FUNGSI PEMBAGIAN PERAN SUAMI ISTRI TERHADAP MANAJEMEN ALA JEPANG PADA MASA PERTUMBUHAN EKONOMI PESAT 1955-1973 Marsha Felicidad, Yenny Simulya Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Jurnal ini membahas fungsi pembagian peran suami istri berdasarkan gender dalam rumah tangga pada masa pertumbuhan ekonomi pesat 1955-1973. Penulis memilih masa ini sebagai masalah penelitian karena pada masa itulah pembagian peran dalam rumah tangga menyebar di masyarakat Jepang. Pembagian peran yang dimaksud adalah suami sebagai pencari nafkah dan istri sebagai ibu rumah tangga. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi literatur. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pembagian peran suami istri dalam rumah tangga bersifat fungsional terhadap manajemen ala Jepang yang diterapkan dalam perusahaan Jepang. Manajemen ala Jepang tersebut menopang pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Kata kunci: Fungsi; pembagian peran suami istri; manajemen ala Jepang; pertumbuhan ekonomi pesat
THE FUNCTION OF DIVISION OF LABOR BY GENDER BETWEEN HUSBAND AND WIFE TO JAPANESE MANAGEMENT SYSTEM IN RAPID ECONOMIC GROWTH 1955-1973 ABSTRACT The focus of this study is division of labor by gender in Japanese family between husband and wife during the period of rapid economic growth (1955-1973). One of the factors of rapid economic growth was the Japanese management system. The meaning of division of labor in this mini thesis is husband goes to works as employee and wife works as homemaker. The data were collected by literature study. The purpose of this study is to analyze the function of divison of labor at home to the Japanese management system and how this division of labor correlated with rapid economic growth. Key words: Division of labor by gender; function; Japanese management system; rapid economic growth
1
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
1.
PENDAHULUAN Di setiap masyarakat di dunia ini pastilah mengenal konsep status dan peran. Roucek
dan Warren (1984) mendefinisikan status sebagai kedudukan seseorang dalam satu kelompok dan hubungannya dengan anggota lain dalam kelompok itu. Selain itu, status juga berarti seluruh hak dan tugas yang ditentukan bagi seseorang. Oleh karena itu, orang yang berstatus suami memiliki hak dan tugas yang berbeda dengan orang yang berstatus sebagai anak. Konsep status berkaitan erat dengan konsep peran. Peran adalah perilaku, kewajiban, dan hak-hak yang melekat pada status (Henslin, 2007:95). Individu menduduki status dan menjalankan perannya. Peran menentukan perilaku individu. Kaitan di antara keduanya terlihat dari fakta bahwa peran tidak akan muncul bila individu tidak menduduki status tertentu dalam masyarakat. Misalnya, seorang ayah dituntut untuk berperan atau berperilaku layaknya seorang ayah karena ia berstatus sebagai ayah dalam keluarganya. Sebaliknya, status tidak akan muncul jika seseorang tidak memiliki peran tertentu dalam kelompoknya. Karena memiliki peran tertentulah ia menduduki status. Ada beberapa faktor yang menentukan kedudukan status dan peran individu dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, kedudukan dalam sistem keluarga, dan kedudukan dalam sistem ekonomi (Roucek dan Warren, 1984:27). Dalam jurnal ini yang akan dibahas hanya jenis kelamin karena berhubungan dengan pembagian peran berdasarkan gender. Jenis kelamin menimbulkan perbedaan gender. Jenis kelamin adalah istilah untuk perbedaan pria dan wanita dari segi biologis. Di lain pihak, gender adalah istilah untuk perbedaan pria dan wanita dari segi masyarakat dan budaya. Laki-laki (jenis kelamin) diharapkan melakukan hal-hal yang bersifat laki-laki (gender), begitu pula dengan perempuan. Di dalam rumah tangga ada pembagian peran berdasarkan gender. Pembagian peran ini dalam bahasa Jepang disebut dengan seibetsu yakuwari bungyō (性別役割分業). Pembagian peran yang dimaksud adalah suami bekerja di luar dan istri menjadi ibu rumah tangga (otoko wa shigoto, onna wa katei, 男は仕事、女は家庭). Pembagian peran seperti ini terlihat jelas sejak revolusi industri terjadi di Jepang. Revolusi industri di Jepang terjadi sekitar akhir abad ke-19, terlambat kurang lebih 100 tahun daripada revolusi industri Inggris. 1 Sebelum revolusi industri terjadi di Jepang, proses 1
Keterlambatan revolusi industri di Jepang terkait dengan politik pintu tertutup (sakoku, 鎖国) yang dianut oleh Pemerintah Jepang sampai tahun 1853 ketika Kommodor Perry datang ke Jepang. Pada masa politik ini diterapkan, Jepang menutup hubungan dengan negara-negara lain kecuali Belanda, Cina, dan Korea. Oleh
2
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
produksi dikerjakan di rumah sehingga tidak ada pemisahan peran antara suami dan istri. Istri membantu pekerjaan suaminya, begitu pula dengan suami. Suami membantu pengasuhan anak. Tapi, dengan adanya revolusi industri, proses produksi pindah ke pabrik. Dengan adanya pemindahan tempat produksi, maka muncul pemisahan tempat produksi dan tempat tinggal sehingga muncul pembagian peran antara suami dan istri. Suami pergi kerja ke pabrik, sedangkan istri tetap di rumah menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Pada zaman Meiji (1868-1912) pemerintah turut berperan dalam pembentukan status dan peran wanita Jepang. Pembentukan status wanita oleh Pemeritah Meiji dilakukan dengan slogan ryōsai kenbo (良妻賢母) yang secara harafiah berarti istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Dengan adanya slogan seperti ini, pemerintah pada saat itu mengharapkan partisipasi wanita Jepang melalui peran mereka sebagai ibu rumah tangga yang baik (Nolte dan Hastings, 1991:152). Pascaperang, wanita hidup dalam keadaan yang berbeda dengan masa sebelum perang. Akan tetapi, pada masa ini peran mereka tidak berubah. Mereka masi diharapkan menjadi ibu rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari penyebaran pembagian peran suami istri kala itu, khususnya pada masa pertumbuhan ekonomi. Pembagian peran suami istri dalam rumah tangga Jepang menyebar dan mengakar pada masyarakat Jepang pada masa pertumbuhan ekonomi pesat 1955-1973 (Bandō, 2009:35). Seiring dengan berakhirnya pertumbuhan ekonomi pesat, berkurang pula jumlah keluarga yang menerapkan pembagian peran ini. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti apakah pembagian peran yang seperti ini, terutama peran ibu rumah tangga, memiliki fungsi tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi sehingga keberadaannya diperlukan. Selain masalah di atas, dalam jurnal ini juga akan dibahas status wanita dalam sistem keluarga Jepang tradisonal dan pascaperang serta peran mereka dalam rumah tangga. Penulis merasa perlu untuk membahas status karena peran seseorang tidak dapat dilepaskan dari statusnya. Untuk rentang waktu pascaperang, penulis hanya membatasi pada era pertumbuhan ekonomi pesat, yaitu tahun 1955-1973. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalis fungsi pembagian peran dalam rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini juga berfungsi untuk menganalis bagaiamana status dan peran wanita dalam sistem keluarga Jepang.
