BAB IV MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN DI JEPANG
Dibawah kekuasaan Tokugawa, Jepang mengadopsi nilai-nilai Konfusianisme di dalam sistem pendidikannya. Sistem pendidikan ini dapat bertahan kurang lebih selama 2 abad. Namun dengan adanya peristiwa Restorasi Meiji, terjadi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang. Perubahan yang dilakukan oleh pemerintahan Meiji bertujuan supaya Jepang menjadi sebuah negara yang modern sehingga dapat sejajar dengan negara-negara Barat. Mori Arinori adalah salah satu tokoh pendidikan Jepang yang membawa suatu perubahan dalam pendidikan, Mori berperan dalam memodernisasi pendidikan di Jepang pada masa Meiji.
4.1 Kondisi Sosial Politik Jepang pada masa Restorasi Pada pertengahan abad ke-19 M ketika Jepang diperintah oleh Shogun Tokugawa, kondisi politik Jepang secara umum berjalan stabil. Kekuasaan Tokugawa mengontrol
hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Meskipun menjalankan
pemerintahan dengan gaya otoriter dan mendorong munculnya kekuatan-kekuatan oposan, kuatnya kontrol Tokugawa mampu menyatukan Jepang menjadi satu negara kesatuan. Salah satu kebijakan Tokugawa pada abad ke-17 M adalah diberlakukannya Politik Isolasi (Sakoku) yaitu bangsa Jepang tidak melakukan hubungan dalam bentuk
47
48
apapun dengan bangsa Asing (Nurhayati,1987:17). Pada saat itu, orang Jepang dilarang pergi keluar negeri, sedangkan mereka yang tinggal di luar negeri dilarang kembali ke Jepang. Tujuan dari diberlakukannya Politik Isolasi ini yaitu untuk memperkokoh sistem masyarakat feodal dari kemungkinan terpengaruh oleh budaya asing. Kebijakan ini diberlakukan selain untuk mempertahankan tradisi militerisfeodalistis, juga didorong oleh rasa kuatir pemerintah akan pengaruh asing yang dapat mengancan kekuasaan Tokugawa. Kebijakan ini menjadikan Jepang tertutup dari pengaruh- pengaruh asing yang masuk ke Jepang. Politik isolasi yang dijalankan sejak abad ke- 17 M ternyata berakibat minimnya kemajuan yang dicapai bangsa Jepang terutama jika dibandingkan dengan negara-negara Barat (Cummings,1984:19). Padahal pada waktu yang bersamaan, bangsa Barat mulai melakukan industrialisasi dengan merombak tatanan sosial dan proses ekonomi. Akan tetapi perombakan tatanan bangsa Barat tersebut tidak diketahui oleh Jepang karena Politik Isolasi yang mereka jalankan. Jepang menjadi bangsa yang benar-benar terisolir dan nyaris tidak berkembang selama kurang lebih 200 tahun. Politik Isolasi berakhir pada tahun 1854 ketika kapal-kapal perang Amerika yang dipimpin oleh Komodor Perry menyerang di Teluk Edo (sekarang teluk Tokyo) sebagai ancaman terhadap Jepang untuk segera mengakhiri politik Isolasinya. Komodor Perry merupakan utusan dari Amerika Serikat yang bertugas membuka hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Jepang. Amerika dan negara-negara Barat lainnya merasa perlu untuk menjalin hubungan dengan Jepang karena posisi
49
Jepang yang sangat strategis untuk membuka akses terhadap bangsa-bangsa Asia lain terutama Cina dan Korea (Nurhayati,1987:34). Berakhirnya Politik Isolasi Jepang karena serangan bangsa Barat, membuat pemerintahan Jepang harus menyepakati perjanjian-perjanjian. Salah satunya yaitu mengenai pembukaan pelabuhan-pelabuhan Jepang bagi bangsa-bangsa Barat. Meski bertentangan dengan aturan dan mengancam tradisi, pemerintah Jepang tidak dapat menolaknya. Posisi Jepang pada saat itu tidak menguntungkan apabila harus melakukan perlawanan terhadap bangsa Barat yang secara militer jauh lebih unggul. Serangan komodor Perry tersebut mengejutkan bangsa Jepang. Golongan samurai yang sebelumnya menganggap Jepang sebagai negara militeristik yang kuat ternyata tidak mampu berbuat banyak dihadapan bangsa Barat. Sejak saat itu, muncul dua golongan samurai. Pertama: kelompok yang sangat anti Barat; semakin konservatif dan mengagungkan masa lalu seperti Motoda Nagazane. Golongan ini dipimpin Bakufu sebagai sebuah badan militer keShogunan. Golongan kedua adalah golongan yang merasa tercerahkan. Mereka menganggap bahwa kekalahan bangsa Jepang disebabkan penerapan berbagai pola pikir dan aturan yang konservatif seperti Ito Hirobumi, Fukuzawa Yukichi dan Mori Arinori. Golongan ini cenderung mengesampingkan tradisi dan terbuka terhadap perubahan. Golongan ini juga menuntut reformasi total atas pemerintahan. Mereka ingin mengembalikan Kaisar sebagai penguasa Jepang yang berwenang atas pemerintahan (Rochiati,2002:239). Sementara itu perasaan anti asing di kalangan masyarakat Jepang semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan terjadinya beberapa kasus serangan terhadap
50
kapal-kapal asing yang melewati selat Shimonoseki. Selain itu beberapa kaum pelajar mengobarkan semboyan “kembali kepada kaisar” dan “Enyahlah kaum biadab” (Joi). Semboyan ini didasarkan pada ajaran Konfusius dan Shinto tentang ketaatan pada pimpinan tertinggi dan mempertahankan kemuliaan bangsa dihadapan bangsa asing (Mattulada,1979:119). Gejolak politik dan sosial tersebut memuncak pada peristiwa perang saudara yang mengakhiri kekuasaan Tokugawa atas Jepang. Rangkaian peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1868. Kaisar Meiji yang berkuasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan untuk menghapuskan semangat feodalistik dengan melakukan perombakan mendasar pada pemerintahan. Yoshinobu Tokugawa (Shogun terakhir) dipaksa meletakkan jabatannya dan gelar kebangsawanannya dicabut (Nurhayati,1987:48). Semua harta kekayaannya berupa emas, tempat tinggal (kastil dan tanah-tanah), kapal-kapal perang, senjata-senjata dan lain sebagainya disita. Terhadap para pengikut Shogun, kaisar memerintahkan pengusiran dan bahkan hukuman mati. Setelah pemerintahan kembali ke tangan kaisar dan lembaga Keshogunan dihapuskan, maka dimulailah tindakan dan usaha-usaha reformasi dalam negeri. Sistem pemerintahan tidak sepenuhnya dirubah, hanya beberapa aturan yang dianggap bertentangan dengan semangat modernisasi yang dirubah. Penguasaan Daimyo atas tanah-tanah wilayah juga dihapuskan. Tanah diserahkan kepada rakyat sebagai upaya menghapuskan feodalisme. Perbedaan antara golongan
Samurai,
petani, tukang, dan pedagang juga dihapuskan. Hak-hak pribadi tentang kebebasan
51
untuk memilih pekerjaan, hak milik, dan kebebasan dalam perkawinan diakui. Pemerintah juga merubah sistem pembayaran pajak kebendaan menjadi pembayaran dalam bentuk uang (Sayidiman,1987:31). Pada masa Tokugawa pajak dibayar dengan hasil tanah seperti beras, hal ini berakibat pada pemasukan pajak yang tidak stabil kepada pemerintah karena pembayarannya berdasarkan hasil panen. Sedangkan pada masa Meiji pajak harus dibayar dengan uang tunai, sehingga pemerintah dapat mengumpulkan biaya secara stabil dari sistem pajak tersebut. Perubahan sistem pemerintahan, membuat kehidupan masyarakat feodal di Jepang mulai lenyap. Pemimpin-pemimpin baru yang mendapat mandat ketika kaisar Meiji dinobatkan, bertekad untuk membangun lembaga-lembaga Jepang menjadi lebih modern dan menghindarkan Jepang agar tidak menjadi bangsa yang terjajah. Pemerintahan Meiji berusaha untuk menanamkan nilai teknologi
Barat dengan
semangat Timur ke dalam hati rakyat Jepang (Cummings, 1984 : 20). Dengan menerapkan nilai-nilai Barat tersebut diharapkan modernisasi yag sedang dijalankan oleh Jepang dapat tercapai dengan baik. Dasar-dasar untuk mencapai modernisasi di Jepang sebenarnya sudah ada sejak zaman Tokugawa. Pada zaman tersebut, rakyat Jepang telah dibentuk dalam persatuan
dan
kebiasaan
patuh
secara
mutlak
terhadap
pemimpin
(Nurhayati,1987:50). Patuh kepada pemimpin ini direalisasikan dengan kerelaan untuk mengorbankan kepentingan pribadi. Pada masa restorasi, kepatuhan tersebut berkembang menjadi sebuah cita-cita nasional dengan kesetian kepada Kaisar dan tanah air yang dikenal dengan nama Bushido. Bushido kemudian menjadi pegangan
52
hidup masyarakat Jepang untuk mendorong tercapainya cita-cita pembentukan negara modern. Secara bertahap pemerintah mulai melakukan perbaikan dalam bidang ekonomi dan prasarana untuk masyarakat Jepang. Aspek lain dari kebudayaan Barat pun mulai muncul dalam kehidupan masyarakat Jepang. Ide demokrasi mulai disebarkan melalui gagasan politik yang dikenal dengan nama “Gerakan untuk hakhak demokrasi” (Jiyu Minken Undo) (Mattulada,1979:132). Tujuan utama gerakan ini yaitu menuntut diadakannya Dewan Perwakilan Rakyat: sebuah lembaga ala Barat
yang
dipilih
rakyat
dan
berwenang
menyusun
kebijakan-kebijakan
pemerintahan. Pada tahun 1881, ketika tuntutan diadakannya Dewan Perwakilan Rakyat semakin besar, pemerintah mengumumkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat akan dibentuk dan Undang-Undang Dasar akan disusun. Namun upaya itu tidak dapat dilaksanakan dalam jangka waktu dekat, pemerintah Jepang membutuhkan referensi dan contoh dalam membentuk lembaga yang masih asing di Jepang tersebut. Pada tahun 1881, pemerintah mengutus para perwakilan Jepang --yang diantaranya Ito Hirobumi-- ke Amerika dan Eropa untuk mempelajari sistem konstitusi Barat. Dewan Perwakilan Rakyat dan Undang-Undang Jepang sendiri baru terbentuk pada tahun 1890 (Beasley,2003:284). Pemerintahan Meiji berusaha merubah sistem perpolitikan dari sistem Feodalisme menjadi sistem demokratis. Hal tersebut terbukti dengan dibentuknya Dewan Perwakilan rakyat oleh pemerintah.
