BAB IV PEMBERONTAKAN PETANI KRISTEN JEPANG PADA MASA SHOGUN TOKUGAWA
4.1 Kondisi Masyarakat Pada Masa Tokugawa Masa Tokugawa sering dikatakan sebagai masa kematangan feodalisme militer Jepang. Kematangan feodalisme ini ditandai dengan pengontrolan terhadap masyarakat yang semakin mantap oleh rezim penguasa, baik dalam bidang ekonomi, budaya, seni, pendidikan, pemikiran, maupun dalam bidang sosial. Dalam bidang sosial, pengontrolan terhadap masyarakat Jepang pada masa Tokugawa dapat dilihat dari struktur masyarakat yang berpijak pada perbedaan kelas yang ditegakan dengan tegas, antara kelas atas yang terdiri dari sebagian besar kaum samurai dan kelas bawah yang terdiri dari orang biasa atau hoimin yang merupakan kelas petani, pertukangan dan pedagang. Tujuan dibentuknya perbedaan kelas sosial di Jepang pada masa Tokugawa adalah untuk mewujudkan stabilitas politik (Beasley, 2003 : 194). Hal ini mengandung arti, yaitu: 1. Untuk mempertahankan kekuasaan Tokugawa 2. Untuk mencegah munculnya kembali kekacauan masyarakat yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat Jepang pada masa lalu, yakni kekacauan yang terjadi karena peperangan antar daimyo. Masyarakat Jepang pada masa pemerintahan Tokugawa diklasifikasikan menurut ajaran Confucianisme. Ajaran ini menekankan hubungan sebaik-baiknya
29
antara pemerintah dengan rakyat, oleh karena itu ajaran ini sangat tepat untuk dijadikan sebagai filsafat negara dan dipakai membina kesetiaan dan kepatuhan rakyat kepada pemerintah. Secara keseluruhan masyarakat pada masa pemerintahan Tokugawa dibagi menjadi empat golongan masyarakat yang berdasarkan pada ajaran Confusianisme tersebut, yakni Shi (Bushi) merupakan golongan militer, No (Nomin) golongan petani, Ko (Shokuin) golongan pekerja, dan Sho (Shonin) golongan pedagang. Orang yang tidak termasuk dalam salah satu golongan disebut Eta dan statusnya dalam masyarakat sama dengan paria (Nurhayati, Yeti 1987: 27). Jika digambarkan dalam bentuk piramida penduduk maka klasifikasi masyarakat Jepang pada masa Tokugawa adalah sebagai berikut :
Gambar 1.1 Piramida penduduk pada masa Tokugawa 4.1.1
Shi (Bushi) Shi merupakan golongan militer dengan persentase adalah 6% dari jumlah
penduduk. Shi merupakan golongan yang terkuat dan tertinggi dari ke empat golongan masyarakat lainnya. .
30
Golongan militer dibagi ke dalam tiga bagian, yakni: 4.1.1.1 Shogun Shogun merupakan tuan tanah feodal yang mencapai status tertinggi dalam pemerintahan pusat (Bakufu) meskipun dari segi kekuasaan resmi, kekaisaran lebih tinggi daripada shogun. Sebagai tuan tanah feodal, shogun memiliki tanah yang sangat luas yaitu lebih dari 4.000.000 koku (1 koku setara 180 liter beras), yang menghasilkan pendapatan tahunan sekitar 1/3 dari luas tanahnya. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, shogun memiliki kekuasaan untuk mengontrol Han (provinsi feodal yang dikepalai oleh Hansu/daimyo) dan wilayahwilayah subur yang secara ekonomis dan politis merupakan wilayah penyangga (bupper-stats). Shogun memiliki peranan yang sangat menentukan dalam segala bidang kehidupan masyarakat termasuk kehidupan petani, daimyo, bahkan kaisar sendiri. Contoh peran shogun dalam kehidupan masyarakat biasa (Hoimin) dapat dilihat dari kebijakannya antara lain penentuan pajak, melarang perkawinan antar kelas, perpindahan pekerjaan dan tempat tinggal (kelas petani harus berdomisili di desadesa, kelas militer di ibukota atau kota-kota daerah, sedangkan kelas tukang atau pedagang dapat berdomisili di kota maupun di desa sesuai dengan fungsi mereka sebagai penjual dan perantara). Peran shogun dalam kehidupan daimyo dapat dilihat dari kebijakankebijakannya. Bagi daimyo Fudai yang merupakan sekutu Tokugawa diberikan wilayah yang dekat dengan pusat kekuasaan seperti di bagian Jepang tengah dan Jepang timur, sedangkan daimyo Tozama yang bukan sekutu Tokugawa diberikan
31
wilayah kekuasaan yang jauh letaknya dari pusat kekuasaan seperti di bagian Jepang barat daya (Shikoku dan Kyushu) dan di Jepang bagian timur laut. Untuk memperkecil kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh para daimyo, maka shogun memberlakukan kebijakan Sankin Kotai dan Buke Shohatto (Beasley 2003 : xix). Sankin Kotai adalah kebijakan yang berisi kewajiban melaksanakan tugas di ibukota bagi para daimyo setiap tahun secara bergantian, hal ini dilakukan sebagai salah satu cara mencegah terjadinya konspirasi politik antar daimyo di daerah-daerah. Ketika para daimyo bertugas kembali ke daerahnya, anak dan istrinya diwajibkan menetap di Edo sebagai “tahanan politik”. Kebijakan kedua yang diterapkan Shogun bagi para daimyo adalah Buke Shohatto. Kebijakan ini berisi larangan bagi para daimyo untuk memperkuat benteng, memperluas wilayah, memodernkan senjata dan memperkuat tentara di wilayahnya. Dengan adanya peraturan ini, daimyo mendapat pengawasan yang ketat dan memperkecil kemungkinan untuk menggulingkan pemerintahan pusat. Peran shogun dalam kehidupan kekaisaran, dapat dilihat dari adanya peraturan Kinchu Narabini Kuge Shuhatto yang berisi larangan bagi kaisar untuk terjun ke dalam politik praktis hal ini dimaksudkan agar para daimyo tidak dapat menggunakan lembaga kekaisaran sebagai alat untuk menjatuhkan pemerintah pusat atau Bakufu. Kegiatan kaisar dibatasi hanya dalam bidang kebudayaan dan seni seperti menulis puisi, dan kegiatan seremonial keagamaan. Hal ini dilakukan dengan maksud agar kharisma lembaga kekaisaran dapat tetap dijadikan sebagai “legitimasi politik” bagi Bakufu. Larangan perkawinan antar daimyo dengan
32
keluarga kaisar harus seizin Bakufu untuk menghindari “perkawinan politik” (Beasley 2003 : xix) Di samping itu, Bakufu menetapkan pula undang-undang untuk mengatur bangsawan istana. Undang-undang tersebut mengijinkan Bakufu untuk berperan dalam kegiatan kaisar. Kaisar dan bangsawan istana diberikan penghasilan yang sesuai dengan kedudukan mereka tetapi tidak diberi tanah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh W. G Beasley (2003 : 194) sebagai berikut : … Edo memberikan bantuan dana kepada istana raja dalam jumlah yang terus meningkat, tetapi dalam abad ke 18 sumbangan dari Edo itu tidak lebih dari 120.000 koku, setara dengan nilai tanah milik tuan tanah feodal kelas menengah sekitar sepertiga dari sumbangan itu dibagikan adalah untuk istana raja. Sepertiga lagi dibagikan sebagai tunjangan kaum bangsawan. Bangsawan paling senior mendapat tunjangan sebesar antara 1.500 dan 3.000 koku Dengan melihat keadaan tersebut dapat diketahui bahwa dalam hal kepemilikan kekayaan, bangsawan istana setara dengan tuan tanah feodal (daimyo) kelas menengah, meskipun dalam stratifikasi sosial bangsawan istana jauh lebih tinggi dari kelas tuan tanah.
4.1.1.2 Daimyo Daimyo merupakan tuan tanah feodal yang menempati kelas menengah dalam istana raja. Dilihat dari kepemilikan tanah, daimyo dibagi ke dalam tiga status, yakni: -
Daimyo kelas atas, yaitu daimyo yang memiliki luas tanah mencapai luas 300.000 koku atau lebih
33
-
Daimyo kelas menengah, yaitu daimyo yang memiliki tanah sekitar 100.000 koku
-
Daimyo kelas rendah, yaitu daimyo yang memiliki tanah di bawah 100.000 10.000 koku. Seorang tuan tanah feodal agar dapat memperoleh gelar daimyo harus
memiliki tanah sebagai vasal yang menghasilkan sekitar 10.000 koku. (Beasley, 2003 : 194) Dilihat dari keterkaitannya dengan shogun, daimyo dibagi ke dalam tiga bagian, antara lain: -
Daimyo Shinpan, yakni daimyo yang berasal dari keturunan keluarga Tokugawa
-
Daimyo Fudai, yakni daimyo yang merupakan vasal dari shogun yang biasanya menduduki jabatan dalam pemerintahan
-
Daimyo Tozama, adalah daimyo yang biasanya lebih bebas dan memiliki tanah yang lebih luas, tetapi tidak diizinkan memiliki jabatan dalam pemerintahan. (Nurhayati, 1987 : 38) Pada masa Shogun Tokugawa, daimyo memiliki kekuasaan yang terbatas.