karena itu, wajar bila revolusi industri terlambat masuk ke Jepang karena pemerintah pada saat itu melarang masuknya pengaruh asing ke Jepang.
3
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
2.
TINJAUAN TEORITIS Untuk melakukan analisis, penulis menggunakan teori peran pendekatan fungsional.
Tokoh yang memulai pendekatan ini adalah Ralph Linton pada 1936 dan menjadi populer berkat Talcott Parson pada 1951. Sampai pada pertengahan dekade 70-an, pendekatan ini adalah pendekatan yang paling populer untuk teori peran. Dalam pembahasan di awal, telah disinggung arti peran. Lebih jauh, Edy Suhardono (1994) mendefinisikan peran sebagai karakterisasi yang dibawakan seseorang ketika menduduki status tertentu dalam struktur sosial. Ia juga mendefinisikan peran sebagai fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki status. Menurut penulis, pendekatan fungsional sejalan dengan pengertian peran yang kedua. Pendekatan fungsional melihat perilaku individu yang menduduki status tertentu dalam struktur sosial secara khusus. Dalam hal ini, peran juga dipakai untuk mendeksripsikan perilaku individu. Jika individu telah melaksanakan perannya dengan baik, maka menurut pendekatan ini individu tersebut telah berhasil menuntaskan fungsi tertentu bagi masyarakat. Penulis merasa bahwa pendekatan ini cocok untuk diterapkan sebagai alat analisis karena istri memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat terutama dalam bidang ekonomi dengan menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. 3.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah studi literatur. Sumber-sumber
data diperoleh dari buku-buku, artikel ilmiah, dan publikasi-publikasi internet. Sumber buku diperoleh dari koleksi Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, koleksi Perpustakaan Pusat Studi Jepang, dan koleksi Perpustakaan Japan Foundation Jakarta. 4.
PEMBAHASAN Pertama-tama akan dibahas mengenai perubahan status wanita dalam struktur
keluarga Jepang tradisional dan pascaperang, khususnya pada masa pertumbuhan ekonomi pesat. Untuk pertama-tama akan dibahas mengenai sistem keluarga Jepang tradisional (Sistem Ie) dan bagaimana status wanita di dalamnya, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sistem keluarga Jepang pascaperang dan status wanita dalam sistem tersebut.
4
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
4.1
STATUS WANITA DALAM SISTEM IE Sistem Ie atau Ie Seido (家 制 度 ) adalah sistem keluarga yang berlaku untuk
masyarakat Jepang sebelum perang. Secara literal, Ie (家) berarti rumah. Tapi, konsep Ie lebih cocok bila diartikan sebagai rumah tangga. Motoka (2005) mendefinisikan Ie sebagai sebuah kelompok yang mengelola bisnis keluarga berdasarkan pada produksi rumahan atau aset keluarga di bawah kepemimpinan kepala rumah tangga. Ie juga merupakan kelompok sistemis yang mementingkan kemakmuran yang berlanjut antargenerasi, dari leluhur ke anak cucu. Jadi, Ie bukan saja hubungan kekeluargaan, tetapi juga berupa unit ekonomi. Ie memiliki beberapa ciri khas. Ciri khas pertama adalah kesinambungan antargenerasi. Ie dibangun oleh generasi pertama dan dilanjutkan turun-temurun antargenerasi. Oleh karena itu, sebuah Ie bukanlah keluarga inti yang terpisah-pisah, melainkan sebuah keluarga besar. Ciri khas kedua adalah anak laki-laki sulung yang mempunyai hak untuk mendapatkan warisan. Salah satu hak anak sulung laki-laki adalah menjadi pewaris utama status kepala rumah tangga. Ciri khas ketiga adalah wewenang kepala rumah tangga yang besar. Kepala keluarga berwenang untuk menyetujui atau menolak pernikahan anggota Ienya, berhak untuk menolak atau menyetujui pengadopsian anak, dll. Ciri khas yang terakhir adalah menghormati roh nenek moyang. Hal ini ditandai oleh adanya altar Buddha (butsudan, 仏壇) di setiap Ie. Keberadaan altar ini juga merupakan simbol keberlangsungan sebuah Ie (Hendry, 1995:30). Hubungan keluarga dalam Ie bersifat hierarkis. Tinggi rendahnya status ditentukan oleh usia, jenis kelamin, dan kemungkinan lamanya seseorang tinggal di rumah utama.2 Posisi teratas ditempati oleh kepala rumah tangga, disusul oleh istri kepala rumah tangga. Posisi berikutnya ditempati oleh anak laki-laki sulung yang disusul oleh istrinya. Posisi berikutnya adalah anak laki-laki kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Bila pegawai Ie dianggap sebagai anggota, ia ditempatkan setelah anak laki-laki bungsu. Terakhir, posisi terbawah ditempati oleh anak perempuan yang belum menikah. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, status wanita berada di bawah pria. Hal ini menyebabkan wanita memiliki kewajiban untuk mematuhi pria. Kewajiban untuk mematuhi pria telihat dalam “tiga kewajiban”. Tiga kewajiban tersebut adalah mematuhi ayahnya ketika masih anak-anak, mematuhi suaminya ketika telah menikah, dan mematuhi anak laki-lakinya 2
Anak laki-laki sulung akan tinggal terpisah dengan saudara-saudaranya bila telah menikah. Anak laki-laki sulung akan tinggal bersama dengan orangtuanya di dalam rumah utama, sedangkan saudara-saudaranya akan keluar dari rumah utama ketika menikah dan membangun Ie baru yang kemudian menjadi rumah cabang yang masih berada di bawah rumah inti.
