TOKUGAWA DAN KONFUSIANISME SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
MELDA HUTABARAT NIM: 010708003
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA JURUSAN SASTRA JEPANG S-1 MEDAN 2007 Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Pujian syukur hanyalah bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkat dan kasih-Nya yang besar dalam hidup saya yang sampai saat ini tetap mengiringi langkah saya. Tiada kata yang cukup besar untuk menggambarkan betapa besar kuasa dan kasih yang dinyatakan-Nya dalam hidup saya. Saya mampu menyelesaikan skripsi ini juga atas dukungan dan doa dari orangorang terdekat. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan pada saya menuntut ilmu di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang dan Pembimbing Satu atas kesabaran dan waktu yang anda sediakan untuk membimbing dalam mengerjakan skripsi saya, juga untuk ilmu yang anda berikan selama mengajar saya dan teman-teman di kelas. 3. Drs. Nandhi S. selaku Pembimbing Dua atas bimbingan dan waktu yang anda sediakan untuk membimbing dalam mengerjakan skripsi saya selama ini, juga untuk ilmu yang anda berikan selama anda mengajar saya dan teman-teman di kelas. 4. Seluruh dosen Jurusan Sastra Jepang Dra. Adriana Hasibuan, Drs. Pujiono, Drs. Amin Sihombing, Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., Drs. H. Yuddi Adrian M. atas bimbingannya selama saya menuntut ilmu di Jurusan Satra Jepang. 5. Kedua orangtua saya, T. Hutabarat dan R. Nainggolan, atas doa, pengertian, dan dukungannya selama ini. Adik-adik saya, Marta, Palti, Rohani, dan Manuel atas dorongan yang diberikan agar saya tetap semangat mengerjakan skripsi ini.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
6. Saudara-saudara dari UKM KMK USU seluruh unit pelayanan — terkhusus UP FS — KTB Metanoia-Megumi, KK Hikaru-Entheos-Fa’Omasi, dan KK Amazia atas doa dan dukungannya selama ini. 7. Sahabat doa dan kakakku, Saden Silitonga dan Iventura Tamba atas doa dan dukungannya selama ini. 8. Untuk semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak. Tuhan yang akan membalas setiap budi baik saudara dan rekan-rekan selama ini. Tentulah masih banyak kekurangan dalam skripsi ini walau saya sudah semampunya mengerjakannya, dengan segala kerendahan hati saya menerima setiap kritikan dan masukan untuk semakin dapat menyempurnakan penelitian ini, juga untuk semakin mendalami ilmu mengenai kebudayaan Jepang.
Medan, 27 September 2007 Penulis
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Menurut E. B. Taylor dalam Joko Tri Prasetya (1991:29), kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan Jepang juga mengandung hal-hal tersebut di atas, yaitu ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain. Kebudayaan Jepang yang terus dipertahankan hingga saat ini oleh bangsa Jepang, tidak hanya dari hasil kebudayaan asli nenek moyang mereka yang turun-temurun, namun juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan negara lain. Yang paling banyak memberikan kontribusinya dalam memperkaya kebudayaan Jepang adalah negara besar terdekatnya, yaitu Cina. Kalau ditelusuri dari sejarahnya, maka hubungan Jepang dengan Cina sudah terjalin sejak abad ke-5 pada kekuasaan Yamato. Pada abad ke-5, kekuasaan Yamato diperluas ke Korea dengan mengirimkan ekspedisi militer mereka ke sana, oleh Jingū, permaisuri yang berkuasa pada masa itu menggantikan suaminya, Kaisar Chuai yang telah meninggal. Hubungan dengan Korea itu memungkinkan masuknya pengaruh Cina ke Jepang dalam bentuk tulisan dan huruf Cina (kanji、漢字), ilmu Konfusius, kalender, teknik irigasi dan agama Buddha. Hal ini karena pada masa itu Korea baru saja lepas dari masa pendudukan Cina Dinasti Han dan masih kuat melekat pengaruh kebudayaan Cina terhadap kebudayaan mereka. Maka dapat dilihat bahwa kebudayaan Cina sudah sejak Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
abad ke-5 mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat Jepang. Tetapi sejak awal sejarahnya, Jepang menunjukkan kemampuan tinggi untuk menyesuaikan segala apa yang masuk dari luar dengan apa yang diperlukan sendiri. Namun, sekalipun Jepang berhasil menyesuaikan kebudayaan Cina dengan kepentingan Jepang sendiri, pengaruh itu tak dapat dihilangkan sepanjang sejarah Jepang. Maka tak mengherankan, menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:11), apabila hingga kini Jepang merasa dirinya dekat dengan bangsa Cina dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya. Sebenarnya ada banyak sekali ajaran-ajaran para pemikir dari Cina yang sangat berkembang tidak hanya di negara asalnya sendiri tapi juga di seluruh negara di dunia, khususnya di negara Timur. Beberapa pemikir Cina yang sangat terkenal tidak hanya di jamannya tapi juga sampai sekarang antara lain Lao-Tzu (Taoisme), Khong Fu Tzu (Konfusius), dan lain-lain. Pemikir Cina yang paling besar memberi kontribusinya dalam dasar berpikir orang Jepang adalah Khong Fu Tzu. Di negeri asalnya, Cina, ajaran Konfusius sangat berkembang dan sangat mempengaruhi seluruh segi kehidupan bangsa Cina bahkan sampai saat ini. Namun di Jepang ajaran ini kurang berkembang bila dibandingkan dengan Buddha atau Shinto, meskipun demikian sebenarnya tanpa kita ketahui ajaran Konfusius pun sangat berperan besar dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Jepang. Menurut Koentjaraningrat (1962:220-222), kepercayaan (religi) adalah suatu sistem bagaimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas spiritual dalam rangka berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk memperoleh kekuatan dari luar dirinya, sebab manusia percaya kepada suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi dari padanya sehingga manusia melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka untuk mencari hubungan dengan kekuatan itu.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:196-197), Jepang memiliki berbagai kepercayaan yang dianut oleh warganegaranya. Mulai dari kepercayaan kuno yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun maupun kepercayaan yang terus bermunculan sesuai perkembangan jaman, juga kepercayaan yang berasal dari negara di luar Jepang. Sebut saja Shinto, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan Kristen. Agama Jepang asli adalah Shinto (神道) yang artinya “jalannya para dewa”. Tetapi kemudian masuk agama Buddha melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad keenam. Menurutnya lagi, sekarang orang Jepang pada umumnya tak ada yang hanya beragama Shinto atau Buddha saja, melainkan menganut kedua-duanya, Bahkan sering ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Umpamanya saja, perkawinan dilakukan dalam agama Shinto, tetapi kemudian ada upacara seperti Kristen, sedangkan kalau orang meninggal upacara dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah, terutama di daerah pedesaan, terdapat altar Shinto dan Buddha bersama-sama. Orang yang pergi ke kuil Shinto dan Buddha, mungkin juga ke gereja. Namun, Shinto dan Buddhisme merupakan kepercayaan terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Jepang. Menurut H. Byron Earhart (1982:1), Jepang beragama politheis, memeluk banyak kepercayaan dan agama. Tidak seperti negara-negara lainnya yang memeluk agama monotheis, di Jepang agama tidak diorganisir memiliki kitab, bangunan, maupun upacara keagamaan tertentu, melainkan Jepang meliputi sejumlah tradisi yang beberapa asli dari Jepang dan beberapa mengimport, beberapa sangat terorganisir dan beberapa tidak secara formal melembagakan. Dari waktu ke waktu tradisi ini saling berhubungan membentuk suatu warisan kepercayaan tersendiri, dan Byron menyebutnya dengan istilah "agama Jepang".
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk kedua kepercayaan terbesar di Jepang ini karena memang memiliki pengaruh yang besar juga bagi bangsa Jepang, bahkan sampai saat ini. Namun secara khusus dalam penulisan ini akan dibahas mengenai Konfusianisme, yang juga berkembang di Jepang dan tentu memiliki pengaruh, baik besar atau kecil. Konfusius saat ini dipercayai sebagai salah satu bentuk kepercayaan. Walaupun pada awalnya ajaran konfusius dari Cina ini sebenarnya merupakan kumpulan kata-kata bijak dari seorang pemikir terkenal pada masa Dinasti Zhou bernama Khong Fu Tzu, yang artinya “Guru bermarga Khong”, dan pada dasarnya bukan merupakan bentuk kepercayaan ataupun agama. Khong Fu Tzu banyak mengajarkan tentang suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Namun karena ajarannya sangat baik pada zaman itu dan banyak yang mengikuti ajarannya, ia mulai dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru yang dianggap masyarakat bahkan pemerintah sangat cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Maka Khong Fu Tzu pun dianggap pendiri agama baru, yaitu Khong Hu Cu, atau di barat dikenal sebagai Konfusius. Pada masa Khong Fu Tzu hidup, negaranya sedang mengalami kekacauan. Terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial Cina pada masa itu menampilkan ketidakteraturan, degradasi moral, dan anarki intelektual. Menanggapi kondisi jamannya, pemikiran Khong Fu Tzu terfokus kepada bagaimana memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi negaranya. Perbaikan dan reformasi kondisi masyarakat menjadi pokok perhatian utama pada ajaran-ajaran Khong Fu Tzu. Salah satu pemikiran Khong Fu Tzu yang amat penting berkaitan dengan perbaikan masyarakatnya adalah konsep Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pembetulan nama-nama. Bagi Khong Fu Tzu pembetulan nama ini merupakan usaha utama yang harus dilakukan dalam memperbaiki masyarakat (Bagus Takwin, 2001:57). Semasa hidupnya, Khong Fu Tzu senang mengembara dan mencari pengetahuan dari berbagai pengalaman. Ia pernah menjadi pejabat negara namun pernah juga menjadi orang buangan karena perbedaan pandangan dengan penguasa, hingga akhirnya menjadi seorang guru pengelana. Maka ajarannya pun menyebar luas ke seluruh negeri Cina pada jamannya saat ia menjadi seorang guru pengelana ditemani oleh muridmuridnya yang setia padanya. Ajaran Konfusius tidak hanya menyebar di Cina namun juga sampai ke Jepang melalui Korea yang terlebih dulu telah mempelajari ajaran ini. Pada sekitar abad 5 sampai abad 6, yaitu pada zaman Yamato, banyak orang datang dari Semenanjung Korea dan Cina lalu menetap di Jepang. Para pendatang ini kemudian dijadikan warga negara Jepang oleh pemerintah dan mereka dipekerjakan di perusahaan umum, peternakan, tekstil dan lain-lain. Secara khusus mereka juga bekerja di kantor pemerintahan, mereka menulis catatan, penghitungan, bahkan dokumen diplomatik dengan menggunakan Kanji, sehingga mulai zaman ini setiap kemajuan teknologi dan pengetahuan orang Jepang dapat diketahui melalui dokumen tertulis. Bersamaan dengan kedatangan mereka ini semakin memudahkan untuk membawa masuk buku agama Konfusius, patung dan kitab suci agama Buddha dari Cina melalui Korea ke Jepang. Dalam sejarah Jepang, pada jaman Yamato di masa pemerintahan Shōtokutaishi, dibuat undang-undang yang dipengaruhi ajaran Buddhisme juga Konfusianisme, yaitu Kenpōjūshichijō (憲法十七条、undang-undang dasar 17 pasal). Pada jaman Edo, yaitu di masa kejayaan Tokugawa, ajaran ini cukup berkembang, bahkan pemerintah sampai mengijinkan dibangunnya sebuah sekolah tinggi Konfusius di Edo. Mereka menyuruh anak-anak Bushi untuk belajar di sekolah tersebut. Namun karena perkembangannya, Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
ajaran konfusius pada jaman ini menjadi Neo-Konfusius yang ajarannya tidak jauh berbeda dengan ajaran dalam Konfusius namun mendapat pengaruh dari ajaran Buddha. Pada jaman Edo pemegang tertinggi pemerintahan bukan dalam tangan Tennō atau Kaisar, tapi pada Pemimpin Tertinggi Militer (seiitaishogun 征夷大将軍), yaitu Tokugawa Ieyasu. Tennō hanya sebagai lambang pemerintahan saja tanpa memiliki wewenang apapun dalam pemerintahan. Ini karena Tokugawa Ieyasu, seorang daimyō kecil di Mikawanokuni (prefektur Aichi), memenangkan peperangan pada pertempuran hebat di Sekigahara pada tahun 1600, setelah meninggalnya Hideyōshi, mengalahkan keluarga Toyotomigata. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi shōgun oleh Tennō Heika dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang. Selama masa pemerintahannya, Tokugawa banyak melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berhubungan dengan politik, sosial, pendidikan, hukum, dan lain-lain di tengah-tengah maraknya perkembangan Konfusianisme. Hal inilah yang akan berusaha diteliti melalui skripsi yang berjudul “Tokugawa dan Konfusianisme”.
1.2 Perumusan Masalah Dengan banyaknya ajaran Konfusius yang sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Cina hingga saat ini, bahkan di tengah-tengah perkembangan ilmu dan teknologi, maka sebagai ajaran yang juga berkembang di Jepang, Konfusius tentu memberikan pengaruh dalam kehidupan bangsa Jepang sejak masuknya ke Jepang. Dan pengaruh itu mungkin saja masih terus dapat dirasakan oleh bangsa Jepang bahkan hingga dewasa ini namun akan lebih difokuskan pada masa rezim Tokugawa. Maka yang menjadi pertanyaan mendasar pada penelitian ini adalah: 1. Seperti apa perkembangan ajaran Konfusius di Jepang pada jaman Edo. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
2. Inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat pada jaman Edo. 3. Apa saja pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap kehidupan masyarakat pada jaman Edo.
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Ajaran Konfusius yang sesungguhnya berasal dari Cina, namun sangat besar dampak ajarannya tidak hanya di Cina tetapi juga di negara lain, seperti Asia, bahkan Eropa sangatlah menarik perhatian penulis. Ajaran ini tidak hanya mempengaruhi halhal dalam hubungan sosial, namun juga berperan dalam politik maupun pemerintahan. Banyak gagasan maupun hasil pemikiran Konfusius yang diterapkan dalam segala bidang khususnya untuk mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Namun ajaran Konfusius telah banyak mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran tambahan lain, baik yang ditambahkan dari murid-muridnya maupun pihak keluarganya. Penulis akan berusaha mencari literatur lengkap mengenai ajaran Konfusius tanpa mendapat pengaruh apapun dari pihak lain untuk mendapat literatur yang akurat. Penulis hanya akan membatasi ruang lingkup masalah pada perkembangan ajaran ini di Jepang terkhusus pada jaman Edo, lalu pengaruh-pengaruh apa yang diberikan oleh ajaran ini terhadap kebudayaan asli Jepang yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang pada masa itu.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori a. Tinjauan Pustaka Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:17), ajaran berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) yang mendapat imbuhan –an, sehingga artinya menjadi segala sesuatu yang diajarkan; Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
nasihat; petuah; petunjuk; paham. Ajaran yang biasanya berasal dari seorang tokoh atau lebih ini banyak menjadi acuan dalam berbagai bidang, misalnya hukum, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, agama, dan lain-lain. Ajaran yang diberikan oleh Konfusius adalah berupa kata-kata bijaksana yang banyak berhubungan dengan bagaimana seharusnya manusia yang satu berhubungan dengan manusia lainnya, juga mengajarkan pemerintahan yang ideal, dan lain-lain. Ajarannya berkembang dari sebuah filsafat menjadi sebuah kepercayaan oleh para pengikutnya karena kemudian dia dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:856), kepercayaan berasal dari kata percaya yang berarti mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata, yang mendapat imbuhan ke-an, sehingga artinya adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercaya itu benar atau nyata. Dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler yang disadur Agus Cremers (1995:45), James W. Fowler mengatakan, “Kepercayaan hendak dimengerti secara dinamis. Kepercayaan ini meliputi kenyataan bahwa pribadi menemukan arti atau ditemukan oleh arti itu. Kepercayaan mencakup baik konstruksi aktif atas keyakinan dan komitmen maupun sikap pasif dalam menerimanya. Kepercayaan mencakup segala ekspresi religius eksplisit dan seluruh pembentukan kepercayaan, dan juga segala cara untuk menemukan dan mengarahkan diri pada koherensi dalam lingkungan yang paling akhir, namun tidak bersifat religius” (Fowler, E.FDT, 1988:30) Masih menurut Fowler dalam Agus Cremers (1995:47), “Kepercayaan adalah suatu yang universal... ciri dari seluruh hidup, tindakan, dan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai ‘orang yang percaya’ dan ‘orang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
berkeagamaan’
atau
sebagai
‘orang
yang
tidak
percaya
pada
apapun’”
(Fowler/Keen/Berryman, ed., Life Maps, 1978:14-101) Bersama Cantwell Smith, Fowler dalam Agus Cremers (1995:47-48) membedakan antara faith, beliefs, dan religion. Menurutnya, faith dapat diuraikan secara tepat sebagai sesuatu yang terpisah dari penjelmaan konkret ajaran doktrinal, keyakinan-keyakinan dan pernyataan kepercayaan (beliefs), maupun dari seluruh ekspresinya dalam berbagai upacara dan simbol keagamaan (religion). Belief merupakan keseluruhan isi keyakinan dan pandangan religius yang diungkapkan dalam sejumlah representasi tertentu dan dianggap benar sebagi ajaran resmi agama yang bersangkutan. Belief adalah suatu tindakan pengetahuan yang didasarkan pada suatu tingkat evidensi yang rendah. Religion diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif di mana semua pengalaman religius dari masa lampau dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh sistem bentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan lembaga. Sistem bentuk ekspresi tersebut meliputi seluruh simbol, upacara, peranan, dan cara hidup konkret khas yang senantiasa harus direfleksikan dan dihidupkan kembali agar semua itu tidak merosot menjadi fosil mati dan kosong belaka. Religi atau sistem keagamaan merupakan sarana perwujudan “kepercayaan” yang bersifat tradisional dan terikat erat pada faktor-faktor historis, sosial, ekonomi, dan budaya ekstern. Tetapi religi dapat berfungsi juga sebagai penyokong, penyalur, dan acuan bagi segala perasaan dan hubungan kita dengan Yang Transenden. Religi yang demikian itu dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan kita untuk berpartisipasi terhadap Yang Ilahi. Namun, religi tidak memiliki ciri personal yang merupakan inti dari faith. Faith adalah perbuatan percaya yang intens, fundamental, dan sangat pribadi di mana saya sendiri secara kreatif percaya akan nilai-nilai yang paling akhir dan akan hal Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
transenden (KBBI: di luar segala kesanggupan manusia) yang ultim, dengan penuh cinta dan kesetiaan. Faith adalah “orientasi seluruh pribadi” dan “merupakan cara fundamental untuk percaya dan menanggapi hidup, entah terjadi dalam bentuk keagamaan tradisional, seperti Kristen dan Islam, atau tidak”. Jika faith merupakan suatu tindakan fundamental dari kepercayaan hidup dan kesetiaan eksistensional, faith dapat dipandang sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensional” yang jauh lebih fundamental dan pribadi daripada religion dan belief. Bahkan faith menjadi sumber dan asal yang memungkinkan serta mendasari religion maupun belief. Ajaran Konfusius merupakan pengaruh terbesar terhadap sejarah panjang bangsa Tionghoa selama dua ribu tahun ini. Ajaran Konfusius ini disatukan oleh para muridmuridnya setelah dia meninggal menjadi sebuah buku, sehingga terciptalah Literatur Lengkap Ajaran Konfusius yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci oleh para pengikutnya. Literatur lengkap ajaran Konfusius ini lebih dikenal sebagai Analects. Yang oleh para pengikut ajaran Konfusius dijadikan sebagai kitab suci. Konfusius, nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa, lahir tahun 551 SM dan meninggal tahun 479 SM. Nama marganya adalah Kong dan nama panggilannya Qiu. Ia tinggal di Negara Bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantong), dan keturunan bangsawan. Ayahnya menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara Bagian Lu. Ayah Konfusius meninggal ketika ia baru berusia tiga tahun, membuat masa kecilnya miskin. Namun ia anak yang rajin serta penuh rasa ingin tahu, yang memiliki dorongan untuk memperbaiki dirinya. Ia pun segera fasih dalam literatur nenek moyang dan menguasai topik-topik yang dipelajarinya. Ia pecahkan monopoli para bangsawan atas pendidikan dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerima murid dari berbagai bidang kehidupan tanpa membedakan-bedakan mereka, dan melalui ini, mempopulerkan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pendidikan. Karena alasan ini, Konfusius menjadi pengurus ibukota sebagai “Saga para Guru”. Ketika berusia 47 tahun, Konfusius menjadi pengurus ibukota dan memerintah wilayah Qufu. Belakangan ia dipromosikan menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehakiman. Ketika berusia 54 tahun, ia menjadi Pejabat Anggota Dewan Kehormatan Negara Bagian Lu. Namun, selama periode tersebut, pemerintahan bergelimang dalam hiburan serta menelantarkan urusan-urusan negara. Karena kecewa, Konfusius meninggalkan Negara Bagian Lu dan memimpin para muridnya dalam suatu tur ke negara-negara bagian, berusaha meyakinkan para tuan tanah feodal yang mereka kunjungi, akan filsafatnya dalam pemerintahan. Dalam perjalanan tersebut, ia mengunjungi tujuh negara bagian termasuk Wei, Zhao, Song, Zheng, Cheng, Cai, dan Chu. Setelah 14 tahun, ketika Konfusius sudah mencapai usia 68 tahun, ia pulang ke Negara Bagian Lu, dan mencurahkan diri dalam mengedit serta mengajarkan literatur klasik. Konfusius hidup di masa akhir dari Masa Musim Semi serta Musim Gugur (tahun 770 SM hingga tahun 476 SM). Ini adalah periode ketika Dinasti Zhou merosot dan para tuan tanah feodal menguasai negara-negara bagian. Perang serta anarki merajalela di seluruh negeri. Ini adalah masa ketika adat istiadat keagamaan diabaikan, musik dicemooh, dan kekacauan merajalela. Konfusius mengkhotbahkan gagasan tentang kebajikan, dengan harapan untuk membawa perubahan terhadap masa yang kacau secara politik maupun sosial itu. Filsafat politik Konfusius didasarkan pada pendidikan moral masing-masing individu. Ia dorong setiap orang untuk berupaya berbuat baik dan mempengaruhi orang lain karenanya. Kitab yang dipandang suci dalam agama Konfusius terdapat dalam kanon-kanon (KBBI: karya drama yang dianggap ciptaan asli seorang penulis (2002: 502)) Konfusius. Kanon tersebut terdiri dari dua bagian Wu Ching (lima kanon klasik) yang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
secara tradisional dikaitkan dengan masa ajaran Konfusius atau sebelumnya, dan Ssu Shu (empat kitab) yang berisi ajaran-ajaran Konfusius. Kelima kanon klasik itu adalah sebagai berikut. 1. Shu Ching (Shu jing﹐ 書經) Kitab ini merupakan kitab sejarah yang berisi kronologi peristiwa-peristiwa purbakala tentang istana dan adat istiadat. Kitab ini memiliki nilai-nilai yang sangat berharga bagi para ahli sejarah untuk melacak kehidupan anak manusia masa dua ribu tahun sebelum masehi. 2. Shih Ching (Shi jing﹐ 詩經) Kitab ini merupakan kitab sajak, karena di dalamnya terdapat tidak kurang dari tiga ratus nyanyian dan sajak-sajak pemujaan yang menggambarkan masa-masa awal keberagamaan orang Tiongkok. 3. I Ching (Yi jing﹐ 易經) Kitab perubahan. Di dalamnya terdapat rangkaian diagram berdasar garis-garis penuh dan garis-garis putus. Kitab ini pada dasarnya dimaksudkan untuk keperluan ramalan (horoscope). 4. Li Chi (Liji) Ini adalah kitab kebaktian yang merupakan petunjuk pelaksanaan upacara-upacara yang bersifat kultus dan upacara-upacara di dalam istana.
