GEJALA YOMEBUSOKU DI PEDESAAN PADA MASA PERTUMBUHAN EKONOMI JEPANG (1960-1980) Silvia Anggraini, Bachtiar Alam Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Setelah Perang Dunia II berakhir, Jepang memasuki masa pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada masa itulah banyak perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur masyarakat Jepang yang juga memunculkan masalahmasalah baru bagi penduduk Jepang. Skripsi ini memfokuskan pada fenomena Yomebusoku yang terjadi pada masyarakat pedesaan di Jepang. Penelitian yang dilakukan terutama menggunakan studi pustaka, dan teknik analisis deskriptif, dan hasilnya menunjukkan bahwa Yomebusoku terjadi akibat urbanisasi yang dilakukan ketika struktur perekonomian Jepang berubah. Urbanisasi ini menimbulkan ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan di pedesaan sehingga jumlah calon pengantin perempuan lebih sedikit dibandingkan pengantin laki-laki. Selain itu, para perempuan tidak ingin lagi kembali ke pedesaan dan menikahi petani dengan berbagai alasan. Kata Kunci: Pertumbuhan ekonomi, petani, pernikahan, perempuan, urbanisasi
Symptoms of Yomebusoku in Rural Area during The Japanese Economic Growth (1960-1980) Abstract After World War II was ended, Japan entered a period of high economic growth. At that time, many changes occured in the structure of Japanese society and also carry out new problems for Japanese population. This study focuses on Yomebusoku phenomenon that occur in Japanese rural society. The research conducted was primarily a literature study, using techniques of descriptive analysis, and the results show that Yomebusoku occur due to urbanization when the Japanese economiy structure was changed. Urbanization has led to an imbalance in the number of men and women in rural area. In addition, women whose go to the cities no longer want to go back to the rural area and married with farmers with a variety reason. Keywords: Economic growth, farmers, marriage, women, urbanization
Pendahuluan Perkembangan perekonomian Jepang yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1960an hingga akhir 1980an. Jepang menjadi negara industri maju dengan bertumpu pada tiga jenis industri, yaitu industri primer, sekunder, dan tersier. Industri primer mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan. Industri sekunder meliputi pertambangan, pabrik, dan konstruksi. Sedangkan industri tersier yang mencakup transportasi, komunikasi, perdagangan, perbankan, 1
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
keuangan dan real estate, layanan bisnis, administrasi publik, dan layanan pribadi (The International Society For Educational Information INC, 1998). Perkembangan ekonomi ini membawa perubahan pada struktur ekonomi Jepang dari industri primer ke industri sekunder. Tabel 1. Distribusi Populasi Pekerja di Industri Primer, Sekunder, dan Tersier dari tahun 1955-1985 (10.000 orang) Sektor Ekonomi Industri Primer Industri Sekunder
Industri Tersier
1955
1965
1975
1985
Pertanian dan Kehutanan
1478
1048
608
464
Konstruksi
195
328
479
530
Manufaktur
757
1150
1346
1453
Perdagangan
761
1008
1127
1318
Pelayanan dan Jasa
472
649
855
1173
Sumber : Sensus Nasional, Historical 5, Revisi ke-10, 2005 Dengan bergesernya sektor industri di Jepang ke industri tersier yang terpusat di kota-kota besar, maka terjadilah perpindahan tenaga kerja dari sektor primer ke sekunder. Hal itu berarti terjadi perpindahan penduduk dari pedesaan menuju ke kota besar. Perpindahan penduduk tersebut menyebabkan penyusutan jumlah penduduk di pedesaan. Urbanisasi dan industrialisasi membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat pedesaan yang mata pencaharian utamanya adalah bertani. Sebelum Perang Dunia , sistem ie dan patriarki sangat ketat diterapkan dalam keluarga-keluarga Jepang, terutama yang tinggal di pedesaan (Fukutake, 1980: 31). Keluarga petani Jepang secara tradisional berada di bawah prinsip dimana pasangan (anak laki-laki tertua dan istrinya) yang nantinya akan mewarisi pertanian tinggal bersama dalam satu atap dengan generasi sebelumnya, orangtua suami dan kakek-nenek dari pihak ayah. Dalam sistem ie anak laki-laki tertua akan menjadi penerus usaha keluarga. Hal ini berarti anak laki-laki tertua tersebut akan meneruskan usaha pertanian yang telah dijalani orangtuanya. Anak laki-laki tertua juga akan mewarisi hampir seluruh harta yang ada pada orangtua sedangkan anak laki-laki lainnya hanya akan mendapatkan sebagian kecil dari harta orangtua. Namun setelah Perang Dunia II, sistem ie semakin memudar (Fukutake Tadashi, 1980: 44). Para pemuda memutuskan untuk mencari pekerjaan di sektor industri lainnya yang lebih menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi. Tetapi hal ini 2
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
tidak terjadi pada anak laki-laki tertua di keluarga petani, mereka tetap menjadi penerus usaha keluarga dan mengurus orangtua (Fukutake, 1980: 52-53). Perubahan-perubahan tersebut memunculkan sebuah masalah baru pada saat itu yaitu Yomebusoku (嫁不足). Yomebusoku merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada tahun 1970-an dimana petani-petani muda menghadapi kesulitan dalam mencari istri, karena populasi perempuan pada daerah pedesaan semakin berkurang (Yoko, 2009: 25). Petanipetani muda ini merupakan penerus usaha keluarga atau bisa disebut sebagai anak laki-laki tertua dari keluarga petani. Sedangkan saudara-saudara lainnya sudah pergi meninggalkan usaha pertanian untuk mencari pekerjaan di kota, sehingga tinggallah anak laki-laki tertua berusaha mempertahankan eksistensi usaha pertanian yang dijalankan keluarganya (Fukutake, 1980: 45). Kesulitan tersebut disebabkan oleh citra yang tidak bagus dari pekerjaan pertanian, seperti bekerja dalam waktu yang panjang, pendapatan lebih rendah dibandingkan sektor lain, dan citra petani yang disamakan dengan kemiskinan sehingga membuat para penerus usaha pertanian mengalami kesulitan untuk menarik hati calon pasangan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai sebuah fenomena Yomebusoku yang terjadi di Jepang serta penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi bagi masyarakat mengenai fenomena yang terjadi di Jepang dibalik pesatnya kemajuan ekonomi di Jepang.
