#1 1
E d is2i01A5PM
Buletin Internal VECO Indonesia
B isnis Per tanian
B a n ya k J a l a n m e n u j u Ak s e s M o d a l
LONTAR - 2015 Foto:#11 Anton Muhajir
1
Dari Redaksi
P
Agar Petani Makin Profesional
embaca LONTAR yang tercinta. Akhir Juli lalu kami kembali mengadakan Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia. Ini merupakan agenda tahunan kami bersama para mitra dari seluruh wilayah program di Indonesia.
Kali ini, pertemuan yang lebih sering disebut Annual Partner Meeting (APM) tersebut, bertema
Menuju Organisasi Petani yang Mampu Berbisnis secara Profesional dan Mengakses Kredit Perbankan. Melalui
tema tersebut kami ingin agar petani-petani mitra kami bisa bekerja secara profesional termasuk dalam mengakses kredit dari bank. Untuk mewujudkan tujuan itu, APM 2015 dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu diskusi dan kunjungan lapangan. Dalam diskusi, hadir pembicara seperti kalangan perbankan, pengelola bank petani, serta wakil pemerintah yang memberikan dukungan terhadap usaha mikro, kecil,
dan menengah (UMKM). Menariknya APM kali ini karena hadir pula kalangan perbankan yaitu Bank NTT dan pihak swasta pembeli produk petani seperti PT Agripro, PT Mars, dan lain-lain. Melengkapi diskusi tersebut, ada pula kunjungan ke koperasi petani di Bali yaitu petani beras di Tabanan, kopi di Bangli, kakao di Jembrana, dan sayur di Badung. Melalui kunjungan tersebut, petani bisa saling belajar bagaimana mengelola bisnis pertanian masing-masing. LONTAR yang Anda baca saat ini merangkum semua kegiatan tersebut dalam bentuk tulisan populer. Semoga informasi yang kami sampaikan bisa menjadi bahan belajar bagi kita semua, terutama untuk mewujudkan organisasi petani lebih profesional dalam berbisnis. Selamat membaca. [Redaksi]
Daftar Isi 2 3 4
14 16 18 20 22 20
2
Dari Redaksi Editorial Reportase Banyak Jalan Menuju Akses Modal
Kunjungan Profil Wisata Testimoni Galeri Poster
LONTAR #11 - 2015
LONTAR (n) daun pohon lontar ( Borassus flabellifer) yang digunakan untuk menulis cerita; (n) naskah kuno yang tertulis pada daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus kata benda (n). Lontar adalah media informasi tentang pertanian yang memperhatikan nilai-nilai lokal dan keberlanjutan, hal yang terus VECO Indonesia perjuangkan.
Tim Redaksi Penanggung jawab: Peter Sprang Redaksi: Anton Muhajir Kontributor: Luh De Suriyani Tata letak: Syamsul "Isul" Arifin Alamat Redaksi VECO Indonesia Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya, Denpasar, Bali 80224 Telp: 0361 - 7808264, 727378, Fax: 0361 - 72321 7 Email:
[email protected] www.vecoindonesia.org
@VECOIndonesia
facebook.com/VECOIndonesia
Redaksi menerima berita kegiatan, profil, maupun tips terkait praktik pertanian berkelanjutan terutama tentang mitra VECO Indonesia di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim lewat email ataupun pos ke alamat di atas. Materi publikasi ini dicetak menggunakan kertas daur ulang 50 persen sebagai komitmen VECO Indonesia terhadap keberlanjutan lingkungan.
Editorial
Permudah Akses Kredit untuk Usaha Tani
P
“Kami sudah tiga kali mengajukan kredit ke LPDB namun belum satu kali pun berhasil. Katanya karena perbedaan warna politik,” kata Abdul Rauf.
engurus Koperasi Petani Amanah di Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat itu bisa menggambarkan bagaimana susahnya petani dalam mengakses kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Modal memang selalu menjadi tantangan bisnis petani dari masa ke masa. Tak hanya untuk produksi tapi juga bisnis. Padahal, petani membutuhkan kapital ini untuk membeli sarana produksi maupun pengolahan hingga bisnis produk mereka. Namun, jangankan untuk modal usaha, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pun petani masih terengahengah. Menurut Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2014, sebagian besar petani Indonesia Indonesia masih hidup kekurangan. Pendapatan dari satu hektar padi dan jagung hanya Rp 4,5 juta dan Rp 2,5 juta per musim tanam. Lingkaran setan Banyak penyebab susahnya petani mengakses kredit dari pemerintah ataupun perbankan. Isu klasik adalah rendahnya kapasitas petani dalam berorganisasi dan berbisnis. Untuk mengakses modal, petani harus mengajukan proposal usaha. Untuk membuat proposal, petani harus profesional. Namun, untuk profesional juga petani butuh modal. Maka, jadilah lingkaran setan. Ada beberapa masalah yang dihadapi perbankan untuk membiayai UMKM. Misalnya, lemahnya administrasi, kecilnya usaha, serta kurang matangnya rencana usaha. Semua hanya
dari sisi petani. Padahal, jika dibalik perspektifnya, maka petani yang menghadapi sejumlah masalah ketika hendak mengakses kredit. Misalnya, ruwetnya birokrasi dan jaminan yang terlalu besar. Karena itu jawabannya adalah berikan pendampingan dan kemudahan. Jika petani masih menghadapi masalah klise kurangnya kapasitas organisasi dan bisnis, maka dampingilah petani agar lebih profesional. Dalam berorganisasi maupun berbisnis. Jika sudah didampingi, berikanlah kemudahan. Sudah jadi rahasia umum bahwa mengakses kredit konsumsi seperti sepeda motor, mobil, atau rumah jauh lebih mudah daripada mengakses kredit untuk modal produksi. Maka, petani harus diberikan kemudahan untuk mengakses kredit ini. Pemberi layanan kredit seharusnya mencari cara-cara untuk mendukung agar petani Indonesia bisa lebih maju. [Anton Muhajir]
Facilitating Access to Credit for Farmers
M
"We'd applied for a loan from LPDB three times, but without success. Apparently it was because of a difference in political shade," said Abdul Rauf.
r. Rauf, manager of Amanah farmer cooperative in Polewali Mandar (Polman), West Sulawesi, is able to describe just how difficult it is for farmers to access micro, small and medium business loans.
For Rauf and other small-scale farmers in Indonesia, capital has always been a challenge. Not only for production but also for business. Yet farmers need this capital to buy production inputs, manage their businesses, and market their products. Business capital aside, farmers still struggle to survive day to day. According to a 2014 Statistics Agency survey, most of Indonesian farmers still live in poverty. Income from a hectare of rice is no more than IDR 4.5 million per growing season; and the figure for a hectare of corn is just IDR 2.5 million. Vicious circle There are many reasons that farmers have difficulties accessing credit from the government or from banks. The classic issue is the farmers' lack of organising and business skills. To access capital, farmers must submit a business proposal. And to make a business proposal, farmers must be professional. But to be professional, farmers need capital.
So, it's a vicious circle. There are some challenges that banks have when it comes to financing micro, small and medium businesses. These include poor administration, the small scale of their businesses, and poorly thought out business plans. And that's just from one perspective. From the other perspective, farmers face a number of problems when seeking access to credit. Examples include the complicated bureaucracy and the excessive collateral requirements. Thus, the answer is to provide support and facilitation. Those farmers who face the classic problem of a lack of organising and business skills, should ve supported to be more professional, both in organising and in business. If they have support, facilitate them. It is no secret that accessing consumer credit for motorbikes, cars and houses, for example, is easier than accessing credit for production capital. So, farmers must be facilitated to access this credit. In short, credit service providers should be looking for ways to support most of Indonesian farmers. [Anton Muhajir] LONTAR #11 - 2015
3
B a n ya k J a l a n M e nga k s e s Modal B isnis Tani Gagal di satu pintu, masuki pintu lain. Karena ternyata banyak pintu menuju akses modal untuk mendanai usaha pertanian. Modal bisnis itu ada yang dibuat bank, pemerintah, dan bahkan oleh petani sendiri.