5. Chun Chiu (Chun qiu﹐ 春秋) Bermakna musim semi dan musim gugur. Kitab ini berisi catatan kronologis peristiwa-peristiwa dalam wilayah Lu sejak 722 SM, sampai 481 SM, yakni pada masa pemerintahan Chun Chiu yang merupakan pecahan dari Dinasti Chou. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Sedangkan keempat kitab yang berisi ajaran-ajaran Konfusius adalah: 1. Lun Yu (論語) Terdiri dari dua puluh bab, dan kebanyakan isinya berupa anekdot-anekdot singkat dari Konfusius, dalam bentuk dialog dengan para murid atau tokoh-tokoh lainnya. Selain itu, dalam kitab ini juga ditemukan gambaran tentang bagaimana sikap Konfusius dalam menghadapi persoalan. Karenanya kitab ini dipandang sebagai sumber primer dalam mempelajari biografi Konfusius. Kitab ini disusun sekitar 70 tahun setelah dia meninggal. Kitab ini kemudian dikenal dengan Analects. 2. Ta Hsueh (Daxue、大学) Pelajaran terbesar, yang disusun oleh cucu Konfusius yang bernama Tzu Szu, suatu karya besar tentang etika dan politik dan merupakan pengembangan dari pembahasan sebuah bab dalam Li Chi. 3. Chung Yung (Zhong yong﹐ 中庸) Suatu kitab keselarasan. Kitab ini disusun oleh Tzu Szu, berisi doktrin atau ajaran tentang makna dan kesusilaan. 4. Meng Tze (孟子) Suatu kitab yang disusun oleh Meng Tze yang sangat terkenal. Literatur Barat menyebutnya dengan Mencius. Pemerintah berasal dari bahasa Latin gubernare yang artinya mengemudi (sebuah kapal). Jadi “memerintah” di sini berarti mengemudikan. Kata bendanya adalah governance (Latin: gubernantia), menunjukkan metode atau sistem pengemudian atau manajemen organisasi. Apter dalam “The International Encyclopedia of The Social Sciences” (1972) dalam KYBERNOLOGY (2003:71) mengatakan pemerintah adalah sekelompok orang yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan (exercising power). Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Talizuduhu Ndraha dalam bukunya KYBERNOLOGY: Ilmu Pemerintahan Baru (2003:73-74) menyimpulkankan pendekatan produk atau fungsional bertolak dari kebutuhan manusia yang oleh karena kondisi masyarakat masih sedemikian lemah dan tak berdaya (powerless) sehingga kebutuhan tersebut belum mampu mereka penuhi sendiri (barang dan jasa), juga bertolak dari kenyataan bahwa kepentingan yang satu cenderung merugikan kepentingan yang lain dan produk yang oleh karena sifatnya dan demi keadilan dan kemanusiaan, tidak dapat di-provide oleh lembaga privat atau masyarakat umum, melainkan semata-mata hanya oleh lembaga khusus dan khas (spesifik). Produk yang dimaksud adalah jasa publik yang tidak dapat diprivatisasikan dan layanan-civil. Proses penyediaan (providing) produk itu kepada setiap orang tepat pada saat diperlukan, itulah yang disebut pemerintahan. Organ yang dianggap mampu menjalankan proses tersebut secara bertanggung jawab itulah yang disebut pemerintah. Menurut H. Abu Ahmadi (1997:166), pemerintah adalah badan yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat warganya. Menurut Taliziduhu Ndraha (2003:492), kebijakan adalah pilihan terbaik dalam batas kompetensi dan secara formal mengikat, sedangkan kebijaksanaan adalah pilihan terbaik dalam memecahkan masalah berdasarkan hati nurani, secara etik dan moral mengikat. Sehingga beliau menyimpulkan kebijakan pemerintah adalah pilihan terbaik usaha untuk memproses nilai pemerintahan yang bersumber pada kearifan pemerintahan dan
mengikat
secara
formal,
etik,
dan
moral,
diarahkan
guna
pertanggungjawaban aktor pemerintahan di dalam lingkungan pemerintahan.
b. Kerangka Teori
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
menepati
Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian historis (Historical Research), yaitu kajian logik terhadap peristiwa-peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Menurut Sumadi Suryabrata (1983:16) tujuan penelitian ini adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini oleh karena penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran Konfusius yang berasal dari Cina terhadap kebudayaan Jepang dan bagaimana perkembangan ajaran ini di Jepang terkhusus pada jaman Edo. Keseluruhan peristiwa di dalamnya sudah terjadi (historis). Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam Dudung Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian ini adalah memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektifnya. Penulis menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran ini terhadap kehidupan masyarakat melalui inti ajarannya yang diterima masyarakat pada masa itu.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perkembangan ajaran Konfusius dan tokoh yang sangat berpengaruh mengembangkan ajaran ini di Jepang pada jaman Edo. 2. Mengetahui pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap sejarah bangsa Jepang pada jaman Edo. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
3. Mengetahui inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat Jepang pada pada jaman Edo.
b. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan mengenai ajaran Konfusius dan perkembangannya di Jepang terkhusus pada jaman Edo. 2. Menambah wawasan mengenai sejarah Jepang terkhusus yang berhubungan dengan Konfusianisme. 1.6 Metode Penelitian Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Saifuddin Azwar (1998:7) tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situai atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Penulis menggunakan metode ini oleh karena penelitian ini akan membuat suatu gambaran yang sistematik dan akurat tentang hubungan antara ajaran Konfusius dan perkembangannya di Jepang serta pengaruhnya pada masyarakat pada masa itu dan bila ada, pengaruhnya juga pada masyarakat dewasa ini. Selain itu untuk pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan mencari data tertulis yang berhubungan dengan ajaran-ajaran atau kata-kata bijak Konfusius serta pengaruh apa yang diberikan selama perkembangannya di Jepang. Sumber-sumber tertulis ini didapat dari berbagai buku, artikel, maupun internet baik mengenai sejarah perkembangan Konfusius di Cina, Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
penyebaran ajaran ini serta sejarah Jepang yang terfokus pada perkembangan ajaran Konfusius sehingga masuk ke Jepang dan peranannya dalam sejarah bangsa Jepang.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB II KONFUSIANISME DAN FEODALISME
2.1 Konfusianisme Khong Fu Tzu (Kōshi 孔子), yang lebih tepat dikenal sebagai K’ung Ch’iu (oleh Eropa diberi nama latin Konfusius), lahir pada tahun 551 SM di Tsou sebuah kota kecil di Negera Bagian Lu yang sekarang dinamakan Provinsi Shantung. Ia lahir dan besar di masa Dinasti Chou di Cina (sekitar tahun 1100-221 SM). Sejarah politik bangsa Chou yang rumit dan panjang mula-mula berkembang di sekelompok negeri feodal yang keceraiberaiannya dan keragamannya tercermin dalam ciri khas sosial-budaya Dinasti Chou. Bangsa Chou yang asli adalah bangsa setengah pengembara, tetapi keberhasilan mereka menaklukkan wilayah Cina pada abad kedua belas dikatakan awal era baru karena bangsa Chou-lah yang diakui sebagai pihak yang memantapkan piramida kekuasaan kekaisaran yang memerintah Cina di masa lalu. Sistem tersebut adalah sistem yang boleh dikatakan tidak terusik selama hampir dua ribu tahun. Namun, bahkan kekuatan tak tertandingi yang dimiliki para penakluk itu tidak sepadan dengan luasnya wilayah yang mereka perintah sekarang. Berangsur-angsur kekuatan politik dan hak untuk memerintah menjadi kekuasaan beberapa negeri, dan pengakuan kekuasaan pusat, yakni pengadilan Chou, telah menjadi formalitas usang, sebagaimana halnya sistem feodalisme. Perkembangan Dinasti Chou dapat dianggap sebuah paradoks, karena di kala kemajuan umat manusia mencapai puncaknya, sifat manusia yang tak manusiawi dan integritasnya malah sepertinya mencapai titik paling rendah. Dinasti Chou menjadi saksi lahirnya bajak yang ditarik sapi dan digunakannya kuda sebagai hewan tunggangan, Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
penciptaan sistem irigasi pokok, pembangunan kanal dan jalan yang lebih baik, perkembangan uang, dan sistem tulis-menulis. Pada sebagian masa dinasti tersebut yang dinamakan Chou Timur (770-221 SM), kebudayaan dan kesenian tumbuh pesat. Untuk pertama kalinya seni dekorasi menampilkan benda bergambar seperti adegan perburuan, sesuatu yang merupakan tonggak sejarah yang bernilai seni. Runtuhnya feodalisme dan bangkitnya sejumlah negeri yang merdeka menciptakan kelompok tuan tanah dan saudagar, dan karena itu terciptalah sumber yang subur berupa para begawan kesenian. Seni kerajinan berkembang, dalam bentuk perunggu dan pernis, sutra berhiaskan lukisan, tatahan emas dan perak dan batu giok, hiasan batu-batuan setengah mulia. Kaum berada mengisi kehidupan mereka dengan kemewahan yang dihasilkan dari laba yang mereka raih, mempekerjakan orang untuk menciptakan perhiasan, perabotan rumah, senjata perang, dan pernak-pernik untuk upacara pemakaman. Pamer kemewahan dalam kehidupan kaum berada ini sungguh sangat kontras dengan kemelaratan dan kekurangan yang dialami rakyat jelata yang kadang menjadi korban kerja paksa. Kekuasaan pemerintahan digenggam erat oleh kelompok bangsawan baru yang terpelajar namun tak berperikemanusiaan. Beberapa diantaranya menyalahgunakan wewenang tersebut, mencari kesenangan dari bisnis tragis dengan mengobarkan peperangan. Sikap dingin para pemimpin terhadap masalah yang dihadapi para petani menciptakan masyarakat yang semakin terpuruk, yang berhadapan dengan lingkungan kecemburuan kecil dan pertikaian politik di antara para pemimpin dan negeri, diwarnai pengkhianatan, kemerosotan akhlak, dan korupsi. Masa dan rakyat memekik, mendambakan tujuan dan arah yang baru. Keluarga Konfusius sama sekali bukan keluarga berada, meskipun konon dia keturunan bangsawan. Ayahnya, K’ung Shu-Liang Hë, mantan panitera pengadilan dan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pejuang yang cukup terkenal. Ia telah tua dan menikah dengan seorang perempuan yang memberinya sembilan anak perempuan. Cemas karena tidak mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan marganya, ia meminta Yen Chëng Tsai yang konon keturunan Po Ch’in, putra Pangeran Chou, dengan nama keluarga Chi, untuk menikah dengannya. Perkawinannya ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Konfusius. Konfusius lahir dengan benjolan di dahinya sehingga dia diberi nama Ch’iu (bukit). Di saat berusia 15 tahun, Konfusius bertekad membaktikan dirinya untuk belajar, dan mungkin dalam lubuk hatinya sudah bergolak semangat luhur untuk menciptakan perubahan dan keadilan bagi semua orang, konsep yang dipegangnya teguh sepanjang hayatnya yang sarat dengan kekecewaan. Karena dibesarkan dalam suasana yang dapat dikatakan miskin, Konfusius memandang dunia dari kacamata seseorang yang pernah mengalami kenyataan yang amat pahit. Usianya baru 3 tahun saat ayahnya meninggal, dan Konfusius kemudian dibesarkan oleh ibunya yang terpaksa harus bekerja rangkap untuk menafkahi keluarga. Dalam berbagai tahap kehidupannya, Konfusius memanfaatkan kemampuannya sebagai seorang anak gembala, gembala sapi, jurutulis, dan petugas pembukuan. Konfusius menikah pada usia 19 tahun dengan seorang dara bernama Chi Kuan. Putra sulungnya lahir setahun kemudian, ia memberinya nama K’ung Li Po-yu yang berarti ikan gurami karena Pangeran Chou memberinya seekor ikan gurami sebagai hadiah. Belakangan ikan gurami menjadi lambang Konfusianisme. Po-yu meninggal pada usia 50 tahun dan Konfusius yang hidup sampai usia 75 tahun, masih hidup setelah kematian putaranya. Anak laki-laki Po-yu, Tzu Szu menjadi salah satu murid terbaik Konfusius. Karena anaknya sendiri lebih dulu wafat daripada dirinya, cucunyalah yang meneruskan menyebarkan filsafatnya. Tzu Szu adalah penulis The Doctrine of Mean (daigaku) yang merupakan salah satu karya klasik utama Konfusian. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada usia 22 tahun, Konfusius merintis pendirian sekolah yang dipandang sebagai sekolah swasta pertama, memberikan pencerahan bagi mereka yang mau menyimak tentang berbagai pandangannya mengenai perilaku pribadi, pemerintahan, dan keadilan yang ditegakkan oleh hukum. Mungkin yang terpenting adalah keyakinannya yang terus tumbuh mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat, yang mungkin berasal dari sikapnya yang amat mementingkan pembelajaran, dan kesadaran bahwa hanya melalui pendidikanlah bisa dicapai kesetaraan sejati di antara umat manusia. Dia berpendapat bahwa pendidikan yang menyeluruh akan menghasilkan manusia seutuhnya, dan dia menyerap aspek moral dalam pendidikan sama banyaknya dengan aspek ajaran yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri. Karenanya Konfusius membuka lebar pintu sekolahnya bagi siapapun yang tulus berkehendak untuk belajar. Bayaran yang diterimanya kecil sekali dan ia memang tidak menuntut bayaran, sehingga murid-murid hanya membayar sesuai dengan kemampuan mereka. Karena memang murid-muridnya kebanyakan dari kalangan bawah. Sebagai inspirasinya untuk masa kini dan masa mendatang, dia menengok ke masa lalu, kepada kepemimpinan legendaris Pangeran Chou, arsitek Dinasti Chou. Dalam pandangannya mengenai perubahan, Konfusius menggalakkan keadilan hukum bagi semua orang sebagai sokoguru kehidupan dalam dunia ideal, yang menjadi tempat terwujudnya prinsip-prinsip kemanusiaan, kesantunan, keimanan, pengabdian anak, dan indahnya sifat budiman, kejujuran, kesetiaan, dan sifat dapat dipercaya. Pandangannya tentang pemerintah adalah bahwa setiap warga negara harus memiliki peran yang sudah ditetapkan, dan menjalankan peran tersebut dalam perjalanan hidupnya, bahwa setiap pemerintah harus arif, menyediakan standar hidup yang baik bagi rakyatnya, dan menggalakkan pendidikan budi pekerti dan tata krama. Sebagai contoh yang baik dari kepemimpinan yang arif, Konfusius mengagumi Kaisar Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Yao yang legendaris (sekitar 2300 SM) dan penerusnya, Kaisar Shun (sekitar 2200 SM), yang kearifan dan sikap welas asihnya sangat terkenal, dan yang masa pemerintahannya konon menciptakan ‘era keemasan di masa lampau’. Sebagaimana kebiasaan di jamannya, Konfusius memupuk seni yang luhur, dan dia menganggap musik sebagai kunci keharmonisan yang bersifat universal, dan ia mulai mempelajarinya secara mendalam pada usia 29 tahun. Menurut Konfusius, musik adalah cerminan manusia unggul, dan menyerupai watak yang sesungguhnya, yang dapat mengungkapkan keculasan dan kemunafikan. Pada akhirnya, Konfusius memadukan musik ke dalam filsafatnya untuk memperlihatkan kemampuan musik dalam mempengaruhi seseorang agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Konfusius juga berpendapat bahwa hakikat upacara kebaktian seharusnya lebih bersifat rohaniah dan bukan lahiriah, pastilah karena pengalamannya menyaksikan betapa berlebihannya formalitas pelaksanaan ritual pada jamannya. Konfusius berkonsultasi dengan Lao-tzu, pendiri Taoisme yang legendaris dan penulis buku Tao Te Ching, untuk mempelajari cara menyelenggarakan upacara dan musik. Lao-tzu adalah penulis Perpustakaan Kerajaan dan lebih tua 50 tahun daripada Konfusius sendiri. Kaitan antara Taoisme dan Konfusianisme terbayang dalam konsultasi yang terjadi di antara keduanya. Kendati kedua aliran filsafat ini saling berselisih selama bertahun-tahun, sesungguhnya Taoisme dan Konfusianisme pada akhirnya saling mengevolusikan interpretasikan baru yang menyatukan unsur tiap-tiap aliran. Hal ini akan tercermin di kemudian hari dalam gerakan Neo-Konfusian dan NeoTaois. Masing-masing memiliki hal-hal yang kurang pada pihak lainnya. Kekuatan kata-katanya berhasil menarik ke dekat Konfusius sejumlah penganut yang terus bertumbuh, yang pada akhirnya berjumlah tiga ribu orang, dan tujuh puluh dua di antaranya dikenal sebagai murid-muridnya yang paling luas pengetahuannya. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Mereka memiliki posisi penting dalam mencatat ucapan sang guru dan menyebarkan ajarannya. Terdapat pertikaian yang terus-menerus di antara sejumlah negeri pada masa Konfusius. Di negerinya sendiri, yakni di Lu, kekuatan politik diturunkan dari pemerintah ke tangan tiga keluarga bangsawan, yang bernama keluarga Mëng-Sun, ShuSun, dan Chi-Sun. Pembaharuan sosial dan moral yang digalakkan oleh Konfusius tidak mendapatkan penerimaan universal, terutama dalam lingkungan kekuasaan dan keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan berbagai pandangannya dalam kedudukan di pemerintahan tidak terpenuhi. Maka, konon, pada usianya yang ke-35, dia meninggalkan Lu ditemani Pangeran Chao yang berumur pendek, yang kalah dalam pergumulan kekuasaan yang pahit, lalu menuju negeri Ch’i, dan di situlah Konfusius bermukim selama delapan tahun. Ketika kembali ke Lu pada usia 43, Konfusius memulai pengumpulan dan penyuntingan karya sastranya yang secara keseluruhan dinamakan enam karya klasik: The Odes (詩經), The Book (書經), The Book of Change (易經), The Books of Rites (礼記), The Book of Music (楽經), dan The Spring and Autumn Annals (春秋). Akhirnya pada usia 51, Konfusius ditunjuk sebagai walikota Chung Tu di Lu. Dalam waktu satu tahun, prestasinya sangat mengesankan sehingga dia naik pangkat menduduki jabatan di Kantor Pekerjaan Umum, kemudian di Kantor Pengadilan Tinggi di negeri Lu. Namun, di masa bakti Konfusius di lingkungan politik dapat dikatakan singkat. Sekitar tahun 497 SM, dia sekali lagi meninggalkan Lu, ditemani oleh pengikutnya yang paling setia, mungkin dipicu oleh buruknya keadaan spiritual dan moral yang disaksikannya di kalangan pemimpin di antara sesama pejabat seperti dirinya. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Konfusius memang ditakdirkan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya selama tiga belas tahun berikutnya, terus-menerus mencari ke mana-mana, mencari tatanan yang tepat untuk mewujudkan berbagai pemikirannya. Namun rupanya hal itu tidak ditakdirkan untuk terjadi. Setelah beranjak tua dan lelah, dia kembali lagi ke Lu pada 484 SM, ketika usianya sudah 68 tahun, jelas sangat kecewa oleh pengalamannya menghadapi dunia yang serakah dan sinis, tetapi tetap memegang teguh pandangannya yang luhur. Dia terus mengajar, dan kebajikan kata-katanya, sebagaimana yang didokumentasikan oleh para pengikutnya, akan terus hidup selamanya, merupakan warisannya yang tak pernah mati bagi masa depan. Pada tahun terakhir hidupnya, Konfusius menyunting I Ching. Konfusius meninggal pada 479 SM dan dimakamkan di Ch’ü Fu. Dewasa ini tempat peristirahatannya yang terakhir itu telah menjadi Hutan K’ung yang sangat indah, konon meliputi tanah sepanjang delapan kilometer di masa sekarang ini, yang pada awalnya hanya berupa beberapa pohon yang ditanam oleh murid-muridnya untuk mengenang Konfusius. Demikian pulalah ajaran Konfusius merebak, dari asalnya pada era klasik yang terus bertahan, dan pada akhirnya melampaui berbagai ajaran lain pada 140 SM, ketika ajaran Konfusius diakui secara resmi sebagai satu-satunya filosofi. Namun barulah pada tahun 5 M Konfusius dihormati secara anumerta melalui Perintah Kaisar untuk pertama kalinya, yaitu oleh Kaisar Ping dari dinasti Han yang memujinya sebagai ‘yang dihormati dan cendekia’. Bahkan pada Dinasti Han Konfusianisme menjadi filsafat resmi negara Cina. Orang besar ini menerima penghormatan utama beberapa abad kemudian, pada tahun 739 M, ketika Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius untuk keunggulan ajarannya, dan menganugerahinya gelar khusus sebagai ‘bangsawan’. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada dinasti Ch’ing, Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius dengan menganugerahinya gelar ‘Maha Guru Segala Jaman’. Mungkin inilah gelar yang paling pantas untuk orang yang kearifannya telah menjadi kekuatan yang membimbing kehidupan dan pemikiran rakyat Cina selama lebih dari 2000 tahun. Benang emas filosofi moral dan politiknya menjadi unsur yang integral dalam masyarakat dunia.
2.2 Inti Ajaran Konfusianisme Menurut Boye de Mente (1989:26) Konfusius mendasarkan ajarannya pada penghormatan terhadap tradisi, pada tingkatan yang terutama didasarkan pada hubungan antara anggota keluarga dan antara rakyat dan penguasanya. Masih menurut Boye de Mente, semua hubungan ini ditetapkan dengan suatu ketentuan tingkah laku yang kaku yang dinamakan Li atau ‘etiket’, yang didasarkan pada kepatuhan anak pada orangtua, kepatuhan pada upacara yang telah ditentukan, dan kepatuhan pada seorang penguasa yang memerintah dengan persetujuan rakyat yang diperintah yang mengakui kebajikan dan kemampuannya. Dasar terakhir dari sistem Konfusius adalah latihan dan pengalaman yang terus-menerus dalam seni kebudayaan seperti musik, tulisan indah, melukis, dan kesusastraan sebagai bagian dari pendidikan moral yang penting untuk menaikkan manusia dari tingkat kebiadaban. Menurut C. Alexander Simpkins dan Annelen Simpkins (2000:65) ajaran pokok Konfusian berkisar antara cara hidup dan cara menjalani hubungan. Kehidupan seharihari menjadi fokus utama ajarannya. Membuat kehidupan menjadi yang terbaik adalah sasarannya. Konfusius menunjukkan cara untuk menghadapi masalah dan cara untuk berubah sehingga manusia dapat membangkitkan inti batin kebijaksanaan, potensi dalam diri kita yang belum tersalurkan, dan menjadi orang yang bijaksana. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Mereka membagikan pokok ajaran Konfusius sebagai berikut. 1. Jen (仁、jin) Jen adalah kemurahan hati, cinta yang agung, mengekspresikan Tao kemanusiaan. Jen adalah sumber utama keluhuran: kebijaksanaan, cinta, belas kasih, kesetaraan. Jen adalah sumber utama keluhuran yang terwujud sebagai yi atau kebaikan. Moralitas berawal dari cinta kasih. Jen menunjuk pada kemanusiaan, sifat alami manusia sendiri, dan selalu mencakup hal-hal lainnya. Jen adalah kualitas yang unik pada manusia dan membedakannya dari binatang. Konfusius dan Mensius percaya bahwa sifat alami manusia pada hakikatnya baik, walau perbuatan manusia dapat saja negatif. Dengan upaya pribadi dan pelajaran dari budaya, orang dapat menjadi baik. Mencius mengatakan bahwa orang yang bijak tidak memiliki musuh. Jen memerlukan kebajikan yang altruistik, tulus, dan bersimpati terhadap sesama. Menjalani hidup sesuai dengan jen berarti hidup yang sinkron dan selaras dengan kebajikan penuh cinta yang ada di dalam diri. Cinta yang mengorbankan segalanya tanpa pamrih terhadap keluarga kita adalah prinsip yang utama. Kepatuhan anak, inti dari budaya Cina, adalah ekspresi jen dalam keluarga. Ketika seorang memperlakukan keluarganya dengan jen berarti dia melakukan kebajikan, menyatukan keluarganya, komunitasnya, negerinya, dan akhirnya seluruh dunia dengan kebajikan yang penuh cinta kasih. Jen memiliki dua kutub aspek tindakan praktis yang saling berhubungan — chung dan shu— yang membimbing seseorang dalam hal-hal yang seharusnya dilakukan maupun hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Chung atau jalan tengah adalah sesuatu yang positif dan jernih. Serupa dengan aturan emas, chung menuntun perilaku seseorang dalam pengertian aktif, memberitahu agar memperlakukan sesama dengan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
baik sesuai dengan standar yang sejati, yakni dengan kebajikan. Juga memampukan agar mengembangkan rasa kebaikan, yakni hal-hal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
hubungan
peranannya
di dalam
kehidupan
dan
lingkungan
hidup.
