Pembagian Peran Suami dan Isteri dalam Keluarga Perempuan Pelaku Usaha Nuryani Tri Rahayu Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Univet Bantara Sukoharjo Jl. S. Humardani No. 1 Sukoharjo 57521 Telp. (0271) 593156 Fax. 0271 591065 e-mail
[email protected] Abstrak Penelitian ini pertujuan mendeskripkan pola pembagian peran domestik, publik, dan sosial kemasyarakatan antara suami dan isteri dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” di Kabupaten Sukoharjo, reperesentasi sensitifitas dan bias gender dalam pembagian peran tersebut, serta persepsi dan sikap suami dan isteri terhadap pembagian peran dalam keluarga. Lokasi penelitian di Kabupaten Sukoharjo Provisnsi Jawa Tengah. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan strategi studi kasus terpancang berperspektif gender. Sumber data terdiri dari informan, tempat, peristiwa, dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi, kuesioner, dan dokumentasi. Teknik Sampling mengutamakan teknik purposive sampling. Pengembangan Validitas dicapai dengan teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Data dianalisis dengan teknik analisis gender model kerangka analisis Harvard. Hasil analisis menyimpulkan bahwa : Pola pembagian peran dalam keluarga cenderung bias gender. Cara pembagian peran yang dilakukan mayoritas keluarga merupakan cara pembagian peran tradisional dimana isteri berperan domestik dan suami berperan public dengan alasan utama agar semua tugas selesai dan menghindari konflik rumah tangga. Representasi sensitifitas gender rendah. Bias gender dalam pembagian peran terjadi pada keluarga dengan karakteristik ekonomi dan pendidikan tinggi, sedang, ataupun rendah. Persepsi dan sikap suami dan isteri terhadap hal tersebut tidak sensitif gender. Kata-kata kunci : Pembagian peran, Keluarga, Sensitifitas gender, Persepsi, Sikap.
Pendahuluan Gencarnya perjuangan ke arah kesetaraan dan keadilan gender membuktikan bahwa ideologi gender masih menyisakan masalah klasik terutama menyangkut berbagai bentuk ketimpangan yang lebih dikenal dengan gender gap, bias gender, atau ketidakadilan gender. Oleh karena itu usaha agar perempuan mendapat tempat yang lebih baik dalam pandangan dunia juga dilakukan melalui berbagai regulasi dalam sistem perundangan di Indonesia. Sebagai contoh; UU No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU No. 13 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang secara tersirat juga mengatur tentang perlindungan dan hak reproduksi bagi perempuan. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang secara substantif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Di samping itu juga UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang secara prosedural dan yudisial memberikan jaminan penegakan UU Perkawinan. Namun demikian sampai saat ini kondisi perempuan khususnya di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan terus terjadi dan terpelihara dalam kultur masyarakat yang mapan. Studi tentang buruh perempuan pada industri sepatu di Tangerang menyimpulkan bahwa “biaya tenaga kerja laki-laki adalah 10 – 15% dari total biaya produksi. Sementara jika menggunakan tenaga kerja perempuan, biaya tersebut dapat ditekan 5 – 8% dari total biaya produksi”
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
(Candraningsih, 1991:18). Kondisi seperti ini belum banyak berubah hingga sekarang. Sebagai contoh; indeks kualitas hidup manusia yang digambarkan dengan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 112 dari 175 negara di tahun 2003. Sedangkan Gender Related Development Index berada pada peringkat 91 dari 144 negara di tahun 2003 tertinggal jauh di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Philipina yang berada pada peringkat 54, 60, dan 63 (BPS, 2003). Selain itu kekerasan fisik, psikologis, maupun sosial terus meminta kurban kaum perempuan, serta akses pendidikan yang lebih rendah dibanding laki-laki dimana angka buta huruf perempuan sebesar 12,28% dan laki-laki 5,84% pada tahun 2003 (BPS, 2003). Dalam bidang politik, keterwakilan dan partisipasi perempuan masih sangat rendah. Dalam Pemilihan Umum tahun 2004 yang menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 11% (BPS, 2005). Indikasi lain adalah capaian pembangunan manusia berbasis gender pada tahun 2005 sebesar 65,1 masih lebih lebih rendah dari pembangunan manusia umumnya sebesar 69,6 (BPS 2006). Perjuangan dan berbagai upaya yang terus dilakukan belum memberikan hasil yang menggembirakan bagi perempuan karena bermacam keterpurukan masih terjadi di kalangan perempuan. Pandangan masyarakat terhadap perempuan masih sangat dipengaruhi budaya patriarki dimana kaum laki-laki diposisikan superior terhadap perempuan pada hampir semua sektor kehidupan baik domestik maupun publik sehingga menempatkan perempuan pada jurang diskriminasi tiada henti. Hasil pembangunan juga belum dirasakan secara