4
Fotofoto: Anton Muhajir
LONTAR #11 - 2015
Reportase
B
egitulah pesan penting dari seluruh rangkaian Pertemuan Tahunan Mitra atau Annual Partner Meeting (APM) VECO Indonesia 2015 di Bali pada 26-29 Juli lalu. Rangkaian kegiatan mulai dari dua diskusi di hari pertama ataupun kunjungan-kunjungan di dua hari setelahnya. Selama empat hari APM 2015, peserta belajar tentang beragam jalan dalam mengakses modal bagi bisnis petani.
APM 2015 bertema Menuju Organisasi Petani yang Mampu Berbisnis secara Profesional dan Mengakses Kredit Perbankan.
Tema ini relevan dengan strategi program VECO Indonesia 2014-2016 yang menekankan pada peningkatan kapasitas bisnis petani. Akses modal merupakan aspek penting untuk menuju bisnis petani secara profesional tersebut. Selain kunjungan lapangan ke koperasi-koperasi petani, para mitra juga belajar tentang kewirausahaan secara langsung dari aktor swasta di Bali yang telah berhasil mengembangkan diversifikasi usaha pertanian.
Pada hari pertama, setelah pembukaan oleh Perwakilan Regional VECO Indonesia Rogier Eijkens yang sekaligus menyerahkan posisi kepada penggantinya yaitu Peter Sprang, kegiatan berlanjut dengan diskusi pertama. Diskusi tentang akses kredit untuk petani menghadirkan tiga pembicara yaitu Direktur Utama Bank NTT Daniel Tagu Dedo, Direktur Bisnis Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Warso Widanarto, serta pendiri bank petani Masril Koto. Ketiganya menyampaikan pandangan dan pengalaman tentang betapa banyaknya jalan untuk mengakses kredit bagi modal usaha petani. Kredit Bank Daniel meyakinkan mitra VECO Indonesia bahwa Bank NTT akan mendorong pengucuran dana kredit pertanian serta UMKM ini. Dia menjelaskan, Bank NTT menargetkan menyalurkan dana
Saat ini total kredit yang disalurkan Bank NTT mencapai Rp 50 triliun. Jadi sekitar Rp 1 triliun yang harus disalurkan ke UMKM. UMKM sebesar 5 persen, meningkat jadi 10 persen, dan sampai 2018 menjadi 20 persen. Meskipun demikian, Daniel menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi bank, termasuk Bank NTT, dalam menyalurkan kredit untuk UMKM. Pertama, tak ada catatan administrasi yang baik. Kedua, usaha terlalu kecil sehingga kreditnya kecil-kecil. Tantangan lain, Daniel melanjutkan, adalah catatan administrasi yang kurang baik dan dana kredit yang diakses
Many Routes to Farming Business Capital If one door closes, open another. Because there are plenty of doors to access capital for funding farming businesses. The business capital is available from banks, government, and even from farmers themselves.
T
hat was the key message from activities at the 2015 VECO Indonesia Annual Partner Meeting (APM) in Bali, held on 26-29 July. These activities included two discussions and field visits. During the four
days of the 2015 APM, the participants learned about the different routes to access capital for farming businesses.
The theme of the 2015 APM was
Towards Professional, Bankable, and Business-Minded Farmer Organisations.
This theme is relevant to the 20142016 VECO Indonesia programme strategy, which focuses on building farmers' business capacity. Access to capital is a key aspect of creating professional farmer businesses.
LONTAR #11 - 2015
5
Reportase terlalu sediki. Padahal biaya pengurusan di bank sama antara permohonan dana kecil dan besar. “Kredit Rp 100 milyar dan 100 juta itu sama ongkosnya. Apalagi ke petani di desa-desa di NTT yang geografisnya sulit,” paparnya. Tantangan lain adalah tidak adanya perencanaan matang dalam pengelolaan keuangan, kurangnya perizinan dan kepemilikan tempat usaha, serta terbatasnya agunan dari kelompok petani. Terakhir, dia menyebutkan premi asuransi yang cukup besar untuk lingkungan pertanian karena tingginya risiko kegagalan di bidang usaha pertanian. Karena itulah, Bank NTT akan membantu memecahkan sejumlah masalah itu. “Saya akan undang Pak Peter (Peter Sprang, perwakilan regional VECO Indonesia yang baru) presentasi ke BPD-BPD tempat operasional VECO Indonesia,” lanjut Daniel. Tujuannya untuk mencari strategi memudahkan akses kredit ini. Untuk kendala agunan, menurutnya, pemerintah sudah membuat Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) dan Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), lembaga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas mengatasi keterbatasan agunan. Salah satu tugasnya membantu penjaminan usaha pertanian terpadu
Apart from field visits to farmer cooperatives, the partners also learned about entrepreneurship directly from private companies in Bali that have successfully developed farm business diversification. There were speakers in this discussion on access to credit for farmers: Bank NTT Managing Director Daniel Tagu Dedo, Business Director of Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) at the Ministry of Cooperatives and Micro, Small and Medium Enterprises Warso Widanarto, and founder of Bank Petani Masril Koto. They presented their views and experience of the many routes to accessing capital loans for farmer businesses. Bank Credit Daniel assured VECO Indonesia partners that Bank NTT would promote credit funds for farming businesses and micro,
6
LONTAR #11 - 2015
termasuk hortikultura, perkebunan, kerajinan rumah tangga, dan perdagangan. “Skemanya berbeda tiap aktivitas. Semoga VECO Indonesia dan Asbanda (Asosiasi Bank Daerah) ada kerja sama agar semua mitra mendapat fasilitas kredit Bank NTT,” tambah Daniel. Ia mengatakan baru bertemu VECO Indonesia sebagai mitra kerja yang tepat untuk menjembatani hambatan penyaluran kredit. Selama ini, penyaluran
kredit lebih banyak melalui lembaga keagamaan seperti gereja dan keuskupan maupun secara langsung ke petani. “Nah penyaluran langsung ini yang mahal,” katanya. Bank NTT sendiri sudah menyalurkan kredit sebesar Rp 1,32 miliar untuk petani mitra VECO Indonesia di Flores. Dana tersebut diberikan kepada tiga organisasi petani yaitu Koperasi Produksi Agroniaga di Ende sebesar Rp 500 juta, Koperasi Papa Taki di Bajawa sebesar Rp
small and medium enterprises. He explained that the Bank NTT target was to disburse 5 percent of micro, small and medium enterprise loans, rising to 10 percent, and to 20 percent by 2018. However, Daniel explained that there were a number of challenges for banks, including Bank NTT, in providing credit to micro, small and medium enterprises. First is the lack of proper administrative records. Second, because of the small scale of their businesses, the loans that can be offered are small too. Another challenge, Daniel continued, is the loans applied for are very small, while the bank handling fees are the same, regardless of the amount of the loan. “Getting out the farmers in villages in NTT is thwarted with geographical challenges," he said. Other challenges include poor financial management planning, not having
the correct business operation and business premises permits, and the limited collateral of farmer groups. Finally, he mentioned the high insurance premiums for farming businesses because of the high risk of crop failure. For these reasons, Bank NTT will help solve some of these problems. "I will invite Peter (Peter Sprang, the new VECO Indonesia Regional Representative) to make presentations at BPD (regional development banks) in areas where VECO Indonesia operates," Daniel continued. To address the collateral problem, the government has created credit insurance state enterprises Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) and Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). One of their tasks is to help with collateral for integrated farming businesses, including horticulture, plantations, home-based craft businesses, and trade.
