PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA)
Oleh:
ABDUL AZIZ 104044101382
KONSENTRASI PERADILANAGAMA PROGRAM STUDIHUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2010 M i
PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Abdul Aziz NIM : 104044101382
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH NIP : 19500306 197603 1 001
KONSENTRASI PERADILANAGAMA PROGRAM STUDIHUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2010 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Februari 2011 M 10 Rabiul Awal 1432 H
Abdul Aziz
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul “PERBEDAAN SIFAT DAN PRILAKU ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”, telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu Tanggal 24 Agustus 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama. Jakarta, 28 Juli 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Nip: 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN 1. Ketua
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH Nip. 19500306 197603 1 001
2. Sekretaris
Rosdiana, MA Nip. 19690610 200312 2 001
3. Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH Nip. 19500306 197603 1 001 4. Penguji 1
Drs. Djawahier Hejjaezy, SH. MH Nip. 19551015 197903 1 002
5. Penguji 2
Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Nip. 19581128 199403 1 001
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita semua. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis. Sebagai tanda syukur atas terselesaikannya Penulisan skripsi yang berjudul “PERBEDAAN SIFAT DAN PRILAKU SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (STUDI PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU”. Maka Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak: 1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah sekaligus Dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan serta dukungan dan motivasi kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Penulis bisa
v
berada di bawah bimbingan beliau. Semoga amal beliau diterima disisi Allah sebagai kebaikan yang berlipat ganda. (Amin) 3. Ibu Rosdiana sebagai sekretaris jurusan. Semoga pekerjaan beliau menjadi sebuah ibadah tersendiri yang diberkahi Allah SWT. 4. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam Penulisan skripsi. 5. Secara khusus Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua Penulis tercinta, Ayahanda H. Ahmad Zaini dan ibunda Hj. Siti Badi’ah yang senantiasa membimbing dan memotivasi Penulis dengan tulus, serta selalu mendoakan Penulis agar selalu sukses dalam segala hal. 6. Adik-adik tercinta Muhammad Shofwan & Azmiyati yang selalu memberikan spirit agar masa-masa ini cepat berlalu. 7. Untuk semua orang tuaku; KH. Muhammad Syarif Hidayat Munjih (Pondok Pinang), Abah Endang (Cijeruk), Kyai Rasyid (Marunda Lama), terima kasih atas doa-doamu yang selalu menyertai anakmu ini. 8. PSIK INDONESIA: Fahru Rozi, Goeswin, Zaenal Abidin, Hiton Bazawi, Ahmad Sapei, Tirta Rismahadi Wijaya. 9. BANTEN PRESS; Miming Ismail, Sigit Sungkono, Lyus Oktari, Irvan Habibi Sukardi Hasan, Rahmat Muslim.
vi
10. Seluruh teman-teman LINK Ciputat; Syafi’i Hazami, Ramfalak, Kurnia, Ulum, Kidsi, Jilbong dll 11. Seluruh teman-teman Cordova; Rangga, Imam, Abet, Barna, Devi dll 12. Sahabat dan teman seperjuangan di Jurusan Peradilan Agama; Asep Jubaedillah, Rahchman Fitrianto, Lusan Bun tink (Perbankan Syari’ah) Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT. Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah Penulis lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Jakarta, 19 Mei 2011
AbdulAziz
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…..… i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………… ii LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………............ iii LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. iv KATA PENGANTAR………………………………………….………………. v DAFTAR ISI……………………………….…………………………………. viii BAB I
PENDAHULUAN …………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... ….. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 7 D. Review Studi Terdahulu …………………………………………. 8 E. Metodologi Penelitian…………………..………………………… 9 F. Sistematika Penulisan………………………………………….... 12
BAB II
PERKAWINAN DAN PERCERAIAN………….……….............14 A. Tujuan Perkawinan……………………………………………....14 B. Dasar Hukum Perceraian……………………………………….. 19 C. Perbedaan Cerai Talak dan Gugat Cerai……………………..…. 22 D. Alasan danTata Cara Perceraian…………………………..….… 25 E. Perbedaan Karakter Suami-Istri menurut Hukum Islam………... 30
v
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA……..... 51 A. Sejarah Singkat Pembentukan…………………………………... 51 B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi dan Profil Jabatan ……... 54 C. Visi Misi dan Rencana Strategis………………………………… 60 D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan……………………………. 60
BAB IV ANALISIS BEDA KARAKTER SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN………………………………..………. 64 A. Posita/Duduknya Perkara………………………………………. 64 B. Petitum/Tuntutan…………………………………………........... 65 C. Alat Bukti……………………………………………………….. 66 D. Pertimbangan Hukum…………………………………………... 67 E. Putusan………………………………………………………….. 70 F. Analisis Penulis…………………………………………………. 70
BAB V
PENUTUP…………………………………………………………. 82 A. Kesimpulan…………………………………………………........ 82 B. Saran-Saran……………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA………..……………………………………………….... 86
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Putusan Perkara No. 0206/Pdt.G/2008/PA.JU…………………………..... 90 2. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Utara 2010…………........ 95 4. Surat Permohonan Data dan Wawancara……………………………….. 115 5 .Laporan Hasil Wawancara……………………………………………….. 116 6. Surat Keterangan telah Melakukan Observasi dan Wawancara………. 121
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan mendapat tempat yang tinggi dan sangat terhormat dalam Agama Samawi (Islam khususnya) dan termaktub dalam tata aturan yang telah ditetapkan AlQur’an sebagai kitab suci umat Islam. Perkawinan juga menjadi sarana bagi umat untuk membentuk sebuah keluarga, berketurunan dan melanjutkan hidup sesuai tata norma yang berlaku baik norma agama, hukum dan adat. Perkawinan (nikah atau zawaj) berasal dari bahasa arab yang secara etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih” atau dengan ungkapan lain bermakna “aqad dan setubuh.”1 Menurut istilah syar’i perkawinan merupakan suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.2 Sedangkan menurut Ulama Fiqh pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap farj (kemaluan) perempuan dan seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer.3
1
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), Cet ke-2, h.1 2
M. Abdul Mujib, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), Cet ke-2. h.249 3
Bakri A. Rahman dan A. Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata B/W, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 12
2
Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai tali yang kokoh (Mitsaqan ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4 Karena perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara suami dan istri yang banyak menimbulkan aspek hukum yang mengikat setelah pelaksanaannya. Aspek-aspek itu antaranya adalah dengan adanya perkawinan maka suami dan istri menjadi halal dalam melakukan hubungan biologis, hidup satu atap, saling memenuhi hak dan kewajiban, hadirnya anak, timbulnya konsep waris, harta bersama dan lain sebagainya. Maka dari itu perkawinan juga mengandung aspek ibadah kepada Allah SWT bagi yang melaksanakannya. Sedangkan tujuan diadakannya pernikahan tak lain adalah menciptakan kondisi keluarga yang bahagia, tenteram, aman serta nyaman antar kedua belah pihak baik suami maupun istri. Tentunya ini sesuai dengan tujuan perkawinan/pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 bahwa Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.5 Rumah tangga bahagia merupakan idaman setiap keluarga. Tujuan perkawinan/pernikahan yang dilandasi oleh cita-cita luhur ikatan suci dibalut kasih sayang pasangan suami isteri dalam lingkar agama sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT. Setiap individu yang ingin melangsungkan pernikahan sejatinya harus menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang kelak akan dihadapinya—baik kebutuhan moril maupun materil. 4
Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.1
5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3
3
Berumah tangga sejatinya menciptakan kehidupan yang harmonis dan dipenuhi dengan perasaan kasih sayang antara kedua belah pihak baik suami maupun isteri, saling menghormati perbedaan masing-masing dan lain sebagainya. Pernikahan juga tak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan—tercipta kebahagiaan, rasa tentram dan damai. Adakalanya rumah tangga diguncang konflik suami isteri baik yang datang dari dalam maupun luar keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor. Ada kalanya konflik-konflik dalam sebuah rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak dan rumah tangga tersebut kembali dalam kebahagiaannya sedia kala. Namun, ada kalanya konflik-konflik dalam rumah tangga tak dapat di atasi oleh kedua belah pihak baik suami maupun isteri. Bahkan konflik tersebut berlarut-larut dan menjadi perselisihan yang tak dapat dibendung lagi yang berujung pada runtuhnya sendi-sendi rumah tangga—Perceraian. Dalam hukum Islam perceraian adalah perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT.6 Artinya perceraian merupakan hal yang boleh untuk dilakukan namun dibenci Allah SWT. Karena perceraian merupakan solusi terakhir dalam menyelesaikan masalah yang terjadi antara suami isteri dengan adanya pemutusan hubungan perkawinan.
