Untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) Belajar Biologi pada hakikatnya belajar tentang organisme dan kehidupannya, serta interaksi yang terjadi antara keduanya. Johnson, et all ( 1984 : xxiv) menyatakan bahwa, “two major themes in biology, both so fundamental to the study of modern biology that we will introduce them here : (1). Organisms have evolved, and (2) life and its processes confirm to the laws of chemistry and physics” Dua tema yang sangat fundamental dalam mempelajari Biologi modern adalah evolusi organisme dan proses kehidupannya. Mata pelajaran Biologi di SMA merupakan kelanjutan IPA di SMP/MTs yang menekankan pada fenomena alam dan penerapannya yang meliputi aspek–aspek sebagai berikut. 1. Hakikat biologi, keanekaragaman hayati dan pengelompokan makhluk hidup, hubungan antarkomponen ekosistem, perubahan materi dan energi, peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. 2. Organisasi seluler, struktur jaringan, struktur dan fungsi organ tumbuhan, hewan dan manusia serta penerapannya dalam konteks sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat 3. Proses yang terjadi pada tumbuhan, proses metabolisme, hereditas, evolusi, bioteknologi dan implikasinya pada sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
3.
New Taxonomy Science of Education (NTSE) Pandangan tradisional menganggap bahwa Sains adalah sebuah pengetahuan mengenai alam semesta yang dikumpulkan/diakumulasi melalui rekaman sejarah. Hanya saja akhir–akhir ini (3 – 5 tahun belakangan) telah terjadi banyak perhatian yang diarahkan ke proses Sains, sebuah keahlian yang digunakan ahli Sains untuk menemukan pengetahuan baru. Akan tetapi, itu menjadi jelas saat ini bahwa lebih banyak perhatian untuk pendidikan Sains dari pada proses dan isi. McCormack dan Yager (1989) mengembangkan sebuah “Taksonomi Pendidikan Sains” baru yang memperluas pandangan tentang pendidikan Sains di luar dua domain isi dan proses menjadi lima domain yang bisa dianggap penting untuk setiap kurikulum Sains yang baik. 53
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Pengembang kurikulum bisa menggunakan taksonomi ini sebagai cetak biru (blueprint) sebagai petunjuk dalam mendesain program baru. Evaluator dapat menggunakan taksonomi sebagai tolok ukur terhadap program yang ada yang dapat dinilai. Pengarang Taksonomi “melihat 5 domain dalam pendidikan Sains yang kesemuanya itu penting sebagai petunjuk bagi kita dalam bekerja membantu semua siswa untuk mencapai cara membaca gejala Sains yang diperlukan dalam kehidupan mereka jika sudah terjun ke dalam masyarakat nantinya. Dan diperlukan bagi kita saat ingin menyelesaikan permasalahan saat ini untuk menghasilkan masa depan yang lebih baik (McCormack dan Yager 1989, 47 - 48). Taksonomi Pendidikan Sains meliputi 5 domain, yaitu: a. Domain mengetahui dan memahami (Domain pengetahuan) b. Domain menjelajah dan menemukan (Proses dari domain ilmu) c. Domain membayangkan dan membuat (Domain kreativitas) d. Domain merasa dan menilai (Domain sikap) e. Domain menggunakan dan menerapkan (Domain Aplikasi dan Koneksi) 4.
Subject Specific Pedagogy (SSP) SSP merupakan pengemasan bidang studi menjadi perangkat pembelajaran komprehensif mencakup standar kompetensi, materi, strategi, metode, dan media, serta evaluasi (instrumen penilaian hasil belajar). SSP meliputi : Silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Materi, Lembar Kegiatan Siswa dan Butir Soal (post tes dan tes kinerja). Perangkat pembelajaran yang dikembangkan ditelaah dengan lembar telaah yang formatnya diadaptasi dari BSNP, yaitu dengan menuliskan ada tidaknya tiap ranah yang diharapkan dari tiap perangkat.
D. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan atau Research and Development (R and D). Sugiyono (2010) memberikan definisi penelitian dan pengembangan, yaitu : metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Penelitian ini mengembangkan produk berupa Subjek Specific Pedagogy (SSP) biologi berbasis NTSE untuk mengembangkan karakter mandiri siswa SMA yang terdiri atas silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), materi, media, Lembar Kerja Siswa (LKS) dan lembar evaluasi yang disesuaikan dengan standar kompetensi siswa SMA. Agar produk yang dikembangkan sesuai dengan tujuan, maka penelitian pengembangan ini dilakukan berdasarkan beberapa model. Model pengembangan Borg & Gall (1983: 774789, dan Dick & Carey (2005: 282-291) disederhanakan agar lebih mudah dipahami. Model pengembangan hasil penyederhanaan ini mempunyai lima tahap, yaitu: analisis, desain, produksi, uji coba dan revisi serta pemanfaatan dan penyebarluasan. Model penelitian pengembangan SSP ini digambarkan sebagai berikut:
54
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Evaluasi Tahap I
Evaluasi Tahap II
Evaluasi Tahap III
Review Ahli Materi dan Ahli Pedagogi
Uji Coba Terbatas
Uji Coba Lapangan
Analisis I
Analisis II
Analisis III
Revisi I
Revisi II
Revisi III
Produk SSP biologi Berbasis Domain Aplikasi
Penyebarluasan
Beberapa hal yang menjadi temuan dalam penelitian pengembangan SSP berbasis New Taxonomy of Science Education ini disajikan dalam pembahasan sebagai berikut: 1. Pada tahap uji ahli dan praktisi Pada tahap uji ahli dan praktisi, yaitu tahap validasi ditemukan bahwa SSP Biologi berbasis NTSE sudah memenuhi kriteria kelayakan untuk digunakan.Hasil penelitian dari ahli dan praktisi menunjukkan bahwa SSP berbasis NTSE berada pada kategori sangat baik sehingga dapat digunakan dengan melakukan revisi berdasarkan saran dan masukan dari ahli dan praktisi. 2. Tahap uji coba terbatas dan uji coba lapangan Pada tahap uji coba terbatas dan uji coba lapangan diuji apakah SSP berbasis NTSE yang dikembangkan mampu meningkatkan karakter kreatif dan mandiri.Pada uji coba terbatas ada beberapa aspek pengukuran kreativitas dan kemandirian yang belum muncul pada siswa sehingga ini menjadi dasar untuk merevisi SSP. Revisi SSP juga berdasarkan pengamatan observer serta catatan guru. Pada uji coba diperluas semua aspek untuk mengukur tingkat kreativitas dan kemandirian telah muncul pada siswa. Sehingga SSP ini dapat digunakan guru sebagai alternatif acuan untuk mengajar Biologi pada materi bakteri dan peranannya dalam kehidupan, di kelas X SMA semester gasal. Peningkatan karakter kreatif dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Peningkatan Karakter Kreatif Kategori Sangat Kreatif Kreatif Kurang Kreatif Tidak Kreatif
Kelas Kontrol 3,12 40,62 40,62 15,62
Kelas Eksperimen 12,50 68,75 15,62 3,12
Peningkatan (%) 9,38 28,13 -
55
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Peningkatan karakter Mandiri dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Peningkatan Karakter Mandiri Kategori Sangat Mandiri Mandiri Kurang Mandiri Tidak Mandiri
Kelas Kontrol 0 46,87 40,62 12,5
Kelas Eksperimen 18,75 62,50 18,75 0
Peningkatan (%) 18,75 15,88 -
Dari analisis data di atas dapat dilihat bahwa penerapan SSP berbasis NTSE mampu meningkatkan karakter siswa secara signifikan, terutama untuk karakter kreatif dan mandiri. Pengintegrasian karakter dalam pembelajaran biologi tidak mengurangi atau menghambat hasil pembelajaran biologi siswa. Ini terbukti dengan meningkatnya hasil belajar biologi pada kelas eksperimen. E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Berdasar analisis data dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan : a. SSP Biologi berbasis New Taxonomy of Science Education (NTSE) untuk meningkatkan karakter kreatif dan mandiri siswa SMA dikembangkan dengan metode research and development. Tahapan research, yaitu studi pendahuluan yang merupakan studi pustaka dan survei lapangan. Tahapan development meliputi desain produk, validasi ahli dan praktisi, uji coba terbatas, dan uji coba lapangan. b. SSP Berbasis New Taxonomy of Science Education (NTSE) mampu meningkatkan karakter siswa SMA. 2. Rekomendasi Untuk turut serta mensukseskan gerakan pendidikan karakter nasional maka beberapa langkah yang perlu diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu : 1. Mengadakan koordinasi dengan pihak sekolah untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang mampu meningkatkan karakter peserta didik, misalnya melalui kegiatan : a. Analisis terhadap KTSP, mencari titik temu antara Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan berbagai karakter yang akan diintegrasikan. b. Menggali kearifan lokal untuk diintegrasikan dalam kurikulum dan menjadi bagian dari pendidikan karakter. 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan atau rujukan untuk dapat dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta dapat diimplementasikan juga kedalam mata pelajaran lain agar siswa terbiasa dengan kurikulum yang menganut pendidikan karakter dalam kehidupan sehari–hari. 3. Melakukan kegiatan pelatihan pengembangan perangkat pembelajaran yang memuat pendidikan karakter, misalnya workshop dan seminar. Kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman praktisi pendidikan mengenai pendidikan karaker secara komprehensif. 4. Mengadakan program kegiatan pembiasaan karakter, koordinasi pelaksanaan, pemantauan dan penilaian, dan evaluasi terus menerus dari pengawas Dinas Pendidikan kepada pihak sekolah dan komite sekolah melalui laporan hasil evaluasi yang diserahkan ke Dinas Pendidikan. 56
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 5. Seluruh staf di dinas juga menjalankan pendidikan karakter untuk memberi contoh kepada pihak sekolah sehingga terjadi pendidikan karakter yang komprehensif. Pendidikan karakter akan tercapai bila semua unsur yang terlibat dari atas sampai keakar–akarnya sehingga terjadi hubungan yang berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Brog, Walte R. & Meredith Daonien Gall. (1983). Educational research an introduction. New York & London : Longman Cormack, Mc & Yager.(1989).Taxonomy of Science Education Dick, W. C. & Carey, J.D. (2005). The sistematic design of instruction (ged). San Fransisco : Pearson Johnson, K.D., Rayle, D.L., & Wedberg, H.L. (1984). Biology an introduction. California : The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemdiknas Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
57
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Analisis Mutu Layanan Puskesmas Berdasarkan Tingkat Kepentingan Pasien dan Kinerja Jasa Pelayanan (Studi Kasus di Puskesmas Mergangsan dan Pakualaman Yogyakarta) ( Oleh : dr. Betty Ekawaty, SpKK, drg. Punik Mumpuni Wijayanti, M.Kes, Adi Nugroho, ST) Abstract This study aims to analyze the level of health center visitors satisfaction based on Importance and Performance Services and determine the priorities in the form of service improvements. The approach used is a sampling technique using a questionnaire with a random distribution pattern. Grouping data based on a Likert scale with the dimension parameters are used based on tangible, reliability , responsiveness, assurance (security) and empathy. Analysis of data processing using the method of Important Performance Analysis (IPA) and the Potential Gain in Customer Value (PGCV). Adequacy of test data using the 10% level of accuracy and confidence level of 90%, error 0.1 (10%) obtained a minimum number of questionnaires for 21.2. With a significance level of 5% table r values obtained by 0.239 to obtain 21 valid attributes. The analysis carried out the conclusion that the visitors of Pakualam and Mergansang health centers assess the satisfaction they get is not fully in accordance with their interests or expectations as evidenced by the average value of the interests / expectations of greater value than the average performances that is equal to 4.24 and 3.24. Based on the analysis obtained Important Performance Analysis service is a top priority bathroom facilities, timesliness of service, hospitality towards visitors, openness in accepting criticism and advice, information bord, and quick respone in resolving complaints. The result is different from by the method using Potential Gains in Customer Value. But researchers recomonded to use Important Performance Analysis (IPA)methode because it saves time and cost. Keywords :
Level Satisfaction, Scale Likert, Potential Gain in Customer Value, Important Performance Analysis (IPA)
A. PENDAHULUAN Kondisi ekonomi yang dinamis beberapa tahun ini, membuat masyarakat semakin sulit untuk memenuhi harapan kebutuhan hidupnya. Fenomena ini cukup dirasakan golongan masyarakat dengan strata sosial menengah ke bawah. Dimana kontinuitas hidup cenderung bergeser hanya pada bagaimana untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Pentingnya pola hidup sehat dan berimbang menjadi skala prioritas terakhir pada penggunaan anggaran pendapatan yang diperoleh. Dimana rata–rata 60 % pendapatan telah habis dalam memenuhi kebutuhan wajib. Cukup bertolak belakang terhadap gencarnya promosi kesehatan yang dilakukan oleh instansi–instansi kesehatan terhadap pentingnya pola hidup sehat sejak dini. Kecenderungan menurunnya kesadaran masyarakat ini cukup menimbulkan pro dan kontra dari beberapa analis maupun masyarakat. Dalih mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat bukan menjadi alasan utama untuk malas memeriksakan kesehatannya. Sejak berdirinya puskesmas sebagai salah satu instansi pelayanan kesehatan yang bisa ditemukan di tingkat kecamatan menjadikan proses pelayanan menjadi lebih praktis. Mulai dari checkup sampai pada pemeriksaan suatu penyakit dapat dilakukan dengan mudah dan praktis. Dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi, paradigma pelayanan pun mulai bergeser. Dimana puskesmas yang dulu hanya memiliki beberapa fungsi bergeser pada kompleksitas pelayanan. Tuntutan pelayanan dan kualitas yang optimal menjadikan perannya sebagai partner pemerintah 58
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 menjadi lebih berat. Mulai dari biaya yang cukup mahal serta pelayanan yang buruk masih menghantui lembaga–lembaga kesehatan yang ada pada saat ini tanpa terkecuali Puskesmas. Instansi yang berada dalam pengawasan pemerintah ini mulai menjadi sorotan publik semenjak maraknya tindakan sewenang–wenang yang dilakukan bagian internalnya. Mulai dari penyalahgunaan obat sampai pada pelayanan birokrasi yang rumit. Sarana dan prasarana yang belum memadai serta kualitas SDM yang rendah. Yang berakibat pada pelayanan buruk pada pasien. Jika dilihat dari fungsinya, Puskesmas merupakan salah satu instansi yang berwenang memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Sebagai instansi yang bukan berorientasi pada profit, Puskesmas dituntut untuk lebih bersikap profesional sehingga tidak kalah bersaing dengan lembaga–lembaga kesehatan lain yang dikelola oleh sektor swasta. Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki Puskesmas diharapkan mampu memberikan nilai lebih, salah satunya melalui pelayanan yang baik dan profesional. B. TUJUAN DAN MANFAAT Persepsi terhadap kualitas pelayanan, akan menjadi faktor penting bagi masyarakat (pasien) dalam menentukan puskesmas sebagai tempat terpercaya dalam mendapatkan pelayanan terbaik. Dengan memenuhi harapan tersebut, diharapkan kepuasan masyarakat dapat tercapai. Melalui harapan tersebut, penelitian berinisiatif melakukan penelitian tentang Analisis Mutu Layanan Puskesmas Berdasarkan Tingkat Kepentingan Pasien dan Kinerja Jasa Pelayanan dengan tujuan dapat melakukan perbaikan kualitas layanan di Puskesmas Mergangsan dan Pakualam serta dapat menentukan prioritas perbaikan terhadap layanan yang ada. Dengan menganalisis tingkat kepentingan / harapan (Importance) pasien dan kepuasan terhadap kinerja (performance) Puskesmas, sejauh mana keinginan pengunjung tentang layanan yang mereka peroleh melalui Tingkat Kesesuaian dan Potential Gain in Customer Value. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi Puskesmas untuk membantu menentukan strategi–strategi yang lebih berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan. C. TINJAUAN PUSTAKA Arianti (2006) menemukan Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Implementasi Customer Relationship Management Grand Java Tour & Travel Jogjakarta dengan menggunakan analisis Important Performance Matrix”. Penelitian ini menemukan beberapa atribut pelayanan yang perlu diperbaiki karena tingkat kepentingannya yang tinggi, sedangkan tingkat kepuasannya rendah. Yoga (2004) melakukan penelitian yang berjudul ”Analisa Tingkat Kepentingan dan Kepuasan Konsumen dengan Metode IPA dan PGCV”. Penelitian ini dilakukan pada salah satu jasa perbankan bank pembangunan daerah, dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor–faktor yang menyebabkan ketidakpuasan nasabah serta pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh bank tersebut. Lusy (2007) menemukan persamaan pada hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan pada kasus layanan nasabah pegadaian dimana skala perbaikan layanan dengan metode Importance Performance Matriks dengan Potential Gain in Customer Value (PGCV) menghasilkan urutan yang sama. Berdasarkan pada fenomena tersebut Penelitian kali ini, terfokus pada analisis tingkat kepentingan (Importance) dan kepuasan terhadap kinerja (Performance), dengan studi kasus yang berbeda, yaitu pada jasa pelayanan Puskesmas. Penelitian mencoba membandingkan hasil pengolahan data antara tingkat kesesuaian melalui Important Performance Matriks (IPA) dengan metode Potential Gain in Customer Value (PGCV) dengan tujuan untuk menguji parameter atribut dengan kasus yang berbeda sehingga dapat diketahui fasilitas atau atribut apa yang secara prioritas harus diperbaiki untuk memenuhi kepuasan pengunjung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi Puskesmas untuk membantu menentukan strategi– 59
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 strategi yang lebih berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan pengunjung. Definisi Jasa Pada dasarnya, membedakan secara tegas antara barang dan jasa merupakan hal yang tidak mudah. Hal ini dikarenakan pembelian barang fisik seringkali dibarengi dengan unsur jasa/pelayanan, dan sebaliknya pembelian suatu jasa tidak jarang juga melibatkan barang–barang yang melengkapinya. Menurut Kotler (1994) dalam Supranto (1997) jasa adalah tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak lain, yang pada dasarnya bersifat tidak menghasilkan kepemilikan terhadap sesuatu. Sedangkan Rangkuti (2002) menyatakan bahwa jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari suatu pihak ke pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, dimana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut. Jasa merupakan suatu kinerja penampilan yang tidak berwujud dan cepat hilang. Jasa lebih dapat dirasakan daripada dinilai, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Kondisi dan cepat lambatnya pertumbuhan jasa akan sangat tergantung pada penilaian pelanggan terhadap kinerja yang ditawarkan oleh pihak produsen. Kualitas Jasa (Service Quality) Dalam era industrialisasi yang semakin kompetitif sekarang ini, setiap pelaku bisnis yang ingin memenangkan persaingan dalam dunia industri akan memberikan perhatian penuh pada kualitas. Salah satu cara utama dilakukan perusahaan agar lebih unggul dari pesaingnya adalah dengan cara memberikan pelayanan yang lebih bermutu kepada konsumen dibandingkan dengan para pesaingnya. Keunggulan suatu produk jasa adalah tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan atau tidak. Kualitas pelayanan terbukti merupakan faktor terpenting penentu kepuasan pelanggan. Menurut Lewis dan Booms (1983) yang dikutip oleh Tjiptono dan Gregorius (2005) kualitas jasa sebagai ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Menurut Goestsch dan Davis yang dikutip oleh Tjiptono (1996) kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dari definisi–definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ; Baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten. Kualitas jasa bisa diwujudkan melalui pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan Ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu jasa yang diharapkan (expected service) dan jasa yang dirasakan (perceived service). Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan (expected service), maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk Dimensi Kualitas Jasa Menurut Parasuraman, et al. (1994) yang dikutip dalam sebuah jurnal oleh Purnama Nursya’bani (2000), terdapat lima dimensi yang digunakan pelanggan dalam menilai kualitas suatu jasa, yaitu : a. Sesuatu yang berwujud (tangibles) Perusahaan harus bisa memberikan bukti awal kualitas jasa, yang tercermin dari penampilan fasilitas fisik, yang dapat diandalkan. Sebagai contoh untuk menilai sebuah rumah sakit, seseorang barangkali akan terlebih dahulu melihat bangunan, fasilitas yang tersedia, kebersihan, reputasi para dokter, dan 60
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
b.
c.
d.
e.
karakteristik yang tampak sebelum orang tersebut memutuskan untuk menggunakan jasa rumah sakit tersebut. Kehandalan (reliability) Kemampuan untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan sesuai harapan pelanggan yang tercermin dari ketepatan waktu, layanan yang sama untuk semua pelanggan. Ketanggapan (responsiveness) Keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Jaminan (assurance) Mencangkup pengetahuan, kesopanan, dan kemampuan para staf dalam melaksanakan tugas secara spontan yang menjamin kinerja yang baik sehingga menimbulkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Empati (emphaty) Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi sehingga dapat memahami keinginan pelanggan dengan baik.
Importance Performance Analysis (IPA) John A. Martilla dan John C. James mengembangkan sebuah konsep Importance Performance Analysis (IPA) yang sebenarnya berasal dari konsep Service Quality (SERVQUAL). Konsep ini berisi bagaimana menterjemahkan apa yang diinginkan oleh konsumen diukur dalam kaitannya dengan apa yang harus dilakukan oleh perusahaan agar menghasilkan produk berkualitas, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud (Supranto, 2001). Bila pada konsep Service Quality (SERVQUAL) hanya menganalisa tentang kesenjangan atau gap yang terjadi antara keinginan atau harapan konsumen dengan kinerja yang telah diberikan perusahaan, pada konsep Importance Performance Analysis (IPA) kita menganalisa tentang tingkat kepentingan dari suatu variabel di mata konsumen dengan kinerja perusahaan tersebut. Dengan demikian perusahaan akan lebih terarah dalam melaksanakan strategi bisnisnya sesuai dengan prioritas kepentingan konsumen yang paling dominan. Analisa diawali dengan sebuah kuisioner yang disebarkan kepada nasabah. Responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan/harapan berbagai atribut dan kepuasan tingkat kinerja perusahaan pada masing–masing atribut tersebut. Dalam penelitian ini digunakan dua variabel X dan Y, dimana X merupakan tingkat kinerja terhadap layanan yang memberikan kepuasan konsumen dan Y merupakan tingkat kepentingan/harapan konsumen. Dalam hal ini digunakan lima tingkat Skala Linkert untuk penilaian tingkat kepentingan konsumen, yang terdiri dari : a) Sangat penting, diberi bobot 5 b) Penting, diberi bobot 4 c) Cukup penting, diberi bobot 3 d) Kurang penting, diberi bobot 2 e) Tidak penting, diberi bobot 1 Untuk kinerja yang nyata diberikan lima kriteria penilaian dengan bobot sebagai berikut; a) Sangat baik diberi bobot 5, yang berarti konsumen sangat puas. b) Baik diberi bobot 4, yang berarti konsumen puas. c) Cukup baik diberi bobot 3, yang berarti konsumen cukup puas. d) Kurang baik diberi bobot 2, yang berarti konsumen kurang puas. e) Tidak baik diberi bobot 1, yang berarti konsumen tidak puas. Kemudian nilai rata–rata tingkat kepentingan dan kinerja perusahaan akan dianalisis di Importance Performance Matrix. Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian 61
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 D. METODE PENELITIAN
Gambar 1 Diagram alir (flowchart) penelitian E. HASIL DAN PEMBAHASAN Atribut Kuesioner No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 62
Atribut Pernyataan Lokasi Puskesmas strategis Sarana parkir Fasilitas ruang tunggu Penampilan Petugas Kelengkapan dan kecanggihan peralatan medis Fasilitas kamar mandi Papan Informasi Pelayanan dimulai cepat ketika pengunjung datang Ketepatan waktu pelayanan Prosedur pelayanan kesehatan yang mudah Biaya administrasi Kecepatan sistem antrian Kecepatan dan ketepatan pelayanan petugas Pemberian informasi yang jelas oleh petugas Cepat Tanggap dalam menyelesaikan keluhan Keamanan obat Pengetahuan dan penguasaan tugas dari pegawai
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 No 18. 19. 20. 21.
Atribut Pernyataan Pelayanan kartu JAMKESMAS yang tepat sasaran Keramahan terhadap pengunjung Kesabaran dalam menghadapi keluhan pengunjung Keterbukaan dalam menerima kritik dan saran
Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuisioner yang diberikan pada responden selama penelitian. Suatu kuisioner dikatakan valid tidaknya jika pertanyaan pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuisioner tersebut. Uji signifikansi dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel dengan degree of freedom (df)= n-2, dalam hal ini jumlah sampel (n) sebanyak 30, maka besar df dapat dihitung 30-2 = 28 dan alpha = 0.05 didapat r table = 0.239.