Reportase
Jangan menyerah, ada koperasi dan UKM datang lima kali. Baru yang kelima disetujui. membangun wirausaha dagang memanfaatkan hasil tani NTT.
320 juta, dan Koperasi Serba Usaha Asnikom di Borong sebesar Rp 500 juta. “Saat ini kami melanjutkan survei untuk koperasi petani lain di Flores termasuk di Mbay dan Larantuka,” kata Daniel. Melalui kredit untuk petani itu, Daniel berharap petani di Flores nanti bisa lebih maju. “Saya bermimpi, petani bisa punya Café Flores. Kafé ini harus ada di Labuan Bajo, Bali, dan Jakarta,” dia bercerita tentang mimpinya
Kredit Pemerintah Selain bank daerah, ada lembaga penyalur kredit bentukan pemerintah pusat yaitu Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan UMKM. Warso Widanarto Direktur Bisnis LPDB selain menjelaskan peluang juga menjawab keluhan penolakan permintaan kredit oleh beberapa mitra VECO Indonesia. Warso menegaskan LPDB menyalurkan pembiayaan, bukan bantuan sosial. “Banyak yang menganggap uang dari pemerintah bantuan sosial sehingga merasa tak punya kewajiban mengembalikan,” kata pria ini. Menurut Warso, hingga Juli 2015, LPDB sudah menyalurkan kredit Rp 5,8 triliun. Aktivitasnya mirip perbankan, tapi kelebihan suku bunga disubsidi
pemerintah. Misal suku bunga untuk sektor riil hanya 6 persen menurun dalam jangka waktu 5-10 tahun. Dana pembiayaan ini ada syaratnya, bisa dicek di danabergulir.com. Syaratnya untuk koperasi harus berbadan hukum, ada laporan rapat anggota dua tahun terakhir, dan layak bisnis. LPDB juga mensyaratkan administrasi yang baik, sesuatu yang masih menjadi tantangan seperti juga disebutkan oleh Daniel. “Kelemahan pemohon tak punya catatan transaksi yang dilakukan karena koperasi tak dikelola profesional,” ujarnya. Warso menyarankan agar pengurus koperasi bertanya ke Dinas Koperasi dan UMKM setempat agar ada koordinasi. Setelah itu, koperasi tani bisa membuat proposal dan disampaikan ke LPDB. “Tak seperti perbankan, di sini ada monitoring dan evaluasi apakah dana ini berkontribusi pada usaha dan penyerapan tenaga kerja atau tidak,” kata Warso. Saran dari Warso kemudian disanggah salah satu petani mitra VECO Indonesia dalam sesi diskusi. Abdul Rauf, pengurus Koperasi Tani Amanah Polewali Mandar, Sulawesi Barat mengatakan sudah tiga kali mengajukan permohonan dana bergulir ke LPDB tapi gagal. “Sudah lama Amanah mengajukan. Sudah tiga kali ke
"These schemes are different depending on the activity. We hope that VECO Indonesia and the association of regional banks Asbanda can work together so that all partners can access credit from Bank NTT," added Daniel. He said that he had found in VECO Indonesia the perfect partner to bridge the credit gap. Up to now, most loans had been disbursed through religious organisations like the church and diocese, or directly to farmers. "But these direct loans are expensive," he said. Bank NTT has paid out IDR 1.32 billion in loans to farmers who are VECO Indonesia partners in Flores. These funds have been given to three farmer organisations: Agroniaga production cooperative in Ende (IDR 500 million), Papa Taki cooperative in Bajawa (IDR 320 million), and Asnikom multi-business cooperative in Borong (IDR 500 million).
LONTAR #11 - 2015
7
Reportase LPDB, belum pernah realisasi. Setelah dicek ada isu yang menentukan warna politiknya?” ia bertanya. Warso menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, permohonan tak bisa atas nama gabungan kelompok tani, harus koperasi atau UKM. Yang penting ada legalitas izin usaha. Begitu pula soal penolakan karena perbedaan warna politik. “Kita ini pelangi, semua kita terima. Warna politik isu saja. Semua dilayani tanpa kepentingan politis,” ujarnya. Ia juga mengingatkan jangan sampai ada calo dalam proses pengajuan kredit. Sebab tak ada biaya dibayar di muka dalam proses itu. “Banyak percaloan. Tak ada batas waktu karena pembiayaan multiyears, masukkan kapan pun. Jangan menyerah, ada koperasi dan UKM
"We are currently doing surveys for other farmer cooperatives in Flores, including in Mbay and Larantuka," said Daniel. Daniel hopes that with this credit, farmers in Flores will be able to progress. "My dream is that farmers will have of Café Flores in Labuan Bajo, Bali and Jakarta," he said, talking about his dream of building a trading business using the products of NTT farmers.
8
LONTAR #11 - 2015
datang lima kali. Baru yang kelima disetujui. Dapatnya Rp 350 juta,” papar Warso. Jika toh gagal, dia menyarankan agar koperasi petani tetap mencoba. Mereka yang gagal, menurutnya, bisa mendapat pelajaran tentang proses buat transaksi dan laporan keuangan yang bisa dibaca auditor. “Gagal bukan kiamat. LPDB bukan segalanya, ada banyak lembaga lain,”sahutnya. Bank Petani Salah satu solusi mencari modal kredit jika tak bisa mendapatkan dari bank dan pemerintah adalah modal sendiri. Ada alternatif memanfaatkan akses kredit yang dibuat asosiasi petani sendiri atau komunitas. Misalnya yang pernah dibuat Masril Koto dan teman-
Government Credit In addition to regional banks, there is a credit organisation set up by national government under the Ministry of Cooperatives and Micro, Small and Medium Enterprises called Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Warso Widanarto, LPDB Business Director talked about the opportunities of the scheme and also answered some of the questions from VECO farmers as to why their credit
temannya di Sumatera Barat (Sumbar). Masril yang mengaku tak tamat SD ini bersama rekannya pernah membuat Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) di Sumbar. Tujuannya mengatasi kesulitan permodalan petani dari Agam, Sumbar. Dengan penuh semangat ia mendorong kelompok tani merintis lembaga kredit sendiri dengan produk dan sistem sesuai kebutuhan. “Kredit Usaha Rakyat (KUR), ngomongnya orang bank gampang kita aksesnya. Tapi, coba kita akses. Seribu satu alasan mereka menolak,” ujar Masril disambut tepuk tangan peserta yang sebagian besar adalah petani. Karena itulah, Masril menyarankan agar petani membuat lembaga keuangan sendiri seperti LKMA. Menurutnya LKMA itu seperti Bank Petani. Ia lebih memilih istilah Bank Petani karena menurutnya lembaga pertama tak sukses akibat sejumlah masalah internal. Secara teknis, kegiatan LKMA berupa simpan pinjam namun dengan membuat istilah menarik. Misalnya untuk gerakan menabung, skemanya sesuai kebutuhan setempat. Dia memberikan contoh tabungan ibu hamil, tabungan pendidikan, sampai tabungan Niat Naik Haji. “Jadi, bentuk tabungan harus disesuaikan kearifan lokal setempat,” sarannya. [Luh De Suriyani]
applications had been rejected. Warso explained that LPDB provides finance, not social assistance. "People tend to think of money from the government as social aid, so they don't feel that they are obliged to repay it," he said. According to Warso, as of July 2015, LPDB had disbursed credit of IDR 5.8 trillion. It works like a bank, but the interest rates are subsidised by government. For example, interest for the real sector is only 6 percent over 5-10 years. The terms and conditions for this finance are available at danabergulir.com. The only conditions for a cooperative is that it must be a legal entity, have the mi-
Reportase
Masril Koto,
Penggerak Bank Petani
P
rofil-profil Masril Koto yang sudah dipublikasikan sejak 2010 penuh dengan prestasi dan kisah hidup yang panjang. Hampir semua profil seirama, memaparkan kisah hidupnya yang berat sampai putus sekolah di Sekolah Dasar, merantau sebagai buruh pasar di Jakarta, dan balik lagi ke kampung sampai merintis Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani.
