PERKEMBANGAN EKONOMI JEPANG PADA ERA SHOGUNAT TOKUGAWA
Y.R. Subakti A. Pendahuluan
徳川幕府
Keshogunan Tokugawa ( Tokugawa bakufu?, 1603—1868) atau Keshogunan Edo (Edo bakufu) adalah pemerintahan diktator militer feodalisme di Jepang yang didirikan oleh Tokugawa Ieyasu dan secara turun temurun dipimpin oleh shogun keluarga Tokugawa. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa disebut zaman Edo, karena ibu kota terletak di Edo yang sekarang disebut Tokyo. Keshogunan Tokugawa memerintah dari Istana Edo hingga Restorasi Meiji. Keshogunan Tokugawa adalah pemerintahan diktator militer ketiga dan terakhir di Jepang setelah Keshogunan Kamakura dan Keshogunan Muromachi. Keshogunan Tokugawa dimulai pada tanggal 24 Maret 1603 dengan pengangkatan Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-i Taishōgun dan berakhir ketika Tokugawa Yoshinobu mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar (Taisei Hōkan) pada 9 November 1867. Pemerintahan keshogunan Tokugawa selama 264 tahun disebut sebagai zaman Edo atau zaman Tokugawa. Periode terakhir Keshogunan Tokugawa yang diwarnai dengan maraknya gerakan untuk menggulingkan keshogunan Tokugawa dikenal dengan sebutan Bakumatsu. Di masa Keshogunan Tokugawa, rakyat Jepang dibagi-bagi menurut sistem kelas berdasarkan pembagian kelas yang diciptakan Toyotomi Hideyoshi. Kelas samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani, pengrajin dan pedagang. Pemberontakan sering terjadi akibat pembagian sistem kelas yang kaku dan tidak memungkinkan orang untuk berpindah kelas. Pajak yang dikenakan terhadap petani selalu berjumlah tetap dengan tidak memperhitungkan inflasi. Samurai yang menguasai tanah harus menanggung akibatnya, karena jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan semakin hari nilainya semakin berkurang. Perselisihan soal pajak sering menyulut pertikaian antara petani kaya dan kalangan samurai yang terhormat tapi kurang makmur. Pertikaian sering memicu kerusuhan lokal hingga pemberontakan berskala besar yang umumnya dapat segera dipadamkan. Kelompok anti keshogunan Tokugawa justru semakin bertambah kuat setelah keshogunan Tokugawa mengambil kebijakan untuk bersekutu dengan kekuatan asing. Setelah kalah dalam Perang Boshin yang berpuncak pada Restorasi Meiji, keshogunan Tokugawa berhasil ditumbangkan oleh persekutuan Tenno dengan sejumlah daimyo yang berpengaruh dan berpihak kepada Tenno. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir setelah Shogun Tokugawa ke-15 yang bernama Tokugawa Yoshinobu mundur dan kekuasaan dikembalikan ke tangan kaisar Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
(Taisei Hōkan). Selama berada di bawah kekuasaan Shogun Tokugawa selama 264 tahun, Jepang menghalami masa perdamaian yang panjang. Salah satu penyebab masa perdamaian ini adalah penerapan politik isolasi atau politik menutup diri yang dilakukan oleh Shogun Tokugawa. Dengan politik isolasi ini, justru Jepang mengalami kemandirian untuk memenuhi segala kebutuhan hidup bangsa Jepang tanpa tergantung bangsa lain. Salah satu perkembangan yang mencolok pada masa ini adalah bidang perdagangan. Politik isolasi tersebut sebenarnya bertujuan melakukan stabilisasi keadaan untuk mencegah kemungkinan timbulnya revolusi dari dalam dan juga untuk mencegah masuknya ide-ide baru dari luar, khususnya dari Barat, yang dapat menggoncangkan stabilitas negara. Oleh karena itu, setiap kemungkinan yang akan menimbulkan destabilitas negara selalu dicegah oleh Shogunat Tokugawa. Dalam struktur atau susunan masyarakat Jepang, khususnya pada awal-awal kekuasaan Shogun Tokugawa, kedudukan golongan pedagang/pengusaha berada pada posisi paling bawah. Dibandingkan dengan golongan petani dan golongan tukang (termasuk pandai besi), golongan pedagang kurang mendapat kehormatan. Hal ini terjadi karena masyarakat Jepang lebih menuntut adanya etika ksatria, sedangkan pada golongan pedagang etika ini sangat kurang. Di samping itu masyarakat Jepang melihat bahwa golongan pedagang dalam menjalankan perdagangan terlalu banyak mengambil untung, sehingga merugikan rakyat kebanyakan (Hane, 1972). Dalam perjalanan politik lebih lanjut, ternyata golongan pedagang mampu memperbaiki citra dirinya, yaitu eksistensinya dari golongan yang rendah akhirnya memiliki kedudukan yang cukup terpandang di Jepang pada masa-masa akhir kekuasaan Shogun Tokugawa. Pada saat-saat keruntuhan Shogun Tokugawa dari panggung kekuasaannya, golongan pedagang justru memiliki posisi yang menentukan terhadap jalannya roda pemerintahan. Mereka, di samping ada juga peranan dari golongan lain, secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam menumbangkan cengkeraman kekuasaan Tokugawa dan yang kemudian diikuti Restorasi Meiji (Dasuki, 1963a). Tumbuh dan berkembang serta berubahnya eksistensi golongan pedagang, dari kelompok dalam posisi rendah pada susunan masyarakat Jepang dan akhirnya mampu mengangkat citranya, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Inilah yang akan menjadi masalah dalam uraian singkat ini. Kalau dieksplisitkan maka permasalahan tersebut adalah : 1) bagaimana perkembangan perekonomian di Jepang pada masa kekuasaan Shogun Tokugawa ? 2) Mengapa golongan pedagang pada masa Shogunat Tokugawa mampu mengadakan perubahan-perubahan yang dapat meningkatkan citra dirinya ? Dalam membahas permasalahan di atas, maka tidak akan terlepas dari kehidupan masyarakat Jepang dan situasi politik pemerintahan pada masa Shogun Tokugawa. Hal ini disebabkan posisi golongan pedagang tidak akan dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Jepang pada keseluruhannya.