Tinjauan Teoritis Salah satu bentuk teori feminis adalah feminis radikal, dimana feminis radikal lebih menitikberatkan pada pembebasan perempuan, tidak seperti feminisme liberal yang menyerukan persamaan hak perempuan (Putnam Tong, 1998: 68). Akar pemikiran feminis radikal menyatakan bahwa akar penindasan perempuan sifatnya biologis dalam bentuk seksualitas dan reproduksi, contoh-contohnya adalah pornografi, prostitusi, kekerasan seksual, pemerkosaan, pengikatan kaki, dan lain-lain. Selain itu, beberapa tokoh juga menyebutkan bahwa akar penindasan perempuan tersebut didasari pada sistem patriarki (Putnam Tong, 1998: 68), dimana perempuan termasuk dalam kelas inferior dibandingkan dengan laki-laki sehingga laki-laki memiliki kontrol terhadap perempuan.
3
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Selain itu, kosep demografi yang diungkapkan oleh Masateru Uchiyama menunjukkan bahwa ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan yang berada pada usia nikah dimana jumlah laki-laki lebih banyak daripada perempuan menyebabkan terjadinya masalah pernikahan, yaitu kurangnya jumlah pengantin perempuan. Dengan berkurangnya jumlah perempuan, maka beberapa laki-laki tidak akan mendapatkan pasangan nikah sehingga tidak memiliki keturunan dan harus hidup melajang.
Metode Penelitian Metode pengumpulan data yang digunakand alam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Yaitu dengan cara mengumpulkan serta memanfaatkan data-data yang terdapat dalam bukubuku dan situs yang memiliki keterkaitan dengan fenomena Yomebusoku serta penyebabpenyebabnya baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Jepang, maupun bahasa Inggris. Data-data yang didapat kemudian diolah dengan menggunakan metode desktriptif analisis.
Pembahasan Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Urbanisasi Pertumbuhan ekonomi Jepang yang sempat hancur akibat kekalahan dalam Perang Dunia II melawan Amerika secara bertahap mulai bangkit kembali. Fase pertumbuhan ekonomi Jepang setelah Perang Dunia II disebut dengan masa pemulihan. Awal mula pulihnya perekonomian Jepang terjadi pada tahun 1955. Pemulihan ekonomi Jepang ini dipicu dengan meletusnya Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1953. Jepang mengambil keuntungan dan kesempatan dengan cara menjual persediaan kepada Amerika dalam jumlah besar (Surajaya, 2001: 157-157). Pulihnya perekonomian Jepang ditandai dengan beralihnya sektor pertanian menjadi sektor industri atau bisa disebut industri primer beralih ke industri tersier. Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi tinggi mempengaruhi GNP1 Jepang. (lihat tabel2).
1
Gross National Product (GNP) atau Produk Nasional Bruto adalah sebuah indikator paling penting dalam melihat kondisi perekonomian suatu negara. GNP adalah total barang dan jasa yang dihasilkan dalam negeri serta pendapatan netto dari luar negeri suatu negara dalam satu tahun.
4
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Tabel 2. Rata-rata Nilai Pertumbuhan Gross National Product (GNP) Periode
Pertumbuhan GNP Tahunan (%)
1951-1955
8,6
1955-1960
9,1
1960-1965
9,7
1965-1970
13,1
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat pada tahun 1951 hingga 1955, nilai pertumbuhan GNP Jepang sebanyak 8,6 %. Serta pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi, nilai pertumbuhna GNP Jepang meningkat hingga menjadi sebesar 13,1 % pada tahun 1970. Dengan melihat pertumbuhan nilai GNP tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat Jepang telah mencapai kondisi makmur. Hal tersebut didukung pula dengan pernyataan dari Endo bahwa kemakmuran masyarakat dapat dilihat dari nilai pertumbuhan GNP atau lebih tepatnya dapat dilihat melalui tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat (S. Endo, et al, 1991: 193). Yomebusoku dan Faktor Pendorong Masalah pernikahan merupakan salah satu masalah yang terjadi sebagai dampak pertumbuhan ekonomi tinggi Jepang. Masalah pernikahan tidak hanya terjadi di daerah perkotaan saja, namun masalah ini juga terjadi di daerah pedesaan dan menjadi masalah yang cukup serius. Berdasarkan penelitian Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan dengan judul “専業的な農家の経営の継承, 移譲等に関する調査” pada Januari 1979 menunjukkan hal paling mengkhawatirkan menurut para pewaris pertanian adalah masalah pernikahan dengan presentase sebesar 32,9%, kemudian disposisi sosial dengan presentase sebesar 25,3% selanjutnya hubungan dengan orang tua dengan presentase 8,5% (Uchiyama, 1990: 236). Masalah pernikahan yang terjadi di daerah pedesaan Jepang adalah Yomebusoku (嫁不足). Yomebusoku merupakan suatu masalah yang dihadapi oleh para pemuda yang tidak bermigrasi. Dalam bahasa Inggris, Yumebusoku memilki arti “bride shortage”, dimana jumlah calon pengantin perempuan sangatlah sedikit. (Yoko, 2009: 3). Hal ini membuat petani-petani muda yang tetap tinggal di pedesaan sulit untuk mendapatkan istri. 5
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Hideo Okada (2008: 76) dalam bukunya menuliskan hal mengenai Yomebusoku sebagai berikut : 農村部の嫁不足というのは、日本の経済成長の過程で起きた地方の過疎化、労働力の都 会への移動が原因ですから、これも高度経済成長の影の面が反映されたものと位置づけ られます。