5
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
ketika memasuki usia lanjut (Henry, 2003:37). Kepatuhan anak perempuan kepada ayahnya terlihat ketika ia akan menikah. Pasangan anak perempuan ditentukan oleh kepala rumah tangga. Oleh karena itu, pada zaman ini banyak pernikahan yang terjadi karena perjodohan orang tua. Ketika telah menikah ia wajib untuk menuruti suaminya. Menurut Murakami (1989) hal ini terjadi karena ia masuk dan tinggal di Ie suaminya. Dengan demikian, ia masuk ke dalam “kekuasaan” suaminya. Salah satu hal yang membuktikan bahwa wanita wajib menuruti suaminya adalah dalam hal pengelolaan harta. Harta istri diatur oleh suaminya. Hal ini sah secara hukum karena tertulis dalam Meiji Minpō3 pasal 801 ayat 1, yang berbunyi demikian “夫ハ妻ノ財産ヲ管理ス” yang berarti “Suami mengelola kekayaan istri.” Itu berarti istri tidak memiliki hak sedikitpun terhadap hartanya. Suami berhak untuk menjual harta istrinya selama hal itu masih masuk ke dalam pengelolaan harta. Sebaliknya, istri harus meminta izin kepada suaminya bila ingin menjual hartanya. Ini berarti, istri hanya dapat menjual hartanya dengan izin suami dan harus menurutinya. Bila suami tidak mengizinkan, maka ia tidak dapat menjual hartanya. Memasuki usia lanjut, wanita diwajibkan untuk mematuhi anak laki-lakinya. Hal ini disebabkan karena suaminya yang berstatus sebagai kepala rumah tangga telah mundur dan digantikan oleh anak laki-lakinya. Secara sistem, ia harus mematuhi kepala keluarga yang baru, yaitu putranya sendiri. Dalam orang yang berstatus sebagai istri pun ada perbedaan. Wanita yang masuk ke dalam Ie suami akan menyandang status yome (嫁) atau terlebih dahulu. Wanita yang berstatus ini adalah istri dari anak laki-laki sulung. Istri kepala rumah tangga disebut dengan shufu (主婦). Status Yome lebih rendah dibandingkan dengan shufu. Ini dikarenakan status suami shufu lebih tinggi daripada status suami yome. Jadi, dalam Sistem Ie, wanita selalu diposisikan di bawah pria dan diwajibkan untuk mematuhi perintahnya sehingga dapat dikatakan pula bahwa eksistensi wanita dalam sistem ini tidak terlihat. Selain itu, di kalangan wanita sendiri, ada perbedaan antara menantu dan mertua.
3
Meiji Minpō (明治民法) adalah Kitab Undang-Undang Perdata Pemerintah Jepang zaman Meiji yang diberlakukan pada tahun 1898. Kitab ini terdiri dari lima bab, yaitu peraturan umum, kepemilikan, utangpiutang, hubungan saudara, dan harta warisan. Kitan undang-undang ini mendapat amandemen besar-besaran ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Bab yang mendapat amandemen besar-besaran adalah bab tentang hubungan saudara dan harta warisan.