adil oleh perempuan dan laki-laki. Salah satu faktor penyebab terpuruknya kondisi perempuan secara umum antara lain adalah rendahnya tingkat pendidikan dan kemandirian ekonomis perempuan, namun sebenarnya masih banyak faktor lain yang turut berpengaruh. Berkaitan dengan hal ini di Kabupaten Sukoharjo terdapat suatu kelompok masyarakat yang bergabung dalam wadah Jaringan Perempuan Usaha Kecil (JARPUK) dimana para anggotanya adalah perempuan yang bergerak dalam bidang industri kecil atau industri rumah tangga. Kelompok ini tersebar di enam kecamatan dari duabelas kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo dengan jumlah anggota sekitar 400 orang. Pendidikan rata-rata anggota kelompok ini adalah tingkat menengah ke atas dan dari usahanya mampu memberikan kontribusi ekonomis yang cukup berarti bagi keluarganya. Tujuan kelompok ini adalah memberdayakan perempuan dan meningkatkan peran serta perempuan dalam mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan keterlibatan perempuan sebagai pelaku usaha atau pencari nafkah membawa konsekuensi berkurangnya waktu, tenaga, dan pikiran perempuan untuk menjalankan fungsi domestik sehingga memungkinkan terjadinya pergeseran peran antara suami dan isteri. Pembagian peran yang tidak sensitif gender dapat menyebabkan terjadinya gangguan keharmonisan keluarga maupun berbagai tekanan terhadap salah satu pihak dalam keluarga yang bersangkutan. Berangkat dari fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang : pola pembagian peran domestik, publik, dan sosial kemasyarakatan antara suami dan isteri dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” di Kabupaten Sukoharjo, cara pembagian peran diputuskan dan alasannya, bagaimana akses, peran, kontrol, dan manfaat pembagian peran bagi suami dan isteri, bagaimana reperesentasi sensitifitas dan bias gender dalam pembagian peran , dan bagaimana persepsi dan sikap suami dan isteri terhadap pola pembagian peran tersebut.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Makna gender bersifat relatif dan mengacu pada cara individu memandang dirinya sendiri dalam istilah yang cenderung maskulin atau feminin. Menurut Wollstonecraft (1972) dalam Wood (1997:19), gender adalah “kreasi simbolik dan sosial yang maknanya tumbuh dari nilai-nilai masyarakat dan cara-cara yang dipilih untuk mengorganisasikan kehidupan bersama”. masyarakat serta cara-cara yang dipilih dalam mengorganisasikan kehidupan kolektif. Menurut Subhan (2004) : Gender adalah pembedaan fungsi dan peran sosial yang dibangun oleh masyarakat serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan. Gender juga berkaitan dengan proses keyakinan tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat individu berada. Berbagai pembedaan antara perempuan dan laki-laki memunculkan ketidakadilan berbasis gender yang lebih banyak merugikan kaum perempuan dan tidak sebaliknya. Fakih (1998:64) menyatakan bahwa “ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem”. Selanjutnya Muthali’in. (2001:33) menyatakan bahwa ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk terutama pada perempuan, seperti ; marginalisasi, subordinasi, stereotype (Bhasin, 1996 dalam Subhan, 2004; Mosse, 1996), kekerasan (Violence) terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997 dalam Subhan 2004), serta beban kerja lebih banyak dan panjang atau Multi burdens (Ihromi, 1990 dalam Subhan 2004). Kelima bentuk diskrimasi tersebut saling terkait satu sama lain sehingga jika terjadi satu bentuk dengan sendirinya akan terjadi pula bentuk-bentuk lainnya. Hasil penelitian Setyarto (2004) mengenai Interaksi Simbolik Pesinden di Kabupaten Wonogiri menyimpulan bahwa “interaksi sosial yang terjadi di kalangan pesinden wayang kulit menunjukkan masih dilestarikannya budaya patriarki”. Pada masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya patriaki dikenal adanya pembedaan peran antara laki dan perempuan. “Masyarakat masih memandang keluarga yang ideal adalah suami bekerja di luar rumah dan isteri mengerjakan berbagai pekerjaan di dalam rumah. Suami berperan sebagai pencari nafkah dan pemimpin sedang isteri menjalankan fungsi pengasuhan anak” Swara Rahima (2007). Hal ini menunjukkan bahwa pada masyarakat, kerja reproduksi dan arena domestik semata menjadi tanggung jawab perempuan, sedang mencari nafkah dengan bekerja di luar rumah atau arena publik adalah tanggung jawab laki-laki. Pola pembagian peran dalam keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain; Pertama, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam berbagai peraturan. Hasil penelitian tentang Pembakuan Peran Gender dalam Kebijakan menyimpulkan bahwa “terdapat kebijakan-kebijakan yang tidak berkeadilan gender dan ideologi patriarki mewujud dalam sistem hukum di Indonesia”. Kedua, faktor pendidikan. “Para guru masih memiliki pola pikir bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak perempuan akan menjadi ibu rumah tangga” (Kartono (2007). Ketiga, adalah faktor nilai-nilai. “Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya” (Subhan, 2004). Keempat, adalah faktor budaya khususnya budaya patriarki. “Dalam perspektif patriarki, menjadi pemimpin dianggap sebagai hak –bagi laki-laki– sehingga sering tidak disertai tanggung jawab dan cinta” (Sannang, 2007). Kelima, faktor media massa sebagai