Artinya : Yomebusoku yang terjadi di daerah pedesaan terjadi karena depopulasi yang terjadi daerah pedesaan ketika masa pertumbuhan ekonomi di Jepang, karena perpindahan tenaga kerja ke daerah perkotaan, hal tersebut juga merupakan cerminan akibat pertumbuhan ekonomi tinggi. Masalah membuat resah para penerus usaha pertanian, karena perempuan yang menjadi istri seorang chonan memiliki peran yang sangat penting dalam produksi pertanian maupun keberlangsungan pertanian yang dijalankan. Namun meskipun dikatakan perempuan memilki peran yang penting dalam pertanian, tetap saja kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional Jepang di pedesaan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya peristiwa Yomebusoku, salah satu yang paling berpengaruh adalah urbanisasi yang menyebabkan menyusutnya jumlah perempuan muda di pedesaan. Namun ada pula faktor-faktor lain yang menyebabkan para perempuan yang melakukan urbanisasi merasa enggan untuk kembali lagi ke desa dan menikah dengan para petani. Memudarnya Sistem Ie Sistem keluarga pada masyarakat tradisional Jepang dikenal dengan sistem Ie. Sistem ini pertama kali muncul pada masyarakat feodal militer (Tokugawa tahun 1640 hingga 1868) (Kitano, 1966: 4) dan kemudian dikukuhkan lewat Undang-undang Meiji tahun 31 (1899). Menurut Nakane Chie (1967 : 1) ie merupakan unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan non kerabat. Ie menganut sistem patriarki yang mengikuti garis keturunan laki-laki, oleh sebab itu ayah (kachou) merupakan pemimpin dalam sebuah Ie yang harus selalu dipatuhi perintahperintahnya dan memiliki hak yang lebih besar dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya, sedangkan kedudukan perempuan dalam sistem Ie sangatlah rendah. 6
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Sistem Ie sangat melekat kuat pada masyarakat pedesaan Jepang. Namun setelah Perang Dunia II berakhir, sistem tersebut semakin memudar. Setelah Perang Dunia II, industrialisasi mengambil alih perekonomian Jepang, dan membuat perubahan dalam keluarga Jepang. Sistem ie yang merupakan bentuk keluarga tradisional Jepang sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk keluarga modern yang hanya terdiri dari satu generasi, yaitu suami, istri, dan anak-anaknya, dikenal dengan keluarga inti (kaku kazoku). Periode munculnya keluarga inti adalah ketika awal masa pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu tahun 1950 dan tahun 1960-an (Fukutake, 1980: 33). Perubahan Kedudukan Perempuan Kedudukan perempuan pada masa sebelum perang dimana sistem ie masih menjadi landasan dasar keluarga Jepang sangatlah rendah. Dalam ie kehidupan perempuan hanya terikat pada 3 kepatuhan, yaitu patuh kepada ayah ketika masih kecil, patuh kepada suami ketika sudah menikah, dan patuh pada anak laki-lakinya ketika sudah tua. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa perempuan harus selalu tunduk kepada laki-laki, dan posisi perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan dalam hal pernikahan pun, perempuan tidak dapat menentukan dengan bebas siapa yang akan menjadi calon suaminya. Menurut Fukutake (1989: 31) pernikahan dalam ie tidak dengan sendirinya merupakan awal pembentukan keluarga baru, tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru yaitu pengantin perempuan ke dalam ie suaminya. Dalam sebuah ie, fungsi perempuan secara praktis adalah untuk melahirkan pewaris berikutnya dan menambah tenaga kerja keluarga (Fukutake, 1989: 39-40).
Seorang
perempuan yang telah menikah harus melayani dan tunduk kepada anggota keluarga dalam sebuah ie, ia harus melayani mertua dan suaminya dengan sabar. Namun dengan perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi tinggi Jepang, perempuan mulai mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Dan dengan memudarnya sistem ie serta disahkan Undang-undang mengenai persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dalam hal pernikahan, maka perempuan dapat menentukan apa yang baik untuknya. Pendidikan pun tidak menjadi hal yang tabu bagi perempuan setelah Perang Dunia II. Perempuan bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hal ini juga memicu perubahan kedudukan perempuan dengan lebih terbukanya pendidikan serta pekerjaan-pekerjaan selain usaha keluarga seperti pertanian. 7
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Meningkatnya Pendidikan Perempuan Pendidikan di Jepang ketika memasuki Zaman Meiji terdapat diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Pada masa itu, pendidikan bagi perempuan lebih menitikberatkan pada urusan rumah tangga dan merawat anak yang disesuaikan dengan program pemerintah yang menganggap perempuan adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam pendidikan anak, yang nantinya akan menjadi penerus bangsa. Oleh karena itu pemerintah menjadikan ajaran Konfusius sebagai dasar dari sistem pendidikan perempuan pada zaman itu dan menjadikan ryosai kenbo2 sebagai tujuan utama pendidikan bagi perempuan. Berdasarkan hal tersebut, para orang tua memiliki anggapan bahwa perempuan tidak perlu mendapat pendidikan seperti laki-laki. Pada akhirnya kebanyakan orang tua akan mengirim anak perempuannya untuk belajar menjahit atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga. Namun hal tersebut berubah setalah Perang Dunia II, dikeluarkan undang-undang yang mengukuhkan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan yang sama seperti laki-laki melalui pasal 26 Shinkenpo 1946 yang menyatakan tidak ada lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan dan tidak ada lagi alasan berupa ketidakmampuan ekonomi. Sehingga banyak perempuan yang melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi maupun akademi, hal ini dapat terlihat dari grafik berikut: Grafik 2. Jumlah Perempuan yang Melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan Akademi 100
80 60
Perguruan Tinggi
40
Akademi
20 0 1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980