6
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
4.2
STATUS WANITA DALAM KELUARGA BATIH Sistem Ie dihapuskan keberadaanya melalui pemberlakuan Undang-Undang Perdata
yang telah diamandemen pada tahun 1947. Dalam Undang-Undang Perdata ini diakui persamaan status antara pria dan wanita sehingga sistem Ie ini dianggap tidak sesuai lagi karena di dalamnya sangat terlihat ketidakseimbangan status pria dan wanita. Oleh karena itu, Ie dihapuskan dan diganti dengan bentuk keluarga baru, yaitu sistem keluarga batih (kakukazoku, 核家族). Torigoe (2003) mendefinisikan keluarga batih sebagai bentuk keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan anak yang belum menikah. Berbeda dengan Sistem Ie, inti dari bentuk keluarga ini adalah suami dan istri. Selain itu, tidak ada hubungan yang bersifat hierarkis sehingga suami sejajar dengan istri dan saudara kandung juga memiliki hubungan yang sejajar. Jumlah keluarga ini semakin bertambah, khususnya pada masa pertumbuhan ekonomi pesat. Pada tahun 1960, persentase keluarga batih adalah 64,9%. Persentase ini kemudian bertambah menjadi 70,4% pada tahun 1965 dan menjadi 74,2% pada tahun 1970 (Aoi, 1987:40). Keluarga ini pada umumnya dibentuk oleh orang yang pindah ke kota-kota besar untuk menjadi pegawai kantoran. Mereka kemudian menikah dan membentuk keluarga batih. Status istri sejajar dengan suami. Ini berarti bila dibandingkan dengan Sistem Ie, status wanita mengalami peningkatan yang signifikan. Hal yang paling menunjukkan perubahan status wanita tersebut adalah hilangnya tiga kewajiban wanita. Anak perempuan tidak harus mematuhi perintah ayahnya dalam pemilihan pasangan menikah. Ini terbukti dari lebih tingginya persentase orang yang menikah atas dasar saling suka (renai kekkon, 恋愛結 婚) daripada yang menikah dengan perjodohan (miai kekkon, 見合い結婚). Pada tahun 1965, persentase orang yang menikah dengan renai kekkon adalah 48,7%, sedangkan persentase orang yang menikah dengan perjodohan adalah 44,9%. Perbedaan antarkeduanya memang tidak mencolok pada tahun itu, tetapi seiring dengan berjalannya waktu perbedaan ini semakin lebar. Sampai pada saat ini, persentase pernikahan dengan miai kekkon kurang 10%.4 Hal yang paling menunjukkan kesejajaran suami dan istri adalah istri tidak tergantung kepada suami dalam mengambil keputusan. Wanita dapat mengatur hartanya sendiri,
4
Kokuritsu Shakai Hoshō&Jinkō Mondai Kenkyusho. 2005. Dai 13 Kai Shussei Dōkō Kihon Chōsa Kekkon to Shussan ni Kansuru Zenkoku Chōsa Fūfu Chōsa no Kekka Gaiyō. (www.ipss.go.jp/ps-doukou/j/doukou13/doukou13.pdf)
7
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
meskipun telah menikah. Dia juga berhak untuk menjual harta atas nama dirinya sendiri, tanpa harus meminta persetujuan kepada suami terlebih dahulu. Ketika memasuki usia lanjut, wanita tidak harus patuh kepada anak laki-lakinya. Ini merupakan dampak langsung dari hilangnya kekuasaan dan hak absolut kepala rumah tangga. Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan tempat tinggal antara orangtua dan anak. Bila anak telah menikah ia akan keluar dari rumah orangtuanya dan membentuk keluarga batih yang baru sehingga secara otomatis, wanita tidak berada dibawah anak laki-lakinya. Jadi, dalam bentuk keluarga ini, keberadaan wanita sudah diakui. Wanita telah mendapat posisi yang sama dengan pria. Perbedaan status antara yome dan shufu hilang pada bentuk keluarga ini. Hal ini terjadi karena adanya pemisahan tempat tinggal antara mertua dan menantu. Karena tidak tinggal bersama dengan mertua, maka wanita yang baru menikah langsung menduduki status “nyonya besar” dalam keluarganya. Dengan demikian, dapat terlihat perbedaan status wanita dalam Sistem Ie dan keluarga batih. Dalam Sistem Ie, wanita diposisikan di bawah pria, sedangkan dalam keluarga batih wanita diposisikan sejajar dengan pria. Lalu, bila ada perbedaan antara status antara yome dan shufu dalam Sistem Ie, perbedaan ini sudah tidak terlihat lagi dalam bentuk keluarga modern (pascaperang). 4.3
PERAN WANITA DALAM SISTEM IE Dalam bagian ini akan dibahas mengenai peran yang diharapkan oleh wanita yang
berstatus sebagai istri dalam Sistem Ie. Peran tersebut diatur dalam Meiji Minpō pasal 804 ayat 1 yang berbunyi, “ 日 常 ノ 家 事 ニ 付 テ ハ 夫 ノ 代 理 人 ト 看 做 ス ” 5 yang berarti “Mengenai pekerjaan rumah tangga sehari-hari, istri dianggap sebagai perwakilan suami.” Dari pasal ini, dapat dikatakan bahwa peran seorang istri adalah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam sistem Ie ada sedikit perbedaan peran antara wanita yang berstatus yome (嫁) dan wanita yang berstatus shufu (主婦). Peran yang diharapkan dari seorang yome adalah melahirkan anak, merawat anak, melayani suami dan mertuanya, serta melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menjahit, membersihkan rumah, dll. Di lain pihak, peran seorang shufu lebih dari itu. Seorang shufu diharapkan dapat mengatur Ie secara 5
Perpustakaan Digital Nakano (http://www.geocities.jp/nakanolib/hou/m4_o.htm)
8
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
keseluruhan, seperti mengurus pembukuan Ie. Jadi, dalam sistem Ie, ada sedikit perbedaan antara peran yome dan shufu. Meskipun demikian, peran mereka masih terbatas pada pekerjaan domestik saja.
4.4
PERAN WANITA DALAM KELUARGA BATIH Meskipun telah mengalami peningkatan status, ternyata peran yang diharapkan dari
seorang istri pada masa pascaperang, khususnya pada masa pertumbuhan ekonomi pesat, sama dengan peran istri dalam Sistem Ie. Seorang istri masih diharapkan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Oleh karena itu, banyak wanita yang berhenti dari dunia kerja ketika telah menikah atau melahirkan. Pekerjaan utama ibu rumah tangga pada masa ini sama dengan peran istri pada Sistem Ie, yaitu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Pekerjaan rumah tangga yang pada umumnya menjadi tanggung jawab istri adalah mencuci, memasak, membereskan peralatan makan, berbelanja, dsb. Untuk pengasuhan anak, suami dan istri melakukannya secara bersamaan. Akan tetapi, suami tidak turut campur dalam perawatan anak yang bersifat fisik, seperti memandikan, membersihkan kotoran, dll. Suami turut berperan dalam hal membantu pelajaran sekolah, teman bermain, dll.6 4.5
PERAN WANITA SEBAGAI IBU RUMAH TANGGA DAN FUNGSINYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 1955-1973 Dari uraian-uraian di atas, didapatkan fakta bahwa ada peningkatan status pada wanita,
tetapi tidak membawa perubahan peran. Dalam kedua zaman tersebut, peran yang diharapkan dari orang yang berstatus sebagai ibu rumah tangga tetap sama, yaitu menjadi ibu rumah tangga. Peran sebagai ibu rumah tangga pada masa pertumbuhan ekonomi pesat 1955-1973 ternyata memberikan fungsi tertentu bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Fungsi tersebut dijembatani oleh manajemen ala Jepang (nihon teki keiei, 日本的経営). 4.5.1
PERTUMBUHAN EKONOMI PESAT DAN MANAJEMEN ALA JEPANG Pertumbuhan ekonomi pesat (kōdo keizai seichō, 高度経済成長) adalah keadaan
iklim ekonomi yang baik yang berlangsung lebih dari satu tahun dan rasio pertumbuhan 6
Berdasarkan penelitian Kamiko Takeji (武次紙子) pada tahun 1963 di Prefektur Nagano.