JKx X 2
SBx
rxy
r hitung
N
12,96
JKx 0,668 N 1
JKy y 2 SBy
X 2
y2 N
2692,8
JKy 9,63 N 1
N XY ( X)( Y)
N X
2
SBx
2
- X 2 N Y 2 - Y 2
0,491
r xy SBy - SBx 0,435 SBy 2 - 2 rxySBx SBy
Daerah Penerimaan
Daerah Penolakan
r tabel 0,239 Jika r hitung ≥ r tabel maka Ho diterima Sehingga 0,435 ≥ 0,239, maka Ho diterima Uji Reabilitas Atribut pertanyaan yang telah valid kemudian dilakukan pengujian reliabilitas. Teknik uji reliabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan Cronbach Alpha. - Jumlah kuadrat total skor butir (JKx) ∑ JKxi = 12.967 + 15.67
........8.967+15.467
= 316.36
63
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 -
Jumlah kuadrat total skor faktor (Jky)
JKy y 2
-
y 2
N JKy = 2502.16 Maka koefisien reliabilitas yang dicari adalah : Diman M = 30 rCronbach' s Alpha MM1 1 JKx JKy
r Cronbach'
s Alpha
1 . 09
Daerah Penolakan Daerah Penerimaan
r tabel 0,239 Karena r Cronbach' s Alpha r tabel 1 . 09 0 . 239 , maka Ho diterima. Karena Ho diterima, maka atribut-atribut kuisionernya reliabel. Berapa kali pun atribut-atribut kuisioner ditanyakan kepada responden yang berlainan, hasilnya tidak akan menyimpang terlalu jauh dari rata-rata jawaban responden untuk atribut tersebut. Uji Kecukupan Data Untuk menentukan jumlah data (sampel) minimal yang harus diperoleh, digunakan perhitungan dengan menggunakan rumus Paul Leedy (Arikunto,1997) yaitu : 2
Z n / 2 p.q e Dengan menggunakan nilai distribusi normal dengan nilai Z a 2 sebesar 1.645 (untuk tingkat ketelitian 10% dan tingkat kepercayaan 90 %), error 0,1 (10 %), dengan jumlah kuisioner yang disebar sebanyak 70 kuisioner dan sah sebanyak 64 kuisioner, maka diperoleh jumlah data (sampel) minimal yang sebesar 21,2 atau 22 sampel. Important Performance Analysis (IPA) Important Performance Analysis dilakukan dengan menghitung skor total kinerja pelayanan dan kepentingan puksesmas. Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai X (rata–rata skor kinerja) dan Y (rata–rata skor kepentingan). Dari perhitungan tingkat kesesuaian antara penilaian kinerja puskesmas dengan kepentingan pegunjung maka dibuat suatu penilaian khusus yang menjadi dasar suatu keputusan untuk mempertahankan prestasi atau melakukan perbaikan. Tolak ukur batas pengambilan keputusan adalah 76.56 %, yang merupakan nilai rata–rata tingkat kesesuaian seluruh atribut pertanyaan. Implikasi dari nilai tolak ukur tersebut adalah jika : a. TK < 76.56 % maka dilakukan perbaikan ( Action) / A b. Bila TK > 76.56 % maka dilakukan usaha untuk mempertahankan (Hold) / H
64
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Tabel 1 Hold & Action Atribut 1
Tingkat Kesesuaian 85.53
Hold & action H
2
82.75
H
3
85.21
H
4
86.4
H
5
74.24
A
6
73.84
A
7
78.44
8
67.04
A
9
72.09
A
10
75.95
A
11
86.05
12
72.04
A
13
70.45
A
14
76.15
A
15
74.32
A
16
76.83
17
75.66
A
18
74.14
A
19
70
A
20
75.76
A
21
74.70
A
H
H
H
Berdasarkan pada tabel di atas terdapat atribut yang memperoleh nilai tingkat kesesuaian kurang dari 76.56 %. Artinya adalah atribut tersebut belum memenuhi nilai harapan dari pengunjung puskesmas dimana membutuhkan tindakan perbaikan secara kontinu sehingga diharapkan mampu untuk memberikan pelayanan optimal bagi pengunjung yang berkunjung kedepannya. Selain itu terdapat 7 aspek yang memperoleh nilai tingkat kesesuaian di atas 76.56 %, yaitu lokasi puskesmas strategis, sarana parkir, fasilitas ruang tunggu, penampilan petugas, papan informasi, prosedur pelayanan yang mudah, dan cepat tanggap dalam menyelesaikan keluhan. Artinya aspek tersebut sudah cukup untuk memenuhi nilai harapan bagi pengunjung puskesmas sehingga patut untuk dipertahankan. Prioritas perbaikan atribut berdasarkan pada Importance Performance Analysis (IPA) dapat dijabarkan melalui tabel 1.
65
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Gambar 2 Important Performance Matrix (Diagram Kartesius)
NilaiKepentinganVsNilaiKinerja 3.24
4.6
17
Tingkat Kepentingan
4.5 4.4
9 7
19
5 14 18 6 15
20
21
4.3
16
11
10
13
4.24
12
4.2 4.1
1
4.0
8
4
3.9
2
3
3.8 2.9
3.0
3.1
3.2 3.3 NilaiKinerja
3.4
3.5
3.6
Kuadran (I) (6,9,15,19,21) memerlukan penanganan yang perlu diprioritaskan oleh tingkat manajemen karena tingkat kepentingan tinggi sedangkan tingkat kepuasan kinerja rendah. Kuadran kedua (II) (5,10,11,14,16,17,18,20) disebut dengan daerah yang harus dipertahankan, karena tingkat kepentingan tinggi sedangkan tingkat kepuasan kinerja juga tinggi. Kuadran ketiga (III) (2,8,12,13) disebut juga sebagai daerah prioritas rendah, karena tingkat kepentingan rendah sedangkan tingkat kepuasan kinerja juga rendah Kuadran keempat (IV) (1,4,3) dikategorikan sebagai daerah berlebihan, karena tingkat kepentingan rendah sedangkan tingkat kepuasan kinerja tinggi. Tabel 2 Rata-Rata Tingkat Kinerja dan Tingkat Kepentingan Atribut 1 2 3 4 5 6 7 8 66
Rata –rata Kinerja 3.45 3.2 3.266 3.4 3.266 3.2 3.1 2.91
Rata –rata Kepentingan 4.03 3.86 3.83 3.93 4.4 4.33 4.33 3.95
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Atribut 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Rata –rata Kinerja 3.1 3.31 3.6 3.05 3.1 3.3 3.23 3.48 3.31 3.25 3.15 3.28 3.2
Rata –rata Kepentingan 4.35 4.3 4.36 4.18 4.23 4.4 4.33 4.35 4.53 4.38 4.35 4.33 4.28
Potential Gain in Customer Value (PGCV) Untuk melengkapi hasil analisa dari Importance & Performance, digunakan sebuah metode untuk menentukan prioritas perbaikan yang harus dilakukan oleh pihak Puskesmas. PGCV memberikan jalan bagi diagram Importance dan Performance untuk dapat dibandingkan dalam bentuk yang lebih teliti dan terperinci. Indeks PGCV (Potential Gain in Customer Value) digunakan untuk menentukan atribut–atribut mana saja yang berpotensi paling besar, dalam memberikan nilai tambah atau keuntungan bagi perusahaan sehingga dapat dibuat urutan prioritas perbaikan layanan. Tabel 3 Perhitungan Indeks PGCV Atribut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nilai UDCV 20.16 19.33 19.16 19.66 22 21.66 21.66 19.75 21.75 21.5 21.83 20.16 21.16 22 21.66 21.75 22.66 21.91 21.75 21.66 21.41
Indeks PGCV 6.25 6.96 6.64 6.29 7.62 7.8 8.23 8.22 8.265 7.23 6.11 6.25 8.04 7.48 7.65 6.59 7.63 7.670 8.047 7.43 7.71
Nilai ACV 13.91 12.37 12.5 13.37 14.37 13.86 13.43 11.52 13.45 14.26 15.72 13.9 13.12 14.52 14.01 15.15 15.03 14.24 13.70 14.22 13.70
Urutan Perbaikan 20 16 17 19 11 7 2 3 1 15 21 4 6 13 10 18 12 9 5 14 8 67
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Berdasarkan pada tabel di atas ketepatan waktu pelayanan (jam buka/tutup) memperoleh prioritas perbaikan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan nilai indeks PGCV yang paling besar, yaitu 8.265. Selain itu rendahnya nilai ACV (Achive Customer Value) ,yaitu nilai kepuasan pengunjung yang telah tercapai terhadap kinerja atau kualitas layanan Puskesmas sebesar 13,485. Nilai kepuasan ini cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai UDCV (Ultimately Desire Customer Value). UDCV merupakan nilai yang diharapkan pengunjung dari kinerja Puskesmas, yaitu sebesar 21,75. Atribut kedua yang perlu diperbaiki, yaitu Papan Informasi (sumber informasi) dengan indeks PGCV sebesar 8,23. Diikuti Pelayanan dimulai cepat ketika pengunjung datang memiliki indeks PGCV sebesar 8,22. Atribut ini memiliki nilai ACV terbesar 11,52 yang juga diimbangi dengan nilai UDCV terbesar, yaitu 19,75. Hal ini membuatnya berada pada atribut ketiga yang perlu diperbaiki. Begitu pula dengan atribut Kecepatan sistem antrian, Keramahan terhadap pengunjung, Kecepatan dan ketepatan pelayanan petugas, Fasilitas kamar mandi (bersih dan nyaman) jangka waktu dan cepat tanggap petugas dalam menyelesaikan keluhan yang secara berurutan berada pada prioritas kelima, keenam dan ketujuh, memiliki nilai ACV yang cukup rendah jika dibandingkan dengan nilai UDCV–nya. Jika diperhatikan, urutan prioritas perbaikan pada PGCV berbeda dengan urutan perbaikan pada tingkat kesesuaian. Hanya saja dengan tingkat kesesuaian, kita dapat mengambil keputusan apakah suatu atribut atau kinerja layanan, perlu dilakukan perbaikan atau dipertahankan. Selain itu cara perhitungan tingkat kesesuaian lebih mudah dan cepat jika dibandingkan dengan Potential Gain in Customer Value. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1) Kesimpulan Dari penelitian tentang tingkat kinerja dan kepentingan pengunjung di Puskesmas Mergangsan dan Pakualaman dapat ditarik kesimpulan, yaitu ; 1. Pengunjung Puskemas Mergangsan dan Pakualaman menilai bahwa kepuasan yang mereka peroleh belum sepenuhnya sesuai dengan kepentingan atau harapan mereka. 2. Aspek perbaikan pelayanan Puskesmas Mergangsan dan Pakualam berdasarkan pada Important Performance Matrix sebagai berikut ; a) Prioritas Utama, yaitu Fasilitas kamar mandi (bersih dan nyaman), Papan Informasi (sumber informasi), Ketepatan waktu pelayanan (jam buka/tutup), Cepat Tanggap dalam menyelesaikan keluhan, Keramahan terhadap pengunjung dan Keterbukaan dalam menerima kritik dan saran. b) Aspek yang harus dipertahankan, yaitu kelengkapan dan kecanggihan peralatan medis, biaya administrasi, pemberian informasi yang jelas oleh petugas, keamanan obat, pengetahuan dan penguasaan dari pegawai, pelayanan kartu jamkesmas yang tepat sasaran dan kesabaran dalam menghadapi keluhan pengunjung. c) Aspek yang menjadi prioritas rendah diantaranya Sarana parkir, Pelayanan dimulai cepat ketika pengunjung datang, Kecepatan sistem antrian dan Kecepatan dan ketepatan pelayanan petugas. d) Sedangkan aspek yang berlebihan, yaitu Lokasi Puskesmas strategis, Penampilan Petugas (rapi, sopan dan seragam) dan Fasilitas ruang tunggu. 3. Prioritas perbaikan pelayanan Puskesmas Mergangsan dan Pakualaman berdasarkan pada Metode Potential Gain in Customer Value (PGCV)) berturut –turut sebagai berikut : a) Ketepatan waktu pelayanan (jam buka/tutup) b) Papan Informasi (sumber informasi) 68
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m) n) o) p) q) r) s) t) u)
Pelayanan dimulai cepat ketika pengunjung datang Kecepatan sistem antrian Keramahan terhadap pengunjung Kecepatan dan ketepatan pelayanan petugas Fasilitas kamar mandi (bersih dan nyaman) Keterbukaan dalam menerima kritik dan saran Pelayanan kartu JAMKESMAS yang tepat sasaran Cepat Tanggap dalam menyelesaikan keluhan Kelengkapan dan kecanggihan peralatan medis Pengetahuan dan penguasaan tugas dari pegawai Pemberian informasi yang jelas oleh petugas Kesabaran dalam menghadapi keluhan pengunjung Prosedur pelayanan kesehatan yang mudah Sarana parkir Fasilitas ruang tunggu (TV, tempat duduk, Koran) Keamanan obat (standar pengobatan) Penampilan Petugas (rapi, sopan dan seragam) Lokasi Puskesmas strategis Biaya administrasi
2) Saran Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa rekomondasi atau saran yang bisa dijadikan langkah perbaikan kedepannya diantaranya ; 1) Hendaknya Puskesmas lebih memperhatikan hal–hal yang dianggap penting oleh pengunjung dengan terus melakukan perbaikan layanan atau mempertahankan serta meningkatkan prestasinya 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi bagi puskesmas untuk membantu menentukan strategi–strategi yang lebih berorientasi pada peningkatan kualitas pelayanan dan kepuasan pengunjung. 3) Untuk penelitian yang bertujuan menentukan urutan prioritas perbaikan, dapat menggunakan konsep Tingkat kesesuaian pada Importance Performance Analysis (IPA), karena selain menghemat waktu dengan perhitungannya yang sederhana, tindakan perbaikan atau mempertahankan suatu kinerja juga dapat diputuskan. DAFTAR PUSTAKA Gasperz, Vincent, Manajemen Bisnis Total : Statistical Process Control, Penerapan Teknik-Teknik Statistikal Dalam Manajemen Bisnis Total, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998 Peter, J.P., & Olson J.C., 1999. Consumer Behavior, Perilaku Konsumen Dan Strategi Pemasaran, Erlangga, Jakarta Sarwono, J., 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 13, CV Andi Offset, Yogyakarta Lewis,Barbara R., and Sotiris Spyrakopoulos. “ Service failures and recovery in retail banking : the customer’s perspective”, International Journal of Bank Marketing, Vol. 19/2001 p.34-47. Wulandari, Lusy Astri. 2007. Analisa Perbaikan Kualitas Layanan Berdasarkan Tingkat Kepentingan dan Kinerja Jasa Keuangan. Tesis Program Teknik Industri UII, Yogyakarta.
69
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Strategi Pengembangan Kolaborasi Bisnis untuk Meningkatkan Efisiensi dan Cakupan Usaha dalam Pemberdayaan UMKM di Kota Yogyakarta (Oleh : Dra. Sri Utami, M.Si) ABSTRACT Problem faced by UMKM specially UKM in Town Yogyakarta enough complex. Internal factor and eksternal require to be studied continuously. From internal side, complex problem from micro effort minimize in the begining is capital, product development, yield up the ghost marketing, do not ready to and inflexible its yielded effort. At the same time with the market emulation which is progressively opened by the inclusive of micro effort minimize is claimed a lot of but yielded a few/little, so that micro effort minimize to tend to inefficient in its effort. This research aim to to know the strategic steps basis for improve the efficiency and coverage is effort through economic enableness of perpetrator UKM, and to know how to join the business (alliance or join) what more beneficial a period of/to coming, so that can be made by as one way of society enableness. This research is conducted in six subdistrict of exist in Town Yogyakarta (Umbulharjo, Kotagede, Kraton, Ngampilan, Mantrijeron and Wirobrajan), with the method used by descriptive qualitative. Data collecting by documentation, observation and interview. Data analysis use the descriptive method of eksploratif assisted by using model analyse SWOT. Result of research indicate that, to increase the effort at micro effort minimize the (UKM) require to be internal potency reinforcement, so that micro effort minimize able to exploit the existing opportunity. This matter is development of merger of strategic alliance or business usher the micro effort perpetrator humanity minimize which of a kind to fill the requirement one another, and also to reach the economic effort scale and improve the coverage is effort larger ones again. Keyword: Micro Effort Minimize, Empowerment, Business Collaboration A. PENDAHULUAN Argumentasi utama dan mendasar yang melandasi pentingnya berbagai usaha pengembangan ekonomi rakyat (dalam hal ini adalah UMKM khususnya UKM usaha mikro kecil) hingga akhir–akhir ini adalah karena potensi alamiahnya yang besar dalam memberi andil bagi penyediaan masalah kesempatan kerja, kesempatan berusaha serta ikut mengatasi urbanisasi dan kemiskinan. Karena itu, strategi pengembangan ekonomi perlu ditata kembali ke arah pembangunan ekonomi kerakyatan. Pemberdayaan ekonomi rakyat menuntut kesiapan semua pihak yang terkait, untuk terus menerus berusaha meningkatkan kemampuannya baik teknis maupun non teknis. Pendeknya, selama daerah–daerah pedesaan dan kota–kota kecil setingkat kecamatan tidak berkembang secepat di kota–kota besar, maka proses urbanisasi tak dapat dihindari dan pemerataan pun akan sulit tercapai (Todaro, 2003). Pada saat ini dan mendatang, pemberdayaan ekonomi rakyat melalui kolaborasi bisnis dengan sistem aliansi strategis yang sehat dan kompetitor merupakan kebutuhan mutlak yang mendasar bagi bangsa Indonesia. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dalam masa reformasi ini harus banyak digerakkan oleh ekonomi rakyat yang mencakup UMKM usaha mikro kecil termasuk koperasi dan kewirausahaan. Membangun ekonomi rakyat perlu pemihakan dan upaya membuat rakyat lebih partisipatif berarti memberdayakan masyarakat. Secara teori, pemberdayaan masyarakat 70
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, upaya menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), kata kuncinya adalah pemihakan. Kedua, upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), kata kuncinya adalah penyiapan. Ketiga, upaya memberdayakan mengandung arti melindungi (protecting), kata kuncinya adalah perlindungan. Karena yang bersifat pemihakan (enabling) dan perlindungan (protecting) menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, maka dalam penelitian ini lebih dikhususkan bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan adalah penyiapan atau upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dipilihnya model pemberdayaan empowering karena lebih cocok dengan situasi dan khalayak sasaran. Keberadaan UMKM di Kota Yogyakarta tidak perlu diragukan lagi mengingat jumlahnya yang cukup banyak serta tersebar di berbagai sektor khususnya sektor industri, perdagangan dan jasa. Posisi Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata tentunya sangat menunjang bagi tumbuh suburnya pelaku–pelaku UMKM di daerah ini. Data Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian Kota Yogyakarta menyebutkan, bahwa jumlah pelaku UMKM di Kota Yogyakarta pada tahun 2009 mencapai 17.679 dari berbagai bidang antara lain : industri, perdagangan, pertanian dan jasa lainnya. Beberapa sektor industri kecil menengah yang menjadi andalan Kota Yogyakarta diantaranya kerajinan perak di Kecamatan Kotagede, industri cor logam/aluminium di Kecamatan Umbulharjo, batik di Kecamatan Mantrijeron, Kraton, Wirobrajan, bakpia di Kecamatan Ngampilan dan kerajinan kulit di Kecamatan Wirobrajan (Suyuti, dalam Kajian Potensi UMKM Kota Yogyakarta, 2010). Hasil pengamatan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Pertanian di Kota Yogyakarta, bahwa pelaku UMKM di Kota Yogyakarta memiliki potensi yang cukup besar. Produk–produk yang mereka miliki sangat bervariasi dan potensi untuk dikembangkan, didukung dengan tingginya motivasi dan semangat pelaku UMKM untuk berkembang. Namun, mereka masih menghadapi banyak permasalahan dalam pengembangan usaha. Permasalahannya tidak sekedar permasalahan klasik seperti keterbatasan modal, teknologi (SDM), pemasaran, pengadaan bahan baku, tetapi dampak dari diberlakukannya Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) dan pertambahan minimarket maupun supermarket yang banyak berdiri di sekitar usaha mereka. Pemberlakuan ACFTA membuat pelaku UKM khawatir dengan membanjirnya produkproduk China yang akan menjadi pesaing bagi usaha mereka. Demikian juga pelaku UMKM khususnya usaha mikro kecil menjadi resah karena masyarakat akhirnya telah memilih berbelanja ke minimarket atau supermarket daripada ke warung–warung kelontong yang mereka miliki. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah/kota belum mampu mengentaskan persoalan–persoalan tersebut. Karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi rakyat melalui strategi kolaborasi bisnis dengan sistem aliansi strategis yang memiliki produk homogin mutlak diperlukan, agar keberadaannya ke depan lebih kuat dan cepat berkembang maju secara mandiri serta mampu menjadi usaha ekonomi yang handal. Karena selama ini linkage progam pemerintah antara pengusaha kecil dan besar sering membuat yang kecil menjadi tergantung kepada yang besar atau sebaliknya yang besar sering memakan yang kecil. Untuk itulah, strategi kolaborasi bisnis diharapkan ke depan dapat meningkatkan efisiensi dan memperbesar cakupan usaha bagi pelaku UKM di Kota Yogyakarta.
71
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 B. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk: 1. Menjelaskan langkah–langkah strategi dasar yang dapat dioperasionalkan dengan mudah dan aman untuk meningkatkan efisiensi dan cakupan usaha. 2. Menjelaskan cara mengkolaborasikan bisnis usaha menjadi usaha yang lebih menguntungkan, sehingga ke depan dapat lebih memperkuat potensi diri (empowering) dan daya saing bisnisnya secara mandiri dan berkesinambungan, sekaligus sebagai satu model pemberdayaan ekonomi rakyat khususnya UMKM usaha mikro kecil di Kota Yogyakarta. 2.
Manfaat Penelitian Diharapkan dapat menjelaskan tentang pemberdayaan ekonomi rakyat melalui strategi kolaborasi bisnis yang menguntungkan. Artinya, secara umum penelitian ini diharapkan lebih banyak memberi konsekuensi praktis berdasarkan ilmu pengetahuan fundamental praktis yang rasional. Dengan kata lain, terdapat keterkaitan (link and match) antara universitas dengan kegiatan praktis. Karena sekarang universitas sangat diperlukan bagi kegiatan praktis. Maka manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai salah satu bahan informasi dan konsep dasar praktis dalam pemberdayaan UMKM usaha mikro kecil. 2. Sebagai salah satu alternatif keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara akademik dan dunia usaha industri khususnya UMKM usaha mikro kecil. 3. Sebagai bahan informasi praktis pemerintah dan lembaga lainnya dalam upaya memberdayakan ekonomi rakyat UMKM usaha mikro kecil. 4. Sebagai salah satu alternatif model usaha yang praktis bagi para pelaku UMKM usaha mikro kecil dalam upaya meningkatkan keuntungan yang lebih baik dan berkesinambungan.
C. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian UMKM Pengertian UMKM cukup beragam berdasarkan beberapa definisi yang berbeda–beda. Pendefinisian antara lain dilakukan oleh Badan Pusat Statistik yang mengelompokkan usaha ke dalam usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah tenaga kerja atau jumlah karyawannya. Sedang dalam penelitian ini memahami UMKM usaha mikro kecil menggunakan acuan terbaru tentang UMKM yang didasarkan pada definisi yang ada dalam Undang–Undang No 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang pengelompokkannya berdasarkan aset dan omsetnya. Dimana pengertian Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah). Sedangkan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang– Undang No 20 Tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat tinggal; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak 72
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Rp 2.500.000.000,-(dua milyar lima ratus juta rupiah). Di samping acuan pemahaman usaha mikro kecil seperti tersebut di atas, UMKM di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir seragam, ada empat karakteristik yang dimiliki oleh kebanyakan UMKM di Indonesia (Kuncoro, 2007) yaitu: a. Tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasional. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. b. Rendahnya akses terhadap lembaga–lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber–sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang, perantara, bahkan rentenir. c. Sebagian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum. d. Hampir sepertiga UMKM bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman, dan tembakau, barang galian bukan logam, tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya termasuk perabot rumah tangga. 2.
Pemberdayaan Ekonomi Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Meriem Webster dan Oxford English Dictionary, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu: 1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain; 2) to give ability atau anable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan. Menurut Karl Marx (dalam Kajian Potensi UMKM Kota Yogyakarta, 2009), pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor–faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik. Menurut Friedman, pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik dan psikologi. Yang dimaksud pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial dan akses ke sumber–sumber keuangan. Yang dimaksud pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depannya. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah. Pandangan mengenai pengertian pemberdayaan pada prinsipnya adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor–faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya. Dari pandangan mengenai konsep pemberdayaan tersebut, maka pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor–faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan upah/gaji yang memadai dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari aspek masyarakat sendiri maupun dari aspek kebijakan pemerintah (Hutomo, 2000). Karena persoalan strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal spesifik dan problem spesifik, maka operasional pemberdayaan masyarakat tidak dapat 73
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 diformulasikan secara generik. Perlu pemahaman secara jernih terhadap karakteristik permasalahan ketidakberdayaan masyarakat di bidang ekonomi. Dengan pemahaman yang jernih, akan lebih produktif dalam memformulasikan konsep atau pendekatan yang sesuai dengan karakteristik permasalahan lokal. Namun, penanganan masalah lokal tidak seluruhnya dapat dilakukan melalui pendekatan ekonomi semata, karena banyak dimensi–dimensi politik, sosial,budaya yang harus ditangani. Oleh sebab itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa pemberdayaan politik dan kebijakan politik. Dimensi yang harus ditangani dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi bersifat multi dimensi. Dari tulisan Sumodiningrat (1999), konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sbb: 1. Perekonomian rakyat adalah perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat. Perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah perekonomian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara. 2. Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang kuat, besar, modern dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktur. 3. Perubahan struktur yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah–langkah proses perubahan struktur, meliputi:1) pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya; 2) penguatan kelembagaan; 3) penguasaan teknologi; 4) pemberdayaan sumberdaya manusia. 4. Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan produktivitas, memberikan suntikan modal sebagai stimulan, tetapi harus dijamin adanya kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang. 5. Kebijakannya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah:1) pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal); 2) memperkuat posisi sekedar price taker; 3) pelayanan pendidikan dan kesehatan; 4) penguatan industri kecil, 5) mendorong munculnya wirausaha baru; dan 6) pemerataan spasial. 6. Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: 1) peningkatan akses bantuan modal usaha; 2) peningkatan akses pengembangan SDM; dan 3) peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal. 3.
74
Perkembangan UKM dan Masalahnya Permasalahan mendasar dalam bidang manajemen bagi pengusaha kecil pada berbagai sektor usaha secara umum adalah kekurangmampuan pelaku usaha menentukan pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan usaha (Maisaroh dalam penelitian, 2007). Hal ini penting, karena setiap periode tahap perkembangan usaha akan menuntut tingkat pengelolaan produksi yang berbeda. Pada tahap awal perkembangan produksi dan skala usaha produksi yang masih relatif kecil, gaya manajemen keluarga yang sederhana masih mendominasi, sehingga mengarah kepemuasan pengelolaan hanya pada seseorang (one man show) sebagai kepala keluarga masih relevan. Tetapi sejalan dengan perkembangan dan lingkungan usaha, maka gaya manajemen konvensional tidak dapat dipaksakan lagi begitu saja, karena pemaksaan suatu hal dapat menjadi pangkal munculnya berbagai masalah baru.