Sumber : Badan Statistik Departemen Hubungan Internal dan Komunikasi, Kumpulan Statistik Berdasarkan Gender 2
Ryosai Kenbo (良妻賢母) merupakan sebuah ideologi yang dicetuskan oleh Nakamura Masanao pada tahun 1875 yang memiliki arti “Istri yang baik dan ibu yang bijaksana”. Ideologi tersebut merupakan cerminan perempuan ideal bagi Jepang, sehingga perempuan diharapkan menguasai keterampilan yang berguna bagi keluarganya seperti menjahit, memasak dan membentuk moral serta membentuk anak-anak yang cerdas demi bangsa. (Shizuoka Koyama, Ryousai Kenbo: The Educational Ideal of “Good Wife, Wise Mother” in Modern Japan, Brill Academic Publiser: 2012, hlm 11-12) 8
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa setelah Perang Dunia II berakhir, pendidikan perempuan semakin meningkat. Sebelumnya perempuan hanya mendapat pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama, namun setelah ekonomi Jepang semakin maju, perempuan juga dapat melanjutkan pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi dan Akademi. Perubahan Pandangan Perempuan Terhadap Pernikahan Sebelum Jepang menjadi negara yang lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran dari luar, pernikahan merupakan hal yang sangat ritual dan sangat penting dalam kehidupan seseorang baik bagi laki-laki maupun perempuan (Irene B Taeuber, 2013: 207). Namun seiring dengan perkembangan ekonomi dan modernisasi Jepang terjadilah perubahan cara pandang orang Jepang terhadap pernikahan. Perubahan pandangan terhadap pernikahan ini lebih banyak terjadi pada perempuan. Perempuan-perempuan Jepang mulai menyadari bahwa dirinya memiliki hak yang sama dengan kamu pria sejak semakin banyaknya perempuan-perempuan yang mengenyam pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi (Iwao, 1993: 20). Dengan itu pula, para perempuan semakin menyadari bahwasanya dirinya memilki kebebasan dalam bertindak dan menentukan pilihan kapan ia akan menikah. Oleh karena itu, pernikahan menjadi suatu pilihan daripada sebagai suatu kebutuhan (Iwao, 1996: 4). Perubahan pandangan akan pernikahn ini dapat dilihat dari terjadinya peningkatan atas penundaan usia pernikahan (Taeuber, 2013: 210). Sebelum perang, pada umumnya perempuan menikah antara usia 20-24 tahun, tetapi pada tahun 1978 rata-rata usia perkawinan bagi perempuan di Jepang adalah 25,1 sementara laki-laki 27,8 (Kamiko et,al, 1989: 40). Perubahan cara pandang terhadap pernikahan pun terlihat dari jumlah perempuan yang belum menikah di Jepang, seperti pada diagram di bawah ini. Gambar 1. Diagram Presentase Perempuan yang Belum Menikah 30 25 20
25-29
15
30-34 35-39
10 5 0 1965
1970
1975
1980
Sumber : Sensus Nasional Jepang, Kumpulan Hasil Sensus 9
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Perubahan pandangan tentang pernikahan pun turut diungkapkan oleh perempuan di daerah pedesaan. Mereka mengatakan tidak ingin menikah dengan laki-laki petani dikarenakan aturan-aturan yang bersifat tradisional yang masih ada pada keluarga petani. Di bawah ini adalah alasan-alasan perempuan tidak ingin menikah dengan laki-laki petani yang dirangkum dalam buku yang ditulis oleh Mitsuoka Kouji (1992) Tabel 12. Alasan Perempuan Muda Tidak Ingin Menikah dengan Petani Alasan Pendapatan dari pertanian tidak stabil
Presentase 66%
Masalah dengan mertua
56.6%
Masa depan pertanian tidak bagus
54.2%
Tidak ada hari libur dalam pertanian
49.7%
Jam kerja yang panjang dan melelahkan
48.3%
Bukan tempat untuk bekerja bagi kaum muda
46.5%
Hubungan antar manusia di pedesaan sangat menyusahkan
46.2%
Petani dan kemiskinan sangat menyusahkan
44.1%
Dibandingkan dengan kota, kehidupan di desa tidak praktis
43.1%
Kebudayaan dan tempat rekreasi sedikit
30.6%
Status perempuan yang rendah dan kemiskinan
8.0%
Lain-lain
4.2%
Alasan-alasan ini tercermin dalam beberapa berita dan pernyataan-pernyataan di forum yang menanyakan perihal menikah dengan petani. Berikut adalah kumpulan berita dan pertanyaanpertanyaan: Berita 1: Mengapa perempuan Jepang begitu alergi menikah dengan petani? Alasan utamanya adalah fakta bahwa dalam keluarga petani, istri harus bekerja keras, bahkan terkadang lebih keras dibandingkan suaminya; tidak ada hari libur; dan wilayah adat yang menyatakan petani memiliki keluarga besar. Perempuan Tokyo mengatakan pada konsultan pernikahan “tidak suka menikah dengan keluarga petani karena mereka tidak diizinkan untuk mengawasi keuangan rumah tangga selama ibu atau ayah mertua masih hidup”. (The Dispatch, Masako Suzuki, 29 April 1970). 10
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Berita 2: Selama berabad-abad, perempuan telah menjadi fitur yang menonjol dalam pertanian Jepang bersama dengan sapi, atap jerami, dan sawah berlumpur. Para perempuan mengenakan topi, celana baggy, dan biasanya bekerja lebih lama dibandingkan dengan suaminya, karena mereka tidak hanya bekerja di sawah, tapi juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menyiapkan makanan. Dari beberapa referensi, mereka seringkali hanya tidur selama tiga atau empat jam setiap malam agar dapat melaksanakan semua tugas mereka. Kenangan akan pekerjaan yang berat ini memberikan dampak yang cukup besar pada keputusan putri mereka untuk memilih kehidupan lain. (The Times News, 5 Januari 1978) Pertanyaan 1 berasal dari id sato hiropon: 大好きな人でも農家だったら結婚したくないですか? Arti : Apakah anda tidak ingin menikah dengan petani meskipun dia orang yang sangat anda sukai? Dari pertanyaan di atas terdapat beberapa jawaban yang menyatakan ketidakinginannya untuk menikah dengan petani.