B. Struktur Masyarakat Jepang Era Tokugawa Rakyat Jepang pada masa kekuasaan Tokugawa tersebar dalam strata sosialekonomi atas, menengah dan bawah. Dalam perspektif psikososial dan keberagaman status sosial-ekonomi, mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan psikologis dan norma sosial serta prioritas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang relatif berbeda. Bagi kelompok masyarakat yang hidupnya berhasil dan masuk dalam kategori strata sosial ekonomi menengah-atas, menata dan mengelola hidup secara tertib, teratur bahkan estetis (indah) sudah menjadi kebutuhan pokok atau primer. Bagi mereka hidup dengan beragam persoalannya tidak dapat lagi diatasi dengan caracara naluriah atau instingtif. Mereka sudah memaksimalkan peran logika atau rasio. Kemampuan akal pikir dimanfaatkan untuk memandu dan memecahkan persoalan hidup. Hidup harus tertib dan tertib harus operasional atau terukur, demikian juga arti teratur bahkan indah juga harus dedefinisikan secara operasional, yakni dihitung, diuji dan dibuktikan secara empiris. Dan ukuran utama keberhasilan dalam memandu dan memecahkan persoalan hidup adalah bersifat kuantitatif dan material. Dengan kata lain, kemajuan atau progres dan keuntungan fisik, material dan empiris menjadi parameter utama keberhasilan hidup. Bagi kelompok masyarakat dengan kategori strata sosial ekonomi bawah atau orang miskin, kehidupan sehari-hari mereka diwarnai dengan perjuangan keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, yakni; pangan, papan dan sandang. Persoalan utama bagi mereka adalah mempertahankan diri agar tetap bisa bertahan hidup. Sudah pasti kebiasaan-kebiasaan hidup kelompok masyarakat dengan status sosial ekonomi menengah-atas (orang kaya) sulit untuk dapat mereka tiru. Hidup tertib, teratur apalagi penuh dengan nuansa estetis jauh dari benak mereka. Hidup disikapi dan dimaknai dengan kaca mata miliknya, yakni kesederhanaan, ketidakteraturan, ketidakdisiplinan atau dengan kata lain semau gue. Ini bukan berarti mereka tidak memiliki keinginan atau impian hidup sejahtera dengan ciri tertib, teratur dan indah, namun tenaga dan pikiran sudah terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Ketidakberdayaan ini mendorong mereka menyerahkan hidup pada garis nasib, sehingga akal pikir tidak dapat berperan maksimal atau kurang fungsional. Ada jurang pemisah cukup besar antara orang kaya dengan orang miskin. Secara psikososial-ekonomi mereka terpisahkan. Masing-masing memiliki sikap, pola pikir, pola perilaku, orientasi kebutuhan hidup dan parameter keberhasilan hidup yang berbeda. Dalam konteks modernitas dengan kridonya efisiensi, efektifitas, daya guna dan kemajuan ekonomi maka orang kaya sudah pasti menjadi kelompok yang sangat representatif untuk mewakili kekuasaan pada masa Tokugawa. Status dan peran mereka ada pada level pembuat kebijakan. Sebagai pembuat dan penentu kebijakan, maka cara pandang orang kaya yang termanifestasikan dalam beragam peraturan sudah pasti akan diarahkan dan diprioritaskan untuk mendukung dan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Sementara kaum miskin hanya tinggal di pinggir menyaksikan dan menerima dirinya digusur sesewaktu demi ketertiban dan keindahan yang dipersepsikan pengambil keputusan yang jelas-jelas beda statusnya dengan mereka.
berdasarkan kajian di atas, pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, ditinjau dari aspek sosial, masyarakat Jepang dapat dibagi berdasarkan suatu sistem kelas yang turun-temurun. Kerangka utamanya adalah berdasarkan pada sistem nilai yang berlaku, yaitu prestise yang berhubungan secara langsung dengan kekuasaan yang menjadi sarana untuk menentukan status sosial seseorang atau kelompok, bukan kekayaan (Bellah, 1992:35). Berdasarkan struktur kekuasaan yang ada di Jepang, maka hirarki kemasyarakatan di Jepang dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok penguasa, sedangkan kelompok kedua adalah rakyat biasa. Kelompok penguasa masih dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan seperti susunan piramidal. Menurut tradisi dan stratifikasi sosial politik di Jepang, puncak tertinggi dari kelompok penguasa diduduki oleh Tenno beserta keluarganya serta bangsawan istana. Mereka dipercaya oleh rakyat biasa sebagai keturunan Dewi Amaterasu Omikami yang diturunkan untuk memerintah Jepang. Meskipun rakyat mempercayai bahwa Tenno merupakan penguasa tertinggi, namun dalam praktik kehidupan politik sehari-hari di Jepang, kekuasaan Tenno ini sangat kecil. Termasuk di dalam kelompok ini adalah kelompok kuge. Kelompok ini dihormati karena keturunan kebangsawanannya, tetapi tidak berpengaruh dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan kekuasaan politik dipegang oleh shogun dan juga oleh kelompok buke (kelompok bangsawan militer). Tenno hanya bertugas dalam hal-hal yang bersifat seremonial dan yang berkaitan dengan aspek religius atau ritual yang berkaitan dengan kepercayaan Shintoisme (Dasuki, 1963a). Posisi kedua