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
agen utama budaya populer. “Perempuan dalam budaya populer adalah objek yang nilai utamanya adalah daya tarik seksual, pemanis, pelengkap, pemuas fantasi – khususnya bagi pria” (Armando, 2000:29). Keenam, adalah faktor lingkungan yaitu adanya pandangan masyarakat yang ambigu. Persepsi secara sederhana diartikan sebagai pemberian makna pada stimuli indrawi. Menurut Desiderato dalam Mahmud (1990:45) persepsi adalah “pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sifat stimuli, perseptor, dan setting (Harvey dan Smith dalam Irwanto, 1996:73). Persepsi akan mempengaruhi sikap yaitu kesiapan atau keadaan siap untuk timbulnya suatu motif atau keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Walgito, 1987:51)”. Sikap memiliki lima ciri yaitu ; a) tidak dibawa sejal lahir tapi terbentuk dalam perkembangan individu, b) senantiasa berhubungan dengan individu dan objek, c) dapat tertuju pada satu atau sekumpulan objek dalam satu waktu yang sama, d) dapat berlangsung lama atau sementara, dan e) Sikap mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Sikap dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal sebagaimana faktor pengaruh terhadap persepsi. Metode Lokasi penelitian berada di enam Kecamatan yaitu Sukoharjo, Bendosari, Polokarto, Mojolaban, Kartasura, dan Baki seluruhnya terletak di Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah. Jenis Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan strategi studi kasus terpancang dan perspektif gender. Sumber data terdiri dari informan (keluarga anggota Jarpuk “Kartini”, pengurus, tokoh perempuan setempat), tempat, peristiwa, dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan metode interaktif maupun noninteraktif yang berupa wawancara mendalam, observasi, kuesioner, dan dokumentasi. Teknik Sampling mengutamakan teknik purposive sampling atau criterion based selection. Pengembangan Validitas atau pemantapan dan kebenaran informasi dicapai dengan menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis gender dengan model kerangka analisis Harvard dilengkapi dengan metode analisis interaktif dari Miles dan Huberman. Hasil dan Pembahasan 1. Pola Pembagian Peran dalam Keluarga a. Pola Pembagian Peran Domestik, Publik dan Sosial Kemasyarakatan Peran suami dan isteri dikelompokkan ke dalam peran domestik, peran publik, dan peran sosial kemasyarakatan. Peran domestik adalah peran atau tugastugas yang berkaitan dengan reproduksi, dan pengurusan rumah tangga. Peran publik adalah peran sebagai pencari nafkah atau peran lain yang dilakukan di luar rumah untuk menghasilkan uang. Peran sosial kemasyarakatan adalah peran dalam hubungannya dengan anggota masyarakat lain.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
TABEL I POLA PEMBAGIAN PERAN DOMESTIK, PUBLIK, DAN SOSIAL KEMASYARAKATAN DALAM KELUARGA PEREMPUAN ANGGOTA JARPUK KARTINI KABUPATEN SUKOHARJO No 1. 2. 3.
Jenis Peran
Suami F % 15 18 9 11 7 8
Isteri F % 23 28 0 0 2 3
Bersama F % 12 15 9 11 5 6
Domestik Publik Sosial kemasyarakatan 4. Jumlah 31 37 25 31 26 32 Sumber : hasil interview dan jawaban kuesioner no. 1 s/d 30
Jumlah Peran F % 50 61 18 22 14 17 82
100
Dari 82 peran yang diamati secara kuantitatif pembagiannya terdistribusi merata antara yang dilakukan oleh suami, istri, dan bersama oleh suami dan isteri. Namun demikian jika dilihat dari komposisi peran yang dilakukan tampak bahwa suami lebih mendominasi jenis peran publik dan sosial kemasyarakatan sedang isteri terkonsentrasi pada peran domestik kerumahtanggaan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat luas praktek-praktek patriarkis yang bias gender masih tetap berlangsung. Menurut Darwin dan Tukiran (2001:24), “pada masyarakat yang tertata dalam sistem patriarkis, laki-laki diposisikan superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan baik domestik mapun publik”. Salah satu praktek tersebut adalah adanya beban ganda atau multi burdens pada perempuan (Ihromi, 1990 dalam Subhan, 2004). Perempuan harus melakukan seluruh peran domestik ditambah dengan peran publik yaitu mencari tambahan nafkah atau melakukan kegiatan ekonomi produktif sedang suami yang tanggung jawab utamanya melakukan peran publik relatif terbebas dari tugas membantu melaksanakan peran domestik. Di Indonesia Menteri Pemberdayaan Perempuan telah merumuskan lima peran wanita : “sebagai isteri yang membantu suami, sebagai ibu yang mengasuh anak dan mendidik