6
h.73
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), Cet.ke-1,
4
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya bahwa suatu perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah Talak/Perceraian (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan Hakim).7 Walaupun perceraian diperbolehkan oleh agama, namun pada prinsipnya perceraian yang diatur oleh Perundang-undangan Indonesia (misalnya
dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah).8 Artinya lembaga Peradilan Agama yang menangani kasus-kasus perceraian berusaha mendamaikan pasangan suami isteri bila ada salah satu atau kedua pasangan tersebut melakukan permohonan/gugat cerai. Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan secara baik dihadapan sidang pengadilan.9 Sedangkan mengenai pelaksanaannya, untuk melakukan permohonan perceraian pemohon harus memiliki alasan-alasan yang memang sudah diatur dalam
7 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, (Surabaya, AlHidayah), Juz 3, h.168 8
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.ke-1,
9
Ibid., h.9
h. 8
5
Perundang-undangan, bahwasanya untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.10 Dalam hal ini alasan-alasan seputar perceraian dijelaskan baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jis. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan Pasal 19, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada alasanalasan diperbolehkannya seorang suami atau isteri mengajukan permohonan cerai ataupun gugatan cerai bila memang salah satu dari pasangan tersebut menghendaki adanya pemutusan perkawinan melalui perceraian. Berkaitan dengan semua itu, alasan-alasan perceraian dalam Perundangundangan Indonesia baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI Pasal 116 menjadi pedoman Hakim Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan kasus-kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Namun, khusus di Pengadilan Agama Jakarta Utara mendapati putusan Majelis Hakim yang salah satu alasan perceraiannya mencantumkan redaksi Perbedaan Karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian yang sama sekali tidak termuat dalam Perundang-undangan yang dijadikan patokan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian.
10
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2)
6
Maka dari itu merasa sangat perlu dan tertantang untuk memperhatikan lebih dalam dengan meneliti alasan tersebut dengan memberi judul pada penelitian kali ini “Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Menyadari luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka Penulis memfokuskan persoalan kehidupan rumah tangga dengan pembatasan masalah pada Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU). Adapun perbedaan karakter yang dimaksud dalam hal ini adalah perilaku isteri yang melarang suami untuk bekerja pada malam hari, sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari. 2. Perumusan Masalah Untuk uraian skripsi ini mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut; Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam alasan perceraian karena perbedaan karakter suami-istri tidak tercatat di dalamnya. Namun kenyataannya, putusan di Pengadilan Agama Jakarta Utara mengabulkan perbedaan karakter suami-istri terhadap sebagai Alasan Perceraian.
7
Rumusan tersebut di atas, Penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut; 1. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perbedaan karakter suami-istri terhadap suami dapat dijadikan alasan perceraian? 2. Sejauh mana perbedaan karakter dapat mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga? 3. Apakah dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Majelis Hakim mengenai perbedaan karakter suami-istri dapat dijadikan alasan perceraian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan permasalahan sebagaia berikut : 1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Perbedaan Karakter istri terhadap suami dalam sebuah rumah tangga menjadi satu alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara. 2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perbedaan Karakter suami-istri terhadap suami. 3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: a. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia.
8
b. Selain itu, Penelitian ini dipharapkan dapat memperkaya penelitian sebelumnya disamping sebagai kontribusi tertulis pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta c. Selanjutnya, Peneliatian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta Utara mengenai pemahaman keilmuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Perceraian. 4. Review Studi Terdahulu Dalam Review Studi Terdahulu kali ini, mendapati skripsi karya Ahmad Sauqi (106044101386)11 yang berjudul “Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian (Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT). Sejauh pengamatan, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sauqi pada inti permasalahannya adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai turut campur orang tua dalam rumah tangga anak, faktor apa saja yang mempengaruhi keikut-sertaan orang tua dalam rumah tangga anak serta bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menyelesaikan perkara tersebut. Fokus utama dalam skripsi yang ditulis oleh Sauqi adalah adanya campur tangan orang tua dalam keluarga anak sebagai alasan perceraian.
11 Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian: Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
9
Sedangkan pembahasan yang
lakukan adalah seputar perbedaan karakter
suami-isteri terhadap suaminya sebagai alasan perceraian. Persamaannya adalah adanya dampak pertengkaran yang terus menerus dalam bahtera rumah tangga suamiisteri yang dapat dijadikan alasan perceraian. Namun, perbedaan yang mendasar antara lain: a. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara. b. Fokus alasan perceraian yaitu mengenai perbedaan karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian. c. Pandangan Hukum Islam (fikih) serta Hukum Positif mengenai perbedaan karakter suami isteri. d. Seberapa jauh perbedaan karakter ini mempengaruhi keutuhan rumah tangga. e. Sejauh mana karakter isteri ini dapat dijadikan alasan pada prakteknya di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
E. Metodologi Penelitian Dalam penyusunan proposal skripsi ini,
menggunakan metode penelitian
sebagai berikut: 1. Jenis dan Pendekatan Dari sisi data yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan
mendeskripsikan
isi
Conten dari
Analysis.
putusan
Yaitu,
menguraikan
yurisprudensi
dengan
dengan
nomor
cara
perkara:
(0206/pdt.G/2008/PA.JU) yang penulis dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta
10
Utara, kemudian menganalisis putusan Pengadilan tersebut agar mendapatkan data yang objektif dan sistematis sesuai dengan tujuan penulisan ini. 2. Kriteria Data Dalam pengumpulan data, digunakan kriteria sebagai berikut: a)
Kriteria Data Primer: Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor Perkara: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU.
b)
Kriteria Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang sedang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa Al-Quran, Hadits, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undangundang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Acara Peradilan Agama dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan judul penelitian serta arsip Peradilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagaimana berikut:
11
a.
Survey untuk mendapatkan data tentang perbedaan karakter sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
b. Interview/Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.12 Dalam hal ini melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait, sebagai bukti memperoleh kebenaran terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang teliti. Kiranya dari hasil wawancara tersebut bisa mendapatkan sumber-sumber data yang berkaitan dengan judul yang sedang diajukan. c.
Studi Dokumenter: Menganalisis dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara khususnya perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dalam rangka memahami proses berlangsungnya perkara, pihak-pihak yang terkait sampai putusnya perkara dan juga pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim itu sendiri dalam memutuskan perkara berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suamiisteri sebagai alasan perceraian.
d.