Memperlakukan sesama dengan empati dan sungguh-sungguh. Chung bersifat aktif, positif, dan tegas: bertindak sesuai dengan cinta dan respek yang bajik, tanpa pamrih dan dengan tulus. Standar penilaian untuk memilih dan menentukan hal-hal yang seyogianya dilakukan adalah sesuatu yang telah ada di dalam diri manusia itu, menyatu dengan sifat alaminya. Pilihan mengenai cara memperlakukan orangtua, keluarga, atau sesama manusia di dalam hubungan harus sesuai dengan standar itu. Shu adalah kutub yin dari jen, kesediaan untuk menerima, panduan untuk bertingkah laku. Shu berarti menjalani hidup dengan altruisme tanpa mengharapkan sifat timbal baliknya. Shu biasa disebut Aturan Perak, yaitu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain kalau anda tidak mau orang lain melakukan hal itu terhadap anda.
2. Li (理、ri) dan Wen Li adalah keluhuran yang fundamental—yakni bentuk atau prinsip. Li diekspresikan sebagai kesopanan, perilaku, bentuk hubungan, dan tindakan. Li mencakup ritual, adat-istiadat, dan pola hidup. Chu Hsi percaya bahwa li dan chi adalah dasar dari segala yang ada. Li telah ditafsirkan dengan banyak cara, tetapi maknanya selalu kembali pada hakikat bentuk, yakni bentuk yang ada di dalam diri manusia. Dalam Konfusianisme, bentuk adalah yang utama. Bentuk adalah prinsip dan prinsip adalah bentuk. Bentuk dianggap sebagai lambang kebijaksanaan sejati, atau persepsi yang tercerahkan. Dalam situasi sosial, li adalah roh atau semangat yang memberikan makna atau memungkinkan munculnya makna. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Berbeda dengan filsafat Barat yang memisahkan yang ideal dari yang nyata, Konfusianisme menghubungkan keduanya. Kofusianisme mengajarkan bahwa bentuk suatu objek nyata di dunia ini terkait erat dan diciptakan oleh bentuknya sendiri. Bentuk hadir lebih dulu, barulah hakikat mengikuti. Bentuk diekspresikan melalui bentuk nyata di dunia ini, bukan sebagai sesuatu ideal yang melaluinya. Di sini li ada. Adat kebiasaan, ritual, dan tradisi sama-sama mengandung li, tetapi li sendiri tidak terbatas pada bentuk, kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Li adalah roh dari kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Karenanya Konfusius percaya mempelajari halhal klasik yang diikuti dengan partisipasi penuh hormat dalam ritual, kebiasaan, dan tradisi akan menuju pada pemahaman yang tercerahkan. Menyelidiki sifat alami segala hal akan membantu orang yang dengan tulus melakukan pencarian, sehingga mereka memahami li tertentu yang terdapat pada semua itu, dan pada gilirannya akan menemukan li itu sendiri. Li terwujud sebagai bentuk hubungan di dalam masyarakat. Prinsip li dalam sifat alami manusia mendorong manusia untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah di dalam perilakunya. Kepatuhan anak dan kasih sayang adalah suatu konsekuensi langsung dari li yang melekat dalam hubungan umat manusia. Konfusius sangat mencintai seni, menganggap seni memiliki salah satu pengaruh yang paling besar terhadap manusia. Ketika dikombinasikan dengan li, wen (budaya dan seni) membantu manusia mengolah keselarasan dan mempromosikan keluhuran. Di antara seni yang dirujuk sebagai wen adalah musik, hasil pertukangan, puisi, arsitektur, semua kualitas estetis dan berbudaya dalam karya cipta manusia. Seni memiliki daya untuk membebaskan roh dan mengentaskan kemanusiaan ke tingkat yang terbaik. Cinta dan rasa hormat Konfusius terhadap seni berasal dari penglihatannya terhadap dampak seni yang positif dan kuat terhadap manusia. Misalnya Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
jika anda pernah berdiri di depan Patung liberty, mengunjungi Louvre, memperhatikan lukisan karya Lembrandt, atau mendengarkan simfoni Beethoven, mungkin akan terasa seperti melayang. Jiwa anda terasa dihargai ketika anda membiarkan diri merasakannya dengan penuh penghayatan dan lembut. Seni adalah salah satu aspek penting dalam budaya manusia dan seharusnya kita melibatkan diri kita sendiri di dalamnya (Simpkins, 2000:81).
3. Chung (中) Chung adalah tengah-tengah atau pusat yang merupakan titik keseimbangan, semacam indera keenam dalam sifat kemanusiaan. Chung adalah sesuatu yang bersifat aktif, positif, dan menunjukkan Jalan. Konfusius dan Mensius menyatakan bahwa kodrat manusia yang sepenuhnya berkembang adalah standar, upaya batin yang jujur untuk mendapatkan kebenaran, kompas untuk menemukan arah yang harus ditempuh dalam perjalanan hidup manusia. Jalan tengah adalah pusat kepribadian, yakni garis yang menjadi standar untuk pengolahan diri. Simpkins memberinya contoh sebagai berikut. Misalnya meskipun penguasa bijak diharapkan menetapkan standar bagi rakyatnya, tetapi standar yang digunakan oleh si pemimpin sendiri ada di dalam batinnya. Tuan tanah hingga petani sama-sama memiliki standar perilaku di pusat mereka, sifat manusia yang bajik. Jalan tengah adalah pusat yang menengahi hal-hal ekstrem. Konfusius dan Mensius menasihati orang agar terjadi keseimbangan. Karena dalam keseimbangan ditemukan kebijaksanaan (Simpkins, 2000:88).
4. Chün-tzu (王) Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Chün-tzu (orang bijak) adalah manusia sejati yang benar-benar tulus dan jujur terhadap sifat alaminya. Konfusius percaya bahwa ketulusan muncul lebih dulu. Tidak seorang pun dapat menempuh jalur menuju menuju tercapainya kebijaksanaan jika ia tidak memiliki ketulusan. Semua orang pernah melakukan kesalahan, tetapi sedikit saja yang bersikap rendah hati dengan mengakui ketika mereka salah dan memperbaiki tindakan mereka yang salah. Konfusius menekankan sikap yang rendah hati dan jujur, terutama ketika tidak ada orang lain yang meyaksikannya untuk menegurnya atau mendisiplinkannya. Sifat alami manusia pada dasarnya baik. Mengekspresikan hal-hal yang posititif dari sifat alami manusia adalah pilihan yang dianugerahkan dalam perjalanan hidup. Mengembangkan diri seutuhnya pada jalur Konfusian berarti tidak sekedar belajar menghargai kebaikan yang tidak kentara di dalam diri sendiri, melainkan juga mencintai jalan hidup yang sesuai dengannya. (Alexander Simpkins, 2000:93) Konfusius berprinsip seseorang harus menyelesaikan peran yang dimainkannya di dalam kehidupan ini, apapun peran yang dijalaninya. Jika ingin mengembangkan diri menjadi manusia sejati, sesorang perlu belajar untuk hidup dengan bijaksana, menyatukan hal-hal terbaik yang diberikan pengetahuan ke dalam dirinya. Kalangan Neo-Konfusian menambahkan dimensi lain dalam pembelajaran ketika mempelajari prinsip melalui li. Orang bijak berusaha memahami segala hal seputar dunia dengan mengeksplorasi prinsip yang merupakan hakikat di balik segala hal. Dengan demikian, pengertian yang diperoleh tidak pernah dangkal. Pikiran yang mendalam dan cermat harus selalu disertai dengan pembelajaran. Pembelajaran tanpa berpikir itu menyia-nyiakan waktu, sedangkan berpikir tanpa belajar merupakan sesuatu yang berbahaya.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Salah satu hal yang dimiliki orang bijak adalah kemuliaan. Kemuliaan adalah soal perilaku, bukannya sesuatu yang melekat dalam diri ketika manusia dilahirkan. Kemuliaan adalah tindakan, hal-hal yang manusia lakukan, bukannya sesuatu yang diwariskan berdasarkan keturunan. Seseorang bergerak menuju arah kualitas yang dimiliki kaum bijak, apabila ia mengembangkan kehangatan dan kebaikan yang sejati dan ramah. Dengan menjadi tenang dan tenteram di dalam batin, orang bijak menginspirasi orang lain untuk sepenuhnya merasa tenteram. Orang bijak yang sejati adalah orang yang tenang dan tenteram. Ketenangan diperoleh karena dapat menemukan hal-hal yang positif dalam situasi maupun dalam watak orang lain. Orang yang lebih mulia menekankan kualitas positif pada orang lain dan membantu mereka menjadi demikian. Orang biasa hanya melihat hal-hal negatif. Orang lain dapat dipengaruhi secara positif oleh kekuatan batin orang bijak. Kualitas baik yang dimulai dari batin individu dimaksudkan untuk membantu orang lain secara umum. Karenanya Konfusius mendorong murid-muridnya untuk sepenuhnya mengembangkan kemanusiaan yang termuat dalam sifat alami mereka yang terdalam, bukan sekedar untuk perkembangan pribadi, melainkan juga demi perkembangan sesama. Akan selalu ada harapan bagi dunia, tidak peduli betapa terkadang hidup tampak begitu berat, jika manusia meningkatkan diri.
2.3 Feodalisme Menurut Roderick Martin (1993:165) masyarakat feodal adalah masyarakat yang militeristis yang hidup di “atas” tanah yang terpecah belah. Ciri utama sistem feodal adalah penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan pemeliharaan, yang di dalam hubungan antara tuan tanah dengan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
petani biasanya berupa pemberian pinjaman sebidang tanah. Penyerahan diri ini terjadi pada dua tingkatan: raja menerima penyerahan diri dari para tuan tanah dan tuan tanah menerima penyerahan diri dari para petani (M. Bloch dalam Martin, 1993:166). Di Jepang masa feodal berlangsung selama kira-kira tujuh ratus tahun. Di awali dari jaman Kamakura hingga jaman Edo. Keberlangsungan feodalisme di Jepang hampir sama di setiap jamannya, yaitu dipimpin oleh seorang Shōgun (pemimpin militer atau pemerintahan Buke), sehingga pemerintahannya berbentuk pemerintahan militer, namun memiliki sifat “feodal” yang tidak sama. Pada masa Kamakura masih ada semacam perimbangan antara istana, yang mewakili sisa-sisa pemerintahan kerajaan, dan Bakufu (幕府), lembaga yang digunakan shōgun untuk menjalankan kekuasaannya. Pada masa Muromachi, meski raja dan shōgun sama-sama tinggal di ibu kota, Jepang bergeser lebih jauh menuju tipe pemerintahan dan masyarakat feodal sejati. Pada masa Edo mulai peralihan ke negara modern, meski lembaga vasal (tuan tanah) tetap menjadi kunci status sosial dan kekuasaan. Ketiga tahap ini didahului dengan masa-masa perang saudara. (W.G. Beasly, 2003:94) Awal dimulainya feodalisme di Jepang adalah dengan terbentuknya Bushi pada jaman Heian akhir, yang merupakan para samurai yang mempunyai kekuatan militer untuk menjaga tanah milik pribadi di wilayahnya. Kaum samurai ini membentuk komunitas bushi yang mengutamakan suku terkuat dan berpengaruh, diantaranya yang terkuat adalah suku Genji dan Heishi. Lewat pertengahan abad ke-11, kekuasaan yang diktator dari keluarga Fujiwara—yang mendapat kedudukan dalam pemerintahan karena mengawinkan anak perempuannya dengan putra mahkota. Karena putra mahkota naik tahta saat dia masih kecil, maka Fujiwara menjadi wali Kaisar memimpin pemerintahan bahkan hingga Kaisar cukup dewasa untuk memimpin pemerintahan, Fujiwara tetap menjadi orang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan— menjadi lemah. Setelah Kaisar Shirakawa turun tahta dan menjadi jōkō (上皇), yang kemudian melanjutkan politik dengan menggunakan goshojōkō yang disebut dewan (pemerintahan dewan). Karena yang memegang kekuasaan secara nyata adalah goshojōkō maka jabatan wali dan penasehat Kaisar tinggal nama saja. Pada pertengahan abad ke-12, terjadi pertentangan kaisar dengan jōkō, juga perkelahian dalam keluarga Fujiwara, yang kemudian berperang di dalam kota dan mendapat dukungan dari kaum samurai Genji dan Heishi—disebut perang Hōgen-Heiji (1156-1159). Pada masa ini kaum samurai pun berkembang. Taira Kiyomori yang mengalahkan orang-orang jōkō dan Genji dalam perang Hōgen-Heiji menggenggam kekuasaan politik yang mengganti keluarga Fujiwara dan jōkō. Kiyomori pada tahun 1167 menjadi perdana menteri dan seluruh keluarganya pun diberi kedudukan tinggi di istana kekaisaran. Kemudian membangun pelabuhan Hyōgo (di Kōbe), melakukan perdagangan dengan Cina (kekaisaran Sōōchō), dan menghasilkan keuntungan besar. Kaum Heishi diberi tanah garapan yang banyak, dan mempunyai pengaruh yang kuat. Kaisar Goshirakawahōō yang memiliki ketidakpuasan terhadap cara kerja Heishi memanggil lagi kaum Genji yang melarikan diri dari wilayah yang dihancurkan dalam perang Hōgen-Heiji, yang kemudian memulai perang kembali dengan kaum Heishi. Minamoto Yoritomo, Minamoto Yoshitsune adik laki-lakinya dan Minamoto Yoshinaka sepupunya menyerang kaum Heishi di setiap tempat di seluruh negeri. Keluarga Heishi dihancurkan pasukan militer Yoshitsune di wilayah Dannoura (Selat Shimonoseki di Yamaguchi-ken) yang dinamakan perang Dannoura (Dannoura no tatakai) dalam sebuah pertempuran laut atau lebih tepatnya pertempuran antara samurai di dalam kapal-kapal. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Minamoto Yoritomo yang menang terhadap keluarga Heishi membuat daerah basis di Kamakura (perfektur Kamagawa), dan memulai persiapan penguasaan seluruh negeri. Kemudian, Yoshitsune mengkhianati Yoritomo, dia melarikan diri dan ditolong oleh keluarga Fujiwara di Ōshū (wilayah Tōhoku) yang akhirnya berhasil dihancurkan. Pada tahun 1192 Yoritomo diangkat menjadi seiitai shōgun oleh istana kekaisaran dan memulai pemerintahan bushi di Kamakura. Pemerintahan itu disebut dengan Bakufu (Pemerintahan Shōgun). Pemerintahan Kamakura yang dimulai oleh Yoritomo berlangsung kira-kira selama 140 tahun. Yoritomo memberikan tanah kepada samurai yang giat berperang, mengikat mereka sebagai pengikut (yang disebut gokenin、御家人) dalam hubungan atasan dan bawahan
(shujukankei、主従関係).
Sementara
itu
ia
mengangkat
orang-orang
berpengaruh sebagai pegawai pemerintahan (shugo-jitō、守護· 地頭) di setiap wilayah. Shugo (gubernur-militer) bertanggung jawab menjaga ketertiban umum terutama di provinsinya dengan melatih gokenin, jitō bertugas mengawasi dan memungut pajak dari tanah milik pribadi (shōen、荘園) memastikan semua pajak dibayar pada waktunya oleh tuan tanah tempat ia mengabdi. Para samurai di masa damai tinggal di desa pertanian, melatih petani cara bertani, dan melakukan latihan perang. Kemudian di masa perang mereka pergi ke Kamakura berperang untuk shōgun, disebut Izakamakura. Setelah Yoritomo meninggal kekuasaan pemerintahan Bakufu berpindah kepada keluarga Hōjō di tempat kelahiran Masako, yaitu istri Yoritomo. Setelah membunuh Sanetomo, yaitu generasi ketiga Shōgun —putera kedua Yoritomo— keluarga Hōjō mengangkat Shōgun dengan memilih anak-anak bangsawan yang lalu dikirim ke Kyōto ketika mencapai usia dewasa. Dengan cara ini shōgun, seperti halnya kaisar, menjadi pemimpin-perlambang Kemudian pemerintahan yang sebenarnya mengangkat keluarga Hōjō menjadi wali raja yang disebut shikken (執権). Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Awal abad ke-13 mantan kaisar Gotoba berpikir untuk menghidupkan kembali pemerintahan yang berpusat pada kaisar. Ia menghimpun dukungan di kalangan para samurai di Jepang tengah dan barat lalu menyerang Kantō (disebut perang Jōkyū, 1221). Tetapi pasukan Gotoba dikalahkan mentah-mentah oleh pasukan Hōjō Yoshotoki dan pengaruh keluarga Hōjō atas Bakufu kembali menjadi kuat. Setelah perang ini, dibuatlah undang-undang yang disebut jōeishikimoku (goseibaishikimoku). Karena undang-undang ini menetapkan tentang hak dan kewajiban gokenin maka ini menjadi undang-undang pertama Buke. Banyak shōen milik mantan kaisar yang disita, beberapa tidak lama kemudian dikembalikan kepada pemilik masing-masing tetapi diletakan di bawah pengawasan gokenin, selebihnya dibagi-bagikan kepada keluarga Hōjō dan sekutu-sekutunya. Kekuasaan dan imbalan penghasilan untuk jitō dirinci dengan jelas, yang menyiratkan ancaman bagi penghasilan kaisar dan para bangsawan di istana. Ahli waris Yoshitoki, Yasutoki, ditempatkan di Kyōto sebagai gubernur dengan nama jabatan Rokuhara Tandai. Go-Toba diasingkan, dan kaisar yang sedang berkuasa diganti dengan kaisar baru yang ditentukan oleh Kamakura. Awal abad ke-13, Kubhilai Khan dari suku mongol menguasai negara Cina, ia mulai memulihkan martabat internasional Cina yang dicerminkan oleh sistem upeti, dan berpikir bahwa Jepang adalah bagian dari Cina. Karenanya ia mengirimkan sepucuk surat kepada “raja” Jepang, memerintahkan agar Jepang mengirim utusan ke Cina untuk menyampaikan rasa hormat kepadanya. Hōjō Tokimune yang memangku jabatan waliraja saat itu di Kamakura, tidak mempedulikan surat itu. Akibatnya Kubhilai Khan mengirim armada dan mendarat di utara Kyūshū pada tahun 1274, namun mereka kalah. Pada tahun 1275 dan 1279 utusan baru dari raja Mongol tiba di Jepang dan menuntut agar Jepang tunduk. Para utusan itu dihukum mati. Kemudian pada tahun 1281 datang dua armada menyerang melalui Kyūshū dan pecah pertempuran hebat di sepanjang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pantai Kyūshū. Dua bulan kemudian angin besar datang dan memporak-porandakan kapal-kapal Mongol dan menenggelamkannya. Bangsa Jepang menyebutnya Kamikaze (angin surga/dewa). Selama peperangan itu bakufu mengalami banyak kerugian dalam ekonomi, kemudian wilayah yang diserang Mongol menjadi tanah sitaan. Gokenin yang banyak dirugikan dalam peperangan ini tidak mendapat bagian dari barang rampasan perang maupun tanah yang disita. Mereka merasa tidak puas dengan bakufu yang dianggap tidak tahu berterima kasih, sehingga mereka tidak mau lagi patuh pada bakufu. Hal ini menyebabkan kekuatan bakufu melemah. Melihat melemahnya pengaruh bakufu, kaisar Go-Daigo memanggil para gokenin yang tidak puas dengan keluarga Hōjō dan memulai perang melawan bakufu. Tahun 1333 bakufu Kamakura runtuh. Tahun 1334, Kaisar Godaigo memulai politik yang baru dengan berpusat pada kaisar (Genmunoshinsei). Tetapi para samurai yang membentuk politik Buke memiliki ketidakpuasan terhadap politik ini. Ashikaga Takauji yang masih mempunyai kekuatan lebih pada waktu jatuhnya pemerintahan Bakufu melakukan pemberontakan dengan mengumpulkan para samurai, dan masuk menyerang Kyōto. Tentara kaisar mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Yoshino (perfektur Nara). Tahun 1336, Takauji menaikkan ke atas tahta sang kaisar yang baru pilihannya sendiri di Kyōto (Kekaisaran Utara), dan pada tahun 1338 menjadi shōgun, membuka pemerintahan Bakufu di Muromachi dekat Kyōto. Pemerintahan militer keluarga Ashikaga ini membuat rumah yang indah yang disebut dengan Hana no Gosho di Muromachi Kyōto dibuat oleh generasi ketiga shogun, yaitu Ashikaga Yoshimitsu, cucu dari Takauji. Jaman ini disebut jaman Muromachi. Di lain pihak, Kaisar Godaigo melarikan diri ke Yoshino membawa serta regalia kerajaan, karena tanpa regalia tidak ada pemimpin yang sah. Karena ia membuat Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
kekaisaran di Yoshino (Kekaisaran Selatan), maka situasi yang saling berlawanan terjadi antara kedua kekaisaran ini. Perang saudara ini terus berlangsung berulang kali sampai tahun 1392 pertempuran dimenangkan oleh Ashikaga Yoshimitsu. Jaman yang terdapat dua kekaisaran, yaitu Kekaisaran Utara dan Selatan disebut jaman Kekaisaran Utara Selatan (Nanbokuchōjidai、南北朝時代). Dalam pemerintahan militer di Muromachi hubungan antara shōgun dan bushi lemah maka ada shugō yang memiliki kekuatan memperluas tanah milik pribadi, kemudian mereka menyimpan kekuatan militer dan mempunyai kekuatan untuk memerintah daerah itu (tanah milik pribadi/shōen). Shugo yang menjadi tuan tanah ini disebut Shugodaimyō (守護大名). Semenjak akhir jaman Kamakura ada bajak-bajak laut berhasil menghancurkan kondisi-kondisi di samudera mulai dari Semenanjung Korea sampai Semenanjung Cina. Kemudian Yoshimitsu mengawasi, mengintai bajak laut sementara itu mulai mengadakan hubungan dagang secara formil dengan Cina (Kekaisaran Minōchō) dan mendapat keuntungan yang besar. Bila perdagangan tidak dilakukan, maka bajak laut beraksi kembali. Tahun 1467, pada waktu pemerintahan shōgun generasi ke-8, Ashikaga Yoshimasa, para daimyō dibagi dua. Karena dibagi dua maka menimbulkan peperangan selama sebelas tahun antara daimyō (ōninnoran、応仁の乱). Kemudian dalam peperangan ini, kedua belah pihak tentara kelelahan, karena perang ini kekuatan shōgun pun lemah, dan lahirnya sistem tanah garapan menjadi bangkrut. Lalu sekarang yang mempunyai kekuatan adalah orang bawahan yang menjadi berkuasa karena menentang golongan atas, hal ini disebut masyarakat gekokujō. Jaman seperti ini disebut jaman sengoku (sengokujidai、戦国時代). Di jaman ini ada penguasa baru yang disebut sengokudaimyō (戦国大名). Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Di jaman Muromachi teknik pertanian berkembang, adanya penggunaan kereta uap, bidang pertanian diselenggarakan secara luas di mana satu tahun dua kali panen. Dalam pertanian, masyarakat desa maju dan para petani membuat perkumpulan yang ada di setiap desa, kemudian setiap perkumpulan berkumpul untuk berunding tentang masalah perkembangan pertanian dan pajak tahunan. Kemudian masyarakat petani yang mempunyai ikatan antara desa menjadi solid dan bersatu memohon kepada Bakufu untuk meringankan pajak, apabila tidak didengar maka para petani itu mengambil senjata dan menyerang Bakufu. Selain itu mereka menyerang gudang bawah tanah dan kedai sake (serangan ini disebut tsuchiikki). Selanjutnya ada pemberontakanpemberontakan berdasarkan agama yang disebut Ikkōikki. Kemudian pada waktu ini para daimyō juga diserang (Yamashiro no Kuniikki). Sengokudaimyō melengkapi peralatan-peralatan perang dengan mengumpulkan para pedagang dan industriawan yang ada di Jepang dan dikumpulkan di daerah-daerah, karena dia membela para pedagang dan industriawan maka industri pun menjadi maju. Distribusi barang-barang menjadi luas ke seluruh daerah dan didirikan kota kecil, bahkan bertambah pula pedagang besar (tonya) yang melakukan bisnis transportasi. Lalu dibentuk Za (kelompok usaha bersama), maka setiap daerah dibuat produksi barang-barang asli daerahnya masing-masing. Pada jaman Muromachi ini, karena pemerintahan militer berada di Kyōto, para bushi dan kuge (masyarakat golongan atas istana yang bercampur baur dengan bangsawan istana) melebur akhirnya membuat suatu budaya baru yang disebut budaya Buke, yaitu kebudayaan militer yang baru. Kebudayaan buke ini sebenarnya merupakan kebudayaan yang memiliki suatu kesederhanaan yang mendapat pengaruh dari Zenshū (Buddha sekte Zen) dan pengaruh Min Ō Chō (kebudayaan kota) yang ada di Kyōto,