Hal itu dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh Shogun seperti Sankin Kotai dan Buke Shohatto yang digunakan agar para daimyo dapat memegang teguh kesetiaan dan kepatuhan terhadap Shogun, dan mengurangi kemungkinan
terjadinya
penggulingan
kekuasaan
oleh
daimyo.
Selain
kekuasaannya dibatasi, para daimyo juga diawasi dengan ketat oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh, jika seorang daimyo terlalu kaya dan dianggap akan
34
membahayakan pemerintah pusat maka ia diperintahkan untuk membiayai pekerjaan-pekerjaan umum. Di wilayah kekuasaan daimyo ditempatkan para pegawai Bakufu yang melakukan pekerjaan sebagai mata-mata atau sensor (metsuko) dan dalam waktu tertentu mereka mengirimkan laporan-laporan mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para daimyo.
4.1.1.3 Samurai Samurai merupakan anggota kelas militer dalam sistem feodal yang biasanya menjadi bawahan tuan tanah atau daimyo. Dilihat dari pangkat dan statusnya, samurai dibagi ke dalam tiga kelas, yakni: -
Samurai kelas atas, yakni samurai yang tugasnya berkaitan langsung dengan atasannya (tuan tanah), seperti mendampingi atasannya baik di pusat (Edo) maupun di kota benteng atasan mereka.
-
Samurai kelas menengah, yaitu samurai yang menjalankan tugas membawa panji-panji (Hatamoto). Biasanya samurai pada kelas ini memiliki tugas untuk mendampingi atasannya dalam upacara.
-
Samurai kelas bawah, Samurai pada kelas ini biasa disebut juga Gokenin yakni samurai yang bertugas sebagai pelayan rumah, pengantar surat dan juru tulis. (Beasley, 2003 : 352)
35
4.1.2
No (Nomin) atau golongan petani Petani merupakan golongan terbesar dan tingkatannya berada langsung di
bawah bushi, tetapi karena dibebani pajak yang tinggi mereka menjadi kelas yang paling rendah tingkat kehidupannya. Hasil pertanian biasanya digunakan untuk kebutuhan ekonomi petani sendiri, jarang ada hasil pertanian yang dijual atau ditukarkan dengan barang lain, meskipun ada barang-barang yang dijual atau ditukarkan hanya berupa barangbarang yang tidak dihasilkan oleh petani seperti garam, besi (untuk alat-alat pertanian) dan kapuk (untuk pakaian). Selain digunakan untuk kebutuhan petani sendiri, hasil pertanian biasanya digunakan juga untuk pajak. Pajak yang dibayarkan petani kepada pemerintah pusat atau Bakufu biasanya 30 sampai 35 %, sedangkan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah daerah atau Han rata-rata hampir 40%. Dalam teorinya para petani memiliki kedudukan masyarakat yang lebih tinggi dari pada kelas pedagang dan pekerja, tetapi mereka sendiri sangat menderita karena diwajibkan membayar pajak yang sangat tinggi. Bahkan ada satu semboyan yang ditujukan bagi para petani yakni “Bagi para petani, jangan diberi baik kehidupan maupun kematian” (Mattulada, 1979 : 119). Maksudnya petani harus ditempatkan sebagai golongan masyarakat yang hanya wajib berproduksi dan membayar pajak Dari keadaan di atas dapat diketahui bahwa beban yang dikenakan pada petani sangat berat terutama dalam pajak, sehingga sedikit sekali kesempatan bagi
36
petani untuk memperbaiki kehidupannya. Keadaan inilah yang menjadi salah satu faktor muculnya pemberontakan Shimabara.
4.1.3
Ko (Shokuin) atau golongan pekerja Golongan Shokuin terdiri dari orang-orang kota yang bermata pencaharian
sebagai buruh. Golongan ini memiliki kebebasan memilih tempat tinggal. Hal ini mengandung arti bahwa golongan ini dapat tinggal di mana saja baik di perkotaan maupun di pedesaan. Tidak seperti golongan petani yang diwajibkan berdomisili di desa maupun kelas militer yang militer yang berdomisili di ibu kota atau kotakota daerah.
4.1.4
Sho (Shonin) atau golongan pedagang Golongan Shonin terdiri dari orang-orang kota yang bermata pencaharian
sebagai pedagang. Meskipun tingkat kedudukannya berada di bawah petani, namun karena pertumbuhan dan kemajuan ekonomi mereka menjadi kaya dan kedudukannya menjadi kuat. Sama halnya dengan golongan Shokuin, golongan ini dapat tinggal di mana saja baik di kota maupun di desa sesuai dengan fungsi nya sebagai penjual dan perantara. Tokugawa merupakan tuan tanah feodal yang menjadi penguasa pemerintahan militer dari tahun 1603. Pada masa pemerintahannya, Tokugawa berhasil mengontrol sistem kehidupan masyarakat Jepang baik dalam bidang politik, sosial, budaya, hukum maupun ekonomi. Dalam bidang sosial, Tokugawa berhasil mengontrol masyarakat dengan membuat suatu penggolongan kelas yang
37
berdasarkan profesi dan pekerjaan yang ada dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadikan feodalisme pada masa Tokugawa semakin matang. Pemulihan perdamaian pada abad ke-17 telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perekonomian Jepang, seperti meningkatnya hasil pertanian, bertambahnya jenis-jenis tanaman, adanya surplus yang diperoleh dari perdagangan dalam negeri, berkembangnya kota-kota dan semakin baiknya pengangkutan dan komunikasi sehingga barang-barang yang berasal dari daerahdaerah terpencil dapat diperoleh di kota-kota berpenduduk. Adanya pertumbuhan ekonomi di Jepang menimbulkan kuatnya kelas sosial pedagang dan pekerja yang mengakibatkan pengaburan garis-garis batas sosial serta munculnya perbedaan tajam dalam kekayaan antar kelompok-kelompok masyarakat. Pada awalnya kekayaan dapat dilihat dari kepemilikan tanah pribadi. Setelah pertumbuhan dan perkembangan perekonomian, kekayaan juga dapat dilihat dari hasil berdagang. Kekayaan semacam ini terjadi pada golongan Shonin atau golongan pedagang.
Dengan adanya kekayaan yang dilihat dari hasil
perdagangan maka secara tidak langsung terjadi perubahan sosial dalam golongan Shonin. Bahkan terjadi perkawinan dan pengangkatan golongan pedagang kaya menjadi bagian dari keluarga samurai. Keadaan ini pada akhirnya mengaburkan garis-garis batas status sosial. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran adat kebiasaan yang mengaburkan sistem feodalisme Jepang yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Tokugawa.