Studi Pustaka: Mengambil sumber-sumber ilmiah dari berbagai sumber buku, kitab-kitab klassik, kamus, perundang-undangan dan lain sebagainya.
12
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode Penelitian Sosial (terapan dan kebijaksanaan, (Jakarta: 2000), h.39
12
4.
Teknik Analisis Data Dalam melakukan analisis data menggunakan cara pengumpulan sumber-
sumber data yang sudah ada di Pengadilan Agama Jakarta Utara. Adapun tahanpantahapan yang dilakukan pertama adalah dengan cara mengambil data yang sudah ada sampelnya berupa putusan dan hasil dari isi putusan tersebut diolah datanya dengan menggunakan metode tertentu lalu ditarik kesimpulannya. Setelah itu, hasil laporan yang sudah didapat bisa diinterpretasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang berguna untuk (khususnya) dan publik umumnya. 5. Teknik Penulisan Data Sementara untuk teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2007”13 dengan pengecualian terjemahan Al-Qur’an dan Hadits satu spasi walaupun kurang dari lima baris dan dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis awal.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian ini secara menyeluruh, perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat 13
Djawahir Hejazziey, ed., Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007)
13
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan. Bab Kedua membahas tentang Perkawinan dan Perceraian, dalam bab ini menjabarkan tentanng tujuan perkawinan, dasar hukum perceraian, perbedaan cerai talak dan cerai gugat, alasan dan tata cara perceraian, perbedaan karakter suami-isteri menurut hukum Islam. Bab Ketiga membahas Profil Pengadilan Agama Jakarta Utara, dalam bab ini dibahas seputar sejarah singkat pembentukan Pengadilan, struktur organisasi, visi dan misi Pengadilan serta tugas pokok dan fungsi Pengadilan. Bab Keempat tentang Analisis Beda Karakter Isteri sebagai Alasan Perceraian yang meliputi posita (duduk perkara), petitum (tuntutan perkara), alat bukti, pertimbangan hukum serta analisis terhadap putusan tersebut. Bab kelima Penutup, bab ini berisikan kesimpulan serta saran
14
BAB II PERKAWINAN DAN PERCERAIAN A. Tujuan Perkawinan Islam dengan Al-Qur’annya menggambarkan perkawinan sebagai tali perkawinan yang kokoh (mitsaqon ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Yang mana Rasulullah sendiri menegaskan dalam haditsnya kepada umatnya untuk menikah bila sudah mampu dalam hal sandang, pangan dan papan karena perkawinan dapat menjaga mata serta kemaluan dari hal-hal yang yang dialarang oleh agama. Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menjelaskan dalam haditsnya:
% & ' : ! " # $ : ) 5%?() *+, % * -() ./0, 123 451 6 7 !()3 89: -)( $; <= 7 >1-1&) ( ! E?7 ) @: A ) 123 B1*) ! 3 C=7 ' ٢
Artinya: “Hai sekalian pemuda, siapa diantara kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu menundukkan mata dan lebih memelihara farj (kemaluan). Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu baginya adalah penawar/ penekan nafsu syahwat.”
1
2
Sri Mulyati, ed, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN JAKARTA,2004), h.1
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, (Amman: Dar al-‘Alam, 2003), h. 314
15
Perkawinan selain bertujuan untuk mentaati Allah dan mengikuti anjuran Rasul juga memiliki beberapa tujuan mulia yaitu untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan syara’.3 Ada beberapa tujuan dari disyaratkannya perkawinan atas umat Islam yang menurut pengamatan penulis tak kalah pentingnya dari pada tujuan-tujuan yang telah penulis paparkan sebelumnya. Diantaranya adalah: 1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa Ayat 1:
KI L I A M I EN
8 O+1 P(? 2 $;G N QH) $;1 $G17) 'H) I.'J ' ... ۚ R:J 21 S%!TU V) A Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan”. 2.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersunguh-sunguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.5
3
Moh. Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. I Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke 1, h. 27 4
1. h. 46
Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Putra Grafika, 2006), Cet
16
Tujuan lain dari perkawinan menurut Basiq Djalil dalam bukunya Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo adalah untuk bersenang-senang.6 Sebagaimana diterangkan Al-Qur’an dalam Surat Al-A’raf ayat 189:
ۚ I!) $; !) I A M I X A 8 O+1 P(? 2 $;G N QH) Y
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.” Menurutnya, dari ayat ini kita juga tampaknya tidak dilarang bersenangsenang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat ruhani dan jasmani.7 Sedangkan Sulaiman Al-Mufaraj dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan beberapa poin tentang tujuan perkawinan diantaranya, yaitu: 1) Sebagai ibadah dan mendekatdiri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya. 2) Untuk iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan membentang diri dan mubadho’ah bisa melakukan hubungan intim). 3) Memperbanyak umat Muhammad SAW. 4) Menyempurnakan agama. 5
6
Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Depag RI, 1989), Jilid 3, h. 64
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2007), Edisi Pertama, h.87 7 Ibid., h.87
17
5) Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah. 6) Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mareka saat masuk surga. 7) Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinahan, dan lain sebagainya 8) Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu istri dirumah. 9) Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga. 10) Saling mengenal dan menyayangi. 11) Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri. 12) Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT. Maka tujuan nikahnya akan menyimpang. 13) Suatu tanda kebesaran Allah SWT, kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi. 14) Memperbanyak banyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan.
18
15) Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.8 Sedangkan Tujuan perkawinan menurut hukum positif yang ada di Indonesia seperti seperti dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah terwujudnya kebahagiaan rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Tujuan tersebut dapat tercapai dengan adanya rasa hormat menghormati, toleransi, saling pengertian dan keserasian.9 Untuk mewujudkan kebahagiaan ruamh tangga yang kekal Joko Prakoso dalam bukunya mengomentari tujuan Undang-undang Perkawinan diatas bahwa antara suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan spiritual dan material.10 Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa landasan filosofis perkawinan nasional ialah pancasila dengan mengaitkan perkawinan
berdasarkan sila pertama, yaitu
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Landasan filosofis itu dipertegas dan diperluas dalam Pasal 2 KHI yang berisi: a.
Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah 8
Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003), h. 5 9
Basiq Djalil, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2005), Cet.ke-1, h.165 10
Joko Prakoso dan I ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.13
19
b.
Melaksakan perkawinan adalah ibadah
c.
Ikatan perkawinan bersifat mitsaqon gholidzan11
B. Dasar Hukum Perceraian Perceraian merupakan jalan akhir dari segala upaya yang dilakukan oleh suami-isteri maupun Pengadilan dalam mengambil solusi dari masalah yang dihadapi suami-isteri dalam sebuah keluarga.
Di Indonesia Perceraian sering juga disebut sebagai talak, walaupun pada hakekatnya tidak semua perceraian dapat disebut talak. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika dalam buku Azas-azas Perkawinan Indonesia12 menjelaskan bahwa talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan.