53
Untuk menyamakan kedudukan Jepang dengan negara-negara Barat, pemerintahan Meiji melakukan pembaharuan dalam segala bidang dengan mencontoh Barat, demikian pula dalam bidang telekomunikasi (Nurhayati, 1987 : 67). Alat-alat telekomunikasi yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti telegraf; film dan pers lambat laun mulai dibangun. Sejak tahun 1871, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk membangun fasilitas-fasilitas komunikasi, pengumpulan surat dan pengumpulan benda pos sepanjang jalan raya Hokkaido. Kemudian didirikan kantor pos yang meniru model Eropa dan Amerika yang berada di Tokyo dan Osaka. Pada tahun 1872, negara-negara Barat seperti Inggris, Perancis dan Amerika mendirikan kantor pos di Yokohama, Kobe dan Nagasaki yang bertujuan untuk mengurus pengiriman surat. Peranan teknologi komunikasi sangat mendukung dalam pendidikan modern, dalam hal ini pemerintahan Meiji menganggap bahwa dengan adanya pembangunan teknologi komunikasi maka informasi mengenai ilmu pengetahuan Barat dapat diperoleh dengan cepat. Bagi sebagian besar masyarakat Jepang pada masa Meiji, modernitas merupakan sesuatu yang sangat penting. Adapun yang dimaksud modernitas adalah seperangkat perilaku dan ide yang mereka kaitkan dengan Barat (Beasley, 2003 : 293). Ide-ide modernitas tersebut dibawa ke Jepang oleh para akademisi yang mengecap pendidikan di Barat, maupun orang Barat yang tinggal di Jepang. Modernitas dari pengaruh asing tersebut dapat dilihat dikota-kota besar seperti
54
Tokyo. Fakta tersebut menjadi bukti bahwa modernisasi yang di inspirasikan dari Barat benar-benar mengambil tempat dalam pembangunan bangsa Jepang saat itu. Sebagai akibat dari pencerapan nilai-nilai dan tradisi Barat, banyak orang Jepang yang berpakaian bergaya Barat, tentara dan polisi pun berpakai seragam, pejabat menggunakan pakaian dinas sepeti jas panjang dan topi tinggi. Para pengusaha memakai topi bulat dan jas, sedangkan istri dan anak gadis orang kaya menggunakan rok panjang dan topi yang berhias aneka warna. Bahkan Kaisar pun mulai menggunakan pakaian resmi ala Barat pada upacara akhir tahun 1872. Pakaian tradisional Jepang mulai dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman. Ketika sekelompok Samurai dari Satsuma yang tiba di Tokyo masih menggunakan pakaian tradisional dan gaya rambut yang sesuai dengan tradisi, mereka mengundang perhatian orang banyak di ibu kota Jepang tersebut (Beasley,2003:294). Sebelum Restorasi Meiji tahun 1868, berbagai lembaga pendidikan didirikan sesuai dengan strata sosial yang ada pada masyarakat Jepang. Para penguasa provinsi mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak para prajurit, sedangkan masyarakat pedalaman menyelenggarakan sekolah tertentu bagi para pedagang dan petani kaya. Salah satu jenis sekolah swasta adalah Terakoya (sekolah kuil) yang mengajarkan membaca, menulis, dan ilmu hitung kepada anak-anak rakyat kebanyakan dan terutama yang tinggal di kawasan kota (Reischauer,1982:217). Selain berkembang didaerah perkotaan, Terakoya ini pun berkembang didaerah pedesaan. Pada masa menjelang Restorasi, sistem pendidikan yang berlaku di Jepang menganut nilai-nilai Konfusianisme. Ajaran ini merupakan filsafat tentang dimensi
55
sosial kehidupan manusia. Ada beberapa mazhab dalam ajaran Konfusius yang berkembang di Jepang, terutama pada masa Tokugawa. Salah satu yang terpenting adalah mazhab yang dikembangkan oleh Chu Hsi (1130-1200). Dalam mazhab ini ditekankan bahwa peran pemerintah dalam mengatur negara, berarti menciptakan dan memelihara sebuah masyarakat yang tertib (Beasley, 2003 : 218). Ajaran-ajaran Konfusius Chu Shi menjadi dasar ajaran moral yang dipegang dan dipaksakan oleh KeShogunan Tokugawa selama berabad-abad. Ajaran ini pulalah yang mengukuhkan feodalisme di mana suatu sistem kelas sosial yang didasarkan pada pimpinan feodal dan bakti anak terhadap orang tua dipandang sebagai inti kehidupan moral. Ajaran ini mengakui adanya suatu kodrat berupa jenjang hierarki dalam kehidupan manusia. Mazhab ini menjadi salah satu alat legitimasi pemerintahan Tokugawa untuk bertindak tegas dan keras dalam mempertahankan kekuasaannya. Ajaran itu dipertahankan dengan melalui kurikulum di sekolah-sekolah kuil atau Terakoya. . Ajaran Konfusianisme menjadi inspirasi atas terbentuknya stratifikasi masyarakat feodal Jepang pada masa Tokugawa yang terbagi ke dalam golongan militer (Samurai), petani, pekerja dan pedagang serta golongan Eta yang dianggap golongan paling rendah (Benedict,1982:68). Golongan Samurai merupakan merupakan golongan yang terkecil dari presentase jumlah penduduk Jepang. Akan tetapi golongan ini mempunyai kedudukan tertinggi dan hak istimewa karena berada di bawah kekuasaan Daimyo (tuan tanah). Pada masa Tokugawa, Daimyo ini mempunyai wilayah sendiri dan dapat menetapkan pajak sendiri. Berbeda dengan golongan petani, meskipun merupakan golongan terbesar akan tetapi mereka dibebani
56
pajak yang sangat tinggi, sehingga taraf kehidupan mereka sangat rendah. Adapun golongan pekerja dan pedagang yang statusnya lebih rendah dari petani, menjadi salah satu golongan kaya. Hal ini dikarenakan rendahnya pajak yang dibebankan kepada mereka. Sedangkan pada masa Meiji, Daimyo menjadi sebuah gelar bangsawan (Kazoku). Mereka pada masa Meiji tidak mempunyai kekusaan di daerahnya sendiri dan juga tidak dapat menetapkan pajaknya sendiri, karena hal tersebut telah diatur oleh pemerintah. Sedangkan golongan Samurai tidak lagi menjadi elite militer dan hak-hak istimewa dihapuskan. Mereka tidak lagi mendapat tunjangan dari pemerintah. Sehingga pada masa Meiji ini banyak dari golongan Samurai yang tidak dapat menikmati kemakmuran ketika masa Tokugawa (Beasley,2003:286). Berdasarkan fakta-fakta dari uraian diatas, kondisi sosial dan politik di Jepang pada masa Meiji mengalami perubahan. Berawal dari serangan bangsa asing terhadap bangsa Jepang pada masa Tokugawa yang bertujuan untuk mengakhiri Politik Isolasinya, membuat Jepang sadar dan berpikir untuk mengejar ketertinggalannya dengan bangsa Barat. Terjadinya Restorasi Meiji berdampak pada berubahnya peranan Daimyo dan Samurai, mereka tidak lagi mempunyai hak istimewa dalam pemerintahan. Dengan adanya budaya asing yang masuk, pola hidup masyarakat Jepang pun banyak yang berubah dan banyak meniru kebudayaan Barat. Bidang politik pada masa Meiji dikuasai oleh para Samurai yang berpikiran moderat, mereka ingin memajukan bangsa Jepang. Salah satu upaya yang mereka lakukan untuk dapat memajukan
57
bangsa Jepang yaitu dengan mengubah sistem pemerintahan. Salah satu caranya yaitu dengan mempelajari konstitusi Barat yang dianggap modern dan sesuai dengan bangsa Jepang.
4.2 Sistem Pendidikan Jepang pada awal masa Meiji Setelah Kaisar Meiji berkuasa, pemerintah mulai memberi perhatian terhadap pendidikan. Pemerintah berpandangan bahwa pendidikan merupakan sebuah pondasi bagi kemajuan bangsa karenanya pendidikan yang tidak menyeluruh dengan hanya diberikan pada golongan tertentu saja harus dihapuskan. Para pemimpin dalam pemerintahan Meiji, mulai melihat gagasan-gagasan Barat dalam upaya modernisasi. Sistem pendidikan yang digunakan pada masa Meiji ini banyak meniru sistem Barat (Nurhayati,1987:64). Untuk merealisasikan model baru pendidikan, hal pertama yang dilakukan oleh pemerintahan Meiji adalah mengirimkan pelajar-pelajar yang berprestasi untuk mempelajari sistem pendidikan, ekonomi, konstitusi dan bidang-bidang lainnya ke luar negeri (Rosidi,1981:18). Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintahan Meiji menyediakan 30 % dari seluruh anggaran pendidikan,mengirimkan misi keluar negeri dan mengundang tenaga asing. Tenaga asing di sini dijadikan sebagai tenaga pengajar maupun penasihat-penasihat dalam bidang tertentu. mereka dijamin akan diberikan posisi-posisi tertentu dan atau jabatan tinggi. Pemerintah juga berusaha membangun kesadaran masyarakat untuk memprioritaskan pendidikan. Generasi muda didoktrin untuk mencintai pengetahuan
58
dan membenci kebodohan. Pemerintah menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu unsur pokok dalam pembentukan kesadaran yang akan memungkinkan Jepang menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berkuasa. Selain itu, pendidikan dapat mempermudah penyerapan pengetahuan teknik modern sebagai suatu sarana untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat (Sayidiman,1987:211). Pada tahun 1872, pemerintahan Meiji mengeluarkan Undang-undang pendidikan yang isinya menyatakan bahwa : “Dimasa mendatang tidak boleh ada komunitas dengan keluarga yang salah satu anggotanya buta huruf. Tiap wali harus membesarkan
anak-anaknya
dengan
rasa
penuh
kasih
sayang
dan
akan
menyekolahkannya ” (Herbert Passin, 1965 : 209-211,dalam buku Cummings, 1984 : 21). Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut, pemerintahan Meiji menyusun dan mengumumkan suatu rencana sistem sekolah modern nasional. Kerangka dari sistem pendidikan ini didasarkan pada pola pendidikan Perancis (Gakusei). Pola Gakusei ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam program pemberantasan buta huruf pada masyarakat Jepang. Adapun sistem persekolahan yang mengadopsi pola Perancis ini dapat dilihat dalam bagan sebagai berikut :
59
Sistem Persekolahan Menurut Gakusei (1872) Usia: 24
23
19
17
Universitas Kursus Umum Sek. Khusus Kursus Persiapan Sek. Bahasa
Sek. Sek. Pertanian Pend. Teknik Guru Dagang
S.M. Tingk. Atas S.M. Tingk. Bawah
14
Sekolah Dasar Tingkat Atas
10
6
Sekolah Dasar Tingkat Bawah
(Rochiati Wiriaatmadja,2002:233)
Menurut sistem persekolahan Gakusei tersebut, angka usia menunjukkan jenjang
pendidikan siswa dari mulai tingkat terendah (Sekolah Dasar Tingkat
Bawah) sampai dengan jenjang tertinggi yaitu universitas. Setiap Sekolah Dasar terdiri dari dua tingkatan yang masing-masing berlangsung selama 4 tahun. Setelah menempuh Sekolah Dasar selama 8 tahun, para siswa dapat mengikuti sekolahsekolah kursus, tujuan dari hal tersebut untuk mengkhususkan bidang-bidang yang
60
akan diambil oleh siswa, sehingga kemampuan mereka dapat lebih spesifik lagi. Sekolah kursus ini terdiri dari berbagai macam seperti Sekolah Bahasa, Sekolah Pertanian, Sekolah Teknik, Sekolah Dagang, dan Sekolah Pendidikan Guru. Adapun bagi siswa yang mempunyai prestasi dan biaya, maka siswa tersebut dapat meneruskan ke jenjang universitas. Sistem pendidikan ini menyebabkan adanya pembagian delapan daerah akademik di seluruh Jepang. Di dalam setiap daerah akademik terbagi menjadi 32 daerah Sekolah menengah dan setiap daerah Sekolah Menengah menjadi 210 daerah Sekolah Dasar. Hal ini dirancang sedemikian rupa hingga dalam suatu wilayah akademik berdiri sebuah universitas, sebuah Sekolah Menengah di setiap daerah Sekolah Menengah dan sebuah Sekolah Dasar di setiap daerah Sekolah Dasar (International society for educational information,1988:24). Sistem pendidikan yang baru tersebut kemudian menggantikan sistem pendidikan tradisional. Meski demikian, dalam kenyataannya, sistem baru tersebut hanya sebagian yang terlaksana (Reischauer,1982:217). Salah satu contohnya yaitu mengenai rencana pembangunan universitas di setiap daerah akademik. Dalam realisasinya hanya Universitas Tokyo saja yang didirikan, ke tujuh universitas yang akan didirikan di Tohoku, Hokkaido, Kyushu, Nagoya dan Osaka gagal dibangun karena adanya berbagai hambatan terutama dalam hal biaya. Demikian pula dengan pembangunan Sekolah Menengah dan Sekolah Dasar tidak berjalan sesuai dengan yang diprogramkan oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan kondisi keuangan pemerintah yang belum stabil.