di bawah Tenno dan kuge adalah kelompok buke yang terdiri dari shogun, para daimyo dan keluarganya. Namun para daimyo adalah penguasa daerah, sedangkan shogun Tokugawa adalah penguasa dalam bidang politik, sosial dan ekonomi di pusat kerajaan. Kelompok ini memegang kekuasaan pemerintahan sejak tahun 1600, yaitu ketika Perang Sekigara berakhir dengan kemenangan keluarga Tokugawa Ieyashu yang kemudian menjadi shogun pertama dari keluarga Tokugawa. Pusat pemerintahan Shogun Tokugawa adalah di Yedo yang sekarang bernama Tokyo (Latourette, 1957a : 235-236). Posisi ketiga dari struktur kekuasaan di Jepang ditempati oleh para daimyo sebagai penguasa daerah. Oleh Shogunat Tokugawa mereka diberi wewenang untuk membantu kelancaran pemerintahan pusat di Yedo. Kelompok ini diberi wilayah kekuasaan dan juga apanage yang disebut dengan Han. Para daimyo diberi hak otonomi yang luas oleh Shogunat Tokugawa. Hak-hak tersebut antara lain meliputi hak memilih para pembantu pemerintahan daerah, hak menentukan besarnya pajak, hak untuk memiliki kekuatan tentara sendiri, serta hak-hak untuk menentukan kebijakan politik lainnya (Hackett, 1972:13-14). Kelompok daimyo juga masih dibagi menjadi tiga strata, yaitu daimyo shimpan, daimyo fudai dan daimyo tozama (Hane, 1972:23). Daimyo shimpan adalah daimyo yang berasal dari keturunan langsung atau mempunyai hubungan langsung dengan keluarga Tokugawa. Sedangkan daimyo fudai adalah daimyo bawahan yang setia kepada keluarga Tokugawa, terutama sewaktu terjadinya Perang Sekigara. Dengan kata lain, daimyo fudai ikut secara langsung membantu shogun Tokugawa dalam merebut kekuasaan. Kemudian untuk daimyo tozama adalah daimyo bekas
bawahan Toyotomo Hideyoshi yang menjadi musuh sekaligus bawahan Tokugawa. Daimyo ini tidak ikut membantu shogun dalam merebut kekuasaan. Daimyodaimyo Tozama terdiri dari beberapa keluarga, yaitu Chosu, Satsuma, Hizen dan Tosa. Oleh karena belum dapat dipercaya sepenuhnya oleh Shogun, maka berbagai pembatasan dikenakan kepada mereka antara lain tidak boleh menghadap Tenno secara langsung; menduduki jabatan-jabatan penting di Yedo; memiliki kekayaan yang berlebih-lebihan (Beasley, 1990:4). Struktur paling bawah dalam hirarki kekuasaan feodal Jepang adalah kelompok samurai atau bushi. Kelompok ini secara tradisi merupakan anggota prajurit atau pasukan perang. Namun pada masa kekuasaan Shogunat Tokugawa, mereka merangkap manjadi birokrat. Kehidupan kelompok ini sangat tergantung pada upah atau gaji yang diberikan oleh tuan mereka, yaitu para daimyo atau shogun. Para daimyo di Jepang jumlahnya sekitar 450.000 (Waltz, 1950: 214-215). Dalam pandangan masyarakat Jepang, terutama pada masa kekuasaan shogunat Tokugawa, kelas samurai merupakan kelas elit yang eksklusif. Kemana pun mereka pergi, selalu menyandang pedang panjang. Kehidupan kelas samuari sangat diwarnai oleh ajaran Bushido (Jalan Kesatria). Penekanan kesetiaan kepada tuannya menjadikan kematian bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi kalau membela sesuatu yang benar. Mereka rela mati demi kesetiaan dengan cara harakiri atau seppuku (Bellah, 1992:121-134). Kelas kedua dalam struktur sosial masyarakat Jepang adalah rakyat biasa. Berdasarkan mata pencahariannya, kelas rakyat ini dapat distratifikasikan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah petani (Nomin), merupakan kelompok terbesar dan tingkatannya langsung berada di bawah golongan Bushi. Mereka hidup dari mengolah tanah yang secara hukum adalah milik Tenno yang dipinjamkan kepada para daimyo. Dengan demikian pada musim panen, para petani harus menyerahkan sebagian dari hasil panen kepada para daimyo yang kemudian menyerahkan sebagian lagi kepada Tenno (Waltz, 1950:215). Dalam sistem feodal yang dikembangkan pada masa Tokugawa, petani menjadi tumpuan utama, karena kehidupan para bakufu sangat tergantung pada produksi pertanian (Hane, 1972:31-32). Para petani harus menjamin hidup golongan kuge, buke dan samurai. Posisi golongan petani memegang peranan penting karena mereka merupakan penghasil beras. Beras dipergunakan sebagai satu-satunya ukuran, baik dalam menentukan besarnya pajak dan juga sebagai alat pembayaran dalam sistem perdagangan ketika Jepang belum mengenal sistem uang. Beras juga menjadi standar kekayaan. Status seorang daimyo diukur dalam batas penilaian pemilikan dan tingkat penghasil beras di wilayah kekuasaannya (Storry, 1963 : 73) Kelompok kedua dalam kelas masyarakat biasa adalah golongan pekerja atau pengrajin (Shokuin). Kelompok ini adalah strata di bawah petani, karena mereka juga bekerja secara langsung untuk golongan penguasa (bakufu). Mereka tinggal di pusat pemerintahan di Yedo. Oleh sebab itu, kelompok pengrajin merupakan kelompok rakyat biasa yang paling dekat dengan kelompok penguasa (Bellah, 1992:35; Waltz, 1950:215). Golongan di bawah pengrajin adalah golongan pedagang (Waltz, 1950:215). Pada