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
kemudian kebudayaan ini menyebar ke seluruh wilayah sehingga lahir kebudayaan Minshū (rakyat biasa di seluruh daerah.). Ketika Hideyoshi wafat anaknya dan penggantinya, Hideyori, masih berusia 5 tahun. Sebelum kematiannya, Hideyoshi telah membentuk sebuah dewan yang terdiri dari lima orang daimyō untuk menyertai anaknya. Figur yang dominan dari dewan tersebut adalah Ieyasu, yang segera menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mau terikat oleh sumpah untuk menjaga Hideyori. Sebuah perkembangan yang dimainkan Ieyasu adalah perpecahan di antara jenderal-jenderal Hideyoshi, yaitu antara pegawai-pegawai dan perwira-perwira perang. Para pegawai dipimpin oleh Ishida Mitsunari (1560-1600) dan termasuk juga Kato Kiyomasa (1562-1611). Para jenderal yang memiliki reputasi di medan perang memandang benci kepada para pegawai yang naik dengan menjilat. Ketika mulai kelihatan bahwa Ieyasu bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan ke dalam tangannya sendiri, Mitsunari memanggil para pendukung keluarga Toyotomi yang loyal untuk bersatu dengannya mengeyahkan Ieyasu. Hal ini menimbulkan konfrontasi di Sekigahara, Honshu Tengah, pada bulan Oktober 1600. Dua pihak yang bertentangan dapat dipisahkan secara kasar menurut wilayah geografinya: klan-klan bagian barat mendukung Mitsunari sedangkan klan-klan bagian timur mendukung Ieyasu. Dalam sebuah pertempuran pada tanggal 20 Oktober, Ieyasu membujuk salah satu jenderal Mitsunari dari anggota klan Mori untuk berkhianat, dengan begitu Ieyasu memenangkan pertempuran. Pihak Mitsunari menderita kekalahan yang hebat dan Mitsunari sendiri akhirnya ditawan, diarak keliling Kyoto, Osaka, dan Sakai, kemudian ia dieksekusi. Keluarga Ieyasu akhirnya tampil sebagai pengganti Hideyoshi. Lalu Ieyasu menyita harta benda para daimyō yang mendukung Mitsunari. Sebagian dari mereka kehilangan seluruh harta bendanya dan sebagian lagi kehilangan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
harta bendanya secara drastis. Toyotomi Hideyoshi diijinkan untuk mempertahankan tiga propinsi dengan 650.000 koku. Namun kehadirannya masih merupakan ancaman bagi keluarga Tokugawa karena sentimen pro-Toyotomi masih kuat di daerah tersebut. Banyak jenderal yang loyal kepada keluarga Toyotomi, yang telah membantu Ieyasu dalam pertempuran di Sekigahara, semata-mata karena ketidakpercayaan dan kebencian mereka terhadap Mitsunari. Akibatnya Ieyasu harus berhati-hati dalam hubungannya dengan keluarga Toyotomi. Tetapi beberapa tahun kemudian pasukan Tokugawa berhasil memusnahkan keluarga Toyotomi. Pada tahun 1603 Ieyasu dinamai Seii tai shōgun oleh kaisar Go-Yozei. Ieyasu berhasil melakukan perubahan-perubahan yang tepat pada pokok keluarga, untuk menelusuri kembali asal-usulnya, yaitu klan Minamoto. Dia tetap mempertahankan Edo sebagai markas besarnya dan menjadi ibukota yang sah secara de facto. Pada tahun 1605 Ieyasu mengundurkan diri dari jabatan shōgun dan sebagai gantinya ialah anaknya, Hidetada (1579-1632). Tetapi sampai hari kematiannya ia tetaplah pemimpin sejatinya. Dia berkonsentrasi untuk mengorganisir sistem-sistem politik dan sosial demi menjamin kelangsungan pemerintahan Tokugawa bahkan setelah kematiannya nanti. (Hane, 1991:133) Pada tahun 1623 Hidetada digantikan oleh Iemitsu (1604-1651), seorang shōgun yang cakap tetapi kejam yang mencabut paksa Kekristenan dan menutup negara Jepang (disebut sakoku). Iemitsu juga mempererat kontrol-kontrol Bakufu atas daimyō dan membentuk sebuah sistem sankinkoutai, yang menuntut daimyō untuk menghabiskan sekali dua tahun waktu mereka di Edo. Pada faktanya, sistem politik dari pemerintahan Tokugawa memperoleh bentuk dasarnya selama rezim Iemitsu. Pada tahun 1651 ia digantikan oleh Ietsuna (1641-1680). Ada sedikit gangguan pada pemerintahan baru ini ketika beberapa samurai pengangguran yang dipimpin oleh Yui Shōsetsu berencana Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
untuk menjatuhkan Bakufu. Tetapi konspirasi tersebut berhasil dihentikan sebelum menimbulkan suatu pemberontakan. Tetapi Ietsuna gagal berperan dalam pemerintahan secara aktif dan menyerahkan urusan-urusan kenegaraan pada awalnya kepada pamannya yang bertindak sebagai wakil raja, dan kemudian kepada penasehat, yang memerintah sebagai komite. Sejak kepemimpinan seorang shōgun tidak lagi menjadi hal yang penting pada masa Ietsuna, maka ketika ia meninggal beberapa dari penasehatnya mendukung penerapan Kamakura Bakufu dan mengusulkan untuk melantik salah satu keluarga kerajaan sebagai shōgun. Usulan tersebut tidak diindahkan, tetapi bagaimanapun juga, adik laki-laki Ietsuna, Tsunayoshi (1646-1709), dinobatkan sebagai shōgun pada tahun 1680. Pada masa awal pemerintahannya, Tsunayoshi dibantu oleh anggota majelis/penasehat yang cakap, dan ia berlatih tentang kepemimpinan yang kuat. Separuh masa kepemimpinannya, para pelayan dan pembesarnya semakin memperoleh kekuasaan yang kadang-kadang disalahgunakan. Tsunayoshi sangat melindungi anjing karena dia lahir pada tahun anjing dan ia dinasehati oleh tabib-tabib yang berlagak pandai bahwa ia akan memiliki putera mahkota jika ia memperlakukan anjing dengan baik. Pada puncaknya ia menjadi sangat fanatik akan hal ini dan akan menghukum siapa saja yang berani menyakiti anjing. Akhirnya shōgun melarang pembunuhan atas setiap makhluk hidup. Seorang samurai dieksekusi hanya karena membunuh seekor burung layang-layang. Tidak ada ikan, kerang, dan unggas yang boleh dijual di Edo. Bahkan tidak ada seorang pun yang berani memukul nyamuk. Meskipun Tsunayoshi melakukan itu sebagian karena kepercayaan Buddhanya tetapi ia tidak mengembangkannya kepada prinsip jangan membunuh manusia.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada sisi positifnya, Tsunayoshi berhasrat untuk belajar. Dia mendorong pengkajian Konfusius dan mendirikan sebuah akademi Konfusius. Dia juga mendukung penyusunan sejarah. Pada awalnya keuangan Bakufu dalam kondisi yang baik. Tetapi pada generasi berikutnya biaya-biaya semakin membengkak dan tidak seimbang dengan pendapatan. Banyak proyek-proyek yang menghabiskan dana, salah satu contohnya adalah pembangunan tempat suci Tōshōgū di Nikkō untuk menghormati Ieyasu. Kota Edo banyak mengalami kebakaran yang hebat dan banyak pertambangan-pertambangan emas dan perak tidak lagi produktif. Tsunayoshi tidak hanya berfoya-foya tetapi juga banyak memulai renovasi pada kuil-kuil dan tempat suci lainnya. Sebagai akibatnya defisit Bakufu semakin meningkat. Untuk mengatasi krisis keuangan tersebut, Tsunayoshi menurunkan nilai mata uang pada tahun 1695 dan menciptakan sebuah situasi inflasi. Meskipun pendapatan negara semakin bertambah karenanya namun defisit kembali menimpanya pada akhir masa pemerintahannya. Pada 1708, pada tahun terakhir pemerintahan Tsunayoshi, keuangan Bakufu sekitar 760.000-770.000 ryo, tidak seimbang dengan pengeluaran yang mencapai 1,4 juta ryo. Pada masa Tsunayoshi berkembang kebudayaan masyarakat perkotaan, yaitu era kebudayaan Genroku di mana kabuki dan joruri sangat berkembang. Sebuah insiden terkenal yang melibatkan 47 samurai yang membalas dendam atas kematian pemimpinnya terjadi pada masa keshōgunan Tsunayoshi. Hal ini disebutkan sebagai sebuah contoh mulia dari ksatria-ksatria sejati yang memenuhi kewajibannya terhadap tuan mereka. Shōgun yang keenam, yaitu Ienobu (1663-1713), mempekerjakan salah satu orang yang paling cakap dari cendekiawan Tokugawa, yaitu Arai Hakuseki (1657-1725) untuk memperbaiki kebobrokan rezim sebelumnya. Salah satu hal pertama yang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
dilakukan shōgun adalah dengan mencabut undang-undang yang melindungi setiap makhluk hidup dan membebaskan orang-orang yang dihukum karena telah melanggarnya. Shōgun ketujuh Ietsugu, yang kepadanya Hakuseki juga berbakti, hanya memerintah dalam waktu yang pendek karena ia masih anak-anak. Yoshimune (16841751), yang kemudian menjadi shōgun kedelapan pada tahun 1716, adalah salah satu orang yang paling pintar dari antara shōgun Tokugawa. Dia menekankan kembali otoritas negara yang sebagian besar telah diserahkan ke dalam tangan para pegawai tinggi pada saat kepemimpinan Iemitsu. Akan tetapi, seperti para pendahulunya, ia juga gagal dalam mengatasi akar permasalahan ekonomi yang menyerang Bakufu dan mencoba mengatasinya dengan kesukaran-kesukaran dengan memaksa orang-orang untuk hemat melalui dorongan moral dan hukum biaya. Masalah-masalah pemerintah ini dapat dilihat bahwa ia sangat yakin dengan cara hidup sederhana dan moral hidup sehemat-hematnya dari rakyat. Karena itu ia menekankan seni militer lewat usaha-usaha kesusasteraan dan mendorong para samurai untuk terlibat dalam berburu dan menjajakan barang dari rumah ke rumah. Yoshimune juga memberlakukan undang-undang penghentian-perselisihan, yang dikenal sebagai Reformasi Kyōhō (dinamai untuk periode Kyōhō, 1716-1736), dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah. Sebagai contoh, dia mengurangi waktu tinggal daimyō di Edo (sistem sankinkōtai) menjadi setengah tahun sebagai ganti sumbangan beras, praktek yang akhirnya dihentikan satu dekade berikutnya. Untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dia mendorong pembukaan lahan-lahan baru dan produksi pertanian selain beras, seperti ubi jalar. Untuk mencegah para petani meninggalkan desa-desa mereka dia mencoba melarang, walaupun tidak begitu sukses, jual beli tanah. Dia juga memberlakukan pengumpulan pajak dengan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
mempertahankan tarif tetap dari pemungutan pajak selama bertahun-tahun dari hasil pertanian. Dia mencoba untuk memperkenalkan pengetahuan-pengetahuan praktis. Sebagai bagian dari kebijakan ini, pada tahun 1720 dia mempermudah larangan masuknya buku-buku asing, dia mengijinkan buku-buku tersebut memasuki Jepang sepanjang tidak mengandung konsep-konsep Kekristenan. Shōgun kedelapan juga memperkenalkan reformasi resmi dan pada tahun 1742 sistem undang-undang 100 pasal — sebuah kumpulan informasi mengenai prosedurprosedur resmi dan hukum yang terus berpengaruh sampai saat ini — ini ditulis. Dia mendorong masyarakat umum untuk mengekpresikan pendapat mereka lewat penggunaan kotak-kotak yang disarankan. Sebagai tambahan, ia juga mencoba untuk memanfaatkan orang-orang berbakat dan tertarik dalam menolong orang-orang sakit dan miskin. Yoshimune adalah orang yang puritan (KBBI: orang yang hidup saleh dan dan yang menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa) dalam sikapnya dan berikhtiar untuk menjunjung moralitas dengan menyensor novel-novel dan karya sastra lainnya, terutama ekspresi-ekspresi yang tidak senonoh. Untuk mencegah bunuh diri secara bersamaan dari sepasang kekasih, dia melarang penyebutan apapun akan praktek ini. Dia juga melarang diskusi apapun tentang keluarga Tokugawa dalam bentuk cetak. Sebuah usaha juga dicoba untuk mengendalikan pelacuran dan perjudian. Meskipun Yoshimune berhasil dalam menyuntikkan energi ke dalam Bakufu, tetapi reformasi-reformasi yang telah dilakukannya hanya terkait dengan gejala-gejala luarnya saja. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi Bakufu muncul dari dasar kehidupan masyarakat, dan usaha-usaha reformasi itu bersifat mundur, dan hanya menunda kemerosotannya.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
2.4 Tokoh Konfusianisme Yang menjadi tokoh utama yang mempelopori dan menyebarkan ajaran Konfusianisme adalah Konfusius sendiri. Yang mengajarkan banyak hal mengenai kebajikan yang akhirnya ditulis dalam buku kumpulan kata-kata bijaknya, Analects. Setelah Konfusius banyak bermunculan orang-orang yang mempelajari dan mendalami ajarannya. Beberapa dari mereka semakin menyempurnakannya walau ada juga yang memberi penafsiran berbeda-beda. Mereka antara lain adalah sebagai berikut. 1. Mensius (Mengzi﹐ 孟子) Mensius (371-289 SM) dianggap oleh sebagian besar sejarawan sebagai Konfusian agung nomor dua. Ia menyebarkan Konfusianisme lebih jauh lagi dengan memberikan sumbangan pemikirannya yang unik. Ia hidup pada suatu periode kekacauan politik di Cina yang serupa dengan keadaan di masa Konfusius. Banyak kerajaan kecil yang saling bertarung silih berganti untuk mendapatkan kekuasaan dan tanah, sehingga menimbulkan ketidaktenteraman dan kesulitan besar bagi rakyat biasa. Mensius dilahirkan di wilayah yang sama dengan Konfusius. Namanya yang sesungguhnya adalah Mang-tzu, tetapi lalu dilatinkan sehingga di Barat ia lebih dikenal dengan nama Latin, Mensius. Ayah Mensius telah berumur ketika menikahi ibunya, dan meninggal ketika Mensius masih sangat kecil. Ibu Mensius adalah seorang wanita yang luar biasa dan dilukiskan sebagai panutan tentang bagaimana seharusnya seorang ibu dan dialah yang menyemangati Mensius untuk serius terhadap pendidikan. Ketika akhirnya Mensius menikah dan mempunyai keluarga sendiri, ia tetap mempertahankan hubungan dengan ibunya selama hidupnya. Mensius mempelajari Konfusianisme di bawah seorang murid Tzu Szu, cucu laki-laki Konfusius. Mensius mengajarkan agar para pemimpin untuk secara tulus Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
memperhatikan rakyatnya. Ia mengajarkan jika penguasa bermurah hati dan meningkatkan taraf hidup orang banyak, rakyat akan memberikan dukungan sepenuhnya pada pemerintah. Mensius tidak percaya bahwa raja dapat memerintah dengan kekerasan. Langit memberikan mandat kepada penguasa agar mereka dapat berkuasa. Jika mereka memerintah dengan kemurahan hati dan keadilan, dengan sendirinya rakyat akan tetap setia. Jika tidak, berarti penguasa itu telah melanggar mandatnya, dan rakyat berhak untuk memberontak. Ia menasihati para pemimpin agar mengawali pemerintahannya dengan kebaikan. Mensius percaya pada prinsip demokrasi. Ia mengusulkan agar semua orang diperlakukan setara, begitu pula kehendak dan kesejahteraan rakyat dijadikan esensi dari sebuah negara. Yang diinginkan oleh rakyat merupakan sesuatu yang utama. Penguasa seharusnya berbagi sumber daya dengan rakyat, memerintah dengan hati dan bukannya dengan pedang. Pemerintah diktatorial pada akhirnya akan gagal. Menurut Mensius, ketika orang memandang rendah dirinya sendiri, maka orang lain akan memandang rendah pula. Sebaliknya jika orang belajar menghormati orang lain, harus lebih dulu menghormati diri sendiri. Orang itu sendiri yang menciptakan banyak persoalan melalui pikiran dan perasaannya mengenai diri sendiri. Perasaan negatif atas diri sendiri akan menjerumuskan seseorang ke dalam lumpur konflik dan kekacauan. Terlebih dahulu mengembangkan kesadaran terhadap diri sendiri adalah langkah pertama. Mensius mendapati bahwa orang sering bekerja dengan sedikit sekali kesadaran atas diri sendiri maupun tindakan mereka. “Sebagian besar orang melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa yang mereka lakukan dan terus melakukannya tanpa pikiran apapun terhadap hal-hal yang mereka lakukan. Mereka melakukannya sepanjang hidup tanpa pernah memahami Jalan (Mensius dalam Simpkins, 2000:26)
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Dengan tegas Mensius menyatakan bahwa sifat manusia itu baik. Ia percaya bahwa semua orang memiliki perasaan bahwa mereka tidak dapat menyaksikan orang lain menderita. Banyak yang membantah anggapan ini karena banyaknya kejahatan di dunia, namun Mensius menjawab bahwa walau sifat alami manusia itu baik, namun ada kalanya orang berpaling dari hal positif tanpa menyadarinya. Pengalaman hidup mempengaruhi mereka. Mensius bersikap optimis tentang potensi manusia dengan meyakini satu hal, yaitu meskipun pengaruh negatif lingkungan akan mengalihkan seseorang dari kebaikan batin, tetapi dia selalu dapat meraih kembali kebaikan itu. Manusia sebenarnya memiliki pengetahuan intuitif mengenai hal yang benar dan salah. Ia dapat mengolah sifat alaminya yang lebih baik, demikian menurut Mensius. Pribadi yang unggul adalah “pribadi jen”. Serupa dengan Konfusius, Mensius mempercayai jen sebagai ciri untuk menjadi manusia dalam pengertiannya yang paling baik. Jen inilah yang membedakan manusia dari binatang—yakni kemampuan untuk berperilaku dengan murah hati, kasih sayang, dan menghormati orang lain. Orang bijak adalah orang yang murah hati dan menghormati sesama. Karenanya individu jen memenuhi pikiran mereka dengan cinta dan rasa hormat. Praktis kualitas ini dimulai dalam keluarga, terutama dari orangtua. Kepatuhan anak kepada orangtuanya merupakan nilai penting di mata kaum Konfusian.
2. Hsün-tzu (Xun-zi﹐ 荀子) Hsün-tzu (298-238) mengambil jalur berbeda dengan Konfusian lain. Ia mengatakan bahwa sifat alami manusia pada dasarnya buruk, tetapi dapat diperbaiki. Karena hal ini, karya Hsün-tzu tidak menjadi bagian dari karya klasik Konfusian. Ia bersikeras bahwa manusia dilahirkan dengan perasaan, dorongan, dan nafsu untuk benci
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
dan dengki terhadap orang lain. Kalau dibiarkan tidak tertangani, kecenderungan dalam diri akan menciptakan bencana. Bagi Hsün-tzu, kecenderungan ini tidak dapat dihindari. Belajar adalah harapan bagi umat manusia. Orang dapat menjadi beradab melalui guru yang baik dan budaya yang mengalami evolusi. Berbeda dengan Konfusius dan Mensius yang berpendapat bahwa pendidikan dimaksudkan untuk memperbaiki kodrat, maka Hsün-tzu percaya bahwa pendidikan berfungsi untuk mengubah sifat yang jahat menjadi baik. Hsün-tzu percaya bahwa semua orang diberkahi dengan kecerdasan, dan melalui pengarahan sadar atas dorongan negatif untuk menjadi baik, manusia dapat berkembang. Dan ia juga sangat percaya akan budaya manusia. Melalui pengaturan dalam sebuah sistem yang luhur dan positif, manusia dapat menjadi baik serta menjalani kehidupan yang beradab dan bahagia. Salah satu kontribusi Hsün-tzu pada Konfusianisme adalah analisisnya terhadap pembetulan sebutan nama. Istilah ini merujuk pada penggunaan bahasa dan istilah yang benar. Konfusius dan Mensius sama-sama mengakui masalah ini, tetapi hanya Hsün-tzu yang mengembangkan solusinya. Hsün-tzu percaya bahwa setiap sebutan atau nama seharusnya menunjuk pada sesuatu hal yang khas. Kebingungan akan muncul jika kata yang sama digunakan untuk melukiskan hal-hal yang berbeda atau kerap kali saling bertolak belakang. Hsün-tzu memberikan banyak contoh bagaimana sebutan nama dan benda saling berhubungan. Terkadang dua hal memiliki penampilanyang sama, padahal benar-benar berbeda. Jumlah kasus ini, keduanya harus mendapatkan sebutan atau nama yang berbeda. Sebaliknya sejumlah hal tampaknya berbeda, padahal sesungguhnya sama, hanya saja dengan waktu yang berlainan. Misalnya, seorang pemuda bertumbuh menjadi tua, tetapi ia tetap orang yang sama. Hsün-tzu percaya bahwa ketika orang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bersedia untuk menggunakan kata-kata dengan benar dan jernih, maka akan terbentuk lebih banyak kerjasama dan berkurangnya salah paham.
3. Tung Chung-shu Tung Chung-shu (179-104 SM) adalah seorang penyatu Konfusian di masa kekuasaan dinasti Han. Ia meredam paham otoritarianisme Hsün-tzu dengan pandangan Mensius tentang sifat alami manusia yang positif, sehingga terbentuk integrasi dari kedua teori yang optimistis mengenai potensi manusia dalam hubungan yang realistis. Tung berpendapat bahwa sifat manusia memiliki potensi baik, tetapi tidak secara otomatis menjadi nyata. Tung percaya bahwa dengan pemerintahan yang bermoral dan bijaksana, maka masyarakat dapat membantu orang untuk memenuhi potensi positif menjadi baik. Tung percaya bahwa Langit, Bumi, dan manusia terhubung satu sama lain, seperti halnya tangan dan kaki yang terhubung ke tubuh. Ia meningkatkan status manusia dengan menganggap manusia sebagai duplikat Langit, baik fisik maupun mental. Cara manusia mewujudkan kesempurnaan adalah melalui ritual dan musikbudaya. Tung percaya bahwa manusia melengkapi Langit. manusia adalah bagian dari kosmos yang tidak terpisahkan. Tung mencocokkan Konfusianisme dengan dua gagasan penting di jamannya, teori Yin-Yang dan Lima Unsur. Tung berpendapat bahwa alam semesta terdiri dari sepuluh bagian, yaitu Langit, Bumi, Yin, Yang, Lima Unsur (kayu, api, tanah, logam, dan air), serta manusia. Orang terus-menerus terbenam dalam Yin dan Yang, ibarat ikan yang hidup di dalam air. Segala sesuatu yang terjadi adalah akibat dari Yin dan Yang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
beserta semua gerakannya. Tidak ada yang tetap. Satu-satunya yang tetap hanyalah berubahnya segala sesuatu.