61
Sekolah-sekolah yang didirikan dengan sistem Barat ini tidak disambut baik oleh kelompok prajurit dan sebagian masyarakat Jepang. Mereka berpendapat bahwa Pendidikan gaya Barat sangat asing, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa mengikuti pendidikan tradisional. Buku-buku pegangan siswa pun merupakan terjemahan dari buku-buku Barat. Hal ini membuat para siswa jarang pergi ke sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah berupaya memerintahkan pejabatpejabat setempat untuk mengumpulkan anak-anak agar pergi ke sekolah, tetapi usaha yang mereka lakukan tidak terlalu efektif (International Society for Educational Information,1988:25-26). Penolakan tersebut tidak saja sekedar menolak mengirim anaknya untuk bersekolah, bahkan antara tahun 1872-1877 terjadi perusakan dan pembakaran gedung-gedung sekolah. Berdasarkan temuan-temuan diatas, peneliti memperoleh gambaran bahwa pada awal diberlakukannya model pendidikan Barat di Jepang pada masa Meiji banyak menemui kendala.
Dilihat dari sudut pandang cita-cita, sebenarnya sistem pendidikan yang berdasarkan pola Perancis (Gakusei) termasuk sistem yang progresif dan mampu memajukan serta meningkatkan kualitas kehidupan bangsa Jepang, namun sistem pendidikan lama yang didasarkan pada nilai-nilai Konfusius tidak bisa berubah begitu saja. Masyarakat Jepang sudah berabad-abad mempelajari dan mengimplementasikan ide-ide Konfusianisme dalam kehidupan sehari-hari, sangat tidak mudah untuk beralih pada pola pendidikan Barat yang terlalu berorintasi pada hasil dan tujuan.
62
Dalam hal ini, wajar apabila perubahan-perubahan yang terlampau cepat ditolak oleh masyarakat Jepang sendiri (Nurhayati,1987:65). Salah satu aspek yang mendorong suksesnya suatu pendidikan adalah kualitas guru. Pada saat sistem baru pendidikan diberlakukan, jumlah guru-guru yang berkualifikasi sangat jarang, sehingga pemerintah membuat program mengadakan penataran guru. Untuk itu, pada tahun 1873 pemerintah mendirikan sekolah normal (sekolah yang didirikan untuk mendidik calon guru), guru-guru asing disewa untuk memberi pelajaran dengan menggunakan gaya pengajaran di sekolah-sekolah Dasar Barat (International society for educational information,1988:23). Penyebaran pendidikan dan kebudayaan Barat berkembang pesat pada masa Meiji. Sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa asing meningkat jumlahnya. Tetapi di sisi lain masyarakat Jepang pada umumnya belum siap mengalami perubahanperubahan yang sangat cepat tersebut. Generasi yang tumbuh di tengah perubahan sosial dan budaya secara cepat tersebut merasakan pergulatan batin yang luar biasa (Pyle,1988 : 4). Banyak di antara masyarakat akademisi Jepang yang depresi dan bunuh diri karena perubahan mendadak dan mendasar dari sistem pendidikan tersebut. Pergulatan batin yang mereka rasakan muncul karena pada awalnya generasi muda menerima pendidikan tradisional dengan berorientasi pada nilai-nilai Konfusius. Nilai-nilai tersebut sudah tertanam dalam diri mereka, bahkan sampai umur mereka belasan tahun. Akan tetapi setelah pemerintahan Meiji memberlakukan sistem pendidikan baru, yang dalam sudut apapun terasa asing, dengan sudut pandang
63
dan tujuan yang asing pula, maka lulusan-lulusan sekolah menjadi gamang. Mereka kemudian masuk ke dalam masyarakat dengan sebuah pemikiran yang mendua: Di satu sisi mereka sudah terbiasa menerapkan nilai-nilai Konfusius yang sudah diajarkan ketika masa kanak-kanak dan di satu sisi hasil dari pendidikan Barat, yang kedua ajaran tersebut cenderung saling bertentangan. Sekolah dengan sistem baru yang mengacu pada Barat telah mengubah tatanan sosial tradisional masyarakat Jepang. Bahkan sekolah-sekolah tersebut menjadi pemicu atas melemahnya ikatan dan nilai-nilai kekeluargaan yang berdasarkan pada hierarki yang pada masa Tokugawa dipegang teguh. Pada masa Tokugawa, keluarga mempunyai tanggung jawab dalam meneruskan warisan budaya dari satu generasai ke generasi sesudahnya. Di dalam keluarga diajarkan pentingnya status berdasarkan perbedaan jenis kelamin, tingkatan umur, dan penekanan atas sikap patuh pada perintah dan rasa hormat terhadap keluarga seperti diajarkan Konfusius. Namun pendidikan Barat mengedepankan aspek persamaan derajat; kebebasan dan ketidak terikatan pada tradisi. Dengan kata lain pendidikan Barat tidak menilai seseorang dari latar belakang keluarganya. Sehingga meskipun sesorang itu berasal dari keluarga petani asalkan dia berkualitas dan mampu, maka dia dapat memperoleh peluang untuk menjadi pegawai pemerintah. Melemahnya pengaruh lembaga-lembaga tradisional yang dipegang generasi lama mendorong generasi baru Jepang untuk menggantikan posisi mereka. Generasi baru lulusan sekolah Barat dibekali dengan persiapan yang baik untuk menghadapi tugas-tugas baru. Kadang-kadang mereka merasa lebih bermutu dibandingkan dengan
64
rekan mereka yang lebih tua. Hal ini dikarenakan bahwa mereka merasa mengecap model pendidikan yang dianggap lebih tinggi dan modern. Generasi baru Jepang berpendapat bahwa pendidikan di sekolah-sekolah dengan sistem baru dapat membantu mereka dalam upaya menyelesaikan pelbagai masalah secara praktis dan efisien, tidak seperti model pendidikan lama yang terkungkung oleh norma dan mitos yang tidak jelas. Bersamaan dengan melemahnya nilai-nilai konfusianisme, beberapa kebiasaan tradisional
yang dianggap sudah kuno tersisihkan dan akhirnya hilang. Sebagai
gantinya sebagian masyarakat
Jepang meniru berbagai cara kebiasaan Barat;
berpakaian ala Barat; memotong rambut menjadi pendek; makan daging; minum susu dan sebagainya. Bentuk bangunan pun tidak terlepas dari pengaruh Barat, bangunanbangunan banyak meniru arsitektur Eropa. Pada tahun 1868 didirikan hotel Tsujiki di Tokyo, sebagai hotel pertama yang meniru arsitektur Eropa. Pada tahun 1874, didirikan sebuah pusat pertokoan berlantai dua yang dinamakan Renga Zukuri di Ginza. Pusat pertokoan ini baik arsitektur maupun bentuknya, mengikuti gaya Barat. Contoh perubahan-perubahan tersebut merupakan efek dari pendidikan bergaya Barat (Nurhayati,1987 :63). Untuk mempercepat modernisasi kehidupan nasional, secara serentak pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mendorong adat kebiasan Barat yang dapat menyokong kemajuan Jepang (Nurhayati,1987:64). Dengan adanya pengaruh kebudayaan dan teknologi Barat, banyak perubahan nyata yang terjadi di dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Jepang. Segala sesuatu dalam kehidupan
65
masyarakat Jepang disesuaikan dengan faham Barat yang merupakan gejala perkembangan masyarakat Jepang. Akan tetapi terdapat dampak negatif dari hal tersebut yaitu orang Jepang banyak meniru segala sesuatu dari Barat hanya untuk prestise semata. Akibatnya para pemimpin Jepang mulai berupaya meninjau kembali westernisasi dengan menanamkan kebanggaan terhadap kebudayaan asli Jepang. Hal ini bertujuan untuk membentuk dasar bagi jiwa seluruh bangsa Jepang untuk menjadi bangsa yang modern. Pada tahun 1879, Kaisar Meiji atas saran dari para penasehatnya, mengeluarkan sebuah dekrit tentang pelarangan perilaku meniru Barat dalam sistem Pendidikan untuk diajarkan kepada anak-anak di Jepang. Pada tahun 1890 pun muncul dekrit pendidikan yang mendesak agar kesetiaan dan hormat kepada orang tua dan hormat kepada Undang-undang dasar dan hukum dijadikan inti dari sistem pendidikan (Beasley,2003:298). Dekrit tersebut dijadikan dasar bagi semua buku pelajaran wajib dalam semua tingkatan. Pemerintah berusaha untuk mengikis ekses negatif dari budaya Barat dengan memasukan pelajaran budi pekerti, cinta negara, dan ”semangat mengagungkan Kaisar”. Buku-buku yang digunakan di sekolah– sekolah diperiksa dengan hati-hati untuk menghindarkan dari pengaruh asing yang tidak diinginkan. Kaisar pun mengeluarkan sebuah peraturan bahwa potret atau gambar kaisar dan salinan dekrit pendidikan ditempatkan pada tempat terhormat di setiap sekolah. Berdasarkan fakta-fakta dari uraian diatas, sistem pendidikan pada awal Meiji cenderung mengikuti sistem Barat. Salah satu sistem pendidikan yang digunakan
66
adalah pola perancis (Gakusei). Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pendidikan yang berdampak pada terbentuknya sistem pendidikan ini, diharapkan dapat mempercepat pemerataan pendidikan di Jepang. Akan tetapi banyak kendala yang dialami pemerintah, karena tidak semua masyarakat Jepang dapat dengan mudah menerima sistem pendidikan ini yang dianggap asing oleh mereka.