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Dengan demikian, pengusaha mikro kecil dituntut harus selalu dinamis dalam menerapkan manajemen yang sesuai dengan perkembangan usaha. Maisaroh (dalam Prasetyo,2002), mengatakan tuntutan menggunakan manajemen konvensional baru dapat dilakukan jika pelaku usaha mikro kecil memiliki kemampuan dan ketrampilan (manajement skill) yang memadai. Pada dasarnya UMKM usaha mikro kecil mempunyai banyak fungsi; misalnya fungsi sosial dapat mengurangi kemiskinan juga dapat memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatkan pendapatan. Fungsi ekonomi, mampu memanfaatkan sumber daya alam dan meningkatkan pendapatan daerah atau Negara serta menghemat devisa. Fungsi budaya, dapat meningkatkan ketrampilan serta mencerdaskan masyarakat dalam melestarikan budaya bangsa. Fungsi ketahanan nasional, dapat meningkatkan keuletan dan ketangguhan, memupuk kepribadian dan kemampuan serta menumbuhkan kepercayaan diri sendiri dan kepribadian. Dalam kenyataannya, usaha mikro kecil selain mempunyai banyak fungsi dan manfaat, keberadaan UKM juga mengandung berbagai masalah mendasar yang perlu segera dikaji dan diatasi. Selain masalah di bidang manajemen, pelaku usaha mikro kecil juga menghadapi masalah pemasaran, SDM, masalah permodalan, masalah kemitraan serta masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya (Arogana, 2002). 4.
Dimensi Kinerja Pasar UKM Berbagai dimensi kinerja pasar (market performant) adalah : laba usaha, kesempatan kerja, pertumbuhan, penciptaan nilai tambah, efisiensi, produktivitas dan pemerataan hasil serta pemerataan pertumbuhan industri. Kinerja pasar yang baik terutama mencakup harga yang rendah, efisiensi, inovasi dan keadilan. Tujuan kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek. Menurut para pakar ekonomi, biasanya memusatkan hanya pada tiga aspek pokok, yaitu : efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam distribusi (Jaya, 2001). 1. Efisiensi dalam mengalokasikan sumber daya. a. Efisiensi internal, yaitu: perusahaan yang dikelola dengan baik, mendeskripsikan usaha yang maksimum dari para pekerja dan menghindari kejenuhan dalam pelaksanaan jalannya perusahaan UMKM usaha mikro kecil. b. Alokasi yang efisien, yaitu: sumber daya ekonomi dialokasikan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi perbaikan dalam berproduksi yang dapat menaikan nilai dari output. Di semua perusahaan, harga ditentukan sama dengan biaya marginal dan biaya rata–rata jangka panjang (P=LRMC=LRAC). 2. Kemajuan teknologi Kemajuan teknologi dan penggunaannya dalam praktik adalah secepat mungkin. 3. Keseimbangan dalam distribusi atau keadilan (equity) Keadilan yang dimaksud di sini adalah keadilan distribusi. Keadilan terhadap distribusi yang wajar (yang berkaitan dengan standar masyarakat) ada tiga dimensi pokok, yakni : kesejahteraan, pendapatan dan kesempatan. 4. Dimensi lainnya Yang termasuk dalam pengertian dimensi lainnya ini antara lain adalah kebebasan individu dalam memilih keamanan dari bahaya yang mengancam, dukungan faktor politik sosial budaya dan lingkungan setempat, dan keanekaragaman model, warna, corak budaya. Sementara itu, Bygrave (1996) seperti yang dikutip oleh Suwandi (1999), mengungkapkan bahwa, untuk mengukur kinerja usaha dari bisnis kecil sebaiknya menyertakan peranan usaha kecil dalam menyerap tenaga kerja. Dalam sistem ekonomi perekonomian Indonesia, peranan usaha kecil dalam penyerapan kerja telah 75
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 teruji demikian penting. Dari sensus BPS tahun 2009, menyebutkan secara nasional usaha mikro kecil dan menengah persen dari total tenaga yang terjun dalam dunia usaha Indonesia. Mencermati hal ini, posisi UMKM usaha mikro kecil sangat strategis dalam perekonomian rakyat. 5.
Kerangka Pikir Meskipun perkembangan UMKM dan koperasi secara umum telah menunjukkan hasil yang cukup baik, namun tantangan yang dihadapi cukup berat. Secara umum, UMKM usaha mikro kecil skala usahanya masih sedikit dan tidak memiliki skala usaha minimum yang efisien. Karena itu, para pelaku ekonomi rakyat dalam hal ini adalah usaha mikro kecil dituntut harus memiliki kinerja yang lebih efisien dan produktif, sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Pemerintah dan lembaga bantuan terkait dituntut bersikap tegas yakni : tidak menggunakan sistem proteksi dalam pengembangan usaha mikro kecil, tetapi lebih banyak berperan sebagai penyedia fasilitas serta iklim usaha yang kondusif (enabling), pembuat dan penegak peraturan, dan pemberi bantuan bagi yang lemah (protecting). Pemihakan (enabling) dan perlindungan (protecting) yang dimaksud dalam pemberdayaan ekonomi rakyat adalah kepada pelaku usaha mikro kecil. Pendekatan pemberdayaan ekonomi rakyat dalam penelitian ini adalah cenderung menggunakan pendekatan empowering, yakni ikut menyiapkan dan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (pelaku UMKM usaha mikro kecil). Dengan demikian, ada dua program untuk memberdayakan ekonomi rakyat dalam hal ini adalah pelaku usaha mikro kecil (UKM) dengan pendekatan empowering, yakni dalam bentuk kewirausahaan dan program kemitraan, dan kolaborasi bisnis. Pengembangan kewirausahaan yang dimaksud agar pengusaha kecil dapat membuat apa saja yang dapat mereka buat untuk menumbuhkan kreatifitas, sehingga jenis produk yang dihasilkan dapat beraneka ragam (economies of scope). Sedang bentuk kemitraan atau kolaborasi bisnis yang dimaksud adalah sebaiknya bergabung, agar menjadi besar. Karena usaha produksi yang lebih besar akan lebih efisien dan fisibel secara ekonomi. Bagi pengusaha mikro kecil (UKM), pengembangan usaha melalui kegiatan bersama atau berkolaborasi atau kemitraan skala usaha (economies of scale) dapat ditingkatkan, dan cakupan usahanya (economies of scope) juga dapat diperluas, serta dapat pula dikembangkan usaha produksi yang baru. Sejalan dengan hal itu, bargaining position pelaku usaha mikro kecil (UKM) dapat ditingkatkan atau diperdayakan, baik terhadap supplier (dalam pasar input) maupun terhadap mitra usahanya.
D. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitiannya adalah deskriptif kualitatif. Sumber datanya adalah data primer dan sekunder sebagai data pelengkap. Data primer diperoleh langsung dari sejumlah keluarga UMKM usaha mikro kecil yang ada di enam kecamatan kota Yogyakarta dengan wawancara dan teknik angket terstruktur. Sedang data sekunder diperoleh dari berbagai sumber literatur yang telah dipublikasikan oleh instansi–instansi terkait. Setelah semua data terkumpul sebelum diolah dan dianalisis terhadap instrument tersebut diberi kode. Selanjutnya dilakukan analisis, digunakan model analisis diskriptif eksploratif dan koparatif. Digunakannya model analisis tersebut karena penelitian ini adalah merupakan kasus pada khalayak sasaran pelaku UMKM usaha mikro kecil di enam kecamatan kota Yogyakarta. Selain itu, juga digunakan model analisis SWOT untuk menjelaskan secara rinci aspek–aspek yang menjadi kekuatan, kelemahan maupun peluang dan tantangan yang 76
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 dihadapi oleh pelaku usaha mikro kecil di enam kecamatan Kota Yogyakarta (Umbulharjo, Kotagede, Kraton, Ngampilan, Mantrijeron dan Wirobrajan). E. HASIL ANALISIS SWOT Analisis SWOT secara kualitatif membantu memperjelas jawaban dari pokok masalah penelitian yang diajukan. Dari sisi pendekatan konsep empowerment nampak bahwa, pada dasarnya usaha mikro kecil adalah sebagai penopang ekonomi daerah yang sebagian besar digeluti oleh kalangan menengah ke bawah. Terbukti, bahwa dalam proses produksi pelaku UKM cenderung memanfaatkan tenaga kerja dari lingkungan keluarga inti yang berakibat relatif murahnya biaya tenaga kerja, hal ini menjadi kekuatan atau modal dasar dalam menjawab kebutuhan pasar khususnya peluang pasar lokal yang relatif sangat besar. Keberadaan UKM ini secara keterkaitan juga memiliki keterkaitan ke belakang, yaitu dalam menjalankan usahanya pelaku UKM cenderung memanfaatkan potensi sumber daya ekonomi lokal atau bahan baku lokal; sedang keterkaitan ke depan mampu memberi peluang kerja kepada anggota keluarga sehingga kedua potensi ini dapat sebagai modal untuk lebih cepat diberdayakannya pelaku UKM di lingkungan sampel. Selanjutnya hasil penelitian menunjukkan bahwa, pembeli potensial yang sangat besar dan pembeli cenderung dapat mempengaruhi harga jual produk. Namun model pemasaran produk UKM ini umumnya masih dikelola secara tradisional hanya memanfaatkan tempat tinggal yang sederhana dan bersifat lokal. Ilmu ekonomi mengajarkan, untuk menjadi efisien dan mampu bersaing suatu usaha perlu mempunyai skala produksi minimum tertentu (efficiency economies of scale). Dengan demikian, para pelaku UKM perlu diberi pengertian dan bimbingan, bahwa produksi yang lebih itu lebih efisien, mereka perlu bergabung (berkolaborasi) agar menjadi besar. Oleh karena itu, salah satu solusinya adalah penggabungan usaha (aliansi sejenis) atau membentuk sentra–sentra usaha atau kolaborasi, maka cara ini yang akan dapat membantu memberdayakan ekonomi rakyat untuk berkembang secara mandiri. Dalam kondisi ini pengembangan usaha melalui kolaborasi bisnis dengan menciptakan kegiatan usaha bersama yang kreatif (collective busniess creative) merupakan alternatif utama. Karena itu, melalui kegiatan bersama ini dapat ditingkatkannya cakupan usaha yang lebih besar lagi (economies of scope) dapat dicapai, yang pada akhirnya skala usaha yang ekonomis (economies of scale) dapat terpenuhi. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan UMKM usaha mikro kecil di enam kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta, masih menghadapi beberapa permasalahan. Permasalahan pertama adalah pemasaran, tempat usaha cenderung memanfaatkan tempat tinggal dengan sarana sederhana, keterbatasan untuk mengetahui informasi peluang pasar baru, dan lainnya. Dan permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah modal usaha pada pelaku UMKM usaha mikro kecil perlu diperhatikan. Artinya, untuk mengembangkan ekonomi rakyat melalui usaha mikro kecil diperlukan pangsa pasar (market share) yang lebih luas supaya produksi meningkat, sehingga pendapatan juga meningkat yang pada akhirnya keuntungan pelaku usaha mikro kecil juga akan meningkat. Jika kondisi ini terjadi dalam jangka panjang, maka pengembangan UMKM usaha mikro kecil secara berkesinambungan akan terjadi. Namun untuk dapat mengembangkannya tetap membutuhkan modal usaha maupun dukungan dari pemerintah atau swasta sekalipun modal bukan sebagai faktor pertama, tetapi tetap utama. Solusi yang perlu dilakukan untuk memperbesar kedua faktor tersebut (pemasaran dan modal usaha) perlu dilakukan kolaborasi bisnis melalui keterkaitan 77
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 atau aliansi kerja sama antar sesama pelaku usaha mikro kecil yang mempunyai kesamaan produk dan tujuan, agar ke depan dapat berkembang menjadi usaha menengah dan besar yang maju, mandiri dan tangguh. Kolaborasi atau aliansi bisnis yang strategis tidak harus berbentuk koperasi atau usaha yang besar, karena aliansi dengan usaha besar selama ini justru membuat salah satu pelaku dalam aliansi tersebut menjadi tergantung bukan sebagai mitra kerja. Dalam situasi saat ini, kolaborasi bisnis melalui sistem aliansi strategis bagi pelaku usaha mikro kecil dan kewirausahaan muda sangat penting dilakukan, karena untuk memenuhi permintaan pasar atau ekspansi usaha yang masih terbatas. Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa, dari beberapa kelemahan yang antara lain ketrampilan SDM yang terbatas (artinya belum mempunyai keahlian khusus dalam menghasikan produk yang berorientasi pasar luar), terbatasnya modal untuk ekspansi usaha, semuanya itu pelaku usaha mikro kecil perlu melakukan usaha bersama (collective business) dengan sistem aliansi merupakan alternatif utama dalam meningkatkan efisiensi usaha (economies of scale) supaya lebih mampu untuk memperluas cakupan usaha (economies of scope). Dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini, peneliti berharap pemberdayaan ekonomi rakyat melalui strategi pengembangan kolaborasi bisnis atau aliansi usaha untuk meningkatkan efisiensi dan cakupan usaha pada kelompok pelaku usaha mikro kecil di enam kecamatan Kota Yogyakarta (Umbulharjo, Kotagede, Kraton, Ngampilan, Mantrijeron dan Wirobrajan) dapat berkesinambungan, sehingga kondisi ekonomi, martabat dan kesulitannya dapat terangkat yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat pelaku usaha mikro kecil yang sebagian besar masyarakat golongan menengah ke bawah dapat terwujud. 2.
78
Rekomendasi Ada beberapa masukan untuk Pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya mengembangkan dan memberdayakan UMKM khususnya usaha mikro kecil, maka ada beberapa rekomendasi kebijakan pengembangan UMKM yang dapat dilakukan di Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut : - Perlu menumbuhkan jiwa kewirausahaan pelaku UMKM usaha mikro kecil (yang meliputi program penumbuhan dan pengembangan kewirausahaan/ entrepreunership dan managerialship), mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi UMKM usaha mikro kecil yang antara lain dengan fasilitas perijinan dan registrasi UMKM secara transparan, mudah dan cepat. Kebijakan menumbuhkan produktivitas dan peningkatan kapasitas produksi UMKM khususnya usaha mikro kecil dalam memenuhi kebutuhan pasar melalui program bantuan sarana produksi, program pemahaman teknis produksi yang efektif dan efisien. - Kebijakan mendorong dan memfasilitasi peningkatan kualitas dan kompetensi SDM pelaku usaha mikro kecil antara lain : perilaku tentang organisasi dan manajemen usaha, peningkatan kemampuan inovasi produk dan peningkatan kemampuan managemen pemasaran. - Kebijakan yang mendorong pola pembiayaan usaha secara mudah dan terjangkau oleh pelaku usaha mikro kecil, program kerjasama kemitraan pemasaran dengan pasar modern yang saling menguntungkan, program kemitraan pembiayaan usaha dengan lembaga keuangan.
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 DAFTAR PUSTAKA Arogana, Panji & Djoko, Sudantoko, 2002,”Koperasi: Kewirausahaan dan Usaha Kecil”, Rineka Cipta, Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, Beberapa tahun terbit, Kota Yogyakarta Dalam Angka,Yogyakarta. Disperindagkoptan Provinsi DIY, 2010,”Peta Panduan UMKM dan Koperasi Kota Yogyakarta”, Yogyakarta. Disperindagkoptan Kota Yogyakarta, 2010,”Laporan Akhir Kajian Potensi UMKM Kota Yogyakarta”, Yogyakarta. Jaya, Wihana K., 2001,”Ekonomi Industri; Konsep Dasar, Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar”, Edisi 2, BPFE, Yogyakarta. Kuncoro.M., 2002,”Analisis Spasial dan Regional; Studi Aglomerasi dan Klaster Industri Indonesia”, UPP –AMP, YKPN, Yogyakarta. Rangkuti, Freddy. 2004,”Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan Strategi Untuk Menghadapi Abad 21”.GramediaPustakaUtama. Jakarta. Swastha DH.Basu, MBA; Irawan Drs, MBA.,”Manajemen Pemasaran Modern,”Penerbit Liberty, Yogyakarta. Sumodiningrat, Gunawan. 1999,”Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial”, Gramedia, Jakarta. Undang-Undang No.20 Tahun 2008, “Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah” Todaro, PM., 1995,”Perkembangan Ekonomi di Dunia Ketiga”, Cetakan Kedua, Penerbit Erlangga, Jakarta. Pemberdayaan Masyarakat dalam BIdang Ekonomi: Tinjauan Teoritik dan Implementasi Mardi Yatmo HutomoMardi Yatmo Hutomo, SU adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Wangsamanggala Yogyakarta. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Sehari Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan Bappenas, tanggal 6 Maret 2000 di Jakarta-red.
79
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Rebranding Yogyakarta sebagai Kota Wisata Budaya ( Oleh : Arif Wibawa, M.Si dan M. Edy Susilo, M.Si ) ABSTRAK Produk pariwisata juga memuat kemungkinan untuk selalu dilakukan inovasi baik inovasi produk maupun inovasi pemasaran. Rebranding sebagai langkah inovasi dalam pemasaran pariwisata di Yogyakarta mendesak dilakukan mengingat pencapaian wisatawan terutama wisatawan asing belumlah maksimal. Penelitian ini bertujuan. Mengidentifikasi faktor–faktor yang berpengaruh dalam penyusunan rebranding Yogyakarta sebagai kota wisata budaya. Menyusun strategi rebranding Yogyakarta sebagai kota wisata budaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan Interpretif, yang berarti memiliki arti membiarkan sesuatu menjadi manifes seperti apa adanya tanpa memaksakan kategori yang kita miliki kepada mereka. Objek penelitiannya adalah wisatawan mancanegara dan domestik, stakeholder pariwisata di Yogyakarta dan pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Dinas Pariwisata. Penelitian ini menemukan. Branding sebuah kota sangat diperlukan untuk menarik kunjungan wisatawan di kota Yogyakarta. Branding kota Yogyakarta masih menjadi satu dengan branding yang disusun oleh Pemerintah Provinsi. Branding yang disusun Pemerintah Provinsi ini secara sengaja maupun tidak disengaja telah menjadi branding kota Yogyakarta pula. Wisatawan mengenal Yogyaarta dengan branding “Jogja Never Ending Asia”. Branding “Jogja Never Ending Asia” dianggap sebagai brand yang cukup menarik sehingga untuk dalam waktu dekat perlu tetap dipertahankan. Akan tetapi brand itu sekarang ini dinilai hanya sebatas brand yang kosong karena tidak diikuti dengan langkah–langkah yang konkrit dalam mensosialisasikan brand tersebut ke seluruh stakeholder pariwisata di Yogyakarta. Kata kunci: Brand, Destination Branding, Rebranding, Wisata Budaya, Pariwisata. A. PENDAHULUAN Yogyakarta sudah lama dikenal sebagai kota budaya baik di tingkat nasional maupun internasional. Budaya yang hidup dan berkembang di Yogyakarta sebenarnya menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya. Sebagai kota budaya, Yogyakarta masih cukup kental memelihara berbagai tradisi Jawa di dalam masyarakatnya. Kraton Kesultanan Yogyakarta dan Puro Pakualaman menjadi pusat tradisi dan budaya Jawa yang berpengaruh. Kekayaan budaya kota Yogyakarta terserak di dalam berbagai bentuk dan ornamen kebudayaan mulai dari artefak–artefak budaya peninggalan masa lalu seperti gedung–gedung, bangunan–bangunan kuno dan candi–candi sampai ke upacara ritual dan perilaku masyarakatnya. Lebih dari itu, Yogyakarta juga memiliki banyak kesenian tradisional yang beragam dan atraktif. Kesenian tradisional itu ada yang melekat di dalam kehidupan masyarakatnya dan ada yang sekedar menjadi seni pertunjukan. Yogyakarta juga identik dengan kehidupan kampung–kampungnya yang unik dan eksotis. Kampung–kampung di Yogyakarta masih sangat kental beraroma budaya dan tradisi seperti kampung Sosronegaran yang kuat dengan wayang Kancilnya. Kampung Taman Sari yang kuat dengan batiknya, kampung Kota Gede dengan perak dan bangunan– bangunan kunonya. Namun demikian, kekayaan budaya yang dimiliki Yogyakarta belum sepenuhnya dikelola dan dikemas sebagai paket wisata yang dapat menarik banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Memang Yogyakarta sudah dikenal sebagai tujuan wisata kedua setelah Bali, tapi data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 80
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Yogyakarta masih tertinggal jauh dalam hal kemampuannya mendatangkan wisatawan, apalagi wisatawan manca, bila dibandingkan dengan Bali. Data berikut menunjukkan hal itu, jumlah tamu mancanegara yang menginap di hotel berbintang di Yogyakarta pada tahun 2009 hanya 112 ribu sedangkan di Bali 2 juta orang. Sedangkan tamu asing yang menginap di hotel non bintang di Yogyakarta pada tahun 2009 sebanyak 16.437 orang, di Bali 831.428 ribu orang. Data di Dinas Pariwisata Provinsi DIY menunjukkan bahwa pertumbuhan kunjungan wisatawan ke DIY tidak terlalu besar seperti terlihat di tabel berikut ini: Tabel Kunjungan Wisatawan ke DIY Tahun
Wisatawan Mancanegara
Pertumbuhan
Wisatawan Nusantara
Pertumbuhan
2006 2007 2008 2009 2010
78.145 103.224 128.660 139.492 152.843
-24.49 32.09 24.64 8.42 9.57
838.682 1.146.197 1.156.097 1.286.565 1.304.137
-13.52 36.99 0.86 11.29 1.37
Wisatawan Mancanegara dan Nusantara 914.827 1.249.421 1.284.757 1.426.057 1.456.980
Pertumbuhan
-14.58 36.57 2.83 11 2.17
Sumber: Dispar DIY. Pertumbuhan wisatawan yang mengunjungi Yogyakarta secara kumulatif tidak menunjukkan angka yang tinggi, yaitu 2.17% pada tahun 2010. Pertumbuhan tersebut sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi seandainya ada upaya maksimal dalam menata wisata budaya terutama di Yogyakarta. Data di atas secara tidak langsung menunjukkan, Yogyakarta masih belum maksimal dalam mengemas paket wisata budaya seperti halnya Bali. Kalau diteliti lebih jauh, kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali, bukan hanya tertarik oleh keindahan pantainya, sebab banyak tempat–tempat lain di dunia ini yang pantainya jauh lebih indah dari Bali. Tapi wisatawan asing itu datang ke Bali lebih tertarik pada budaya Bali yang memang eksotis dan original. Yogyakarta sebenarnya juga memiliki potensi yang sama dengan Bali dalam hal daya tarik budaya yang dimilikinya. Yogyakarta sebenarnya pernah juga menjadi kota yang diminati oleh wisatawan mancanegara di era tahun 1990-an, hal itu terbukti dengan maraknya kampung–kampung internasional seperti kampung Sosrowijayan, kampung Prawirotaman dan kampung Tamansari dengan kedatangan turis mancanegara. Kampung–kampung itu tampak semarak dengan aktivitas turisme pada waktu itu. Setelah badai krisis moneter tahun 1998 dan Peristiwa Bom Bali satu dan dua, turis mancanegara seolah menghilang dari Yogyakarta dan kelesuan itu masih berlanjut hingga saat ini. Kampung–kampung turis tidak seramai dulu lagi. Roda ekonomi di kampung–kampung itu juga tidak sekencang dulu lagi bergerak. Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut–larut, supaya Yogyakarta masih tetap eksis sebagai kota wisata, terutama kota wisata yang lebih digerakkan oleh budaya. Di samping itu, Yogyakarta tidak boleh kehilangan budayanya karena tidak adanya dukungan finansial untuk menghidupinya. Pariwisata dan budaya diharapkan bisa saling membentuk simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan, pariwisata memberi basis finansial bagi pengembangan budaya dan budaya memberi sumbangan nilai yang layak untuk dikemas dalam sajian pariwisata. Langkah pertama yang harus ditempuh untuk menghidupkan pariwisata budaya di Yogyakarta adalah melakukan rebranding dalam pemasaran pariwisata. Rebranding diperlukan untuk membentuk citra baru pariwisata di Yogyakarta. Dengan branding yang baru ini Yogyakarta lebih leluasa untuk mempromosikan pariwisatanya melalui perubahan kemasan produknya yang mungkin sudah dianggap ketinggalan atau tidak sesuai dengan 81
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 kebutuhan wisatawan. Dalam kegiatan rebranding ini, Yogyakarta juga dapat menata ulang produk–produk wisata yang akan disajikan kepada wisatawan. B. TUJUAN DAN MANFAAT 1. Tujuan Penelitian ini memiliki tujuan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor–faktor yang berpengaruh dalam penyusunan rebranding Yogyakarta sebagai kota wisata budaya. 2. Menyusun strategi rebranding Yogyakarta sebagai kota wisata budaya. 2.
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai rebranding Yogyakarta sebagai kota wisata budaya ini dapat menghasilkan temuan mengenai inovasi–inovasi promosi pariwisata yang manfaat pada perbaikan upaya promosi pariswisata di Yogyakarta. Promosi pariwisata yang baik, diharapkan dapat menarik kedatangan wisatawan baik mancanegara maupun domestik ke Yogyakarta. Pariwisata yang berkembang baik dan banyak mendatangkan wisatawan akan menghasilkan devisa dan pertumbuhan ekonomi positif bagi masyarakat Yogyakarta. Pada gilirannya, pariwisata yang berkembang dengan baik akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Yogyakarta. Di samping itu, pariwisata budaya yang berkembang dengan baik akan dapat menyediakan sumber finansial bagi pelestarian dan pengembangan budaya yang hidup di tengah masyarakat Yogyakarta. Tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara pariwisata dengan budaya.
C. TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Wisata Budaya Menurut Suyitno (2001: 8) pariwisata seringkali didefinisikan kegiatan melakukan perjalanan untuk sementara waktu, perjalanan tersebut dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, Perjalanan itu bagaimanapun bentuknya harus selalu dikaitkan dengan bertamasya atau rekreasi, orang yang melakukan perjalanan tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjungi dan semata-mata sebagai konsumen di tempat itu. Menurut Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990, yang dimaksud pariwisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata. Menurut definisi yang lebih luas pariwisata adalah perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu (Spillane dalam Rahmathadi, 2005: 35). Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang paling banyak memiliki pusaka budaya (heritage) dari masa lalu baik yang bersifat tangible teraga maupun yang tidak teraga (intangible). Berbagai pusaka budaya dari masa prasejarah, Hindu-Budha, Islam dan masa kolonial tersebar di seluruh Nusantara. Sumber daya tersebut sudah tentu akan sangat bermanfaat untuk pengembangan pariwisata budaya di Indonesia. Sementara itu muncul juga kecenderungan di kalangan masyarakat Eropa dalam dua dekade terakhir ini adalah keinginan untuk memahami jati dirinya melalui pusaka budaya (heritage) yang berasal dari masa lalu (Richards 1996). Upaya untuk memahami jati diri ini telah mendorong masyarakat Eropa untuk berwisata ke berbagai tempat atau situs bersejarah di berbagai negara guna mencari kebudayaan yang original atau otentik yang tidak mereka jumpai di negaranya sendiri. 82
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Namun demikian tidak semua obyek atau atraksi budaya tersebut dapat benar– benar dikembangkan secara mendalam sebagai daya tarik wisata budaya, mengingat bahwa keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh para pengembang baik materi maupun non materi, maka dari itu diperlukan suatu kriteria penilaian dalam menentukan obyek wisata tersebut benar–benar menarik dan layak untuk dikembangkan menjadi suatu obyek atraksi wisata budaya. Pariwisata budaya dapat didefinisikan secara sempit maupun luas. Dalam pengertian sempit, pariwisata budaya menyangkut perpindahan orang semata–mata karena motivasi budaya seperti: bepergian untuk tujuan studi, melihat seni pertunjukkan dan budaya, mengunjungi festival, mengunjungi monumen dan peninggalan purbakala, mengunjungi kesenian rakyat dan perjalanan (berziarah) ke tempat suci. Di sisi lain dalam pengertian luas, pariwisata budaya menyangkut semua perpindahan orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan akan sesuatu yang berbeda, mempertinggi budaya seseorang, memberi pengetahuan dan pengalaman (Lim 1996:161). Laster Borley (1996:181) menyatakan bahwa pariwisata budaya merupakan aktifitas yang memungkinkan wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan cara hidup orang lain, merefleksikan adat–istiadatnya, tradisi religiusnya dan ide–ide intelektualnya yang terkandung dalam warisan budaya yang belum dikenalnya. Dalam konteks ini Boniface (1995:115) menyatakan bahwa pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan cara–cara hidupnya serta hasil karyanya, teristimewa hasil karya pada zaman dahulu. Dari definisi di atas tampak kemudian bahwa upaya pemasaran produk pariwisata bukanlah upaya yang mudah. Pemasaran produk pariwisata menurut Rochayat Harun jauh lebih kompleks sifatnya dibandingkan dengan memasarkan produk perusahaan manufaktur yang umumnya berbentuk atau berwujud. Lebih lanjut Harun mengemukakan untuk memasarkan produk industri pariwisata perlu dipahami sifat dan karakter produk pariwisata yang akan ditawarkan. Salah satu upaya yang sangat menentukan keberhasilan, pemasaran produk pariwisata adalah penelitian pemasaran (Marketing Research). Pada umumnya research diartikan sebagai aktivitas mengumpulkan, mencatat dan menganalisa data dan fakta. Sedangkan yang dimaksudkan dengan marketing research adalah penyelidikan yang dilakukan terhadap aktivitas pembelian dan penjualan serta usaha–usaha penyampaian barang–barang dan jasa–jasa dari produsen kepada konsumen. Di tengah persaingan memperebutkan wisatawan yang sangat ketat seperti sekarang ini strategi branding dan rebranding sangat dibutuhkan. Branding Merek atau brand tidak dapat dipisahkan dari suatu produk dan penerapannya dapat menambah nilai suatu produk. Merek adalah nama, lambang, tanda desain atau kombinasi dari semuanya untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang ditawarkan. Merek adalah janji perusahaan yang menjual produk untuk secara konsisten memberikan manfaat dan jasa kepada konsumen. Merek yang baik memberikan garansi kualitas (Mahmud, 2010: 79). Brand/merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol, desain ataupun kombinasi yang mengidentifikasi suatu produk atau jasa dari seseorang atau sekelompok penjual untuk membedakannya dengan produk pesaing (Kotler, 2000). Merek menjadi sinyal bagi konsumen dalam mencari produk dan melindungi konsumen dan produsen dari pesaing yang juga menyediakan produk serupa (Aaker,1991). Berbagai definisi mengenai merek menekankan adanya hubungan antara konsumen dengan merek (consumer to brand relationship) dimana pada kenyataannya merek lebih dari sekedar nama, istilah, rancangan, tanda atau kombinasi dari hal–hal 83
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 tersebut, karena merek mempunyai aspek emosional di dalamnya. Merek mengandung nilai–nilai intangible, emosional, keyakinan, harapan serta penuh dengan persepsi pelanggan. Merek yang kuat dapat dilihat dengan sejauh mana menciptakan persepsi di benak konsumen. Perusahaan yang memiliki merek yang kuat dapat lebih mudah merebut peluang bisnis yang ada dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki merek yang kuat (Rangkuti, 2004). Pengetahuan merek atau brand knowledge adalah konsep yang berisi tentang hubungan sebuah merek dalam ingatan konsumen dimana terdapat keanekaragaman asosiasi yang terkait. Pengetahuan merek (brand knowledge) menurut Keller (1993) terdiri dari: kesadaran merek dan citra merek. Kesadaran merek menurut Rossiter dan Percy (Keller,1993), berhubungan dengan kekuatan sebuah merek dalam ingatan konsumen yang dicerminkan dalam kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi suatu merek pada kondisi yang berbeda. Kesadaran merek dibedakan menjadi dua, yaitu : Pengingatan kembali (brand recall) kemampuan untuk mengingat kembali suatu merek dalam ingatan konsumen. Pengenalan merek (brand recognition) kemampuan konsumen untuk membedakan merek yang pernah dilihat atau didengar sebelumnya. Kesadaran merek mempunyai peranan penting dalam tahap pembuatan keputusan (consumer decision making). Peranan penting itu meliputi: a. Hal yang terpenting bagi konsumen ketika memikirkan suatu merek adalah ketika mereka berfikir tentang kategori produk. b. Kesadaran merek dapat mempengaruhi keputusan tentang merek pada tahap pertimbangan. c. Kesadaran merek dapat mempengaruhi pembuatan keputusan oleh konsumen, dengan mempengaruhi formasi dan kekuatan dari asosiasi merek pada citra merek (brand image). Penciptaan suatu merek mengimplikasikan penyampaian suatu brand image tertentu sebagai suatu cara dimana semua yang ditargetkan oleh perusahaan terhubung dengan suatu merek (kemudian produk dijual dengan nama tersebut) dengan sekumpulan asosiasi. Citra merek (brand image) itu sendiri merupakan persepsi mengenai sebuah merek sebagai cerminan dari asosiasi merek yang melekat pada ingatan konsumen. Membangun brand image harus sesuai dengan pasar sasaran, kebutuhan pelanggan, kondisi persaingan, keuntungan dan alasan mengapa produk atau jasa tersebut diciptakan. Semua ini dilandasi oleh kuatnya brand value yang melekat pada merek tersebut. Konsumen yang terbiasa menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand image atau hal ini disebut dengan kepribadian merek (brand personality)(Rangkuti, 2004). Fungsi merek adalah fungsi asosiasi yang berhubungan dengan atribut intangible atau citra image yang ditambahkan dan memberikan keuntungan yang hnaya bisa dicapai jika sebuah produk mempunyai sebuah merek. Manfaat dari merek dalam hal ini adalah memberi tambahan nilai bagi produk dibandingkan dengan produk tanpa merek. Fungsi merek digunakan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari suatu penjual atau kelompok penjual dan untuk membedakannya dengan produk pesaing. Karakteristik khusus dari fungsi merek adalah merek memiliki sifat atau pembawaan alami yang positif sehingga jika nilai suatu merek semakin besar maka derajat atau tingkat nilai merek tersebut semakin besar pula. Destination Branding Setiap tempat atau lokasi dapat juga dibuat brand-nya dengan menciptakan dan mengkomunikasikan identitas lokasi yang bersangkutan. Kota, Negara saat ini telah aktif dikampanyekan melalui periklanan, directmail dan perangkat komunikasi lainnya. 84
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Keseluruhan strategi dan proses inilah yang dikenal dengan destination branding (Keller, 2003). Destination branding berarti merancang suatu tempat untuk memenuhi kebutuhan target market (Keller,2003). Lebih penting lagi destination branding adalah mengenai bagaimana konsumen merasakan suatu tempat di dalam benak mereka. Kekuatan brand terletak pada kemampuan membangun brand awareness terhadap suatu lokasi dan menghubungkan lokasi tersebut dengan asosiasi yang sesuai dengan yang diinginkannya. Ketika suatu lokasi mengatur untuk menciptakan rangka dasar dan infrastruktur destination brand-nya, lokasi tersebut harus mengenali target marketnya secara tepat. Target market secara potensial dari destination branding adalah kalangan produsen barang dan jasa, cabang perusahaan dan kantor regional, penanaman modal luar negeri dan pasar ekspor, turisme, penerimaan tamu (hospitality), warga negara dan penduduk baru. Destination branding dapat dikatakan sukses apabila warga negara dan puas dengan komunitas mereka, serta harapan–harapan para pengunjung dan para penanam modal dapat bertemu (Kotler, 2002). Rebranding Kota Perubahan logo atau Rebranding berasal dari kata re- dan branding. Re berarti kembali, sedangkan branding adalah proses penciptaan brand image yang menghubungkan hati dan benak pelanggannya. Jadi rebranding adalah suatu upaya atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk merubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan, yaitu berorientasi profit. Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Dengan kata lain, ketika melakukan rebranding maka yang berubah ialah nilai–nilai dalam merek itu sendiri. Dalam membuat sebuah city branding, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya: Attributes. menggambarkan sebuah karakter, daya tarik, gaya dan personalitas kota. Message. menggambarkan sebuah cerita, menyenangkan dan selalu mudah diingat. Differentiation, unik dan berbeda dari kota–kota yang lain. Ambassadorship, menginsipirasi orang untuk datang dan ingin tinggal di kota tersebut (Suharno,2010). D. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana para informan memahami dan memaknai mengenai branding dan rebranding kota Yogyakarta. Peneliti juga menggali dari mana informan mendapatkan informasi tersebut. Penelitian ini objek wisatawan mancanegara dan domestik, stakeholder pariwisata di Yogyakarta dan pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Dinas Pariwisata. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan kuisioner. Analisis data dilakukan secara kualitatif. E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Branding sebuah kota sangat diperlukan untuk menarik kunjungan wisatawan di kota Yogyakarta. Branding kota Yogyakarta masih menjadi satu dengan branding yang di susun oleh Pemerintah Provinsi. Branding yang disusun Pemerintah Provinsi ini secara sengaja maupun tidak disengaja telah menjadi branding kota Yogyakarta pula. Wisatawan mengenal Yogyakarta dengan branding “Jogja Never ending Asia”. Branding “Jogja Never Ending Asia” dianggap sebagai brand yang cukup menarik sehingga untuk dalam waktu dekat perlu tetap dipertahankan. Akan tetapi brand itu sekarang ini dinilai hanya sebatas brand yang kosong karena tidak diikuti dengan langkah–langkah yang konkrit dalam mensosialisasikan brand tersebut 85
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 ke seluruh stakeholder pariwista di Yogyakarta. Selain ini brand ini juga belum diikuti dengan langkah–langkah revitalisasi dan rekondisi produk–produk wisata budaya yang ada di Yogyakarta. Branding yang ada juga belum diikuti dengan perubahan pelayanan bagi para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Branding yang ada sudah selayaknya diikuti dengan tiga langkah yang disarankan oleh Michael Porter maupun responden dalam penelitian ini, yaitu: be a good host , menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan, treat your gues properly, memperlakukan tamu denagan keramah–tamahan dan building home sweet home, memberi rasa aman dan nyaman bagi wisatawan yang datang. Rekomendasi Pemerintah kota Yogyakarta hendaknya merancang sebuah tahapan–tahapan branding kota Yogyakarta dengan melakukan revitalisasi dan rekondisi obyek–obyek wisata budaya, menetapkan dan melakukan koordinasi dengan pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman untuk revitalisasi branding “Jogja Never Ending Asia” sebagai branding bersama. Branding bersama tersebut harus dikoordinatori dan dimotori oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mencegah terjadinya branding sektoral antar kota dan kabupaten yang dapat merugikan citra Yogyakarta sebagai tujuan wisata budaya. Melakukan langkah untuk mengisi dan mewujudkan branding tersebut dengan menghidupkan gerakan sadar wisata secara terus–menerus kepada seluruh lapisan masyarakat di Yogyakarta, terlebih pada masyarakat yang bersentuhan langsung dengan industri pariwisata seperti penjual cinderamata, restoran dan penyedia transportasi seperti tukang becak dan kusir andong. DAFTAR PUSTAKA Aaker, David, 1991,Managing Brand Equity, Capitalizing on the Value of Brand Name, The Freepress, New York. Boniface, Priscilla & Peter J. Fowler, Heritage and Tourism in the Global Village. Routledge. London.1993 Hidayat, Dedy N, Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, dalam Jurnal ISKI, No 3/April 1999. Kartajaya, Hermawan, 2006, Siasat Memenangkan Persaingan Global, Marketing Plus 2000, Gramedia, Jakarta. Keller, KL, 1993, A Study of Brand Equity in an Organization-Buying Context, Journal of Marketing Vol. 7 Januari pp 1 -22. Kotler, Philip, 2000, Marketing Management, Edisi Bahasa Indonesia, PT. Prehalindo, Jakarta. Machfoedz, Mahmud, 2010, Komunikasi Pemasaran Modern, Cakra Ilmu, Yogyakarta. Moleong, Lexy J. 2004, Metode Penelitan Kualitatif, Rosda, Bandung Mulyana, Deddy, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Rosda, Bandung Norman, K Denzin, Yvona Lincoln, 1994, Hand Book of Qualitative Research, California: SAGE Publications. Putra, Heddy Shri, Ahimsa, Mengembangkan Wisata Budaya dan Budaya Wisata Sebuah Refleksi Antropologis, Pusat Studi Pariwisata UGM, Yogyakarta. ---------------, Perencanaan Wisata Budaya, Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Yogyakarta, 2000. Suyitno, 2001, Perencanaan Wisata, Kanisius, Yogyakarta. Spillane, James, 1987, Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya, Kanisius, yogyakarta. Sarantokos, Sotirios, 1998. Social Research. McMillan,Melbourne. 86
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Skripsi : Sidik, Rahmathadi, 2005, Strategi Komunikasi Pemasaran Pariwisata Daerah di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman dalam Meningkatkan Jumlah Wisatawan, Jurusan Ilmu Komunikasi, UPN “Veteran”Yogyakarta. Wiryandi, 2004, Branding terhadap Negara (State Branding), Studi Kasus Branding Singapura “Uniquely Singapore”, Jurusan Hubungan Internasional, UPN “Veteran”Yogyakarta.
87
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Aplikasi Website Pemasaran Dengan Teknik SEO (Search Engine Optimazion) Untuk Mempromosikan Produk-Produk UMKM ( Oleh : Fatsyahrina Fitriastuti, S.Si, MT ) ABSTRAK Penelitian ini merancang dan membangun suatu aplikasi yang berbasis website yang digunakan untuk memasarkan produk–produk Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) yang ada di wilayah Kota Yogyakarta. Hasil rancangan aplikasi ini tidak hanya sekedar sebuah website tetapi juga dilengkapi dengan beberapa teknik–teknik optimalisasi website atau lebih dikenal dengan Search Engine Optimization (SEO), yaitu teknik yang bisa membuat website berada pada posisi–posisi atas suatu search engine ternama. Terdapat faktor internal dan faktor eksternal yang dapat diterapkan pada teknik SEO ini. Obyek penelitian dipilih daerah pengrajin perak di Kotagede. Pemilihan ini berdasarkan bahwa syarat untuk optimalisasi website, adalah kekhasan atau ciri khas content website. Aplikasi website yang dihasilkan memungkinkan untuk setiap showroom atau pengrajin perak mempunyai satu atau lebih akun untuk memasarkan produk dan hak untuk mengelola halamannya sendiri sehingga ketergantungan terhadap administrator bisa berkurang. Aplikasi website ini dapat diterapkan pada produk–produk UMKM yang lain yang mempunyai ciri khas Yogyakarta seperti batik, makanan khas atau hasil–hasil kerajinan lainnya. Website dirancang dengan bahasa pemrograman PHP dan database server MySQL. Kata kunci : website pemasaran, Search Engine Optimization, PHP, MySQL A. PENDAHULUAN Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik(BPS), menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung oleh produksi dari UKM (59,3%). Data–data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output (Adiningsih, 2008). Potensi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Yogyakarta juga cukup besar. Terdapat 4.545 IMKM (Industri Menengah Kecil dan Mikro) yang tersebar di 14 kecamatan dengan 5 cabang jenis usaha (sumber www.http://umkm.jogjakota.go.id/). Hal ini diharapkan akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat Yogyakarta sehingga perlu untuk didorong dan dikembangkan agar menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan berdaya saing. Masalah utama dalam pengembangan UMKM pada umumnya adalah terkait dengan masalah pemodalan dan pemasaran (Primiana, 2011). Untuk masalah pemodalan bisa teratasi dengan adanya kebijakan pemerintah yang terkait dengan pengucuran kredit untuk para UMKM. Sementara untuk permasalahan pemasaran, baik pemerintah maupun pihak swasta sering menggelar pameran–pameran untuk mempromosikan hasil–hasil produksi dari UMKM. Selain itu pemasaran juga masih bersifat konvensional, melalui face to face atau melalui media telepon. Akan tetapi cara–cara demikian dinilai belum terlalu efektif untuk memaksimalkan pemasaran produk-produk UMKM karena hanya 88
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 diselenggarakan pada waktu–waktu tertentu, produk–produk yang ditawarkan masih terbatas dan cakupan area pemasaran yang juga masih terbatas. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dihandalkan untuk mempromosikan produk–produk UMKM. Terlebih munculnya perkembangan internet yang begitu cepat dan semakin mudah dan murahnya mengakses internet melalui berbagai media komunikasi mulai dari komputer desktop, laptop, netbook bahkan telepon seluler. Statistik penggunaan internet di dunia mengalamai pertumbuhan yang luar biasa pada sepuluh tahun belakangan ini (tahun 2000–2010), yaitu 480,4%. Pemasaran produk–produk dari para UMKM yang dilakukan melalui media website memberikan banyak keuntungan baik bagi pemasarnya maupun bagi pemakai atau customer. Dari sisi pemasarnya yang dalam hal ini para UMKM, pemasaran melalui media website memberi keuntungan diantaranya, promosi bisa dilakukan 24 jam nonstop tanpa dibatasi ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja, dapat digunakan untuk menyediakan informasi selengkap dan sedetil mungkin dan dapat selalu di update, merupakan jalur distribusi baru dalam mempromosikan hasil–hasil produksinya, dan mengurangi anggaran pemasaran. Bagi para pemakai atau customer pemasaran melalui media website dapat mengurangi gangguan terhadap salesman yang saat ini begitu maraknya, dapat melihat produk–produk yang ditawarkan kapan dan dimana saja juga tanpa dibatasi ruang dan waktu. Penelitian ini akan merancang dan membangun sebuah website pemasaran yang disediakan untuk mempromosikan produk–produk dari para UMKM yang ada di Kota Yogyakarta. Setiap UMKM akan mempunyai satu atau lebih account atau analogi dengan satu tempat di website untuk mempromosikan produknya. Untuk lebih meningkatkan peran website dalam memasarkan produk, akan dilakukan dengan pendekatan SEO (Search Engine Optimazion), yaitu website dapat ditampilkan pada halaman utama/halaman atas pada setiap search engine yang populer seperti Google, Yahoo, MSN dan lainnya. Obyek penelitian yang dipilih adalah UMKM yang berada di wilayah Kota Yogyakarta, khususnya yang menghasilkan produk–produk yang khas Yogyakarta. Dari berbagai alternatif pilihan produk UMKM yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu kerajinan dan umum, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika, pengelolaan pangan, sandang dan kulit, diambil sampel kerajinan perak di Kecamatan Kotagede. Pemilihan kerajinan perak ini dengan pertimbangan untuk membuat sebuah website yang digunakan untuk pemasaran, diperlukan content yang spesifik sehingga mudah dikenali oleh mesin pencari (search engine). B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Merancang dan membangun website pemasaran untuk mempromosikan produk–produk UMKM. 2. Melengkapi website pemasaran dengan pendekatan teknik SEO (Search Engine Optimization)sehingga sering dikunjungi banyak orang? 3. Mencari teknik–teknik SEO yang yang tepat untuk meningkatkan rating website pemasaran tersebut. Manfaat yang akan diperoleh perusahaan setelah pengimplementasian rancangan sistem ini adalah sebagai berikut: 1. Menyediakan sarana untuk mempromosikan produk–produk dari para UMKM melalui media website dengan pendekatan teknik SEO (Search Engine Optimization) untuk mengembangkan usaha dari para UMKM 2. Memberikan kemudahan kepada pembeli untuk melakukan transaksi pembelian. 3. Pembeli dapat melakukan transaksi setiap saat dan di mana pun juga. 4. Memperluas jangkauan daerah pemasaran dengan pangsa pasar. 89
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 C. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang telah dilakukan oleh Joko, dkk (2005), menghasilkan Penjualan Mobil Berbasis Web Dan Manajemen Data Pembayaran di Showroom Mobil XYZ. Dalam penelitian tersebut telah dilakukan pengembangan suatu sistem showroom virtual pada suatu showroom mobil sehingga dapat dilakukan pemasaran dan penjualan mobil disertai dengan informasi pembayaran customernya melalui Web. Sistem dikembangkan berdasarkan kebutuhan pengguna terhadap sistem dan prosedur penjualan pada showroom tersebut. Padahal kondisi satu showroom dengan showroom yang lain kemungkinan besar berbeda, sehingga sistem hanya dapat diterapkan pada showroom tersebut. Penelitian serupa telah dilakukan Indayani & Selly (2007), menghasilkan Analisis dan Perancangan Sistem Informasi Penjualan Berbasiskan Web pada PT. Dairyfood Internusa yang difokuskan pada sistem informasi penjualan online yang terdiri dari penerimaan pesanan dari pelanggan, pengiriman barang ke pelanggan, retur penjualan dan penyediaan laporan. Dalam penelitian tidak ditonjolkan bagaimana mekanisme memasarkan produk melalui media internet dan hasil penelitian ini hanya disesuaikan dengan kondisi PT. Dairyfood Internusa sehingga tidak dapat diterapkan untuk perusahaan lain. Purnomo, S (2009) telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan website pemasaran. Penelitian tersebut menghasilkan Perancangan Sistem Informasi Pemasaran Handycraft Berbasis Website. Hasil penelitian ini adalah website e–commerce yang digunakan untuk memasarkan handycraft. Perancangan dan pembuatan website e– commerce ini menggunakan software joomla virtuemart. Keunggulan dari penggunaan Joomla adalah kemudahan dalam hal perancangannya dan perawatannya karena Joomla adalah sebuah framework untuk pembuatan website. Tetapi kelemahannya adalah banyaknya tabel pada basis data dan masalah keamanan. Hurryati, dkk (2009) melakukan penelitian dengan judul Strategi Pemasaran, Usaha Kecil, Web 2.0 dan Daya Saing Industri Kecil. Penelitian dilakukan di wilayah kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen, di mana pada tahap awal dirancang kriteria model strategi pemasaran usaha kecil berbasis web 2.0 yang akan dijadikan percobaan melalui need assesment. Kemudian dilanjutkan dengan membuat rancangan sistem web 2.0 berdasarkan model strategi pemasaran usaha kecil yang akan diterapkan. Pada tahap selanjutnya dilakukan uji coba implementasi pada sistem web 2.0 dengan menggunakan model strategi pemasaran usaha kecil yang akan diterapkan pada satu industri kecil. Kemudian dilakukan juga uji coba pada sistem pemasaran konvensional dengan model strategi pemasaran usaha kecil pada usaha kecil yang membuat produk dan pada industri yang sama. Pada proses uji coba implementasi baik pada sistem pemasaran berbasis web 2.0 maupun sistem pemasaran konvensional. Dari uraian di atas, nampak bahwa sebagian besar penelitian adalah membangun website dengan tujuan untuk memasarkan suatu produk dan menyediakan tempat pemesanan secara online. Website yang dihasilkan hanya dapat digunakan untuk memasarkan produk dari suatu perusahaan dan website dirancang sesuai dengan kondisi perusahaan tersebut. Sehingga website yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk perusahaan lain. Berdasarkan referensi dari penelitian–penelitian tersebut, maka pada penelitian ini dirancang dan dibangun suatu website interaktif dan dinamis yang dapat digunakan untuk memasarkan produk UMKM dan memberikan sentuhan–sentuhan pendekatan teknologi SEO agar supaya website lebih optimal penggunaannya dalam pemanfaatannya sebagai alat pemasaran produk UMKM. Website menyediakan tempat untuk setiap UMKM mempunyai halaman sendiri yang digunakan untuk memasarkan produk. Dengan demikian website dapat dimanfaatkan oleh banyak pengrajin untuk memasarkan produknya. 90
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 D. METODE PENELITIAN Metodologi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah Studi Literatur, SDLC (Sistem Development Life Cycle) yang meliputi tahap Analysis, Design, Implementation, Testing dan Maintenance, (Pressman,2002). 1. Studi Literatur Tahap ini merupakan tahap pengumpulan informasi dan literatur yang diperlukan untuk pembuatan sistem. 2. Analisis dan Perancangan Pada tahap ini dilakukan analisis serta desain yang diperlukan dalam membuat sistem, diantaranya perancangan DFD, perancangan basisdata, dan perancangan user interface 3. Coding Rancangan sistem yang telah dibuat akan diimplementasikan dengan melakukan coding program menggunakan web editor, image editor, bahasa pemrograman PHP, database server MySQL, Cascading Style Sheet (CSS). 4. Uji coba dan evaluasi Pada tahap ini, akan dilakukan uji coba dan evaluasi terhadap sistem serta akan dilakukan perbaikan–perbaikan yang diperlukan. Ujicoba dilakukan dengan memasang aplikasi pada server lokal. 5. Implementasi Tahap terakhir adalah mengimplementasikan aplikasi yang telah dibuat dan telah diuji server lokal. Aplikasi akan disimpan dalam hosting dengan nama domain tertentu. E. HASIL DAN PEMBAHASAN Langkah awal dilakukan penelitian ini adalah pemilihan produk UMKM yang tepat untuk ditonjolkan dalam website yang akan dirancang ini. Dari berbagai alternatif pilihan produk UMKM yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu kerajinan dan umum, kimia dan bahan bangunan, logam dan elektronika, pengelolaan pangan, sandang dan kulit, diambil sampel kerajinan perak di Kecamatan Kotagede. Pemilihan kerajinan perak ini dengan pertimbangan untuk membuat sebuah website yang digunakan untuk pemasaran, diperlukan content yang spesifik sehingga mudah dikenali oleh mesin pencari (search engine). Setelah penentuan jenis produk kerajinan UMKM yang akan ditampilkan dalam website, dilanjutkan melakukan survei ke para pengrajin perak di wilayah Kotagede. Survei dilakukan dengan mendatangi secara acak para pengrajin perak di Kotagede. Tujuan dari survei ini adalah mengetahui sejauh mana pemasaran produk yang telah dilakukan dan sejauh mana pemahaman para pengrajin tentang teknologi internet terutama pemanfaatanya dalam memasarkan produk. Responden dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : a. Kelompok I melakukan promosi tidak melalui media internet b. Kelompok II melakukan promosi melalui media internet tapi tidak pernah diupdate/dirawat. c. Kelompok III melakukan promosi melalui media internet dan diup date Hasil survei (dilakukan terhadap 25 pengrajin secara random) : a. 90% pasar produk adalah dalam negeri b. 50% pemasaran sudah melalui media internet seperti social networking atau sekedar email. c. 50% pemasaran sama sekali belum tersentuh media internet d. 78,5% pengrajin tidak mempunyai anggaran khusus untuk promosi e. 50% pengrajin buta dengan teknologi internet f. Ada beberapa masukan dari pengrajin
91
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Dari hasil survei di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diperoleh : a. Kesempatan untuk membuka pasar lebih luas ke pasar internasional. b. Dibutuhkan kegiatan promosi tanpa biaya yang tinggi tapi cakupan pemasaran menjadi lebih luas. c. Perlu adanya pengenalan/sosialisasi pemasaran produk dengan memanfaatkan teknologi internet. d. Perlu untuk melakukan perancangan website pemasaran yang sederhana sehingga dipergunakan baik bagi para pemula maupun yang sudah biasa. Relasi Tabel Relasi tabel pada website pemasaran produk perak seperti pada gambar 4.1. Pada gambar relasi tabel dapat dilihat bahwa terdapat 3 tabel utama yang saling berelasi, yaitu tabel galeri, tabel kategori dan tabel pemilik.