Menurut Hisako Nakamura dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, talak adalah satu bentuk perceraian yang dinyatakan oleh suami secara lisan atau tulisan, dengan bunyi: “Aku talak engkau” atau “Aku ceraikan engkau”, juga bisa digunakan kata-kata lain yang sama artinya, dimana maksud suami menceraikan isterinya itu jelas.13
11
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, h.51
12
Djoko Prakoso & I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), Cet ke-1, H. 178 13
Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di Kalangan Orang Islam Jawa. Penerjemah H. Zaini Ahmad Noeh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), h. 34
20
Sedangkan dalam Islam Perceraian sendiri berasal dari bahasa arab ( –
) yang berarti pemutusan14. Dalam istilah perkawinan Islam talak menurut bahasa artinya perpisahan dan melepaskan. Sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan suami-isteri yang sah oleh pihak suami-isteri dengan lafal tertentu atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang.15 Mengenai talak/perceraian, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, memberikan definisi sebagai berikut: ١٦
$[1!A 16) $[G )( : I2 [1!A .6) [=1%) ZX +
Artinya: “Lepasnya ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.” Kamus Istilah Fiqh juga menjelaskan makna talak yang berarti melepaskan ikatan perkawinan (nikah) dari pihak suami dengan kata-kata (sighat) tertentu. Misalnya si suami mengatakan kepada isterinya: “engkau telah ku talak.”17 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya
perceraian
(talak)
ialah
pemutusan
hubungan
suami-isteri
dengan
14
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), Cet.25,
15
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.3, h.279
h.861
16 17
Sayyid Sabbiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990, h.206 M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, h.181
21
menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan perkawinan antara suami-isteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa pernikahan memiliki kekuatan yang mengikat antar pihak suami maupun isteri, namun dengan adanya perceraian, kekuatan yang tadinya mengikat dan sangat kokoh (mitsaqon ghalidzan) akan runtuh bahkan tidak jarang antara suami-isteri atau keluarga masing-masing saling bermusuhan karena perceraian tersebut. Dalam Islam sendiri, perceraian antara suami dengan isteri memang bukan lagi menjadi hal baru. Bahkan, praktek perceraian sudah ada jauh sebelum umat Nabi Muhammad Saw. Menurut hukum Yahudi kuno18, seorang suami dapat menceraikan isterinya karena sebab apa pun yang dilakukannya dan tak disebagai suaminya, serta tak ada ketentuan untuk menengahi dan membatasi kekuasaan suaminya. Di Romawi, suami mempunyai hak untuk begitu saja membunuh isterinya dengan membuat perbuatan-perbuatan seperti meracuni, minum-minuman keras, dan menukar anak haram.19 Sedangkan orang arab, hak suami untuk menceraikan isteri tidak ada batasnya. Mereka tidak mengenal aturan perikemanusiaan atau keadilan dalam memperlakukan isteri-isterinya.20
18
A. Rahman I Doi, Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan,penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996), Cet. 1, h.312 19
Ibid., h.314
20
Ibid., h.314
22
Jadi, secara historis hukum perceraian telah dikenal dan dipraktikkan umat manusia sepanjang masa dengan cara yang sangat tidak adil dan bersifat semenamena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan melaksanakannya secara adil dan benar antara suami dan isteri yang bertikai itu.21 Sebagaimana Al-Qur’an di bawah ini menganjurkan bagi tiap-tiap suami yang hendak menjatuhkan talak pada isterinya untuk memetakan kondisi-kondisi psikis isteri pada saat akan dijatuhkan talak oleh suami. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat at-Thalaq ayat 1:
(g : ef/bc=)) 81O)( *+, 1I\1O) 1Y$G]=3 : ^ ) 7(G_ ` .a-1 ) I.' '
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu).”(Q.S. Ath-Thalaq/65: 1) Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:
h( / i, : ! # $ : KI a % K () j+ kA Uh ll# A m ). b=) ) ٢٢
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya). C. Perbedaan Cerai Talak dengan Gugat Cerai Secara garis besar, cerai talak dengan cerai gugat merupakan dua kata yang berbeda, namun keduanya juga memiliki persamaan. Penulis sebelumnya 21
Ibid., h. 315
22
Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, h.168
23
memaparkan pengertian perceraian secara umum dengan pengertian yang juga umum, namun di bawah ini akan penulis paparkan perbedaan kedua cerai secara mendalam. Perceraian merupakan jalan akhir dari sebuah permasalahan yang terjadi dalam keluarga setelah juru damai tak mampu lagi mendamaikan kedua belah pasangan yang bertikai. Bila pernikahan tersebut terus dilangsungkan maka akan saling timpangnya hak dan kewajiban masing-masing pasangan karena satu sama lain sudah tidak lagi sejalan dalam mengemudikan kendali rumah tangga. Dalam lingkungan Pengadilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan. Yang pertama disebut “permohonan” dan lainnya disebut “gugatan”.23 Yang dalam bahasa seharihari kita mengenalnya dengan istilah cerai talak dan gugat cerai. Menurut Rachmadi Usman misalnya dalam bukunya Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia menyebutkan pengertian cerai talak yang berarti putusnya ikatan tali perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum Islam.24 Jadi, cerai talak merupakan cerai yang dilakukan oleh suami dengan alasanalasan yang dibenarkan oleh agama maupun Undang-undang. Dalam hal ini suami sebagai pemohon harus mengucapkan ikrar talaknya di muka sidang. 23
24
Elfrida R Gultom, Hukum Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h.16
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.1, h.400
24
Sedangkan cerai gugat adalah putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu.25 Menurut Subekti, dalam kamus hukumnya menyatakan gugatan berasal dari kata gugat dengan akhiran “an”, yaitu penarikan ke muka hakim Pengadilan untuk dimintakan perhukuman (perkara perdata).26 Subekti merumuskan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntunan salah satu pihak dalam perkawinan ketika para pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan suatu putusan Pengadilan.27 Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu perceraian yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak isteri, tentunya disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa terjadi ketika sang isteri dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’ itu sendiri terjadi akibat permintaan isteri. Namun dalam hal ini suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan talak tebus (khulu’).28
25
Ibid.,hal.401
26
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paradya Paramita, 1982), h.49
27
Ibid., h.15
28
Muhammad Ibnu Qasim, Fathul Qarib (terj), (Kudus: Menara Kudus, 1983), Cet.1, h. 58
25
Jadi cerai gugat adalah salah satu cara bagi suami-isteri yang menginginkan perpisahan dalam rumah tangganya disebabkan suatu alasan yang mengharuskan mereka untuk berpisah, dengan permintaan atas keinginan isteri sendiri. Dalam definisi disebutkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan dengan adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.29
D. Alasan dan Tata Cara Perceraian a. Alasan Perceraian Salah satu Azas yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan adalah mempersukar terjadinya perceraian.30 Seperti dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa antara suami-isteri itu tak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Jadi walaupun pada dasarnya perceraian itu tidak dilarang, namun undang-undang menentukan seseorang tidak dengan mudah memutuskan ikatan perkawinan tanpa adanya alasan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 29
Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet.1,
30
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.14
h. 274
26
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.31 Penjelasan Pasal di atas diatur persis dalam Pasal 19 Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menentukan perceraian dapat terjadi karena alasan sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan Kompilasi Hukum Islam memuat tambahan alasan, yakni alasan suami melanggar ta’lik talak dan alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (Pasal 116).32
b. Tata Cara Perceraian Agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaan penyelesaian perkara-perkara hukum keluarga, maka Negara membuat instrumen-instrumen penegakkan keadilan dalam lingkup hukum keluarga. Penyelenggara dalam hal ini adalah Pengadilan Agama setempat. 31 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.I, h.340 32
Ibid., h.340
27
Tata cara perceraian sudah diatur dan ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) dan Inpres Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 menjelaskan tata cara perceraian. Adapun tata cara perceraian tersebut, sebagaimana termaktub dalam UUPA Pasal 66 yaitu; 1) Seorang suami beragama Islam yang menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak 2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. 3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
28
5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan.33 Setelah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 131 Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berikut ini adalah bunyi Pasal 68 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu; (1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan. (2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.34 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai tata cara perceraian termuat dalam Pasal 131 ayat: (1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
33 Lihat Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h. 742-743 34
Lihat Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 dan 68
29
dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. (2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. (3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. (4) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh. (5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.35
35
Lihat Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.II, h.179-180
30
E. Perbedaan Karakter Suami-Isteri dalam Keluarga Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perbedaan Sifat dan Perilaku menurut fikih Islam adalah agama perdamaian.36 Maka dari itu segala bentuk perselisihan yang diakibatkan dari perbedaan antara sesama harus diminimalisir sedikit pun kalau perlu ditiadakan sama sekali. Islam dan masyarakat muslim terkait erat dengan tiga hukum bawaan Rasulullah Muhammad SAW baik hukum-hukum yang tertera dalam Nash-nash Al-Qur’an maupun al-Hadits. Hubungan-hubungan tersebut menjadi sebuah tatanan hukum yang menurut Fathurrahman Djamil antara lain mengatur tatanan hidup manusia secara Vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan secara Horizontal (antara sesama manusia).37 Selanjutnya menurutnya bahwa kebanyakan ahli fiqih telah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan sesuatu itu diterlarang.38 Tatanan hidup manusia terkait dengan Hubungan manusia pada Tuhan mengenai masalah-masalah Ukhrawi kebanyakan mengandung prinsip-prinsip yang khusus dan baku. Sedangkan dalam masalah-masalah keduniaan, dapat dikatakan bahwa Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip umum. Islam tidak mengetengahkan 36
Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia. (Jakarta: PPIM-IAIN,1998), Cet.2, h.133 37
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1, h.