4.3.Pemikiran Mori Arinori dalam pendidikan di Jepang pada masa Meiji Dari uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa dalam upaya mengejar ketertinggalan dari bangsa Barat, pemerintah Jepang berupaya untuk memajukan pendidikan sebagai dasar modernisasi. Jepang berupaya mengambil sebanyak mungkin semua unsur yang dianggap “cikal-bakal” kemajuan Barat. Namun saat diketahui bahwa beberapa aspek dari peradaban Barat ternyata memiliki dampak buruk bagi kepribadian bangsa Jepang, pemerintah segera merevisinya dan berusaha mengakomodasikannya dengan sebagian budaya tradisional. Salah satu tokoh yang berperan dalam menyusun dan mengembangkan model pendidikan modern di Jepang adalah Mori Arinori.
4.3.1 Latar belakang kehidupan Mori Arinori Mori Arinori yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan (1885-1889), memerankan peranan yang sangat penting dalam merancang kebijaksanaan pendidikan baru bagi Jepang. Mori berusaha menerapkan sistem pendidikan Barat
67
yang dianggap relevan untuk Bangsa Jepang yang sedang menuju kehidupan modern. Ia menganggap bahwa Barat merupakan acuan yang pantas ditiru oleh bangsa Jepang yang sedang memulai modernisasi pada masa Meiji (Rosidi,1981:17). Pemerintahan Meiji sadar bahwa untuk mengimbangi negara-negara Barat, maka bangsa Jepang harus dapat menguasai ilmu dan teknologi Barat. Mori Arinori dilahirkan pada tanggal 23 Agustus tahun 1847 sebagai seorang anak laki-laki dari sebuah keluarga Samurai di Satsuma (Hall,1973:22). Satsuma adalah sebuah wilayah di Jepang yang sampai tahun 1863, merupakan “kantung” para pendukung Kaisar yang sangat anti terhadap kedatangan bangsa asing. Pada masa selanjutnya, suasana wilayah Satsuma tersebut berdampak pada pemikiran-pemikiran Mori Arinori tentang dunia
Barat (Nagai,1993:209) Dengan melihat peristiwa-
peristiwa yang menunjukan superioritas Barat atas Jepang, Sejak kecil Mori sudah sadar bahwa kemajuan bangsa asing dan ketertinggalan bangsa Jepang disebabkan oleh perbedaan sudut pandang pemikiran tentang pendidikan. Adanya peristiwa serangan yang dilancarkan oleh armada Inggris yang terdiri dari tujuh kapal perang terhadap pelabuhan Kagoshima, telah membuka mata masyarakat Satsuma pada kelemahan mereka yang sudah banyak tertinggal dengan negara Barat. Akibatnya sikap anti asing yang ada telah berubah menjadi sebuah gerakan pembukaan negara serta meninggalkan politik Isolasi di Satsuma. Mori merupakan salah satu siswa yang cerdas, dan untuk memperlihatkan suatu kesungguhan mempelajari ilmu-ilmu Barat. Mori pun melanjutkan pendidikan di sekolah Kaisejo (http://www.ndi.go.jp/portrait/e/datas/204.html [10 Febuari 2008]
68
). Sekolah ini didirikan oleh Bakufu setelah adanya serangan Inggris atas pelabuhan Kagoshima. Dapat dipahami bahwa strategi membuka negara Jepang sebagai salah satunya cara untuk mempertahankan negara merupakan motivasi yang paling besar didalam pikiran Mori untuk memahami dunia Barat. Kecerdasan Mori membuatnya menjadi salah satu pelajar yang dikirim keluar negeri oleh pemerintahan Meiji, Mori dikirim ke Inggris untuk mempelajari konstitusi negara tersebut. Pada saat itu Mori berpendapat bahwa Barat merupakan kumpulan negaranegara yang berlandaskan pada angkatan senjata yang kuat dan negara yang makmur. Mori pun telah membaca sebuah buku karya Hayashi Shihei yang berjudul Kaikokuheidan (cerita tentang negara laut) yang menekankan pentingnya bangsa Jepang untuk mempersiapkan diri secara fisik guna menghadapi ancaman penjajahan negara-negara Barat. Maka selama Mori dikirim oleh pemerintahan Meiji untuk belajar di Inggris untuk mempelajari konstitusi, Mori juga memusatkan perhatiannya untuk mempelajari matematika, kimia dan fisika yang dia anggap sebagai pengetahuan dasar untuk pembangunan suatu angkatan laut Jepang (Nagai,1993:210) Pada usianya yang ke 24 tahun Mori diangkat menjadi duta pertama Jepang untuk Amerika Serikat. Orang yang mengenal Mori berpendapat bahwa dia merupakan seorang yang progresif, seperti yang tercantum dalam bukunya yang diterbitkan di Amerika yang berjudul Religious Freedom in Japan. Dalam buku tersebut Mori menegaskan bahwa tanpa revolusi tidak mungkin dicapai suatu kemajuan dan dia menganggap Restorasi sebagai Revolusi yang dapat memajukan bangsa Jepang.
69
Sebelum diangkat menjadi menteri Pendidikan Jepang pertama pada masa pemerintahan Meiji, Mori merupakan seorang diplomat sampai tahun 1884. Ketika dikirim menjadi duta besar Jepang untuk Amerika, selain mempelajari mengenai Konstitusi Barat, Mori juga banyak mempelajari sistem-sistem pendidikan Barat dan mulai mendiskusikan dengan rekan-rekannya yang lain mengenai kondisi pendidikan Jepang (Hall, 1973 :324). Fakta tersebut memperjelas figur Mori Arinori sebagai tokoh yang selain sebagai diplomat, diapun memilki perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan pendidikan bangsa Jepang. Sebagai seseorang yang ingin menerapkan kebudayaan Barat, Mori mengemukakan pendapatnya dalam suatu forum di hadapan mahasiswa Jepang di Amerika Serikat. Salah satu pemikiran Mori Dalam pidatonya tersebut Mori menegaskan bahwa pentingnya memperkenalkan paham-paham Barat yang dianggapnya sebagai paham pencerahan kepada rakyat Jepang. Demi mencapai hal tersebut
Mori
menganjurkan
agar
mengesampingkan
bahasa
Jepang
dan
menggantinya dengan bahasa Inggris. Tetapi pada saat itu bahasa Inggris merupakan sesuatu yang sangat sulit dimengerti, maka ia menganjurkan supaya disusun suatu bahasa Inggris – Jepang atau Nihon Teki Eigo (Nagai, 1993 : 207), hal itu dimaksudkan untuk mempermudah mempelajari bahasa Inggris. Mori menganjurkan agar
bahasa
Jepang
diganti
dengan
bahasa
Jepang-Inggris
yang
sudah
dirasionalisasikan. Tetapi ketika mengajukan usul yang demikian, Mori tidak bermaksud menghilangakan budaya Jepang sama sekali, melainkan karena terdorong oleh rasa cintanya yang tinggi terhadap Jepang
70
Mori juga menganjurkan agar para mahasiswa menikah dengan wanita Amerika sebelum kembali ke Jepang. Anjuran ini berhubungan dengan pendapat Mori yang menyatakan bahwa peningkatan mutu manusia harus dimulai melalui fisiknya. Ini terbukti dengan keyakinannya sejak menjabat sebagai Duta Jepang di Amerika Serikat, bahwa perbaikan mutu manusia Jepang perlu dicapai melalui kawin campur dengan orang kulit putih. Mori juga menganjurkan
adanya pendidikan
olahraga dan mewajibkan adanya latihan-latihan fisik gaya militer bagi semua siswa Sekolah Menengah dan Sekolah Guru (Sekolah Normal). Selama hidupnya Mori telah berusaha memberikan tempat yang penting pada bidang sains, teknologi dan industri sebagai unsur-unsur mutlak yang mampu menjamin negara Jepang yang stabil (Nagai, 1993 : 210). Maka untuk merealisasikan hal tersebut, Mori mendirikan sebuah institut perdagangan (Niaga) setelah kembali dari Amerika Serikat. Mengenai hal tersebut Mori berkeyakinan bahwa suatu perdagangan yang baik merupakan landasan bagi suatu negara yang makmur. Untuk itu Mori menganjurkan kepada pemerintah untuk mendirikan sekolah keterampilan, yaitu merupakan sebuah sekolah kejuruan perdagangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak orang-orang yang ahli dalam bidang perdagangan. Fukuzawa Yukichi, yang pada saat itu merupakan salah satu cendikiawan yang terkemuka pada masa Meiji pun mendukung Mori dengan mempromosikan sekolah dagang tersebut, hal itu dilakukannya melalui sebuah pernyataan dari Fukuzawa sendiri :
71
“ Situasi pendidikan dewasa ini merugikan kita dalam hal hubungan dengan orang asing. Betapa banyak kesulitan yang yang kita temukan untuk memahami metode akunting mereka !. dengan melakukan survey tentang situasi dari berbagai perspektif, saya menyimpulkan bahwa kecil sekali harapan kita dapat berhasil dalam niaga…. Merupakan peraturan disemua negara Barat bahwa dimana ada perdagangan disitupun harus ada Sekolah Dagang...” (William Ghen,1902 : 29, dikutip dalam Nagai 1993 :224).