mereka, sebagai manajer di dalam mengelola rumah tangga, sebagai pekerja di berbagai sektor, dan sebagai anggota organisasi masyarakat. Secara implisit perempuan mempunyai peran ganda bila mempunyai peran publik, yaitu yang dibentuk oleh sistem nilai masyarakat Indonesia pada peran domestik (rumah tangga) dan peran publik itu sendiri” (Zulaikha, 2006). Rumusan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menyadarkan kaum laki-laki akan tugas berat dan peran penting perempuan dalam keluarga serta masyarakat agar laki-laki lebih menghormati, menjunjung tinggi harkat dan martabat, membantu, serta melindungi perempuan. Namun yang terjadi pada sebagian masyarakat, rumusan tersebut justru dijadikan justifikasi akan beban ganda perempuan sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya. Hal ini kiranya menjadi salah satu penyebab bahwa hingga saat ini sebagian besar perempuan dari berbagai latar belakang masih belum dapat mencapai harkat dan martabat yang menggembirakan.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
b. Cara Pembagian Peran Diputuskan dan Alasannya Dari 7 (tujuh) alternatif cara pembagian peran yang dimungkinkan hanya 4 diantaranya yang terjadi dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” Kabupaten Sukoharjo. TABEL II CARA PEMBAGIAN PERAN No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Cara Pembagian Diputuskan melalui pembicara-an/kesepakatan bersama Diputuskan secara spontan / otomatis Dibicarakan untuk hal-hal yang dianggap penting Diputuskan oleh suami dengan persetujuan isteri Diputuskan oleh isteri dengan persetujuan suami Diputuskan seluruhnya oleh suami tanpa persetujuan isteri 7. Diputuskan seluruhnya oleh isteri tanpa persetujuan suami 8. Jumlah Sumber : jawaban kuesioner no. 23
F 0 14 12 8 6 0
% 0 35 30 20 15 0
0
0
40
100
Data yang diperoleh menunjukkan cara pembagian peran yang dominan dilakukan masih merupakan cara tradisional yang berpotensi bias gender. Lebih banyak keluarga yang melakukan pembagian peran sebagaimana yang telah terjadi dalam keluarga nenek moyang secara turun temurun dimana perempuan atau isteri lebih diposisikan sebagai pelaku peran domestik kerumahtanggaan sedang peran publik serta sosial kemasyarakatannya sangat dibatasi oleh kelaziman dalam masyarakat sekitarnya. Cara pembagian peran yang dilakukan oleh mayoritas keluarga yang menjadi objek penelitian merupakan cara yang melanggengkan pembedaan peran berdasar jenis kelamin dan kondisi fisik atau biologis antara suami dan isteri yang masih sangat kuat. Perempuan karena kondisi fisiknya yang relatif lebih lemah dibanding laki-laki lebih banyak diposisikan sebagai pelaku peran domestik yaitu sebagai isteri dan sebagai ibu. Lebih lanjut hal ini tidak hanya didefinisikan oleh laki-laki tapi juga oleh perempuan itu sendiri. Temuan ini menguatkan hasil-hasil penelitian berperspektif gender yang telah dilakukan sebelumnya di berbagai tempat antara lain oleh Berninghausen and Kerstan, 1992 dalam Zulaikha, 2004) dimana peran utama isteri adalah peran domestik dan peran publik dalam kerja ekonomi produktif tidak mengurangi peran domestik tersebut. Sebaliknya, meskipun isteri membantu mencari nafkah namun tidak berarti suami otomatis juga membantu melaksanakan peran domestik. Faktor sosial budaya tampak memiliki pengaruh cukup kuat dalam hal ini dimana pada pola pembagian peran dalam keluarga tersebut terdapat kondisi yang diciptakan atau direkayasa oleh norma (adat istiadat) yang membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan kemampuan baik kemampuan universal seperti intelektual maupun spesifik (khusus) yang berkaitan dengan aspek fisik biologis (Bidang Hukum Departemen Hukum dan HAM, 2006). Budaya komunikasi khususnya untuk membicarakan tentang pembagian peran sehingga dicapai keseimbangan belum berkembang dalam keluarga tersebut. Hal ini sesuai dengan
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
premis teori Muted Group Theory dari Kramarae (Miller, 2002: 293) bahwa di dalam masyarakat yang memelihara hubungan kekuasaan yang asimetris, kerangka kelompok yang dibungkam berada. Dalam masyarakat type ini perempuan dan anggota dari kelompok subordinat tidak sebebas dan semampu laki-laki untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, kapan, dan di mana, karena kata-kata dan norma untuknya menggunakan formulasi dari kelompok dominan, yaitu laki-laki. Sebagaian besar isteri menyatakan bahwa dalam keluarganya jarang sekali membicarakan secara serius tentang pembagian tugas antara suami dan isteri karena hal tersebut dianggap tidak lazim pada masyarakat. Pada umumnya suami yang mengatur hal-hal yang harus atau boleh dilakukan isteri dan tidak sebaliknya. Terhadap cara pembagian peran yang terjadi dalam keluarga masing-masing memiliki alasan atau lebih tepatnya pendapat yang berbeda. TABEL III ALASAN PEMILIHAN CARA PEMBAGIAN PERAN No 1. 2. 3. 4. 5.