38
4.2
Kontak Awal Bangsa Eropa ke Jepang Kontak awal antara Jepang dengan orang-orang Barat tidak terlepas dari
adanya peristiwa yang terjadi di Eropa, salah satunya adalah penjelajahan Portugis. Penjelajahan tersebut secara tidak langsung telah membawa perkenalan awal dengan Jepang. Kontak awal antara Portugis dengan Jepang terjadi secara tidak sengaja. Tiga buah kapal Portugis mendapatkan kerusakan karena terhantam badai di Laut Jepang. Hal tersebut mengakibatkan mereka terpaksa singgah di pulau Tanegashima pada tahun 1543. Peristiwa inilah yang menjadikan orang Jepang mendapat kontak dengan orang asing terutama dengan orang Portugis. Pada perkembangan selanjutnya hubungan antara Jepang dengan Portugis berkembang menjadi hubungan perdagangan. Hubungan perdagangan yang terjalin antara Jepang dengan Portugis tidak terlepas dari adanya keterkaitan Portugis dengan Cina. Pada awalnya pola perdagangan antara Portugis dengan Jepang tidak teratur, akan tetapi setelah Cina mengizinkan Portugis mendirikan pemukiman di Macau pada tahun 1557 dan salah seorang tuan tanah feodal Jepang menempatkan Nagasaki di bawah yuridiksi Jesuit pada tahun 1571 maka pola hubungan perdagangan yang terjalin antara Portugis dengan Jepang menjadi lebih teratur. Setelah pola perdagangan yang teratur telah terbentuk, Macau dan Nagasaki menjadi terminal perdagangan tetap antara Cina, Jepang dengan Portugis. Barang-barang dari Portugis yang diperdagangkan antara lain gula dan senjata api. Dari Cina, barang-barang yang diperjual belikan adalah kapuk dan
39
sutra, sedangkan barang-barang dari Jepang yang diperjualbelikan adalah kapur barus, tembaga, perak dan benda-benda seni. Perdagangan luar negeri Jepang tidak hanya sebatas dengan bangsa Portugis saja, akan tetapi bangsa Barat lainnya yang melakukan hubungan perdagangan dengan Jepang adalah Spanyol. Hubungan perdagangan ini terjalin setelah Spanyol menguasai Manila, Filipina pada tahun 1571. Bangsa Barat ketiga yang melakukan hubungan perdagangan dengan Jepang adalah Belanda yang merupakan pesaing bangsa Portugis di seluruh perairan Asia. Hubungan antara Jepang dengan Belanda terjadi pada tahun 1600. Hubungan kedua negara tersebut terjalin dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari perlakukan khusus pemerintah Jepang terhadap dua awak kapal Belanda yang bernama Williams Adam dan Jan Joosten. Perlakuan khusus tersebut diperlihatkan dalam bentuk pengangkatan mereka sebagai penasehat untuk urusan luar negeri. Keberhasilan Belanda menjalin hubungan dengan Jepang dapat dilihat dari pendirian kantor perdagangan Belanda di Hirado (sebelah Barat Laut Kyushu) pada tahun 1609. Bangsa Barat lain yang berusaha melakukan hubungan perdagangan dengan Jepang adalah Inggris, akan tetapi hubungan ini mengalami kegagalan. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut : -
Pada masa itu Inggris belum memiliki hubungan langsung dengan pelabuhan Cina. Tidak seperti bangsa Spanyol yang menggunakan pedagang Cina di Manila maupun bangsa Belanda yang menggunakan pedagang Cina di Indonesia terutama di Batavia (Jakarta). Kedua negara tersebut menggunakan
40
pedagang Cina yang berada di wilayah jajahannya untuk melakukan hubungan perdagangan dengan Jepang. -
Kegagalan Inggris dalam melakukan hubungan perdagangan dengan Jepang disebabkan oleh adanya persaingan oleh orang Belanda. Orang Inggris mengundurkan diri dari Jepang pada tahun 1623. Dalam melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang asing,
pemerintah Jepang mengeluarkan surat izin yang bersegel merah (shuinjo) yang diberikan kepada pedagang Jepang sebagai izin resmi untuk pergi keluar negeri. Shuinjo ini pun diberikan kepada para pedagang asing yang masuk ke pelabuhan Jepang untuk berdagang. Kedatangan bangsa Barat tersebut telah memberikan pengetahuan yang baru kepada orang Jepang yakni pengetahuan mengenai senjata api, ilmu hitung artileri, praktik navigasi, kartografi, teknik menambang dan membuat benteng pertahanan. Selain itu hubungan dengan bangsa Barat telah memberikan pengetahuan yang baru mengenai barang-barang milik orang-orang Eropa seperti tembakau, sabun, kancing, baju, berbagai model topi, berbagai macam pakaian dan bahan pakaian (pakaian dalam, mantel hujan, beludru, bakal baju berenda dan lain-lain). Salah satu barang yang dianggap paling menarik bagi orang Jepang adalah senjata api. Senjata tersebut telah mendapatkan sambutan hangat di kalangan orang-orang Jepang yang pada saat itu tengah berada dalam perang saudara terutama para daimyo. Penggunaan senjata api telah mendatangkan perubahan yang besar dalam bidang militer Jepang
41
Hubungan perdagangan antara bangsa Barat terutama Portugis dengan Jepang diikuti dengan penyebaran agama Kristen Katolik. Hubungan perdagangan ini mendorong perluasan agama Kristen di kalangan masyarakat Jepang. Agama tersebut dibawa oleh saudagar-saudagar asing yang tidak hanya berdagang melainkan juga menyebarkan agama Kristen dengan perdagangan sebagai alatnya. Tujuh tahun setelah orang Portugis tiba di Jepang, tepatnya pada tahun 1594 seorang pendeta Jetsuit yang bernama Franciscus Xavierus tiba di Kagoshima, wilayah Kyushu bagian Selatan dengan maksud menyebarkan agama Kristen di Jepang. Dalam usahanya untuk menyebarkan agama tersebut dia mengunjungi beberapa daerah antara lain Hirado, Yamaguchi dan Oita. Usaha Franciscus Xavierus ini mendapat banyak kemajuan terutama di Kyushu. Di sini banyak orang Jepang dibaptis menjadi penganut agama Kristen. Alasan yang menyebabkan agama Kristen mampu diterima oleh masyarakat Jepang adalah pengaruh para pendeta Jesuit dalam perdagangan. Masyarakat Jepang terutama para daimyo melihat orang-orang Portugis sangat menghormati pendeta Jetsuit. Mereka berpendapat bahwa dengan menunjukan toleransi atau memberikan kemudahan kepada para pendeta dalam menyebarkan agama Kristen merupakan salah satu cara untuk menarik kapal-kapal asing terutama Eropa untuk berkunjung ke pelabuhan-pelabuhan yang ada di Jepang. Salah satu contohnya adalah Nagasaki yang menjadi pelabuhan tetap bagi perdagangan setelah perlakuan baik daimyo Omura Sumitada kepada pendeta Jetsuit.
42
Faktor lain yang menjadikan Kristen mampu diterima oleh masyarakat Jepang dapat dilihat dari kemampuan missionarisnya itu sendiri. Para pendeta Jesuit adalah orang-orang yang berpengetahuan. Pengetahuan mereka tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama saja tetapi juga mencakup pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi termasuk ilmu persenjataan. Pengetahuan yang dimiliki oleh pendeta Jesuit inilah yang menjadikan hubungan baik dengan masyarakat Jepang terutama para daimyo. Pada tahun 1563 para missionaris berhasil mengajak Omura Sumitada (daimyo dari bagian Hizen) menjadi penganut agama Kristen. Ia mengizinkan penyebar agama itu tinggal di Nagasaki pada tahun 1571 dan mengeluarkan perintah mewajibkan seluruh penduduk di wilayahnya untuk menjadi penganut Kristen pada tahun 1574. Agama Kristen mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari masuknya daimyo Otomo Yoshishige dan daimyo Arima Harunobu menjadi penganut agama Kristen. Kedua daimyo tersebut kemudian mewajibkan penduduk yang ada di bawah kekuasaan mereka masing-masing untuk masuk ke dalam agama Kristen. Hal inilah yang menjadikan penganut agama Kristen naik menjadi 150.000. Angka ini menjadi dua kali lipat pada tahun 1600. Pada tahun 1582 para daimyo Kristen di Kyushu yaitu Omura Sumitada, Otomo Yoshishige dan Arima Harunobu mengutus empat orang pemuda ke Vatikan di Roma. Di Vatikan mereka diterima dalam audensi resmi dengan Paus Gregorius XIII. Adanya utusan dari Jepang ke Vatikan dan diterimanya utusan
43
tersebut oleh Paus Gregorius menunjukan telah terjalin suatu bentuk hubungan yang baik antara masyarakat Jepang dengan orang orang Eropa. Pada awalnya Toyotomi Hideyoshi (yang berperan sebagai pemimpin Jepang sebelum keluarga Tokugawa) melihat Kristen bukanlah suatu ancaman yang besar bagi negara Jepang. Bahkan ia pernah dibantu oleh daimyo Konishi Yukinaga (seorang daimyo yang beragama Kristen) pada saat terjadi perang Jepang-Korea pada tahun 1590. Melihat perkembangan agama Kristen yang begitu pesat, Hideyoshi Toyotomi mulai merasa khawatir karena ajaran tersebut sangat bertolak belakang dengan sistem masyarakat feodal yang sedang berlangsung di Jepang. Hideyoshi Toyotomi sadar akan bahaya politik yang ditimbulkan oleh ajaran tersebut telah menimbulkan perpecahan di antara rakyat dan melemahkan kesetiaan rakyat terhadap pemimpin-pemimpin negara. Karena itu ia mulai mengambil tindakan untuk menekan penyebaran agama tersebut Ada beberapa alasan lain Hideyoshi Toyotomi mulai melakukan tindakan untuk menekan ajaran Kristen, antara lain : -
Adanya pertikaian antara pendeta dari berbagai kumpulan yakni Jesuit, Dominikan, Agustustinian, dan Franciskan. Pada tahun 1582 Paus sebagai pimpinan tertinggi dalam Kristen Katolik mengambil ketetapan bahwa hanya pendeta dari Jesuitlah yang boleh memajukan agama Kristen di Jepang, akan tetapi secara sembunyi-sembunyi, para pendeta dari perkumpulan lain juga melakukan penyebaran agama. Perselisihan yang terjadi antara para pendeta dan pengikutnya menambah kerusuhan dalam negeri Jepang.