Ia dan teman-temannya merintis LKMA Prima Tani di Sumbar pada 2006 hingga kemudian berkembang menjadi hampir 300 unit. Ia juga mengaku keluar pada 2009 karena sejumlah persoalan. Kini, dia sendiri memberikan motivasi tentang bank petani ke berbagai tempat di Indonesia. Termasuk dalam APM VECO Indonesia 2015 Juli lalu. Masril memang tipe motivator andal. Tak heran ia mudah menarik perhatian. Ia masih sibuk melayani pesanan sebagai pembicara seminar tani, bisnis, dan permintaan bantuan untuk membentuk bank petani.
nutes of the meetings of members for the past two years, and be a viable business. LPDB also requires good administration; something that is still a challenge, as Daniel explained: "One of the downfalls of the applications is that they are not accompanied by proper records of transactions, and that is because the cooperative is not managed professionally." Warso recommended that cooperative managers ask the local cooperatives and micro, small and medium enterprises to coordinate. After that, the farmer cooperative can develop a proposal and submit it to LPDB. "Unlike banks, here we monitor and evaluate whether these
Saat hadir di APM 2015, ia berpakaian trendi, dengan kaos Che Guevara dibungkus blazer dan topi jenis vedora. Dengan percaya diri dan santai menyampaikan pengalaman penuh dengan ide kontroversial dan kritikan pada beberapa pihak atau tabiat manusia. Sepanjang waktu bicara, ruangan kerap bergemuruh tawa dan tepuk tangan kecil. Ide apa yang layak didiskusikan dari Masril Koto, khususnya bagi
pengembangan bisnis pertanian? “Bukan modal yang menentukan sukses tapi tekat, kreativitas, dan keuletan,” katanya. Dia memilih Bank Petani karena tak percaya koperasi. “Memanfaatkan emosi orang saja. Ubah nama jadi Bank Petani,” jelas Masril. Masril memulai pendirian bank
funds contribute to the business and whether they absorb labour," said Warso. During the discussion session, a farmer who is a VECO Indonesia partner refuted Warso's recommendation. Abdul Rauf, manager of Amanah farmer cooperative in Polewali Mandar, West Sulawesi, said that they had submitted applications for revolving funds three times to LPDB, but all had been rejected. "Amanah has submitted applications to KPDB three times, but none of them has been accepted. After doing some investigation, it turned out the issue was one of politics perhaps?" he asked. Warso answered that applications cannot be made in the name of a farmer
petani pada 2006. Saham Rp 100 ribu dia jual ke 200 petani di Agam. Terkumpulah modal Rp 15 juta. Dari situ, bank petani kemudian beroperasi dan kini berkembang hingga 900 bank di seluruh Indonesia. Aset tiap bank petani antara Rp 400 juta hingga Rp 4 miliar. Gerakan menabung diwujudkan melalui dengan sejumlah ide tabungan sesuai kebutuhan setempat. Misalnya tabungan ibu hamil, pendidikan, tabungan Niat Naik Haji, sampai kepemilikan iPad untuk anak petani. “Jika ada iPad, anak-anak sekolah tak perlu bawa buku 15 kg padahal berat badannya juga 15 kg. Makanya IQ rendah,” ujar Masril disambut tepuk tangan pendegarnya. [Luh De Suriyani]
group association; they must be in the name of a cooperative or a micro or small enterprise. It was the legality of their business operations that was key. He added that political differences were not the issue. "We are a rainbow; we accept and serve everyone, regardless of their political colours," he explained. “Don't give up; some cooperatives and micro and small enterprises have made as many as five applications before they were approved. They got IDR 350 million," said Warso. He advised that even if their application is rejected, farmer cooperatives should keep on trying. Their practice can teach them how to make financial
LONTAR #11 - 2015
9
Reportase
P
Masril Koto, Architect of Farmer Banks
rofiles of Masril Koto tell the story of his hard life, his dropping out of primary school, time as a market labourer, return to his village, and setting up the micro agribusiness financial institution LKMA Prima Tani.
He arrived at the 2015 APM dressed in a trendy Che Guevara t-shirt, blazer and fedora. Self-confident and relaxed, he talked about his experiences, his controversial ideas, and criticism of various human traits. While he was talking, the room bubbled with laughter and applause. So what ideas did Masril Koto have for developing farming businesses? "Money doesn't determine success; determination, creativity and hard work do," he said. He chose the name Farmer Bank because he doesn't trust cooperatives. "They just play on people's emotions. So I changed the name to Farmer Bank. We printed shares; IDR 100,000 for each share," he said. Masril started establishing the farmer bank in 2006. It sold the IDR 100,000
shares to 200 farmers in Agam, raising capital of IDR 15 million. From there, the farmer bank started operating and now there are 900 banks across Indonesia. Each bank has assets of between IDR 400 million and IDR 4 billion. Then came the idea of making savings schemes to fit local needs. For example, savings schemes for pregnant women, for education, for the hajj, and savings scheme for children's farmers who want to buy iPads. "If they have iPads, they don't need to carry 15 kg of books to school, when they only weigh 15 kg themselves. No wonder they've got low IQs," said Masril to a round of applause. [Luh De Suriyani]
records and reports that an auditor can read. "Failing is not the end of the world. LPDB is not the be all and end all; there are lots of other institutes," he said.
whom are farmers. So, Masril recommends that farmers set up their own financial institutions like LKMA. He says LKMA is a sort of Farmer Bank. He prefers to call it the Farmer Bank because he says that at first the institution was not a success due to internal problems. Technically, LKMA offers saving and
loan services, but with unique names. For example, the names of the saving schemes depend on local needs. Examples include the pregnant women savings scheme, education savings scheme, and hajj savings scheme. “So, the savings scheme must be designed to fit local knowledge," he said. [Luh De Suriyani]
Masril and his friends launched LKMA Prima Tani West Sumatera in 2006, and has since grown to almost 300 units. Masril left in 2009 for a number of reasons. Now, he promotes farmer banks across Indonesia, including at the 2015 VECO Indonesia APM in July. Masril is a gifted motivator. It's not surprising that he attracts attention. He spends his time speaking at farming and business seminars, and helping to set up farmer banks.