Gambar 4.1 Relasi Antar Tabel Context Diagram Context Diagram atau diagram konteks adalah diagram yang terdiri dari suatu proses dan menggambarkan ruang lingkup suatu sistem. Diagram konteks merupakan level tertinggi dari DFD yang menggambarkan seluruh input ke sistem atau output dari sistem. Context Diagram memberi gambaran tentang keseluruhan sistem. Dalam diagram konteks hanya ada satu proses, dan tidak ada store di dalam Context Diagram. Context Diagram pada website pemasaran ini menjelaskan secara garis besar alur data yang terjadi. Diagram ini merupakan context diagram yang telah dipecah menjadi bagian yang lebih rinci, kemudian diagram level 0 dipecah menjadi diagram level 1, diagram level 2, dan seterusnya sesuai dengan kompleksifitas. Context Diagram website pemasaran dapat dilihat pada Gambar 4.2.
92
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
Gambar 4.2 Context Diagram Sistem Pada context diagram di atas terdapat tiga entitas eksternal yang berhubungan dengan aplikasi, yaitu: a. Admin adalah orang yang mempunyai hak tertinggi dalam aplikasi dan berperan sebagai pengelola website. Admin dapat melakukan semua proses pengelolaan data yang ada dalam website, menyaring data–data yang tidak perlu, dan merawat website. b. Toko/Showroom adalah pemilik toko/showroom/pengrajin yang mempunyai hak untuk mengelola halaman website yang dapat digunakan untuk mempromosikan produk. Toko/Showroom dapat membuat akun yang berupa username dan password untuk mempromosikan produk. c. User adalah orang yang dapat mengakses website atau bisa dikatakan sebagai pengunjung website. DFD Level 1 DFD (Data Flow Diagram) level 1 menjelaskan lebih rinci proses–proses yang terjadi pada context diagram. Pada website pemasaran ini terdapat 10 proses, yaitu proses validasi login, proses pengelolaan toko, proses pengelolaan kategori perak, proses pengelolaan galeri, proses pengelolaan header, proses pengelolaan pesan, proses pengelolaan testimoni, proses pengelolaan order, proses pengelolaan penjualan perak, proses pengelolaan toko/showroom dan informasi penjualan perak. Desain Antarmuka Sistem Modul digunakan untuk memudahkan pemrogram dalam menyusun menu, menggolongkan proses dan mengatur hak akses. Modul dalam sistem ini terbagi menjadi 2 bagian utama, yaitu halaman admin (back_sistem) dan halaman user (front_sistem). Untuk mempermudah pembuatan antarmuka, terlebih dahulu dirancang HIPO (Hierarchy Plus Input-Process-Output) atau HIPO Chart untuk menentukan fungsi–fungsi program. Desain Menu Back_Sistem Desain menu back_sistem untuk website pemasaran perak ini disusun berdasarkan jenis user (user group) yang mengakses. User group dibedakan menjadi 2, yaitu admin dan pemilik toko/showroom. Masing–masing group memiliki hak akses yang berbeda–beda. Dari kedua gambar desain menu di atas, dapat diketahui bahwa untuk group Admin memiliki hak akses penuh mengelola semua menu–menu yang ada pada sistem, sementara untuk group OPERATOR hanya dapat mengelola menu toko miliknya sendiri.
93
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Desain Menu Front_Sistem Desain menu pada front_sistem (halaman user) untuk untuk sistem informasi pola pengelolaan sumber daya air berbasis web ini terdiri dari 8 menu utama, yaitu Beranda, Tentang Kami, Daftar Toko, Peta, Hubungi Kami, Kategori, Produk Terbaru dan Testimoni. Implementasi Sistem Pada tahap implementasi dilakukan beberapa tahap proses uji coba untuk mengetahui apakah sistem dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diharapkan atau belum. Implementasi merupakan tahap dimana sistem sudah siap dioperasikan pada keadaan yang sebenarnya, di sini akan kelihatan apakah sistem yang dibuat benar–benar dapat menghasilkan informasi yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Karena apabila terjadi kesalahan dapat diketahui terlebih dahulu, maka dapat dilakukan perbaikan sebelum program digunakan untuk selanjutnya. Aplikasi website pemasaran ini mempunyai alamat di www.yogyakartasilver.com dan aplikasi ini dibuat dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Halaman Awal User Halaman awal user merupakan link menuju halaman–halaman yang lain, yaitu: Sign-In, Beranda, Artikel, Showroom, Peta, Kategori, Produk Terbaru, Testimonial. Bentuk tampilan halaman awal user ditunjukkan pada gambar 4.6. Keunggulan dari rancangan website ini adalah bahwa setiap showroom perak atau pengrajin perak dapat mendaftarkan showroom mereka di website ini dan kemudian mempunyai hak untuk mengatur profil dan menawarkan produk–produk. Bahkan setiap showroom perak bisa memiliki lebih dari satu akun (username dan password).
Gambar 4.6 Halaman Awal User
94
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Halaman Awal Admin Halaman awal admin merupakan halaman untuk melakukan setup data sistem ini, yaitu : Beranda, Pesan, Testimonial, Pengaturan Panel, Daftar Toko, Tambah Kategori, Ubah Peta, Ubah Produk, Ubah Header, Ubah Sidebar Kanan, Ubah Sidebar Kiri, Ubah Password, Ubah Kontak Kami. Bentuk tampilan halaman awal admin ditunjukkan pada gambar 4.7.
Gambar 4.7 Halaman Awal Admin Teknik Search Engine Optimization (SEO) Dalam bahasa Inggris disebut Search Engine Optimization (SEO), adalah cara yang harus ditempuh agar website berhasil menduduki posisi atas untuk keyword yang diharapkan. Ada dua faktor utama yang harus diperhatikan pada proses SEO, yaitu : •Faktor Internal (berhubungan dengan penulisan content website dan HTML) •Faktor Eksternal (berhubungan dengan link popularity) Faktor Internal Teknik–teknik yang berkaitan dengan faktor–faktor internal dalam teknik SEO yang diterapkan dalam peneltian ini adalah : Content Web Dalam menentukan rangking, search engine sangat memperhatikan content website sebagai salah satu acuan untuk menentukan tingkat relevansi. Maka dari itu content berupa teks murni wajib dipakai agar website mudah dilisting. Oleh karena itu dalam perancangan website ini, untuk setiap gambar produk yang ditampilkan selalu dilengkapi dengan nama dan keterangan produk, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Keyword Menempatkan keyword pada tag
dan pada attribut ALT dalam tag . Jika pengoptimalan website untuk keyword salah bisa berakibat fatal. Meskipun website berada di posisi paling atas pada halaman pertama, tetap saja tidak berguna sebab 95
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 keyword yang dipakai tidak pernah dicari orang. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini dengan menggunakan alat bantu seperti yang disediakan WordTracker.com. WordTracker.com memiliki database keyword populer berdasarkan data dari beberapa search engine utama. Dengan mengetikkan topik dari content website dan dalam beberapa saat WordTracker bisa memberikan keyword–keyword yang berhubungan dengan topik tersebut. Dalam penelitian ini, keyword yang digunakan adalah silver, Kotagede, Yogyakarta dan alternatif keyword yang diberikan WordTracker.com adalah sebagai berikut : pusat silver, centre silver, silver jogja, jogja silver, silver yogyakarta, buy silver, beli silver, perak kotagede, pusat perak, kerajinan perak, silver center, kotagede, hand made, kemasan. Keyword tersebut ditempatkan pada source code program. Faktor Eksternal a. Link Popularity Faktor yang dimaksud adalah link popularity, yaitu banyaknya link dari website lain yang mengarah ke website. Dalam perancangan website ini, disediakan Daftar Link yang mengacu kepada alamat–alamat website tertentu. b. Content yang Menarik Secara alami link akan didapat jika website memiliki sesuatu yang berguna bagi pengunjung. Jika hendak memasang link ke website lain, tentu ingin menunjukkan suatu informasi untuk pengunjung situs. Tidak mungkin memasang link hanya untuk iseng, atau tanpa tujuan. Dalam perancangan website ini terdapat satu menu Artikel yang disediakan untuk meng–update berita–berita atau informasi seputar perak, kotagede atau Yogyakarta. c. Iklan di iklan–iklan baris di internet d. Pendaftaran account di Facebook, Twitter e. Pendaftaran url website di search engine (Google, yahoo, bing, msn) F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Perkembangan teknologi internet yang semakin mudah dan murah diakses oleh siapa, kapan dan dimana saja dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha UMKM dalam hal pemasaran. 2. Mempromosikan produk–produk UMKM melalui website pemasaran dapat meningkatkan penjualan jika website selalu dikelola dan diupdate isinya secara terus menerus. 3. Agar supaya website sering dikunjungi banyak orang, maka perlu dilakukan strategi, dengan pendekatan teknik SEO (Search Engine Optimization), yaitu optimalisasi website baik secara intenal maupun eksternal. 4. Diperlukan Sumber Daya Manusia yang konsen dalam perawatan dan pengelolaan website pemasaran ini agar hasil yang diperoleh bisa optimal. 2. Rekomendasi Rekomendasi Untuk Pemerintah Kota : 1. Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan memberikan fasilitas–fasilitas untuk menyediakan tempat (hosting) bagi website pemasaran sebagai sarana promosi bagi produk–produk para UMKM dengan bandwidth yang memadai. 2. Pemerintah Kota Yogyakarta diharapkan memberi bantuan kepada para UMKM berupa akses internet terutama bagi yang produk–produknya merupakan ciri khusus Kota Yogyakarta. 96
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 3. Pemerintah Kota diharapkan sering menyelenggarakan pelatihan–pelatihan teknologi informasi kepada para pemilik UMKM supaya mereka mempunyai pengetahuan yang selalu ter-update mengenai teknologi informasi sehingga dapat mengembangkan usaha para pelaku UMKM dengan memanfaatkan perkembangan TI. 4. Pendampingan dalam melakukan pemasaran melalui website secara berkelanjutan. 5. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model aplikasi website yang efektif dan tepat untuk memasarkan produk baik dari sisi pemasar maupun user yang memanfaatkan aplikasi website pamasaran ini. 6. Teknik–teknik optimalisasi website pemasaran ini masih dapat diteliti lebih jauh, karena keterbatasan waktu sehingga belum semua teknik optimalimasasi website dapat diujicobakan. 7. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk masalah keamanan website karena menyangkut pemesanan dan pembelian secara online. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, S. 2008. ”Regulasi Dalam Revitalisasi Usaha Kecil Dan Menengah Di Indonesia”. Diakses pada tanggal 1 April 2011. Jogiyanto, HM. 2001. “Analisis dan Desain Sistem Informasi”. Andi Offset. Yogyakarta. Kadir, A. 2001.“Dasar Pemrograman WEB Dinamis Dengan Menggunakan PHP”. Andi Offset. Yogyakarta Ladjamudin, A.B. 2005.“Analisis dan Desain Sistem Informasi.”Graha Ilmu. Yogyakarta. Pressman, Roger, 2002.”Rekayasa Perangkat Lunak Pendekatan Praktisi”. Andi Offset. Yogyakarta. Primiana, I. 2011. “Mengembangkan Alternatif Pembiayaan Dan Pemasaran UKM”. Diakses pada tanggal 2 April 2011 di http://www.bisnisjabar.com. Sutanta, E. 2004.“Sistem Basis Data”. Graha Ilmu. Yogyakarta Sutarman. 2007. “Membangun Aplikasi WEB Dengan PHP dan MYSQL”. Graha Ilmu.Yogyakarta.
97
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Mengembangkan Peranan Komunitas “Becak”Sebagai Penguatan Terhadap Simbol Yogyakarta Kota Budaya ( Oleh : Dra. MC. Candra Rusmala D, M.Si) Abstract Government of Yogyakarta took policy to keep the traditional transportation, pedicab, as an efforts of culture preservation. Moreover, pedicab, is expected to be a symbol of its culture. However, the pedicab community has many problems. Therefore the aims of the research to find out that the community can be used as a reinforcement of symbol of Yogyakarta as the culture city. This research uses a qualitative descriptive approach, with 25 respondents which were consisting of pedicab drivers, pedicab community board, Yogyakarta transportation services, Yogyakarta tourism services and hotel managers. Based on interviews and Focus Group Discusion (FGD), obtained results that the community can give maximum contribute as reinforcement of culture symbol of Yogyakarta. The element of the culture are behavior, knowledge and pedicab transportation. They should be improved. Meanwhile the role of community development needs goodwill from the others, especially the local government, the private sector (stakeholders of tourism) and the community be an integral and comprehensive. Key Word: pedicab community, symbol, culture. A. PENDAHULUAN Yogyakarta sebagai kota budaya memiliki simbol–simbol yang begitu banyak dalam pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun dalam pandangan masyarakat mancanegara. Simbol–simbol ini sungguh khas dan unik yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang lain. Simbol–simbol ini juga mencirikan atau bahkan meneguhkan Yogyakarta sebagai kota budaya. Beraneka ragam simbol itu antara lain tercermin dalam bangunan–bangunan yang indah, aneka kesenian rakyat yang menawan, bahasa Jawa yang memiliki berbagai tingkatan dan masih banyak lagi hal–hal yang menyimbolkan Yogyakarta sebagai kota budaya. Sarana transportasi kota Yogyakarta tampaknya juga merupakan kekhasan jika dibandingkan dengan daerah–daerah lain di Indonesia ini. Sebagai contoh becak dan andong yang di kota–kota besar justru telah dihilangkan karena dipandang tidak lagi efisien dan efektif dalam sistem transportasi kota, di Yogyakarta kedua sarana transportasi itu justru menjadi daya tarik untuk beberapa kalangan tertentu. Bahkan becak dan andong menjadi andalan untuk beberapa wilayah di daerah kota Yogyakarta ini terutama di wilayah Malioboro. Bahkan transportasi / kendaraan becak ini juga sangat diminati oleh para turis atau wisatawan mancanegara untuk mengelilingi kota Yogayakarta. Meski dalam realitasnya transportasi/ kendaraan becak ini menjadi sarana transportasi yang diminati untuk beberapa kalangan masyarakat Yogyakarta maupun para wisatawan, baik itu wisatawan domistik mapun wisatawan manacanegara, namun bukan berarti transportasi ataupun komunitas transportasi becak ini tidak tanpa masalah. Ada berbagai persoalan yang semestinya dikaji lebih mendalam untuk komunitas becak ini. Berbagai persoalan yang melingkupi komunitas becak ini antara lain, adanya persepsi masyarakat bahwa sarana transportasi/ kendaraaan ini sudah tidak efisien atau tidak 98
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 memadai untuk diandalkan di kota–kota besar, bahkan sarana transportasi ini dipersepsikan sebagai sarana transportasi tradisonal yang menggambarkan kemiskinan masyarakatnya. Lebih dari pada itu sikap dan perilaku pengemudi becak juga menjadi sorotan oleh berbagai kalangan. Sikap dan perilaku yang mendesak atau menekan pengguna becak, menaikkan tarif becak dengan harga yang tidak realistis, dan beberapa sikap dan perilaku yang kurang menarik lainnnya yang justru dapat merusak citra Yogyakarta sebagai kota budaya. Berkaitan dengan hal–hal demikianlah maka penelitian ini menjadi penting untuk diungkapkan dan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan atas komunitas becak ini sebagai pendukungan terhadap simbol Yogyakarta sebagai kota budaya. B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan Penelitian : 1. Untuk mengetahui kemampuan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya. 2. Untuk mengetahui cara–cara mengembangkan komunitas becak sebagai penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya. Manfaat Penelitian : 1. Sebagai bahan rujukan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan pengembangan komunitas becak sebagai salah satu simbol budaya Yogyakarta. 2. Untuk memperkaya wacana dalam pengembangan peranan–peranan yang dapat dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat dalam memperkuat Yogyakarta sebagai kota Budaya. C. TINJAUAN PUSTAKA R.M. Maclver (dalam F.W. Dillistone, 2002: 15) menyatakan bahwa kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol. Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain menggunakan simbol – simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa Yogyakarta sebagai kota budaya tidak mungkin tidak, pasti menggunakan atau memiliki simbol untuk mengungkapkan sistem nilai budayanya. Lebih jauh lagi Erwin Googdenogh (dalam F. W. Dilistone, 2002: 19) mendefinisikan simbol adalah barang atau pola atau apapun yang bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata–mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan itu. Berhubungan dengan definisi ini maka dapat dikatakan bahwa simbol–simbol yang memperkaya Yogyakarta sebagai kota budaya, tidaklah mesti ditangkap sebagai harafiah saja, namun lebih dari pada itu simbol– simbol itu perlu dikaji atau ditelaah lebih mendalam untuk dapat mengungkapkan nilai– nilai yang sesungguhnya. F.W. Dillistone ( 2002: 20) mengungkapkan lebih dalam bahwa sebuah simbol dapat dipandang sebagai : 1. Sebuah kata atau barang atau obyek atau tindakan atau peristiwa atau pribadi atau yang kongkrit. 2. Yang mewakili atau menggambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau menyelubungi atau menyampaikan atau menggugah atau mengingatkan, atau mengungkapkan, atau merujuk kepada yang mencorakkan atau menghubungkan atau bersesuaian atau berkaitan dengan sesuatu. 99
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 3.
Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir, yang terkait dengan sebuah makna, realitas, nilai, cita–cita, prestasi, kepercayaan dari masyarakat atau lembaga. Jadi simbol ini sangat berkaitan dengan kohesi sosial dn transformasi sosial masyarakatnya. Dengan demikian simbol–simbol Yogyakarta Kota Budaya pun terkait erat dengan kohesi sosial dan transformasi sosial masyarakat Yogyakarta. Lebih jauh lagi, Yogyakarta sebagai kota budaya tentulah tidak terlepas dari kebudayaan yang melingkupi seluruh kehidupan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. James M. Henslin (2007:38-39) berpendapat bahwa kebudayaan dapat dilihat dari kebudayaan material dan kebudayaan non material. Kebudayaan material adalah hal–hal seperti perhiasan, peralatan, bangunan, kesenian dan hal–hal lainnya yang kontras dengan masyarakat lainnnya. Kebudayaan material ini tidak ada sesuatu pun yang bersifat “alami”. Sedangkan Kebudayaan non–material adalah cara berpikir (kepercayaaan, nilai dan asumsinya yang lain mengenai dunia), dan cara bertindak (pola perilakunya yang umum termasuk bahasa, gerak–isyarat, dan bentuk interaksi lain). Senada dengan Henslin, Koentjaraningrat (1985: 5) menyatakan bahwa setidak– tidaknya ada tiga wujud kebudayaan, yaitu: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide–ide, gagasan, nilai–nilai, norma– norma, peraturan–peraturan, dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas atau kelakuan dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda–benda hasil karya manusia Bersesuaian dengan pernyataan dari Koentjaraningrat tersebut maka di dalam fokus penelitian ini akan melihat ketiganya sebagai sesuatu hal yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnnya dalam menganalisis peranan komunitas becak dalam pendukungan simbol Yogyakarta sebagai kota Budaya. Adapun pada dasarnya dalam melihat sebuah sistem nilai budaya, secara lebih terinci Koentjaraningrat (1985:28) menyebutkan ada lima hal yang mesti dikaji lebih dalam, yaitu: 1. Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia. 2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia. 3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu tertentu. 4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya. 5. Masalah menenai dari hubungan manusia dengan sesamanya. Sedangkan faktor–faktor krisis dalam tenggelamnya kebudayaan, Bakker (1984,79) berpendapat faktor mental, mandulnya daya cipta dan pudarnya jiwa penantang adalah faktor–faktor yang dapat menyebabkan kebudayaan itu tenggelam. Lebih jauh lagi, Williams (dalam Kuntowjoyo, 1987:5) bahwa dalam rangka pelembagaan produksi dan distribusi simbol–simbol budaya ditemukan tiga komponen pokok yang mempengaruhi pengembangan simbol–simbol tersebut, yaitu lembaga– lembaga budaya, isi budaya dan efek budaya. Lembaga budaya menanyakan siapa menghasilkan produk budaya, siapa mengkontrol dan bagaimana kontrol itu dilakukan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan atau simbol–simbol budaya apa yang diusahakan; efek budaya menanyakan konsekuensi apa yang diharapkan dari proses budaya itu. Dengan demikian kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional manakala simbolnya atau normanya tidak lagi didukung oleh lembaga–lembaga sosialnya atau oleh modus organisasi sosial dari budaya itu. Berkaitan dengan pengungkapan simbol ini, dikenal sebuah teori yang disebut dengan teori interaksi simbolik. Ada sejumlah asumsi–asumsi yang dibangun dari teori ini, yang oleh Arnold Rose (Ritzer, 1985) dikemukakan sebagai berikut: 1. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol–simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap simbol–simbol itu seperti juga ia memberikan tanggapan terhadap rangsangan yang bersifat fisik. 100
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 2.
Melalui simbol–simbol manusia berkemampuan menstimulir orang lain dengan cara– cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain. 3. Melalui komunikasi, simbol–simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai–nilai, dan arena itu dapat dipelajari cara–cara tindakan orang lain. 4. Simbol, makna serta nilai–nilai yang berhubungan dengan mereka tidak hanya terfikirkan oleh mereka dalam bagian–bagian yang terpisah, tetapi selalu dalam bentuk kelompok yang kadang–kadang luas dan kompleks. Atau dengan kata lain akan ada simbol kelompok. 5. Berpikir merupakan suatu proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis. Manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannnya sebelum ia memulai tindakannnya. Sejalan dengan Arnold Rose, Blumer (dalam Poloma. 1984) secara rinci menyatakan bahwa untuk melihat masyarakat dari kerangka perspektif interaksi simbolik dapat dilihat dari ide–ide dasarnya sebagai berikut: 1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. 2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Dan bahasa merupakan simbol berarti yang paling umum. 3. Obyek–obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi simbolik. 4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek. 5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. 6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota–anggota kelompok, hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari tindakan–tindakan berbagai manusia. Selanjutnya untuk kepentingan penelitian ini perlu juga dipaparkan pemahaman tentang peranan. Peranan oleh Hendropuspito (1989:178) dikonsepsikan sebagai sejumlah pola kelakuan lahiriah ataupun batiniah yang diterima atau diikuti oleh banyak orang. Jadi peranan ini diperuntukkkan bagi kepentingan bersama agar masyarakat sebagai peristiwa sosial dan persatuan hidup dapat berjalan dengan baik. Selebihnya oleh Hendropuspito, peranan sosial memuat hal–hal sebagai berikut: 1. Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat. 2. Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan. 3. Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu. 4. Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga masyarakat. 5. Dalam peranan sosial terkandung harapan yang khas dari masyarakat. 6. Dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu. Selanjutnya dalam penelitian ini, yang dikaji tentang peranan lebih ditekankan pada peranan yang dilakukan pada komunitas tertentu jadi bukan pada perilaku perorangan. Adapun dalam mengembangkan peranan dapat dilakukan antara lain dengan (1) dengan memberikan perangsang-perangsang yang cocok, (2) dengan persuasi dan (3) dengan pembinaan yang sesuai dengan komunitas yang bersangkutan. D. METODOLOGI PENELITIAN Pada peneltian ini yang dijadikan subyek penelitian adalah pengemudi becak yang tergabung dalam komunitas–komunitas becak yang berada di wilayah Kota Yogyakarta. Dalam penelitian ini peneliti memilih beberapa komunitas becak yang berada di wilayah Kraton, wilayah Malioboro, wilayah Hotel Santika dan Hotel Saphir serta komunitas yang berada di wilayah Stasiun Tugu. Namun demikian komunitas becak ini bukan satu–satunya 101
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 yang dijadikan subyek penelitian dalam penelitian ini. Untuk keperluan trianggulasi data maka diperlukan subyek penelitian yang lain, misalnya, pengusaha–pengusaha yang menggunakan jasa becak dalam memasarkan produk atau instansinya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Dinas Perhubungan. Berkaitan dengan jenis penelitian kualitatif, maka subyek penelitian tidak menggunakan sampling acak namun dipilih berdasarkan tujuan (purpose) penelitian. Teknik ini sering dinamakan sebagai teknik purposive sampling. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Yang dimaksudkan dengan penelitian kualitatif (qualitative research) adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan–penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur–prosedur statistik atau dengan cara–cara lain dari kuantifikasi atau pengukuran (Strauss, 1997). Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif menurut Nasution (1992) ini adalah : (a) Observasi yang diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap fenomena–fenomena yang diteliti. Dalam pengamatan, indera yang sangat berperanan adalah mata dan telinga (b) Wawancara merupakan proses tanya jawab lisan, di mana dua orang atau lebih berhadap–hadapan secara fisik, di mana peneliti dapat mendengarkan secara langsung dari responden. Dalam wawancara peneliti dapat menggunakan catatan dan tape–recorder sebagai alat bantunya.Tujuan dari wawancara adalah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam pikiran dan hati orang lain, bagaimana pandangannya tentang dunia, yaitu hal–hal yang tidak dapat diketahui melalui observasi. (c) Dokumentasi, untuk memperoleh data secara komprehensif, peneliti juga melakukan studi dokumentasi. Keuntungan menggunakan teknik dokumentasi ini adalah bahan itu telah tersedia dan hanya memerlukan waktu untuk mempelajarinya. Untuk melakukan analisis data, penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif. Analisis data ini menggunakan tahap–tahap sebagai berikut, reduksi data, display data yang kemudian dilakukan pengambilan kesimpulan. E. HASIL PENELITIAN 1. Kemampuan Komunitas Becak dalam Penguatan Simbol Yogyakarta Kota Budaya Secara umum terkait dengan alasan wisatawan baik itu wisatawan domestik maupun wisatawan asing dalam menggunakan transportasi becak ketika sedang berada di Yogyakarta adalah, sebagian besar informan yang diwawancarai mengatakan bahwa transportasi becak adalah transportasi tradisional yang di kota–kota lain atau negara– negara lain tidak ada, sudah digusur atau dilarang. Selain itu alasan yang lainnya adalah adanya anggapan bahwa pengemudi becak dapat memberikan informasi tentang tempat–tempat wisata, tentang tempat–tempat bersejarah, tempat–tempat tempo dulu, budaya kraton, dan tempat–tempat lainnya seperti perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, serta tempat–tempat belanja. Selain itu dengan kemampuan bahasa Inggris, meski sederhana, dapat menjadi guide yang murah sera dapat membantu menawar harga–harga barang yang ingin dibeli oleh para wisatawan. Secara lebih terinci beberapa alasan mengapa komunitas becak ini menjadi rujukan oleh para penumpangnya akan dijelaskan sebagaimana berikut ini. Komunitas becak di Yogayakarta, keberadaanya selalu dikaitkan dengan Yogyakarta sebagai kota budaya. Oleh karenanya, berdasarkan wawancara dengan berbagai pihak, komunitas becak ini dapat menjadi salah satu penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya apabila didukung dengan berbagai hal seperti bahasa, perilaku atau tindakan serta penonjolan ciri khas transportasi becak itu sendiri sebagai alat transportasi tradisional.