44
-
Dengan melihat contoh yang terjadi di Filipina, Hideyoshi memiliki kecurigaan terhadap para missionaris. Ia memandang bahwa orang-orang dari missi agama tersebut adalah pelopor dari penaklukan Jepang oleh Barat. Hal itu diketahui dari seorang nahkoda kapal Spanyol yang yang terdampar di pantai Jepang yang mengatakan bahwa orang-orang Barat akan menaklukan Jepang
-
Adanya campur tangan para pendeta Jesuit dalam kehidupan politik di Nagasaki dan merasa tersinggung oleh sikap tidak tolerannya kaum Jesuit terhadap agama-agama lain. Hideyoshi Toyotomi menganggap bahwa tidak saja agama mereka agama asing demikian keyakinan dia, dari asal muasal dan sisi hakekat tetapi juga kesetiaan mereka diberikan kepada seorang penguasa asing Paus di Roma. Semua alasan tersebut tampaknya sudah cukup untuk menerapkan
pengendalian yang lebih ketat terhadap para penyebar agama tersebut. Pada tanggal 24 Juli 1587 Hideyoshi mengeluarkan keputusan memerintahkan pendeta Kristen meninggalkan Jepang. Isi dari keputusan tersebut diawali dengan katakata “Jepang adalah tanah dewa-dewa (Kami)”. Kata-kata selanjutnya langsung menuduh para pendeta tersebut sebagai “penghasut lapisan masyarakat bawah” untuk melanggar hukum (Beasley, 2003 :187). Maksud dari “penghasut lapisan masyarakat bawah” adalah ajakan kepada masyarakat Jepang terutama kalangan bawah untuk mengikuti ajaran Kristen yang bertolak belakang dari norma dan aturan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kepatuhan dan ketaatan masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat Jepang adalah norma yang
45
berdasarkan pada Confucianisme yang mengajarkan ketaatan dan kepatuhan kepada pemimpin negara yakni Shogun, akan tetapi dalam ajaran Kristen kepatuhan dan ketaatan harus ditujukan kepada Paus sebagai pemimpin besar agama Kristen. Keputusan lain yang dikeluarkan Hideyoshi adalah ia melarang pindah agama secara massal yang dilakukan atas perintah tuan tanah feodal (daimyo), karena hal ini dianggapnya dari sisi politik kegiatan subversif. Pindah agama harus dilakukan secara individu, atas izin dari wakil penguasa atau dari kepala rumah tangga. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Hideyoshi tidak diperhatikan oleh pendeta Dominikan dan Augustinian dari Manila. Pada tahun 1593 mereka datang ke Jepang dan yakin akan dilindungi oleh raja Spanyol mereka melakukan khutbah secara terbuka tanpa mempedulikan perintah dari Hideyoshi dan mengsampingkan cara-cara yang lebih halus seperti yang digunakan pendeta Jesuit. Hal tersebut menimbulkan kemarahan bagi Hideyoshi sehingga pada bulan Februari 1597 dua puluh enam penganut Kristen, termasuk tiga Jesuit dan enam Franciskan disalib di Nagasaki Tokugawa
Ieyasu
sebagai
pemimpin
Jepang
setelah
Hideyoshi
menganggap bahwa ajaran Kristen sebagai suatu ancaman bagi Jepang, sehingga pada tahun 1612 ia melakukan penindasan terhadap penganut ajaran tersebut. Bahkan kapal-kapal dagang asing yang telah mendapat izin pun dilarang masuk ke pelabuhan Jepang. Hal itu dilakukan untuk menghindari akibat-akibat yang akan merugikan pemerintah Jepang.
46
Pada tahun 1616 tindakan penindasan tersebut dipertegas oleh Tokugawa Hidetata sebagai pengganti Ieyasu. Ia melarang orang-orang Jepang pergi ke luar negeri maupun mengadakan hubungan dengan orang-orang Kristen. Sama halnya dengan Ieyasu dan Hidetata, Shogun Tokugawa ke tiga yakni Iemitsu lebih memperketat larangan bagi agama Kristen dengan cara menolak orang-orang Spanyol yang datang ke Jepang. Pada tahun 1633 keluar kebijakan dari Tokugawa Iemitsu yang berisi larangan untuk mengirimkan kapal-kapal dagang ke luar negeri dan orang-orang yang berada di luar negeri dilarang pulang ke Jepang. Tokugawa Ieyasu, Hidetata maupun Iemitsu, memiliki kebijakan yang sama terhadap penganut ajaran Kristen yakni menggunakan kebijakan yang keras untuk mencegah bahkan menghilangkan pengaruh agama Kristen di Jepang. Setelah keluarga Tokugawa berkuasa, ribuan pengikut agama Kristen termasuk para pendeta asing banyak mengalami penindasan, tekanan dan penyiksaan. Berbagai peraturan ditegakan oleh pemerintah Bakufu untuk membasmi semua jejak agama Kristen dalam kalangan rakyat, antara lain : -
Bakufu menetapkan peraturan yang berbunyi “barang siapa yang menemukan orang-orang Kristen yang bersembunyi akan diberi hadiah uang” (Takagi, 1981 : 151). Peraturan ini bertujuan untuk mencari orang-orang Kristen yang bersembunyi
-
Peraturan fumi-e yang bertujuan untuk menguji kesetiaan orang-orang yang dicurigai memeluk agama Kristen Dalam melaksanakan peraturan ini, masyarakat Jepang yang dicurigai pengikut ajaran Kristen diharuskan menginjak-injak
lukisan-lukisan
keagamaan
47
atau
simbol-simbol
yang
dianggap suci oleh mereka. Setiap orang yang menolak untuk melakukan ketentuan tersebut akan dibunuh. Peraturan ini dilakukan setiap tahun oleh penduduk kota Nagasaki yang dicurigai sebagai pusat agama Kristen. (Nurhayati, 1987 : 23) -
Peraturan lain yang dilakukan keluarga Tokugawa untuk menghilangkan pengaruh agama Kristen dalam masyarakat Jepang adalah mewajibkan seluruh masyarakat untuk menganut salah satu mahzab dari agama Budha yang sudah berkembang di Jepang dan mendaftarkan diri menjadi anggota kuil Budha. Penindasan-penindasan yang dilakukan oleh penguasa pada waktu itu
menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat Kristen sehingga pada tahun 1637-1638 mereka mengadakan pemberontakan di semenanjung Shimabara di Kyushu, pemberontakan ini dikenal dengan nama Pemberontakan Shimabara (Shimabara no Ran) sesuai dengan nama tempat kejadiannya.
4.3 Proses Pemberontakan Shimabara 4.3.1
Latar Belakang Pemberontakan Shimabara Pemberontakan Shimabara terjadi pada bulan Desember 1637 sampai
dengan April 1638 di Semenanjung Shimabara, Kyushu. Latar belakang pemberontakan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, masalah diskriminasi keagamaan khususnya agama Kristen, karena mayoritas peserta pemberontakan ini adalah orang-orang Jepang yang beragama Kristen terutama para petani dan ronin. Kedua, masalah pemberlakuan pajak yang sangat tinggi yang dibebankan kepada masyarakat kecil terutama petani.