Alasan Agar semua tugas terlaksana Cara tersebut dirasa sudah adil Menguntungkan suami demi bakti Menguntungkan isteri agar tidak lelah Lainnya Jumlah Sumber : jawaban kuesioner no. 24
Frekuensi 16 9 5 2 8 40
Persentase 40 22,5 12,5 5 20 100
Dari sini tampak bahwa perempuan anggota Jarpuk “Kartini” belum cukup peduli dengan cara pembagian peran dalam keluarga masing-masing dan masih lebih banyak yang mengutamakan terselesaikannya tugas-tugas dalam keluarga maupun di masyarakat atau dengan kata lain yang penting semua tugas terlaksana. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghindari konflik dalam rumah tangga karena dalam budaya “Jawa” yang menjadi setting bagi sebagian besar keluarga anggota Jarpuk, isteri adalah konco wingking yang sebaiknya tunduk dan patuh kepada suami. Isteri yang banyak usul atau memberikan saran kepada suami dianggap tidak patuh atau mendominasi suami dan membuat suami malu bila hal tersebut diketahui teman atau tetangga. Alasan utama pemilihan cara pembagian peran dalam keluarga lebih besifat alasan sosio kultural (malu, penghargaan status dari nilai ekonomi, karier selain ibu rumah tangga). Budaya malu dan ewuh pekewuh untuk membahas pembagian tugas apa lagi sampai menimbulkan konflik dalam rumah tangga masih sangat kuat dan oleh karenanya isteri berusaha sekuat tenaga agar hal tersebut tidak terjadi. Faktor nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan status sosial dimana tingkat ekonomi menjadi ukuran dominan mendorong kerelaan isteri untuk menerima beban ganda meskipun hal tersebut hampir menghabiskan seluruh waktunya. Hal ini menguatkan kembali pernyataan Armando (2000:29) tentang adanya pandangan masyarakat yang ambigu mengenai perempuan yang bekerja dan perempuan yang “hanya” sebagai ibu rumah tangga. Di satu sisi perempuan yang hanya sebagai ibu rumah tangga sering
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
tidak “dianggap” di masyarakat dan perempuan yang dianggap sukses adalah perempuan yang memiliki karier cemerlang di luar rumah. Di sisi lain jika terjadi ketidak harmonisan dalam rumah tangga selalu perempuan yang disalahkan terlebih dahulu kerena dianilai tidak mampu melaksanakan peran domestiknya dengan baik lantaran terlalu sibuk berkarier di luar rumah. c. Akses, Peran, Kontrol, dan Manfaat Pembagian Peran TABEL IV AKSES, PERAN, KONTROL, DAN MANFAAT PEMBAGIAN PERAN No 1. 2. 3.
Pmbagian peran Domestik Publik Sosial kemasyarakatan
Akses tinggi tinggi tinggi
Peran tinggi tinggi tinggi
Suami Kontrol tinggi tinggi tinggi
Manfaat tinggi tinggi tinggi
Akses Sedg Sedg Sedg
Peran rendh rendh rendh
Isteri Kontrol Rendh Rendh Rendh
Manfaat Sedg Rendh Rendh
Sumber : hasil interview dan jawaban kuesioner yang telah diolah Dari tabel di atas diketahui bahwa akses atau kesempatan suami dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” Kabupaten Sukoharjo untuk melakukan pembagian peran domestik, publik, maupun peran sosial kemasyarakatan cukup tinggi dimana sebagian besar suami dari perempuan anggota Jarpuk pada umumnya lebih banyak mengambil kesempatan untuk menentukan peran mana yang akan diambilnya berkaitan dengan tugas-tugas kerumah tanggaan dan yang berkaitan dengan masyarakat luas di luar rumah serta peran mana yang diijinkan untuk dilakukan oleh isterinya di dalam maupun di luar rumah. Di sisi lain kontrol terhadap pembagian dan pelaksanaan peran domestik cukup tinggi dimana suami pada umumnya menegur atau menyalahkan isteri bila ada peran domestik yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkannya. Demikian juga kontrol terhadap pembagian dan pelaksanaan peran publik dan peran sosial kemasyarakatan dimana suami memiliki hak untuk menentukan peran yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh isteri tetapi tidak sebaliknya dengan isteri. Dari sisi manfaat, suami dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” dapat dikatakan menikmati manfaat yang cukup tinggi dimana dalam pembagian peran domestik suami mendapat bagian tugas yang secara fisik relatif ringan, tidak menyita banyak waktu, inseidental dan variatif. Sedang peran domestik yang dilakukan isteri memerlukan tenaga fisik yang relatif banyak, menyita waktu, rutin dan monoton, sementara manfaatnya sepenuhnya diarahkan untuk seluruh anggota keluarga dan terutama suami. Dalam hal peran publik serta peran sosial kemasyarakatan, suami juga lebih banyak merasakan manfaat seperti aktualisasi diri, penghargaan status, apresiasi dari masyarakat, dan sosialisasi yang lebih leluasa dimana semua hal tersebut tidak cukup diperoleh oleh isteri karena peran publik dan sosial kemasyarakat yang dilakukannya juga sangat terbatas. Dalam hal pembagian peran domestik, publik, dan sosial kemasyarakatan isteri memiliki akses yang dapat dikatakan dalam kategori sedang karena hanya sebagian kecil perempuan yang mendapat kesempatan mengambil bagian dalam