Tetapi pemerintah pada saat itu menolak usulannya, sehingga Mori mengeluarkan dananya sendiri untuk mendirikan sebuah sekolah teknik. Sekolah itu kemudian berkembang menjadi Sekolah Ilmu Dagang Tokyo yang sekarang dikenal sebagai Universitas Hitotsubashi. Selain mendirikan sekolah keterampilan , pada tahun 1873 Mori bersama Yukichi Fukuzawa, Nishimura Shigeki dan beberapa tokoh cendikiawan lainnya mendirikan Meirokusha. Mori pun menjabat sebagai ketuanya yang pertama (Hall,1973:351).
Meirokusha
merupakan
suatu
perkumpulan
cendikiawan-
cendikiawan pada masa Meiji yang mengkaji mengenai budaya-budaya Barat. Untuk merealisasikan tujuan dari perkumpulan ini maka mereka menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Meirokuzashi. Dengan adanya tulisan-tulisan para cendikiawan tersebut dalam Meirokuzashi diketahui luas bahwa melalui perkumpulan ini, mereka ingin mengenalkan sesuatu yang baru ke dalam kebudayaan Jepang. Ketika Ito Hirobumi dan Mori Arinori bertemu di Paris pada tahun 1882, Mori
sependapat
dengan
Ito
mengenai
masa
depan
pemerintahan
Meiji
(Passin,1965:86). Ito yang sedang dalam misi perjalanan berkeliling berbagai negara Barat untuk mempelajari berbagai sistem pemerintahan konstitusional di Barat, telah
72
memilih pola pemerintahan kerajaan konstitusional yang menurut pendapat Ito merupakan sistem yang cocok digunakan dalam sistem pemerintahan Jepang. Sistem pemerintahan ini menurut Ito merupakan suatu sistem yang modern untuk mengakui hak-hak dalam batas tertentu rakyatnya, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan Kaisar dan kekuatan negara diatas segala-galanya. Rancangan politik Ito dan kebijaksanaan pendidikan yang dirancang oleh Mori mencapai suatu keserasian yang mengagumkan (Nagai:1993:219). Keduanya mempunyai tujuan untuk meningkatkan kekayaan dan kekuatan negara dengan tujuan untuk menempatkan Jepang pada kekuatan yang sama tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan negara-negara besar lainnya. Dengan adanya kesamaan tujuan antara politik dan pendidikan yang dirancang oleh Ito dan Mori tersebut, membuat Ito yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang, menjanjikan pada Mori bahwa dia akan diangkat sebagai Menteri Pendidikan Selama Mori menjabat sebagai Menteri Pendidikan dari tahun 1885-1889, dia berusaha untuk merancang suatu sistem pendidikan yang dapat memajukan pendidikan di Jepang. Dalam sistem pendidikan yang dirancangnya Mori mengikuti sistem pendidikan Barat yang dianggapnya sangat sesuai dengan tujuan Jepang yang ingin menjadi sebuah negara modern. Pemikiran-pemikiran Mori yang berorintasi Barat tersebut telah membuatnya menjadi sasaran dari kaum konservatif yang tidak senang akan sikap progresifnya. Hal tersebut berakibat pada terbunuhnya Mori Arinori ketika dia masih menjabat sebagai menteri pendidikan.
73
Penjelasan mengenai penyebab terbunuhnya Mori Arinori masih menjadi kontroversi sampai saat ini. Mori dibunuh pada tahun 1889 bertepatan dengan hari diumumkannya Undang-undang Dasar Kekaisaran. Pelaku pembunuhan terhadap Mori Arinori yang pada saat itu menjabat sebagai menteri pendidikan adalah Nishino Buntaro yang merupakan anak dari pendeta Shinto. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nishino, bahwa Mori terlalu progresif dan mengenyampingkan kebudayaan Jepang serta lebih mengikuti pola-pola Barat. Menurut Nishino, Mori merupakan seseorang ”yang melanggar tatanan kekaisaran”, dan ” mabuk dengan pikiran Barat ” (Nagai, 1993 : 201-202). Nishino beranggapan bahwa Mori ingin menghilangkan identitas dan kebudayaan Jepang dengan mengadopsi kebudayaan-kebudayaan Barat. Ada dugaan lain yang menyebabkan Mori terbunuh, yaitu akibat perlakuannya ketika mengunjungi Kuil Ise. Diungkapkan bahwa pada saat Mori mengunjungi Kuil Ise - ketika menjabat sebagai menteri Pendidikan- dia berbuat tidak hormat di kuil tersebut. Disebutkan bahwa ketika Mori memasuki Kuil Ise, Mori tidak melepaskan sepatunya pada saat memasuki altar suci, kemudian Mori menyingkap tirai yang dianggap suci oleh penganut Shinto di kuil tersebut dengan tongkatnya, hal tersebut dianggap sebagai penghinaan bagi mereka sehingga berakibat pada pembunuhan atas diri Mori oleh Nishino yang merupakan anak Pendeta Shinto (Nagai,1993:203). Berdasarkan sumber-sumber yang telah dipaparkan dan dianalisis, maka peneliti memperoleh gambaran bahwa Mori Arinori merupakan figur seorang tokoh yang sangat menghargai dan ingin mengadopsi kemajuan Barat untuk negerinya. Selain itu dari sekian gagasan-gagasan yang diambilnya, pendidikanlah yang menjadi
74
perhatian utamanya. Pendidikan merupakan salah satu alat yang dapat mempercepat modernisasi Jepang.
4.3.2. Pemikiran Mori Arinori Dalam Modernisasi Pendidikan Jepang. Ketika Mori diangkat menjadi menteri pendidikan pada tahun 1885, aspek yang paling banyak memperoleh perhatiannya adalah Pendidikan Dasar. Untuk memperkuat sektor itu
Mori berusaha
memberikan prioritas utama terhadap
pendirian sekolah-sekolah Guru. Ada tiga prinsip Sekolah Guru yang dirancang Mori yaitu pertama jadilah seorang warga negara yang baik dan patuh, kedua mempercayai serta mencintai negara dan ketiga menghormati penguasa (Cummings,1984:27). Ketiga prinsip pendidikan yang dirancang oleh Mori tersebut jelas menunjukkan kecenderungan kebijaksanaan negara pada waktu itu. Pada tanggal 1 maret 1886, kurang dari tiga bulan sesudah kabinet dibentuk, Mori mengeluarkan Ordonansi Universitas Kekaisaran (Teikoku Daigaku Rei). Sebulan kemudian peraturan ini disusul dengan Ordonansi-ordonansi yang mengatur sekolah-sekolah Normal ( yaitu sekolah yang di dirikan untuk mendidik calon-calon Guru), Sekolah Menengah dan Sekolah Dasar. Dalam peraturan ini Mori meletakkan dasar suatu sistem pendidikan yang secara mendasar mempengaruhi pikiran-pikiran kepribadian masyarakat Jepang sampai akhir Perang Dunia ke II. Di dalam sistem pendidikan baru tersebut, ada beberapa hal penting yang dirancang oleh Mori yaitu:
75
a. Pendidikan Spritual yaitu bahwa seluruh pemuda, diharuskan paling sedikit belajar 4 tahun di sekolah dasar, di dalam sekolah dasar tersebut, para siswa diajarkan keterampilan kognitif dasar dan azas-azas moral bangsa. Mori sangat menekankan arti pentingnya pendidikan spiritual ini, karena pendidikan spiritual berdasarkan nilai-nilai kesetiaan pada raja atau kaisar dan kepada tujuan nasional, seperti yang diungkapkan oleh Mori dalam makalah yang diserahkannya pada saat sidang menteri: “……semangat turun menurun yang yang dimiliki oleh rakyat kita membela tanah air dan dan kesetian lahir dan batin kepada Raja sampai sekarang masih tetap teguh. Itulah dasar hakiki dari kesejahteraan dan kekuatan bangsa . jika semangat itu dijadikan tujuan pendidikan dan watak bangsa diarahkan sesuai dengan semangat itu, maka maka tidak ada alasan merasa rakyat akan punya rasa setia yang kuat kepada tahta ( Chukon ) dan cinta tanah airnya ( aikoku ); mereka akan punya watak yang kuat dan suci hatinya. Dengan pendidikan kita harus memantapkan azas membenci mereka yang menghina dan bertabiat buruk. Jika kita berhasil tidak perlu disangsikan rakyat akan sanggup menanggung banyak kesulitan dan bersedia bekerja sama menjalankan tugas mereka…..” (Mombusho, 1972 : 270-276, dikutip dalam Cummings, 1984 : 22).
b. Integrasi Bangsa Mori melihat bahwa ketika awal Restorasi Meiji, kekuasan politik di Jepang terbagi-bagi kedalam kekuasan-kekuasaan politik kecil, bahkan jumlahnya mencapai ratusan. Dalam hal ini kesetian prajurit dan rakyat biasa pun ditujukan pada penguasa atau pembesar daerah setempat bukannya pada pemerintahan negara, sehingga untuk merombak kesetian lokal tersebut, Mori merancang suatu sistem pendidikan yang
76
mengikutsertakan pemerintah untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap sekolah-sekolah lokal. Dalam pengawasan terhadap sekolah-sekolah lokal tersebut, buku-buku pelajaran harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, Kepala sekolah harus diangkat oleh pemerintah, biaya sekolah wajib sebagian ditanggung oleh pemerintah pusat, dan setiap tahun para penilik sekolah dari pemerintah pusat mengunjungi secara rutin sekolah-sekolah lokal. Hal tersebut bertujuan agar pemerintah dapat mengatur sekolah lokal supaya tunduk pada kebijaksanaan pemerintah. Sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori ini berdasarkan pada sistem Prusia. Sistem Prusia yang diadopsi oleh Ito Hirobumi dan Mori Arinori ini bertujuan untuk memperkuat kekuasaan negara dan kesejahteraan rakyat, serta melatih manusianya untuk dapat mengabdi kepada negara tersebut (Rochiati,2002 :240). Konsep pendidikan tersebut menurut Mori sebagai menteri pendidikan dan Ito yang pada saat itu menjabat sebagai kepala Kabinet pemerintahan Meiji, mempunyai kesesuaian dengan kepentingan Jepang yang baru saja memulai modernisasi. Maka dengan berbagai cara pemerintahan Meiji berusaha mewujudkan suatu program pendidikan yang seragam yang akan membantu dalam upaya integrasi bangsa. Program pendidikan tersebut diharapkan dapat melatih kesetian rakyat melalui pendidikan.