1. 専業農家の娘です。 絶対無理です… 母親の苦労を見て育ってますからねぇ。母も農家には嫁にやりたくないって言って ました。(id : usatorakuro) Arti : “Saya anak perempuan dari petani paruh waktu. Sangat tidak ingin menikah den gan petani. Hal itu karena saya dibesarkan sambil melihat kesulitan yang dialami oleh ibu. Ibu pun berkata bahwa ia tidak ingin menjadi istri petani.” 2. 嫌だと思いますよ。 農家に嫁ぐ=農家になるって事です。規模や作る物によっては一日中働いて 家事までやるんですから。 収入が高くても自分で使える訳でないから意味ないし、親と同居のストレス もあります。だったら一般の人の方がいいでしょうね。 (id : tnk rsk) 11
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Arti : “Saya pikir saya tidak akan suka. Menikah dengan petani sama saja dengan men jadi petani. Karena sepanjang hari bekerja hingga pekerjaan rumah. Meskipun pendap atannya tinggi kalau tidak bisa digunakan untuk sendiri tidak ada artinya, tinggal bers ama orangtua pun membuat stres. Jadi, orang biasa saja lebih baik.” Pertanyaan 2 berasal dari seorang laki-laki dengan id : makosof : 農家との結婚についてどう思います?女性に方答えてください。したい.したくな いの返答と、出来るだけ詳しい理由をお願いしますよ。 Arti : “Bagaimana pendapat anada mengenai pernikahan dengan petani? Tolong para perempuan menjawabnya. Setelah menjawab ingin atau tidak ingin, sebisa mungkin tolong sertakan alasannya.” Berikut adalah jawaban yang menjatakan tidak ingin menikah dengan petani berikut alasannya. 1. したくない。休みが無いと言うイメージがあります。労力の割りに収益は望 めない。 後…嫁姑問題(同居)だの後継ぎ(男の子)を早く産めとか 言われなくてもプレッシャーがありそう。(Perempuan, id: nyariconyarico) Arti : “Tidak ingin. Ada image kalau tidak ada waktu libur. Tidak dapat mengharap penghasilan dari pekerjaan. Selanjutnya, masalah hubungan antara menantu dan mertua (hidup bersama) dan ada tekanan untuk segera melahirkan pewaris (anak lakilaki).” 2. しなくありません 作業の機械を買ったら年収パァとか聞きますしね…休みなし、収入不安定、 田舎暮らし…すいません無理です。(id : pinky pinky2012)
12
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Arti : “Tidak ingin. Jika membeli mesin untuk bekerja pendapatan tahunan bekurang. Tidak ada liburan, pendapatan tidak pasti, hidup di pedesaan. Maaf tidak mungkin saya menikah dengan petani.” Berdasarkan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang ditulis dalam sebuah forum, dapat diketahui bahwa perempuan Jepang tidak ingin menikah dengan petani dengan berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah image yang menurut perempuan sangat menyusahkan, yaitu tidak adanya hari libur jika mereka bekerja di pertanian. Dan jika mereka menikah dengan petani, maka mau tidak mau mereka akan menjadi petani. Ada pula yang merasa enggan untuk menikah dengan petani karena telah dibesarkan dalam keluarga petani dan menyaksikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh ibu mereka. Beberapa juga menyatakan bahwa jika mereka menikah dengan petani, maka pendapatan yang didapat dari hasil bertani tidak dapat diprediksi dan tidak stabil. Belum lagi tekanan-tekanan dari mertua yang menginginkan perempuan untuk cepat-cepat melahirkan calon pewaris (anak laki-laki) dan juga hubungan yang kurang baik dengan mertua. Alasan-alasan seperti itulah yang membuat petani sulit untuk mencari istri. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Yomebusoku Pertumbuhan
ekonomi
yang
menyebabkan
perubahan
struktur
ekonomi
Jepang,
menimbulkan terjadinya urbnanisasi yang yang dilakukan oleh perempuan sehingga jumlah perempuan semakin berkurang. Berkurangnya jumlah perempuan di pedesaan tersebut akhirnya menimbulkan masalah pernikahan, yaitu Yomebusoku. Berikut adalah fakta-fakta yang di dapatkan dari koran mengenai Yomebusoku: Berita 1: “Jepang mencari 8,000 pengantin perempuan untuk 8,000 pengantin laki-laki.” Meskipun pemberitaan dan iklan serta poster, ataupun organisasi yang bertujuan untuk membujuk para perempuan kota untuk kembali ke desa, usaha tersebut tidaklah cukup. Dalam masyarakat yang didasari pada keluarga dimana setiap anggota memiliki tugas yang harus dilakukan, perempuan muda memilih untuk tidak memiliki keluarga, setidaknya tidak di pertanian. Mereka menuju kota-kota besar. Sedangkan anak laki-laki petani ditinggalkan dan dihadapkan pada masalah keluarga, yaitu kurangnya ahli waris dan pekerja gratis. Total penduduk pedesaan di Hokkaido menurun tajam sebesar 600.000 hinga 1.6 juta. Perpindahan 13
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