Farmer Banks One solution for farmer organisations who are unable to access capital from banks or the government is to use their own capital. One option is accessing credit from the farmer organisation or from the local community. One example is the scheme developed by Masril Koto and his friends in West Sumatera. Masril, who did not complete primary school, and his friends set up Lembaga Keuangan Mikro Agribisnsis (LKMA) in West Sumatera. Its aim is to help farmers from Agam, West Sumatera to access capital. His farmer groups set up their own credit institute, with the products and systems they needed. "The banks say that small business credit ( Kredit Usaha Rakyat or KUR) is easy to access. But we tried, and they had a thousand and one reasons for rejecting us," said Masril to a round of applause from the participants, most of
10
LONTAR #11 - 2015
Beragam Pilihan Inovasi Bisnis Pertanian
B
Manusia memanfaatkan alam sementara bumi tak lelah memelihara manusia. Bagaimana cara perpanjang usia bumi yang telah menimang miliaran manusia? Melestarikannya.
agi Bagus Sudibya dan Gede Ngurah Wididana, kunci keberlanjutan wirausahanya adalah kelestarian sumber daya alam sekitarnya. Keduanya menjadikan alam dan hasil budi daya sebagai sajian utama dengan lini produk yang berbeda. Sudibya mengemas kebun dan hasilnya menjadi atraksi wisata. Sementara Wididana alias Pak Oles mengolah hasil kebunnya menjadi pupuk organik dan obat herbal.
Dua pria ini bukan pengusaha muda. Tapi usahanya sudah dirintis ketika muda. Keduanya juga sudah malang melintang menduduki jabatan publik di Bali setelah sukses dan terkenal menjadi pengusaha. Mereka bercerita di Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia 2015 dengan topik kewirausahaan. Pak Oles menimba ilmu di Jepang untuk belajar khusus mikroorganisme. Balik ke Bali, ia mulai mempraktikkan bagaimana menghasilkan produk dari tanaman dan obat. “Di tengah kemajuan farmasi, kita perlu inovasi,” katanya. Kampusnya di Okinawa Jepang menggabungkan pusataka kuno dan jamu untuk mengembangkan produk tanaman obat alternatif dan komplementer. Pak Oles memutuskan meramu obat tradisional berbasis organik. Produk unggulannya adalah minyak oles Bokashi yang terkenal sampai mancanegara.
Minyak oles dibuat dari ekstrak tanaman obat dan fermentasi mikroorganisme. Ia mengklaim usahanya, PT. Karya Pak Oles Tokcer, sebagai salah satu pembayar pajak terbesar di Bali. Perusahaan ini sudah lebih dari 18 tahun berdiri, mempekerjakan lebih dari 1.000 orang di Bali dan luar Bali. Lini produknya lainnya adalah jamu dan pupuk organik. Inspirasi minyak Bokashi atau lebih dikenal dengan minyak oles ini adalah ibunya, Dadong Bandung. Perempuan ini dengan kearifan tradisinya membuat minyak atau disebut Lengis Arak Nyuh. “Minyak ini sangat berkhasiat untuk banyak penyakit dan terkenal di Desa Bengkel, kampungnya,” cerita Pak Oles. Tak berhenti di produksi obat, ia juga menggarap pondasi bisnis lain yakni media massa, lembaga pendidikan dan usaha kuliner melalui restoran. Fungsi ketiganya jelas. Media massa menjadi corong pemasaran, komunikasi publik, dan hiburan. Lembaga pendidikan untuk medium penyebaran gagasan dan penelitian serta pengembangan. Sementara restoran adalah etalase produk dan berjejaring. Tak hanya untuk usaha, ketika masuk dunia politik pun ketiga hal tersebut menjadi medium yang efektif dan efisien untuk Pak Oles.
“Ide yang baru muncul harus direalisasikan. Saya bukan orang bisnis, saya peneliti. Mencoba, memulai, dan menyempurnakan. Saya bukan koki tapi suka makan. Saya cari koki, kalau kurang enak bilang. Menyempurnakan lebih detail, efisien, halus, berhasil,” paparnya dengan sederhana. Menurutnya bisnis pertanian yang kuatlah membuat lahan pertanian lestari. “Dulu, pertanian organik dibilang tak efisien, ternyata efisien,” katanya soal bagaimana banyaknya tantangan bisnis pertanian ini. Tanpa produk unggulan, menurutnya, apa yang dikembangkan dari usaha pertanian akan sulit maju. Bagaimana pun produk yang dibuat harus mendapat kepercayaan warga. Selain itu menurutnya merek atau brand juga sangat penting karena itu bentuk juga kepercayaan. Di tengah kemajuan Indonesia Pak Oles punya renungan. “Banyak yang perlu kerja, tapi banyak yang nganggur. Banyak yang perlu pekerja tapi susah nyari pegawai,” herannya. Karena itu, ia yakin tiap orang harus terus diberi kesempatan untuk belajar dan berlatih meningkatkan diri. Agrowisata Cerita sama tentang diversifikasi LONTAR #11 - 2015
11
Reportase
pertanian juga datang dari Bagus Sudibya, tokoh pariwisata di Bali. Sudibya adalah pendiri dan pemilik Bagus Discovery, kelompok usaha wisata di Bali yang fokus pada pariwisata berbasis pertanian atau agrowisata. Sekadar menyebut contoh usahanya antara lain Puri Bagus di Lovina, Buleleng dan Karangasem serta agrowisata di Plaga, Badung. Untuk mencapai keberhasilannya saat ini, Sudibya meyakini modal penting adalah kredibibilitas. “Sangat sulit jadi orang miskin. Tak banyak yang percaya. Dengan modal nol tak banyak saya korbankan kecuali harga diri. Tanpa moralitas yang baik jangan jadi pengusaha. Saya mulai dari kecil,” kata mantan Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Asita) Bali ini. Ia tipe pembelajar. Sejak muda sampai tua belajar di banyak negara seperti Jerman, Australia, dan Austria. Di Jerman dan Inggris belajar bahasa. Di Austria belajar manajemen kepariwisataan. Setelah belajar di Eropa, dia justru melihat betapa indahnya jika pariwisata dikombinasikan dengan pertanian, termasuk di Bali di mana kepemilikan lahan sangat sempit. “Belanda tak tertarik menjajah Bali karena Bali pulau sangat kecil, lebih bagus dibiarkan sebagai pulau eksotis dan keunikan budayanya,” kata Sudibya. Ia juga
12
LONTAR #11 - 2015
meyakini daya tarik wisata itu basisnya pertanian. Karena itu jika pertanian berkembang di mana saja, pasti mudah jadi daya tarik wisata. Ia memperlihatkan bagaimana usaha perkebunannya Bagus Agrotourism di Plaga, Kabupaten Badung menjadi salah satu daya tarik wisata. Petak kebun sayur dengan latar belakang bebukitan. Lalu turis-turis menikmati berinteraksi dengan petani, ikut memanen, dan kemudian staf hotel memasaknya. “Ini seperti sekelumit imajinasi di tahun 1975-1980an saat saya di Eropa. Saya membayangkan lihat kebun anggur di Jerman. Indah jika bisa mengawinkan budaya, pariwisata dengan pertanian,” kenangnya.
Ia mengatakan jika luasan lahan di atas 50 hektar baru bisa industrial. Kalau kurang dari 1 hektar harus beri nilai tambah pada pertanian. “ From the garden to dining table, para tamu diajak cooking lesson sambil menikmati matahari terbit. Di tempat kami matahari keluarnya dari Gunung Agung dan Abang, suhu 17-23 derajat, tak ada AC,” jelasnya. Melalui pariwisata berbasis pertanian, Sudibya memperluas usahanya. Tak hanya di Bali tapi juga hingga Lembah Baliem di Papua. Dia menunjukkan, bahwa usaha pertanian bisa dipadukan dengan beragam usaha lainnya termasuk pariwisata. [Luh De Suriyani]
Reportase
Farming Business Innovations Humans make use of nature, and the earth provides fee of charge. How can we help to reward our earth, which is inhabited by billions of people? By protecting it!