9
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
ekonomi mencapai angka lebih dari 10%.7 Di Jepang pertumbuhan ekonomi ini terjadi dari tahun 1955-1973. Pada masa ini, jumlah Pendapatan Nasional Bruto (PNB)8 Jepang adalah 15,6% atau setara dengan tiga kali lipat jumlah PNB Jepang sebelum Perang Dunia II.9 Dari angka PNB ini, dapat dibayangkan baiknya keadaan ekonomi Jepang pada masa itu. Pertumbuhan ekonomi pesat ini tidak terjadi dengan sendirinya. Ada beberapa faktor yang mendukung, yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Modal didapat dari tabungan masyarakat di bank. Keinginan masyarakat untuk menabung dapat dikatakan tinggi pada saat itu. Dalam rentang waktu 1952-1960, rasio tabungan terhadap pendapatan yang siap dibelanjakan 10 orang Jepang adalah 15,5%. Pada rentang waktu 1961-1970 rasio ini meningkat menjadi 19,2%. Rasio ini dapat dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan Amerika Serikat. Dalam rentang waktu yang sama, rasio tabungan hanya 7,3% dan 6,7%.11 Faktor berikutnya adalah banyaknya jumlah tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja produktif (15-64 tahun) pada 1960 adalah 45 juta orang dan meningkat pada 1970 menjadi 51 juta orang. 12 Hal yang menyebabkan banyaknya jumlah tenaga kerja produktif adalah generasi dankai13 yang telah masuk ke dalam bursa tenaga kerja. Dengan adanya generasi ini, Jepang mempunyai cadangan tenaga kerja yang cukup untuk menjadi tenaga penggerak perekonomian. Faktor terakhir adalah teknologi. Pada masa ini, Jepang mengimpir teknologi produksi barat, yaitu otomatisasi dan teknologi produksi massal. Dengan adanya teknologi ini, pekerja dapat memproduksi barang dengan jumlah banyak dan waktu yang lebih singkat. Ketiga faktor diatas adalah faktor pemicu yang mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi pesat. Tidak hanya itu, perusahaan juga mempunyai peran yang penting untuk menyokong pertumbuhan agar tetap stabil. Peran perusahaan tersebut ada dalam sistem manajemen yang diterapkan dalam perusahaan. Sistem manajemen tersebut adalah manajemen ala Jepang yang terdiri dari kepegawaian seumur hidup (shūhin koyō, 終身雇用), senioritas (nenkōjoretsu, 年功序列), dan asosiasi pekerja (kigyō betsu rōdō kumiai, 企業別 7
Hiroshi Hazama, Kōdo Keizai Seichō Ka no Seikatsu Seikai (Tokyo: Bunshindō, 1994), 4. Jumlah seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh warga negara tertentu, baik di dalam negeri tersebut atau di luar negeri. Sumber: http://www.esri.cao.go.jp 9 Hazama, op.cit., 6 10 Pendapatan yang siap dibelanjakan atau disposable income adalah pendapatan yang dapat digunakan secara bebas oleh individu setelah dikurangi pajak dan biaya asuransi. Pendapatan ini biasanya digunakan untuk konsumsi atau tabungan. Sumber: Kamus elektronik Daijirin. 11 Biro Pusat Statistik Perbankan Jepang, seperti yang tercantum dalam buku Nihon Keizaishi 8 Kōdo Keizai Seichō, hal 23. 12 Hazama, op.cit., 9 13 Generasi baby boom yang lahir sekitar tahun 1947-1949. Sumber: Kamus elektronik Daijirin. 8
10
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
労働組合). Ketiganya disebut juga dengan sanshu no jingi (三種の神器)14 dan diaplikasikan ke perusahaan-perusahaan Jepang, khususnya perusahaan besar karena dianggap memberikan keuntungan bagi pihak perusahaan dan karyawan.15 Ketiga tiang manajeman ala Jepang ini dikatakan sebagai kunci penting pertumbuhan ekonomi pesat. Hiroshi Kazama (1994) menjelaskan hal itu sebagai berikut: 「三種の神器」は、しばしば高度成長の鍵と言われるが、それ自体が高度成 長をもたらしたのではなく、高度成長は労使がそれを巧く利用した結果とい うべきであろう。 “Sanshu no jingi” wa, shiba shiba kōdo seichō no kagi to iwareruga, sore jitai ga kōdo seichō wo motarashita no dehanaku, kōdo seichō wa rōshi ga sore wo umaku riyōshita kekka to iu beki dearō. Manajemen ala Jepang sering disebut sebagai kunci dari pertumbuhan ekonomi, tetapi bukan berarti hal itu yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi terjadi. Mungkin harus dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil dari penerapan manajemen Jepang secara baik oleh pekerja. Tiang manajemen yang pertama adalah kepegawaian seumur hidup. Sistem ini menjamin pegawai, bila tidak ada keadaan khusus, dapat bekerja dalam satu perusahaan tanpa ada kekhawatiran akan dipecat. Perusahaan akan berusaha untuk tidak memecat pegawai tetap. Langkah yang diambil oleh perusahaan adalah mengurangi jumlah pegawai tidak tetap, membuka lowongan untuk pengunduran diri, dan tidak membuka lowongan baru meskipun ada pegawai yang akan pensiun. Karena ada sistem ini, rasio pegawai yang pindah kerja rendah (tenshoku, 転職). Dalam rentang tahun 1964-1973, rasio pegawai yang pindah kerja tidak pernah lebih dari 14%. 16 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebagian besar pegawai bekerja di perusahaan yang sama sejak lulus kuliah hingga pensiun. Perusahaan melakukan investasi kepada pegawai barunya. Investasi tersebut berupa kemampuan (skill) yang diberikan kepada pegawai. Pegawai baru akan diberi pelatihanpelatihan dan diposisikan di berbagai divisi dalam kurun waktu tertentu. Dengan ditempatkan di berbagai divisi, pegawai baru akan tahu bagaimana mekanisme perusahaan secara keseluruhan dan bagaiama keterkaitan antardivisi. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh 14