48
Munculnya pemberontakan Shimabara karena adanya dua perbedaan kepentingan, seperti yang dikemukakan oleh Dahdendrof dalam teorinya yang dikenal dengan nama teori konflik. Menurut teori tersebut masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan (dominasi satu pihak atas pihak yang lain atas dasar paksaan) atau wewenang (dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi) yang dinamakannya “imperatively coordinated association” (asosiasi yang dikoordinasi secara paksa). Kepentingan kedua pihak dalam
asosiasi-asosiasi tersebut berbeda pihak, penguasa
berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan sedangkan kelompok yang dikuasai berkepentingan merebut kekuasaan maka asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok (Sunarto, 2000 : 230) Munculnya pemberontakan Shimabara juga diakibatkan oleh adanya keinginan masyarakat Jepang Kristen untuk mendapatkan kebebasan dan persamaan dalam segala bidang kehidupan terutama kebebasan dalam menjalankan ajaran agama. Harapan ini tidak sesuai dengan kenyataan bahkan sebaliknya kehidupan masyarakat Jepang Kristen ditekan oleh beban pajak yang tinggi dan penindasan oleh pihak penguasa. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya pemberontakan Shimabara sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Gurr dalam teorinya yang dikenal dengan nama Deprivasi Relative yakni masyarakat akan menjadi marah apabila terdapat jurang pemisah antara harapan-harapan yang dimilikinya terhadap sesuatu dengan kemampuan mereka untuk memenuhi atau mendapatkan sesuatu
49
yang diinginkan. Jurang pemisah ini telah melahirkan suatu kondisi yang disebut kekecewaan relative (Relative Deprivation). Dalam pemberontakan Shimabara, pelaku yang menjadi pihak penguasa adalah daimyo keluarga Matsukura dan Terazawa yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya yang dibentuk secara feodalisme. Cara-cara yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya adalah dengan menekan menyiksa dan menindas pihak yang dikuasainya yakni masyarakat Shimabara yang mayoritas petani dan beragama Kristen. Pihak kedua yang berperan sebagai pihak yang dikuasai adalah masyarakat di wilayah Shimabara dan pulau Amakusa. Pihak ini memiliki kepentingan untuk mendapatkan keadilan, kebebasan dan persamaan dalam segala bidang kehidupan terutama kebebasan dalam menjalankan kehidupan keagamaan. Adanya perbedaan dua kepentingan inilah yang menimbulkan pertentangan yang dilakukan dengan jalan kekerasan oleh pihak kedua yang dikenal dengan nama Pemberontakan Shimabara. Sebelum masa pemerintahan shogun Tokugawa, penduduk di wilayah Semenanjung Shimabara dan Pulau Amakusa telah beragama Kristen di bawah pimpinan daimyo Kristen yang bernama Konishi Yukinaga dan Arima Harunobu. Setelah adanya pelarangan agama Kristen di Jepang maka daimyo yang pro terhadap agama Kristen diganti dengan daimyo yang ditunjuk oleh Shogun Tokugawa yakni daimyo Matsukura Shigemasa sebagai penguasa Semenanjung Shimabara dan Hirotoka Katataka sebagai penguasa pulau Amakusa. Pada awalnya daimyo Shigemasa bersikap toleran terhadap orang-orang Kristen di Shimabara, namun pada perkembangan selanjutnya ia mulai menindas
50
mereka sebagai bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada shogun Tokugawa. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Matsukura Shigemasa dalam rangka mendapatkan perhatian dan penghargaan dari shogun adalah pengajuan proposal yang berisi rencana penyerbuan ke pulau Luzon, Filipina yang dianggap sebagai basis bangsa Barat untuk penyebaran agama Kristen di Jepang. Setelah proposal tersebut mendapat persetujuan ia segera melakukan persiapan dengan meminjam modal dari para pedagang di Sakai, Hirado dan Nagasaki untuk membiayai penyerbuan tersebut. (http://en.wikipedia.org/wiki/Matsukura_Shigemasa, 2007) Pada perkembangan selanjutnya penyerangan terhadap pulau Luzon tersebut dibatalkan oleh shogun dengan pertimbangan belum siap dan situasi di dalam negeri belum sepenuhnya stabil. Pembatalan tersebut mengakibatkan daimyo Shigemasa terjerat oleh hutang yang diakibatkan oleh peminjaman modal perang dari para pedagang Sakai, Hirado dan Nagasaki Daimyo Shigemasa meninggal dunia pada tahun 1630 dan digantikan oleh putranya yang bernama Matsukura Katsuie yang mewarisi hutang ayahnya. Untuk membayar hutang ayahnya serta membangun istana dan proyek-proyek konstruksi lain yang membutuhkan dana tidak sedikit, Matsukura Katsuie menaikan pajak kepada para penduduk dan menyiksanya bagi yang tidak mampu membayar. Masyarakat Shimabara khususnya para petani mengalami perlakuan yang tidak layak. Salah satu bentuk perlakuan tersebut diperlihatkan dalam bentuk pemberlakuan pajak yang sangat tinggi kepada para petani yang dipergunakan untuk kepentingan pribadi daimyo dan membangun istana Shimabara. Sepanjang pembangunan istana tersebut banyak orang yang menderita kelaparan dan
51
kematian. Jika ada orang yang tidak setuju terhadap kebijakan daimyo maka dia akan disiksa. Beberapa contoh siksaan tersebut antara lain memasukan badan yang telah ditelanjangi ke dalam kolam air panas di puncak gunung Unzen dan petani yang tidak mampu membayar pajak kepada penguasa, kedua tangannya akan diikat, dipakaikan baju yang terbuat dari jerami kemudian dibakar hidup-hidup (http://koreanhistoryproject.org/Ket/C14/E1404.htm, 2006) Penyiksaan dan penindasan terhadap masyarakat Jepang Kristen juga terjadi di pulau Amakusa, wilayah yang tidak jauh dari Shimabara. Penindasan dan penyiksaan terhadap petani dan ronin yang beragama Kristen dilakukan oleh keluarga Terazawa. Latar belakang penindasannya sama dengan yang terjadi di Shimabara yakni pajak yang tinggi dan penduduknya yang beragama Kristen Dengan adanya penderitaan yang sangat panjang seperti penindasan dalam hal
keagamaan,
kelaparan
yang
berkepanjangan,
ketidakadilan
dalam
pemberlakuan pajak dan siksaan yang berkelanjutan sampai akhirnya tekanan yang berada di luar batas toleransi mereka, maka timbullah pemberontakan Shimabara yang dipimpin oleh Amakusa Shiro sebagai bentuk perlawanan terhadap bentuk tirani yang dilakukan oleh penguasa setempat.
4.3.2
Amakusa Shiro : Pemimpin Pemberontakan Shimabara Pada bulan Desember 1637 orang-orang Jepang yang beragama Kristen
terutama para petani berjuang bersama menginginkan “kebebasan dan persamaan”. Peristiwa ini dikenal dengan nama Pemberontakan Shimabara sesuai dengan tempat kejadiannya di Semenanjung Shimabara.
52
Pemberontakan Shimabara dipimpin oleh Amakusa Shiro, seorang pemuda berusia sekitar 16 tahun. Nama asli Amakusa Shiro adalah Matsuda Shiro Tokisada, sedangkan nama Kristennya adalah Jeronimo. Ia lahir pada tahun 1622 di Konoura, Uto. Ayahnya bernama Jinbei Matsuda, salah seorang pengikut Konishi Yukinaga, seorang daimyo beragama Kristen yang pernah membantu Toyotomi Hideyoshi dalam penyerangannya ke Korea akhir tahun 1590. Setelah Hideyoshi Toyotomi meninggal dunia, Konishi Yukinaga bersama daimyo Kristen lainnya diperlakukan secara tidak layak oleh keluarga Tokugawa sebagai pemimpin baru Jepang setelah Hideyoshi Toyotomi. Peralihan kekuasaan dari Hideyoshi Toyotomi kepada keluarga Tokugawa dilakukan secara kudeta. Setelah Hideyoshi meninggal kekuasaan diberikan kepada anaknya yang bernama Hideyori, karena usianya masih lima tahun maka diangkat wali untuk Hideyori yakni Minamoto Taira dan Tokugawa Ieyasu. Tokugawa Ieyasu merasa tidak puas dengan keputusan yang mengangkat Hideyori sebagai pemimpin Jepang, sehingga ia melakukan kudeta dengan cara menyingkirkan Hideyori dari kursi kepemimpinan. Peristiwa kudeta tersebut dikenal dengan Perang Sekigahara. Perang Sekigahara merupakan perang yang terjadi pada tahun 1600 antara Tokugawa Ieyasu dengan pengikut Hideyori terutama Minamoto Taira. Bagi Tokugawa Ieyasu perang ini bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi sebagai pemimpin Jepang, sedangkan bagi pengikut Hideyori perang ini bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Perang ini berakhir dengan kemenangan
53
Tokugawa Ieyasu. Dengan kemenangan ini maka keluarga Tokugawa mulai berkuasa sebagai pemimpin baru Jepang. Pada pertempuran di Sekigahara. Konishi Yukinaga berhasil ditangkap oleh pasukan Tokugawa dan dieksekusi di Edo (Sekarang Tokyo). Sesuai dengan kebiasaan masyarakat Jepang pada masa itu, wilayah dan pasukan daimyo yang telah dikalahkan akan menjadi milik pemenang, akan tetapi Tokugawa tidak menginginkan samurai yang beragama Kristen menjadi pasukannya, oleh karena itu mereka dibubarkan dan menjadi samurai tak bertuan atau yang dikenal dengan nama Ronin. Amakusa Shiro adalah seorang anak yang memiliki kemampuan lebih dari anak-anak lainnya. Pada usia lima tahun dia memiliki kemampuan memahami China Keisho (sumber dasar tentang Confusianisme), pada saat itu anak-anak muda yang berusia remaja belum tentu mampu memiliki kemampuan tersebut. Pada usia dua belas tahun dia pergi ke Nagasaki dan belajar untuk menjadi seorang dokter di bawah bimbingan orang Cina Alasan Amakusa Shiurou dipilih sebagai pemimpin tidak hanya pengetahuan saja, akan tetapi ia dianggap memiliki kekuatan mistis. Amakusa Shiro terkenal dengan kemampuan mistisnya seperti: -
Memotong satu batang bambu dan menunjukannya pada para penduduk dengan seekor burung gereja yang masih bertengger di batang tersebut. Burung gereja tersebut tidak akan bisa terbang selama Amakusa Shiro menatapnya
54
-
Memanggil seekor burung merpati yang sedang terbang untuk turun dan bertengger di tangannya, ketika Amakusa Shiro membuka telapak tangannya, merpati tersebut mengeluarkan dan mengerami sebuah telur. Kemudian Shiro mengambil telur tersebut dan memecahkannya, di dalam telur itu berisikan sebuah gambaran dari Jesus dan sebuah gulungan suci.(http://www.japan101.com/istory/shimabara_rebellion.htm.