F
or Bagus Sudibya and Gede Ngurah Wididana, the key to the continuity of their businesses is protecting the natural resources around them. Both use nature and natural resources to produce different product lines. Sudibya turns gardens and their produce into tourist attractions. Wididana, better known as Pak Oles, turns the produce from his gardens into organic fertiliser and herbal teas.
These two men are not young entrepreneurs. But they set up their businesses when they were young. Both have held public positions in Bali since achieving success and fame as entrepreneurs. They shared their stories at the 2015 VECO Indonesia Annual Partner Meeting at a session on entrepreneurship. Pak Oles learned his knowledge of micro-organisms in Japan. Returning to Bali, he started experimenting with the production of plant-derived products and remedies. "As advances are made in pharmacy, we need to be innovative," he said. His university in Okinawa, Japan combined traditional knowledge and knowledge of microorganism to develop alternative and complementary herbal teas. Pak Oles decided to create organic traditional remedies. His flagship product is Bokashi rubbing oil, which is famous even overseas. The rubbing oil is made from plant extracts and fermented micro-organisms. Now more than 18 years old, the
company employs more than 1,000 people in Bali and beyond. Other product lines include herbal teas and organic fertiliser. The inspiration for Bokashi or rubbing oil, came from his mother. Using her traditional knowledge, she makes an traditional oil called lengis arak nyuh . "This oil is very useful for treating all sorts of disease, and is well-known in Bengkel, where she lives," said Pak Oles. While continuing to produce remedies, he built the foundations of other businesses in media, educational institutions, and the restaurant industry. The functions of all three are clear. The media business is the vehicle for marketing, public communication and entertainment. The educational institute is the medium for spreading ideas, and for research and development. And the restaurant is for showcasing products and networking. He says that the strong farming businesses are those that practice land conservation. "Organic farming used to be called inefficient; but it turns out, that's not so," he said, talking about the many challenges facing conventional farming businesses. Without a flagship product, it would be difficult for a farming business to progress, according to Pak Oles. Whatever products the business produces, people must believe in them. He also said that branding is crucial because it boosts the product's credibility.
Agrotourism A similar story of agricultural diversification came from Bagus Sudibya, a well-known figure in the tourist industry in Bali. Sudibya is founder and owner of Bagus Discovery, a tourism business group in Bali that focuses on agrotourism. His businesses include Puri Bagus in Lovina, Buleleng and Karangasem, and agrotourism in Plaga, Badung. For Sudibya, the key to his success has been credibility. "It was very difficult being poor. No one believes in you. When you have no financial capital, the only thing you have to lose is your selfrespect. Don't become an entrepreneur if you have no morals. I started small," said the former chair of the Bali branch of the Association of Indonesian Travel Agents. He loves learning. He studied all over the world, in countries including Germany, Australia and Austria. He studied languages in Germany and the United Kingdom. In Austria, he studied tourism management. His studies in Europe showed him just how great it is to combine tourism and agriculture, especially in Bali, where there is very little farmland. He also believes there is sufficient interest in agrotourism for wherever agriculture develops, so can tourism. He explained how Bagus Agrotourism, in Plaga, Badung district, became a tourist attraction. His vegetable gardens there are set against a backdrop of hills and valleys. Tourists enjoy interacting with the farmers, helping to plant vegetables, which the hotel staff then cook for them. "It takes me back to the mid 1970s and 1980s, when I was in Europe. I remember seeing a vineyard in Germany, and thinking how beautiful it would be to combine culture, tourism and agriculture," he recalled. He said that for industrial production, you need at least 50 hectares of land. If you have less than one hectare, you need to diversify. "From the garden to the dining table, guests are given cooking lessons and enjoy the warm sunshine,” he said. Through agrotourism, Sudibya has expanded his business beyond Bali, to Baliem Valley in Papua. He said that farming businesses can be integrated with a variety of other businesses, including tourism. [Luh De Suriyani]
Kunjungan
Bertukar Pengalaman tentang Bisnis Pertanian Pada hari kedua Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia 2015, seluruh peserta mengunjungi empat koperasi petani di Bali. Selain untuk melihat bisnis koperasi di masingmasing lokasi, peserta juga diharapkan bisa membagi pengalaman di organisasi masing-masing ke petani yang dikunjungi. Peserta dibagi dalam empat kelompok pula sesuai dengan rantai komoditas masing-masing. Petani kopi berkunjung ke koperasi petani kopi, petani kakao ke koperasi kakao, dan seterusnya. Hanya petani kulit manis Kerinci yang agak berbeda. Mereka berkunjung ke petani sayur di Plaga, Badung. Sebab, petani Kerinci juga melakukan budi daya sayur di antara komoditas kayu manisnya.
KAB. BULELENG KAB. JEMBERANA
BA
Mendoyo
Berikut profil dari masing-masing lokasi kunjungan tersebut.
KAB. TABANAN
Marga
KOPERASI KERTA SEMAYA SAMANIYA
KOPERASI SUBAK GUAMA
Komoditas: Kakao Badan hukum dan nama: Koperasi Kerta Semaya Samaniya Alamat: Jl. Raya Jembrana, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana Jumlah anggota: 788 petani dengan luas lahan 568,84 hektar Tahun berdiri: 2005. Memulai bisnis pada 2012
Komoditas: Beras Badan hukum dan nama: Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu Subak Guama Alamat Desa Bataniu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan Jumlah anggota: 544 orang dengan luas lahan 186 hektar Tahun berdiri: 2002. Mulai bisnis pada 2003
Bisnis utama: Penjualan biji kakao fermentasi dengan mitra bisnis PT. Papandayan Cocoa Industries (Barry Calebaut). Rencana bisnis disusun bersama perwakilan UPH dengan koperasi dan didampingi Yayasan Kalimajari untuk periode tertentu. Revisi recana bisnis dilakukan secara dinamis khususnya sesuai perkembangan bisnis.
Bisnis utama: Integrasi ternak dengan usaha sawah, penjualan sarana produksi (saprodi), kredit usaha mandiri untuk perempuan, simpan pinjam dengan plafon sampai Rp 100 juta dengan bunga 2 persen per bulan menurun, dan penyewaan alat produksi dan penggilingan padi.
Pengelolaan koperasi: Unit pengolahan hasil (UPH) diupayakan dan dikelola secara mandiri baik oleh satu subak abian maupun gabungan subak abian. Pendanaan modal pembelian di tingkat UPH diperoleh dari melalui dukungan Pemprov Bali dan Bank Bali dengan bunga 2 persen per tahun. Modal tertinggi yang pernah diakses UPH sebesar Rp 100 juta.
14
LONTAR #11 - 2015
:
Peran koperasi: Koperasi memberikan kredit untuk membeli sapi dengan bunga 1 persen bagi anggotanya. Dari 196 ekor sapi yang disalurkan pada periode penyaluran kredit pertama (2002), sekarang sudah berkembang menjadi 500 ekor sapi (2015). Selain itu, koperasi juga berbisnis benih padi dan pupuk organik. Dalam satu tahun Subak Guama memasarkan 300 ton benih yang dijual di Bali dan Nusa Tenggara Timur.
KOPERASI MIPG KINTAMANI Komoditas: Kopi Badan hukum dan nama: Koperasi MPIG Kintamani Alamat: Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Jumlah anggota: 3.600 (MPIG) dan 101 (koperasi) Tahun berdiri: 2005 dan memulai bisnis pada 2012
Catur
ALI KAB. BADUNG
Bisnis utama: Bisnis utama Koperasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MIPG) Kintamani adalah penjualan kopi HS kering. Volume penjualan pada 2014 sebanyak 100 ton. Beberapa mitra bisnis Koperasi MIPG Kintamani antara lain CV Taman Delta, PT TDI Semarang, PT Indokom Citra Persada Kupu-Kupu Bola Dunia, PT TAM Surabaya, dan 5 Since Australia.