4. Chou Tun-I (Zhou Dun-yi﹐ 周敦頤) Chou
Tun-I
(1017-1073)
adalah
pelopor
Neo-Konfusianisme.
Ia
mengintegrasikan I-Ching bersama teori Taoisme tentang Ying-Yang, dan Tao sehingga menghasilkan sejumlah gagasan yang menjadi dasar bagi Neo-Konfusianisme. Chou dipengaruhi oleh Taoisme dan Zen. Ia mencintai segenap kehidupan. Ia begitu mendalaminya dengan menghormati alam yang apa adanya sehingga ia tidak pernah memangkas rumput di luar jendelanya. Ia mengajar dan sangat mempengaruhi dua bersaudara Cheng yang belakangan menjadi pendiri dua aliran Neo-Konfusianisme yang saling berlainan. Buddhisme memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran Chou sehingga kedua bersaudara itu menyebutnya sebagi “penganut Zen yang malang” (Chan dalam Alexander Simpkins, 2000:45). Kejeniusan Chou diperlihatkan dalam mengintegrasikan gagasan Buddhis maupun Taois sambil mempertahankan fondasi Konfusianisme yang kuat. Chou menganut pandangan kosmologis dalam Konfusianisme. Ia menciptakan Diagram Keutamaan Tertinggi atau Tai-chi Tu yang digunakan oleh kaum Taois. Ia menjelaskan bahwa Keutamaan Agung selalu menghasilkan Yang melalui gerakan. Ketika kegiatan telah mencapai batasnya, Keutamaan Agung selalu menghasilkan Yin dan segala sesuatunya menjadi tenang. Siklus ini terus berulang dan terus-menerus bergerak di antara kegiatan dan ketenangan. Lima Unsur muncul dari gerakan di antara Yin dan Yang. Semuanya berasal dari Keutamaan Agung dan dalam kaitan ini menyatu secara mistis. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Seperti halnya kaum Buddhis berusaha mencapai suatu keberadaan yang ideal— yakni menjadi Buddha—maka Chou mendorong kaum Neo-Konfusian untuk berjuang menjadi orang bijaksana, yakni manusia yang sempurna. Semua manusia dianugerahi kecerdasan dan kesadaran beserta lima prinsip moral di dalam sifat alami mereka, yaitu jen, kebaikan, kesantunan, kebijaksanaan, dan kesetiaan. Orang bijak mengembangkan kualitas ini dan mempelajari cara untuk mengekspresikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Bagitu kualitas ini berkembang, boleh dikatakan bahwa orang bijak ini akan menikmati peruntungan yang baik. Orang yang melanggar prinsip ini akan menghadapi nasib buruk dan tidak bahagia. Seperti halnya kaum Konfusian yang terdahulu, Chou pun percaya bahwa ketulusan adalah fondasi yang membuat segala proses berjalan.
5. Chang Tsai (Zhang zai﹐ 張載) Chang Tsai (1020-1077) adalah cendekiawan abad kesebelas lainnya yang ikut menentukan arah aliran Neo-Konfusianisme. Selama masa kecilnya di Ch’ang-an— sekarang Shensi di Cina—ia mencurahkan diri mempelajari Konfusianisme. Tetapi kemudian ia tidak puas terhadap filsafat ini dan mempelajari Buddhisme serta Taoisme. Ia mempelajari kembali karya klasik Konfusian, terutama I Ching dan The Doctrine of the Mean. Cheng bersaudara belajar padanya sehingga ia ikut memberikan pengaruhnya pada perumusan dua aliran Neo-Konfusianisme. Teori kosmologis Chang berbeda dengan Chou. Bagi Chang, kekuatan moral yang disebutnya sebagai chi sama saja dengan Keagungan Utama. Ia menganggap bahwa segala hal lainnya seperti Yin-Yang, sedangkan Lima Unsur hanyalah aspek chi. Dipengaruhi oleh Buddhisme dan Taoisme, Chang percaya bahwa semua benda material dimulai dari kehampaan agung yang terwujud sebagai suatu keselarasan antara Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
kegiatan dan ketenangan, Segala sesuatunya menyatu menjadi sesuatu yang tunggal, yakni Jalan (Tao). Meskipun Satu, alam semesta mewujud dengan cara-cara individual yang unik. Seperti kaum Konfusian lainnya, Chang menempatkan umat manusia sebagai pemeran utama. Langit dan Bumi adalah orangtua universal. Langit adalah ayah bagi Chang dan Bumu adalah ibunya. Ia memandang segala sesuatu yang mengisi alam semesta sebagai bagian dari sifat alaminya. Semua orang adalah saudaranya dan segala sesuatu adalah sahabatnya. Chang percaya bahwa seharusnya manusia saling mencintai dengan sesamanya serta memperlakukan segala sesuatu dan setiap orang sebagai anggota keluarga tercinta atau sahabat. Orang dapat hidup selaras dengan alam semesta dengan semata menjalani hidup yang normal dan alami, melakukan tugas mereka sebagai anggota masyarakat dan dunia. Jika tidak mampu melakukannya, kata Chang, maka manusia akan tetap berada dalam mimpi seumur hidup, Akibatnya, manusia tidak akan bangkit menjadi orang bijak yang sejati yang sesungguhnya dapat dicapai.
6. Cheng Bersaudara Cheng bersaudara, yaitu Cheng-Hao (1032-1085) dan Cheng-I (程頤﹐ 10331108) adalah murid Chou Tun-I dan keponakan Chang Tsai. Cheng-I percaya bahwa prinsip hukum alam mengatur segala sesuatunya dari dalam, memberikan pola pada berbagai ciptaan hidup. Ia mendirikan aliran Neo-Konfusianisme rasional, yakni Aliran Prinsip. Aliran yang didirikannya dikembangkan dengan sempurna oleh Chu Hsi. Filsafat ini disebut Aliran Cheng-Chu. Sementara itu Cheng-Hao
memimpikan suatu pikiran universal yang
menyatukan segala sesuatu dan mengembangkan pandangan metafisika mengenai Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
ketunggalan yang mengarah pada aliran Neo-Konfusianisme yang idealistis. Ajarannya dikembangkan oleh Lu Chiu-yuan (1139-1193) dan kelak dievolusikan lagi oleh Wang Yang-ming. Aliran ini menjadi Aliran Lu-wang yang dikenal juga sebagai Aliran Pikiran. Cheng-Hao memiliki tabiat yang sangat berbeda dengan adiknya, Cheng-I. Sementara Cheng-I sangat keras, kritis, dan tegar bersikukuh mempertahankan pendapatnya, maka Cheng-Hao adalah lelaki yang lembut, hangat, suka bersepakat dan toleran. Perbedaan kepribadian inilah yang mungkin telah mencuatkan berbedanya penekanan mereka pada penafsiran terhadap Konfusianisme. Perbedaan utama dalam teori kedua bersaudara itu adalah Cheng-Hao berfokus pada pengolahan pikiran kita sendiri, maka Cheng-I menekankan pengolahan diri dengan pembelajaran dan pengetahuan. Cheng-I percaya bahwa prinsip terdapat pada segala sesuatu dan bahwa pembelajaran adalah jalan untuk memahami prinsip-prinsip ini. Secara tulus menerapkan pembelajaran pada diri sendiri menjadi sesuatu yang utama, karena segala sesuatu—dari hal yang paling kecil hingga yang paling luas— memuat prinsip. Semakin seseorang belajar, maka ia semakin memahami prinsip itu. Cheng-Hao merasa telah melakukan terobosan paling penting dengan menglihkan perhatiannya ke dalam batinnya sendiri, sehingga ia percaya bahwa mengembangkan batin sendiri adalah sesuatu yang lebih penting. Ia berusaha untuk menjadi tenang dan tidak memihak. Ia berusaha untuk mengembangkan konsentrasi yang serius dan tulus, maka mereka akan mengenali ketunggalan segala sesuatu. ChengHao menyatakan prinsip dan pikiran itu satu.
7. Chu Hsi (Zhu Xi﹐ 朱子)
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Chu Hsi (1130-1200), murid Cheng-I, adalah cendekiawan terkemuka dari aliran Neo-Konfusianisme rasional dan merupakan salah satu tokoh Neo-Konfusianisme yang paling penting serta berpengaruh. Chu Hsi dilahirkan di sebuah keluarga intelektual. Ia mempelajari Buddhisme dan Taoisme, lalu kembali ke Konfusianisme. Doktrinnya menggabungkan berbagai aspek dari teori-teori itu. Setelah Tao diterima dan dihayati sepenuhnya, berasal dari Langit untuk ditetapkan di dunia manusia, maka dunia realitas objektif pun tidak lagi diperlakukan semata sebgai dunia objek. Sebaliknya, dunia terdiri dari eneri yang berbentuk materi dan disertai dengan prinsip. Pola bentuk yang ideal terwujud pada benda aktual yang nyata. Contoh berikut menjelaskan hal itu. Tujuan dari pesawat adalah terbang. Rancangan bentuknya mendukung pesawat untuk terbang. Pesawat penumpang memiliki li individual yang berbeda dengan pesawat tempur. Pesawat jumbo jet tidak akan dapat menjadi pesawat tempur yang baik. Tiap jenis pesawat memiliki li individualnya sendiri, selain memiliki li ideal yang umum bagi semua pesawat, yakni suatu fungsi li yang utama. Terbang, pada saat terjadi, adalah aksinya, tetapi bukan li. Walau demikian, aksi atau tindakan adalah suatu fungsi li, sehingga tindakan tergantung pada li. Jadi orang harus mencari prinsip agar dapat bertindak dengan benar. Prinsip itu dapat ditemukan di dalam tindakan, tetapi prinsip tidak berasal dari tindakan. Dalam teori Chu Hsi, li sebagai prinsip itu melekat dalam materi, tidak terpisahkan darinya. Teori itu menyatakan bahwa li menghasilkan substansi yang disebut chi. Substansi tidak akan ada tanpa li, tetapi li sendiri tidak membutuhkan substansi. Ekspresi yang sesungguhnya ada di dunia adalah chi, sedangkan potensi dalam bentuk ideal adalah li. Prinsip bukan hanya melekat pada substansi. Prinsip juga
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
melekat dalam materi sosial. Segala sesuatu yang orang lakukan seyogianya dituntun oleh prinsip. Tao Langit, Tao Bumi, dan Tao Manusia sama-sama mengikuti Tao Universal, mengerahkan sifat alaminya dengan prinsip batin. Li memang unggul, tetapi bukan yang tertinggi. Li menciptakan substansi, tetapi bukan penguasanya. Pikiranlah yang menjadi penguasa. Chu Hsi menyatakan bahwa tanpa pikiran, prinsip tidak memiliki tempat untuk menetap. Menurut Chu Hsi, orang bijak perlu berupaya untuk menyempurnakan diri dengan secara tulus mengembangkan pengetahuan. Pengambangan pengetahuan ini dicapai dengan penyelidikan yang dikombinasikan dengan pikiran analitis guna mencari makna sejati dari segala hal. Seperti halnya Mensius, Chu Hsi percaya bahwa sifat alami manusia pada dasarnya baik, yakni sesuatu yang dianugerahkan oleh Langit. Tindakan sosial yang tulus dan sesuai dengan keluhuran cinta, kebaikan, kesantunan serta kebijaksaan adalah adalah Tao yang terdapat pada interaksi manusia. Tujuan dari pembelajaran dan pendidikan moral yang dianjurkan Chu Hsi adalah menyingkirkan pandangan salah dan ketidaktahuan yang merintangi bersinarnya sifat alami kita yang baik. Karena itu Chu Hsi sangat menyadari pentingnya fokus dan konsentrasi yang memungkinkan sifat alami batin kita terealisasi dalam keadaan yang tulus dan murni. Sifat alami pikiran adalah cinta, jen. Tao Langit yang mutlak adalah sesuatu yang mendahului etika, mendahului cinta, dan mendahului kebaikan. Tao adalah ketulusan dan nilai. Dan sumber dari nilai terdapat di dalm sifat alami, bukan terpisah darinya. Tao merujuk pada sifat alami mistis yang terdapat pada segala hal. Karena itu tidak diperlukan pembedaan, walau deskripsi mengenai hal ini tampaknya membedakan antara manifestasi individual dengan hakikat transendental. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Tao adalah keduanya—hakikat yang menyatu. Akar dan buahnya merupakan suatu sifat alami hakikat yang tunggal, tanaman yang sama. Buahnya tidak mungkin dihasilkan tanpa terjadinya kontak dengan akarnya, dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan manusia berkaitan erat dengan Tao, cinta, ketulusan, dan hukum. Semua itu adalah bagian dari sifat alami yang sejati, tidak terpisah atau hampa. Segalanya harus dihormati dan terlibat dengan tulus. “Chu Hsi mendorong kita untuk berpikir positif dalam rangka menjadi benar dan jujur terhadap realitas. Yang penting adalah pikiran dan tindakan kita. Yang sangat penting dalam kaitan ini adalah hal-hal yang kita lakukan dan cara kita memperlakukan orang lain dalam kehidupan sehari-hari kita. Chu Hsi mengembalikan fokus kita pada kehidupan kita yang pribadi, kehidupan sehari-hari, agar hidup dan berhubungan dengan orang lain dengan tulus dan serius. Seharusnya kita menjalani peran kita dalam struktur kehidupan sosial dengan antusias dan cinta sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan yang tercerahkan.” (Simpkins 2000, 58-59)
8. Lu Hsiang-shan (陸象山) Lu Chiu-yuan (陸九淵1139-1193), juga dikenal sebagai Lu Hsiang-shan, adalah penduduk asli Provinsi Kongsi. Di depan umum, ia bertentangan dengan Chu Hsi mengenai beberapa konsep, tetapi secara pribadi mereka berteman. Aliran NeoKonfuasianisme yang dianut Lu, yaitu Aliran Lu-wang, mempercayai mungkinnya penerangan yang spontan, yang mana kepercayaan ini bertolak belakang dengan aliran Chu Hsi yang menekankan mutlaknya pembelajaran dan penggalian lebih dalam dan bertahap untuk mencapai penerangan. Dalam sebuah teks kuno yang menjelaskan konsep yu dan chou, Lu membaca bahwa yu mengacu pada titik-titik arah kompas hasil kombinasi arah atas dan bawah, sedangkan chou merujuk pada objek-objek masa lalu, Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
masa kini, serta masa depan. Lu mengalami penerangan spontan dari konsep-konsep ini. Ia menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta berada dalam ruang lingkup tugasnya; dan ruang lingkup tugasnya mencakup semua kejadian di alam semesta. (Fung Yu-lan dalam Simpkins, 2000:59) Kemudian Lu mencapai pemahaman yang lebih mendalam bahwa alam semesta adalah pikirannya dan pikirannya adalah alam semesta. Bagi Lu, li bukanlah hakikat yang ada di dalam batin atau sifat alami. Li adalah pikiran. Dan segalanya adalah pikiran.
9. Wang Yang-ming (王陽明) Wang Yang-ming (1472-1529), mengembangkan Aliran Lu-wang dalam Konfusianisme. Pada masa awalnya, ia mencoba mengikuti gagasan Chu Hsi untuk menyelidiki prinsip segala hal dengan menyelidiki serumpun bambu dan berusaha mencari prinsip-prinsipnya. Namun setelah tujuh hari mencoba ia tidak berhasil menemukan prinsip apapun. Kecewa terhadap Konfusianisme, Wang berpaling ke Taoisme. Tetapi kemudian kembali ke Konfusianisme, dan menjelajahi karir sebagai pejabat dan cendekiawan Konfusian. Wang percaya bahwa pengetahuan menyiratkan tindakan dan tindakan menyiratkan pengetahuan. Baginya kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Jika rakyat memahami pengetahuan, Wang percaya bahwa mereka pun akan bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Pembelajaran yang mendalam dan intensif akan menghasilkan pemahaman tentang cara bertindak dalam kaitannya dengan objek pengetahuan. Tindakan adalah sesuatu yang tidak terelakkan bagi orang yang tulus, jujur menghadapi realitas. Pemahaman bagi Wang sebenarnya menyiratkan bahwa manusia seharusnya melakukan hal-hal yang sepatutnya dilakukan; potensi harus diaktualisasikan. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Wang percaya bahwa tiap individu memiliki pengetahuan dan kemampuan yang melekat sejak lahir—fondasi kecerdasan, keluhuran, serta kesuksesan. Pemahaman berasal dari kualitas ini. Pada mulanya pikiran itu kosong tanpa isi, namun mengandung pemahaman melekat. Pengetahuan yang melekat ini identik dengan kebijaksanaan intuitif dalam Zen, namun diperlukan keterlibatan aktif untuk berevolusi dan perbaikan hidup orang yang bersangkutan. Wang percaya bahwa pandangan Cheng-I dan Chu Hsi tentang pikiran yang memiliki substansi dan fungsi seharusnya dimodifikasi. Pikiran memang memiliki aspek-aspek itu, terungkap melalui kegiatan sebagai fungsinya dan ketenangan sebagai substansi, namun sesungguhnya mereka adalah satu. Kebenaran adalah kebenaran. Jalan adalah Jalan, di mana pun ditemukan. Sikap yang partisan (KBBI: mengikut paham atau golongan tertentu) mencerminkan ketidakjujuran atas Jalan. Wang menyemangati murid-muridnya untuk menghormati kebenaran dan kebijaksanaan kapan pun mereka menemukannya. Menurut Wang, pengetahuan yang melekat sejak lahir dan pandangan terang merupakan hal-hal yang mendasar dan terkait menjadi satu. Pengetahuan bawaan itu tidak bersifat internal, juga tidak eksternal. Pengetahuan ini mencakup keduanya. Orang bijak tetap berada di dunia objek, peristiwa, dan manusia tanpa memperhatikan cara mencapai tujuan atau bagaimana persisnya aturan yang harus dipatuhi. Aturan akan mengikuti kenyataan pada saat kenyataan itu tersingkap sebagaimana adanya. Bagi Wang, peniruan adalah tidak berisi, sedangkan tuntunan atau kriteria eksternal hanyalah ilusi. Wang mendorong murid-muridnya untuk mencari keseimbangan dengan mengikuti prinsip alam, menguasai di tengah kegiatan, alih-alih malah menarik diri untuk melakukan meditasi di tempat yang sepi dan terasing. Wang mengajari muridMelda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
muridnya untuk mengamati diri dan memperbaiki kesalahan mereka dengan menggunakan metode yang tepat, yaitu menenangkan diri dengan meditasi atau mengikuti arus kehidupan. Wang mengajarkan berdasarkan kemampuan intelektual individu, mempercayai beberapa murid dapat memahami dengan cepat, sedangkan yang lain membutuhkan aturan bertindak yang harus mereka patuhi. Wang mengajari kedua jenis murid itu, sehingga mereka dapat mengikuti prinsip yang sesuai dengan kemampuan alamiah mereka, kebiasaan mereka, dan upaya mereka untuk berbuat benar. Pola pikir terbuka ini menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB III KONFUSIANISME DALAM MASYARAKAT EDO
3.1 Sistem Pendidikan Tokugawa Pendidikan sangat penting bagi perkembangan pengetahuan dan moral masyarakat, khususnya untuk menjadikan manusia sebagai pribadi yang beradab. Pendidikan pada jaman Edo berkembang hingga ke seluruh penjuru negeri, bahkan hampir di setiap wilayah terdapat sekolah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu menganggap pendidikan sebagai suatu hal yang penting bagi mereka. Menurut Hasbullah (2005:1) Pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Demikian juga pendidikan pada jaman Edo. Dengan adanya pembagian kelas sosial pada masa itu, yaitu kelas prajurit atau samurai (bushi 武士 ,) petani (nōmin、農民), tukang (kō、工), dan pedagang (shōnin、商人 )atau yang dikenal dengan sistem sosial shinōkōshō (士農工商 maka ) pendidikan yang didapat oleh masing-masing kelas sosial juga berbeda-beda sesuai dengan kelasnya masing-masing. Sehingga kelak mereka bisa melakukan peran sesuai dengan kelas sosialnya. Seperti halnya yang disimpulkan Langeveld dalam Hasbullah (2005:2) mengenai pendidikan, yaitu setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (Atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Ada beberapa jenis pendidikan yang tumbuh dan berkembang sepanjang jaman Edo yang disesuaikan dengan kelas dan kebutuhan masing-masing dalam menjalani peranannya dalam hidup sehari-hari. 1. Pendidikan bagi keluarga bushi Kelas sosial yang menjadi perhatian utama Tokugawa untuk mendapatkan pendidikan yang layak adalah kelas bushi, yaitu kelas yang menduduki posisi tertinggi di dalam kelas sosial masyarakat pada jaman itu. Tuan tanah feodal (daimyō、大名) memanggil spesialis militer dan cendekiawan Konfusian (heigakusha、兵学者 untuk ) membawakan pengajaran di mana pemimpin para pekerjanya (dari bushi kelas atas) juga diharuskan untuk mengikutinya dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan juga untuk memelihara kendali atas pemerintahan tanah feodalnya. Daimyō juga memberikan dukungan adanya pembelajaran bagi pekerja lainnya (dari bushi kelas bawah) dengan menyediakan fasilitas pendidikan khusus bagi mereka dan mendukung pengembangan kemampuan mereka di dalam kesusasteraan bersamaan dengan mengembangkan kemampuan mereka dalam praktek seni perang. Hal ini sesuai dengan peraturan dalam Buke Shohatto ( 武家諸渡、1615) pasal satu yang berbunyi, “Studi kesusasteraan dan praktek seni militer, termasuk seni memanah dan kecakapan menunggang kuda, harus diolah dengan tekun”. Pendidikan selama periode ini yang didasarkan pada kebijakan bakufu secara menyeluruh diilhami dari pemikiran Konfusian. Pada awalnya keluarga bushi dilayani oleh para pendeta di kuil Budha untuk mendapatkan pendidikan. Tetapi pada jaman Edo, bushi mulai mempekerjakan cendekiawan Konfusian untuk bekerja sebagai pendidik di dalam sekolah di tanah milik mereka sendiri yang mereka bangun di kota kastil. Sepanjang masa awal jaman Edo, hanya sedikit tanah feodal yang telah membangun sekolah tetapi dari sekitar pertengahan periode ini ke depan penyebaran Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
institusi seperti ini meningkat dengan cepat, memuncak hingga total sekitar 270 sekolah pada akhir jaman Edo. Shōheizaka Gakumonjo ( 昌平坂学問所 ), atau bisa juga disebut Shōheikō (昌平興), berada di bawah pengawasan langsung bakufu di Edo, mendapat tempat tertinggi dalam bidang pendidikan pada waktu itu sebagai model bagi sekolah tanah feodal (sekolah han、藩校) yang lain. Institusi ini sebenarnya merupakan pusat pelatihan Kuil Konfusian (koshibyo、孔子廟) yang dibangun di suatu lokasi di Ueno, Edo, oleh seorang cendekiawan Konfusian dari aliran Chu Hsi, Hayashi Razan (林羅山、1583-1657). Pembangunan sekolah ini dilindungi pemerintah shōgun. Kemudian sekolah ini dipindahkan ke Yushima, di mana ada sebuah bangunan besar yang artistik dibangun di sana yang dikenal sebagai Kuil Yushima. Pertama-tama sekolah ini merupakan sekolah yang terbatas untuk umum, sebuah organisasi semi-pemerintahan di bawah perlindungan bakufu. Namun itu tidak lama, setelah pemerintah melihat perlunya pengendalian langsung atas fasilitas pendidikan ini, maka pada tahun 1797 sekolah ini mendapatkan pengawasan langsung dari otoritas pusat (Tennō) dan tidak lagi di bawah pengawasan bakufu. Sekolah ini berhasil dengan baik sejak saat itu tidak hanya sebagai inti pendidikan bagi bakufu tetapi juga sebagai pusat pendidikan tertinggi bangsa, suatu posisi yang dipertahankan sampai kemunduran kekuasaan bakufu dan berkembangnya pengetahuan Barat. Sepanjang jaman Edo, sekolah ini merupakan suatu model bagi sekolah han lainnya. Banyak pemerintah tanah feodal yang membentuk sekolah han di wilayahnya meniru model sekolah ini dan juga mengirim pemuda paling cerdasnya ke sana untuk belajar. Banyak dari mereka yang menyelesaikan studinya di Shōheizaka Gakumonjo diminta untuk mengajar di sekolah han sebagai cendekiawan Konfusian. Dengan begitu di samping menikmati reputasi lembaga pendidikan paling tinggi di Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
negerinya, Shōheizaka Gakumonjo juga merupakan sebuah tempat pendidikan bagi pengajar yang memangku jabatan penting di sekolah han. Sebagai tambahan terhadap materi utama yang diajarkan di Shōheizaka Gakumonjo yang berorientasi mempelajari kebudayaan Cina, institusi pemerintah lainnya memasukkan pengetahuan lain, seperti Wagaku Kodanjo yang mempelajari pengetahuan nasional dan Igakukan (医学館) yaitu studi pengobatan tradisional Cina. Menjelang akhir jaman Edo dibentuk juga berbagai pusat pendidikan untuk studi pengetahuan Barat. Banyak sekolah mula-mula yang sebelumnya merupakan badan khusus untuk mempelajari budaya Cina (kangakujuku) di bawah pengawasan pemerintah tanah feodal yang kemudian diperbesar dan disusun kembali untuk membentuk sekolah han. Kurikulumnya secara berangsur-angsur diperluas, sebagai tambahan dari pelajaran budaya Cina diperkenalkan juga pengetahuan Nasional dan materi pokok lainnya. Lalu menjelang akhir jaman Edo ditawarkan juga materi mengenai pengetahuan dan pengobatan Barat. Pada waktu yang sama, pendidikan militer semakin berkembang, dan dengan begitu di sekolah han muncul suatu hubungan yang khusus antara studi kesusasteraan dan seni perang. Dengan ditutupnya bakufu, sekolah han menyajikan suatu pendidikan yang menyeluruh untuk kelas bushi. Pengajaran dipusatkan sekitar karya Cina klasik. Studi yang dimaksud ini adalah di dalam Doktrin Konfusian serta sejarah dan literatur Cina. Kelas dasar untuk mempraktekkan kaligrafi menggunakan Dasar Huruf Cina (Senjimon、千字文) dan untuk praktek dalam membaca menggunakan Ringkasan Sejarah Jepang (Sanjikyo). Buku teks dasar lainnya yang sering digunakan termasuk Buku Sikap Baik Pada Orangtua (Kōkyō、孝経), Buku Tatakrama (Shogaku), dan Koleksi Ucapan Chu Hsi. Yang lain adalah Empat Buku (Shisho、四書): Great Learning (Daigaku、大学 ), Doktrin of the Mean (Chuyo、中庸), Analek Konfusian (Rongo、論語 ), dan Perkataan Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
dari Mencius (Moshi、孟子 ); dan Lima Canons (Gokyo、五経 ): Book of Changes (Ekikyo 易経); Book of Odes (Shikyo、詩経); Book of Annals (Shokyo、書経), Musim semi dan Musim gugur (Shunju、春秋), dan Record of Rites (Raiki、礼記). Hayashi Nobuatsu (林信篤、1644-1732), seorang cucu laki-laki Hayashi Razan dan juga seorang cendekiawan Konfusian dari aliran Chu Hsi, ditugaskan oleh pemerintah sebagai Rektor Shoheizaka Gakumonjo yang disebut Daigakunokami (大学頭) dan sejak saat itu secara berurutan kepala keluarga Hayashi ditetapkan menduduki jabatan itu sampai kejatuhan bakufu, membuat Shoheizaka Gakumonjo menjadi
suatu
sarana
bagi
kekuasaan
Neo-Konfusianisme
aliran
Chu
Hsi
(Shushigaku、朱子学). Pada waktu yang sama berbagai aliran pemikiran Konfusian lain dikembangkan sepanjang awal jaman Edo dan banyak juga pejabat pemerintah merupakan anggota aliran selain dari Shushigaku. Kemudian pada tahun 1790 pengajaran dari aliran Konfusianisme lain dikutuk, dan Shushigaku secara resmi diterima sebagai ortodoksi pada jaman Edo. Shushigaku, juga disebut Jukyō (儒教) atau Jugaku (儒学), sangat dievaluasi oleh para penguasa pada masa itu sebagai suatu sistem penting untuk merasionalisasikan peraturan feodalisme. Konsep kesetiaan dan patriotismenya mendapat peran yang besar dalam memelihara pemerintahan Bakufu. Dari tahun 1792, Gakumon Ginmi (学問吟味、ujian standar) telah diadakan tiap tiga tahun sekali, yang ditujukan bagi anak-anak daimyō di atas usia lima belas tahun dan pada tahun berikutnya Sodoku Ginmi (素読吟味、ujian dasar) dimulai bagi mereka yang berusia di bawah lima belas tahun. Gakumon Ginmi diadakan selama lima hari; hari yang pertama disebut hatsuba dengan materi pokok Rongo (Analek Konfusius) dan Shogaku, hari yang ke lima disebut honshi dengan materi pokok Shisho Gokyo (Empat Buku dan Lima Klasik), sejarah, dan komposisi. Honshi termasuk materi yang sulit Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
sekali kecuali jika seorang murid telah mempelajari Shushigaku dengan baik. Shisho terdiri dari empat buku, yaitu Daigaku, Chuyo, Rongo, dan Moshi. Gokyo terdiri dari lima klasik, yaitu Ekikyo, Shikyo, Shokyo, Shunju, dan Raiki. Sedangkan dalam Sodoku Ginmi, materi pokoknya sebagian besar Shisho Gokyo dan dipisahkan ke dalam tiga kelompok menurut berbagai usia; tidak ada peraturan tertentu dalam ujian ini bagi murid yang berusia tujuh tahun, Shisho dan Shogaku untuk usia delapan sampai sepuluh tahun, dan Shisho dan Gokyo untuk sebelas sampai empat belas tahun. Mereka yang berhasil dalam ujian ini kemungkinan besar akan dipromosikan dengan cepat, diantaranya bisa menjadi Ota Nanze dan Kondo Juzo berikutnya. Di antara sekolah han, Meirindo di Nagoya dan Nisshinkan di Aizu memiliki sejarah panjang dan secara luas dikenal di seluruh negeri. Institusi terkenal lainnya adalah Kojokan di Yonezawa, Kodokan di Saga, Gakushukan di Wakayama, Meirinkan di Hagi, Yokendo di Sendai, Jishukan di Kumamoto, Zoshikan di Kagoshima, Meirindo di Kanazawa dan Kodokan di Mito. Bushi dari masing-masing tanah feodal diharuskan untuk mengikuti sekolah ini dan menjelang akhir jaman Edo ada peningkatan jumlah rakyat biasa yang diijinkan masuk mengikuti pendidikan di sekolah ini. Juga ditambahkan suatu sistem yang bertingkat untuk mengembangkan kurikulum dan materi pokok yang berhubungan dengan pengetahuan Barat. Setelah penghapusan sistem tanah feodal pada tahun 1871, sekolah han dihentikan, namun sekolah ini merupakan dasar dari sekolah tingkat menengah dan tinggi yang kemudian dikembangkan mengikuti perubahan pendidikan dari jaman Edo memasuki jaman baru. Lebih dari itu, banyak dari orang-orang yang telah menerima pendidikan mereka di sekolah han kemudian memainkan peranan penting di dalam organisasi Jepang modern.