Sanshu no Jingi (三種の神器) adalah tiga benda pusaka yang dianggap sebagai lambang kaisar dan diwariskan secara turun temurun kepada kaisar dalam mitologi Jepang. Ketiga benda tersebut adalah Pedang Kusanagi (Kusanagi no tsurugi, 草薙剣), Cermin Yata (Yata no Kagami, 八尺鏡), dan Permata Yasakani (Yasakani no Magatama, 八坂瓊曲玉). Sumber: Kamus Elektronik Daijirin. 15 Kementrian Kesehatatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang. Nihon teki Kōyō Kankō to Nihon Kigyō Fūdo. (http://wwwhakusyo.mhlw.go.jp/wpdocs/hpaz199801/b0056.html). 16 Situs Resmi Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (www. mhlw.go,jp/wp/hakusyo/roudou/02/zu43.html)
11
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
perusahaan yang mengharapkan pegawainya bekerja sampai masa pensiun. Bila tidak, perusahaan seharusnya dapat mempekerjakan orang yang telah memiliki pengalaman kerja dan kemampuan tinggi. Keuntungan yang didapat oleh perusahaan dengan adanya sistem ini adalah mendapat tenaga kerja yang ahli di bidangnya. Ini merupakan hasil dari pelatihan pegawai bertahuntahun. Selain itu, kebocoran informasi teknologi dapat dicegah dengan adanya sistem ini. Dengan sedikitnya orang yang pindah kerja, maka rahasia perusahaan akan terjamin. Untuk pihak karyawan, sistem ini memberikan jaminan untuk bekerja tanpa harus khawatir adanya pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Tiang manajemen yang kedua adalah senioritas. Senioritas menjamin adanya kenaikan gaji pegawai seiring dengan lamanya bekerja di perusahaan. Oleh karena itu, dasar dari naiknya gaji pegawai adalah lama bekerja. Selain dari lama bekerja, prestasi kerja seseorang juga menjadi landasan besaran tingkat kenaikan gaji. Tidak hanya gaji, pegawai tetap juga mendapat bonus dari perusahaa. Bonus diberikan dua kali setahun, yaitu sekitar bualn Juli dan bulan Desember. Besarnya bonus yang diberikan rata-rata 1-3 bulan besar gaji, tergantung dengan keuntungan yang diperoleh dari perusahaan dalam kurun 1 tahun fiskal.17 Selain kenaikan gaji, sistem ini memungkinkan pegawai untuk naik pangkat. Orang-orang yang duduk di posisi manajerial dan eksekutif adalah pegawai yang mendapat promosi, bukan pegawai baru yang dipekerjakan untuk posisi tersebut.18 Sistem senioritas yang seperti ini membantu pencegahan pindahnya pegawai ke perusahaan lain. Sistem ini mendorong pegawai untuk bertahan dalam satu perusahaan dengan memberikan kenaikan gaji.19 Karyawan yang akan pindah kerja, terutama yang telah berusia setengah baya, akan berpikir ulang karena bila mereka keluar, gaji mereka akan kembali kecil, sama dengan gaji lulusan baru. Selain keuntungan untuk perusahaan tersebut, sistem ini juga memberikan keuntungan bagi pegawai, yaitu dapat merencanakan kehidupannya dengan lebih matang. Tiang manajemen yang terakhir adalah asosiasi pekerja. Di Jepang, asosiasi pekerja dibentuk berdasarkan kesamaan tempat kerja (perusahaan). Oleh karena itu, dalam satu asosiasi pekerja, terdapat berbagai profesi. Dengan adanya asosiasi ini, pegawai dapat dengan bebas mengutarakan aspirasinya kepada pihak manajemen. Hal-hal yang biasanya 17
Tahun fiskal (nendo, 年度) adalah jangka waktu 1 tahun untuk perusahaan dan pemerintah membuat pembukuan. Satu tahun fiskal di Jepang di mulai dari bulan Maret hingga April tahun berikutnya. 18 Keitaro Hasegawa, Japanese Style Management an Insider’s Analysis (New York: Kodansha International, 1986), 13 19 Ibid., 18
12
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
dirundingkan oleh pegawai adalah kenaikan gaji dan kenaikan tunjangan keluarga. Respon manajemen sangat baik terhadap permintaan pegawai ini. Pihak manajemen perusahaan memberikan kenaikan tunjangan keluarga menjadi 21% (Sasajima, 2009:29). Ketiga tiang memberikan peranan yang penting untuk menghasilkan SDM yang loyal dan kompeten. Tenaga kerja ini kemudian menjadi penggerak roda perekonomian Jepang saat itu. Mustahil pertumbuhan ekonomi terjadi tanpa adanya SDM yang menggerakkan roda perekonomian sehingga, sesuai dengan pendapat Hiroshi Kazama, pertumbuhan ekonomi pesat adalah hasil dari penerapan manajemen ini. 4.5.2 KEADAAN
PEGAWAI
PRIA
YANG
BEKERJA
DENGAN
SISTEM