penduduk yang cukup signifikan terjadi beberapa tahun belakangan ini. Pemerintah Hokkaido mencatat bahwa ada 5 pria untuk setiap 3 perempuan dan ketidakseimbangan in semakin meningkat. (The Times News, 5 Januari 1978) Berita 2: Lampu kota yang menyilaukan telah mematahkan hati ribuan petani Jepang: mereka menjauh dari perempuan muda petani. Di Hokkaido, sedikitnya da 10,000 pewaris lahan pertanian yang mencari pengantin perempuan. Pada tahun 1960an, banyak perempuan muda pindah ke kota untuk mendapatkan upah dan kehidupan yang lebih baik. Konsultan pernikahan dan pemerintah lokal telah datang untuk membantu petani dalam upaya untuk memikat perempuan muda dengan mengadakan pertemuan-pertemuan. (Spokane Chronicle, Marie Okabe, 29 Juli 1982) Berita 3: Sawah-sawah di Jepang terbengkalai karena para pemuda pergi meninggalkan tanah pertanian. Perempuan muda pun lebih banyak memilih untuk hidup melajang di kota-kota besar karena kerasnya kehidupan pernikahan di pertanian. (The Seattle Times, Joji Sakurai 1997) Berita 4: Kekurangan pengantin wanita disebabkan oleh arus urbanisasi perempuan-perempuan muda ke kota-kota besar, dan telah menjadi masalah bagi sebagian besar desa-desa pertanian Jepang karena itu berarti jumlah anak yang dilahikan sebagai pewaris akan berkurang. Menurut pejabat desa Tozawa, Yasuo Tomizawa, ada sekitar tiga perempuan lajar yang berusia 20an dan 30an untuk setiap sepuluh laki-laki lajang di desanya. (Japan Times, Takuya Asakura 2002) Salah satu faktor yang memicu terjadinya urbanisasi adalah kebutuhan akan tenaga kerja yang lebih banyak pada industri sekunder dan tersier. Tenaga kerja yang dibutuhkan tidak hanya tenaga kerja laki-laki saja, ketika Jepang memasuki masa pertumbuhan ekonomi tinggi pun banyak perempuan yang sudah ikut terlibat dalam kegiatan ekonomi di luar rumah. Kebutuhan akan tenaga kerja tersebut membuat laki-laki maupun perempuan pemuda yang berasal dari daerah pedesaan dimana industri primer (pertanian, kehutanan, dan perikanan) 14
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduknya berbondong-bondong pindah ke kota besar untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik, seperti yang terlihat dari kutipan-kutipan berita di atas. Urbanisasi tersebut menyebabkan penurunan tajam jumlah penduduk di pedesaan. Pada Berita 1 dapat dilihat bahwa total penduduk Hokkaido mengalami penurunan tajam sebesar 600.000 hinga 1.6 juta. Berkurangnya jumlah penduduk di pedesaan juga menyebabkan perubahan komposisi penduduk di pedesaan sehingga terjadi ketidakseimbangan antara jumlah laki-laki dan perempuan di pedesaan, dimana jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan jumlah laki-laki. Ketika jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah perempuan maka akan terjadi kekurangan pengantin perempuan di pedesaan. Seperti yang diungkapkan oleh Masateru Uchiyama bahwa ketidakseimbangan jumlah antara perempuan dan laki-laki ini dapat menyebabkan terjadinya masalah dalam hal pernikahan, khususnya Yomebusoku. Ungkapan yang dinyatakan oleh Masateru Uchiyama terbukti pada kutipan–kutipan berita di atas. Dalam berita 1 tertulis bahwa perempuan muda memilih untuk menuju kota-kota besar dan meninggalkan laki-laki petani dan dihadapkan pada masalah keluarga, dan dibuktikan dengan catatan pemerintah Hokkaido bahwa ada 5 pria untuk setiap 3 perempuan dan ketidakseimbangan in semakin meningkat. Pada berita 4 juga terlihat bahwa kekurangan pengantin perempuan disebabkan oleh arus urbanisasi perempuan-perempuan muda ke kotakota besar, dan telah menjadi masalah bagi sebagian besar desa-desa pertanian Jepang. Masateru Uchiyama juga mencoba menunjukkan ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan tersebut dalam bukunya dengan menggunakan rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang berusia 20-29 tahun (rasio jumlah perempuan adalah 100). Masateru membuat grafik yang menunjukkan bahwa pada tahun 1955 jumlah laki-laki di seluruh prefektur kecuali kecuali Tokyo dan Kanagawa berada dalam kisaran 100-110. Pada kisaran tersebut jumlah laki-laki dan perempuan masih seimbang. Namun rasio tersebut berubah setelah 20 tahun berlalu, tepatnya pada tahun 1975. Pada tahun 1975, hanya 24 prefektur saja yang masih berada dalam kisaran rasio tahun 1955 sedangkan 22 prefektur lainnya berada dalam kisaran 110-120 (Masateru, 1990: 234).
15
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Fenomena Yomebusoku Menurut Teori Feminis Radikal Jika dilihat dari sudut pandang teori feminis radikal, fenomena ini bukanlah sebuah penyimpangan, akan tetapi lebih kepada bentuk penolakan perempuan terhadap penindasan laki-laki dalam bentuk penguasaan biologis dan juga perbedaan peran berdasarkan gender yang terdapat dalam sistem patriarki. Tokoh feminis yang menyatakan bahwa penindasan perempuan berawal dari sistem patriarki. Salah satu tokoh tersebut adalah Kate Millet yang menyatakan bahwa akar penindasan perempuan adalah sistem seks/gender dalam patriarki. Hal ini dinyatakan dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics (1970), Millet perpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan: “Social caste supersedes all other forms of inegalitarianism: racial, political, or economic, and unless the clinging to male supremacy as a birthright is finally forgone, all systems of oppression will continue to function simply by virtue of their logical and emotional mandate in the primary human situation.”