-
2005)
Berjalan di atas permukaan air dan mampu menyembuhkan penyakit dengan cara disentuh dengan tangannya
-
Membuat orang kehilangan kesadaran dan lumpuh. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu artikel berikut : At another occasion, two official named Aizu Gentsatsu and Shimozu-Ura Jihei visited the training hall of Miyazu in Oyano, abused Shiro awizard and were going to harm him. Then suddenly, Gensatsu had became dumb and Jihei had become unable to stretch his bent legs. The two apologized to Shiro for their misbehaviour desperetly. Shiro Said “if you acknowledge your misdeeds and reform yourselves and accumulate good deeds, you both would certainly be relived”. And he prayed a brief prayer. Then the two official recovered them selves immediately. (www005.upp-50-net.ne.jp/aoh/AMASIROI.HTM. 2003) Terjemah : Dalam suatu kejadian, dua pegawai pemerintah yang bernama Aizu Gensatsu dan Shimozuwa-ura Jihei mengunjungi wilayah Miyazu, Oyano, ketika itu keduanya bertemu dengan Amakusa Shiro yang kemudian mengejeknya sebagai seorang penyihir dan berusaha untuk menyakitinya. Akan tetapi, ketika akan menyerang Shiro tanpa disadari Gensatsu menjadi orang yang seperti sedang kebingungan dan Jihei tidak mampu menggerakan kedua kakinya. Kemudian kedua pegawai tersebut meminta maaf kepada Shiro atas kelakuannya tersebut. Shiro pun berkata “ Jika kalian menyadari kesalahan perbuatan kalian dan membuat suatu perbuatan yang baik maka sudah pasti akan diselamatkan ”. Setelah berkata demikian kemudian dia berdoa dan kedua pegawai tersebut tiba-tiba kembali normal.
55
Keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Amakusa Shiro menyebar di kalangan masyarakat Shimabara dan pulau Amakusa. Karena kemampuannya tersebut Amakusa Shiro menjadi seseorang yang dihormati dan dianggap sebagai “Anak Tuhan”, atau “Pemimpin Yang Berasal Dari Langit”. Meskipun kekuatannya tersebut sangat diragukan tetapi orang-orang menghormati dan menghargainya sebagai seseorang yang dilindungi oleh kekuatan suci. Dia dianggap sebagai juru selamat yang mampu mengeluarkan mereka dari segala bentuk tekanan, siksaan dan ancaman dari penguasa setempat. Amakusa Shiro melihat keadaan masyarakat yang ada di Shimabara dan pulau Amakusa sangat memprihatinkan terutama di kalangan petani dan ronin. Ronin ini merupakan samurai yang pernah menjadi bawahan Konishi Yukinaga. seorang daimyo Kristen yang menguasai wilayah Uto, Higo yang kalah pada waktu pertempuran di Sekigahara “Sekigahara no Eki”. Ronin ini diperlakukan dengan tidak layak oleh pemerintahan Tokugawa karena mayoritas dari mereka beragama Kristen. Sama halnya dengan Ronin, kehidupan para petani di kedua wilayah tersebut sangatlah memprihatinkan karena beban oleh pajak yang sangat berat yakni 80% dari hasil panen mereka harus diserahkan pada penguasa daerah (daimyo), Melihat keadaan masyarakat tersebut maka Amakusa Shiro memutuskan untuk melawan tirani terhadap penguasa yang memberatkan masyarakat Kristen Jepang yang dikenal dengan nama Pemberontakan Shimabara “Shimabara no Ran” Prinsip dari Amakusa Shiro adalah “Tenchi Dokon Ban Butssu Ittai, Issai Shujo Fusan Kisen” Jika diartikan secara kasar “Segala sesuatu di bumi ini
56
bermula dari akar yang sama, semua manusia tiada tingkatan”. Pandangan tentang persamaan ini sangat diterima oleh orang-orang di daerah Shimabara dan daerah Amakusa yang pada saat itu telah memikul beban antara lain penderitaan, kelaparan, tirani dan penindasaan terhadap kepercayaan keagamaan mereka. (http://www.keikyo.com/museums/museums/kumamoto/amakusa_shiro/. 2006) Dari penjelasan mengenai tokoh Amakusa Shiro dapat diketahui bahwa bentuk kepemimpinan dalam pemberontakan Shimabara adalah kepemimpinan kharismatik. Menurut Max Weber yang dimaksud kharismatik adalah suatu sifat dari sesuatu kepribadian yang berbeda dari orang biasa dan diperlukan seolah-olah diberkati dengan kekuatan-kekuatan gaib melebihi tenaga manusia atau setidaknya dengan kekuatan-kekuatan atau kecakapan luar biasa. Dalam pemberontakan Shimabara kepemimpinan kharismatik dapat dilihat dari sosok kepemimpinan Amakusa Shiro yang dianggap sebagai juru selamat yang memiliki kemampuan mistis atau gaib yang melebihi tenaga manusia. Beberapa kemampuan mistis yang dimiliki Amakusa Shiro antara lain: -
Memanggil burung yang sedang terbang
-
Berjalan di atas permukaan air
-
Membuat orang kehilangan kesadaran dan lumpuh, dan
-
Menyembuhkan penyakit dengan cara disentuh oleh tangannya Dengan adanya kekuataan yang dimiliki Amakusa Shiro, masyarakat
Jepang Kristen mengharapkan kebebasan dari segala bentuk tekanan, penindasan dan penyiksaan dari pihak penguasa. Harapan akan kebebasan dan persamaan dengan disertai kemampuan yang dimiliki Amakusa Shiro menjadikan ia sebagai
57
seseorang yang diberkati oleh kekuatan suci yang berasal dari langit dan dianggap sebagai “Anak Tuhan” dan “Pemimpin Dari Langit”.
4.3.3
Ideologi Petani Dalam Pemberontakan Shimabara Dilihat
dari
ideologi
petani
yang
digunakan
(menurut
Sartono
Kartodirdjo), setidaknya ada dua ciri ideologi dalam pemberontakan Shimabara yakni millenarianisme dan mesianisme
4.3.3.1 Gerakan Millenarianisme Gerakan ini mengharapkan akan datangnya suatu masa yang lebih baik yang ditandai dengan berakhirnya ketidakadilan dan dipulihkannya keharmonisan Dalam pemberontakan Shimabara, ideologi millenarianisme dapat dilihat dari adanya pengharapan masyarakat Jepang Kristen akan datangnya suatu zaman yang mengusung persamaan dan kebebasan dalam segala bidang kehidupan terutama bidang sosial, ekonomi dan budaya. Dalam bidang sosial masyarakat Jepang Kristen menginginkan adanya persamaan hak antara orang Jepang yang beragama Kristen dengan orang Jepang yang non Kristen. Persamaan hak tersebut diwujudkan dalam bentuk keinginan untuk tidak ditekan, disiksa maupun ditindas. Dalam bidang ekonomi, masyarakat Jepang yang beragama Kristen khususnya para petani menginginkan beban pajak yang tidak terlalu memberatkan mereka atau bahkan dihilangkan. Pajak yang dibebankan kepada masyarakat kecil khususnya petani di Shimabara dan di pulau Amakusa sangatlah besar yakni 80
58
%. Jumlah pajak ini merupakan dua kali lipat dari yang sudah ditentukan yakni 40% pada tanah milik daimyo. Maka wajarlah jika para petani dalam ideologi millenarianisme ini mengharapkan keringanan dalam membayar pajak atau bahkan dihilangkan. Dalam segi budaya, ideologi millenarianisme dapat dilihat dari keinginan orang Jepang penganut ajaran Kristen untuk melaksanakan ibadah secara bebas dan tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pada masa Tokugawa, jika diketahui ada orang Kristen yang mempraktekan ajarannya secara terang-terangan maka akan diberi hukuman berupa siksaan. Dengan kata lain pada masa Tokugawa agama Kristen tidak diberi kebebasan dalam bertindak, maka tidaklah mengherankan apa bila masyarakat Jepang penganut ajaran Kristen menginginkan adanya kebebasan dalam menjalankan ibadahnya.