102
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 a. Bahasa Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh berbagai pihak seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Manajer HRD Hotel Saphir dan Hotel Santika, maupun pengemudi becak itu sendiri, semuanya menyatakan bahwa bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam mendukung simbol Yogyakarta sebagai kota Budaya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pembinaan Pengembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, yang mengatakan bahwa bahasa dan perilaku pengemudi becak sangat mempengaruhi kenyamanan wisatawan yang berdatangan ke Yogyakarta, baik itu wisatawan asing atau mancanegara ataupun wisatawan domestik. Oleh karenanya perilaku Sadar Wisata menjadi sangat penting untuk komunitas becak ini. Karena pada dasarnya wisatawan datang ke Yogyakarta ingin menikmati budaya Yogyakarta dan budaya Yogyakarta itu adalah budaya Kraton yang memiliki kehalusan dalam berbahasa dan berperilaku. Kata–kata dan tindakan yang kasar tidak sesuai dengan budaya Jawa atau budaya Yogyakarta. Terkait dengan komunitas becak ini, bahasa memang menjadi pekerjaan rumah bagi berbagai elemen yang peduli terhadap keberadaan komunitas becak ini. Hal ini mengingat bahwa di salah satu sisi bahasa merupakan simbol budaya yang paling umum karena dengan bahasa dapat diungkapkan hasil–hasil budaya maupun kondisi budaya suatu daerah tertentu. Namun di sisi lain pelaku budaya ini termasuk di dalamnya adalah kumunitas becak seringkali masih gagal dalam mengungkapkan situasi dan kondisi budaya Yogyakarta. Hal ini mengingat kemampuan pengemudi atau komunitas becak yang sangat terbatas dalam “berbahasa”. Berbahasa yang dimaksudkan di sini adalah berbahasa yang sesuai dengan budaya Yogyakarta yang identik dengan budaya Keraton. Dalam Keraton pengungkapan bahasa secara halus dan sopan merupakan syarat yang mutlak (Suhatno, 1995). b. Perilaku Terkait dengan perilaku atau tindakan ini, hampir keseluruhan informan yang diwawancarai mengungkapkan bahwa sebagaimana bahasa, tindakan adalah salah satu unsur yang penting dalam pembentukan budaya Yogyakarta. Sebagai ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan para wisatawan, para pengemudi becak hendaknya dapat bersikap ramah, sopan santun. Tindakan yang demikian merupakan tindakan yang mencerminkan masyarakat yang Sadar Wisata. Selain dari tindakan yang sopan santun dan ramah, kejujuran juga merupakan tindakan yang diharapkan muncul dari pengemudi atau komunitas becak ini. Demikianlah seperti yang dikatakan oleh Blumer (dalam Veeger, 1993) orang menimbang perbuatan masing–masing orang secara timbal balik, dan hal ini tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang yang lain, melainkan menganyam perbuatan–perbuatan mereka menjadi apa yang barangkali boleh disebut dengan transaksi, dalam arti bahwa perbuatan–perbuatan yang diasalkan dari masing–masing pihak diserasikan sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembatani mereka. Orang saling berhubungan satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal balik. Kesadaran akan hubungan timbal balik dalam berinteraksi ini memang akan mempengaruhi keberlanjutan hubungan tersebut. Ketika komunitas atau pengemudi becak itu melakukan suatu tindakan yang tidak terpuji tentunya akan membuat ”kapok” penumpangnya. Tetapi ketika komunitas itu mampu menangkap kebutuhan yang dirasakan oleh penumpangnya baik itu penumpang lokal maupun penumpang luar negeri, maka kecenderungan penumpang itu akan kembali lagi tentulah sangat besar. 103
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 c. Becak Sebagai Alat Transportasi Tradisional Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa tanda–tanda yang paling mudah dipahami yang menyatakan kekhasan suatu budaya adalah berupa benda atau alat–alat dan bahasa. Benda ini selain bisa menjadi suatu tanda atau simbol yang paling mudah untuk dipahami dalam suatu masyarakat namun juga benda atau alat ini bisa menjadi daya tarik tersendiri pada masyarakat yang bersangkutan. Hal ini seperti yang terjadi di kota Yogyakarta. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya salah satu cirinya adalah alat tansportasi tradisional yang dikenal dengan nama becak. Transportasi tradisional becak ini tidak hanya dikenal oleh berbagai masyarakat di kota–kota di luar Yogyakarta namun transportasi tradisional ini telah dikenal dan menjadi daya tarik yang kuat oleh masyarakat mancanegara. Hal ini bisa terlihat di jalan–jalan sekitar Malioboro dan Keraton seringkali dijumpai para wisatawan asing yang sengaja menggunakan transportasi ini untuk keliling kota Yogyakarta. Jadi kedatangan mereka ke Yogyakarta salah satunya memang ingin menikmati transportasi becak ini. Ada tiga jenis transportasi becak ini. Pertama, yang disebut dengan transportasi becak niaga, yaitu becak–becak yang biasanya “mangkal” di dekat– dekat pasar. Becak–becak ini yang melayani para penumpang dalam berbelanja atau mengangkut barang–barang belanjaan. Jenis yang kedua, disebut dengan becak wisata yaitu komunitas becak yang diutamakan untuk membawa para wisatawan ke obyek–obyek wisata seperti Keraton, Taman Sari, dan lain–lain. Sedangkan jenis yang ketiga disebut dengan wisata becak. Untuk jenis yang ketiga ini, justru orang– orang datang ke Yogyakarta untuk naik becak. d. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh para pengemudi atau komunitas becak ini merupakan salah satu kekuatan pula yang menjadi simbol Yogyakarta kota Budaya. Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang mengatakan bahwa pengemudi becak yang dapat memberikan informasi tentang tempat–tempat wisata, tentang tempat–tempat bersejarah, tentang tempat–tempat tempo dulu, budaya kraton, dan tempat–tempat lainnya seperti perguruan tinggi ternama di Yogjakarta, sungguh merupakan harapan dari para wisatawan yang datang ke Yogyakarta. Selain itu dengan kemampuan bahasa Inggris yang sederhana dapat menjadi guide yang murah bagi para wisatawan mancanegara. 2. Proses / Cara Pengembangan Komunitas Becak dalam Penguatan Simbol Yogyakarta Kota Budaya Berkaitan dengan proses pengembangan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta kota budaya, ada beberapa hal yang dibahas dalam penelitian ini. Beberapa hal ini terkait dengan bagaimana sebenarnya sebuah simbol itu bisa didistribusikan. a. Lembaga atau organisasi yang berperanan dalam pengembangan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogayakarta Kota Budaya. Menganalisis tentang kebudayaan, Kuntowijoyo (1987) mengatakan bahwa kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol atau normanya tidak lagi didukung oleh lembaga–lembaga sosialnya. Oleh karenanya dalam penelitian ini, dilihat pula beberapa institusi atau lembaga yang memiliki keterkaitan erat dengan pengembangan komunitas becak dalam penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya. Beberapa institusi yang terkait adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Paguyuban Becak yang diharapkan sebagai persatuan komunitas–komunitas becak yang berada di wilayah Kota Yogyakarta dan 104
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 perwakilan dari pengusaha hotel yang menggunakan komunitas becak sebagai mitra dalam pembentukan citra Kota Yogayakarta dan citra hotel. Berdasarkan wawancara dengan kepala Bidang Pembinaan dan Pengembangan Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, peranan dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini lebih memfokuskan pada pembinaan para pengemudi becak untuk Sadar Wisata. Hal ini mengingat Yogyakarta sebagai tujuan wisata baik dari wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Hal– hal yang telah dilakukan oleh Dinas ini adalah memberikan berbagai pembinaan atau pelatihan yang terkait dengan sikap atau tingkah laku yang sadar wisata serta pembinaan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling mudah dalam pelayanan para wisatawan. Secara kongkrit Dinas ini juga sudah membuatkan buku saku untuk para pengemudi becak serta stiker–stiker yang isinya mengajak untuk dapat melayani pelanggan atau wisatawan dengan baik. Namun demikian apa yang talah dilakukan oleh Dinas ini belum dirasakan atau dialami oleh sebagian besar komunitas becak yang ada di Yogyakarta. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Sie. Angkutan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, Dinas ini dalam rangka memfasilitasi kepentingan kendaraan tidak bermotor termasuk didalamnya adalah becak, memiliki fungsi pengendalian dan pelayanan. Dalam rangka pengendalian banyaknya becak yang beroperasi di Kota Yogyakarta, Dinas perhubungan telah melakukan registrasi becak–becak yang beroperasi di Kota Yogyakarta. Registrasi ini selain untuk pengendalian jumlah becak namun juga merupakan fungsi perlindungan terhadap komunitas becak. Sebab, apabila becak–becak ini jumlahnya tidak terkendalikan maka mereka akan berebut lahan dan penumpang. Hal ini menjadi tidak sehat. Berdasarkan registrasi yang telah dilakukan oleh Dinas Perhubungan, jumlah becak yang beroperasi di kota Yogyakarta sejumlah 8.200 becak. Selain itu, untuk ketertiban pengemudi becak ini, mulai tahun 2008 Dinas Perhubungan telah menerbitkan SIO (Surat Ijin Operasional) Kendaraan Tidak Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Tidak Bermotor (TNKTB). Begitu pula Dinas Perhubungan Kota juga telah menyediakan lajur–lajur dan lahan–lahan parkir gratis untuk alat transportasi ini di sepanjang jalan Malioboro dan jalan Mangkubumi. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan Kepala HRD Hotel Santika dan Kepala HRD Hotel Saphir yang mewakili pihak hotel masing–masing sebagai Institusi Pengguna Jasa Becak. Dalam wawancara yang dilakukan, baik HRD Hotel Santika maupun Hotel Saphir menyatakan bahwa hotel tetap akan menggunakan jasa becak dalam melestarikan budaya Yogyakarta maupun dalam mempromosikan hotel. Bahkan Kepala HRD Hotel Saphir mengatakan tetap akan memepertahankan becak, meski pada suatu saat seandainya becak ini dilarang di Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil FGD Paguyuban Pengemudi Becak Kota Yogyakarta pula, didapatkan informasi bahwa komunitas–komunitas becak yang berada di wilayah kota Yogyakarta terdapat 145 komunitas becak. Terkait dengan peranan komunitas atau paguyuban ini, ketua PPBKY mengatakan bahwa paguyuban ini sangat penting bagi pengemudi–pengemudi becak maupun bagi para pengguna jasa becak. Dengan paguyuban, pengemudi–pengemudi becak ini mendapatkan beberapa fasilitas seperti, pendampingan kesehatan, penyaluran tenaga kerja bagi keluarga pengemudi becak, dan lain–lain. Sementara itu apabila seluruh pengemudi becak tergabung dalam komunitas–komunitas becak atau paguyuban maka apabila suatu saat pengguna jasa becak ini merasa dirugikan oleh pengemudi becak, maka pengguna becak bisa melakukan komplain pada komunitas–komunitas atau 105
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 paguyuban becak tersebut. Dengan demikian komunitas atau paguyuban dapat melaksanakan pembinaan atau bahkan sangsi terhadap pengemudi becak tersebut. b. Materi atau hal–hal yang dikembangkan Fasilitas–fasilitas yang dikembangkan Terkait dengan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, 7 orang mengatakan belum pernah mendapatkan fasilitas apapun dari pemerintah. Menurut mereka karena mereka bukan orang kantoran, dan mereka hanya orang kecil yang tidak mungkin diperhatikan oleh pemerintah. Sedangkan 8 yang lainnya mengatakan bahwa fasilitas yang diberikan oleh pemerintah adalah plat nomor gratis, STNK becak dan yang berkawasan di Malioboro mendapatkan parkir khusus becak dan gratis pula serta jalur becak. Manfaat dari fasilitas yang diberikan adalah pengakuan becak itu resmi sehingga wisatawan percaya, adanya member sehingga pendatang percaya, penertiban lalu lintas, identitas yang jelas bisa membuat teratur, mempermudah perjalanan. Sementara itu untuk fasilitas yang diterima dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, seluruhnya pengemudi becak ini mengatakan belum pernah menerima fasilitas apapun dari Dinas ini. Namun ketika peneliti mengkonfirmasi pada Dinas ini, sebenarnya Dinas ini telah mencetak kaos–kaos dengan motif– motif kota Yogyakarta untuk para pengemudi becak. Meski demikian diakui pula fasilitas kaos ini masih sangat terbatas. Pembinaan–pembinaan Berdasarkan hasil wawancara, peranan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan masih minimal dalam pemberian pembinaan–pembinaan.. Hal ini dapat cermati dengan hasil wawancara, bahwa dari 5 komunitas becak yang dijadikan subyek penelitian, hanya 1 komunitas saja, yaitu komunitas becak Santika, yang menjawab pernah mendapatkan pembinaan dari dinas pariwisata dan Kebudayaan. Sementara komunitas–komunitas becak yang lain belum pernah sama sekali tersentuh oleh dinas ini. Sebenarnya, berdasarkan wawancara dengan Kepala Sie Pembinaan, Dinas ini juga telah mengadakan beberapa pembinaan untuk komunitas–komunitas becak. Bahkan Dinas ini telah pula menerbitkan buku saku dan stiker–stiker untuk membantu pengemudi becak dalam melaksanakan pelayanan secara ramah dan beretika. Namun karena komunitas– komunitas becak ini jumlahnya cukup banyak dan terdiri lebih dari 5000 pengemudi becak, maka belum seluruhnya dapat dijangkau oleh Dinas ini. c. Efek yang dihasilkan Meski belum didukung oleh data kuantitaif yang memadai, efek yang dihasilkan dari berbagai upaya yang dilakukan, dapat dilihat dari peningkatan penggunaan becak sebagai sarana transportasi yang terdiri dari 3 kategori becak, yaitu becak niaga, becak wisata dan wisata becak. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala HRD Hotel Saphir mapun Kapala HRD Hotel Santika, kebutuhan akan becak wisata dan wisata becak oleh wisatawan–wisatwan yang menggunakan jasa hotel tidak pernah surut. Bahkan ada diantara wisatawan yang memesan untuk disediakan becak apabila mereka datang ke kota Yogyakarta. Namun demikian belum adanya standar harga bagi pengemudi becak juga merupakan persoalan yang seringkali mereka becak hadapi. Berkaitan dengan penelitian tentang pengembangan peranan komunitas becak dalam penguatan simbol–simbol Yogyakarta sebagai kota budaya ini, maka dapatlah dikatakan bahwa peranan komunitas ini untuk penguatan simbol budaya Yogyakarta tidaklah dapat berdiri sendiri. Peranan ini dapat dikembangkan secara maksimal apabila didukung oleh lembaga–lembaga sosial atau modus organisasi 106
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 sosial yang menjadi stakeholders dari pendistribuasian simbol budaya ini. Dalam penelitian ini, lembaga–lembaga seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan serta instansi–instansi yang berkepentingan atas keberadaan becak ini menjadi unsur yang tidak bisa ditinggalkan dalam pengembangannnya. Kekurangmaksimalan lembaga–lembaga ini dalam melaksanakan peranannya akan mempengaruhi gerak komunitas becak ini dalam penguatan simbol Yogyakarta kota budaya. Sebaliknya kemaksimalan peranan pada lembaga–lembaga ini akan ikut mendukung komunitas becak ini sebagai salah satu kekuatan kekhasan Yogyakarta sebagai kota budaya. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan a. Komunitas becak sebagai pelaksana alat transportasi tradisional becak dapat menjadi salah satu penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya manakala bahasa, tata kelakuan, alat tansportasi becak serta sistem pengetahuan dibangun sedemikian rupa sesuai dengan citra Yogyakarta Kota Budaya. b. Cara pengembangan komuntas becak agar dapat menjadi penguatan simbol Yogyakarta Kota Budaya harus melibatkan secara maksimal dan terintegras institusi-institusi terkait seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan, institusi swasta dan paguyuban becak itu sendiri. Pelibatan institusi selama selama ini telah ada namun belum maksimal dan belum terintegrasi. 2. Rekomendasi Ada beberapa hal yang akan dapat direkomendasikan dalam penelitian ini, yaitu: a. Agar setiap unsur pelaksana dalam rangka pembangunan kebudayaan memiliki pola pikir dan pola perilaku yang sama dalam mendukung citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya maka diperlukan persepsi dan komitmen yang sama pada setiap institusi (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Perhubungan, Institusi Swasta dan Paguyuban Becak) dalam pengembangan akan nilai–nilai budaya secara bersama– sama. b. Komunitas “Becak” tetap akan menjadi salah satu pendukungan terhadap simbol Yogyakarta Kota Budaya, untuk itu perlu diperkuat peranannya agar sesuai dengan harapan pada berbagai pihak atau kalangan yang berkepentingan terhadap komunitas “Becak”ini, baik sebagai becak niaga, becak wisata masupun wisata becak. c. Diperlukan sejumlah upaya-upaya kongkrit yang sistematik dan berkelanjutan untuk memperkuat peranan komunitas “Becak”, misalnya dengan: 1) Pembinaan karakter, pelatihan–pelatihan bahasa, pengadaan fasilitas– fasilitas/ornamen–ornamen yang mencirikan Yogyakarta Kota Budaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ataupun institusi–institusi lain yang berkepentingan, yang dapat mendukung pengembangan 145 komunitas becak yang ada di Kota Yogyakarta ini. 2) Program penertiban oleh Dinas Perhubungan atas komunitas becak selayaknya meningkatkan pelibatan komunitas becak yang bersangkutan secara partisipatif. Selain itu dengan 8.200 pengemudi becak yang teregistrasi dan tersebar di Kota Yogyakarta, perlu dilakukan mapping untuk tempat mangkal, lahan parkir, sehingga terpenuhi ketertiban dan batas aman tiap–tiap lokasi.
107
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 DAFTAR PUSTAKA Bakker, 1984, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta. Dillistone, 2002, Daya Kekuatan Simbol. Kanisius, Yogyakarta. Hendropuspito,1989, Sosiologi Sistematik, Kanisius, Yogayakarta. Henslin James, 2007, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Erlangga, Jakarta Josef-Franz Eileers, 1995, Berkomunikasi Antara Budaya, Suatu Pengantar Komunikasi Antarbudaya, Nusa Indah, Ende. Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat, 1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta. Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, Tiara wacana, Yogyakarta. Nasution, 1992, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Pabottinggi, Mochtar,1996, “Bahasa, Kramanisasi dan Kerakyatan”dalam Latif, Yudi dan Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Mizan, Bandung. Ritzer George, 1985, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta Singarimbun, Anonim, 2010, Survei Kendaraan Tidak Bermotor, Hasil Penelitian, Dinas Perhubungan Kota Yogyakata
108
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Menyikap Wajah Pelayanan Publik Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Administrasi Dasar Pemerintah Kota Yogyakarta (Oleh : Dwi Priyono,SH, Waryono,S.IP,S.Kep,M.Kes, Sri Arini Winarti, SKM.M.Kep) Abstrak Latar Belakang hak masyarakat, yang harus dipenuhi oleh pemerintah yang merupakan hak konstitusi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dalam kenyataannya saat ini hak–hak tersebut belum sepenuhnya diperoleh oleh masyarakat. Masih adanya wali murid mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan, tidak terpenuhinya KMS untuk pendidikan, munculnya macam pungutan di sekolah. Di bidang kesehatan juga tidak beda jauh, banyak kasus–kasus busung lapar, menunjukkan kurangnya optimalnya perhatian pemerintah terhadap derajat kesehatan warganya, penderita DBD yang banyak tidak tertolong. Di bidang administrasi dasar keluhan lamanya mengurus perijinan, lamanya proses pembuatan KTP dan KK dan beberapa kasus lain yang sering muncul di masyarakat. Rumusan Masalah, Bagaimana pelayanan publik di bidang Pendidikan, Kesehatan dan Pelayanan Administrasi Dasar kependudukan di Kota Yogyakarta. Metode : Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris yang dilakukan dengan pendekatan diskriptif kuantitatif kualitatif (kuantilatif) masuk kategori Action Research. Hasil : Sarana dan Fasilitas ruang kelas, perpustakaan dalam kondisi baik. Fasilitas olahraga, Ruang UKS, koperasi sekolah/warung/kantin, Fasilitas belajar (meja, kursi, papan tulis, papan absensi, dsb) masih dalam kondisi yang baik, Buku pelajaran pokok dipinjamkan secara gratis, Alat peraga dalam kondisi sedang. Pelayanan Untuk Orang Miskin setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan tidak perduli kaya maupun miskin. Jaminan Kesehatan Daerah tercatat banyaknya warga miskin sesuai bantuan biaya sesuai platfom dan keputusan Walikota Yogyakarta. Administrasi dasar pembuatan KK menunjukkan waktu yang dibutuhkan proses pembuatan KK relatif lama, kualitas pelayanan di kelurahan, kecamatan mengalami perubahan biaya pengurusan, biaya dan waktu serta keramahan petugas sudah baik. Sikap petugas dalam melayani masyarakat akan standar prosedur pelayanan optimal sesuai dalam Standar Pelayanan yang ditetapkan dengan Peraturan Walikota Yogyakarta. Saran. Pemerintah membentuk desain ( Alur Pelayanan Publik ) sistem evaluasi terhadap model kontrak pelayanan, mekanisme pelayanan publik yang berbasis kepentingan masyarakat. Sebagai pihak yang harus dilayani oleh administrasi negara (birokrasi) atau berbasis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kata kunci, Layanan Publik, bidang kesehatan, Pendidikan, Admnistrasi dasar. A. Latar Belakang Pelayanan publik merupakan hak masyarakat, yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Hak tersebut merupakan hak konstitusi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Dalam kenyataannya saat ini hak–hak tersebut belum sepenuhnya diperoleh oleh masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat tersebut bisa diatasi apabila pemerintah bisa lebih dekat dengan masyarakat. Peluang pemerintah untuk bisa lebih memahami kebutuhan masyarakat tersebut sebenarnya telah didukung dengan adanya Otonomi Daerah. Salah satu 109
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 paradigma baru dari otonomi daerah sebenarnya adalah semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Menurut W. Riawan Tjandra dkk, ada tiga level pembahasan dalam kerangka meningkatkan pelayanan publik, Pertama kebijakan (peraturan perundang–undangan), apakah kebijakan dalam pemberian pelayanan publik sudah benar–benar ditujukan untuk kepentingan masyarakat; kedua, kelembagaan, apakah lembaga–lembaga yang dibentuk oleh pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau hanya berdasar pada kebutuhan eksistensi lembaga–lembaga di daerah agar tidak dilakukan likuidasi lembaganya termasuk juga kepentingan–kepentingan politis yang sangat kental terutama ketika masuk dalam pembahasan di tingkat legislatif; ketiga, sumber daya manusia, apakah sumber daya manusia yang memberikan pelayanan juga memerlukan kecakapan–kecakapan tertentu. Para pengguna jasa yang sering tidak sanggup menghadapi ketidakpastian cenderung memilih membayar biaya yang lebih tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk memperoleh kepastian waktu dan kualitas pelayanan. UU dan Perda dalam penyelenggaraan pelayanan publik hanya mengatur kewajiban pengguna jasa tanpa memberikan perlindungan yang memadai mengenai hak–haknya dan hal yang dapat dilakukan oleh seorang pengguna jasa yang merasa dilanggar haknya. Peraturan yang ada dalam penyelenggaraan pelayanan publik selama ini tidak pernah mengatur kewajiban penyelenggara dan resikonya ketika mereka gagal memenuhi kewajibannya. Kondisi semacam ini membuat rezim pelayanan bisa memperlakukan warga pengguna jasa sekehendaknya sendiri dan menjadi penyebab dari ketidakpastian biaya dan waktu pelayanan. Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Belajar dari pengalaman di masa lalu, untuk menjamin agar upaya peningkatan kualitas pelayanan publik benar–benar dapat direalisasi secara nyata, ke depan salah satu perangkat yang dibutuhkan sebagai acuan adalah adanya Standar Pelayanan (SP).