2. Pendidikan bagi rakyat biasa Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Dalam masyarakat feodal, dalam hal ini bagi rakyat biasa, ditanamkan kebajikan dan dilatih keterampilan yang diperlukan dalam hidup sehari-hari yang disesuaikan dengan kelas mereka. Pusat pendidikan populer yang disebut kyoyujo dikembangkan untuk masyarakat kelas bawah, dan dari antara kyoyujo ini shingakukosha memainkan peran yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk pendidikan formal dalam membaca dan menulis, rakyat biasa bergantung pada terakoya (寺子屋). Terakoya mulanya ada menjelang akhir periode pertengahan; dan sekolah ini dianggap mendapatkan kemajuan dari fasilitas pendidikan yang didirikan di kuil Budha. Dimulai dari pertengahan jaman Edo jumlah sekolah ini mulai meningkat dan pada akhir periode itu sekolah ini sungguh umum di kota-kota besar di Edo dan Osaka seperti halnya di banyak kota kecil. Terakoya bisa ditemukan bahkan di desa pedalaman di pesisir pantai terpencil dan di daerah pegunungan. Jumlahnya mencapai puluhan ribu sekolah. Dalam kaitan dengan banyaknya terakoya, setelah Peraturan Sistem Pendidikan (Gakusei、学制) diproklamirkan pada tahun 1872, memungkinkan dibukanya sekolah dasar di seluruh negeri itu di dalam suatu periode yang sangat singkat. Pengajar di terakoya dikenal sebagai shisho (師匠) atau tenarai shisho (手習い師匠) dan banyak di antara mereka adalah pengelola sekaligus guru. Secara keseluruhan mayoritas dari para guru ini adalah rakyat biasa, tetapi banyak juga bushi dan pendeta Budha bekerja di sekolah ini, dan beberapa terakoya dikelola oleh pendeta Shinto dan dokter umum. Terakoya berbeda dari sekolah han dalam hal pendidikan yang didapat pada akhirnya adalah kecakapan yang tinggi, mengingat yang belajar di dalamnya adalah orang-orang yang menjalani hidupnya dengan hal-hal yang praktis dan pendidikan dasar yang penting bagi hidup sehari-hari rakyat biasa. Materi utama pengajaran di terakoya adalah membaca dan menulis, sedangkan menghitung dengan sempoa sangat penting Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bagi mereka yang berada di kelas pedagang. Menghitung dengan sempoa diajarkan sebagian besar di rumah meskipun kadang-kadang diajarkan juga pada sekolah khusus sempoa. Pada akhir jaman Edo terakoya yang menawarkan menghitung dengan sempoa meningkat jumlahnya bersamaan dengan membaca dan menulis. Kurikulum dimulai dengan kaligrafi di mana murid mempraktekkannya dengan meniru contoh yang disajikan oleh pengajar. Contoh kaligrafi ini disebut tehon (手本). Setelah penyelesaian langkah-langkah awal belajar, murid-murid kemudian dibagi-bagi dalam kelas buku teks yang dikenal sebagai buku salinan (ōraimono、往来物 atau ōraihon、往来本) yang telah disusun oleh orang Jepang yang ahli kesusateraan. Buku salinan sudah ada sejak jaman Heian (794-1192) dan terutama digunakan sepanjang abad pertengahan untuk tujuan pendidikan bushi. Pada awal periode Edo buku salinan disusun dalam gaya bahasa surat Cina klasik, tetapi secara berangsurangsur beberapa buku salinan ini kemudian ditulis dalam huruf yang disebut format menulis kana-majiri sehingga lebih dapat diterima bagi rakyat biasa (Kana-Majiri adalah suatu format menulis di mana tulisan gambar Cina digunakan dalam kombinasi dengan daftar suku kata asli Jepang). Kebanyakan buku salinan jaman Edo berisi acuan terkenal pada aturan rumah tangga (teikin orai、庭訓往来), yang diwariskan dari abad pertengahan. Banyak juga dimasukkan usul untuk percakapan sehari-hari. Dengan begitu isi utama material yang digunakan di terakoya cenderung untuk memenuhi kebutuhan langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Buku salinan kedua yang paling umum dipusatkan pada geografi. Buku ini penting karena lingkungan kehidupan orang biasa semakin luas seiring dengan pertumbuhan lalu lintas dan pengembangan kegiatan ekonomi sepanjang jaman Edo. Yang kemudian populer adalah buku salinan mengenai perdagangan seperti shōbai ōrai (商売往来) dan hyakushō ōrai (百姓往来) yang merupakan buku panduan bagi Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
petani. Buku salinan jenis lainnya terdiri dari koleksi pengajaran tentang ajaran moral bagi rakyat biasa. Penggunaan sempoa dan kaligrafi menduduki posisi yang penting dalam kehidupan ekonomi pedagang. Untuk tujuan ini disusun sebuah buku teks yang disebut Jingoki. Pada akhir jaman Edo, kemampuan untuk menghitung dengan sempoa tersebar luas, dan dengan begitu ketika perhitungan diperkenalkan dari Barat suatu pondasi yang kuat dalam penghitungan telah ada.
3. Pendidikan bagi anak-anak perempuan Masyarakat Edo terdiri atas hubungan tuan dan bawahan dari kelas bushi dan hubungan yang sama ini diperluas ke organisasi di dalam keluarga-keluarga individu: hubungan antara orang tua dan anak-anak; antara suami dan isteri; antara tuan dan bawahan — semua difungsikan dalam cara yang serupa. Karena alasan ini pendidikan bagi anak perempuan, baik untuk anak perempuan dari keluarga bushi atau rakyat biasa, didasarkan atas suatu konsep hubungan antar manusia yang terpisah dari yang untuk anak-anak lelaki. Pada jaman ini dianggap tidak perlu bagi anak-anak perempuan untuk menerima pendidikan tingkat tinggi yang dibuat ada untuk anak-anak lelaki. Disesuaikan dengan lingkungan hidup mereka, anak-anak perempuan diajar dalam berbagai urusan rumah tangga dan etiket di rumah mereka. Adakalanya mereka dikirim ke rumah yang lain sebagai pelayan wanita, dengan harapan bahwa pengalaman menjauh dari rumah akan meningkatkan etiket dan kemampuan mereka mengurus rumah tangga. Perlunya untuk mengatur pendidikan intelektual yang diterima di sekolah bagi anak perempuan tidak diakui. Pada masa itu sejumlah kecil anak-anak perempuan dari keluarga bushi belajar seni dan literatur klasik sebagai tambahan dari kaligrafi dan
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
membaca, tetapi secara umum di dalam pendidikan untuk anak-anak perempuan di masyarakat feodal ditujukan untuk membentuk isteri dan ibu yang baik. Sejumlah buku teks yang ditujukan langsung bagi pendidikan moral untuk anakanak perempuan muncul sepanjang jaman Edo. Pada umumnya kata "wanita" (onna、女) muncul dalam judul buku-buku ini, contohnya di Pelajaran yang besar untuk Wanita (Onna Daigaku、女大学), Analek Konfusian untuk Wanita (Onna Rongo、女論語) dan Buku Sikap Baik Pada Orangtua untuk Wanita (Jokun Kokyo). Praktek pembedaan buku teks untuk wanita ini tetap berlaku hingga akhir jaman Edo. Pada tutup tahun bakufu, jumlah anak-anak perempuan yang mengikuti terakoya secara berangsur-angsur meningkat dan dibentuk beberapa institusi swasta yang ditujukan bagi pendidikan anak-anak perempuan. Di dalam kedua institusi ini, sebuah kurikulum khusus yang ditawarkan cenderung lebih besar pada hal-hal yang menyenangkan, seperti kebajikan wanita, etiket dan semacamnya, termasuk upacara minum teh, menata bunga dan kepandaian yang santun lainnya. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa ada beberapa pendidikan bagi anak-anak perempuan di luar rumah mereka bahkan sepanjang jaman Edo. Konsep tradisional mengajarkan bahwa anak-anak perempuan dibedakan dari anak-anak lelaki dan bahwa tidak perlu mendidik mereka dalam institusi formal. Konsep ini kemudian dipengaruhi perkembangan pendidikan modern. Pada awal tahun sistem pendidikan modern perbandingan jumlah anak-anak perempuan dengan anakanak lelaki dalam sekolah dasar menjadi rendah walaupun menurut Aturan Sistem Pendidikan kedua jenis kelamin ini diharuskan mengikuti pendidikan.
4. Sekolah Negeri
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Walaupun sekolah han yang ditujukan untuk bushi dan terakoya untuk rakyat biasa mewakili institusi pendidikan pada jaman Edo, jenis sekolah lain juga ada. Salah satu yang mendapat perhatian khusus adalah sekolah negeri yang disebut gogaku atau goko. Sebagian dari sekolah negeri ini dibentuk oleh daimyō sebagai suatu perluasan dari sekolah han skala kecil di lokasi yang tepat berada di dalam daerah tanah feodal. Pegawai tingkat tinggi tertentu juga mendirikan sekolah negeri di daerah mereka sendiri dengan meniru sekolah han. Sebagian dari sekolah negeri ini adalah untuk bushi, beberapa mengijinkan keduanya, yaitu bushi dan rakyat biasa untuk belajar di sana, dan yang lainnya sebagian besar untuk rakyat biasa. Belakangan sekolah ini mirip terakoya kecuali bahwa sekolah ini berada di bawah pengawasan langsung daimyō. Sekolah negeri ini bisa dianggap sebagai pelopor sekolah dasar Jepang pada masa ini.
5. Sekolah Swasta Jenis sekolah lainnya yang hidup secara mandiri lepas dari pengaruh sekolah han dan terakoya adalah sekolah swasta (shijuku、私塾). Sekolah ini secara umum didirikan di tempat kediaman pengajar untuk kepentingan pengajaran di dalam materi pokok akademis dan kepandaian artistik. Asal usul sekolah swasta berasal dari “sekolah rahasia” masa lampau dan pertengahan di mana suatu hubungan erat yang ada terutama di antara guru, murid, dan obyek pengajaran dilakukan untuk menyebarkan suatu materi rahasia yang berhubungan dengan sekte tertentu. Dengan berlalunya waktu, sekolah swasta ini membuka diri dan berkembang menjadi sarana pendidikan modern. Pada akhir jaman Edo, berbagai jenis institusi swasta dikembangkan khususnya dalam hal materi pokok yang diajarkan, seperti studi budaya Cina, kaligrafi, penggunaan sempoa, Pengetahuan Nasional (Kokugaku、国学), Pengetahuan Barat dan sejenisnya. Sekolah swasta yang lain menawarkan rangkaian pelajaran yang disusun dari kombinasi ini. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Karena pemerintah pusat mendukung studi akademis mengenai karya Cina klasik, terutama Konfusianisme, banyak cendekiawan Konfusian mendirikan sekolah untuk mempelajari kebudayaan Cina yang dikenal dengan kangakujuku, dan sekolah ini tumbuh dengan subur sepanjang jaman Edo. Sebut saja Kumazawa Banzan dari aliran Wang Yang-ming yang mendirikan sekolah pribadinya di Kyoto, dan lain-lain. Walaupun kangakujuku merosot setelah Restorasi Meiji, landasan pemikiran Konfusian yang mendasari isi pendidikan mereka dilanjutkan sebagai tradisi yang kuat yang mempengaruhi konsep dan materi pendidikan Jepang modern. Sekolah swasta untuk Pengetahuan Nasional, dikenal sebagai kokugakujuku, juga berhasil dengan baik, dan menjelang akhir bakufu pengetahuan ini kemudian dihubungkan erat dengan ideologi “Mengembalikan Kaisar ke Tahta”. Ada banyak sekolah yang mengajarkan keduanya, yaitu Pengetahuan Nasional maupun kebudayaan Cina. Dengan pengenalan peradaban Barat ke Jepang pada pertengahan abad kesembilan belas, dibentuk jenis sekolah swasta lain yang dikhususkan untuk mempelajari Pengetahuan Barat yang dikenal dengan yogakujuku. Sekolah swasta yang aktif sepanjang tahun-tahun terakhir bakufu tidak berada di bawah kendali shōgun atau otoritas daimyō, tetapi lebih dioperasikan sebagai institusi yang mandiri. Sekolah swasta dibedakan dari sekolah han dan terakoya oleh karena sekolah ini memberi izin untuk menerima murid dari status sosial yang berbeda; fasilitas bidang pendidikan umum disajikan oleh sekolah swasta untuk bushi dan rakyat biasa. Ini adalah pelopor sekolah swasta modern di Jepang.
3.2 Konfusianisme di Jepang Pada jaman Edo sangat banyak dan bebas perkembangan ajaran Konfusianisme, juga Neo-Konfusianisme, sebut saja aliran Chu Hsi (shushigaku), Wang Yang-ming Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
(Ōyōmeigaku), Pengetahuan Kuno (Kogaku), dan Pengetahuan Nasional (Kokugaku). Khusus tentang Kokugaku, dalam aliran ini sebenarnya hanya sedikit sekali cendekiawan yang mendapat pengaruh Konfusianisme, sebagian besar bahkan hampir semuanya berpaling dari ajaran yang berasal dari negara asing — termasuk Cina — dan secara murni mempelajari tentang budaya Jepang melalui karya klasik seperti Manyōshu, Kojiki, dan lain-lain. Beberapa cendekiawan Neo-Konfusianisme yang cukup terkemuka pada masa itu dalam ajarannya adalah antara lain Fujiwara Seika, Hayashi Razan, Yamazaki Ansai, Muro Kyūsō, dan lain-lain dari aliran Chu Hsi (Shushigaku), Nakae Tōju dan Kumazawa Banzan dari aliran Wang yang-ming (Ōyōmeigaku), Kaibara Ekken, Itō Jinsai, Ogyū Sorai, dan lain-lain dari aliran Pengetahuan Kuno (Kogaku). Dua aliran Neo-Konfusianisme yang paling besar dan sangat bersaing pada masa itu adalah Aliran Chu Hsi dan Aliran Wang Yang-ming. Tokoh-tokoh terbesar dari kedua aliran ini adalah Hayashi Razan dari aliran Chu Hsi dan Kumazawa Banzan dari aliran Wang Yang-ming.
3.2.1 Hayashi Razan Hayashi Razan (林羅山、1583-1657) juga dikenal sebagai Dōshun, adalah seorang pemuda yang dewasa sebelum waktunya. Dia lahir pada tahun 1583 di Kyōto, anak tertua dari Hayashi Nobutoki. Kemudian dia diadopsi oleh saudara tertua ayahnya, yaitu Yoshikatsu. Dia mulai mempelajari tentang Cina pada awal usia belasan di bawah bimbingan biarawan Zen di kuil Kenninji, Kyōto, tetapi kecewa dengan metode belajar Zen dan jalan pemikir istana tradisional, dia pergi ke Fujiwara Seika — seorang penasehat Konfusian tidak resmi Tokugawa Ieyasu, dia juga yang pertama kali memperkenalkan Neo-Konfusianisme pada Tokugawa — untuk melanjutkan belajar di Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bawah bimbingannya. Dia sangat cakap dalam pelajaran filosofi dan kemampuan kesusasteraan. Dia kemudian direkomendasikan oleh gurunya untuk melayani Tokugawa Ieyasu sebagai guru pribadi shōgun atau penasehat resminya pada tahun 1608. Dan Hayashi terus melayani shōgun hingga generasi ketiga shōgun, yaitu Iemitsu. Setelah pengangkatannya dikatakan bahwa tidak ada satu baris pun dalam hukum atau dekrit Shōgun Tokugawa pertama yang tidak dikonsep olehnya. “Hukum yang paling penting yang telah dirumuskan sebagai suatu undang-undang dasar dalam arti yang sebenarnya bagi Shōgun Tokugawa adalah Hukum yang Mengatur Rumah Tangga Militer (Buke Shohatto), Istana Keluarga Kekaisaran dan bangsawan (Kinchū Narabi ni Kuge Shohatto), dan Komunitas agama Buddha beserta sekte-sektenya (Shoshū Jiin Hatto) (Tsunoda, 1958:342). Tokugawa Ieyasu adalah seorang pemimpin yang berhati-hati yang mengawasi cara kerja dua penasehatnya yang lebih senior dan yang sangat cerdik dalam melayaninya, mereka adalah Abbot Tenkai (1536-1643) dari sekte Tendai dan Elder Sūden (1569-1633) dari sekte Zen. Abbot Tendai adalah seorang pemimpin kuil Nikkō bersama semua kuil Buddha aliran yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja dan kuil Shintō sikretisme di bawah yurisdiksinya. Elder Sūden adalah inspektur jenderal semua denominasi Zen, dengan hak istimewa tradisional mengawasi
semua
surat-menyurat
pemerintah
dengan
negara
asing.