38
Ibid., h.40
40
31
pola yang final tentang bagaimana masalah-masalah duniawi seharusnya diatur.39 Hadirnya fikih di tengah-tengah masyarakat Islam membuktikan bahwa masalahmasalah keduniawian yang ada semakin kompleks dan membutuhkan interpretasiinterpretasi yang segar terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun Hadits. Fikih secara sederhana memilki pengertian sebagai pengetahuan mengenai hukum-hukum Syari’at yang dihasilkan dari penalaran teks-teks keagamaan AlQur’an maupun al-Hadits yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia.40 Kata Syari’ah secara harfiah berarti “Jalan menuju tempat air,” atau dalam kata lain “sumber kehidupan”. Namun, kasarnya syariah adalah keseluruhan perintah Allah SWT kepada orang mukmin. Karena kata syariah mencakup Norma-norma akidah, hukum dan akhlak.41 Syariah juga menjadi sumber hukum dan petunjuk moral, pijakan untuk hukum maupun etika.42 Sedangkan Fazlur Rahman mendefinisikan Syariat sebagai jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia merupakan konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Tetapi di sini menyangkut seluruh tingkah laku— 39
Tarmidzi, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia h,109
40
Faqihuddin Abdul Qadir, ed, Fiqih Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:Fahmina-Institute, 2006), Cet.I, h.4 41
Cik Hasan Bisri, ed, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, h. 117 42
John L. Esposito, Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(al-Shirat alMustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.ke-1, h.94
32
spiritual, mental dan fisik.43 Artinya Agama mengatur segala sesuatu termasuk di dalamnya karakter yang berhubungan dengan sifat serta tingkah laku manusia baik berupa ajaran terhadap keimanan, kepribadian maupun fisik seseorang. Karakter merupakan merupakan tabiat, watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.44 Perbedaan Karakter yang berkaitan dengan sifat dan prilaku suami-isteri memang tidak memiliki pengertian khusus di dalam hukum Islam dalam hal ini fikih, hanya saja memang Islam banyak membicarakan permasalahan yang berkaitan dengan akhlak yang pada akhirnya membuahi sifat dan perilaku umat sendiri baik terhadap Tuhannya, sesamanya maupun lingkungannya. Sedangkan pada hakikatnya akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.45 Secara umum sifat memiliki pengertian rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahir.46 Menurut Raymond B. Catttell seorang psikolog mendefinisikan sifat sebagai suatu “struktur mental”, suatu penyimpulan yang 43
Fazlur Rahman, Islam Penerjemah Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2003), cet.V,
h.141 44
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.512 45
46
Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet.2, h.3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet.4, h.1062
33
didasarkan pada tingkah laku yang dapat diobservasi untuk menjelaskan keteraturan atau regulitas dan ketetapan atau konsistensi dalam tingkah laku ini.47 Sedangkan perilaku/tingkah adalah ulah (perbuatan) yang aneh-aneh atau yang tidak sewajarnya, lagak, canda.48 Perilaku pada umumnya berorientasi pada tujuan (goal-oriented). Dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.49 Sedangkan perbedaan sendiri memiliki arti beda, selisih.50 Perbedaan merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi manfaat satu sama lain.51 Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter erat kaitannya dengan sifat dan perilaku seseorang, dengan kata lain bahwa perilaku seseorang menunjukkan sifat orang tersebut. Sedangkan perbedaan karakter kaitannya dengan isteri terhadap suaminya di sini adalah perbedaan atau perselisihan mengenai pandangan terhadap Sifat dan perilaku pasangan dalam rumah tangga sehari-hari.
47
A. Supratiknya ,ed, Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h.149 48
Ibid., h.1197
49
J.Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Rajwali Pers, 2008),
h.32 50
51
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, h.90
Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html, diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB
34
2. Faktor penyebab serta Pengaruh Perbedaan Karakter Suami-Isteri Berbicara keluarga tak lepas dari hubungan suami-isteri. Sedangkan berbicara hubungan suami-isteri sudah dapat dipastikan membicarakan peran masing-masing pasangan (suami-isteri) dalam rumah tangga/keluarga. Karena keluarga juga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi sosial dengan kelompoknya.52 Perbedaan karakter baik sifat dan perilaku suami-isteri merupakan hal yang wajar terjadi, karena pada dasarnya sudah merupakan fitrah manusia diciptakan berbeda-beda satu sama lain, karena bukan hal yang mustahil bagi Allah SWT untuk menjadikan manusia sama keseluruhan—baik sifat, perilaku ataupun bentuk-bentuk fisik penciptaan manusia. Namun, Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
. +1 )r !? 7s t$) 6 ' ) ۖ V8 O+ V[1$, n1 ) X o) p. 9:J q)
p yggx :gg/Y) n1 ) [1 v( 1 I A tww) p^ $[ KU u1K \ ۗ IG N p)H) ۚ (ggz
Artinya: “Dan seandainya tuhanmu menghendaki, maka pastilah Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Namun mereka akan tetap berselisih, kecuali tuhanmu merahmatinya. Lantaran itulah Dia ciptakan mereka itu, dan telah sempurnalah kalimat (keputusan) Tuhanmu:”Pastilah Aku penuhi Jahannam dengan isi dari jin dan manusia.”(Q.S. Hud/11: 118-119) Dalam surat lain juga disebutkan:
52
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: PSG STAIN, 2006), Cet.1, h.41
35
| 'J) p)` a3 tr ۗ $;2 (), $;7 (), 7N ~9}( | K1) E( N \ '{
( : /B %)) !K) (])
Artinya: “dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.”(Q.S. Ar-Rum/30: 22) Memang jelas sekali adanya Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada manusia seperti perbedaan baik perbedaan warna kulit, bahasa dan budaya. Perbedaan antara laki-laki dan wanita, perbedaan bangsa dan suku bangsa. Hanya saja perbedaan itu harus disadari juga sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.53
Sebagaimana suami-isteri misalnya, dalam keluarga tentunya terjadi begitu banyak perbedaan baik sifat maupun perilaku keduanya dan tak jarang perbedaanperbedaan tersebut menjadi pondasi konflik hubungan keluarga mereka. Antara suami-isteri tidak lagi saling mengerti dan memahami, keras kepala, acuh sampai pada akhirnya menjadi sebuah konflik-konflik yang berkepanjangan. Padahal sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menjadikan suami-isteri atau yang terlibat di dalamnya dipenuhi ketenangan lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam surat ArRum ayat 21:
"t V[ K+ V81 1 $; ! X A I!) $; 7) A M, $;$?2, $;) E N (t, \ '
(g : /B %)) t %;? 71' BG) [ 'J) p)` a39 53
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, ( Jakarta: Kencana, 2007), Cet.1, h.211
36
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum/30: 21) Menurut Qaradhawi, ayat di atas menunjukkan tiga pondasi bagi berdirinya sebuah keluarga yaitu ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan ketenangan adalah ketenangan jiwa dari gejolak dan keinginan terhadap lawan jenis dan untuk memenuhi keinginan yang dibolehkan di bawah lindungan keridhaan Allah SWT.54 Ayat di atas juga menjadi prasyarat untuk membangun keluarga yang harmonis dan diliputi kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat. Sebagaimana dikutip dalam buku kekerasan berbasis gender terdapat 3 (tiga) kata kunci yang a long life strugle dalam kehidupan berkeluarga:55 a. Mawaddah (To love each other), saling mencintai/ menyayangi antara satu dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui batas kewajaran yang ditentukan agama.