Plaga
Peran koperasi: Kawasan MPIG Kintamani meliputi tiga kabupaten yaitu Bangli, Badung, dan Buleleng dengan 64 subak abian dan 24 UPH. Koperasi berperan ikut menjalankan bisnis pemasaran, membantu stabilitas harga, memberikan informasi pasar, serta meningkatkan pangsa pasar. Koperasi juga mengelola Agrowisata Giri Alam yang berprinsip 4 E: ekologi, estetika, edukasi dan ekonomis yang berbasis kelompok.
KAB. GIANYAR
KAB. KELUNGKUNG
DENPASAR
KOPERASI MERTANADI Komoditas adalan: Asparagus Badan hukum dan nama: Koperasi Mertanadi Alamat: Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung Jumlah anggota: 88 orang dengan luas lahan sekitar 20 hektar Tahun berdiri: 2010. Mendapat legalitas pada 2012 Bisnis utama: Penjualan asparagus dengan berbagai grade (super, A, B dan C) melalui koperasi. Pasar utama supermarket di Denpasar seperti Tiara Dewata dan Pepito maupun ke luar Bali termasuk Singapura. Peran koperasi: Menyediakan bibit dan sarana produksi lainnya (pupuk) bagi anggota, membeli produksi asparagus para petani, melakukan sortir dan kemasan terhadap asparagus, memasarkan asparagus, dan menyelenggarakan pertemuanpertemuan di antara seluruh anggota dan juga dengan pemerintah. Pengelolaan koperasi dilakukan oleh pengurus koperasi dan masih disupervisi oleh Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Badung.
LONTAR #11 - 2015
15
Profil
Habis Rogier Eijkens, Terbitlah Peter Sprang
P
ertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia tahun ini menjadi pertemuan terakhir Rogier Eijkens sebagai Perwakilan Regional VECO Indonesia dengan para mitra. Setelah bekerja delapan tahun di VECO Indonesia, warga Belanda tersebut kini menjadi Direktur Program di kantor pusat VECO di Leuven, Belgia.
Peter Sprang menggantikan Rogier sejak Agustus 2015. Sebelumnya, warga Jerman ini pernah menjadi Manajer Pertanian Berkelanjutan di Rainforest Alliance Asia Pasifik yang berkantor di Bali serta Konsultan Kehutanan di WWF Jerman. Rogier dan Peter memiliki setidaknya dua kesamaan. Mereka sama-sama lulusan Ilmu Kehutanan dan memiliki istri dari Indonesia. Namun, tentu saja, mereka juga memiliki banyak perbedaan. Keduanya menjawab pertanyaan yang sama dari kami.
Rogier (R): April 1988.
16
LONTAR #11 - 2015
Kapan pertama kali datang ke Indonesia?
R: Waktu itu ke Jakarta terus ke Kalimantan. Setelah dari Kalimantan saya liburan ke Flores. Saya beruntung karena waktu itu ada Perayaan Nasional tahun Maria di Maumere. Jadi, saya bisa melihat betapa beragamnya budaya Indonesia.
Ke mana saja waktu itu?
R: Waduh. Banyak banget. Saya suka semuanya termasuk tempat liburan saya terakhir di Maluku. Saya ini sudah merasa sebagai orang Indonesia.
Tempat liburan favorit di Indonesia?
R: Saya melihat belum banyak organisasi yang melakukan program seperti VECO Indonesia untuk menjembatani petani kecil dan pihak swasta. Selama ini kita sudah mendukung organisasi untuk meningkatkan kapasitas produksi maupun bisnisnya. Karena itu saya optimis bahwa peran VECO Indonesia ke depan akan lebih penting untuk memfasilitasi petani dengan pihak swasta termasuk pembeli dan perbankan. Kita sudah memiliki modal pengalaman dan jaringan untuk itu.
Harapan terhadap VECO Indonesia?
R: Orang-orang yang menyenangkan, negara dan budayanya, keberagaman, makanan yang lezat, dan masa depan yang cerah.
Lima hal yang disukai dari Indonesia?
R: Kemacetan lalu lintas, korupsi, ketidakefisienan, layanan yang kurang efisien dari pemerintah, kemiskinan, dan koneksi Internet yang buruk.
Lima hal yang paling tidak disukai tentang Indonesia?
Pecinta Durian yang Egaliter
B
Profil
agi staf dan mitra VECO Indonesia, Rogier Eijkens sosok menyenangkan. Dia bisa menempatkan diri sebagai pimpinan maupun teman. Mungkin karena dia orang Belanda yang menjunjung tinggi kesetaraan. Dia egaliter.
Selama delapan tahun memimpin VECO Indonesia, bapak dua anak ini membawa banyak VECO Indonesia mengalami banyak perubahan. Selain lebih fokus pada pengembangan bisnis pertanian, VECO Indonesia juga memperluas wilayah program termasuk ke Jambi, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Alumni Jurusan Kehutanan Universitas Wageningen Belanda ini juga terbiasa dengan makanan Indonesia. Termasuk menu-menu pedas sekali pun. Buah favoritnya adalah durian. Kadang-kadang dia bahkan ikut menikmati durian bersama staf VECO Indonesia di kantor maupun para mitra di lapangan. Memiliki istri dari Indonesia, Rogier Eijkens pun merasa sebagian dirinya adalah orang Indonesia. “Makanya saya paling tidak suka jika dianggap masih bule. Padahal, Bahasa Indonesia saya sudah lancar lho,” kata Rogier yang juga pernah bekerja untuk program HIVOS di Amerika Selatan dan Karibia ini.
Peter (P): Oktober 2001. P: Waktu itu saya mengunjungi Bogor, Jakarta, dan Jawa Tengah untuk melihat industri furnitur serta ke Kalimantan untuk melihat hutan. Saat itu belum ada kemacetan lalulintas. Juga belum ada minyak sawit. P: Tempat favorit saya di Sanur, Bali. Namun, saya juga suka sekali bekerja di Flores, Sulawesi, Kerinci, dan Jawa Tengah. Semua tempatnya indah. P: Harapan saya untuk VECO Indonesia, semoga kami bisa melanjutkan agar tetap inovatif untuk mengembangkan ekonomi petani kecil sembari tetap meningkatkan harmoni sosial dan mengurangi kerusakan ekologis.
P: Keberagaman negerinya, keramahan orangnya, kebebasan pers, dan toleransi, dan memiliki banyak peluang. P: Praktik pertanian yang buruk, kemacetan lalu lintas, konversi hutan, kurangnya akses di pedalaman terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, dan banyaknya pengeluaran rumah tangga untuk rokok. LONTAR #11 - 2015
17
Agenda
IPSA, Pengembangan Bisnis Pertanian Terintegrasi
T Empat bus yang menampung lebih dari 100 orang peserta APM 2015 berjuang di jalanan desa yang rusak sekitar 1 km menuju lokasi ini. Menanjak dan berlubang. Perjalanan dengan bus selama hampir empat jam dari Denpasar berakhir di salah satu bukit di Utara Bali.
18
LONTAR #11 - 2015
iba di lokasi, para pebisnis, petani, staf bank, pemerintah daerah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) mitra VECO Indonesia ini langsung dipersilakan masuk ke kompleks Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA). Di sekitar 5 hektar lahan Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng inilah kerajaan bisnis berbasis pertanian dirintis Gede Ngurah Wididana alias Pak Oles selama hampir 20 tahun.