4.3.3.2 Gerakan Mesianistis Gerakan ini mengharapkan lahirnya seorang juru selamat yang diharapkan mampu menegakan keadilan dan perdamaian di suatu tempat. Masyarakat percaya bahwa sang juru selamat akan mampu membebaskan dirinya dari penyakit, kelaparan dan setiap jenis kejahatan Mesianistis dapat diketahui dari sosok pemimpin gerakan sosial tersebut yakni Amakusa Shiro. Sosok Amakusa Shiro adalah seorang pemimpin yang oleh pengikutnya dianggap memiliki kekuatan yang lebih dari manusia biasa. Selain itu Amakusa Shiro juga dianggap sebagai orang yang mampu menyelamatkan
59
masyarakat Kristen Jepang dari segala bentuk penindasan dan penyiksaan yang akan membawa kepada kebebasan Bentuk messianistis Amakusa Shiro dapat dilihat kekuatan dan kemampuannya, antara lain: -
menyembuhkan penyakit dengan disentuh oleh kedua tangannya
-
membuat lumpuh seseorang
-
mampu berjalan di atas air
-
mampu memanggil burung untuk bertenger di tangannya Kekuatan yang dimiliki Amakusa Shiro merupakan suatu “modal” agar
masyarakat Jepang Kristen percaya padanya sebagai seorang juru selamat atau messiah yang akan menyelamatkan masyarakat Jepang Kristen dari segala tekanan, penindasan dan siksaan oleh penguasa setempat
4.3.4
Jalannya Pemberontakan Shimabara Semenanjung Shimabara dan pulau Amakusa merupakan tempat tinggal
bagi ribuan penganut agama Kristen. Muncul dan berkembangnya agama Kristen di wilayah tersebut berkat jasa dari seorang missionaris Luis d Ameida dan usahanya yang didukung oleh daimyo Kristen yang pada saat itu sedang berkuasa yaitu Konishi Yukinaga. Setelah Konishi dikalahkan oleh Tokugawa Ieyasu, penguasaan wilayah beralih tangan kepada Matsukura Shigemasa, seorang daimyo (penguasa daerah) yang menekan masyarakat lapisan bawah khususnya para petani yang beragama Kristen. Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan daimyo Matsukura Shigemasa
60
adalah pemberlakuan pajak yang sangat tinggi kepada masing-masing kepala keluarga terutama petani yang setiap tahunnya menghasilkan tanaman padi dan gandum. Setiap petani dipaksa menyerahkan 80 % hasil panennya kepada daimyo tersebut. Jumlah ini dua kali lipat lebih besar dari jumlah pajak yang biasa diberlakukan yakni 40%. Pemberlakuan pajak ini berlanjut bahkan lebih keras lagi setelah Matsukura Shigemasa meninggal dan digantikan oleh anaknya yang bernama Matsukura Katsuie. Ada dua alasan Matsukura Katsuie memberlakuan pajak dengan sangat tinggi
Pertama, pajak digunakan untuk membiayai proyek-proyek domestik
yakni pembangunan istana. Kedua, pajak juga digunakan untuk membayar hutang daimyo Matsukura Shigemasa yang telah meminjam modal kepada para pedagang di Sakai, Hirado dan Nagasaki untuk biaya penyerangan ke pulau Luzon, Filipina yang dianggap sebagai basis dari penyebaran agama Kristen ke Jepang, akan tetapi penyerangan ini dibatalkan oleh shogun dengan pertimbangan ketidaksiapan Jepang karena situasi di dalam negerinya belum stabil. Daimyo lain yang sama dengan Matsukura Shigemasa adalah Terazawa Hirotaka, penguasa di pulau Amakusa yang memberlakukan pajak dengan sangat tinggi kepada masyarakat di wilayahnya. Pada tahun 1633, Terazawa Katataka bekerjasama dengan keluarga Matsukura menyiksa para petani yang tidak mampu membayar pajak. Adapun untuk penyiksaan tersebut antara lain : -
memasukan tubuh yang telah ditelanjangi ke dalam air panas di puncak gunung Unzen
-
Ditenggelamkan ke dalam air
61
-
Orang yang mendapat siksaan dipakaikan baju yang terbuat dari jerami kemudian dibakar hidup-hidup. Penyiksaan seperti ini dikenal dengan nama mini odori atau baju jerami menari. Gambaran penyiksaan ini dijelaskan oleh salah satu administrator Belanda di Hirado yang bernama Nicholas Koecbacker.
(http://www.keikyo.com/museums/museums/kumamoto/amakusa_shiro/.
2006) Penindasan serta siksaan lain yang dilakukan oleh penguasa terhadap masyarakat Jepang Kristen dapat diketahui dari kesaksian salah satu pedagang Inggris yang bernama Richard Cooks yang digambarkan dalam laporannya sebagai berikut : I saw fifty five of them martyred at one time at Miyako. Among them were little children of five or six years, burned alive in the arms of mother of their mothers, who cried ‘Jesus, receive their souls!’ There are many in the prison who hourly await death, for very few return to their idolatry. (Sansom, 1984 :41) Terjemah : “ saya melihat lima-puluh lima martyred dalam suatu waktu di Miyako. Diantara mereka ada beberapa anak kecil yang berusia sekitar lima atau enam tahun, yang dibakar hidup-hidup di kedua tangan ibunya, yang menangis dan berteriak ‘Jesus terimalah jiwa mereka’ Beberapa dari mereka yang berada di penjara hanya menunggu kematian, yang beberapa saat akan kembali kepada yang dipujanya” Hidup dalam garis kemiskinan, tidak adanya toleransi, ketidakadilan dari penguasa beserta para pegawainya membuat para petani mengharapkan datangnya seorang juru selamat. Mereka percaya bahwa segala penderitaannya akan segera berakhir dalam waktu dekat dengan munculnya seorang penyelamat. Alasan masyarakat Jepang yang beragama Kristen mampu bertahan dari siksaan, tekanan dan penindasan, adalah doktrin agama Kristen yang sudah
62
melekat pada diri masyarakat di wilayah Amakusa dan Shimabara yang menyatakan bahwa “ barang siapa percaya kepada ajaran Kristen maka ia akan diselamatkan oleh keadilan Tuhan. tetapi tidak ada seseorang pun yang percaya kepada agama lain akan diselamatkan“. Franciscus Xavier (missionaris pertama yang tinggal di Jepang) meramalkan dalam bukunya yang dikenal dengan nama Suekagami yang mengatakan bahwa “Dalam dua puluh tahun atau lebih, tirani akan musnah dan seorang anak yang memiliki keajaiban akan muncul untuk menyelamatkan dunia, langit di sebelah timur dan Barat akan berubah merah dan pohon-pohon yang mati akan ditutupi oleh bunga-bunga sakura. Jika orang-orang memberikan segala sesuatunya pada Kristen termasuk hatinya maka mereka diizinkan untuk menikmati kedamaian yang abadi”. (board/palungjit.com/archieve/index.php/t91036.html. 2006) Ramalan dari Franciscus Xavier terjawab dengan munculnya seorang juru selamat yang bernama Matsuda Shiro Tokisada atau yang biasa dikenal dengan nama Amakusa Shiro, seorang remaja kharismatik yang berusia 16 tahun yang tidak hanya memiliki penampilan dan pengetahuan yang baik akan tetapi ia dianggap sebagai “Anak Tuhan” yang akan membebaskan masyarakat Jepang Kristen dari segala bentuk tekanan penguasa setempat. Pemberontakan dimulai dengan ditangkapnya 16 orang petani dan dijatuhi hukuman mati karena berdoa kepada Tuhan Yesus. Hal ini membangkitkan kemarahan rakyat, kemudian mereka menyerang dan membunuh petugas pajak. Dengan menggunakan senjata yang sederhana yang terdiri dari penggaruk jerami,
63
pedang dan batu, para pemberontak menyerang dan masuk ke kota Shimabara dan berhasil membunuh 13 bangsawan, pegawai pengadilan beserta para bawahanbawahannya. Sama halnya dengan yang terjadi di Shimabara, orang-orang Kristen di pulau Amakusa juga mengangkat senjata dan mengepung dua istana milik keluarga Terazawa yakni istana Hondo dan Tomioka. Ketika kedua istana tersebut dalam kondisi kritis, pasukan pemerintah yang didatangkan dari wilayah lain di pulau Kyushu tiba dan berhasil memukul mundur kaum pemberontak. Pengepungan yang dipimpin oleh Amakusa Shiro terhadap istana Shimabara juga berhasil dipatahkan. Mereka mundur dan mengkonsolidasi kekuatan di reruntuhan istana Hara yang merupakan istana bekas Arima Harunobu ketika berkuasa. Jumlah pemberontak yang berkumpul di istana Hara mencapai 35.000 orang mereka meliputi para ronin, para petani, serta rakyat sipil termasuk wanita, anak-anak dan orangtua. (http://militaryhistory.about.com/od/battleswars16011800/p/shimabara.htm, 2007).
Di istana
Hara mereka membangun pertahanan yang kokoh. Persenjataan, amunisi dan persediaan makanan sudah cukup memadai, sebagian besar diperoleh dari hasil penjarahan di gudang-gudang milik keluarga Matsukura.