54
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim: Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. Ke-2, h.144 55
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h.138-139
37
Mawaddah dapat diartikan sebagai “cinta plus”, yaitu cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan, satu kata dan perbuatan.56 b. Rahmah (Relieve from suffering through symphaty, to show human understanding from the one other, love and respect one other). Saling simpati, menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Sikap rahmah itu termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati, menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya sebagaiman dirinya ingin diperlakukan. c. Sakinah (To be or become tranquil; peaceful; god-inspired, peace and mind), kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya kedamaian, ketentraman. Keharmonisan, kejujuran dan keterbukaan yang diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan. Ujung-ujungnya spiritualitas ketuhanan yang Maha Lembut, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang perlu dijadikan sumber ilham dan inspirasi yang agung untuk menempuh hidup baru yang dicita-citakan. Keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan tercapai dalam sebuah rumah tangga bila penghuninya tidak saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada pada masing-masing pasangan. Karena semua manusia, betapa pun
56
Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1, h.429
38
hebatnya pasti ada kekurangannya, begitu pula sebaliknya. Dalam kehidupan rumah tangga suami-isteri tentu tidak luput dari kelemahan, sehingga suami-isteri harus saling melengkapi dan menyayangi.57 Sifat dan perilaku secara umum erat kaitannya dengan kepribadian seseorang, yang merupakan bawaan sejak lahir atau anugerah yang diberikan Tuhan pada manusia begitu juga pada suami ataupun isteri. Sedangkan kepribadian sendiri dalam Psikologi Perkembangan diartikan sebagai karakteristik atau cara bertingkah laku yang
menentukan
penyesuaian
dirinya
(manusia)
yang
khas
terhadap
lingkungannya.58 Dalam Psikologi Perkembangan, Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun yang mempengaruhi kepribadiannya antara lain: 1. Potensi bawaan Seorang bayi telah diwarnai unsur-unsur yang diturunkan oleh kedua orang tuanya dan tentu diwarnai pula oleh perkembangan dalam kandungan ibunya. 2. Pengalaman dalam budaya/lingkungan Proses perkembangan mencakup suatu proses belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat tanpa kita sadari lagi, pengaruh nilai-nilai dan masyarakat dalam kehidupan kita telah kita terima dan menjadi bagian dari diri kita. 57
58
Ibid., h.429
Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan—Pendekan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, (Bandung, PT Refika Aditama, 2006), Cet.1, h128
39
Pengaruh lain dari budaya adalah mengenai peran seseorang dalam kelompok masyarakat. Misalnya seseorang yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki akan menerima beban untuk berperan sebagai lak-laki menurut masyarakatnya dan sejenisnya. 3. Pengalaman yang unik Selain potensi bawaan dan tuntutan peran oleh masyarakat yang juga turut membentuk kepribadian seseorang dan yang membedakannya dari orang lain adalah pengalaman dirinya yang khas. Orang, selain berbeda dalam bentuk badan, potensi bawaan juga berbeda dalam perasaan reaksi emosi dan daya tahannya.59 Kaitan ketiga hal tersebut dalam hubungan suami-isteri adalah ketika pasangan berada dalam lingkup keluarga dan menyatukan dua kepala yang berbeda baik potensi bawaannya yang sudah ada sejak lahir, budaya maupun pengalamannya masing-masing maka akan dijumpai banyak perbedaan baik yang krusial maupun biasa dan tak jarang membuat perbedaan yang ada semakin meruncing bila tidak diantisipasi dan dapat menimbulkan perselisihan serta pertengkaran. Sedangkan faktor lain yang juga sering menjadi perselisihan antara suami-isteri dalam sebuah rumah tangga menurut Mufidah dalam Psikologi Keluarga Islam60 bahwa seringkali antara suami-isteri enggan memecahkan masalah dengan pikirannya yang jernih dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain:
59
60
Ibid.,129-130
Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press,2008), h.189-194
40
a. Faktor emosi Dalam menghadapi masalah, suami-isteri diharapkan mampu mengendalikan emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan. Jika suami-isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya:
(? 2 O'O1&) K12r [ %1*) O'O1&) P!) : B. t, 8 %' %Y a, ٦١ (Qs-) m )
i)( O
Artinya:“Dari abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “orangorang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhari) b. Faktor kurang pengertian/ pemahaman Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami-isteri terhadap masalah yang dihadapi menyebabkan kesalahan pemhaman sehingga masalahnya menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isiteri saling mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berikut ini dalam QS. Ali-Imran ayat 159:
61
Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t), h.2267
41
!]U 7K() .l' 9 tr ۚ (XU 73 u 6 `3 ۖ %9}( a3 Y q ... (gfz: /t%K ) Artinya:“...Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah SWT sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.”(QS. Ali-Imran/3: 159) c. Faktor Gender Stereotype (Pelabelan Negatif) Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan su’udzhan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype memberikan lebih negative atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender stereotype suami-isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.62 Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
ۗ $;) % q Y V! q .-l\ (t, ۚ$;) %! N Y V! q Y %(; \ (t,
(eg: /8%G-)) tK \ ) 72, '
Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah SWT maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
62
Ibid., h 189-194
42
d. Faktor dominasi pihak yang kuat Suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mangayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami-isteri yang timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap penyesuaian masalah.63 Allah menjelaskan dalam firmannya:
(x :/8%G-)) ۚ % K() 1I! QH) $X(T ...