Sistem patriarki terlalu membedakan antara laki-laki dan perempuan serta beranggapan bahwa laki-laki harus melakukan pekerjaan di luar rumah dan memiliki peran yang maskulin. Sedangkan perempuan hanya boleh bekerja di rumah dan harus selalu tunduk terhadap lakilaki serta memiliki peran feminin (penurut, penyanyang). Meskipun penguasaan atas tubuh perempuan dan solusi yang ditawarkan oleh feminis radikal tidak secara langsung diterapkan oleh perempuan Jepang, akan tetapi perempuan Jepang mulai menunjukkan keengganan untuk menikah. Dalam penilitian ini dapat dilihat dari fenomena Yomebusoku, dimana perempuan muda yang telah pindah ke kota tidak ingin lagi menikah dengan petani. Keengganan tersebut merupakan salah satu wujud penolakan atas penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Keengganan tersebut bermula dari nilai tradisional, yaitu patriarki dan Ie yang masih melekat dalam masyarakat tradisional Jepang. Pada masyarakat tradisional Jepang, perempuan memiliki kedudukan yang rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan dalam sistem ie ini harus menurutin apa yang diperintahkan padanya. Jika kacho memutuskan ia harus menikah, maka ia pun harus menurut tanpa melakukan perlawanan. Dan apabila telah 16
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
menikah, maka perempuan tersebut akan masuk dan melebur dalam ie suaminya dan meninggalkan ie asalnya. Dan biasanya pernikahan tersebut tidak akan didaftarkan dalam koseki
3
hingga sang perempuan memberikan keturunan (Hendry, 1981: 51). Keturunan
sangatlah diharapkan dan telah menjadi tugas perempuan untuk memberikan keturunan guna menjaga kelangsungan nama keluarga dalam sebuah ie (Iwao, 1993:60). Sebagai seorang istri, perempuan diharuskan mengikuti nilai tradisional yang menjadi ideologi perempuan Jepang, yaitu Ryousai Kenbo (ibu yang baik dan istri yang bijaksana). Perempuan diharuskan bekerja di dalam rumah dan mengurus anaknya agar nantinya dapat menjadi seorang pewaris dan membahagiakan orang tua. Berdasarkan penjelasan mengenai sistem ie dan patriarki di Jepang, seperti yang dikatakan oleh Kate Millet bahwa dalam sistem patriarki, perempuan mengalami penindasan. Dalam feminisme radikal, penindasan perempuan lebih bersifat bilogis, seperti dalam urusan sexualitas dan reproduksi. Hal ini juga terbukti dalam penjelasan di atas, dimana apabila perempuan dirasa sudah pantas untuk menikah, maka ia akan langsung dinikahkan tanpa meminta persetujuan dari perempuan tersebut. Setelah menikah, reproduksi perempuan pun seperti diatur dalam sistem ie, dimana perempuan dipaksa untuk segera memberikan keturunan, dan apabila ia tidak segera memberikan keturunan, maka mertua dapat memutuskan tali pernikahan antara anaknya dengan sang perempuan. Setelah mampu memberikan keturunan pun, perempuan masih harus mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah sedangkan laki-laki akan bekerja di luar rumah. Hal ini pun merupakan bentuk penindasan menurut teori feminisme radikal, dimana perempuan dituntut untuk selalu bersikap feminin sedangkan laki-laki harus selalu menunjuukan sisi maskulinnya. Selain sistem ie, ketidaksetaraan gender yang cukup menonjol di Jepang juga merupakan salah satu faktor pendorong perempuan tidak ingin menikah. Ketidaksetaraan gender ini juga merupakan salah satu hal yang sangat ditolak oleh feminis radikal. Ketidaksetaraan gender memaksa laki-laki memiliki peran yang lebih dominan sedangkan perempuan memiliki peran yang subordinat. Ketidaksetaraan gender ini terlihat dari berbagai
3
Koseki merupakan catatan silsilah ie berikut anggotanya serta hubungannya dengan kacho. Koseki juga mencatat semua kegiatan sosial yang dilakukan dalam kehidupan suatu ie, seperti pernikahan, pengadopsian anak dan kejadian-kejadian ritual yang dilakukan. 17
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
aspek dalam kehidupan masyarakat Jepang, tetapi aspek yang paling menonjol adalah dalam hal pekerjaan. Meskipun ketika Jepang telah memasuki masa pertumbuhan ekonomi tinggi perempuan sudah mulai memasuki dunia kerja, akan tetapi tetap saja perempuan harus tetap mengurus anak setelah ia menikah dan melahirkan. Hal tersebut menjadi penghalang bagi karier seorang perempuan. Ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja dapat terlihat dari kurva partisipasi kerja perempuan Jepang, yang biasa disebut dengan Kurva M. Grafik 3. Tingkat Partisipasi Kerja Perempuan Tahun 1975 dan 1994
Sumber : Sensus Nasional Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa ketika pada usia 20-24 tahun, karier permpuan sedang berada di puncak. Namun ketika memasuki usia 25-29 tahun jenjang karier tersebut langsung menurun tajam dan terus berlanjut hingga memasuki mencapai usia 30-34 tahun. Hal ini terjadi karena usia-usia tersebut merupakan usia dimana perempuan memiliki anak dan harus mengurus anaknya hingga anaknya bersekolah dan setelah itu perempuan dapat kembali bekerja. Perempuan-perempuan muda yang hidup di masa pertumbuhan ekonomi tinggi yang telah merasakan sedikit kebebasan karena penghapusan sistem ie tersebut tidak ingin lagi merasakan apa yang telah dirasakan oleh ibu mereka. Para perempuan tidak ingin menikah dengan laki-laki yang memandang rendah dirinya, yang hanya menginginkannya sebagai objek untuk dapat meneruskan usaha keluarga dan mendapatkan keturunan sebagai pewaris berikutnya. Oleh karena itu, perempuan muda Jepang lebih memilih untuk tidak menikah 18
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
dengan petani karena alasan kedudukan perempuan, namun ada juga alasan lainnya yaitu pendapatan yang tidak stabil sehingga dianggap tidak dapat mencukupi kebutuhan ditengah pertumbuhan ekonomi tinggi. Perempuan Jepang yang pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi telah dapat menikmati dan merasakan dunia kerja selain melakukan pekerjaan rumah tangga dan membantu orang tua mengurus usaha keluarga, juga akan melakukan penolakan terhadap ketidaksetaraan gender yang terwujud dalam kurva M. Ketika perempuan sedang menikmati kariernya dalam pekerjaan, mereka terpaksa harus memutuskan hubungan kerja karena adanya keharusan untuk mengurus anak setelah melahirkan. Sedangkan laki-laki dapat terus melanjutkan kariernya tanpa memperdulikan hal-hal rumah tangga seperti mengurus anak. Hal ini lah yang membuat perempuan menolak untuk menikah, terutama dengan petani.