awalnya mereka dipandang sebagai pihak yang tidak pernah menyumbangkan jasa kepada bakufu dan dianggap kurang produktif. Pekerjaan pedagang dianggap pekerjaan yang hina, karena hanya mencari keuntungan pribadi saja. Meskipun secara sosial golongan pedagang dianggap rendah, namun dalam aspek ekonomi kelompok ini merupakan kelompok yang paling makmur di antara kelompokkelompok yang lain. Bahkan pada abad XVIII sampai abad XIX kelompok ini ada yang melebihi kekayaan para daimyo. Hal ini mendorong kedudukan golongan ini dalam strata sosial masyarakat naik dengan cepat (Hane, 1972:31-32; Bellah, 1992:36). Dari golongan-golongan yang ada di dalam masyarakat Jepang, terdapat suatu golongan yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari golongan atau kelas di atas. Golongan ini disebut dengan Senmin yang berarti tidak boleh disentuh. Mereka adalah lapisan yang mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor. Golongan Senmin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu hinin atau pengemis dan eta atau jagal, penyamak kulit. Senmin adalah golongan masyarakat yang disamakan dengan kelas binatang (Dasuki, 1963a). Shogunat Tokugawa menerapkan struktur sosial masyarakat yang tertutup yang tidak memungkinkan adanya mobilitas status sosial dalam masyarakat. Misalnya, kelas petani tidak akan beralih status sosialnya ke kelas di atasnya seperti kelas samurai. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian ras yang ada, serta menjaga agar mobilitas rakyat agak terhambat. Hal ini akan mengakibatkan masyarakat tidak akan begitu kritis dalam melihat suatu ketimpangan politik. Di samping itu juga dipergunakan untuk mempertahankan prestise kekuasaan. Sebab kekuasaan yang menentukan status sosial seseorang, bukannya kekayaan seseorang (Bellah, 1992:35). Dari struktur masyarakat tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa adanya suatu dorongan yang mampu memunculkan suatu perubahan, terutama dalam sektor perekonomian, maka tidak akan terjadi suatu mobilitas sosial suatu golongan, terutama mobilitas ke atas. Namun, struktur masyarakat Jepang era Tokugawa tersebut justru mengalami suatu perubahan yang didorong oleh perubahan dalam sektor perekonomian, terutama melalui perdagangan. Hal inilah yang kelak akan mendorong mobilitas sosial golongan pedagang ke status sosial yang lebih tinggi. C. Perkembangan Perekonomian Jepang Jaman Tokugawa Ketika Ieyasu Tokugawa menjadi shogun baru, dia pertama mendorong perdagangan luar negeri, mendirikan hubungan dagang dengan Inggris dan Belanda. Namun, dalam 1633, Shogun Iemitsu (penerus Ieyasu) kecewa perdagangan internasional dan menerapkan politik isolasi. Satu-satunya hubungan perdagangan luar negeri yang tetap dibuka adalah hubungan dengan Cina dan Belanda melalui pelabuhan Nagasaki. Dia ingin Jepang menjadi swasembada bangsa dan untuk menghindari ketergantungan pada negara-negara lain. Hal tersebut jauh berbeda di hari modern Jepang, yang merupakan bagian dari perdagangan internasional dan mungkin di dunia telekomunikasi. Pada masa kekuasaan Tokugawa di Jepang, perekonomian terdiri dari pertanian dan produk manufaktur dari Jepang. Mereka menghasilkan sutera dan kain kapas,
kertas, kaca, dan kepentingan (jenis anggur beras). Produk manufaktur ini membuat pedagang kaya kelas yang terdiri dari grosir, pertukaran calo, pemilik bank menjadi berkuasa dalam bidang eknomi. Perekonomian Jepang hanya terdiri dari rumah tangga dan perdagangan kecil saluran ke dunia luar di Nagasaki. Produk Jepang utama dalam bidang pertanian tanaman selalu beras, dan sampai sekarang, sebagai orang masih mengolah sawah dan panen padi dengan cara yang sama mereka lakukan ratusan tahun yang lalu. Dengan berakhirnya masa Warring Barons dan naiknya Shogun Tokugawa sebagai penguasa dalam bidang politik di Jepang yang menerapkan sistem Bakuhan taiser, maka mulai terlihat beberapa perubahan ke arah perdamaian. Tokugawa berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, sehingga era ini dapat disebut sebagai era perdamaian yang panjang. Dalam masa kekuasaan Shogunat Tokugawa yang panjang tersebut, Jepang mengalami kemajuan yang pesat dalam sektor ekonomi. Ekonomi lama yang mendasarkan diri pada nilai tukar padi atau beras, diganti dengan sistem ekonomi uang. Hal ini sangat menguntungkan kelompok pedagang daripada kelompok militer yang penghasilannya diperoleh dari pasokan para petani yang berupa hasil bumi atau dalam bentuk in natura. Para pedagang kemudian menguasai perdagangan beras dan semakin besar pengaruhnya dalam bidang politik. Akibatnya golongan militer dalam hal ini adalah para daimyo dan samurai semakin tenggelam dalam lilitan hutang kepada para pedagang. Akibat dari situasi ini adalah adanya percampuran kelas yang mengakibatkan mobilitas status sosial pedagang meningkat. Dalam kondisi demikian, nasib petani adalah yang paling menyedihkan karena kondisinya justru semakin buruk. Pajak yang dipungut oleh para daimyo semakin bertambah berat dan kebutuhan golongan kuge dan buke akan uang akhirnya tetap dibebankan kepada golongan petani (Dasuki, 1963a:59).