MANAJEMEN ALA JEPANG Pegawai pria diberikan fasilitas yang baik oleh perusahaan, seperti kenaikan gaji, bonus, jaminan hubungan kerja, dsb. Tentu hal ini diberikan kepada pegawai agar mereka dapat memberikan keuntungan. Tuntutan perusahaan terhadap pegawai tersebut terlihat dari tingginya jam kerja tahunan Jepang. Selama masa pertumbuhan ekonomi pesat, jumlah jam kerja tahunan pegawai Jepang selalu berada di atas angka 2000 jam (Ogura dan Sakaguchi, 2004:4). Bila dibandingkan dengan jumlah jam kerja pegawai negara lain, angka ini sangat tinggi. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: Grafik 1 Perbandingan Jam Kerja Aktual Tahunan Jepang dengan Negara-Negara Lain (Satuan Jam)
Sumber: http://labor.tank.jp/toukei/jikan_kokusaihikaku.html Keterangan: 1. Garis berwarna biru tua adalah Jepang 2. Garis berwarna pink adalah Amerika Serikat
13
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
3. Garis berwarna kuning adalah Inggris 4. Garis berwarna biru muda adalah Jerman 5. Garis berwarna ungu adalah Perancis
Selain jumlah jam kerja yang tinggi, pegawai Jepang juga dibebani oleh jam lembur. Jam lembur Jepang juga sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. perbandingan jumlah jam lembur Jepang dan negara lainnya dapat dilihat melalui tabel di bawah ini: Tabel 3.4 Perbandingan Jumlah Jam Lembur Pegawai di Jepang dengan Pegawai di NegaraNegara Lain (Satuan Jam) Tahun
Jepang
AS
Inggris
Jerman
1970
238
156
151
198
1971
200
151
135
166
1972
198
182
125
151
1973
214
198
156
161
Sumber: http://labor.tank.jp/toukei/jikan_kokusaihikaku.html
Dari kedua data di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai pengganti fasilitas yang diberikan oleh perusahaan, pegawai dituntut bekerja ekstra untuk memenuhi target perusahaan. 4.5.3 FUNGSI PEMBAGIAN PERAN TERHADAP MANAJEMEN ALA JEPANG DAN PERTUMBUHAN EKONOMI PESAT Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, pegawai pria hanya mempunyai sedikit waktu untuk keluarganya. Ini berarti, mustahil bagi mereka untuk dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Maka dari itu, dapat pula dikatakan bahwa untuk mendukung pria yang bekerja di bawah sistem ini, diperlukan wanita yang berperan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal ini sesuai dengan pendapat pernyataan Nobuko
14
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
Nagase (永瀬伸子)20 dalam Koran Ekonomi Jepang (Nihon Keizai Shinbun, 日本経済新聞) yang terbit pada tanggal 20 Februari 2013 seperti berikut ini: 日本的雇用慣行が、専業主婦のいる世帯主や独身層など、家族のケア責任が 軽微な長期・長時間雇用者を前提としているから。 Nihon teki koyō kankō ga, sengyō shufu no iru setaishu ya dokushinsō nado, kazoku kea sekinin ga keibi na chōki, chōjikan koyōsha wo zentei toshiteiru kara. Manajemen ala Jepang mempersyaratkan pegawai yang dapat bekerja dalam waktu lama dan jangka panjang yang tanggung jawab untuk merawat keluarganya kecil, seperti kepala rumah tangga yang memiliki istri yang berprofesi ibu rumah tangga atau bujangan. Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan istri yang berperan sebagai ibu rumah tangga merupakan hal penting yang harus ada dalam sistem manajemen ala Jepang. Meskipun hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak, ibu rumah tangga memiliki fungsi tertentu bagi suaminya yang bekerja sebagai pegawai. Fungsi tersebut adalah sebagai penyokong pekerjaan suaminya. Bentuk sokongan yang diberikan adalah menjalankan perannya dalam rumah tangga dengan baik. Suami dapat mempercayakan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak kepada istrinya sehingga ia dapat bekerja secara maksimal memenuhi tuntuan pekerjaan seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hal ini menyebabkan pembagian peran dalam rumah tangga menjadi hal penting agar manajemen ala Jepang tetap berjalan (Bandō, 2009:38). Dengan tetap berjalannya manajemen ala Jepang ini, maka pertumbuhan ekonomi juga mendapat sokongan. Seperti yang telah dijelaskan di muka, manajemen ala Jepang merupakan hal penting dalam pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Jadi, pembagian peran, khususnya peran ibu rumah tangga, bersifat fungsional terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri dengan dijembatani oleh manajemen ala Jepang. Jadi, sebenarnya, para ibu rumah tangga, meskipun tidak melakukan hal yang bersifat ekonomis, mempunyai peran juga dalam pertumbuhan ekonomi dan telah menjalankan fungsinya terhadap masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi.
20
Nobuko Nagase adalah profesor bidang ekonomi dan staff pengajar di Universitas Ochanomizu, Tokyo. Beliau banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ekonomi Jepang dan negara-negara Asia lainnya dan membandingkannya dengan ekonomi negara-negara Barat. Bidang penelitiaannya antara lain sistem upah dan pemilihan kerja, keamanan sosial, pekerjaan dan gender, dsb. Sumber: website Universitas Ochanomizu (http://www.soc.ocha.ac.jp/soc/english/t_nagase_nobuko.html).
15
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
5.