Artinya: “… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah/2: 228) e. Faktor Kafaah (kesetaraan) Kafaah menurut hukum Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.64 Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu’ (setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama juga seringkali juga menjadi faktor penyebab ketidak-harmonisan dalam rumah tangga. 63
64
hal.56
Ibid., 194 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
43
Ketidakharmonisan ini ketika tidak bisa dipulihkan dalam bangunan rumah tangga terkadang suami atau istri memutuskan untuk melakukan perceraian.65 Perselisihan dan percekcokan sering terjadi Akibat dari semakin runcingnya perbedaan-perbendan sifat dan perilaku suami-isteri yang tidak disikapi dengan saling menghargai serta menghormati satu sama lain. Perbedaan yang ada pun mestinya menjadi motivasi satu sama lain untuk saling mengangkat persamaan yang ada kepermukaan dan menenggelamkan sisi-sisi perbedaan karakter baik sifat maupun perilaku masing-masing yang hanya akan merugikan keutuhan sebuah rumah tangga. Maka dari itu Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya kiat-kiat memilih pasangan agar umatnya tidak menyesal dikemudian hari. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadisnya:
I- l) :C w) $8,% K() k; \ : .B . ^a-1 ) .<. 8 %' %Y a, ٦٦ ( m ) . O ' u % \ '^O) |H %9?(3 . I 'O) I) K o)
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara; Harta, keturunan, rupa dan agama. Pilihlah wanita yang beragama. Mudah-mudahan kamu beruntung.” (HR. Muslim) Jika keempat alasan tersebut semuanya ada pada seorang laki-laki, tentulah merupakan calon suami yang ideal. Seorang calon suami yang kaya raya, dari keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan 65
A.Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, Cet.ke-2, (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43 66
Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “ Kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb anNikāhi zāti ad-Dini.”
44
taat beribadah. Atau sebaliknya, seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik atau ningrat, cantik rupawan dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah merupakan calon istri yang amat ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh memilih calon pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan agama.67 Biasanya konflik perbedaan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga ada yang bisa terselesaikan dan antara suami-isteri rukun kembali. Namun, ada juga konflikkonflik yang terjadi dalam rumah tangga berlarut-larut bahkan menyentuh hal-hal yang prinsipil. Perbedaan sifat dan perilaku keduanya pun semakin terlihat jelas dan timpang. Suami-isteri saling acuh, karena sama-sama merasa paling benar dan tak ada yang mau mengalah sampai salah satu dari keduanya Nusyuz (durhaka) dan terjadi Syiqaq. Nusyuz sendiri memiliki pengertian durhaka. yaitu jika suami-isteri meninggalkan kewajiban-keawjibannya.68 Nusyuz suami dapat terjadi ketika meninggalkan hak dan kewajibannya baik materi maupun non materi. Seperti materi yang bersifat nafkah lahir, sedangkan yang non materi diantaranya muasyarah bil ma’ruf atau menggauli isterinya dengan cara yang baik.
67
A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet IX, hlm.
68
M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.251
18.
45
Bila isteri nusyuz Al-Qur’an memberikan solusi penyelesaian, sebagaimana tertera dalam firmannya sebagaimana berikut:
( :/: )) 1Y% C A
( 3 1Y %oY 1Y$3 1Y M&2 t$3 s \ \)
Artinya:”Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan kewajiban rumah tangga), maka nasihatilah mereka dan pisah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”(Q.S. An-Nisa/4: 34) Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan, apabila suami khawatir akan nusyuznya isteri yang diakibatkan oleh sikap serta tingkah-laku isteri setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilakukan oleh seorang suami dalam menanganinya. Antara lain: 1) Memberi nasihat yang baik dan bijaksana kepada isteri, agar ia sadar dan mau kembali kepada tugasnya yang mulia dan utama sebagai ibu rumah tangga yang baik dan bijaksana. 2) Memisahkan diri dari tempat tidur isteri, dengan maksud agar isteri dapat mawas diri dan mendambakan kerukunan lagi, serta kehidupan keluarga yang baik. Langkah pemisahan tempat tidur antara suami-isteri hanya boleh ditempuh, apabila nasihat suami tidak dihiraukan lagi oleh isteri. 3) Memberikan pukulan yang cukup ringan (tidak boleh keras /berat, sampai melukai atau menyakiti badan isteri). Langkah ini hanya boleh ditempuh oleh
46
suami dalam keadaan terpaksa, bila pemberian nasihat dan pemisahan tempat tidur tidak membawa hasil (isteri masih tetap membangkang).69 Sedangkan bila sebaliknya, dalam hal ini isteri yang terkena nusyuz dari pihak suami, Al-Qur’an menjelaskan tindakan seperti apa yang mesti diambil. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 128:
.. ۚSl(# KI ! l*' (t, J KI ! A 3 S %r , SM&2 I ۢ u3 N 8, % t r
(gx :/: ))
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa baginya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.”(Q.S. An-Nisa/4: 128) Dampak selanjutnya yang terjadi akibat adanya perbedaan sifat dan perilaku suami-isteri adalah terjadinya Syiqaq. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami-isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.70Syiqaq juga merupakan perbuatan tidak baik yang dapat mengganggu keutuhan ikatan perkawinan.71 Dalam rumah tangga tak jarang dijumpai perselisihan, sepanjang perselisihan itu bisa diatasi sendiri, maka tak perlu ada campur tangan dari pihak ketiga dalam menyelesaikannya. Tetapi apabila perselisihan tersebut sudah parah, maka sebaiknya 69
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid 3: Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 1993), Cet.II,
hal.47-48 70
Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.214
71
M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.347
47
mengangkat dua orang hakam, seorang dari pihak suami seorang lagi dari pihak isteri. apabila hakam sepakat untuk mendamaikan kembali suami-isteri, maka keduanya berkewajiban untuk kembali hidup rukun. Tetapi apabila hakam mengalami jalan buntu, alangkah baiknya kedua hakam dalam usaha mendamaikan meminta nasehat Tokoh agama. Setelah usaha-usaha itu dilakukan dan kedua hakam memutuskan tidak ada jalan lain kecuali cerai, maka ada dua cara penyelesaiannya: a. Hakam dari pihak suami menjatuhkan thalak, atau b. Hakam dari pihak isteri melakukan Khulu’ (thalak tebus).72 3. Perbedaan Karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian Dasar pembentukan sebuah keluarga adalah perkawinan, yang mengikat antara seorang pria dan seorang wanita dengan ikatan syariat yang kuat dan kokoh yang dilandasi dengan ketakwaan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya.73 Sebuah rumah tangga yang anggota keluarganya jauh dari sisi-sisi keimanan kepada Allah sebagai pondasinya lambat laun akan rapuh tergerus berbagai macam gesekan masalah yang terjadi dalam keluarga. Ketentraman sebuah keluarga merupakan dambaan setiap orang yang mendiami bahtera rumah tangga. Keadaan tenang tak akan pernah terjadi apabila penghuni keluarga yang mendiaminya—suamiisteri serta anak tidak memerankan posisinya masing-masing di dalamnya.
72
73
Ibid., h.347
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani Al-Azhim— Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, h. 143
48
Apabila peran-peran penghuni keluarga tidak berjalan semestinya dan timpang akan pemenuhan terhadap hak dan kewajiban suami-isteri di dalamnya, maka sebuah keluarga akan tertatih-tatih dalam menjalani bahtera rumah tangga. Karena, ibarat tubuh yang hanya memiliki satu kaki untuk berjalan saja. Hal-hal semacam ini dikhawatirkan akan terjadi pemutusan hubungan perkawinan dalam rumah tangga bila berlarut-larut. Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami-isteri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu.74 Setidaknya Menurut Amir Syarifudin ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu: a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu suami-isteri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.