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
proses pembagian peran tersebut sedang sebagian besar lainnya tinggal menerima apa adanya. Sementara itu dalam hal peran, kontrol, serta pemanfaatan pembagian peran dalam keluarganya sebagian besar isteri dapat dikatakan dalam ketegori rendah karena hanya sebagian kecil isteri yang turut serta terlibat dalam proses pembagian peran tersebut. Isteri yang berani mengontrol sistem pembagian peran dalam keluarganya juga sangat sedikit bahkan hampir tidak ada sama sekali. Sebagian besar isteri juga tidak merasakan manfaat yang menguntungkannya dari pembagian peran dalam keluarga masing-masing karena sebagian menyatalkan bahwa pembagian peran tersebut lebih untuk menjamin bahwa semua tugas dapat dilaksanakan. Akses, peran, kontrol, dan manfaat dari pembagian peran dalam keluarga yang tidak seimbang antara suami dan isteri serta lebih banyak berada pada suami dapat dikatakan merupakan manifestasi ketidakadilan gender. Akses, peran, dan kontrol isteri yang lebih rendah dibanding suami boleh jadi karena suami menganggap isteri kurang mampu dan tidak pantas memimpin termasuk dalam pengambilan keputusan mengenai pembagian peran dalam keluarga. Suami menganggap bahwa isteri sebaiknya menurut atau menerima saja apa yang telah diputuskan oleh suami karena ranah isteri adalah pada level teknis pelaksanaan sedang ranah kebijakan adalah milik suami. Hal ini merupakan praktek marginalisasi dan subordinasi perempuan oleh laki-laki. Marginalisasi seperti ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Yuarsi (dalam Abdulah, 1997: 240) bahwa perempuan sering ditempatkan pada posisi marginal dalam arti kemampuannya dikesampingkan, kurang diperhitungkan, dan dianggap tidak pantas menduduki posisi pimpinan. 2. Representasi Sensitifitas dan Bias Gender dalam Pembagian Peran dan Karakteristik Keluarga Temuan menunjukkan bahwa secara umum suami memiliki akses, peran, dan kontrol serta merasakan manfaat yang lebih besar ketimbang isteri dalam pembagian peran dometik, publik, maupun peran sosial kemasyarakatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar keluarga perempuan anggota Jarpuk melakukan pembagian peran yang cenderung bias gender. TABEL V SENSITIFITAS DAN BIAS GENDER MENURUT KARAKTERISTIK KELUARGA No
Karakteristik keluarga
Pembagian peran Sentitif gender Bias gender Frek (%) Frek (%)
Ekonomi : Tinggi 4 (10,0) 7 (17,5) Sedang 8 (20,0) 14 (35,0) Rendah 4 (10,0) 3 (7,5) Jumlah 16 (40,0) 24 (60,0) 2. Pendidikan : a Tinggi 10 (25,0) 14 (35,0) b Sedang 6 (15,0) 5 (12,5) c Rendah 3 (7,5) 2 (5,0) 3. Jumlah 18 (45,0) 22 (55,0) Sumber : hasil interview dan jawaban kuesioner yang telah diolah
Jumlah Frek (%)
1.
a b c
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
11 22 7 40
(27,5) (55,0) (17,5) (100,0)
24 11 5 40
(60,0) (27,5) (12,5) (100,0)
Representasi sensitifitas dan bias gender dalam pembagian peran terjadi dalam keluarga dengan berbagai karakteristik berbeda baik dari tingkat ekonomi dan pendidikan tinggi, sedang, maupun rendah. Dari karakteristik ekonomi maupun pendidikan terdapat lebih banyak keluarga yang menggunakan pola pembagian peran yang cenderung bias gender. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ekonomi dan pendidikan tinggi tidak menjamin adanya pembagian peran yang sensitif gender dalam keluarga. Jika dilihat dari ukuran ada tidaknya ketidak adilan gender yang terdiri dari lima hal yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan (violence), dan beban ganda (Muthali’in, 2001:33) dapat dikatakan bahwa pembagian peran yang terjadi dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” Kabupaten Sukoharjo tidak sensitif atau bias gender. Tidak menganggap penting kontribusi isteri dalam mencari tambahan nafkah adalah suatu bentuk penomorduaan (subordinasi) oleh suami. Menganggap bahwa berkarier di luar rumah lebih terhormat dari pada menjadi ibu rumah tangga (isteri dan ibu) merupakan salah satu bentuk peminggiran peran mulia perempuan yang tak dapat tergantikan. Mengkonsentrasikan tugas isteri kepada peran domestik dan suami pada peran publik merupakan salah satu bentuk stereotype pembedaan peran laki-laki dan perempuan. Membebankan seluruh peran domestik kepada isteri yang juga membantu mencari tambahan nafkah dapat disebut sebagai pemberian beban ganda (multi burdens). Keempat hal tersebut meskipun diterima dan dijalankan dengan ikhlas oleh isteri namun tetap dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kekerasan (violence) terutama terhadap kondisi psikologis perempuan karena jika tidak memiliki karier, profesi selain ibu rumah tangga, atau bekerja yang langsung menghasilkan uang perempuan menjadi kurang percaya diri dan merasa belum