参勤交代
) diterapkan oleh Shogun Tokugawa, maka Ketika sistem sankin kōtai ( para daimyo diwajibkan berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya. Sankin kōtai ( "alternatif kehadiran") adalah kebijakan yang Shogunat Tokugawa dalam pemerintahannya. Tujuannya adalah untuk mengontrol dan mengawasi para daimyo agar tidak melakukan pemberontakan terhadap Shogun Tokugawa. Sankin Kōtai sudah dikembangkan di Jepang sejak kekuasaan Toyotomi Hideyoshi. Dalam 1635, undang-undang yang diperlukan untuk memperkuat kedudukan sankin kōtai. Undang-undang ini tetap berlaku sampai 1862. Di atas disebutkn bahwa pihak yang paling menderita atas penerapan sistem sankin kotai ini adalah para daimyo. Sewaktu para daimyo berada di daerahnya masingmasing, maka keluarga mereka harus ditempatkan di Yedo sebagai jaminan (Beasley, 1990:5). Mereka diwajibkan membayar pembiayaan perbaikan istana bakufu di Yedo dan pekerjaan umum lainnya (Ishii, 1990:86). Dengan demikian para daimyo harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat memberatkan ekonomi rumah tangga para daimyo. Untuk hal ini maka para daimyo lebih membutuhkan uang tunai daripada beras. Para daimyo mempergunakan para pedagang menjadi agen-agen dari para daimyo untuk menjualkan beras mereka. Hal ini terjadi terutama terhadap para pedagang di Osaka, yang merupakan kota dagang terbesar di Jepang pada saat itu. Para pedagang ini dikenal sebagai
kuramoto, yaitu penjaga gudang beras milik daimyo dan kakeya, yaitu pedagang yang bertindak sebagai agen keuangan para daimyo. Jadi sebenarnya, para pedagang yang disebut sebagai kuramoto dan kakeya tersebut dapat disebut juga sebagai pengikut para daimyo. Namun, ikatan di antara mereka tidak sekuat seperti ikatan antara daimyo dengan para samurai. Sewaktuwaktu mereka dapat melepaskan diri, terutama ketika hubungan antara mereka dengan para daimyo sudah tidak menguntungkan lagi. Kota Osaka menjadi pusat perdagangan yang sekaligus kota pelabuhan terbesar di Jepang. Sebagian besar penduduk Osaka adalah para pedagang yang menjadi gantungan hidup para daimyo ketika mereka berada di Yedo. Di antara para pedagang tersebut akhirnya ada yang menjadi kaya sekali dan menjalin hubungan yang erat dengan Bakufu. Di antara mereka adalah Konoike, Tennojiya dan Hiranoya. Mereka adalah pedagang besar yang sekaligus mengelola bank (Crawcour, 1972:106). Sebagai pedagang besar dan sekaligus bankir yang meminjamkan uang kepada para daimyo, mereka mengawasi sistem kredit untuk seluruh Jepang. Melalui sistem pelayanan penukaran uang dan pengiriman uang, mereka mengawasi sistem pasar uang yang ditentukan berdasarkan pada nilai emas dan perak. Mereka juga sekaligus bertindak sebagai agen keuangan dari Shogun Tokugawa. Akhirnya mereka mengontrol jalur-jalur keuangan antara Osaka dengan Yedo (Crawcour, 1972:106). Salah satu bankir terkenal yang memiliki jalur hubungan utama dengan para penguasa adalah Konoike. Menurut catatannya, pada tahun 1670 ia menyalurkan kredit kepada pedagang kecil sebesar 59,3 %. Dari seluruh pijaman yang disalurkan, sebesar 19 % adalah kredit untuk para daimyo. Pada tahun 1706 pinjaman para daimyo meningkat sebesar 65,8% dari seluruh kredit yang ada. Kemudian pada tahun 1795 kredit yang disalurkan untuk para daimyo meningkat menjadi 76,9%. Konoike juga mencatat bahwa ia menyalurkan pinjaman untuk 32 daimyo dan setiap tahun menerima sekitar 10.000 koku beras. Jumlah ini lebih banyak daripada beras yang dimiliki oleh seorang daimyo. Daimyo yang paling kecil hanya menerima 10.000 koku beras. Mereka masih harus memperhitungkan segala pembayaran biaya bagi keluarganya di Yedo (Hirschmeier, 1964:19-20). Usaha para pedagang ini dilindungi oleh Shogun karena merasa membutuhkan bantuan mereka. Bahkan Shogun membentuk suatu wadah sejenis gilde agar tidak terjadi persaingan yang tidak membahayakan kedudukan Shogun Tokugawa. Wadah ini juga bermanfaat bagi Shogun, yaitu untuk memperoleh tambahan keuangan dan mengawasi agar kemewahan yang diperoleh golongan pedagang tidak menyamai kemewahan golongan bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa golongan pedagang ini sebenarnya telah menjadi kelas menengah tersendiri yang makmur dan mampu mempengaruhi penguasa (Clyde, 1958:179). Sistem sankin kotai memang merugikan para daimyo, namun sebenarnya justru meningkatkan lalulintas perdagangan. Kota Yedo menjadi pusat dari semua jalur perdagangan. Hal ini memang masuk akal karena di Yedo yang menjadi pusat pemerintahan Shogun, juga tinggal para daimyo yang membutuhkan jasa para
pedagang. Politik isolasi yang diterapkan Shogun Tokugawa memang mampu memutuskan jalur-jalur perdagangan dengan luar negeri, namun tidak mampu untuk mematikan jalur-jalur perdagangan dalam negeri. Jepang yang wilayah geografisnya terdiri dari kepulauan, justru mendorong meningkatnya perdagangan antar pulau dengan mempergunakan sarana pelayaran. Pulau-pulau yang memegang peranan penting dalam perdagangan adalah pulau Honzu dan Hokaido. Hal ini terlihat menjelang jatuhnya Shogunat Tokugawa, terdapat 10 buah pelabuhan di kedua pulau tersebut. Pelabuhan-pelabuhan tersebut selalu penuh dengan kapal-kapal besar yang berbobot mati sekitar 1000 koku (Flershem, 1964:407).