KESIMPULAN Status adalah posisi seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Peran adalah hak,
yang melekat pada status. Peran juga menentukan tingkah laku individu. Edy Suhardono mendefinisikan peran sebagai fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki status. Jadi, peran dapat dikatakan sebagai fungsi individu. Status wanita dalam sistem keluarga tradisional Jepang rendah, sedangkan status wanita dalam sistem keluarga Jepang modern sejajar dengan pria. Dalam sistem keluarga modern ini pun, wanita tidak perlu menyandang status yome terlebih dahulu. Ia dapat langsung menduduki status shufu dalam keluarganya. Selain itu, ia dapat melakukan kehendaknya. Itu berarti, ada peningkatan status wanita dalam sistem keluarga Jepang dan eksistensinya serta kebebasannya diakui. Akan tetapi, tidak ada perubahan peran. Dalam sistem keluarga tradisional Jepang, peran yang diharapkan dari seorang istri adalah menjadi ibu rumah tangga. Peran ini tidak mengalami perubahan dalam sistem keluarga Jepang modern. Peran istri sebagai ibu rumah tangga ternyata memiliki fungsi tersendiri, yaitu menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi pesat yang terjadi dari tahun 1955-1973. Fungsi yang diberikan ibu rumah tangga kepada pertumbuhan ekonomi dijembatani oleh manajemen ala Jepang. Sistem manajemen ini merupakan hal penting bagi pertumbuhan ekonomi karena menghasilkan tenaga kerja ahli yang menjadi roda penggerak pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah hasil dari penerapan sistem manajemen ini di perusahaan-perusahaan Jepang. Manajemen ala Jepang sendiri mendapat sokongan dari ibu rumah tangga. Bentuk sokongan yang diberikan adalah dengan mengerjakan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Suami dapat mempercayakan seluruh urusan rumah tangga dan pendidikan anak kepada istrinya sehingga mereka dapat bekerja memenuhi tuntutan pekerjaan dengan maksimal. Hal inilah yang mempertahankan berlangsungnya sistem manajemen ala Jepang. Jadi, peran ibu rumah tangga bersifat fungsional kepada pertumbuhan ekonomi karena ia adalah penyokong berlangsungnya manajemen ala Jepang. Manajemen ala Jepang sendiri pun adalah hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, wanita pada masa itu berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung dan telah menjalankan fungsinya terhadap masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi, yaitu sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi.
16
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
KEPUSTAKAAN Sumber Buku: Bandō, Mariko. (2009). Nihon no Josei Seisaku Danjo Kyōdō Sankaku Shakai to Shōshika Taisaku no Yukue. Kyōto: Minerva Shobō. Foreign Press Center Japan. (1998). The Japanese Family in Transition. (Terj. dari Nihon Shakai no Kōzō, Ronald P. Dore). Tokyo: Foreign Press Center Japan. Hasegawa, Keitaro. (1986). Japanese Style Management An Insider’s Analysis. New York: Kodansha International. Hazama, Hiroshi. (1994). Kōdo Keizai Seichōka no Seikatsu Seikai. Tokyo: Bunshindō. Hendry, Joy. (1995). Understanding Japanese Society. London: Routledge. Henslin, James M. (2007). Sosiologi dengan Pendekatan Membumi Jilid 1. (Terj. dari Essentials of Sociology: a Down-To-Earth Approach, Prof. Kamanto Sunarto, S.H., Ph.d. Jakarta: Penerbit Erlangga. Miyazaki, Isamu. (1990). The Japanese Economy What Makes It Ticks. Tokyo: Simul Press. Miwa, Ryōichi. (2002). Gaisetsu Nihon Keizaishi Kingendai (Dai 2 Han). Tokyo: Tokyo Daigaku Shuppankai. Nolte, Sharon H. dan Sally Ann Hasting. (1991). The Meiji State’s Policy Toward Women, 1890-1910. Dalam: Bernstein, Gail Lee (ed.). (1991). Recreating Japanese Women, 1600-1945, hlm. 151-174. Los Angeles: University of Callifornia Press. Sasajima, Yoshio. (1988). Labor in Japan About Japan Series. Tokyo: Foreign Press Center. Shimatsu, Ichirō. (1989). Bessatsu Hōgaku Seminaa Kihonhō Konmentaru (Dai san ban) Shinzoku Minpō Dai 725 Jō Kara Dai 881 Jō Made. Tokyo: Nihon Hyōron sha. Suhardono, Edy. (1994). Teori Peran Konsep, Derivasi, dan Implikasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sumber Internet: Biddle, B.J. (1986). Recent Development in Role Theory. < http://www.jstor.org/stable/2083195>
Kementrian
Kesehatan,
Tenaga
Kerja,
dan
Kesejahteraan
Jepang.
< http://www.mhlw.go.jp/wp/hakusyo/roudou/02/zu43.html> Konferensi Pertukaran Pendidikan dan Kebudayaan Jepang-Amerika (CULCON). (2003). Shōyō (Bōnasu) Seido. < http://www.crosscurrents.hawaii.edu>
17
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013
Nagase, Nobuko. (2013). Hatarakikata wo Kaeru (Jō) “Sōgo, Ippan” no sentaku wo junan ni. < http://www.pdrc.keio.ac.jp/20130220.pdf> Ogura, Kazuya dan Sakaugchi Naofumi. (2004). Nihon no Chōjikan Rōdō Fubarai ni Kansuru Kōsatsu. <www.jil.go.jp/institute/discussion/.../dps_04_001.pdf> Pusat Informasi Keamanan Kerja (Rōdō Anzen Jōhō Senta). Rōdō Jikan no Kokusai Hikaku. < http://labor.tank.jp/toukei/jikan_kokusaihikaku.html> http://www.esri.cao.go.jp
18
Fungsi pembagian…, Marsha Felicidad, FIB UI, 2013