B. KERANGKA KONSEPTUAL PELAYANAN PUBLIK YANG BERBASIS KONTRAK PELAYANAN 1.1.
Tinjauan Umum Pelayanan Publik Pelayanan publik Menurut Keputusan MENPAN No. 67 Tahun 2003 adalah segala kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang–undangan. Menurut Laksono Trisnantoro, 2005, produk pelayanan publik dalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator, yakni : pertama, Responsivitas adalah daya tanggap penyedia jasa terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan; kedua, responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip–prinsip atau ketentuan–ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan; ketiga, akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma–norma yang berkembang dalam masyarakat. Dalam Keputusan MENPAN Nomor 81 / 1993 dijelaskan sendi–sendi pelayanan prima : kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur / tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat tidak berbelit–belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Hak dan kewajiban baik dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan 110
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 bukti–bukti penerimaan permohonan / kelengkapan sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan umum hingga ke penyelesaiannya. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan : nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/ tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran, kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum. Pelayanan Publik Provinsi Yogyakarta menyebutkan bahwa Penerima pelayanan publik mempunyai hak: 1. Mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas–asas dan tujuan pelayanan serta sesuai standar pelayanan publik yang telah ditentukan. 2. Mendapatkan kemudahan untuk memperoleh informasi selengkap–lengkapnya tentang sistem mekanisme dan prosedur dalam pelayanan publik. 3. Memberikan saran untuk perbaikan pelayanan publik. 4. Mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, santun, bersahabat dan ramah. 5. Memperoleh kompensasi apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. 6. Menyampaikan pengaduan kepada penyelenggara pelayanan publik dan atau Komisi Pelayanan Publik untuk mendapatkan penyelesaian. 7. Mendapatkan penyelesaian atas pengaduan yang diajukan sesuai mekanisme yang berlaku. 8. Mendapatkan pembelaan, perlindungan, dalam upaya penyelesaian sengketa pelayanan publik. Sementara Penyelenggara pelayanan publik mempunyai kewajiban: Mengundang penerima layanan dan pihak–pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik untuk merumuskan standar pelayanan dan melakukan pengawasan atas kinerja pelayanan publik. 2. Menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan. 3. Mengelola pengaduan dari penerima layanan sesuai mekanisme yang berlaku. 4. Menyampaikan pertanggungjawaban secara periodik atas penyelenggaraan pelayanan publik yang tatacaranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. 5. Memberikan kompensasi kepada penerima layanan apabila tidak mendapatkan pelayanan sesuai standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. 6. Mematuhi ketentuan yang berlaku dalam penyelesaian sengketa pelayanan publik. 7. Mematuhi peraturan perundang–undangan yang terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik juga wajib memiliki tata perilaku sebagai kode etik dalam memberikan pelayanan publik, sebagai berikut: a. Bertindak jujur, disiplin, proporsional dan profesional. b. Bertindak adil dan tidak diskriminatif. c. Peduli, teliti dan cermat. d. Bersikap ramah dan bersahabat. e. Bersikap tegas, dan tidak memberikan pelayanan yang berbelit–belit. f. Bersikap mandiri dan dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun. g. Transparan dalam pelaksanaan dan mampu mengambil langkah–langkah yang kreatif dan inovatif. 1.
111
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 a.
Administrasi Negara (Birokrasi) Sebagai Pelayan Publik Tugas Administrasi Negara adalah memberikan pelayanan yang baik terhadap kepentingan rakyat dan masyarakat, untuk mengabdi kepada kepentingan masyarakat atau kehendak rakyat. Bukanlah sebaliknya rakyat mengabdi kepada kepentingan administrasi negara. Pertama adalah konsepsi Hegel tentang birokrasi. Menurutnya, birokrasi adalah jembatan antara negara (state) dan rakyat (society). Kedua, konsepsi Marx yang berseberangan dengan konsepsi Hegel. Marx meletakkan posisi birokrasi tidak seperti itu karena negara, menurutnya, tidak mewakili kepentingan umum tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Dari perspektif ini maka birokrasi sebenarnya merupakan perwujudan dari kelompok sosial yang amat khusus. Perkembangan terkini yang cukup menggembirakan yang berpengaruh pada perubahan paradigma birokrasi adalah adanya “trend” demokratisasi yang bersifat mondial yang mempengaruhi esensi dan pola hubungan negara masyarakat (statesociety relations) hampir di seluruh dunia, dari yang semula otoriter menjadi demokratik; dari sentralisasi ke desentralisasi; dari orientasi kekuasaan ke orientasi pelayanan publik; dari birokrasi tertutup menjadi birokrasi terbuka. Menurut Mertin Jr, karakteristik profesionalisme aparatur sesuai dengan tuntutan good governance diantaranya, Pertama, Equality, perlakuan yang sama atas pelayanan yang diberikan. Hal ini didasarkan atas tipe perilaku birokrasi yang secara konsisten memberikan pelayanan yang berkualitas kepada semua pihak tanpa memandang afiliasi politik, status sosial dan sebagainya. Bagi mereka memberikan perlakuan yang sama identik dengan perilaku jujur. Kedua, Equity, yaitu perlakuan yang sama terhadap masyarakat tidak cukup, selain itu juga diperlukan perlakuan yang adil. Untuk masyarakat yang pluralistik diperlukan perlakuan yang adil dan perlakuan yang sama. Ketiga, Loyality. Kesetiaan diberikan kepada konstitusi, hukum, pimpinan, bawahan dan rekan kerja. Berbagai jenis pekerjaan tersebut terkait antara satu sama lain dan tidak ada kesetiaan mutlak yang diberikan kepada suatu jenis kesetiaan tertentu dengan mengabaikan yang lainnya. Keempat, Accountability. Setiap aparat pemerintah harus siap menerima tanggungjawab atas apapun yang ia kerjakan dan menghindarkan diri dari sindroma “saya sekedar melaksanakan perintah atasan”.
b.
Urgensi Kontrak Pelayanan dalam Pelayanan Publik Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik di masa-masa yang akan datang adalah dengan pelembagaan kontrak pelayanan (service Charter) dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Urgensi kontrak pelayanan dipicu oleh beberapa pertimbangan. Pertama, untuk memberikan kepastian pelayanan meliputi waktu, biaya, prosedur dan cara pelayanan; Kedua, memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan, serta stakeholders lainnya dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan; Ketiga, untuk mempermudah pengguna layanan, warga dan stakeholders lainnya dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pelayanan; Keempat, untuk mempermudah manajemen pelayanan memperbaiki kinerja pelayanan; Kelima, untuk membantu manajemen pelayanan mengidentifikasi kebutuhan, harapan, dan aspirasi pengguna layanan, serta warga dan stakeholders lainnya.
C. DESAIN PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris yang dilakukan dengan pendekatan diskriptif kuantitatif kualitatif (kuantilatif) masuk kategori Action Research. Menurut Muhadjir Action Research merupakan model penelitian yang sekaligus berpraktik dan berteori atau mengembangkan teori sekaligus melaksanakan dalam praktik. Cara, yaitu 112
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 menggabungkan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif atau apa yang disebut oleh Bogdan dalam Julia Brannen disebut dengan penelitian matching method. Adapun pendekatan yang dipakai adalah untuk penelitian kuantitatif dilakukan survei dengan menggunakan Metodologi Kartu Laporan (Report Card Sistem = RCS). Sementara untuk pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode pendekatan Partisipatory Action Research (PAR). Dalam metode PAR Menurut Huizer28 terdapat unsur pendidikan yang mendewasakan yang berorientasi pada upaya–upaya pengembangan dalam rangka pemberdayaan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penggunaan Metodologi Kartu Pelaporan (RCS) disusun berdasarkan keinginan kuat dari masyarakat umum untuk melihat pemerintah menjadi lebih tanggap terhadap perhatian dan keinginan warganya. Kartu Laporan merupakan alat potensial yang dapat dipergunakan warga, kelompok–kelompok aksi konsumen dan LSM lokal untuk mendukung dan menuntut jasa pelayanan masyarakat yang memadai, efisien, serta dapat diandalkan. D. METODE ANALISA Metode analisis yang dipakai adalah metode ganda (triangulasi method) yang bisa terjadi antar metode atau bisa di dalam metode. Karena metode yang dipakai ada kaitannya dengan objek studi yang sama dengan masalah dan subtansi yang sama. Oleh karena itu analisis data dilakukan dengan penggabungan baik secara kuantitaitif maupun secara kualitatif. Secara kuantitatif yang menggunakan metode Raport Card Sistem (RCS) Didasarkan pada prinsip–prinsip statistik. Dimana pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer untuk menjawab pertanyaan–pertanyaan untuk menetapkan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan warga terhadap penyedia pelayanan masyarakat, mengurutkan lembaga berdasarkan penilaian tingkat kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat mengajukan pilihan dan melakukan pembaruan dengan bobot kuantitatif. E. ANALISIS PELAYANAN PUBLIK DI BIDANG PENDIDIKAN KESEHATAN DAN ADMINISTRASI DASAR I.
ANALISA BIDANG PENDIDIKAN 1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan Otonomi daerah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap nilai–nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah. Bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten/kota. Demikian juga otonomi (sistem dan pengelolaan) pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Bukan sekadar memindahkan atau mengembangbiakkan masalah pendidikan yang menjadi beban pemerintah pusat ke kabupatan/kota. Desentralisasi pendidikan ialah pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pusat atau pejabat dibawahnya atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau dari pemerintah kepada masyarakat. Yang menjadi bahan pemikiran dalam hal desentralisasi ini adalah untuk menentukan kewenangan mana yang tidak bisa didesentralisasikan dan kewenangan mana yang dapat didesentralisasikan. Kewenangan yang bersifat nasional yang seharusnya dipegang oleh pemerintah pusat. Implementasi dan evaluasi kebijakan nasional bisa dilakukan oleh pusat bisa pula diserahkan kepada unit di bawah di daerah atau kepada masyarakat. Kewenangan yang bersifat lokal (daerah) pelaksanaan dan evaluasi tidak perlu 113
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 diintervensi oleh pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan bertujuan untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dillaksanakan oleh unit tataran bawah atau masyarakat. 2. Benang Kusut Pelayanan Pendidikan Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah, maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah agar proses pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran pemerintah bergeser dari `regulator` menjadi `fasilitator`. Keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek, yaitu mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi mungkin. Juga berupaya agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Perubahan peran pemerintah ini mengubah hierarki pengambilan keputusan yang selama ini selalu berawal dari pemerintah pusat dan bermuara di sekolah. Dalam skema otonomi pengelolaan pendidikan hierarki pengambilan keputusan berubah menjadi piramida terbalik; kedudukan lembaga sekolah berada di atas sedangkan lembaga pemerintah berada di bawah. Namun pada kenyataan peran tersebut pertama, akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat masih sangat rendah. Terlalu kuatnya dominasi pemerintah pusat dalam manajemen mikro penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara sistematik telah memadamkan akuntabilitas sekolah kepada masyarakat sekitarnya. Kedudukan masyarakat dan orang tua sebagai konsumen pendidikan dengan segala kepentingannya telah lama diabaikan. Kedua, pengguna sumber daya tidak optimal. Rendahnya anggaran pendidikan merupakan kendala besar. Keadaan ini diperburuk oleh sistem pengelolan anggaran yang terpusat. Pengelolan anggaran pendidikan secara terpusat mengakibatkan penggunaan sumber daya sangat tidak efisien. Karena rendahnya kepercayaan kepada sekolah selama ini, pemerintah pusat sering kali mengasumsikan berbagai alat, bahan, dan input pendidikan lainnya yang dibutuhkan sekolah, harus diadakan oleh pusat lalu dikirimkannya ke sekolah. 3. Mengurai Pelayanan Pendidikan a. Managemen Berbasis Sekolah (MBS) Salah satu model pengelolaan yang digagas Departemen Pendidikan Nasional adalah apa yang disebut manajemen berbasis sekolah (MBS). Keberhasilan dalam pelaksanaan MBS sangat ditentukan oleh perwujudan kemandirian manajemen pendidikan pada tingkatan kabupaten/kota. Gagasan MBS sebenarnya dapat merupakan jawaban atas tantangan pendidikan kita ke depan. Dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, (Propenas), khususnya Bab VII (Pembangunan Pendidikan) digambarkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar, di antaranya adalah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Problem yang dihadapi kaitannya dengan penerapan model pengelolaan MBS selain rendahnya sosialisasi adalah kesiapan sekolah mengenai kesediaan infrastuktur dan suprastruktur sekolah dalam menerapkan MBS. Padahal jika dipahami yang dimaksud dengan manajemen berbasis 114
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 sekolah sesungguhnya bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Berikut gambaran pendekatan manajemen pendidikan yang memberikan perbedaan antara manajemen berbasis pusat dengan manajemen berbasis sekolah. b. Menggugat Kinerja Komite Sekolah. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga–lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing–masing berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah bertujuan, yaitu: (a) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan di kabupaten/kota (untuk Dewan Pendidikan) dan di satuan pendidikan (untuk Komite Sekolah); (b) meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan; (c) menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di daerah kabupaten/kota dan satuan pendidikan. c. Menyoal Transparansi Anggaran Pendidikan Menyadari pentingnya pengembangan mutu pendidikan, membuat pemerintah telah meneguhkan niatnya untuk memperhatikan pengembangan mutu pendidikan lewat regulasi yang memberikan jaminan tentang pembiayaan pendidikan. Lewat amademen UUD 1945 pasal 31 ayat 4 mengamanatkan adanya 20 persen minimal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk sektor pendidikan. Selengkapnya, berbunyi sebagai berikut: negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,selain UUD 1945, UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional juga mengamanatkan seperti yang tertuang dalam pasal 49 ayat 1 yang berbunyi dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Guru yang tadinya hanya diposisikan sebagai pelaksana kegiatan belajar mengajar (KBM) bisa disertakan dalam kegiatan lainnya seperti penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Begitupun orang tua siswa dan masyarakat, yang biasanya cuma menjadi sumber pendanaan sekolah, bisa ikut merencanakan bahkan melaksanakan kegiatan sekolah. d. Buruk Rupa Sarana dan Fasilitas Pendidikan Berbagai fasilitas sarana dan prasarana pendidikan umumnya di Indonesia masih memprihatinkan, sekalipun terdapat beberapa sekolah yang mempunyai berbagai kelengkapan sarana, prasarana dan fasilitas namun itu belum dianggap mencerminkan baik buruknya pelayanan pendidikan.
115
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 No 1
Ruang belajar/kelas
Baik (%) 48
2
Ruang perpustakaan
40
48
2
4
3
Tempat bermain/ fasilitas olahraga
38
48
2
2
4
Ruang UKS
32
56
4
4
5
Ruang koperasi sekolah/ warung/kantin
36
54
4
6
6
Faslitas belajar (meja, kursi, papan tulis, papan absensi dsb) Buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis kepada siswa Alat peraga yang sesuai dengan keperluan pendidikan dan pembelajaran
50
44
4
4
40
14
2
2
34
30
4
16
7 8
Kondisi Fasilitas dan Sarana Belajar
Sedang (%) 48
Buruk (%) 2
Abstain (%) 2
Hasil survei tentang sarana pendidikan dapat dilihat pada tabel 6 dimana rata-rata kondisi ruang belajar/kelas, Ruang perpustakaan, Tempat bermain / fasilitas olahraga, Ruang UKS, Ruang koperasi sekolah / warung / kantin, Fasilitas belajar (meja, kursi, papan tulis, papan absensi dsb), Buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis kepada siswa, Alat peraga yang sesuai dengan keperluan pendidikan dan pembelajaran masih dalam kondisi yang baik dan sebagian yang sedang. e. Ragam Macam Pungutan dan Korupsi Pendidikan Upaya memerangi korupsi dan berbagai penyimpangan lain dalam pembangunan gedung sekolah maupun penyelenggaraan pendidikan hanya bisa dilakukan bila ada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Di tingkat sekolah, korupsi tidak bisa diperangi dari dalam sekolah, tetapi harus dilakukan dengan memberdayakan orangtua murid dan masyarakat di sekitar sekolah. Langkah ini tentu bisa dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Depdiknas sebagai departemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana pendidikan nasional bisa memulainya dengan membuka akses kepada publik mengenai dana–dana yang diterima, sekolah mana saja yang menerima dana tersebut, dan untuk apa penggunaan dana tersebut. Selama ini, birokrasi pendidikan -dari pusat, dinas, sampai kepala sekolahsangat tertutup dan tidak mau membuka dokumen–dokumen berkaitan dengan proyek–proyek yang ada di sekolah. Alhasil, informasi tentang pengelolaan dana pendidikan hanya ada di tangan kepala dinas dan kepala sekolah. Hal ini tentu riskan terhadap penyelewengan dan tidak adanya kontrol dari publik, terutama stakeholder dunia pendidikan. f. Menyoal Kompetensi Pengajaran Kualitas SDM Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan SDM negara–negara Asean lainnya. Ketinggalan ini hanya dapat dijawab dengan peningkatan kualitas pendidikan. Indonesia dengan latar belakang yang beragam memerlukan penataan sistem dan layanan pendidikan yang lebih demokratis sesuai dengan tuntutan masyarakat. Untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu dalam masyarakat yang heterogen (majemuk), perlu keterlibatan semua pihak (pemerintah, keluarga, masyarakat) dan ini merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. Hal ini semua mengisyaratkan perlunya dilaksanakan desentralisasi pendidikan untuk merespon dan memotivasi aspirasi semua pihak. Desentralisasi 116
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 pendidikan akan berdampak langsung pada desentralisasi manajemen pendidikan sekaligus secara fleksibel dapat mengantisipasi keragaman tuntutan lokal dan daerah, utamanya sekolah. Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan, kemampuan daerah ini menjadi ukuran karena banyak masalah dan kendala yang perlu diatasi dalam penyelenggaraan desentralisasi tersebut (kurikulum, SDM, dana, sarana dan prasarana, peraturan perundang– undangan). g. Dicari kepala sekolah yang Kompeten Pada tingkat paling operasional, kepala sekolah adalah orang yang berada di garis terdepan yang mengkoordinasikan upaya meningkatkan pembelajaran yang bermutu. Kepala sekolah diangkat untuk menduduki jabatan yang bertanggung gugat mengkoordinasikan upaya bersama mencapai tujuan pendidikan pada level sekolah masing–masing. Dalam praktik di Indonesia, kepala sekolah adalah guru senior yang dipandang memiliki kualifikasi menduduki jabatan itu. Tidak pernah ada orang yang bukan guru diangkat menjadi kepala sekolah. Jadi, seorang guru dapat berharap bahwa jika "beruntung" suatu saat kariernya akan berujung pada jabatan kepala sekolah. Biasanya guru yang dipandang baik dan cakap sebagai guru diangkat menjadi kepala sekolah. Dalam kenyataan, banyak di antaranya yang tadinya berkinerja sangat bagus sebagai guru, menjadi tumpul setelah menjadi kepala sekolah. Umumnya mereka tidak cocok untuk mengemban tanggung jawab manajerial. Ingat salah satu prinsip Peter tentang inkompetensi? Orang–orang seperti ini telah terjerembab di puncak inkompetensinya dan akan tetap di situ hingga pensiun. Bayangkan nasib sekolah jika dipimpin oleh seseorang yang tidak lagi kompeten. II. ANALISA PELAYANAN PUBLIK BIDANG KESEHATAN Hak atas pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia. Dalam substansi hukum internasional pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak asasi manusia tercantum dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948. Di samping berbagai aturan tersebut, di tingkat internasional Indonesia telah mengikatkan diri melalui Millenium Development Goals (MDG) yang berkomitmen untuk dicapai pada 2015, yakni mengatasi : (1) kemiskinan dan kelaparan, (2) kesehatan, (3) ketidaksetaraan gender, (4) pendidikan, (5) air bersih, dan (6) lingkungan. Sementara di tingkat nasional berbagai aturan hukum telah mengatur tentang pelayanan kesehatan. Pasal 28H UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “...setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. Undang–Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga menegaskan bahwa negara harus bertanggungjawab dan berkepentingan atas pembangunan kesehatan rakyatnya. Tujuan pembangunan kesehatan menurut UU kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. 1. Persepsi Besaran Biaya dan Waktu Menurut responden yang menggunakan jasa layanan Puskesmas di beberapa puskesmas berpendapat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pelayanan lama. No 1 2 3 4
Jenis Pelayanan Antri pengambilan kartu Menunggu pemeriksaan Pemeriksaan medis Pengambilan obat
Lama ( % ) 50 67 30 17
Cepat ( % ) 40 20 63 67
Abstan ( % ) 10 13 7 16
117
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Yang cukup menarik dari hasil penelitian di beberapa puskesmas ini, pasien justru lebih banyak menghabiskan waktu pada saat mengantri atau mengambil kartu. Pada saat proses antri atau mendapatkan giliran pemeriksaan juga cukup lama. Padahal orang sakit menginginkan segera mendapatkan penanganan dari paramedis. Bayangkan apabila orang yang sakit disuruh menunggu cukup lama, mereka sudah sakit namun terpaksa mengantri lama. Alasan responden memilih berobat di puskesmas adalah biaya yang murah dan bisa dijangkau. Untuk biaya sebanyak 80% responden menyatakan bahwa biaya berobat di puskesmas termasuk murah dengan jumlah nominal Rp 6.000,00. Sedangkan yang memiliki Kartu Miskin mereka gratis atau tidak dikenakan biaya. Akan tetapi ada beberapa masyarakat yang mengeluhkan untuk mendapatkan kartu miskin prosesnya cukup lama dan berbelit–belit. 2. Transparansi pelayanan Adanya transparansi tersebut, diharapkan bisa memperkecil penyelewengan yang dilakukan dan tidak mengelabuhi masyarakat. Melalui transparansi pelayanan diharapkan para pemakai layanan puskesmas tahu akan hak serta kewajiban yang harus dipenuhi dan didapatkan. Hal tersebut dikarenakan tidak tersedianya informasi secara tertulis. Informasi tersebut mengenai ; tarif/retribusi puskesmas, biaya tindakan medik, program–program pelayanan, prosedur pelayanan, jam pelayanan Puskesmas, prosedur rujukan dan prosedur penggunaan askes. Tidak adanya transparansi tersebut akan membuat perbedaan besaran biaya yang dikeluarkan antara puskesmas yang satu dengan yang lain. Seharusnya setiap Puskesmas terpampang besaran harga yang harus dibayar oleh pasien setiap kali berobat, mulai dari berbagai macam poli, laboraturium dan loket pengambilan obat (obat apa saja yang harus bayar). No
Jenis informasi
1 2 3 4 5 6 7
Tarif/retribusi puskesmas Biaya tindakan medik Program-program pelayanan Prosedur pelayanan Jam pelayanan puskesmas Prosedur rujukan Prosedur penggunaan akses
Ya (%) 10 30 10 30 10 20
Tidak (%) 50 40 20 30 10 30 7
Tidak tahu (%) 40 40 50 50 50 50 67
Abstain (%) 10 10 10 10 6
3. Sikap petugas Parameter keramahan petugas sengaja dimasukkan dalam salah satu pertanyaan dalam kuisoner penelitian karena lewat keramahan ini diharapkan dapat mempercepat kesembuhan si pasien. Dari aspek psikologis orang yang sakit apabila mendapatkan pelayanan yang terbaik dan keramahan akan menumbuhkan kepercayaan terhadap para medis dan bisa mendukung proses kesembuhan. Tentang ada atau tidaknya keluhan dari pasien kepada petugas puskesmas yang meliputi petugas loket pendaftaran, perawat/bidan, dokter, dan petugas obat, apabila ada keluhan, keluhan yang terkadang muncul adalah keterlambatan petugas dan ada beberapa petugas yang tidak ramah. 4. Pemenuhan standar pelayanan Standar pelayanan tersebut dibuat atas dasar kesepakatan yang dibangun antara pemberi dan penerima layanan. Bukan hanya kesepakatan harga (yang memang sudah ditetapkan oleh pemerintah), namun standar waktu, jenis pelayanan, dan kesepakatan–kesapakatan yang lain. Pelibatan masyarakat tersebut, akan menumbuhkan pada diri masyarakat rasa memiliki dan pada akhirnya ikut 118
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 melaksanakan peraturan yang ada. Tentu saja dalam kesepakatan tersebut muncul reward dan punishment bagi kedua belah pihak. 5. Konteks pelayanan a) Kebersihan Dari penelitian ini, kebersihan dijabarkan pada kebersihan kamar mandi, ruang tunggu pasien dan ruang periksa pasien. b) Kenyamanan Kenyamanan merupakan salah satu aspek penilaian konteks pelayanan. No 1 2 3 4
Aspek penilaian Pengaturan kursi Kenyaman ruang tunggu Penagturan letak TV Kesejukan
Nyaman (%) 60 67 50 93
Tidak Nyaman (%) 40 33 50 7
Abstan(%) -
Kenyamanan merupakan salah satu aspek penilaian konteks pelayanan. Dalam penelitian ini kenyamanan pasien ditempatkan pada wilayah kenyamanan ruang tunggu dan kenyamanan ruang periksa. Dalam wilayah kenyamanan ruang tunggu ada beberapa parameter yang digunakan, yaitu pengaturan kursi, kenyamanan ruang tunggu, pengaturan letak pesawat televisi, dan kesejukan. Sedangkan untuk kenyamanan ruang periksa didapat hasil: No 1 2 3 4
Aspek penilaian Tempat tidur periksa Kondisi penerangan Kesejukan Privasi pasien
Nyaman (%) 73 83 90 90
Tidak Nyaman (%) 27 17 10 10
Abstan (%) -
6. Keterjangkauan fasilitas Kemudahan untuk mengakses fasilitas di Puskesmas diperlukan bagi para pasien untuk mempercepat mendapatkan pelayanan. Sebagian besar responden menyatakan untuk mengakses fasilitas tersebut terbilang mudah. Lebih jelas tentang pendapat pasien lihat tabel di bawah; No 1 2 3 4 5 6 7
Keterjangkauan fasilitas Bagian / ruang informasi Loket pendaftaran Poli (ruang periksa) Laboraturium Loket obat Kamar mandi/toilet Kotak saran/pengaduan
Sulit (%) 23 7 10 27 7 10 23
Mudah(%) 77 93 90 73 90 83 77
Abstain(%) 3 7 -
7. Responsivitas pelayanan Respon layanan puskesmas terhadap tindakan medis ketika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), temu warga untuk menjaring aspirasi pelayanan, dan pelibatan masyarakat dalam menyusun program kesehatan responden. Hal ini dapat dilihat kerjasama antara Puskesmas dengan warga sekitarnya. Puskemas responsivitas terhadap berbagai macam kejadian di lingkungannya. Puskesmas dalam sosialisasi terhadap berbagai macam kegiatan yang dilakukan, atau kegiatan yang dilakukan melibatkan warga sekitar.