77
c. Memilih golongan elit berdasarkan prestasi. Puncak sistem pendidikan Mori adalah universitas yang disebut dengan Imperial University (Todai) (Cummings,1984:26). Untuk masuk ke dalam Imperial University itu, dilakukan pemilihan golongan elit dan diberikan pendidikan yang luas sesuai dengan peranan golongan elit tersebut. Menurut Mori, mereka yang masuk kedalam lembaga tersebut telah dianggap memiliki jiwa yang sesuai dengan tujuantujuan nasional, sehingga dalam hal ini tidak diperlukan lagi indoktrinasi lebih lanjut. Untuk dapat memasuki lembaga ini setiap siswa harus lulus dalam ujian masuk, dan siswa tersebut harus lulus dengan predikat baik pada sebuah tingkat pendidikan sebelumnya. Pemerintah juga membatasi siswa yang ingin masuk ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi dan pendidikan yang terkenal berdasarkan prestasi. Hal ini dimaksudkan agar gelar yang dicapai siswa akan memberikan kehormatan dan pekerjaan yang sangat menguntungkan bagi masa depan mereka.
d. Tenaga kerja dan kecakapan teknis Mori Arinori telah mendirikan beberapa macam sekolah dasar dan Imperial University. Perguruan-perguruan itu merupakan suatu sistem yang beraneka ragam di setelah sekolah wajib. Salah satu jalur yang mempunyai prestise adalah jalur pendidikan melalui Sekolah Menengah Pertama yang menuju Imperial University, karena seleksi masuknya sangat ketat dengan saingan-saingan siswa yang mempunyai predikat lulusan terbaik. Jalur lainnya yaitu dengan melanjutkan ke sekolah-sekolah kejuruan, sekolah normal serta sekolah keterampilan.
78
Mori yang pada saat itu menjabat sebagai menteri pendidikan, menilai tinggi sumbangan yang dapat diberikan oleh sekolah-sekolah tersebut. Pemerintah menyadari bahwa ahli-ahli terlatih dan para teknisi terampil yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap bangsa Jepang yang sedang memulai modernisasi dan dalam usahanya untuk menjadi sebuah negara industrialisasi. Mori Arinori juga berusaha memusatkan perhatiannya kepada siswa-siswa yang masuk perguruan lanjutan , agar sesudah lulus sekolah wajib mereka tetap mendapatkan pendidikan spiritual. Pendidikan calon guru juga tidak lepas dari perhatian Mori Arinori, selama menjadi menteri pendidikan dia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kurikulum sekolah Pendidikan Guru, tempat calon-calon guru sekolah dasar dididik. Dalam buku pelajaran untuk calon Guru, ada buku-buku khusus tentang budi pekerti. Selain itu, untuk sekolah-sekolah normal, dirancang sebuah sistem yang mengikuti pola pendidikan Sparta, salah satunya mengajarkan senam pagi hari yang dipimpin oleh opsir tentara. Mori berpendapat bahwa kehadiran opsir-opsir tentara tersebut, dapat dijadikan teladan yang dapat membantu membentuk sebuah watak setia dan penuh penghormatan yang layak bagi guru. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah memegang kekuasaan dalam menyelenggarakan sekolah normal, karena hal tersebut dapat memperkuat kebijaksanaan yang dipegang oleh pemerintah untuk memberikan pendidikan spiritual secara sistematis terhadap siswa-siswa sekolah dasar. Ketentuan-
79
ketentuan dalam memberikan pendidikan spiritual dimasukan juga ke dalam kurikulum sekolah menengah lainnya. Berdasarkan fakta-fakta dari uraian diatas, pemikiran Mori Arinori mengenai pendidikan Jepang, cenderung berpendapat bahwa Barat merupakan acuan yang pantas untuk dijadikan dasar sistem pendidikan modern Jepang. Hal tersebut dilatar belakangi oleh kehidupan Mori yang sejak kecil sudah melihat keunggulankeunggulan Barat dalam berbagai bidang terutama militer. Mori berpendapat bahwa kunci untuk mengimbangi negara Barat yaitu dengan menguasai ilmu teknologi dan pengetahuan mereka yang bisa didapat dengan cara pendidikan. Untuk merealisasikan gagasannya tersebut, maka Mori mendirikan sekolah keterampilan yang dapat mencetak ahli-ahli baik itu dalam bidang perdagangan maupun industri. Hal tersebut sesuai dengan pendapatnya bahwa landasan negara yang makmur adalah adanya perdagangan yang baik. Selain itu indoktrinisasi tentang kesetiaan terhadap negara dalam pendidikan sangat penting, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga integrasi bangsa Jepang.
4.3.3. Dampak Pemikiran Mori Arinori terhadap Perkembangan Pendidikan di Jepang.
Pengalaman-pengalaman Mori sebagai diplomat telah mempengaruhinya dalam merancang konsep mengenai pendidikan. Adanya keprihatinan terhadap kondisi pendidikan Jepang, memotivasi Mori untuk memajukan pendidikan
80
bangsanya. Dalam hal ini Nagai menyatakan bahwa Mori sendiri pernah mengatakan: “sayang sekali bahwa rakyat negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan taraf Kecerdasan orang Barat”, akan tetapi menurutnya “ Dimasa yang tidak lama lagi, kita akan berdiri sama tinggi dengan mereka dalam persaingan internasional…” (Nagai, 1993 : 217). Dengan konsep-konsep pendidikannya tersebut Mori ingin mengejar ketertinggalan yang dialami bangsa Jepang dari negara-negara Barat. Mori berupaya untuk meningkatkan kecerdasan bangsa Jepang melalui pendidikan. Mori sependapat dengan kaum elit yang menyatakan bahwa pendidikan pada saat itu di Jepang pada umumnya masih terbelakang dan perlu bimbingan menuju sebuah negara modern, yang dicita-citakan oleh pemerintahan Meiji. Selanjutnya mereka pun mengajukan sebuah gagasan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus bekerja sama dalam usaha mewujudkan tujuan negara. Logika dasar yang ada pada konsep Mori mengenai sistem pendidikan pemerintah adalah mengenai pendidikan Sekolah wajib yang bersifat nasionalistik.. Seperti yang ungkapkan oleh Mori dalam salah satu pidatonya ketika dia menjabat sebagai menteri pendidikan : “Dapat dikemukakan dengan sederhana tanpa adanya kesalahan bahwa status negara kita sangat rendah, kekuatan nasional kita sangat lemah, dan kita tidak berpengalaman dalam masalah luar negeri…. Bagaimana situasi ini dapat ditingkatkan? satu-satunya jawaban terletak dalam reformasi sistem pendidikan untuk menyediakan metode yang andal tentang pendidikan dan pengajaran untuk membangun manusia yang berwatak dan berkemampuan …. Dalam situasi persaingan dengan bangsa-bangsa asing… orang tidak peduli tidak dapat memenuhi kebutuhan mendesak negara (Michio Nagai , 1993 : 234).
81
Pendidikan wajib yang bersifat nasionalistik bertujuan agar dapat mempengaruhi rakyat ketika mereka masih kanak-kanak. Didalam sistem pendidikan ini diterapkan nilai-nilai kesetian terhadap negara. Oleh karena itu pendidikan wajib ini dapat dikatakan sebagai alat antisipasi untuk mencegah mereka yang mampu berkembang dan menjadi oposisi negara ketika mereka telah dewasa. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pendidikan yang bersifat nasionalistik tersebut diharapkan dapat memajukan pengembangan kepemimpinan intelektual yang diperlukan untuk menjamin pembangunan Jepang, agar dapat berhasil menjadi suatu negara modern dan menjadi kekuatan potensial dunia. Realisasi dari sistem tersebut pada intinya merupakan suatu mekanisme sosial yang dapat memilih orang-orang berbakat dan berprestasi dari masyarakat. Sistem tersebut dapat menarik akademisi atau pelajar ke dalam struktur kekuasaan, dan berusaha untuk menstabilkan tatanan sosial dan juga memberikan mobilitas maksimal dalam struktur tersebut. Pendidikan wajib yang bersifat nasionalistik menurut Mori sebaiknya diberikan mulai dari pendidikan tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa riset dan pendidikan di tingkat universitas dan sekolah keterampilan, harus dilaksanakan dengan cara sebebasbebasnya dan terbuka (Cummings,1984:35). Pada tataran Sekolah Dasar, pendidikan yang bersifat nasionalistik bersifat lebih terbatas dibandingkan pada tingkat sekolah yang lebih tinggi.