Razan
mengemukakan pendapatnya yang keberatan mencampuri Buddha dengan hal-hal pemerintah yang sekuler, tetapi dia dikalahkan oleh Tenkai dalam sebuah perdebatan yang terjadi di hadapan Ieyasu. Sementara itu ia melanjutkan perjuangan lama Neo-Konfusian melawan Buddha — yang memang suatu lawan yang berabad-abad tuanya di Cina — Razan menemukan suatu persamaan alami dalam Shintō asli dengan Neo-Konfusianisme terutama aliran Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Chu Hsi. Bersama suatu pandangan memperkuat persamaan ini dengan menunjukkan hal-hal dasar penyatuan agama Shintō dan etika Konfusian, yang diteliti secara luas oleh Razan di dalam Shintō yang hasilnya ada dalam Study of Our Shintō Shrine (Honchō jinja-kō). Mungkin inilah yang membawanya menjadi seorang ahli sejarah Jepang dan Shintō di istana. Dia juga mempelajari sejarah Jepang dan menulis General History of Our State (Honchō tsugan、本朝通) dengan karya Chu Hsi yang berjudul T’ung-chien kang-mu sebagai contohnya. Razan berkarya dalam kecepatan yang luar biasa dalam filosofi, sejarah, prosa, dan puisi, baik karya Cina maupun Jepang, dan mengolah untuk menyediakan kumpulan wewenang yang akan digunakan sebagai panduan bagi tiga shōgun yang dilayaninya. Karya koleksinya menembus seratus lima puluh judul dan tempat tinggalnya di Ueno berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi sastra liberal dengan perpustakaan pribadi terbesar di Jepang ada di dalamnya. Hayashi masih belum bisa dengan sendirinya mengatasi pengaruh Buddha dalam pemerintahan; pada faktanya, untuk mempertahankan posisinya sendiri dalam istana dia terpaksa mematuhi kebiasaan lama kaum Buddha yang mencukur ubun-ubun kepalanya bagi mereka semua yang dipercayakan dalam tugas pendidikan. Oleh karena itu dia beruntung memiliki keturunan seperti anak laki-lakinya sendiri, yaitu Shunsai atau dikenal juga sebagai Gahō (鵞峰、1618-1680), dan cucu laki-lakinya Hōkō (鳳岡、16441732). Gahō yang mengumpulkan 300 volume Family Genealogies (silsilah keluarga kerajaan) pada tahun 1643 dan yang menyelesaikan karya yang dimulai oleh Razan, yaitu General History of Our Country dalam 310 volume pada tahun 1670. Ada juga sebuah koleksi yang diselesaikannya, termasuk penjelasan pada semua Klasik Konfusian dalam 120 volume. Sebagai konsekuensi dari prestasi cendekiawan ini, perguruan tinggi memperoleh pengakuan resmi sebagai universitas keshōgunan dengan nama Kōbunin dan Gahō dinamai Doktor Kesusasteraan Pertama (Kōbunin gakushi). Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada tahun 1691 shogun kelima, Tsunayoshi — dia sendiri adalah seorang Konfusianis yang tekun — menganugerahkan pada Hōkō gelar Rektor Universitas Negeri, Head of the State University (Daigaku no Kami), yang menjadi turun-temurun diberikan kepada kepala keluarga Hayashi. Pada waktu yang sama, universitas dinamai ulang menjadi The School of Prosperous Peace (Shōheikō) atau secara harfiah berarti Sekolah Damai Makmur dan ditempatkan di lokasi baru di Yushima, di mana berdiri sepanjang pemerintahan Tokugawa sebagai pusat pendidikan resmi. Bukan hanya sebagai pusat pendidikan resmi, tetapi juga sebuah pusat agama Konfusian, di mana patung Konfusius dan murid-muridnya diletakkan di dalam gedung. Shōgun datang memberi penghormatan di sana setiap tahun, dengan kepala keluarga Hayashi selalu bertindak sebagai pemimpin upacara. Hayashi Razan banyak mengajarkan tentang Konfusianisme terutama NeoKonfusianisme aliran Chu Hsi (Shushigaku). Dia juga banyak mengajarkan tentang etika bagi samurai, bagaimana seorang samurai seharusnya hidup ditengah-tengah masyarakat feodal. Dia mengatakan: “Para prajurit (samurai) memperoleh kemenangan dengan seni perang. Yang membuat mereka mencapai kemenangan adalah strategi. Strategi didapat dari seni damai. Inilah mengapa peraturan T’ai Kung memasukkan sebuah pasal dalam seni sipil seperti halnya sebuah pasal dalam seni militer. Dua hal ini secara bersama-sama menyusun seni yang umum. Ketika seseorang tidak bisa menggabungkan satu dengan yang lain, seperti dalam kasus Chuang Hou dan Kuan Ying, yang kurang memiliki seni damai, dan Sui Ho dan Lu Chia yang kurang memiliki seni perang, akan ada akibat yang disesali. Peperangan membutuhkan pengetahuan dari kesempatan seseorang. Tipu daya membutuhkan kerahasiaan. Kesempatan tidak mudah untuk dilihat, tetapi seseorang bisa mempelajarinya melalui tipu daya selama tipu daya
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
itu tidak terbongkar. Oleh karena itu, mereka yang ahli dalam menangani pasukan melihat pada seni damai dan seni perang seperti tangan kanan dan kiri. Mari kita mengingat (ajaran) Guru Bijaksana bahwa ‘untuk memimpin suatu rakyat yang tidak terpelajar dalam perang adalah dengan melempar mereka keluar’. Mengajar orang adalah seni sipil, tetapi perang adalah seni militer. Tanpa keduanya, orang akan dibuang. Oleh karena itu dikatakan bahwa orang sipil harus juga memiliki siap siaga militer. Mungkin tidak ada kekurangberanian dalam memburu seekor harimau tanpa senjata atau menyeberangi sebuah sungai tanpa perahu, tetapi ini bukan hal yang sama dengan kecakapan dalam seni perang. Mungkin tidak ada kekurangan dalam kemurahan hati ketika menahan diri supaya jangan memenjarakan orang yang sudah tua sebagai tahanan perang, tetapi ini bukan hal yang sama dengan menguasai seni damai. Memiliki seni damai tetapi tidak memiliki seni perang, kekurangan keberanian. Memiliki seni perang tetapi tidak memiliki seni damai, kekurangan kebijaksanaan. Pertahankan keduanya dalam pikiran, menggunakan atau membubarkan pasukan mereka dan maju atau mundur berdasarkan pada waktu yang tepat. Ini adalah Jalan yang lazim. Sesuatu yang lazim adalah tidak lain seorang manusia sejati. Seseorang yang berbakti dan mempunyai misi untuk dilakukan dinamakan samurai (atau shi). Seseorang yang hatinya baik dan berperilaku jujur, yang punya prinsip moral dan menguasai seni disebut samurai. Seseorang yang mengikuti pelajaran juga disebut samurai. Seseorang yang melayani (di istana) tanpa mengabaikan pegunungan dan hutan disebut samurai. Istilah samurai (atau shi) sungguh-sungguh luas. Tingkatan (dalam dinasti Chou, Cina) yang demikian dikatakan bahwa mereka naik dari pegawai (shi) menjadi pejabat tinggi; dari pejabat tinggi menjadi kepala menteri; dan dari kepala menteri menjadi pangeran. Meskipun begitu, saat seseorang menjadi kepala menteri dan masuk melayani raja untuk mengurus pemerintahan, dia juga disebut menteri-pegawai Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
(kyō-shi). Di dalam istana dia adalah seorang negarawan; di lapangan dia seorang jenderal. The Book of Odes mengatakan, ‘Kuat dalam damai dan perang adalah Chi-fu/ suatu pola teladan bagi semua orang’ Bagaimana bisa seseorang melaksanakan tugas jabatan dan posisinya tanpa mengkombinasikan seni damai dan militer?” (Tsunoda, 1958:346-347) Dengan pernyataan ini Hayashi Razan menekankan pentingnya seorang samurai tidak hanya mengerti dan menguasai seni militer tetapi juga menguasai seni damai, tentu saja dalam menguasai hal ini mereka mendapatkannya dengan mempelajari NeoKonfusianisme. Sebagai pengikut aliran Chu Hsi, Razan mengajarkan NeoKonfusianisme terutama aliran Chu Hsi. Dengan menguasai kedua hal ini serta mampu mengkombinasikannya, yaitu seni militer dan seni damai maka seorang samurai, menurut Razan, dapat menjadi manusia sejati yang mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Karena itulah samurai mendapat perhatian khusus dalam hal pendidikan dari Tokugawa. Mengenai pembagian kelas sosial masyarakat pada masa itu, Razan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami terjadi di jaman feodalisme, dia membagi masyarakat dalam empat kelas sosial, yaitu samurai, petani, tukang, dan pedagang. Razan mengatakan: “Surga adalah mulia, Bumi adalah hina. Surga itu tinggi sedangkan Bumi rendah. Seperti itu jugalah perbedaan di antara manusia dalam masyarakat, pangeran itu agung sementara rakyat adalah biasa. Tingkah laku yang pantas membutuhkan sebuah hirarki antara mulia dan biasa, orang tua dan muda ... kalau perbedaan antara pangeran yang agung dan rakyat biasa dipertahankan, maka negeri akan bisa diperintah ... Jika jalan yang membedakan pangeran dan rakyat, dan antara ayah dan anak itu diikuti, dan prinsip yang membedakan antara tinggi dan rendah, yang
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
mulia dan yang tidak sopan itu dijunjung tinggi, maka Jalan Surga akan tetap menang di atas sana, dan hubungan antar manusia akan menjadi jelas di bumi ini.” Dengan pernyataan di atas, maka menurut Razan dengan memperlakukan seseorang menurut tempatnya di masyarakat, sebuah negeri akan damai dan tidak ada pertentangan. Penguasa atau pangeran, atau dalam hal ini yang dimaksud Razan adalah shōgun sama agung dan mulianya seperti Surga, sedangkan masyarakat lainnya adalah seperti Bumi yang rendah dan termasuk kelas biasa. Karenanya dalam pembagian kelasnya, Razan menekankan perlunya setiap orang sadar akan posisinya dalam masyarakat dan hal itu juga yang terus diajarkan di dalam sekolahnya. Dengan pernyataan ini juga Razan menekankan pentingnya melaksanakan lima hubungan dasar manusia (gorin、五倫) dan lima kebaikan (gojō、五常) seperti yang telah diajarkan oleh Konfusius. Mengenai gorin, Razan mengatakan, “Lao Tzu mengatakan: ‘Jalan yang dapat dibicarakan bukanlah suatu Jalan yang tak Berubah’. Apa yang ia nyatakan sebagai Jalan adalah kepasifan dan tanpa kerja keras, dan apa yang ia bicarakan adalah keadaan yang tidak membeda-bedakan sifat alami seseorang. Tetapi orang dilahirkan ke dalam dunia pada masa ini dan bahkan tidak bisa mencapai keadaan yang tidak terganggu dari keadaan jaman dahulu; berapa kurang lebih dia bisa meletakkan dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak membeda-bedakan sifat alami seseorang? Jalan orang bijaksana berbeda dengan hal ini. Jalan mereka tercapai karena tidak lain dari kewajiban moral antara penguasa dan bawahan, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, dan antara teman. Seseorang melakukannya dengan lima kebaikan. Lima kebaikan berakar dalam pikiran, dan prinsip yang melekat dalam pikiran seseorang disebut kebajikan. Oleh karena itu Jalan, kebajikan, kemanusiaan, kebenaran, kesusilaan, dan kebijaksanaan berbeda dalam namanya tetapi sama intisarinya. Hal ini Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bukanlah apa yang Lao Tzu sebut Jalan. Jika seseorang manolak kewajiban moral manusia dan menyebut hal lain sebagai Jalan, maka itu bukanlah Jalan Konfusian, bukan Jalan para Orang Bijaksana, dan bukan Jalan Yao dan Shun.” (Tsunoda, 1958:348) Dalam mewujudkan lima kebajikan, yaitu kebaikan (仁), kebenaran (信), kesantunan (礼), kesetiaan (義), dan kebijakan (智), Razan memberi penekanan khusus pada kebaikan karena dia percaya itu sudah mencakup empat kebajikan lainnya. Razan mengatakan, “Kebenaran merupakan dasar dari giri, yaitu tugas moral dan kewajiban manusia”. Prinsip kesopanan digunakan oleh Razan untuk membenarkan hubungan hierarki antara bangsawan dan rakyat biasa, kalangan atas dan kalangan bawah. Razan menjelaskan, “Kebijaksanaan dicapai dalam pemahaman akan prinsip kebaikan, kebenaran, dan kesusilaan”. Akhirnya kesetiaan dikaitkan dengan makoto atau ketulusan. (Mikiso Hane, 1991:161) Dalam melakukan kewajiban sesuai dengan kelasnya masing-masing, maka ada hal yang mendasari semua hubungan itu, yaitu lima kebajikan yang menjadi dasar ajaran Konfusius. Kebaikan, kebenaran, kesantunan, kesetiaan, dan kebijakan pada tiap individu berbeda-beda, tergantung tempatnya dalam masyarakat. Misalnya sebagaimana kesetiaan seorang shōgun ditunjukkan dengan memberi penghidupan dan perlindungan pada daimyō dan samurai, maka daimyō dan samurai harus menunjukkan kesetiaannya juga kepada shōgun dengan bobot kesetiaan yang berbeda sesuai dengan aturan hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu mereka harus taat pada semua perintah shōgun.
3.2.2 Kumazawa Banzan
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Kumazawa Banzan (熊沢番山) lahir di Inari (sekarang Shimogyō-ku, Kyōto), anak paling tua dari enam bersaudara. Ayahnya, seorang Rōnin (浪人), bernama Nojiri Tōbei Kazutoshi (野尻藤兵衛一利) dan ibunya bernama Kamejo (亀女). Saat berusia delapan tahun dia diadopsi oleh kakek dari pihak ibunya, Kumazawa Morihisa (熊沢守久), seorang samurai yang melayani Tokugawa Yorifusa—daimyō di Mito—dan dari nama kakeknya ia mengambil nama panggilan Kumazawa. Pada tahun 1634, saat usianya lima belas tahun, melalui perkenalan oleh Itakura Shigemasa (板倉重昌), seorang fudai daimyō Tokugawa, dia melayani sebagai seorang pelayan pada Ikeda Mitsumasa (池田光政), daimyō di daerah Okayama di provinsi Bizen. Selama lima tahun dia melayani Ikeda Mitsumasa, termasuk berkunjung bersama tuannya ke Ibukota Tokugawa di Edo, Kumazawa mengikuti suatu pola pelatihan intensif dalam seni militer untuk mencapai teladan samurai yang ideal menurutnya. Dia meninggalkan rumah Ikeda untuk sementara waktu, kembali ke rumah kakeknya di Kirihara, Provinsi Omi, (sekarang Omihachiman, Shiga). Di sinilah dia belajar mengenai Neo-Konfusianisme aliran Wang-Yangming (Ōōmeigaku、王陽明学). Pada saat itu dia sudah berusia dua puluh satu tahun saat untuk pertama kalinya dia membaca Empat Kitab terkenal aliran Konfusian dan memutuskan mengejar ketertinggalannya dalam seni liberal. Ciri khas dari aliran Wang Yang-ming adalah anti-pendidikan dan tidak suka mempelajari banyak buku, karenanya Nakae Tōju membatasi ajarannya hanya pada tiga teks pendek, yaitu Book of Filial Piety (Buku tentang Sikap Hormat pada Orangtua), Great Learning (Pengetahuan Besar), dan Mean. Selain ini, Kumazawa sebagian besar belajar sendiri dan menjadi lebih tahu mengenai hal-hal praktis untuk pengetahuan pribadinya daripada pengetahuan yang lebih luas. Pada tahun 1645, sekali lagi dengan rekomendasi keluarga Kyōgoku, dia pergi ke wilayah Okayama. Karena pemikiran Mitsumasa disandarkan pada Ōōmeigaku Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
(aliran Wang Yang-ming), dia banyak berdiskusi dengan Banzan, menghargai dia karena telah belajar di bawah bimbingan Nakae Tōju. Banzan bekerja sebagian besar di sekolah Han yang disebut Hanabatake Bokujō (花畠教場), yang namanya berarti “kebun bunga”. Sekolah ini dibuka pada tahun 1641, menjadi salah satu dari yang pertama di Jepang. Pada tahun 1647 Banzan menjadi seorang ajudan, yang berhak atas 300 koku. Pada tahun 1649 dia pergi bersama Mitsumasa ke Edo. Pada tahun 1650, ia dipromosikan sebagai kepala dari suatu pasukan artileri. Di 1651, ia membuat garis besar peraturan untuk Hanazonokai (花園会), secara harafiah berarti “klub kebun bunga”, suatu tempat untuk pendidikan bagi rakyat biasa. Ini adalah penjelmaan awal dari sekolah pertama di Jepang untuk mendidik rakyat biasa, yaitu Shizutani Gakkō (閑谷学校) yang dibuka pada tahun 1670, setelah Banzan meninggalkan pekerjaan di wilayahnya. Pada tahun 1654, ketika dataran Bizen diserang oleh banjir dan kelaparan besar, ia mengerahkan seluruh energinya dalam membantu Mitsumasa. Bersama-sama dengan Tsuda Nagatada (津田永忠), ia bekerja sebagai ajudan bagi Mitsumasa, membantu untuk menetapkan permulaan dari pemerintah daerah di Daerah Okayama. Ia bekerja untuk menghasilkan secara penuh strategi yang dikembangkan pada pertanian, mencakup cara-cara menyediakan pertolongan bagi petani yang kecilkecilan dan proyek rancang-bangun daratan untuk mengelola pegunungan dan sungai. Bagaimanapun, keberaniannya mengubah pemerintahan daerah membawa dia ke dalam oposisi dengan orang-orang tua yang traditionalis (karō、家老). Sebagai tambahan, karena Banzan seorang pengikut Yōmeigaku, suatu format yang berbeda dari NeoKonfusianisme Shushigaku yang merupakan filosofi resmi keshogunan Edo, Banzan dikritik oleh tokoh-tokoh seperti Hoshina Masayuki (保科政之) dan Hayashi Razan. Karena alasan ini, Banzan dengan tidak ada pilihan lain dibiarkan meninggalkan pekerjaannya di Kastil Okayama dan hidup dalam persembunyian di Shigeyama-mura, Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Daerah Wake (sekarang Shigeyama, Bizen, Okayama). Nama “Banzan” berasal dari kata “Shigeyama”. Lokasi di mana rumahnya berada adalah Banzan-chō, Okayama-shi. Secepatnya, pada tahun 1657, karena tidak mampu melawan tekanan dari keshogunan dan para pemimpin daerah, ia meninggalkan Daerah Okayama. Pada tahun 1658, ia pindah ke Kyoto dan membuka sebuah sekolah pribadi (shijuku). Pada tahun 1660, atas permohonan Nakagawa Hisakiyo (中川久清), ia bepergian ke Tateda di Oita, dan memberi arahan mengenai manajemen daratan. Pada tahun 1661, ketenarannya tumbuh, dan ia kembali berada di bawah pengawasan keshogunan, dan secepatnya diusir dari Kyoto oleh Makino Chikashige (牧野親成), ajudan kepala Kyoto Shoshidai (京都所司代). Pada tahun 1667, ia melarikan diri ke Yoshinoyama, Provinsi Yamato (sekarang Yoshino, Nara). Ia kemudian pindah untuk tinggal dalam persembunyian di Kaseyama, Provinsi Yamashiro (sekarang Kizugawa, Kyoto). Pada tahun 1669, dalam melaksanakan perintah dari keshōgunan, ia berada di bawah pengendalian Matsudaira Nobuyuki (松平信之), kepala Daerah Akashi (明石藩), Provinsi Harima. Pada tahun 1683, ketika Nobuyuki ditransfer ke Provinsi Kōriyama , ia pindah ke Yatayama, Provinsi Yamato (sekarang Yamatokoriyama, Nara). Pada tahun 1683, ia menerima undangan dari Tairo Hotta Masatoshi, tetapi ia menolaknya. Setelah melayani di Daerah Okayama, pada hari-harinya di luar jabatan dalam pemerintahan, ia sering menulis dan mengkritik kebijakan keshogunan, terutama sekali mengenai Sankin Kōtai (参勤交代), Heino Bunri (兵農分離、kebijakan yang melarang mereka yang di luar kelas samurai mempersenjatai dirinya sendiri), dan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada keturunan. Ia juga kritis terhadap pemerintah Daerah Okayama.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Tujuan
Banzan
adalah
untuk
mengubah
pemerintah
Jepang
dengan
menganjurkan pengadopsian suatu sistem politik yang didasarkan pada jasa bukannya keturunan dan prinsip-prinsip pegawai politis untuk menguatkan sistem penilaian jasa. Pada tahun 1687, karena kegemparan yang dibuatnya dalam mengkritik pemerintah feodal Tokugawa dalam bidang ekonomi dan politik melalui tulisannya dalam Daigaku Wakumon (大学或問), ia berada di bawah kendali Matsudaira Tadayuki (松平忠之), kepala Daerah Koga (古河藩), Provinsi Shimousa, yang juga merupakan ahli waris dari Matsudaira Nobuyuki, dan Banzan diperintahkan untuk tinggal di Kastil Koga. Pada tahun 1691 ahli Konfusian yang suka menentang ini jatuh sakit dan meninggal di dalam Kastil Koga pada usia 74 tahun. Jasad Banzan dikuburkan oleh Tadayuki dengan banyak upacara di Keienji, Otsutsumi, Koga, Ibaraki. Prasasti pertama pada batu nisan adalah “makam Sokuyūken” (息遊軒墓), menggunakan nama anumertanya, tetapi ini kemudian diubah menjadi “makam Kumazawa Sokuyūken Hakkei” (熊沢息遊軒伯継墓). Pada masa Bakumatsu, filosofi Banzan kembali diangkat dan sangat mempengaruhi struktur pemerintah. Itu berkat pertolongan, di antaranya, Fujita Tōko dan Yoshida Shōin, yang menjadi suatu kekuatan yang memotivasi di masa keruntuhan pemerintah shōgun. Keduanya adalah cendekiawan dan banyak memberi inspirasi merobohkan keshōgunan dan memulihkan kembali pemerintahan yang dipimpin oleh kaisar. Katsu Kaishu memuji Banzan sebagai “seorang pahlawan dalam jubah Konfusian”. Pada tahun 1910, Pemerintah Edo menghormati Banzan dengan memberi gelar Ranking Empat Teratas (正四位), dalam mengakui kontribusinya bagi pengembangan pengetahuan pada jaman Edo. Ada tiga hasil karya besar Kumazawa Banzan yang dia tulis selama hidupnya, yaitu Shūgi Washo (集義和書、kumpulan mengenai kebenaran yang ditulis dalam gaya Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bahasa Jepang), Shumu Gaisho (集義外書、kumpulan mengenai kebenaran yang ditulis dalam gaya bahasa asing), dan Daigaku Wakumon (Pertanyaan-pertanyaan mengenai Pengetahuan Besar). Dalam karya-karyanya ini banyak berisi sarannya mengenai sosial, politik, dan ekonomi yang disusun atas dasar pengamatan dan pengalamannya sendiri dan sangat berlawanan dengan kebijakan yang telah diperkenalkan shōgun sejak permulaan rezim ini. Menanggapi pembagian kelas pada Era Tokugawa, Banzan membagi masyarakat ke dalam lima kelas, kaisar ada pada urutan tertinggi, dan kemudian secara berurutan tuan tanah feodal, kyo-taifu (orang yang menjalankan tugas sesuai dengan perintah kaisar atau tuan tanah feodal), samurai, dan rakyat biasa — rakyat biasa terdiri dari petani, tukang, dan pedagang. Sama seperti pembagian yang dilakukan oleh gurunya, Nakae Tōju, hanya bedanya Banzan juga membagi lagi tiap kelas tersebut ke dalam kelas yang berbeda. (Honjo, 1939:4) Dengan menempatkan kaisar pada posisi paling tinggi, Banzan menunjukkan bahwa kaisar yang seharusnya memegang pucuk kepemimpinan dalam negara yang paling tinggi, bukan shōgun. Pandangannya ini membuatnya menjadi orang yang berulang kali berada di bawah pengawasan shogun dengan menjadi tahanan rumah karena kritikannya terhadap pemerintah shōgun sebagai pucuk kepemimpinan tertinggi negara pada masa itu. Walau Banzan meletakkan kaisar di posisi paling tinggi pada kelas sosial masyarakat, dia sebenarnya menganggap petanilah yang menjadi dasar terbentuknya negara, bahkan menurutnya pemimpin tertinggi atau raja awalnya juga adalah seorang petani. Banzan menulis: “Dari semua kelas masyarakat, petani adalah yang pertama ada. Petani yang cakap, yang nasehat dan bimbingannya dalam hal pertanian dicari oleh petani lain, dipilih sebagai penasehat mereka dengan persetujuan bersama dan usaha Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pertanian milik pemimpin terpilih akan dikerjakan bersama-sama oleh yang lain. Selang beberapa waktu petani yang terpilih ini menjadi samurai atau prajurit. Terkhusus prajurit yang berbakat yang dengan cara yang sama seperti pada petani, ia memberi saran dan nasehat pada prajurit lain yang mau mengikuti kepemimpinannya. Prajurit pemimpin ini kemudian menjadi tuan tanah di daerah itu. Yang paling terhormat dan berbudi luhur di antara tuan tanah ini menjadi seorang Raja, yang memerintah dengan taat selama sisa hidupnya. Dari antara para prajurit ditetapkan bangsawan kalangan istana dan tuan tanah agung. Di sisi lain tukang dan pedagang berkembang dari kelas pertanian. Dengan cara ini, segala sesuatunya terbentuk dengan teratur dan lima dasar hubungan manusia dan kelas sosial terbentuk.” (Honjo, 1939:5-6) Seperti halnya Razan, Banzan juga menegaskan pentingnya semua orang hidup sesuai dengan tempatnya di masyarakat. Dia mengatakan: “Ada hukum dalam semua hal. Raja, dengan segala kekuasaan dan kekayaannya, mempunyai aturan dalam memimpin. Para bangsawan dalam semua tingkatan mempunyai aturan masing-masing dalam mengatur jalan tindakannya. Dengan cara yang sama samurai tingkat tinggi punya aturan memimpin yang harus mereka jalankan. Petani, tukang, dan pedagang juga mempunyai tugas masing-masing untuk dilaksanakan.” (Honjo 1939:8) Pemikiran Banzan paling banyak dicurahkannya pada bidang ekonomi, selain juga dalam bidang politik, karena sulitnya perekonomian secara umum pada masa itu. Keempat kelas sosial yang dibentuk oleh Tokugawa pada masa itu mengalami kesulitan ekonomi yang sama. Banzan mengatakan: “Pertama, kota besar dan kecil yang berada di tempat-tempat dengan banyak fasilitas transportasi laut atau tepi sungai menjadi begitu makmur sehingga kebiasaan berfoya-foya hari demi hari tumbuh di antara penduduknya. Ini mengakibatkan meningkatnya kekayaan pedagang dan kemiskinan besar kelas samurai. Yang kedua, karena praktek beras sebagai alat tukar untuk semua Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
