SUAMI DAN ISTERI SEBAGAI PENDIRI C.V. – P.T.
Ketika datang seorang lelaki dan seorang wanita ke kantor Notaris, setelah kita ajak bicara atau mengutarakan maksudnya ternyata akan
mendirikan perseroan
komanditer (C.V.) atau perseroan terbatas (P.T.), dan juga ternyata mereka mengaku sebagai suami-isteri, bagaimanakah keputusan yang akan diambil Notaris berkaitan dengan hal tersebut ? Dalam praktek Notaris mengenai suami dan isteri yang mendirikan C.V. ataupun yang mendirikan dan selaku pemegang saham dalam P.T, ada 3 (tiga) pendapat atau sikap, yaitu : 1.
Ada Notaris yang tidak pernah sama sekali melayani atau menolak pendirian C.V. atau P.T, yang pendirinya suami-isteri jika tanpa ada perjanjian perkawinan diantara suami-isteri.
2.
Ada Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri dengan syarat memasukkan pihak ketiga atau lebih sebagai pendiri atau sebagai pemegang saham dalam perseroan tersebut.
3.
Notaris melayani pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami-isteri meskipun tidak ada perjanjian perkawinan diantara suami-isteri tersebut atau tidak perlu memasukkan pihak ketiga atau lebih. Atas ketiga sikap tersebut yang menyebutkan secara tegas yang melarang atau
membolehkan tidak ada pengaturannya
secara tegas dalam peraturan perundang-
undangan yang ada, tapi hanya merupakan penafsiran saja atau kebiasaan para Notaris saja terdahulu yang kemudian dan terus-menerus diikuti para Notaris sampai sekarang, mungkin bahkan yang akan datang, sehingga bisa saja kita mengatakan ketiga sikap tersebut menjadi sesuatu yang benar, sepanjang konsisten dengan sikap tersebut, dengan catatan tidak menyalahkan sikap yang lainnya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Substansi tulisan ini mencoba mengkaji secara singkat, dengan cara merelasikan hubungan hukum dengan menafsirkan peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya mengenai perjanjian perkawinan, harta bersama (gono-gini) dalam perkawinan. 1
Terhadap sikap yang pertama, ada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, menolak melayani masyarakat untuk membuat akta Perseroan Komanditer (C.V.), dan Perseroan Terbatas (P.T.). jika para pendirinya suami-isteri dan mereka tidak pernah atau tidak membuat perjanjian perkawinan. Sikap seperti didasari oleh suatu pengertian atau pemahaman bahwa jika suami-isteri (sebagai subjek hukum)
tidak membuat
perjanjian pisah harta, maka dalam perkawinan mereka terjadi persatuan harta sepenuhnya yang terikat dan dianggap satu subjek hukum, artinya segala tindakkan hukum yang akan dilakukan oleh suami atau isteri wajib saling memberikan persetujuan. Sedangkan dalam hal ini, bahwa C.V. atau P.T. didirikan berdasarkan perjanjian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan masing-masing pendiri harus menyisihkan harta kekayaannya sebagai kekayaan awal C.V. atau P.T. tersebut. Dengan tidak adanya perjanjian perkawinan maka tidak ada pemisahan yang tegas, mana harta suami dan mana harta isteri. Notaris yang mengambil sikap yang pertama ini harus konsisten, bukan hanya tidak melayani pendirian pertama kali saja, tapi juga jangan melayani perubahan-perubahan apapun yang dilakukan C.V. atau P.T. termasuk misalnya ada C.V. atau P.T, yang mendapat kucuran kredit dari sebuah bank, ketika diteliti ternyata pendiri atau pemegang sahamnya suami isteri, atau ketika P.T. akan menjual atau membeli sebidang tanah, maka Notaris yang bersangkutan harus konsisten untuk tidak melayaninya. Tapi juga dalam praktek, tidak hanya menerima pembuatan pertama kali, tapi akan melayani perubahan apapun, dengan alasan pendirian pertama kali dibuat oleh Notaris lain. Sikap tidak menerima pendirian pertama kali, tapi menerima perubahan apapun, jika pendirian pertama kalinya dibuat Notaris lain, hal ini menunjukkan ketidak konsistenan Notaris yang bersangkutan, yang secara diam-diam dapat dikualifikasikan setuju dengan pendapat yang ketiga. Terhadap sikap yang nomor 2 (dua) pun perlu dikaji lebih jauh, artinya meskipun memasukkan pihak ketiga atau lebih, apakah kemudian secara serta merta terjadi pemisahan harta suami dan isteri yang bersangkutan ? Bahkan tidak ada pengaruh apaapa terhadap harta suami-isteri tersebut, tetap saja terjadi persatuan harta benda perkawinan. 2