Hal ini
dikarenakan bahwa pendidikan wajib di Sekolah Dasar dijadikan landasan bagi upaya untuk membatasi kebebasan yang berlebihan. Doktrin mengenai nasionalisme ini
82
telah dibentuk sejak Sekolah Dasar. Realisasi dari pemikiran Mori tersebut adalah dengan menetapkan suatu aturan yang sangat tegas, salah satunya dengan menuntut siswa untuk menggunakan seragam militer. Atas kerja keras dan upaya pemerintah sejak tahun 1872 pemerintahan Meiji telah menyatakan niatnya untuk mewajibkan anak-anak Jepang untuk masuk Sekolah Dasar dengan sistem pendidikan yang baru. Pada awalnya pemerintah mengharuskan semua anak-anak masuk sekolah dan orangtuanya yang membayar biaya sekolah tersebut. Sehingga kebijaksanaan tersebut membuat makin merosotnya jumlah anak yang masuk sekolah. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang menyebutkan
bahwa
daerah-daerah
yang
menghadapi
kesukaran
ekonomi
diperbolehkan untuk tidak menjalankan program pendidikan dengan sistem yang baru tersebut. Pada perkembangannya, banyak orang yang makin besar minatnya dalam memandang tujuan nasional sebagain sesuatu yang identik dengan pendidikan Moral. Maka semakin lama banyak bermunculan tema-tema yang bersifat nasionalistik dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan. Melalui pendidikan pemerintah berusaha dengan sekuat-kuatnya untuk menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap masyarakat Jepang kearah tertentu untuk kepentingan nasional. Mengenai pendidikan spiritual yang di dalamnya diajarkan pendidikan moral (yang merupakan salah satu kebijakan pemerintah Meiji pada saat itu), sejak awal pemerintahan Meiji telah banyak menaruh perhatian terhadap pendidikan ini. Pemerintah dalam hal ini memasukan ajaran-ajaran budi pekerti pada buku teks yang
83
dipergunakan oleh siswa. Tetapi tidak semuanya dapat berjalan seperti yang diinginkan oleh pemerintah. Adanya pandangan hidup berbagai golongan tradisional termasuk kelompok religi dan kalangan istana yang berlainan tentang hal pendidikan tersebut, membuat sebuah perdebatan yang berkepanjangan. Akan tetapi perdebatan mengenai pendidikan tersebut dapat teratasi dengan dikeluarkannya dekrit kekaisaran mengenai pendidikan moral, sehingga dapat tercapailah suatu persamaan pandangan mengenai pendidikan Moral tersebut. Sejak tahun 1880 an, kementrian pendidikan telah meningkatkan pengawasan terhadap pendidikan moral, pertama-tama dengan melarang terjemahan buku-buku asing mengenai moral, dan kemudian menerbitkan sendiri buku-buku yang menjurus kepada nilai-nilai tradisional. Hal tersebut berpengaruh pada peraturan-peraturan pendidikan yang dibentuk pada tahun 1890. Peraturan pendidikan inipun dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori. Pada tahun tersebut peraturanperturan mengenai pendidikan dasar menjelaskan tujuan dari pendidikan moral sebagai : latihan moral, pembinaan suatu kepribadian nasional, dan mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam ilmu pengetahuan. Prioritas yang diberikan pada latihan moral dan cinta tanah air merupakan suatu perubahan yang penting dalam kebijaksanaan kegunaan dan praktis yang telah mewarnai pendidikan semenjak 1870 an (Beasley,2003:298). Pada tahun 1881 pun, kementrian pendidikan telah mengirimkan suatu memorandum kepada semua guru sekolah dasar yang menekankan pentingnya nilainilai moral tradisional : ” kesetiaan terhadap lembaga kaisar, cinta tanah air, kasih sayang terhadap ibu bapa, hormat terhadap atasan, saling mempercayai antar sahabat, sikap dermawan terhadap mereka yang lemah, dan mempunyai harga diri merupakan
84
ajaran agung dalam nenegakkan moralitas manusiawi. Seorang guru harus dapat menjadikan dirinya sebagai teladan dalam menghayati nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari dan harus berusaha mendorong para murid mereka agar hidup sesuai dengan ajaran terpuji ” seperti yang ada di dalam ajaran Konfusius dan nilai-nilai tradisional Jepang. (Pyle, 1988 : 162). Ketika pemerintah mulai memberi subsidi untuk pendidikan wajib, maka para orang tua mulai menyekolahkan kembali anak-anaknya. Adanya keringanan biaya pendidikan dengan adanya subsidi dari pemerintah, maka semakin lama banyak masyarakat yang sadar akan arti pentingnya pendidikan. Masyarakat mulai menyadari bahwa pendidikan dapat memberikan suatu kemungkinan kepada seseorang untuk menduduki berbagai jabatan. Kesadaran umum akan hal tersebut membuat lebih banyak lagi orangtua yang menyekolahkan anak-anak mereka. Selain mewajibkan Sekolah Dasar untuk anak-anak Jepang, Mori juga berpendapat bahwa pendidikan Keterampilan merupakan aspek yang paling progresif dari kebijakan pendidikan yang dirancang olehnya. Pemerintah pun berusaha untuk mengembangkan tenaga teknik, meskipun dalam pelaksanaannya masih lambat dan belum merata. Mori pun berusaha mendesak pemerintah untuk mendirikan sebuah Sekolah keterampilan Dagang tetapi pemerintah menolak usulan tersebut sehingga Mori mendirikan sekolah atas biayanya sendiri. Akan tetapi dengan adanya kebutuhan yang mendesak dari kelompok-kelompok masyarakat pemilik industri untuk menambah tenaga-tenaga teknik yang kompeten, maka pemerintah mulai mengeluarkan perintah khusus mengenai sekolah teknik. Pemerintah mulai menjalankan programnya secara sistematis untuk mendidik ahli-ahli dalam bidang teknik dan Insinyur.
85
Promosi sekolah keterampilan yang mendapat perhatian cukup besar dari para pemimpin pemerintahan Meiji, hal ini dapat dipahami dari sudut pandang yang sama. Salah satunya dalam hal dimasukkannya kursus teknik di Universitas Kekaisaran Tokyo. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan keterampilan merupakan aspek paling progresif dari kebijakan pendidikan yang dirancang oleh Mori. Institut pendidikan Niaga (keterampilan dagang) yang dibuka oleh Mori dalam perkembangannya berada dibawah pengawasan pemerintahan di Tokyo. Kemudian berpindah ke kementrian pertanian pada tahun 1884, sekolah keterampilan Dagang ini
pada tahun berikutnya berada dibawah pengawasan kementrian
pendidikan, dan menjadi sekolah ”pemerintah” sepenuhnya. Dalam waktu perpindahan pengawasan ini, tidak ada perubahan apapun yang terjadi terhadap penekanan Mori mengenai pendidikan praktis (Jitsu Gaku ) (Nagai,1993:233). Dalam kemampuannya menyediakan tenaga mandiri dan andal bagi industri Jepang dan khususnya bagi keuangan dan niaga, sekolah ini sama sekali tidak kalah dengan Keio, yang dipandang sebagai sekolah yang paling progresif pada waktu itu. Kendati
pemerintah secara konsisten dan progresif mempromosikan
pendidikan keterampilan yang dirancang oleh Mori, akan tetapi hanya terbatas dalam dua segi saja yakni, Pertama pendidikan keterampilan diperlukan demi suksesnya kebijakan nasional. Pendidikan normal ” angkatan perang yang kuat ” dan kebijakan ” negara kaya ” dari pendidikan keterampilan merupakan dua unsur yang beriringan. Kedua dalam pendidikan keterampilan bahkan dirancang untuk mempertahankan kedudukan dengan menyediakan jaminan kerja bagi kelas menengah. Akan tetapi
86
ditujukan kepada kepentingan pemerintah yang pada saat itu membutuhkan tenagatenaga ahli untuk mendukung modernisasi dalam berbagai bidang, salah satunya industri. Singkatnya pendidikan pada masa Meiji diarahkan dan diatur oleh pemerintah. Didirikan pula sekolah Normal atau sekolah pendidikan Guru. Mori memandang bahwa pendidikan Sekolah Normal (sekolah pendidikan Guru) menempati posisi penting dalam keseluruhan sistem. Menurutnya Pendidikan Sekolah Guru berfungsi sebagai penghubung antara pendidikan tinggi dan pendidikan wajib. Mori memandang Guru bertugas meneruskan ilmu pengetahuan yang sudah disistematiskan sebelumnya kepada generasi penerus. Mori pun merancang sebuah Slogan yang kerap kali dikutip untuk sekolah Guru yaitu : “ kepatuhan ” (Junryo), “ kepercayaan ” (Shinai) dan “Martabat” (Iju). Untuk mewujudkan tujuan yang disimbolkan tersebut, Mori menanamkan cara berpikir militer dalam kepribadian guru secara mendalam. Bahkan Mori pun mengubah seluruh rutinitas kehidupan Sekolah Normal menjadi pola militeristik. Mori mengeluarkan suatu peraturan Kementrian Pendidikan pada tahun 1888 yang mewajibkan Guru menggunakan pakaian dengan kerah yang tegak. Pendidikan Sekolah Normal yang sangat ketat tersebut sesuai dengan yang direncanakan oleh Mori, dimana Sekolah Normal mulai menghasilkan cara hidup dan cara berpikir mereka yang telah dididik secara militer. Menurut Mori dengan sistem pendidikan seperti ini maka Guru-guru yang dihasilkan pun dapat mendidik rakyat dengan rajin dan tegas, dimana rakyat yang disiplin dan tegas merupakan salah satu landasan
87
untuk menjadikan Jepang sebagai sebuah negara yang kuat dan mempunyai nasionalisme yang tinggi. Upaya lain pemerintah untuk mendukung pendidikan yaitu dengan cara memberikan subsidi pada lembaga pendidikan tinggi Imperial University (Todai) . Imperial University ini merupakan tingkatan paling tinggi dalam sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori. Setiap tahun lembaga ini mendapatkan subsidi yang cukup banyak dari pemerintah untuk membiayai keperluannya. Siswa-siswa yang lulus dari Imperial University diberi prioritas dalam bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di lingkungan pemerintahan. Bahkan pada saat sektor-sektor lain dalam masyarakat membutuhkan tenaga-tenaga ahli untuk industri atau perusahaan, mereka melihat Imperial University sebagai tempat yang menyediakan tenaga-tenaga ahli yang kompeten. Anak-anak muda Jepang pada masa Meiji sangat tertarik untuk memasuki Imperial University, tetapi seleksi pemerintah cukup ketat dalam menerima siswa yang ingin masuk lembaga tersebut. Dalam hal ini pemerintah hanya sedikit menerima siswa-siswa barunya. Meskipun banyak dari para pemuda tersebut kecewa, tetapi mereka tetap berusaha untuk mengikuti seleksi masuk yang dilakukan oleh pemerintah. Adanya tuntutan dari masyarakat untuk mendirikan sekolah dengan tingkat yang lebih tinggi seperti Imperial University, maka pemerintah pun mulai mendirikan Imperial University di tempat lain. Kyoto merupakan salah satu kawasan yang dijadikan tempat didirikannya Imperial University yang kedua pada tahun 1897.