119
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 8. Keluhan pelayanan Bagaimanapun baiknya pelayanan yang diberikan puskesmas kepada pasien tak urung pasti ada pasien yang mengeluhkan pelayanan. Ada beberapa aspek pelayanan yang dikeluhkan oleh responden. Adapun aspek pelayanan yang dinilai dan jumlah responden yang mengeluhkan pelayanan tersebut sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pelayanan Ketetapan jam pelayanan Ketersediaan obat Keberadaan dokter/perawat/bidan Keterbukaan dokter dalam memeriksa Lama antrian pelayanan Hasil pemeriksaan laboratorium kurang akurat Kebersihan bangunan
Ya ( % ) 20 20 17 10 67 10 13
Tidak( % ) 50 53 53 60 13 60 57
9. Pelayanan Untuk Orang Miskin Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tidak peduli kaya maupun miskin. Ironisnya yang terjadi saat ini banyak kalangan ekonomi menengah ke bawah tidak memperoleh jaminan kesehatan. Pada saat sakit mereka enggan untuk berobat, mereka cenderung ketakutan akan besarnya biaya untuk berobat. Ini merupakan salah satu efek dari kurang sosialisasinya pemerintah tentang kesehatan bagi mereka. Sebenarnya orang–orang yang tidak mampu berhak untuk mendapatkan ASKES KIN. Dalam prakteknya tidak semua masyarakat miskin mendapatkan kartu tesebut. Muncul permasalahan baru pada saat mereka akan mengurus kartu ASKESKIN tersebut, adanya prosedur yang berbelit–belit maupun tidak tepat sasarannya ASKESKIN. Orang yang dirasakan dari keluarga mampu pun mendapatkannya. Yang kaya merasa miskin sedangkan bagi yang miskin enggan untuk merasa miskin. Kartu ASKESKIN tersebut yang mengeluarkan adalah Kelurahan. Tepat atau tidak tepat sasaran tersebut tergantung kepada kepala kelurahan. Bagi warga yang tidak memiliki atau terdaftar ASKESKIN, ASKES menerbitkan kartu merah (mulai bulan Mei), persyaratannya cukup membawa surat keterangan tidak mampu. Lalu bagaimana para tunawisma, yang tergolong miskin bisa mendapatkan kartu tersebut, sedangkan untuk mendapatkan kartu tersebut harus memenuhi berbagai persyaratan diantaranya adalah adanya KK, sedangkan mereka tidak memiliki KK. Muncul permasalahan baru lagi pada saat ada ruang khusus untuk orang miskin. Hal tersebut akan menimbulkan dampak psikologis bagi orang miskin. Hal itu akan membuat seseorang enggan menggunakan ASKESKIN yang mereka miliki. Seharusnya tidak ada diskriminasi bagi yang mampu maupun tidak mampu. III. ANALISA PELAYANAN PUBLIK PEMBUATAN KTP DAN KK Isu penyelenggaran pelayanan publik (public service) dalam pelaksanaan otonomi daerah menjadi perhatian tersendiri bagi pengambil kebijakan dan birokrasi pemerintah daerah. Kondisi pelayanan publik yang diberikan pemerintah belum sepenuhnya berpihak kepada publik. Bermacam kepentingan seperti halnya kepentingan kapital, kepentingan politik, sangat mempengaruhi kebijakan layanan yang diberikan. Akibat yang terjadi tidak lebih bahwa pelayanan yang ada saat ini dapat ”diperjualbelikan”. Namun terlepas dari berbagai kepentingan yang ada, sudah menjadi peran stakeholder untuk peduli dan bisa berpartisipasi dalam pemenuhan haknya dengan merubah kebijakan yang ada.
120
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 1.
PEMBUATAN KTP a. Persepsi besaran biaya dan waktu Berdasarkan prosedur yang ada dalam mengurus KTP harus melalui beberapa tahap. Tahap–tahap tersebut adalah melalui RT, RW, kelurahan dan kecamatan. Dalam prosedur tersebut, jangka waktu yang dibutuhkan pada setiap tahap tidak ada kejelasan. Tidak adanya peraturan yang jelas berdampak terhadap perlakuan yang diterima masyarakat. Perbedaaan waktu tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah ini: No 1 2 3 4
Tingkat Pelayanan RT RW Kelurahan Kecamatan
1 menit 1 jam 66 52 31 17
2 jam1 hari 21 31 21 17
2 hari1minggu 0 7 41 52
2 minggu1bulan 7 0 3 3
> 2 bulan
Tabel di atas menunjukkan, bahwa pada tingkatan kelurahan dan kecamatan membutuhkan waktu yang relatif lama dibandingkan dengan tingkat RT dan RW. Pengurusan di Tingkat RT bisa dibilang cukup cepat demikian halnya di tingkat RW. Seandainya di masing–masing tingkat membutuhkan waktu sampai berhari–hari berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pembuatan KTP saja. Waktu yang berbeda tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda pada masyarakat. Tabel di bawah ini menunjukkan persepsi masyarakat tentang waktu yang dibutuhkan. No 1 2 3 4
Tingkat Pelayanan RT RW Kelurahan Kecamatan
Lama( % ) 14 14 57 66
Cepat ( % ) 75 75 36 21
Abstain( % ) 11 11 7 11
Masyarakat akan enggan untuk melewati tahap-pertahap, sehingga mereka cenderung menggunakan jasa calo, ataupun oknum. Masyarakat rela membayar lebih daripada harus mengikuti proses yang panjang dan memakan waktu. Hal tersebut akan merugikan masyarakat dan menguntungkan beberapa pihak. Besaran biaya yang bervariasi ini terinci sebagai berikut: No
Tingkat Pelayanan
1 2 3 4
RT RW Kelurahan Kecamatan
Gratis 62 52 17 0
Seribu5 ribu 28 28 45 21
ribu 610 ribu 0 0 3 14
11ribu15ribu 3 0 3 0
16ribu25ribu 3 0 7 0
26ribu50ribu 3 0 7 0
Pembiayaan di tingkat RT dan RW banyak yang gratis, namun demikian biasanya mereka diminta untuk mengisi uang Kas secara sukarela. Masyarakat yang membayar lebih dari sepuluh ribu di tingkatan RT biasanya mereka meminta tolong agar RT saja yang menghendel sampai KTP selesai. Padahal dalam peraturannya untuk membuat KTP bagi WNI adalah Rp.5000,00 dan WNA adalah Rp.10.000,00. Apabila di setiap sektor pelayanan (RT, RW, kelurahan dan kecamatan), dipungut biaya seharusnya ada standar yang harus diberlakukan di setiap pengurusan KTP. Standar yang diberlakukan jangan sampai memberatkan masyarakat. Bahkan ada sebagian masyarakat sebenarnya menginginkan pembuatan KTP gratis. 121
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 b. Transparansi Pelayanan Berdasarkan survei diperoleh bahwa tingkat transparansi pelayanan terkait dengan pembuatan KTP yang ada di Kelurahan dan Kecamatan adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4
Jenis Informasi Tarif retribusi pembuatan KTP Program-program pelayanan Prosedur pelayanan Jam pelayanan pembuatan KTP
Ya (%) 29 50 46 29
Tidak (%) 36 25 32 43
Tidak tahu (%) 35 25 21 29
c. Sikap petugas Sikap petugas bisa dikatakan cukup baik dalam memberikan layanan. Para petugas cukup ramah dalam artian mereka memberikan senyuman dan sapaan. Akan tetapi dalam memberikan layanan yang bertujuan memberikan kepuasan kepada penerima layanan keramahan saja tidak cukup. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya keluhan dari masyarakat dalam mengurus KTP. Besaran keluhan tersebut bisa dilihat dari Tabel di bawah: No 1
Petugas Kelurahan/kecamatan Petugas loket
Ya (%) 46
Tidak (%) 54
Abstain (%) 0
d. Perbedaan pelayanan No 1 2
Diskriminasi pelayanan Petugas loket Pegawai kelurahan/kecamatan
Ya (%) 25 57
Tidak ( % ) 25 7
Abstain ( % ) 50 36
e. Standar pelayanan Standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh petugas adalah setiap petugas harus menanyakan kepentingan orang yang akan dilayani. Pada saat masyarakat mengurus KTP para petugas menjelaskan prosedurnya dan masih ada sikap petugas yang enggan menjelaskan. Tujuan dari menjelaskan tersebut biar masyarakat mengerti dengan harapan mereka tidak akan bolak–balik atau bertanya kesana kemari utuk mencari informasi, yang pada akhirnya informasi yang diperoleh simpang siur. Selain itu petugas juga berkewajiban menanyakan berkas–berkas yang dibutuhkan. No 1 2 3
Keterjangkauan Fasilitas Bagian/ruang informasi Loket Pendaftaran Kotak saran / pengaduan
Sulit( % ) 29 11 43
Mudah( % ) 71 89 50
Abstain( % ) 0 0 7
Pelayanan yang baik harus tidak berhenti membuat inovasi dalam perbaikan. Pendapat responden, yang perlu diperbaiki dalam memberikan layanan terlihat dalam tabel di bawah ini: No 1 2 3
122
Jenis Pelayanan Ketepatan waktu pelayanan Besarnya biaya retribusi Prosedur pelayanan
Ya ( % ) 79 70 51
Tidak( % ) 21 18 25
Abstain( % ) 12 24
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 Kualitas pelayanan di kelurahan maupun kecamatan mengalami perubahan, yaitu mengenai biaya pengurusan, biaya dan waktu serta keramahan petugas. 2.
Pembuatan Kartu Keluarga a. Persepsi besaran biaya dan waktu Berdasarkan hasil survei proses pelayanan administrasi dasar khususnya pembuatan KK menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KK relatif lama, terutama ketika sudah berurusan dengan birokrasi di tingkat kelurahan dan kecamatan. Data lebih rinci tentang rentang waktu yang diperlukan dalam proses pembuatan KK adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4
Tingkat Pelayanan RT RW Kelurahan Kecamatan
1 menit 1 jam 65 40 10 0
2 jam1 hari 20 45 25 5
2 hari1minggu 5 5 50 70
2 minggu1bulan -
> 3 bulan 5 -
* diurus oleh ketua RT sampai selesai. Sedangkan untuk besaran biaya pembuatan KK bervariasi, padahal berdasarkan peraturan daerah seharusnya untuk besaran biaya standar. Biaya pembutan KK menurut peraturan adalah WNI Rp. 5.000,- dan WNA Rp.10.000,-. Besaran biaya yang bervariasi ini terinci sebagai berikut: No
Tingkat Pelayanan
Gratis (%)
Seribu5ribu (%)
6 ribu – 10 ribu (%)
11ribu15ribu (%)
16ribu – 25ribu (%)
26ribu50ribu (%)
1 2 3 4
RT RW Kelurahan Kecamatan
55 50 5 -
5 30 35 50
0 0 20 45
0 0 0 5
15 0 0 0
0 0 0 0
b. Transparansi Pelayanan Berdasarkan survei didapat bahwa tingkat transparansi pelayanan terkait dengan pembuatan KK yang ada di Kelurahan dan Kecamatan adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4
Jenis Informasi Tarif retribusi pembuatan KK Program-program pelayanan Prosedur pelayanan Jam pelyanan pembuatan KK
Ya (%) 16 53 47 26
Tidak (%) 53 32 32 37
Tidak tahu (%) 26 11 16 32
Berkaitan dengan adanya keluhan dari masyarakat terhadap layanan yang diberikan, masyarakat banyak yang mengeluh tentang biaya yang mahal serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KK, selain itu sikap petugas yang cukup menjengkelkan lainnya yang dikeluhkan oleh masayarakat adalah adanya pembedaan pelayanan bagi yang memiliki koneksi. Berkaitan dengan keluhan tersebut kami menanyakan aspek–aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebagian besar responden menyatakan bahwa ketepatan waktu, besarnya biaya retribusi, dan prosedur pelayanan perlu diperbaiki. 123
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 c. Sikap petugas Hal ini berkitan sikap petugas dalam melayani masyarakat dalam pengurusan KK. Aspek yang kami nilai adalah sapaan, senyuman, kerapian, dan ada tidaknya keluhan kepada petugas loket. Berkaitan dengan hal ini survei Sikap Petugas menunjukkan sebagai berikut: No 1
Sikap Petugas Sapaan
Baik ( % ) 63
Tidak( % ) 32
Abstain ( % ) 5
2 3
Senyuman
63
32
5
Kerapian
95
0
5
4
Keluhan
26
68
6
Berkaitan dengan adanya keluhan dari masyarakat terhadap layanan yang diberikan, masyarakat banyak yang mengeluh tentang biaya yang mahal serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KK, selain itu sikap petugas yang cukup menjengkelkan lainnya yang dikeluhkan oleh masyarakat adalah adanya pembedaan pelayanan bagi yang memiliki koneksi. Pembedaan ini dilakukan oleh pegawai kelurahan atau kecamatan dan petugas loket. Yang cukup mengherankan dari banyaknya keluhan tersebut sedikit sekali yang disampaikan kepada pihak kelurahan atau kecamatan. Ini terjadi karena tidak jelasnya prosedur penyampaian keluhan, dan dari sekian yang menyampaikan keluhan tanggapan pihak kelurahan atau kecamatan sebagian besar membiarkan saja dan berjanji akan memperbaiki. Sebagian besar responden menyatakan bahwa ketepatan waktu, besarnya biaya retribusi, dan prosedur pelayanan perlu diperbaiki. d. Pemenuhan standar pelayanan Hal ini berkaitan dengan sikap petugas dalam melayani masyarakat, petugas paling tidak harus menguasai prosedur pelayanan untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Standar Pelayanan ini meliputi: No 1 2 3
Standar pelayanan Menanyakan kepentingan Menjelaskan prosedur Menanyakan kelengkapan berkas
Standar (%) 89 63 68
Tidak standar(%) 5 26 21
Abstain (%) 6 11 11
Konteks pelayanan terkait dengan prasarana yang tersedia dalam melayani masayarakat. e. Konteks pelayanan Konteks pelayanan terkait dengan prasarana yang tersedia dalam melayani masayarakat. Dalam survei ini kami menilai tentang kebersihan, kenyamanan, dan kemudahan akses atau keterjangkauan. Dari survei ini didapat bahwa kebersihan kamar mandi di kelurahan atau kecamatan menunjukkan bersih, sedangkan untuk kebersihan ruang tunggu. Responden menyatakan bersih. Berkaitan dengan kenyamanan ruang tunggu, kami membagi menjadi empat (4) aspek yaitu, 1. Pengaturan kursi, kenyamanan, pengaturan letak televisi, dan kesejukan. Untuk kenyamanan ruang tunggu responden menyatakan nyaman dan tidak nyaman. 2. Sedangkan untuk pengaturan televisi dan kesejukan responden menyatakan bahwa pengaturan televisi memenuhi aspek kenyamanan, sisanya tidak 124
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 nyaman, untuk kesejukan ruang tunggu responden menyatakan nyaman dan responden menyatakan tidak nyaman. 3. Kemudahan akses atau keterjangkauan fasilitas berkaitan dengan kemudahan dalam mengakses bagaian atau ruang informasi, loket pendaftaran, dan kotak saran atau pengaduan. Dari survei Konteks Pelayanan yang kami lakukan didapat bahwa: No 1 2 3
Keterjangkauan fasilitas Bagian/ruang informasi Loket pendaftaran Kotak saran/pengaduan
Sulit( % ) 16 0 26
Mudah( % ) 79 89 63
Abstain( % ) 15 11 11
f. Persepsi perubahan kualitas Respon pihak kelurahan dan kecamatan dalam menanggapi keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. Ternyata dari persepsi responden didapat bahwa kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak kelurahan dan kecamatan. Aspek pelayanan yang dipersepsikan oleh responden: 1. Mempersepsikan lebih buruk yakni; fasilitas ruang tunggu, waktu tunggu dan keramahan petugas. 2. Adapun yang mempersepsikan lebih baik, aspek tersebut, yaitu keramahan petugas, fasilitas ruang tunggu dan waktu tunggu. F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I. Kesimpulan 1. PELAYANAN PUBLIK BIDANG PENDIDIKAN Sarana dan Fasilitas Pendidikan rata–rata kondisi ruang belajar/kelas, Ruang perpustakaan masih dalam kondisi yang baik. Tempat bermain/fasilitas olahraga, Ruang UKS, Ruang koperasi sekolah/warung/kantin , Fasilitas belajar (meja, kursi, papan tulis, papan absensi dsb) masih dalam kondisi yang baik, Buku pelajaran pokok yang dipinjamkan secara gratis kepada siswa, Alat peraga yang sesuai dengan keperluan pendidikan dan pembelajaran masih dalam kondisi yang sedang. 2. PELAYANAN PUBLIK BIDANG KESEHATAN a. Persepsi Besaran Biaya dan Waktu Yang cukup menarik dari hasil penelitian di beberapa puskesmas ini, pasien justru lebih banyak menghabiskan waktu pada saat mengantri atau mengambil kartu. b. Transparansi pelayanan Sebagai sebuah organisasi yang memberikan jasa kepada masyarakat, puskesmas dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal demi kepuasan pasien. Sedangkan Rumah Sakit Kota sangatlah diperbaiki pada Manajemen bersifat kepuasan pelayanan baik internal maupun eksternal. Secara keseluruhan transparansi sedang. c. Pemenuhan standar pelayanan Sebagai sebuah organisasi yang memberikan jasa kepada masyarakat, puskesmas dan Rumah Sakit Umum Kota dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal demi kepuasan pasien d. Konteks pelayanan Kenyamanan merupakan salah satu aspek penilaian konteks pelayanan. Kenyamanan pasien ditempatkan pada wilayah kenyamanan ruang tunggu dan kenyamanan ruang periksa. Dalam wilayah kenyamanan ruang tunggu ada 125
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
e.
f.
g.
h.
beberapa parameter yang digunakan, yaitu pengaturan kursi, kenyamanan ruang tunggu, pengaturan letak pesawat televisi, dan kesejukan. Keterjangkauan fasilitas Kemudahan untuk mengakses fasilitas di Puskesmas dan Rumah Sakit Kota diperlukan bagi para pasien untuk mempercepat mendapatkan pelayanan. Sebagian besar responden menyatakan untuk mengakses fasilitas tersebut terbilang mudah. Responsivitas pelayanan Respon layanan puskesmas terhadap tindakan medis ketika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), temu warga untuk menjaring aspirasi pelayanan, dan pelibatan masyarakat dalam menyusun program kesehatan responden. Sedangkan Rumah Sakit Kota masih kurang dalam mencerna aspirasi yang dikarenakan belum efektifnya Promosi Kesehatan terutama pada Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit terlihat jelas pada angka piutang yang ditagihkan kepada Pemerintah Kabupaten Bantul senilai Rp. 732.000.000,-. Keluhan pelayanan Bagaimanapun baiknya pelayanan yang diberikan puskesmas dan rumah sakit kepada pasien tak urung pasti ada pasien yang mengeluhkan pelayanan, dan ini untuk Pemerintah Kota telah memberikan Kegiatan khusus tentang Indek Pelayanan Masyarakat serta memfasilitasi keluhan yang bersifat langsung dengan UPIK dan Walikota menyapa. Pelayanan Untuk Orang Miskin Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tidak perduli kaya maupun miskin. Ironisnya yang terjadi saat ini banyak kalangan ekonomi menengah ke bawah tidak memperoleh jaminan kesehatan, dengan adanya Jaminan Kesehatan Daerah tercatat banyaknya warga miskin sesuai dengan keterangan miskin dan mendapatkan bantuan biaya sesuai dengan platfom dan keputusan Walikota Yogyakarta.
3. PELAYANAN PUBLIK PEMBUATAN KTP DAN KK a. PEMBUATAN KTP 1) Persepsi besaran biaya dan waktu Standar yang diberlakukan jangan sampai memberatkan masyarakat. Bahkan ada sebagian masyarakat sebenarnya menginginkan pembuatan KTP gratis. 2) Sikap petugas Sikap petugas bisa dikatakan cukup baik dalam memberikan layanan. Para petugas cukup ramah dalam artian mereka memberikan senyuman dan sapaan. Akan tetapi dalam memberikan layanan yang bertujuan memberikan kepuasan kepada penerima layanan keramahan saja tidak cukup. 3) Perbedaan pelayanan Fasilitas yang disediakan di tempat–tempat pelayanan publik harus mudah diakses oleh para pengguna layanan. Pelayanan yang baik harus tidak berhenti membuat inovasi dalam perbaikan. Pendapat responden, yang perlu diperbaiki dalam memberikan layanan. Kualitas pelayanan di kelurahan maupun kecamatan mengalami perubahan, yaitu mengenai biaya pengurusan, biaya dan waktu serta keramahan petugas sudah baik.
126
JURNAL PENELITIAN VOL. 8
b. PEMBUATAN KARTU KELUARGA 1) Persepsi besaran biaya dan waktu Proses pelayanan administrasi dasar khususnya pembuatan KK menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KK relatif lama, terutama ketika sudah berurusan dengan birokrasi di tingkat kelurahan dan kecamatan. Data lebih rinci tentang rentang waktu yang diperlukan dalam prsoses pembuatan KK. Sedangkan untuk besaran biaya pembuatan KK bervariasi, padahal berdasarkan peraturan daerah seharusnya untuk besaran biaya standar. Biaya pembuatan KK menurut peraturan adalah WNI Rp. 5.000,- dan WNA Rp.10.000,-. 2) Transparansi Pelayanan Berdasarkan survei didapat bahwa tingkat transparansi pelayanan terkait dengan pembuatan KK yang ada di Kelurahan dan Kecamatan adalah baik. Berkaitan dengan adanya keluhan dari masyarakat terhadap layanan yang diberikan, masyarakat banyak yang mengeluh tentang biaya yang mahal serta lamanya waktu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan KK, 3) Pemenuhan standar pelayanan Hal ini berkaitan dengan sikap petugas dalam melayani masyarakat. Petugas paling tidak harus menguasai prosedur pelayanan untuk dapat melayani masyarakat dengan baik. Standar Pelayanan telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan Peraturan Walikota Yogyakarta. II. SARAN 1. Pemerintah Kota Yogyakarta. a. Membentuk desain ( Alur Pelayanan Publik ) sistem evaluasi terhadap model kontrak pelayanan di bidang pelayanan publik bidang pendidikan, kesehatan dan administrasi dasar yang bebas dari KKN, efisien, partisipatif, responsif dan bertanggungjawab di Kota Yogyakarta. b. Menindaklanjuti hasil evaluasi terhadap mekanisme pelayanan publik yang berbasis kepentingan masyarakat sebagai pihak yang harus dilayani oleh administrasi negara (birokrasi) atau berbasis tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). 2.
Satuan Kerja Perangkat Daerah 1. Membuat Prosedur Tetap ( SOP ) sesuai dengan desain sistem evaluasi terhadap pelayanan publik bidang Pendidikan ( SOP Bosda), kesehatan ( SOP Pelayanan Kesehatan Dasar dan Lanjutan ) dan administrasi dasar yang Bebas dari KKN (SOP Pelayanan KTP/Kependudukan) dengan efisien, partisipatif, responsif dan bertanggungjawab di Kota Yogyakarta. 2. Memberikan Penghargaan bagi yang berprestasi ( Kompensasi Karir/ Tunjangan Kinerja ) dan Hukuman bagi yang bermasalah ( Penundaan Pangkat, Penghentian Tunjangan Kinerja, Dipindahtugaskan ) kepada Pegawai yang melayani dan terlibat langsung pelayanan kepada masyarakat. 3. Karena indikasi keberhasilannya terletak pada perubahan kondisi ekonomi secara tetap bukan sementara, maka dengan demikian sangat sulit bila saat harus diputuskan program ini berhasil, ataupun tidak untuk itu diperlukan program yang bersifat berkelanjutan.
127
JURNAL PENELITIAN VOL. 8 3.
128
Rekomendasi Umum 1. Dalam sebuah upaya perbaikan program atau evaluasi, langkah awal yang penting adalah penguatan pangkalan data (dasar data) tentang jumlah penduduk miskin beserta dengan indikator kemiskinan yang dapat dijadikan acuan oleh seluruh pemangku kepentingan pembangunan daerah dalam hal ini adalah pemegang KMS. Dalam proses pendataan dan penentuan indikator kemiskinan, penting untuk melibatkan masyarakat, terutama masyarakat miskin. 2. Menciptakan kesepahaman bersama dengan seluruh pemangku kepentingan pembangunan daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kegiatan ini akan berhasil dengan baik apabila dilakukan secara terencana, terpadu, terarah, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh elemen, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dalam hal ini adalah lembaga pendidikan, penyedia layanan kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Rumah bersalin, Dokter Praktek dan lain–lain), dan pihak pengembang perumahan. 3. Memaksimalkan apa yang ada di daerah, menggali potensi–potensi daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan asli daerah, tanpa mengganggu aktivitas ekonomi lokal, sehingga mampu menyediakan kapasitas fiskal yang memadai guna mendanai berbagai kegiatan pembangunan di daerah. Di kota Yogyakarta yang masih bisa dikembangkan adalah bidang wisata, dan industri tetapi harus mengacu kepada kepentingan masyarakat lokal.