Menurut Flershem (1964:405) banyaknya kapal dagang yang terdaftar dalam dokumen pada tahun 1804 - 1867 adalah sebagai berikut :
Daerah
Pemilik Kapal
Jumlah Kapal
Kaga han
235
400
Fukui han
170
210
Chosie dan Sueo
165
165
Echigo
115
200
Hijogo dan Osaka
100
125
Dewa dan Nambu
10
15
Matsumae han
5
10
Bisen
4
4
Satsuma han
3
3
Owari
2
5
Dari data tersebut dapat dijadikan indikator bahwa sebenarnya dengan politik isolasi tersebut justru meningkatkan perdagangan antar pulau di Jepang. Hal ini disebabkan mau tidak mau Jepang harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Di samping itu, dengan tidak adanya persaingan perdagangan dengan dunia luar, maka perdagangan dalam negerinya terdorong untuk berkembang dengan pesat. Di muka telah disinggung bahwa sebenarnya golongan pedagang dapat menjadi tumpuan utama bagi keuangan Bakufu. Tumpuan ini disebabkan oleh sikap bakufu beserta para daimyo yang hidup secara mewah di istana Yedo. Para pedagang sering dijadikan sasaran tempat peminjaman uang. Bila keuangan Bakufu mengalami kekosongan, maka para pedagang dipaksa untuk meminjamkan uang (go-yokin) dan meningkatkan pemberian istimewa, yaitu sejenis upeti (myogakin) dan mewajibkan mereka untuk membeli beras dari para daimyo demi stabilisasi harga (Hirschmeier, 1964:16). Ketika harga beras pada tahun 1806 mengalami kemerosotan paling bawah dan mengancam nasib petani dan samurai, maka Bakufu memerintahkan 318 pedagang di Osaka untuk membeli dan menyimpan sebanyak 1,2 juta koku beras. Bagi para bankir dan pedagang, terutama yang terikat dengan penguasa, beban yang diberikan ini tidak dianggap sebagai suatu beban yang berat. Mereka justru beranggapan bahwa sudah seharusnya membantu kesulitan keuangan para penguasa. Sebab selama ini kepada mereka hanya dibebankan pajak saja yang tidak sebanding dengan besarnya kekayaan mereka. Karena kekayaan dan eratnya hubungan para pedagang dengan pihak Bakufu, maka di kota-kota mereka dianggap sebagai warga yang terhormat, meskipun status sosial mereka tetap dipandang rendah (Hirschmeier, 1964:16).
Uang yang pada awal mulanya dianggap sebagai alat penukar yang dapat membantu memudahkan jalannya perdagangan, mulai berkembang dan menunjukkan perannya yang sangat penting. Bakufu membuat uang dari mas, perak dan tembaga dalam jumlah yang besar. Demikian juga para daimyo juga membuat uang dari kertas. Hal ini berdampak pada munculnya para bankir yang terkenal, antara lain Mitsui dan Konoike. Dengan kekayaan yang melimpah namun dengan status sosial yang rendah, maka para pedagang berusaha untuk meningkatkan eksistensi mereka. Golongan pedagang ini akhirnya banyak membeli tanah-tanah petani di desa-desa, karena para petani banyak yang menjual tanahnya untuk menutup hutang dan membayar pajak yang tinggi. Daripada para petani memiliki tanah yang luas namun tidak mampu membayar pajak, maka mereka menjual tanah mereka kepada para pedagang. Golongan pedagang ini akhirnya banyak yang menjadi tuan tanah dan menyaingi kedudukan para daimyo (Hirschmeier, 1964:76). Pada masa-masa akhir kekuasaan Shogun Tokugawa, kondisi keuangannya sangat menyedihkan. Demikian juga banyak para daimyo yang jatuh bangkrut. Para samurai akhirnya menjual gelarnya atau berkelana menjadi ronin. Bakufu dan para daimyo berusaha agar golongan pedagang yang memberi kredit kepadanya bersedia menghapus hutang-hutang mereka. Akan tetapi tindakan ini menimbulkan rasa tidak puas di kalangan kelas pedagang. Bahkan golongan ini menunggu saat yang tepat untuk meruntuhkan kekuasaan. Namun usaha ini dengan mudah dapat digagalkan oleh Shogunat Tokugawa sebagai penguasa. Dari uraian di atas terlihat bahwa politik isolasi yang diterapkan oleh Shogun Tokugawa sebagai penguasa di bidang politik, justru memperkuat sistem perekonomian dalam negeri Jepang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kotakota pelabuhan dan kapal-kapal yang menghubungkan antar pulau di Jepang. Peranan dalam sektor perekonomian ini dikuasai oleh para pedagang. Para pedagang sebenarnya memberi kontribusi sangat besar terhadap jalannya roda pemerintahan Shogun Tokugawa. Dengan demikian terdapat suatu jalinan erat antara kelompok pedagang dengan para penguasa di Jepang. Hal ini mengakibatkan golongan pedagang memiliki semacam tempat perlindungan bagi usahanya yang akhirnya bermuara pada terakumulasinya kekayaan di tangan para pedagang. Shogun yang menerapkan sistem sankin kotai justru semakin memperkuat posisi golongan pedagang. Sebaliknya, sistem ini justru mendorong pemiskinan dan kebangkrutan para daimyo dan samurai. Kekayaan dan prestise mereka akhirnya menurun dan dikuasai oleh para pedagang. D. Proses Meningkatnya Strata Sosial Kelompok Pedagang Dari struktur sosial masyarakat Jepang juga terlihat bahwa kelas samurai menduduki kelas yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena Shogunat Tokugawa merupakan penguasa dari kalangan militer. Dengan demikian menjadi logis bila penguasa ini menempatkan posisi samurai sebagai kekuatan utama dan ditempatkan pada posisi yang tinggi. Dengan posisi ini hampir seluruh peranan