88
Selain itu pemerintah mendirikan Imperial University di Tohoku, Hokkaido, Kyushu, Nagoya dan Osaka (Cummings,1984:34). Meskipun perkembangan ini dalam realisasinya mampu meningkatkan status sosial masyarakat, tetapi tidak dapat meruntuhkan tatanan kelas masyarakat Jepang itu sendiri. Akan tetapi sistem pendidikan yang dirancang oleh Mori mengenai sekolah keterampilan dan penyeleksian siswa yang kompeten oleh sekolah tingkat tinggi, dapat dihubungkan dengan pelanggengan tatanan kelas sosial. Dalam hal ini banyak masyarakat dari golongan bawah yang dapat belajar di universitas, Sekolah Normal, maupun Sekolah Keterampilan. Mereka tidak terikat oleh status sosial yang dimiliknya. Sebagai contoh seorang anak petani dapat menjadi pegawai pemerintah apabila dia mempunyai kemampuan akademis dan mampu bersaing dengan dengan rekan-rekannya yang lain. Masyarakat golongan bawah seperti yang telah disebutkan sebelumnya meliputi beberapa kelompok sosial yang berbeda-beda. Sebagian besar dari golongan bawah yang belajar di Sekolah Normal tersebut adalah golongan petani, sedangkan mereka yang mampu masuk ke universitas, walaupun disebut rakyat kecil mereka merupakan anak-anak dari golongan atas di pedesaan maupun kaum bangsawan kota (Nagai,1993:236). Pada waktu Undang-undang Meiji diumumkan pada tahun 1889, Jepang sudah memiliki sistem pendidikan baru yaitu sistem pendidikan dasar delapan tahun. Dalam sistem pendidikan tersebut, empat tahun Sekolah Dasar wajib dan empat tahun Sekolah Menengah. Siswa dapat meneruskan kejenjang sekolah menengah tersebut
89
apabila dapat memenuhi syarat pengetahuan dan sanggup membayar biaya untuk melanjutkan pendidikan dari Sekolah Dasar. Adapun lulusan Sekolah Menengah kemungkinan besar memenuhi syarat untuk bekerja di tingkat bawah birokrasi maupun pemerintahan dan perusahaan. Sedangkan sekolah lanjutan yang lebih tinggi hanya untuk orang-orang pilihan, yaitu mereka yang merupakan siswa-siswa berprestasi. Karir dan jabatan tinggi dalam pemerintahan terbuka bagi mereka. Selain itu mereka dapat menjadi cendikiawan Jepang yang semakin berkembang dan dihormati. Kesempatan belajar di sekolah atas dan universitas tidak tergantung pada status sosial mereka. Siapapun dapat melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi lagi asalkan sanggup membayar biaya sekolah dan biaya hidup. Meskipun begitu, sistem baru yang diprogramkan oleh pemerintahan Meiji jauh lebih terbuka dibandingkan masa Tokugawa. Jadi bukan hanya anak bekas Samurai saja, tetapi anak bekas tuan tanah, petani kaya maupun pedagang dapat menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan atau perusahaan asalkan mereka mempunyai kemampuan akademis. Satu tahun setelah Mori Arinori meninggal dalam sebuah pembunuhan yaitu pada tahun 1890, terdapat kritik-kritik yang sangat keras timbul berkenaan dengan persoalan nilai-nilai pada waktu diumumkannya Titah Kaisar mengenai pendidikan pada bulan oktober 1890 (Beasley,2003:298). Piagam tersebut adalah piagam hasil rancangan kaum konservatif yang berpusat dalam istana kekaisaran, kaum tersebut berusaha untuk melestarikan kembali nilai-nilai tradisional sebagai landasan pendidikan.
90
Piagam kaisar tentang pendidikan yang telah diumumkan sebelum parlemen pertama bersidang pada 1890, merupakan landasan falsafah dasar tentang tujuantujuan pendidikan yang digunakan sampai dengan tahun 1945. Piagam kaisar tersebut mengutarakan prinsip-prinsip etis bahwa tatanan konstitusional yang baru harus dibangun. Adapun isi dari piagam tersebut seperti yang diungkapkan oleh Passin (1965:151) bahwa: “Para leluhur kaisar telah mendirikan kerajaan ini diatas landasan yang luas dan bersifat abadi... Rakyat kami yang selalu bersatu dalam kesetiaan dan pengabdian, telah menjadi bukti keindahan hubungan ini. Ini merupakan kejayaan dari hakikat dasar kerajaan kami dan didalam itu tersimpul sumber pendidikan kami. Kamu, rakyat kami, mengabdilah kepada orang tuamu, kasih mengasihi sesama saudaramu; sebagaimana para suami dan istri haruslah rukun; diantara sesama sahabat, setia... Tuntutlah ilmu pengetahuan dan binalah ilmu pengetahuan dan dengan demikian mengembangkan kemampuan intelektual dan menyempurnakan kekuatan moral; hormatilah selalu Undang-undang Dasar dan patuhilah peraturan-peraturan hukum; dan jika timbul suatu suasana darurat, korbankalah dirimu dengan gagah perkasa untuk negara; dan dengan demikian mengamankan dan mempertahankan kesejahteraan takhta kerajaan kami yang sederajat dengan langit dan bumi (Pyle, 1988:163).”
Dengan memberikan tekanan kepada paham-paham kerukunan sosial dan kesetiaan terhadap lembaga kekaisaran, piagam tersebut pada hakikatnya mempunyai tujuan untuk mengimbangi nilai-nilai moral dan paham-paham liberal dalam dunia politik yang datang dari Barat. Sebenarnya pembentukan Undang-undang ini dilatar belakangi juga oleh pengalaman Kaisar Meiji, ketika melakukan inspeksi keliling terhadap sekolahsekolah diberbagai daerah selama musim panas 1878. Dengan melihat secara langsung situasi pendidikan tersebut maka Kaisar mengambil kesimpulan bahwa
91
westernisasi dalam pendidikan, telah dilaksanakan melampaui kewajaran, Kaisar pun mengambil kebijakan bahwa ajaran-ajaran moral Konfusius haruslah ditekankan lagi disekolah-sekolah (Pyle,1988:162). Terjadi peningkatan jumlah siswa di sekolah, hal ini dikarenakan banyak keluarga yang mengirimkan anggota keluarganya untuk bersekolah ketingkat yang lebih tinggi dalam sistem pendidikan. Pada waktu yang sama kebijakan pendidikan pemerintah menanggapi secara serius atas kondisi yang selalu berubah. Sebagai contoh, konsolidasi sistem pendidikan keterampilan yang dilakukan oleh Inoue sebagai penerus dari Mori- adalah mendirikan struktur pendidikan yang merupakan ”sistem ganda”. Didalam sistem ganda ini, para siswa yang
akan meneruskan
ketingkat yang lebih tinggi, harus masuk ke dalam suatu kursus ”persiapan” atau kursus ”biasa”. Sedangkan mereka yang akan masuk angkatan kerja setelah mereka lulus ditempatkan dalam suatu ”kursus keterampilan”. Dengan struktur pendidikan tersebut maka lahirlah sebuah pola dasar pendidikan Jepang, yang merupakan suatu pola yang bertahan hingga akhir Perang Dunia II. Dibawah ini merupakan gambar sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh pemikiran Mori Arinori :
92
Sekolah Menengah 7 tahun Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SEKOLAH SEKOLAH MENENGAH MENENGAH 5 TAHUN PUTERI 5 TAHUN
Kolese Sekolah Guru Atas
Universitas Kesusastraan dan Ilmu-Ilmu
(Anak Laki-Laki) Sekolah Guru Pertama (Anak Perempuan) Sekolah Guru Atas Putri Kolese Putri Sekolah Kejuruan Pertama Sekolah Guru Remaja
SEKOLAH REMAJA (Setengah Waktu) (Wajib Buat Anak Laki-Laki)
Tingkat Persisapan
Tk. Menengah Tk. Menengah
Sekolah Anak Tuli dan Buta Sekolah Anak Buta
Kebijakan pendidikan Mori Arinori telah mempengaruhi sistem pendidikan Jepang menjelang Perang Dunia II. Gambar tersebut menunjukkan jika seseorang menempuh pendidikan di sekolah kejuruan, dia mempunyai kesempatan langsung memasuki dunia kerja. Sementara kesempatan yang lain adalah melanjutkan ke universitas dengan syarat dia harus menempuh pendidikan di tingkat sekolah mengah.
1937
Lembaga Pendidikan Guru Kejuruan (Anak Laki-Laki) Sekolah Guru (Anak Perempuan)
SEKOLAH DASAR LANJUTAN
SEKOLAH DASAR (wajib)
TAMAN KANAK-KANAK
Gambar 2.1 Bagan Pembedaan : Sistem Sekolah Jenjang
Sumber Herbert Passin , Society and Education in Japan, hl. 308-309
Tingkat Dasar Tingkat Dasar
Pendidikan Doktoral Universitas
93
Sistem tersebut lebih mempertegas pemikiran Mori Arinori, terhadap sistem jenjang persekolahan di Jepang hingga tahun 1937, yang dikenal dengan sistem ganda. Berdasarkan analisis yang terhadap fakta-fakta yang peneliti lakukan, jelas bahwa dalam pengembangan sistem persekolahan dari mulai jenjang Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi di Jepang dipengaruhi oleh pemikiran Mori Arinori. Bahkan struktur persekolahan pun merujuk kepada pemikiran dasar Mori Arinori dengan model sistem ganda. Pemerintah pusat tetap berpegang teguh kepada kebijaksanaan pendidikan yang bertujuan untuk memajukan integrasi nasional, pendidikan spiritual, dan pengembangan sekolah keterampilan. Meskipun terjadi perubahan-perubahan sosial dalam beberapa aspek masyarakat Jepang, akan tetapi pemikiran Mori Arinori menjadi dasar pertimbangan pemerintah dalam bidang pendidikan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan lebih ditujukan untuk kepentingan negara dari pada kepentingan siswa. Kebijakan dengan karakter seperti itu cenderung menujukkan pengaruh dari pemikiran Mori Arinori. Ada beberapa pemikiran Mori yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintahan Meiji pada saat itu. Undang-undang pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 1890, menekankan nilai-nilai moral, kesetian kepada negara dan keahlian teknik. Hal tersebut serupa dengan sistem pendidikan Mori yang didalamnya mengungkapkan mengenai pentingnya pendidikan moral, yang bertujuan meningkatkan kesetiaan kepada negara dan Kaisar dan pendidikan keterampilan yang dapat mendukung masyarakat Jepang dalam upaya modernisasi.
94
Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam pendidikan bertujuan untuk memajukan integrasi nasional, pendidikan spiritual, mengembangkan inti ahli-ahli teknik yang cakap dan seleksi golongan elit bangsa berdasarkan prestasi. Mori dan tokoh pendidikan lainnya menunjukkan perhatian kepada kesejahteraan rakyat umum. Akan tetapi kebijaksanaan yang diciptakannya tidak dimaksudkan untuk menggapai kebutuhan yang dirasa oleh masyarakat Jepang, melainkan kebijaksanaan tersebut dirancang untuk disesuaikan dengan program yang telah ditetapkan oleh pemerintahan
pusat.
Mori
memiliki
pandangan
bahwa
pendidikan
harus
dikembangkan bukan untuk kepentingan siswa melainkan untuk kepentingan negara. Pemerintah berusaha untuk membangun suatu hierarki intelektual di dalam masyarakat Jepang, yaitu suatu hierarki yang akan menjadi dasar bagi suatu tatanan sosial yang harmonis. Keunggulan sistem pendidikan Mori terletak pada sistemnya yang berfungsi untuk mempertahankan kedudukan dalam batas-batas tatanan sosial masyarakat Jepang. Sistem tersebut memungkinkan adanya mobilitas tinggi antar kelas di dalam masyarakat Jepang. Pembunuhan atas Mori telah membuatnya tidak bisa menyelesaikan rencanarencananya dalam memodernisasi pendidikan di Jepang. cita-cita Mori Arinori dengan sistem pendidikannya tersebut diteruskan oleh Inoue Kowashi. Dibawah kepemimpinan Inoue sistem keterampilan yang dirancang oleh Mori tersebut dapat didirikan dan diperluas sehingga tidak hanya mencakup Sekolah Tinggi Niaga Tokyo dan Sekolah Tinggi Teknik Tokyo saja (Nagai,1993:234).