4.3.5
Beberapa Usaha Yang Dilakukan Untuk Menumpas Pemberontakan Pada tanggal 27 Desember 1637 Terazawa Katataka mengirimkan
sembilan bangsawan yang diikuti oleh 3.000 samurai dari selatan Kyushu untuk menekan dan menanggulangi para pemberontak akan tetapi pasukan tersebut
64
berhasil dihancurkan dalam waktu dua hari dengan korban 2800 orang. Terazawa kemudian mundur dan meminta bantuan pada pemerintah pusat untuk menumpas pemberontak. Pada tanggal 3 Januari 1638, pasukan pemerintah di bawah pimpinan Itakura Shigemasa dengan kekuatan 30.000 pasukan, tiba di Shimabara dan berhasil mengalahkan para pemberontak dalam sebuah pertempuran. Pasukan pemerintah terus mengejar dan mengepung mereka di pusat kekuasaan mereka yakni istana Hara. Pertahanan istana tersebut sangat sulit ditembus, hal itu terbukti pada serangan pertama yang menjatuhkan banyak korban dari pihak pemerintah termasuk Itakura Shigemasa sendiri. Shogun menyadari bahwa situasi di Shimabara semakin serius, maka ia kembali mengirim pasukan yang berjumlah 120.000 orang, yang dilengkapi dengan senapan arquebus dan meriam untuk memperkuat pasukan. Pasukan ini dipimpin oleh Matsudaira Nobutsana sebagai pengganti dari Shigemasa. Untuk menumpas para pemberontak, Matsudaira Nobutsana meminta bantuan dari kapal dagang Belanda untuk membombardir istana Hara dari arah laut. Nicolas Koekebakker, sebagai kepala pos perdagangan Belanda di Hirado memberi bantuan berupa mesiu dan meriam sesuai dengan permintaan pemerintah Jepang. Koebakker memimpin sendiri kapal De Ryp ke lepas pantai dekat istana Hara. Istana Hara dibombardir dari arah darat dan laut, namun tidak terlalu memberikan hasil yang berarti karena posisinya yang strategis dan kokohnya pertahanan istana tersebut, bahkan dua pengintai Belanda tertembak oleh pemberontak
65
Sampai pada awal Februari 1638 pihak pemberontak mampu bertahan dari serangan pemerintah, bahkan mampu menyerang balik, seperti yang terjadi pada tanggal 3 Februari 1638, pihak pemberontak berhasil meraih kemenangan kecil dengan mengalahkan pasukan dari Hizen yang berjumlah 2.000 orang pasukan dan membunuh pemimpin mereka. Namun pada pertengahan bulan Februari 1638 para pemberontak memasuki masa-masa yang sulit. Para pemberontak dihadapkan pada masalah kekurangan makanan dan amunisi ditambah dengan cuaca musim dingin. Melihat keadaan pemberontak yang sudah kekurangan makanan dan amunisi, Matsudaira merasa sudah tiba saatnya untuk serangan berskala besar. Pada tanggal 10 Maret 1638, seluruh pasukan pemerintah telah dikonsentrasikan di Shimabara dan pada bulan April pertempuran pecah antara 27.000 pemberontak melawan 125.000 pasukan pemerintah. Para pemberontak mengalami kekalahan dan terpaksa mundur. Pada tanggal 12 April 1638 pasukan dari Hizen di bawah pimpinan Kuroda Tadayuki berhasil menembus pertahanan luar istana Hara. Pasukan pemerintah menyerbu dan menjatuhkan banyak korban di pihak pemberontak, Amakusa Shiro sendiri gugur dalam pertempuran tersebut. Pemberontakan berhasil ditumpas pada tanggal 15 April. Sekitar 5000-6000 orang pemberontak memilih membakar dirinya sendiri dari pada menyerah pada pihak pemerintah. Beberapa pemberontak melemparkan anaknya ke dalam api untuk mencegah mereka diambil dan disiksa oleh pihak pemerintah. Mereka percaya bahwa dengan kematiannya maka ia akan mendapatkan kedamaian yang abadi.
66
Lebih dari 30.000 orang pemberontak dan simpatisannya dihukum pancung secara massal termasuk wanita, orang tua, dan anak-anak. Kepala Amakusa dibawa ke Nagasaki dan dipajang di depan umum sebagai peringatan bagi yang lain. Istana Hara dibumihanguskan bersama mayat para pemberontak di dalamnya. Agama Kristen terlarang di Jepang dan para penganutnya dianiaya dan diburu, mereka yang selamat hanya bisa mempraktekan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang Portugis, Spanyol dan bangsa Barat lainnya diusir dari Jepang karena merekalah yang menyebarkan agama yang dinyatakan terlarang tersebut. Namun bangsa Belanda diberi pos dagang Deshima sebagai balas jasa atas bantuannya selama perang. Matsukura Katsuie dipersalahkan karena tindakannya yang sewenangwenang sehingga memicu pemberontakan tersebut. Ia dipaksa melakukan seppuku (bunuh diri) dan wilayahnya diberikan pada Koriki Tadafusa. Keluarga Terazawa berhasil lolos dari hukuman dan tetap berkuasa, namun berakhir belasan tahun kemudian karena Katataka tidak memiliki pewaris. Setelah pemberontakan, Shimabara mengalami kerusakan besar dalam infrastuktur daerahnya dan populasinya juga menurun drastis. Untuk itu pemerintah mentransmigasikan penduduk dari wilayah lain untuk menempati wilayah tersebut dan menggarap tanah-tanah yang terlantar. Agama Buddha dipromosikan secara besar-besaran di wilayah itu. Penduduk wajib mendaftarkan diri di kuil-kuil lokal di mana para biksu harus memastikan keyakinannya.
67
4.3.6
Dampak Pemberontakan Shimabara Dampak yang paling berpengaruh bagi Jepang pasca pemberontakan
Shimabara adalah politik Sokaku yakni suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah Bakufu untuk menutup negara Jepang dari segala bentuk hubungan dengan pihak asing. Meskipun politik Sokaku ini dijalankan akan tetapi dalam kenyataannya para pedagang dari luar terutama dari Cina dan Belanda masih tetap melakukan perdagangan dengan pihak Jepang, Ada dua alasan para pedagang Cina diizinkan berdagang dengan Jepang antara lain : -
Dalam menjalin hubungan perdagangan dengan Jepang, para pedagang Cina harus mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Perdagangan antara Cina dengan Jepang hanya boleh dilakukan dengan pedagang-pedagang Cina yang telah mendapat izin dan dengan pengawasan yang ketat.
-
Perdagangan dengan Cina diizinkan karena Jepang mendapatkan banyak mengimpor barang dari Cina terutama sutera. Dalam melakukan hubungan perdagangan dengan Cina, pemerintah
Jepang terpaksa melakukan pengawasan yang ketat karena dikhawatirkan adanya pemasukan kitab-kitab agama Kristen dan buku-buku pengetahuan Barat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Negara lain yang diizinkan oleh pemerintah Jepang untuk melakukan hubungan perdagangan adalah Belanda. Ada dua alasan pemerintah Jepang mengizinkan Belanda melakukan hubungan perdagangan, antara lain :
68
-
Hubungan perdagangan Jepang dengan Belanda dapat terjalin karena para pedagang Belanda datang ke Jepang bertujuan untuk mencari keuntungan semata. Mereka tidak tertarik untuk menyebarkan agama Kristen dan lebih tertarik terhadap keuntungan yang diperoleh dari perdagangan tersebut.
-
Alasan kedua pemerintah Jepang menjalin hubungan dengan pihak Belanda adalah sebagai bentuk balas jasa yang dilakukan Belanda dalam membantu pemberontakan Shimabara Meskipun Belanda memperoleh izin melakukan perdagangan dengan
Jepang, akan tetapi pengawasan dan peraturan masih dilakukan secara ketat apalagi hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah Jepang memindahkan pos perdagangan Belanda dari Hirado ke pulau Deshima di pelabuhan Nagasaki, karena dari tempat tersebut mereka lebih mudah diawasi. Kebijakan dalam negeri yang dilakukan pemerintah Jepang dalam menjalankan politik Sokaku adalah pembuatan kapal-kapal Jepang dibatasi hanya pada kapal-kapal pantai yang tidak layak untuk pelayaran samudera. Akibatnya kapal-kapal dagang Jepang hanya terdiri dari kapal-kapal kecil untuk perdagangan antar pulau di laut dalam kepulauan Jepang saja. Kebijakan lain dalam menjalankan politik Sokaku adalah melarang orang-orang Jepang yang berada di luar Jepang untuk masuk ke negara Jepang, hal itu disebabkan karena kekhawatiran pemerintah Jepang kalau mereka telah terpengaruh oleh budaya asing terutama Kristen.
69
Tujuan pemerintah melakukan politik Sokaku ini adalah untuk memperkokoh sistem masyarakat feodal dan menghindarkan diri dari gangguangangguan yang ditimbulkan oleh pengaruh budaya asing terutama agama Kristen. Penutupan hubungan ini berlangsung pada tahun 1639 sampai tahun 1864. Akibat dari adanya politik ini adalah : 1. Putusnya hubungan Jepang dengan luar negeri 2. Pesatnya perdagangan dalam negeri 3. Tertinggalnya kemajuan masyarakat 4. Masyarakat feodal berlangsung lama Pemberontakan
Shimabara
yang
terjadi
pada
tahun
1637-1638
memberikan dampak yang sangat besar bagi Jepang terutama dalam hubungan internasional yang menutup negaranya selama dua abad lebih, kehidupan bangsa Jepang terisolasi dan terpencil dari hubungan-hubungan asing.
70