dalam segala bidang kehidupan dipegang oleh kelompok militer di bawah pimpinan shogun. Tidak mengherankan juga bahwa Jepang di bawah pimpinan Shogunat Tokugawa, Jepang mengalami masa kedamaian yang sangat panjang. Dengan demikian tujuan Shogunat Tokugawa untuk menegakkan ketertiban dan kedamaian di Jepang telah tercapai. Untuk menegakkan ketertiban dan kedamaian itu, Shogun memerlukan sarana legitimasi untuk melestarikan kekuasaannya. Sarana legitimasinya adalah Tenno sendiri. Shogun tidak berani menyingkirkan atau membunuh Tenno, sebab takut terhadap kemarahan rakyat Jepang yang akhirnya bermuara pada tersingkirnya Tokugawa itu sendiri. Oleh sebab itu dengan sarana legitimasi tersebut diharapkan masyarakat Jepang tetap menerima Shogunat Tokugawa sebagai penguasa yang sah dalam mewakili kekuasaan Tenno. Memang sarana legitimasi ini pada awal kekuasaan Shogunat Tokugawa diterima oleh rakyat, karena pada masa-masa itu Jepang sedang dilanda perang saudara (sengoku). Ketika Jepang mengalami masa perdamaian yang panjang dan kehidupan masyarakat menjadi normal, sarana legitimasi yang diajukan oleh Shogunat Tokugawa tersebut akhirnya juga menimbulkan masalah. Sebenarnya, kedamaian yang diciptakan oleh Shoghunat Tokugawa justru membuat Tokugawa kehilangan sarana legitimasinya untuk tetap berkuasa. Tujuan untuk memulihkan kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan memang cukup memadai untuk masa-masa tersebut. Namun akhirnya Tokugawa cenderung tenggelam dalam stagnasi konservatisme yang kuat. Jelas akan dengan mudah bagi kelompok-kelompok yang anti bakufu untuk menggulingkan Shogunat Tokugawa, karena mereka lebih dinamis dan mempunyai tujuan yang jelas yaitu memulihkan kekuasaan Tenno (Bellah, 1992:32). Hilangnya legitimasi dirasakan menjadi masalah berat ketika terjadi kemerosotan ekonomi sebagai pendukung utama lembaga Bakufu. Kemerosotan ekonomi itu terutama melanda kelas daimyo dan samurai. Salah satu penyebabnya adalah pemberlakuan kontrol yang ketat terhadap daimyo. Cara pengawasan ketat tersebut dilakukan dengan cara pergantian tempat tinggal bagi para daimyo (sankin kotai). Para daimyo diwajibkan berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya. Sewaktu para daimyo berada di daerahnya masing-masing, maka keluarga mereka harus ditempatkan di Yedo sebagai jaminan (Beasley, 1990:5). Mereka diwajibkan membayar pembiayaan perbaikan istana bakufu di Yedo dan pekerjaan umum lainnya (Ishii, 1990:86). Dengan demikian para daimyo harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat memberatkan ekonomi rumah tangga para daimyo. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya pemiskinan para daimyo itu sendiri yang akhirnya memunculkan dampak rantai kemiskinan terhadap kelompok di bawahnya. Proses pemiskinan para daimyo itu berdampak secara langsung pada para samurai. Hal ini disebabkan kehidupan para samurai bergantung secara langsung kepada kehidupan para daimyo, karena mereka digaji oleh para daimyo. Dengan demikian menjadi logis, bila para daimyo mengalami proses pemiskinan, maka gaji para samurai tidak akan terbayar yang akhirnya bermuara pada kemiskinan para samurai. Dalam masa kekuasaan Shogunat Tokugawa Jepang mengalami kemajuan yang
pesat dalam sektor ekonomi. Ekonomi lama yang mendasarkan diri pada nilai tukar padi atau beras, diganti dengan sistem ekonomi uang. Hal ini sangat menguntungkan kelompok pedagang daripada kelompok militer yang penghasilannya diperoleh dari pasokan para petani yang berupa hasil bumi atau dalam bentuk in natura. Para pedagang kemudian menguasai perdagangan beras dan semakin besar pengaruhnya dalam bidang politik. Akibatnya golongan militer dalam hal ini adalah para daimyo dan samurai semakin tenggelam dalam lilitan hutang kepada para pedagang. Akibat dari situasi ini adalah adanya percampuran kelas yang mengakibatkan mobilitas status sosial pedagang meningkat. Dalam kondisi demikian, nasib petani adalah yang paling menyedihkan karena kondisinya justru semakin buruk. Pajak yang dipungut oleh para daimyo semakin bertambah berat dan kebutuhan golongan kuge dan buke akan uang akhirnya tetap dibebankan kepada golongan petani (Dasuki, 1963a:59). Status sosial para pedagang kian meningkat manakala bakufu mengalami kemerosotan perekonomian. Bahkan kebanyakan penguasa Han juga menghadapi masalah-masalah ekonomi yang sama buruknya dengan bakufu. Meskipun dasar perekonomian Han terletak dalam sistem perkonomian agraris, namun tidak terelakkan karena pengaruh masuknya ekonomi uang dan perekonomian barang dagangan yang akhirnya mendorong mereka mengalami kesulitan ekonomi yang besar sesudah tahap akhir abad XVII (Beasley, 1990: 9-10). Kelompok daimyo juga mengalami kesulitan keuangan. Mereka akhirnya mencari jalan pemecahannya dengan cara meminjam uang kepada para pedagang di kotakota pasar yang besar yang disebut dengan kakeya dan kuramoto. Pinjaman uang tersebut dikenakan bunga yang sangat tinggi. Hal ini akhirnya menjebak para daimyo terjerat hutang dan tidak mampu membayar. Hal ini mendorong para pedagang melakukan tuntutan kepada para daimyo agar mereka diperlakukan sebagai samurai. Hal inilah yang menjadikan salah satu faktor naiknya status pedagang dalam hirarki masyarakat Jepang (Ishii, 1988). Proses pemiskinan para daimyo dan samurai akhirnya menyebabkan mereka kehilangan status sosialnya sebagai daimyo dan samurai. Kemiskinan ini mendorong golongan ini menjual statusnya kepada golongan pedagang demi mempertahankan hidupnya. Hal ini justru terjadi sebaliknya terhadap golongan pedagang. Mereka justru semakin kaya dan status sosialnya meningkat. Bahkan mereka justru menyandang status sebagai kelompok elite, yaitu kelompok samurai. Sebenarnya naiknya status para pedagang ke kelas kesatria itu tidak hanya berdasarkan pada jual beli status antara para daimyo dan samurai saja, melainkan ada suatu sarana legitimasi yang lebih kuat. Sarana legitimasi tersebut adalah perkawinan antara anak-anak para daimyo dan samurai dengan para pedagang. Para daimyo dan samurai yang benar-benar tidak mampu membayar hutanghutang mereka kepada para pedagang, dengan terpaksa merelakan anak-anak puterinya untuk dikawinkan dengan para pedagang tersebut. Di sini sebenarnya terlihat suatu hal yang bersifat simbiose mutualistis. Di sisi para daimyo dan samurai, mereka tidak akan kehilangan status kesatrianya dan hutangnya kepada para pedagang menjadi lunas. Perkawinan tersebut menjadikan pedagang yang memberi kredit kepadanya sekarang menjadi anak menantunya. Di sisi lain,