melakukan tugasnya dengan baik. 3. Persepsi dan Sikap Suami dan Isteri Sebagian besar suami dalam keluarga perempuan anggota Jarpuk “Kartini” memiliki persepsi yang cenderung bias gender terhadap pola pembagian peran dalam keluarganya. Isteri yang dominan melakukan peran domestik dipersepsi sebagai hal biasa karena sudah sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan sedang sebagai pelaku usaha ekonomi produktif hanyalah merupakan peran tambahan yang boleh dilakukan tapi boleh juga tidak. Meskipun mengapresiasi positif hasil kerja isteri dalam usaha ekonomi produktif namun dalam banyak hal suami masih tetap menunjukkan persepsi bahwa hal tersebut tidak terlalu penting. Hal ini tampak dari pendapat suami yang tidak melarang isterinya jika akan berhenti melakukan usaha ekonomi produktif meskipun hal tersebut akan mengganggu pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga. Bahkan masih ada sebagian kecil suami yang menilai bahwa motivasi isteri melakukan usaha ekonomi produktif adalah karena tidak puas terhadap penghasilan suami. Dengan demikian kesibukan atau beban ganda yang dihadapinya tidak perlu membuat suami mengubah sistem pembagian peran yang sudah lazim sejak nenek moyang. Sebagian suami juga menilai bahwa pada jaman sekarang, isteri yang bekerja atau melakukan kegiatan ekonomi produktif dan tetap melakukan peranperan domestik itu sudah lazim, terjadi tidak hanya di kota tapi juga di desa. Namun, suami yang sudah bekerja mencari nafkah untuk seluruh keluarga tidak perlu lagi melakukan peran-peran domestik kerumahtanggaan dan hal tersebut
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
juga sudah merupakan kelaziman pada masyarakat luas. Selain itu sebagian besar suami juga menilai bahwa jika isteri berpendidikan tinggi (sarjana) tapi “hanya” menjadi ibu rumah tangga justru merupakan suatu kekurangan bagi isteri itu sendiri. Melakukan pekerjaan domestik kerumahtanggaan diniali sebagai bukan pekerjaan yang bernilai ekonomi meskipun sebagian dari para suami tersebut juga tahu bahwa untuk menggantikan sebagian peran domestik saja keluarga tersebut harus menggaji pembantu rumah tangga dengan tarif relatif tinggi. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sikap suami terhadap pembagian peran dalam keluarga cenderung pasif dimana sebagian besar suami membiarkan isteri yang juga pelaku usaha dan memberikan kontribusi ekonomis kepada keluarga tetap dibebani semua peran domestik. Sebagian besar perempuan anggota Jarpuk “Kartini” yang juga isteri atau ibu rumah tangga mempersepsi pembagian peran yang terjadi dalam keluarganya sebagai suatu hal yang layak diterima dengan ikhlas karena memang sudah seharusnya demikian atau sudah sesuai dengan nilai-nilai yang terpelihara dalam masyarakat sekitarnya. Persepsi yang berbeda dikhawatirkan akan menimbulkan pandangan sinis dari masyarakat karena dianggap aneh. Rata-rata isteri mempersepsi pekerjaannya di bidang ekonomi produktif yang tidak mengurangi tugasnya sebagai ibu rumah tangga sebagai nilai lebih bagi diri dan keluarganya karena perempuan apalagi yang berpendidikan tinggi (sarjana) tapi tidak berkarier sering dipandang sebelah mata di masyarakat. Bahkan tidak jarang suami menunjukkan rasa malu atau merendahkan isteri di depan teman-temannya jika memiliki isteri berpendidikan tinggi tetapi tidak berkarier di luar rumah. Sebagian besar isteri menerima dengan pasrah pembagian peran yang cenderung bias gender demi bakti kepada suami dan agar semua tugas dapat dilaksanakan sehingga tidak terjadi konflik dalam rumah tangga. Sangat sedikit isteri yang menerima pembagian peran dalam keluarganya dengan keterpaksaan dan tidak ada yang merasa perlu untuk mengoreksi apa yang sudah berjalan selama ini. Pola pembagian peran dalam keluarga yang dipersepsi sebagai suatu hal biasa yang sudah seharusnya demikian, tidak ada yang perlu dikoreksi, atau diubah karena hal tersebut sudah sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat di sekitarnya menimbulkan sikap yang cenderung pasif, tidak peduli, menerima, dan pasrah. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Mariana Amiruddin (2008) bahwa masyarakat menjaga nilai-nilai bahwa isteri ideal adalah yang terus merasa bersalah bila terjadi sesuatu pada keluarganya. Pada masyarakat yang menjaga nilai-nilai seperti itu, isteri akan berusaha menghindari resiko tersebut dengan rela melakukan apa saja agar tidak harus terus merasa bersalah. Persepsi demikian boleh jadi juga karena pandangan masyarakat yang memposisikan wanita karier lebih tinggi dibanding ibu rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa tokoh perempuan yang selalu naik ke permukaan adalah ibu yang punya “sambilan” dan ia sukses dalam sambilannya itu bukan karena sudut keibuannya (Ida Nurbagus, 2008). Di sini tampak jelas pengaruh norma-norma dan nilai-nilai sosial serta sistem budaya masyarakat terhadap persepsi dan sikap karena kesesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma yang terpelihara di masyarakat menjadi ukuran dominan baik buruknya pembagian peran dan mampu mengalahkan pengaruh pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan rasional.