Demikian pula dengan sikap yang ketiga, ada atau tidak perjanjian perkawinan, ada atau pihak ketiga masuk sebagai pendiri, sepanjang pendiri dua orang meskipun itu suami-isteri tetap dilayani dalam membuat C,V. atau P.T. dengan alasan bahwa C.V. atau P.T. adalah perjanjian dua orang atau lebih dan suami-isteri tersebut sebagai subjek hukum yang hak dan kewajiban menurut hukum. Bahkan dalam pendirian P.T. Kementerian Hukum dan HAM RI – SABH tidak pernah mempersoalkan pendirinya suami-isteri atau bukan, kebadanhukuman P.T. yang bersangkutan tetap disahkan. Adanya sikap atau keputusan yang berbeda tersebut, secara langsung dapat membingungkan masyarakat yang akan mendirikan C.V. atau P.T. yang pendirinya suami isteri. Masyarakat akan menilai, ternyata, misalnya Notaris dalam satu wilayah jabatan yang sama, akan mempunyai sikap yang berbeda terhadap pendirian C.V. atau P.T. yang pendirinya suami isteri. Jika kita ingin mengatakan dan menyatakan bahwa sikap pertama atau kedua yang benar menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus menegakkan kedua sikap tersebut, sementara pada sisi yang lain ada Notaris yang mengambil sikap yang ketiga, jika sikap ketiga yang diambil dan salah menurut hukum, maka siapakah atau lembaga mana yang harus menilai bahwa sikap yang ketiga tersebut salah ? Sudah Notaris yang satu dengan Notaris yang lain tidak punya kewenangan untuk mengklaim bahwa sikap dirinya yang benar menurut hukum, karena ketiga sikap tersebut berada pada area abu-abu, yaitu pada area penafsiran hukum yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan dan tidak berdasarkan pada legal normatif yang jelas dan tegas. Atas ketiga sikap yang berbeda tersebut harus ada kejelasan, apakah sikap pertama dan kedua yang dibenarkan dan sikap yang ketiga tidak benar menurut hukum. Sudah tentu penegasan atas sikap-sikap atau pendapat tersebut harus disertai dengan sanksi yang jelas dan tegas jika ada yang melanggarnya dari lembaga yang diberi kewenangan untuk hal tersebut. Bahwa ketiga sikap tersebut sudah mendarah daging dalam praktek Notaris, bahkan Notaris yang datang kemudian mengikuti apa adanya atau copy paste saja, tanpa mengkaji terlebih dahulu ada atau tidak ada aturan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penafsiran. Dan tidak ada larangan untuk mengambil salah satu sikap 3
tersebut, yang penting Notaris yang bersangkutan konsekuen dan konsisten dengan sikap yang diambilnya tersebut. Dalam kaitan ini perlu dipahami mengenai sikap yang pertama bahwa sejak awal memang sudah dibuat perjanjian perkawinan dan ada pemisahan harta benda perkawinan, sehingga tidak dipermasalah lebih jauh, tapi mengenai sikap yang kedua, apakah dengan memasukkan pihak ketiga atau lebih secara serta merta bagi suami isteri tersebut telah terjadi atau timbul secara tegas pemisahan harta bersama dalam perkawinan ? Bahwa pemisahan harta bersama perkawinan harus dinyatakan secara tegas dalam akta tersendiri dan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan didaftarkan pada Kantor Urusan Agama (KUA) setempat untuk yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil setempat. Berdasarkan alasan tersebut tidak bisa dengan memasukkan pihak ketiga atau lebih telah terjadi pemisahan harta bersama perkawinan, karena tindakkan hukum tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta tersendiri. Terhadap sikap yang kedua ini perlu diberikan catatan tersendiri, jika ternyata pihak ketiga atau lebih yang dimasukkan