Sebuah unit bisnis yang saling berintegrasi. Ada tempat pelatihan, pabrik, kebun tanaman obat, stasiun radio, dan lainnya. Pak Oles mendirikan IPSA pada 2007. Dia bekerja sama dengan beberapa lembaga seperti Indonesian Kyusei Nature Farming Societies dan Effective Microorganisms Research Organisation (EMRO). Tujuannya menjadi tempat pelatihan bagi yang ingin menerapkan teknologi effective microorganism (EM). IPSA ini didesain sebagai kompleks terpadu. Ada aula belajar, tempat menginap pelatih atau peserta, tempat praktik, taman obat, dan lainnya. Lokasi ini juga indah karena berada di ketinggian yang dikelilingi lembah dan sedikit
sawah. Banyak balai terbuka tempat rehat dan taman terbuka. Aula untuk sekitar 100 orang menjadi tempat berdiskusi. Ruangan ini memajang empat foto ukuran besar yakni poster guru Pak Oles dari Jepang tempat menimba ilmu Mokichi Okada (1882-1955), Prof Dr Teruo Higa (1941), foto Pak Oles yang bernama lengkap Gede Ngurah Wididana (1961), dan ibunya Dadong Bandung (1880-1980). Gusti Ketut Riksa, pemandu IPSA, enerjik memberi presentasi. Mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangli ini dengan saksama menjelaskan manfaat hidup organik dan bagaimana mikroorganisme bekerja menghasilkan produk yang berguna untuk manusia. “Banyak bakteri baik seperti dalam proses kedelai jadi tempe, susu jadi yoghurt, ikan jadi terasi. Ada vitamin, antioksidan, enzim,” kata Riksa. Ia mengaku sudah 20 tahun minum EM4, produk olahan mikroorganisme Pak Oles dan merasa lebih sehat. Riksa lalu memperlihatkan minum satu tutup botol EM4 botol kuning untuk tanaman. “Mikroba kalau dipelihara akan buat keuntungan karena diperlukan
Wisata
kehidupan,” tambahnya bersemangat. Teknologi campuran mikroorganisme hidup ini disebut sangat berguna untuk pertanian organik. Misalnya mengurangi hama, menambah panen, composting, sampai mengatasi limbah ternak. EM4 dikemas dalam beberapa botol dengan warna dan khasiat berbeda. Ada untuk peternakan, toilet, tanaman, pengolahan limbah, dan lainnya. Ini yang mereka sebut Bokashi atau bahan organik kaya akan sumber hidup. Bokashi dalam bahasa Jepang berarti fermentasi. Beberapa petani mitra VECO Indonesia memberi tanggapan jika produknya ada yang dicampur pestisida di pasaran. Juga ada yang menyatakan tak berpengaruh signifikan bagi kesuburan tanaman. Riksa menyimpulkan ada kesalahan penggunaan atau pencampuran. “Semua mikroba lokal ini dibuat empat pabrik kami. Harus tepat cara mengaktifkan mikrobanya untuk hasil efektif,” sahut Riksa. Mikroorganisme ini terdiri dari berbagai jenis bakteri seperti fotosintetik, asam laktat, ragi, dan lainnya. Kepala Pusdiklat IPSA Ketut Jadiasa dan Riksa lalu mengajak seluruh peserta praktik memperbanyak larutan EM4 dari yang awalnya satu liter menjadi 20 liter untuk menghemat biaya. Mereka hanya mengajarkan memperbanyak larutan sementara bahan pembentuk EM4
disebut rahasia perusahaan. Peserta kunjungan belajar membuat larutan EM4. Mereka cukup membeli 1 liter EM4 lalu dicampur 1 liter molase atau bisa diganti rebusan larutan gula merah. Campuran ini lalu dimasukkan ke 20 liter air, dikocok dan dibiarkan seminggu untuk proses fermentasi. Hasilnya bisa diaplikasikan dan efektif khasiatnya untuk tiga bulan. Jadiasa mengatakan tiap bulan diproduksi 150 ton produksi EM4 dari dua pabrik Jakarta dan Bali. Tiap botol
berisi 1 liter dijual Rp 25 ribu. Untuk menghindari pemalsuan produk, perusahaan menggunakan verifikasi barcode atau kode produksi yang spesifik di tiap botol. Sejumlah petani mitra VECO terlihat berdiskusi di sela-sela kunjungan belajar ini. Sebagian sudah biasa membuat pestisida alami atau pupuk cair seperti mol. Mereka sepakat harus menggunakan tanaman dan bahan lokal yang tersedia karena ada banyak cara membuatnya. [Luh De Suriyani] LONTAR #11 - 2015
19
Testimoni
“Dalam pertemuan APM ini kami belajar lebih banyak tentang koperasi karena kami memang baru mulai. Semoga setelah dari sini kami bisa lebih berkembang.”
Lukas Lawa, Ketua Koperasi Kelimutu, Ende, Nusa Tenggara Timur.
“Saya belajar banyak selama kunjungan di APM 2015 terutama tentang pengeringan kopi dan penyiapan. Di sini ternyata bisa mengeringkan kopi dengan para-para. Kami mungkin bisa menerapkan hal sama nantinya.” Nurhaeni, Anggota Koperasi Petani Benteng Alla, Enrekang, Sulawesi Selatan.
“Kami jadi tahu bahwa ada kelompok lain yang peduli pada pemberdayaan masyarakat desa. Selama ini kami merasa sendiri. Ternyata karena kami dan VECO Indonesia memang baru kenal.”
Rini Estu S.Sos, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Jawa Tengah
20
LONTAR #11 - 2015
Testimoni
“APM kali ini mampu memberi nuansa baru dari aspek bagaimana organisasi petani seharusnya mengelola sistem keuangannya maupun lebih profesional sebagai entrepreuner. Pembelajaran di lapangan juga mampu menginspirasi bisnis produk turunan.”
Peni Agustiyanto, Koordinator Area VECO Indonesia di Sulawesi
“Kegiatan ini bagus dan menarik. VECO Indonesia mencoba menyelesaikan persoalan dari akarnya. Dalam diskusi, banyak peserta yang bertanya dalam waktu relatif singkat. Karena itu, harus ada peningkatan kualitas acaranya.”
Masril Koto, pembicara di APM 2015, perintis Bank Petani
“Kunjungan paling menarik waktu kami ke koperasi petani padi. Jika dikelola dengan bagus, usaha pertanian ternyata bisa meningkatkan kesejahteraan petani seperti rumah dan pendidikan. Kami jadi sadar bahwa peningkatan kesejahteraan petani adalah tanggung jawab bersama, termasuk kalangan perbankan.”
Patris M Sina, Kepala Cabang Bank NTT di Mbay, Nusa Tenggara Timur
LONTAR #11 - 2015
21
Galeri
Galeri Pertemuan Tahunan Mitra VECO Indonesia 2015 Bali, 26-30 Juli 2015
Minggu, 26 Juli 2015 Perkenalan
Senin, 27 Juli 2015 Pembukaan
22
LONTAR #11 - 2015
Galeri
Senin, 27 Juli 2015 Diskusi
Selasa, 28 Juli 2015 Kunjungan ke Koperasi Petani
Rabu, 29 Juli 2015 Kunjungan ke IPSA
Rabu, 29 Juli 2015 Penutup LONTAR #11 - 2015
23
Dari Kebun Menuju Bank 24
LONTAR #11 - 2015