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Mengacu pada teori keadilan gender yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki yang berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan kekerasan terhadap laki-laki maupun perempuan (Subhan, 2004) dapat dikatakan bahwa persepsi dan sikap suami maupun isteri terhadap pola pembagian peran dalam keluarga jelas tidak tidak berkeadilan gender atau tidak sensitif gender. Kesimpulan a. Pola pembagian peran dalam keluarga cenderung bias gender dan menunjukkan praktek-praktek yang tidak berkeadilan gender. Cara pembagian peran yang dilakukan oleh mayoritas keluarga yang menjadi objek penelitian merupakan cara pembagian peran tradisional dimana peran utama perempuan adalah peran domestik sedang peran utama suami adalah peran publik. Alasan utama pemilihan cara pembagian peran adalah agar semua tugas terselesaikan dan demi menghindari konflik dalam rumah tangga. b. Akses, peran, control, dan manfaat dari pembagian peran dalam keluarga secara kuantitatif maupun kualitatif terdistribusi secara tidak seimbang antara suami dan isteri. c. Pola pembagian peran dalam keluarga merepresentasikan rendahnya sensitifitas gender. Bias gender dalam pembagian peran terjadi baik dalam keluarga dengan karakteristik ekonomi dan pendidikan tinggi, sedang, ataupun rendah. Tingginya tingkat ekonomi keluarga dan tingkat pendidikan pasangan suami isteri tidak menjamin adanya pembagian peran dalam keluarga yang sensitif gender. d. Pola pembagian peran dalam keluarga dipersepsi oleh suami dan isteri sebagai suatu hal biasa yang sudah seharusnya demikian, tidak ada yang perlu dikoreksi, atau diubah karena hal tersebut dianggap sudah sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di sekitarnya. Persepsi demikian menimbulkan sikap yang cenderung pasif, tidak peduli, menerima, dan pasrah. Persepsi dan sikap ini tidak sensitif gender. Daftar Rujukan Abdulah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta. Pustaka Remaja. Amiruddin, Mariana. 2008. Membangun Resistensi, Membongkar Stereotype. Jurnal Perempuan on line. http/www.kompas.com /kompas-syber media /0704/20/655308/htm) diakses 24–06–2010 : 13.21 WIB Armando, Ade. 2000. Perempuan di Media ; Rupawan, Aduhai, dan Manja. Jakarta. Jurnal Perempuan. Edisi XIII. Candraningsih, Indrasari, et.al. 1991. Tinjauan Kebijakan Pengupahan Buruh di Indonesia. Jakarta. AKATIGA. Darwin, Muhadjir dan Tukiran. 2001. Menggunggat Patriarki. Yogyakarta : Ford Foundation kerjasama dengan Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Fakih, Mansour. 1998. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ida Nurbagus. 2008. Terancam Punahkah Ibu Rumah Tangga. http/www.kompas.com /kompas-cetak/0704/20/jatim/65377/htm) diakses 24 – 12 – 2008. 14.45.
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com
Irwanto, et.al. 1996. Psikologi Umum ; Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Kartono, St. 20. Mengajarkan Kesetaraan Gender. Jakarta. Kompas Cyber Media. Mahmud, Dimyati. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta : Balai Penerbit Fakultas Ekonomi (BPFE) Universitas Gadjah Mada. Miller, 2002. Muted Group Theory. http://images.n1n1x.multiply. com/attachment. Mosse, Julia . Gender dan Pembangunan. Jakarta. Kerja sama RIFKA ANISA Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Muthali’in, Achmad. 200. Bias Gender Dalam Pendidikan. Surakarta : Muhammadiyah University Press. Sannang, Ilham D. 2007. Mencari Mulia dalam Ber-“Asyik Masyuk”. Jakarta. Dunia Esai. http/www.kompas.com/kompas-cetak/0704/20/jatim/65377/htm) diakses 24 – 12 – 2008. 14.45. Setyarto. 2004. Interaksi Simpbolik Pesinden Wayang Kulit di Kabupaten Wonogiri dalam Perspektif Budaya Patriarki. UNS. Surakarta. Subhan, Zaitunah. 200. Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam membangun Good Governance. Jakarta. Dunia Esai. Swara Rahima. 2007. Perempuan Bekerja, Dilema Tak Berujung ?. Jakarta. Dunia Esai. Walgito, Bimo. 1987. Psikologi Sosial ; Suatu Pengantar. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Wood, Julia T., 1997 : Communication, Gender, and Cultural. 2nd Edition. Belmont CA : Wadsworth Publishing Company. Zulaikha.2009. Pengaruh Interaksi Gender, Kompleksitas Tugas dan Pengalaman Auditor terhadap Audit Judgment dalam https://info.perbanas institute.ac.id/makalah/K-AUDI11.pdf. diakses 15 April 2010
PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com