pedagang tersebut menjadi menantu para daimyo dan samurai dengan sendirinya meningkatkan statusnya masuk ke kelas kesatria. Dengan demikian, perkawinan menjadi salah satu sarana pelunasan hutang dan peningkatan status bagi kalangan pedagang. Akhirnya para pedagang, secara kebanyakan mampu mengubah status mereka, ketika banyak para samurai yang menjadi miskin karena para daimyo juga miskin. Para samurai banyak yang menjual statusnya kepada para pedagang, atau juga para pedagang banyak yang mengawini anak-anak kaum samurai. Dengan demikian, status mereka sekarang di mata rakyat Jepang meningkat, tidak lagi menjadi pedagang murni, namun menjadi golongan samurai yang pedagang. E. Kesimpulan Perubahan-perubahan dalam bidang perdagangan di Jepang pada masa kekuasaan Tokugawa, terjadi suatu hubungan yang erat antara para pedagang dengan para penguasa feodal. Sebenarnya hubungan ini dapat dikatakan sebagai hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Namun, hubungan yang bersifat simbosis mutualistis ini sangat erat dengan perkembangan perdagangan di Jepang sebagai dampak dari politik isolasi yang diterapkan oleh Shogun Tokugawa. Perkembangan perdagangan pada masa kekuasaan Shogun Tokugawa sangat baik. Hal ini sangat berkaitan erat dengan penerapan politik isolasi yang justru mendorong Jepang untuk mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Komoditas perdagangan utama pada awal-awal kekuasaan Shogun Tokugawa adalah beras. Bahkan komoditas ini dijadikan standar suatu harga barang dan juga besarnya kekayaan seseorang (dalam hal ini terutama para daimyo). Ketika standar pembayaran dengan beras diganti dengan uang sebagai alat penukar dalam perdagangan, maka para pedagang kian mampu menunjukkan dirinya untuk mampu menguasai sektor perekonomian Jepang. Banyak di antara mereka beralih menjadi para bankir yang justru mampu memberi kredit (pinjaman) kepada Shogunat ataupun para daimyo yang membutuhkan uang. Apalagi ketika Shogun Tokugawa menerapkan politik sankin kotai, maka justru banyak para daimyo yang sangat tergantung pada kemurahan hati para pedagang ini. Kondisi yang demikian ini mendorong naiknya posisi status sosial para pedagang yang muncul sebagai elite tersendiri yang secara tidak langsung menentukan arah roda pemerintahan. Perkembangan perdagangan pada masa Tokugawa yang sangat pesat tersebut akhirnya mampu mengubah status sosial mereka. Perubahan ini sebenarnya didorong oleh berbagai politik yang dilakukan oleh Shogunat Tokugawa dengan tujuan untuk melestarikan atau menjaga ekesistensi kekuasaannya. Hal ini terbukti ketika Shogunat Tokugawa menerapkan politik sankin kotai yang mewajibkan para daimyo berada di Yedo selama enam bulan setiap tahunnya. Politik ini berdampak pada para daimyo yang harus menanggung pengeluaran sangat besar dan sangat memberatkan ekonomi rumah tangga para daimyo. Hal ini menjadi faktor pendorong terjadinya pemiskinan para daimyo itu sendiri yang akhirnya memunculkan dampak rantai kemiskinan terhadap kelompok di bawahnya yaitu kelompok Samurai.
Faktor lain yang mendorong meningkatnya status sosial para pedagang adalah manakala bakufu mengalami kemerosotan perekonomian. Bahkan kebanyakan penguasa Han juga menghadapi masalah-masalah ekonomi yang sama buruknya dengan bakufu. Untuk menutup defisit keuangan, akhirnya mencari jalan pemecahannya dengan cara meminjam uang kepada para pedagang di kota-kota pasar yang besar yang disebut dengan kakeya dan kuramoto. Pinjaman uang tersebut dikenakan bunga yang sangat tinggi. Hal ini akhirnya menjebak para daimyo terjerat hutang dan tidak mampu membayar. Hal ini mendorong para pedagang melakukan tuntutan kepada para daimyo agar mereka diperlakukan sebagai samurai. Tuntutan ini diperkuat dengan adanya perkawinan antara anakanak daimyo dan samurai dengan para pedagang sebagai sarana pelunasan hutang. Dengan demikian mereka justru semakin kaya dan status sosialnya meningkat. Bahkan mereka justru menyandang status sebagai kelompok elite, yaitu kelompok samurai.
Daftar Pustaka Beasley, W.G. 1990. The Rise of Modern Japan. New York : St. Martin's Press. Bellah, R.N. 1992. Religi Tokugawa. Akar-akar Budaya Jepang. Jakarta : Karti Sarana dan Gramedia Pustaka Sarana. Clyde, P.H. 1958. The Far East. New York : Englewood Cliffs. Crawcour, E.S. 1972. Changes in Japanese Commerce in the Tokugawa Period, dalam John a. Harrison (ed.) Japan dalam The Journal of Asian Studies 1941-1971, Vol. II. Dasuki, A. 1963a. Sedjarah Djepang. Djilid I. Bandung : Balai Penerbitan Guru. Flershem, R.G. 1964. Some Aspects of Japan Sea Trade in the Tokugawa Period, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. XXIII. Hackett, R.F. 1972. Nishi Amane - A Tokugawa Meiji Bureucrat. Dalam John A. Harrison (ed.) Japan. Tucson, Arizona: The University of Arizona Press. Hane, M. 1986. Modern Japan. A Historical Survey. Boulder, Colorado : Westview Press. Ishii, R. 1988. Sejarah Institusi Jepang. Jakarta : Yayasan Kartisarana dan Gramedia. Latourette, K.S. 1957a. A Short History of the Far East. New York: The Macmillan Company. Storry, R. A. 1963. A History of Japan. London : Penguins Books