jenis barang dagangan menurun dan uang menjadi umum digunakan sebagai alat tukar, maka harga barang sedikit demi sedikit menjadi naik, hasilnya adalah emas dan perak negara dikuasai pedagang. Dalam keadaan seperti itu, semua samurai baik kelas tinggi maupun kelas rendah mendapati dirinya dalam kesulitan keuangan. Yang ketiga, kurangnya sistem dan peraturan yang teratur cenderung meningkatkan kerja dan pengeluaran. Samurai menukar beras yang mereka dapat dari dana bantuan tuan tanah feodal dengan uang untuk membeli barang. Jika harga beras rendah dan semua harga barang lain tinggi, mereka tidak dapat mencukup-cukupkan uangnya untuk belanja dan mereka semakin miskin karena menggunungnya pengeluaran. Kesukaran pada kelas samurai mengakibatkan pembebanan pajak yang semakin berat pada petani. Dengan begitu hal ini mengakibatkan petani tidak punya makanan yang cukup untuk hidup bahkan pada tahun-tahun panen besar, sementara kelaparan menanti di depan mereka pada tahun-tahun panen buruk. Semakin miskinnya samurai dan petani mengakibatkan tukang dan pedagang kehilangan mata pencaharian mereka. Di tengah-tengah kemiskinan yang menyeluruh, hanya pedagang besar yang terus bertambah kekayaannya. Keadaan ini diakibatkan oleh fakta bahwa hak-hak moneter diberikan pada kelas pedagang.” (Honjo, 1939:12) Solusi yang Banzan berikan untuk mengatasi masalah ekonomi yang menyeluruh di Era Tokugawa adalah salah satunya dengan penghematan. Banzan mengatakan: “Orang yang hemat tidak memihak dan memberi bantuan moneter pada orang lain dengan sukarela; orang yang tamak itu pelit dan menolak memberi bantuan pada orang lain; orang yang sederhana tidak mencari banyak ataupun menyimpan sesuatu, tetapi jika dia punya apa saja untuk dibagikan, dia memberikannya pada yang membutuhkan. Pemboros tidak menyimpan apapun, dan walaupun dia mungkin terlihat seperti orang yang sederhana dalam hal ini, dia menghabiskan uangnya semata-mata Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
untuk kepentingannya sendiri atau untuk hidup mewah.” Dia juga mengatakan: “Manusia yang bijak tidak egois. Menjadi manusia yang bijak, dia secara alami orang yang hemat. Hemat seperti ini hanya dapat dijalankan sebagaimana adanya dari motif kebajikan, kasih, dan tidak memihak yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. (Honjo, 1939:10) Maka menurut Banzan, dengan berhemat, orang yang kaya bisa menyisihkan uangnya untuk menolong orang yang membutuhkan bukan menggunakannya hanya untuk kepentingannya sendiri. Begitu juga orang yang sederhana, dapat menolong orang lain jika dia juga menggunakan uangnya dengan bijaksana. Dengan demikian maka akan terjadi kemerataan kekayaan dan kesulitan keuangan yang terjadi di seluruh negeri pada masa itu dapat diatasi. Walaupun mungkin tetap ada orang-orang yang memboroskan uangnya untuk kepentingan sendiri dan hidup mewah. Solusi lain yang dianjurkannya untuk mengatasi masalah ekonomi ini adalah dengan melaksanakan “ekonomi beras”. Dia menjelaskan bahwa permasalahan ekonomi yang terjadi pada masa itu disebabkan oleh besarnya panen beras pada suatu waktu dan berlangsung terus menerus. Para petani menjadi kesulitan karena saat mereka meminjam uang satu koku beras harganya tujuh puluh atau delapan puluh me (mata uang Tokugawa), namun mereka harus membayar kembali bahkan saat harga beras jatuh menjadi tiga puluh atau empat puluh me per koku, di mana harga yang mereka bayar menjadi dua kali lipat belum lagi ditambah bunga pinjaman. Rakyat biasa menjadi susah karena pada masa-masa panen buruk mereka tidak punya banyak beras untuk dijual padahal harga beras sangat tinggi, sedangkan pada masa panen baik mereka punya banyak beras tetapi harga beras sedang jatuh. Semuanya ini memperbesar hutang petani. Dan tentu saja yang mendapatkan kesulitan tidak hanya petani tetapi juga tuan tanah feodal dan samurai yang secara tidak langsung hidup dari hasil pertanian itu. Jika Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
beras dipergunakan seperti halnya mata uang emas dan perak, maka setiap orang bisa membeli dan menjual barang dengan menggunakan beras. Membayar upah pekerja pun bisa dengan beras. Orang dari bagian timur Jepang bisa memberikan beras pada orang dari bagian barat Jepang yang menukarnya dengan barang-barang dari ibukota. Beberapa gangguan mungkin akan terjadi dalam praktek melaksanakan sistem ini, tetapi lambat laun akan dapat diatasi. Yang terutama setiap orang tidak perlu menjual semua berasnya dan menggantinya dengan uang, sehingga harga beras bisa ditekan. Lalu sejumlah besar beras, yang sering dibuang pada masa panen baik, bisa dikirimkan ke daerah-daerah sehingga tidak ada lagi kelaparan dan bisa juga dikirimkan bagi prajurit yang berada di medan perang bila ada penyerangan dari bangsa asing. (Hane, 1991:381382) Dengan penjelasan itu, Banzan menganjurkan beras sebagai mata uang, tetapi bukan untuk menggantikan emas dan perak yang juga menjadi mata uang pada masa itu, tetapi menyamakan fungsi beras seperti halnya emas dan perak sebagai alat tukar (kembali pada sistem barter alami). Banyaknya kesulitan yang akan muncul akibat sistem ini, pemerintah shōgun tidak pernah mau mencobanya. Walau kita tidak akan pernah tahu apakah sistem ini memang bisa berjalan semudah Banzan menjelaskannya. Bila sistem ini diterapkan maka menurut Banzan kehidupan perekonomian dapat diselamatkan. Banzan mengatakan: “Karena sebagai pedagang tidak bisa memiliki sejumlah besar biji-bijian (termasuk beras) dalam jumlah besar pada waktu yang ditentukan, maka mereka tidak bisa mencari keuntungan besar. Harga barang-barang kemudian akan menurun dan kebiasaan hidup mewah akan dapat dikendalikan. Samurai dan petani kemudian akan hidup berkecukupan serta tukang dan pedagang akan terjamin mata pencahariannya.” (Honjo, 1939:16)
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Dia juga mengajarkan tentang bagaimana seharusnya seorang samurai, di samping dirinya sendiri juga adalah seorang samurai, hidup di tengah-tengah masa damai di era Tokugawa. Dalam etika samurai-nya, Banzan mengatakan, “Ketika aku berusia enam belas tahun aku mempunyai kecenderungan gemuk. Aku memperhatikan kekurangtangkasan dalam orang gemuk lainnya dan berpikir seorang yang gemuk tidak bisa menjadi samurai kelas satu. Jadi aku mencoba setiap cara untuk menjaga diriku tetap tangkas dan kurus. Aku tidur dengan korset yang ditarik ketat dan berhenti memakan nasi. Aku tidak minum anggur dan menjauhkan diri dari hubungan seksual selama sepuluh tahun ke depan. Saat bertugas di Edo, di sana tidak ada bukit atau lapangan di mana aku bisa berburu dan mendaki, jadi aku berlatih dengan tombak dan pedang. Ketika aku sedang jaga malam di tempat kediaman tuanku di Edo, aku memegang sebilah pedang kayu dan sepasang sandal jerami di dalam keranjang bambu, dan dengan ini aku biasanya melakukan latihan militer sendiri di halaman yang mulai gelap saat setiap orang sudah tidur. Aku juga berlatih lari di atas atap bangunan yang jauh dari ruangtidur. Ini aku lakukan untuk dapat mengendalikan diri sendiri dengan cepatjika api sedang berkobar (dalam keadaan penuh amarah). Ada beberapa orang yang memperhatikan aku melakukan latihan ini dan mereka melaporkan dan mengatakan bahwa aku mungkin telah kerasukan setan. Ini terjadi sebelum aku berusia dua puluh tahun. Setelah itu aku memperkeras diri sendiri dengan pergi ke lapangan rumput pada hari-hari musim panas dan menembak burung dengan senapan, karena aku tidak punya seekor burung elang untuk berburu. Pada bulan-bulan musim dingin aku sering menghabiskan beberapa hari di gunung tanpa membawa pakaian tidur atau tempat tidur dengan selimut kapas bersamaku, dan hanya memakai jaket pelapis dari katun dan baju katun tipis. Keranjang kecil hampir dipenuhi dengan tempat tinta, kertas, dan buku milikku dan dua gulungan kimono sutra. Aku menginap satu malam di rumah mana saja Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
yang ku lewati dalam pengembaraanku. Dengan cara ini aku mendisiplinkan diriku sampai aku berusia tiga puluh tujuh atau tiga puluh delapan tahun dan menghindari menjadi gemuk. Aku sangat sadar akan kebutuhanku terhadap talenta (bakat) dan percaya aku tidak bisa berharap melakukan hal besar bagi negeriku, jadi aku memutuskan untuk melakukan yang terbaik sebagai seorang samurai biasa.” (Tsunoda, 1958:378-379) Dengan pernyataan ini Banzan menyatakan pentingnya seorang samurai tetap menjaga ketangkasan tubuh dan keahlian militernya, walaupun pada masa damai dan tidak ada peperangan memaksa samurai untuk lebih banyak melakukan kegiatan lain selain latihan militer. Sebagai kelas yang menduduki tempat tertinggi dalam strata sosial samurai lebih banyak bekerja sebagai pengelola pada tanah-tanah milik pribadi (shōen) daimyō atau pegawai yang dipekerjakan oleh daimyō maupun oleh shōgun. Namun menurut Banzan, samurai harus terus melatih dirinya sendiri agar negara tetap dalam keadaan siaga fisik menghadapi kemungkinan serangan bangsa asing, belajar dari pengalaman saat melawan Khubilai Khan. Sehubungan dengan hal itu, Banzan juga menegaskan perlunya mengembalikan sistem prajurit-petani yang pernah berlaku pada masa sebelumnya. Banzan mengatakan: “Ketika sistem lama prajurit-petani dikembalikan dan upeti hanya dibayar sepersepuluh dari yang berlaku selama ini, kekayaan akan tersebar secara luas dan hati rakyat akan dimenangkan. Ketika ini menjadi kebiasaan berbagi kekayaan dengan mereka yang membutuhkan dengan kemurahan hati, maka rakyat tidak akan kekurangan. Saat samurai menjadi prajurit-petani, semangat juang bangsa akan sangat diperkuat dan dengan keadaan ini patut disebut negara perang. Sejak samurai dan petani menjadi kelas yang terpisah, samurai telah menjadi sakit-sakitan dan kaki serta tangan mereka menjadi lemah. Tidak ada gunanya membanggakan semangat keberanian jika prajurit bermaiMelda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
mein saat menghadapi musuh atau jika dia mati karena penyakit. Pekerjanya berusia lebih muda dari level di bawahnya akan tidak menghormati samurai seperti ini dan akan berniat keluar dari tugasnya dalam waktu satu tahun. Ini pasti akan memperlemah kekuatan militer. Secara keseluruhan, seorang bangsawan dan ketentuan sosial yang abadi hanya bisa dibangun atas dasar samurai-petani. Kini saatnya mengembalikan sistem prajurit-petani dari masa lalu.” (Tsunoda, 1958:382-383) Masa di mana Banzan menyampaikan pandangannya ini adalah masa di mana ada perbedaan yang sangat jelas antara bushi dan petani. Bushi, yang melakukan tugas militer, hidup dengan damai dan mewah di kota kastil, walau terkadang didapati keadaan hidup mereka sulit, sementara petani dibebani pajak yang berat. Banzan bersikeras bahwa bushi seharusnya ditempatkan di antara petani dan bahwa pajak seharusnya dikumpulkan dari keduanya, yaitu petani dan bushi. Bersamaan dengan teori prajurit-petani dia juga menganjurkan modifikasi atau perubahan sistem sankinkōtai di mana daimyō datang pada shōgun pada periode yang tetap satu kali dalam tiga tahun dan tinggal di Edo hanya untuk lima puluh sampai enam puluh hari saja. (Honjo, 1939:11-12,17) Hal inilah yang akhirnya membawa Banzan pada keadaan yang sangat sulit di mana dia ditawan di kastil Koga hingga kematiannya.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Pada awalnya ajaran Konfusianisme yang disebarkan oleh Konfusius tidak mendapatkan tempat di kalangan penguasa, karena dianggap tidak cocok bagi pemerintahan saat itu, Dinasti Chou di Cina, yang lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada kepentingan rakyat. Justru masyarakat dari kalangan bawah yang tertarik untuk mempelajari Konfusius. Namun setelah mendapatkan gelar resmi sebagai filsafat negara Cina pada Dinasti Han, filosofi ini mulai dipelajari oleh para penguasa, juga bagi para cendekiawan yang ingin masuk menjadi pegawai negeri, karena untuk bisa menjadi pegawai negeri di Cina — bahkan hingga saat ini — harus lulus ujian Konfusianisme. Pada masa Tokugawa Jepang ajaran Konfusianisme dipelajari hanya oleh kalangan atas, terkhusus bushi. Hal ini yang menyebabkan
rezim Tokugawa bisa
bertahan dua abad lebih di Jepang. Lapisan masyarakat di bawah bushi tidak mendapat kesempatan untuk mempelajarinya, kalaupun ingin, mereka tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu karena disibukkan dengan tugasnya mengolah lahan pertanian (petani), menghasilkan bahan-bahan kerajinan (tukang), dan mencari untung dengan barang dagangannya (pedagang). Konfusianisme menekankan hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan dengan lima kebajikan (gojō) yang terdapat di dalamnya. Seorang penguasa tidak seharusnya memerintah dengan tangan besi, tetapi dengan terlebih dahulu menunjukkan teladan moralnya sehingga rakyat pun akan menjadi rakyat yang baik secara moral. Begitulah yang diajarkan oleh Konfusius juga Mensius. Namun tidak demikian yang terjadi pada masa Tokugawa. Dengan kesulitan ekonomi Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pada masa itu, masyarakat kelas bawah yang paling dirugikan bahkan dimanfaatkan oleh kelas atas di mana mereka seharusnya dilindungi oleh kelas atas. Mereka diharuskan membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah, terkhusus petani (nōmin). Ajaran Banzan banyak mendukung hak-hak bagi masyarakat kelas bawah seperti halnya bagi masyarakat kelas atas, sedikit berbeda dengan Razan yang kurang memperhatikan kondisi masyarakat kelas bawah. Konfusius mengajarkan tentang pentingnya seseorang menduduki jabatan tertentu termasuk dalam pemerintahan berdasarkan prestasi dan jasanya, seperti yang juga diajarkan oleh cendekiawan Konfusian di Jepang. Namun yang terjadi di Jepang pada masa itu adalah dalam pemberian jabatan tertentu, termasuk jabatan dalam pemerintahan, dilakukan secara turun-temurun. Ajaran Konfusianisme di Cina menjadi sebuah agama resmi sejak Dinasti Han. Tetapi pada jaman Edo, walau Konfusianisme berkembang sangat pesat dan menjadi filosofi resmi, Konfusianisme hanya menjadi sebuah etika moral bukan aliran kepercayaan atau agama. Namun khusus pada masa pemerintahan Tsunayoshi (16461709), yaitu pada tahun 1680-1709, Konfusianisme menjadi ajaran yang paling utama harus dikenal dan didalami oleh kalangan atas melebihi tahun-tahun sebelum dan sesudahnya karena Tsunayoshi sendiri adalah pengikut Konfusianisme yang taat. Pengaruh terbesar ajaran Konfusianisme yang masih terasa bahkan hingga Jepang dewasa ini adalah kebudayaan sempai-kōhai yang berasal dari lima hubungan dasar manusia (gorin) menurut Konfusius, yaitu antara atasan dan bawahan, suami dan istri, ayah dan anak, kakak dan adik, serta sesama teman. Lima hubungan dasar manusia ini diterapkan dengan lima kebajikan (gojō), yaitu kebaikan (jin), kebenaran (shin), kesantunan (rei), kesetiaan (gi), dan kebijakan (chi). Perasaan kesetiaan bangsa Jepang yang kuat terhadap keluarga, perusahaan tempat mereka bekerja (karyawan yang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
bekerja di perusahaan yang mempekerjakannya sampai dia meninggal), negara sebagai tanah air mereka adalah warisan Konfusianisme. Mengakarnya sistem pendidikan yang kokoh di Jepang juga merupakan warisan Konfusianisme karena pendidikan mulai dianggap penting sejak Konfusianisme menyebar dengan luas melalui bidang pendidikan pada jaman Edo, walau yang mempelajarinya pada masa itu terbatas pada kelas bushi. Tetapi sebenarnya banyak cendekiawan Konfusius dari berbagai aliran yang membangun sekolah pribadi dan menerima murid-murid baik dari kalangan bushi maupun rakyat biasa, untuk mengajari mereka tentang Konfusianisme.
4.2 Saran Bangsa Jepang adalah salah satu bangsa yang tetap menjaga warisan leluhurnya bahkan sampai di jaman modern dewasa ini. Mereka juga menghormati dan menjalin hubungan yang baik dengan bangsa Cina yang banyak memberikan kontribusi dalam kebudayaan asli mereka, khususnya dalam hal ini adalah ajaran Konfusianisme. Sebagai kaum intelektual, kita juga perlu menjaga warisan kebudayaan asli yang telah diwariskan oleh para leluhur kita walau kini jaman semakin maju dan banyak tradisitradisi yang mulai ditinggalkan. Dengan mempelajari budaya bangsa asing, kita bisa belajar juga mempertahankan budaya asli bangsa kita. Kesetiaan bangsa Jepang terhadap keluarga dan bangsa perlu kita tiru, di mana pun mereka berada mereka tetap ingat tanggung jawabnya terhadap keluarga juga terhadap bangsa dan negaranya. Orangtua terhadap anak-anak ketika anak-anak mereka belum bisa berdikari, anak-anak terhadap orangtuanya ketika orangtuanya berusia lanjut. Sebagai mahasiswa kita juga harus setia terhadap keluarga dan bangsa kita. Bila suatu hari nanti kita selesai menuntut ilmu di perguruan tinggi dan meraih sukses di Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
dunia kerja, kita tidak melupakan kedua orangtua atau keluarga yang telah membantu keberhasilan kita. Suatu hari nanti mereka tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri maka giliran kita yang membantu mereka semampu kita. Serta ilmu yang kita geluti perlu kita tekuni dengan sungguh-sungguh dan kita amalkan untuk turut dalam membangun bangsa. Pendidikan dianggap sangat penting di Jepang, semua orang diwajibkan untuk sekolah dan sekolah wajib ini gratis dari pemerintah. Walau di Indonesia pendidikan masih mahal, kita perlu menekankan pentingnya pendidikan bagi setiap orang tanpa membedakan perempuan atau laki-laki, kaya atau miskin, tua atau muda. Adanya program-program beasiswa dari perusahaan yang bonafit bisa kita anjurkan bila ada orang-orang yang kurang mampu tapi punya tekad kuat untuk belajar di lembaga pendidikan formal. Bagi kita yang punya kesempatan untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, kita harus mensyukurinya dan berusaha sebaik mungkin dalam menuntut ilmu karena apa yang kita dapatkan tidak sia-sia. Kita bisa menggunakannya untuk mengembangkan kebudayaan bangsa kita sendiri dengan belajar mengenai budaya bangsa asing.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Daftar Pustaka
1983. Kodansha Encyclopedia of Japan Book 3. Tokyo: Kodansha Ltd. Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beasley, W. G. 2003. Pengalaman Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Carmody, Dennis Lardner dan John Tully Carmody. 2000. Jejak Rohani Sang Guru Suci: Memahami Spritualitas Buddha, Konfusius, Yesus, Muhammad. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Cremers, Agus. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta: PT Kanisuis. De Mente, Boye Lafayette. 1991. Etiket dan Etika Bisnis dengan Orang Cina. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Earhart, H. Byron. 1982. Japanese Religion: Unity and Diversity. Third Edition. California: Wadsworth Publishing Company. Hane, Mikiso. 1991. Premodern Japan: A Historical Survey. USA: Westview Press. Ishii, Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta: Yayasan Karti Sarana dan PT Gramedia. Harahap, Syahrin. 1994. Sejarah Agama-agama. Medan: PT Pustaka Widyasarana. Honjo, Eijiro. 1939. Economic Review: Memoirs of the Department of Ecomics in Imperial University of Kyoto. Volume XV. Japan: The Department of Economics in the Imperial University of Kyoto. (http://www.econ.kyotou.ac.jp/review/10000175.pdf) Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Kitagawa, Joseph M. 1966. Religion in Japanese History. New York: Colombia University Press. Mathar, Moch. Qasim. 2003. Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-agama. Yogyakarta: Dian/Interfidei. Prasetya, Joko Tri. 1998. Ilmu Budaya Dasar (MKDU). Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Simpkins, C. Alexander dan Annelen M. Simpkins. 2000. Simple Confucianism: Tuntunan Hidup Luhur. Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer. Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Jakarta: Penerbit UI Pustaka Bradjaguna. Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali. Takwin, Bagus. 2001. Filsafat Timur. Yogyakarta: Jalasutra. Tsunoda, Ryusaku. 1958. Source of Japanese Tradition vol. II. New York: Columbia University Press. http://wikipedia.com http://www.mext.go.jp/b_menu/hakusho/html
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009