sebagai pendiri tadi, ternyata kemudian keluar atau mengundurkan diri (dalam C.V.) tanpa ada penggantinya atau saham (dalam P.T.) yang dia miliki jual kepada suami atau isteri tersebut, bukankah kedudukan hukumnya menjadi sama dengan mendirikan C.V. dan P.T. tadi tanpa adanya perjanjian perkawinan atau pada akhirnya sama saja kedudukan hukumnya dengan sikap yang ketiga ? Beragamnya sikap Notaris tersebut sudah tentu harus ada ketegasan dari komunitas Notaris sendiri, apakah sepakat akan menentukan sikap yang pertama dan kedua saja yang benar menurut, yang ketiga tidak benar menurut hukum, dan sudah tentu harus ada ketegasan jika ternyata ada Notaris mengambil sikap yang ketiga. Sudah tentu pula sangat tidak mungkin untuk melakukan tindakkan hukum seperti itu, karena ketiga sikap tersebut sudah merupakan Living Law (hukum yang hidup) dalam praktek Notaris dan secara hukum jarang yang mempermasalahkannya, misalnya dengan membawanya ke ranah pengadilan. Menyikapi ketiga sikap tersebut, seharusnya kita para Notaris memperkenalkan teori baru, bahwa suami-isteri boleh saja mendirikan C.V. atau P.T. tanpa perlu mempersoalkan ada atau tidak ada perjanjian kawin atau tanpa memasukkan pihak 4
lainnya. Teori ini perlu dibuat agar sikap yang ketiga ini setara dengan sikap yang pertama atau kedua, artinya dibenarkan menurut hukum, dalam hal ini dengan melakukan penafsiran hukum. Ketika suami isteri mendirikan C.V. atau P.T. dan modal para pendiri tercantum dalam pembukuan C.V. yang bersangkutan dan untuk P.T. tercantum dalam anggaran dasarnya dengan jumlah yang sudah ditentukan besarnya, maka pada saat itu dapat saja ”dianggap” suami isteri tersebut telah memisahkan sebagian harta bersama menjadi milik masing-masing sebagai modal dari C.V. atau P.T. yang mereka dirikan. Bahwa suami isteri tersebut dianggap telah memisahkan sebagian harta bersamanya tersebut akan berlangsung sampai dengan mereka bercerai atau salah satu atau keduanya meninggal dunia sehingga terjadi pewarisan. Kenapa harus ada batasan sampai mereka bercerai ? Hal ini dikaitkan dengan suami atau isteri atas harta bersama perkawinan jika mereka bercerai, yaitu suami atau isteri masing-masing berhak setengah dari harta bersama tersebut. Sehingga sejumlah modal yang telah mereka sisihkan sebagai modal C.V. atau P.T. sebagai bagian dari harta bersama tersebut yang telah mereka ambil diawal. Jika ternyata setelah mereka bercerai terjadi pembagian yang tidak sama, maka antar suami isteri harus memotong bagiannya, agar pada akhirnya menjadi bagian yang sama besar dari harta bersama perkawinan setelah perceraian tersebut. Demikian pula jika suami atau isteri meninggal dunia, suami atau isteri berhak atas setengah dari harta bersama ditambah haknya dari harta warisan suami atau isteri. Teori tersebut, saya namakan Teori Anggapan (atau Teori Habib Adjie saja), bagi Notaris yang mengambil sikap yang pertama dan atau yang kedua sudah pasti tidak akan setuju atau berpikir berkali-kali untuk menyatakan tidak setuju, dan teori ini tidak bermaksud untuk merubah sikap dan pikiran Notaris yang telah mengambil keputusan terhadap sikap yang pertama dan atau yang kedua, tapi teori ini akan memberikan pengertian dan pemahaman bahwa suami dan isteri tanpa perlu ada perjanjian perkawinan dan tanpa perlu memasukkan pihak ketiga atau lebih ke dalam pendirian tersebut, bisa mendirikan C.V. atau P.T. dengan alasan sebagaimana tersebut di atas. Pembentukan teori dalam bidang kenotariatan atau Hukum Kenotariatan bagaikan Snowball yang makin lama makin membesar untuk kemudian menjadi sebuah teori yang 5
ajeg. Makin lama makin besar banyak yang sependapat atau yang tidak sependapat akan berjalan sesuai dengan praktek Notaris. Praktek dari dunia Notaris dan pengalaman para Notaris dapat melahirkan teori baru seperti tersebut di atas.
-------------------------------------------
6