Kesimpulan Fenomena Yomebusoku terjadi pada masa pertumbuhan ekonomi tinggi Jepang dan masih berlangsung hingga saat ini. Pertumbuhan ekonomi tinggi yang terjadi di Jepang ditandai dengan perubahan struktur ekonomi Jepang dari sektor industri primer ke sektor industri tersier. Perubahan struktur ekonomi ini juga membawa dampak pada demografi Jepang. Industri tersier yang dibangun di kota-kota besar telah menarik minat para pemuda Jepang untuk bekerja di sana, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga banyak diantara mereka melakukan urbanisasi dan meninggalkan orang tua dan anak laki-laki pertama di pedesaan. Hal tersebut menyababkan menyusutnya jumlah penduduk di pedesaan. Penyusutan jumlah penduduk ini juga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan usia produktif di pedesaan. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya memicu munculnya fenomena Yomebusoku karena jumlah perempuan lebih sedikit dibandingkan jumlah laki-laki sehingga laki-laki pewaris usaha pertanian mengalami kesulitan untuk mencari istri. Fenomena Yomebusoku memang terjadi karena faktor demografi, akan tetapi para perempuan yang melakukan urbanisasi pun tidak ingin kembali ke desa dan menikah dengan petani. Karena dengan menikah dengan petani, maka kehidupan mereka akan kembali mengalami pengekangan dan penindasan seperti yang dijelaskan dalam teori feminis radikal. Perempuan Jepang tidak ingin menikah dengan laki-laki yang menganggap rendah dirinya dan hanya 19
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
menjadikan dirinya sebagai penghasil keturunan bagi usaha keluarganya. Jadi dapat disimpukan bahwa meskipun Yomebusoku terjadi karena ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan, namun secara tidak langsung perempuan Jepang mulai enggan untuk menikah dengan cara melakukan urbanisasi sehingga terlepas dari aturan-aturan yang masih melekat pada masyarakat pedesaan. Daftar Referensi Buku Fukutake, Tadashi. (1980). Rural Society in Japan. Japan: University of Tokyo Press. Hideo, Okada. (2008). Nihon Go Kyouiku Nouryouku Kentei Shiken ni Goukaku suru tameno Sekai to Nihon. Iwao, Sumiko. (1993). Japanese Woman: Traditional Image and Changing Reality. New York: The Free Press. Kamiko, Takeji & Masuda, Kookichi. (1981). Nihonjin no Kazoku Kankei. Japan: Yukihaku Co. Ltd. Mitsuoka, Kouji. (1992). Hanayome ga Yorokonde Kuru Fureai no Murazukuri-Hitozukuri. Tokyo. Taeuber, Irene B. (1958). The Population of Japan. New Jersey: Universitas Michigan. Tokuhiro, Yoko. (2009). Marriage in Contemporary Japan. Taylor & Francis. Tong, Rosmarie Putnam. (1998). Feminist Thought-A More Comprehensive Introduction. Philadelphia: Westview Press. Surajaya, I Ketut. (2001). Pengantar Sejarah Jepang 2. Jakarta. S. Endo, et al,.(1991). Gendai Nihon no Kaouzou Gendou. Tokyo. Uchiyama, Masateru. (1990). Gendai Nihon Noson no Shakai Mondai-Kyouiku, Masukomi, Koukeishanan, Yomebusoku, Jisatsu. Japan: Tsukuba Shobo. Jurnal 20
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013
Kitano, Seiichi. (1966). Dozoku and Ie in Japan: the Meaning if Family Genealogical Relationships, Japanese Culture It’s Development and Characteristic, ed. Robert, J. Smith, Richard K. Beardsley. New York: Wenner Green Foundation for Antropological Research, Inc. Sumber Online Sensus
Nasional,
Departemen
Dalam
Negeri
dan
Komunikasi.
http://www.stat.go.jp/english/data/index.htm Japan: Foreign Brides. (1999). 25 April 2013. http://migration.ucdavis.edu/mn/more.php?id=1835_0_3_0
Japan Faces Criticism of Bride Sales. (1991). 1 May 2013. http://articles.chicagotribune.com/1991-04-14/news/9102030207_1_asian-women-priyani-brides
解決済みの Q&A (2012). 19 Juli 2013 http://detail.chiebukuro.yahoo.co.jp/qa/question_detail.php?page=1&qid=1491882809
解決済みの Q&A http://detail.chiebukuro.yahoo.co.jp/qa/question_detail/q1017042400
21
Gejala Yomebusoku..., Silvia Anggraini, FIB UI, 2013