74
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-2, h. 197
49
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu. d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami-isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.75 Telah kita ketahui bersama dalam pembahasan pada sub sebelumnya bahwasanya alasan-alasan perceraian diterangkan dalam Perundang-undangan baik dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2 Jis. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 huruf (f), Inpres Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116. Adapun perbedaan Karakter dalam hal ini sifat dan perilaku isteri sebagai alasan perceraian tidak disebutkan secara definitif ataupun khusus pada tiga produk perundang-undangan di atas sebagai alasan yang dapat diterima sebagai alasan perceraian. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Pasal 19 Jo. KHI Pasal 116 huruf (f) dijelaskan bahwa Antara suami-isteri terjadi pertengkaran yang terus menerus dan
75
Ibid., h. 197
50
sulit untuk di damaikan.76 Artinya, dampak yang ditimbulkan dari perbedaan sifat dan perilaku tersebut yang mengakibatkan isteri pada akhirnya melalaikan kewajibankewajibannya sebagaimana mestinya dan perbedaan sifat dan perilaku isteri terhadap suaminya ini dapat dijadikan alasan sebagai permohonan cerai/gugat cerai ke Pengadilan Agama. Kerukunan yang terjalin dalam sebuah rumah tangga tentunya akan berpengaruh terhadap keluarga baik suami, isteri, anak ataupun keluarga dari masingmasing pihak suami ataupun isteri (mertua). Kehidupan rumah tangga yang penuh perbedaan baik sifat maupun perilaku yang mengakibatkan timpangnya pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing suami-isteri tentunya akan meruntuhkan sendisendi keluarga di dalamnya. Rumah tangga pun akan cepat digoncang ketegangan-ketegangan yang tentunya negatif dan bila berlarut-larut akan menimbulkan pertengkaran-pertengkaran yang terus menerus sehingga jalan akhir ketika terjadi perselisihan suami-isteri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi maka tidak ada jalan lagi selain perceraian.77
76
Lihat PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 huruf (f), juga lihat KHI pasal 116 huruf (f) 77
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam: Hukum Fiqih Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), Cet.27, h.401
51
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA A. Sejarah Singkat Pembentukan1 Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 63 tahun 1963, yang pada waktu itu bernama Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan berkantor di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta Kota (sekarang gedung Museum Perjuangan). Adapun induknya adalah Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya (sekarang Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Pada waktu itu Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya mempunyai dua cabang, yaitu: Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan Cabang Pengadilan Agama Jakarta Tengah. Sebagai Salah satu Pengadilan Agama yang berada di wilayah Jawa-Madura, semula eksistensi dan kewenangan absolutnya berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 dan Stbl. 1937 No. 116 dan 610, berada di bawah Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama nomor 71 tahun 1976 dengan telah dibentuknya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung, maka Pengadilan Agama Jakarta Utara berada di bawah Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung tersebut. Dalam perkembangannya selanjutnya Mahkamah Islam Tinggi Surakarta dipindahkan ke Jakarta (Surat Keputusan Menteri Agama nomo: 61 tahun
Untuk pembahasan Sejarah singkat ini Penulis hanya mencantumkan 1 sumber saja yaitu, http://www.pa-jakartautara.go.id yang diakses pada Kamis, 7 Maret 2011, pukul 20.50 WIB 1
52
1985) dan berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, yang realisasinya baru pada tanggal 30 Oktober 1987. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967, Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian diubah namanya menjadi Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Agama yang berdiri sendiri dan tidak sebagai cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya lagi. Sejak ditetapkan menjadi Pengadilan Agama yang berdiri sendiri, semula Pengadilan Agama Jakarta Utara berkantor di rumah KH Wintanu, Lorong 19, Tanjung Priok, Jakarta Utara, kemudian pindah kantor ke rumah KH Mugni, Jalan Digul, Lorong 63, Nomor 36, Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan menempati satu ruangan yang berlokasi di Komplek YUKS, Jalan Donggala Nomor 23, Tanjung Priok, Jakarta Utara (di daerah pinggiran laut). Pada saat Kantor Departemen Tenaga Kerja dipugar, ruangan kantor Pengadilan Agama Jakarta Utara sempat berpindahpindah ruangan, bahkan sempat pula menempati garasi mobil yang berukuran 5 X 2,5 m saja. Dalam kurun waktu berikutnya, Pengadilan Agama Jakarta Utara pernah berkantor menumpang pada berkas ruangan Kantor Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, Lorong C, nomor 11, Pasir Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara satu gedung dengan Kantor Pendidikan Agama dan Kantor Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
53
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana UU Perkawinan, kewenangan absolut Pengadilan Agama bertambah, hal mana berakibat meningkatnya volume perkara yang harus diselesaikan. Sehubungan dengan hal tersebut, agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pencari keadilan, maka Pengadilan Agama Jakarta Utara pindah kantor di komplek Kantor Walikota Jakarta Utara, Lantai II, di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara. Tidak lama kemudian pindah lagi ke lantai 3 di komplek kantor Walikota tersebut. Pada tahun 1980, atas bantuan Walikotamadya Jakarta Utara bersama-sama dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kepala Kantor Departemen Agama Jakarta Utara, dibangunkanlah gedung kantor Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan luas tanah sekitar 500 m2 dan luas bangunan 342 m2 (terletak di belakang Kantor Departemen Agama Jakarta Utara dan Bank Mandiri). Kantor tersebut ditempati selama kira-kira 28 tahun. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999, tentang perubahan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pembinaan administrasi dan finansial Pengadilan Agama yang semula berada di bawah Departemen Agama dialihkan ke Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan lainnya. Bagi peradilan agama, peralihan tersebut efektif mulai tahun 2004. Pada tahun 2006, dengan anggaran MA, dialokasikan dana pengadaan tanah Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan pagu Rp 5.750.000.000,- dan tahun 2007 dialokasikan dana pembangunan gedung dengan pagu Rp 8.799.999.000,- dan
54
kemudian dilengkapi dengan alokasi dana pengadaan sarana dan prasarana pada tahun anggaran 2008 dengan pagu sebesar Rp 2.000.000.000,-. Dengan anggaran tersebut akhirnya sejak Juni 2008, Pengadilan Agama Jakarta Utara telah pindah dan menempati gedung baru yang cukup megah yang dibangun di atas tanah seluas 2000 m2, dengan bangunan gedung berlantai 3 dengan luas keseluruhan sekitar 2.298 m2, yang berlokasi di Jalan Raya Plumpang Semper No. 5, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, 14260.
B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi serta Profil Jabatan 1. Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara meliputi seluruh wilayah Kota Jakarta Utara, terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 35 (tiga puluh lima) kelurahan, yang terinci sebagai berikut:2 a.
Kecamatan meliputi: 1) Kec. Cilincing 2) Kec. Kelapa Gading 3) Kec. Koja 4) Kec. Tanjung Priok 5) Kec. Penjaringan 6) Kec. Pademangan 7) Kepulauan Seribu, hal ini berdasarkan PP. No.5 Tahun 2001 meningkat
2
http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 14:11 WIB
55
menjadi Kabupaten Administrasi Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan pulau seribu Selatan3 b. Kelurahan Meliputi: 1) Kec. Kep. Seribu : - Kel. Pulau Panggang - Kel. Pulau Kelapa - Kel. Pulau Untung Jawa - Kel. Pulau Tidung
2) Kec. Penjaringan: - Kel. Kamal Muara - Kel. Kapuk Muara - Kel. Pejagalan - Kel. Penjaringan - Kel. Pluit
3) Kec. Pademangan: - Kel. Ancol - Kel. Pademangan Timur - Kel. Pademangan Barat
4) Kec. Tanjung Priok: - Kel. Sunter jaya - Kel. Papanggo - Kel. Sungai Bambu - Kel. Kebon Bawang 3
Lampiran, Laptah Pengadilan Jakarta Utara, tahun 2010, h.107-108
56
- Kel. Tanjung Priok - Kel. Sunter Agung - Kel. Warakas
5) Kec. Koja - Kel. Koja Utara - Kel. Koja Selatan - Kel. Lagoa - Kel. Tugu Utara -Kel. Tugu Selatan - Kel. Rawa Badak
6) Kec. Kelapa Gading - Kel. Kelapa Gading Timur - Kel. Kelapa Gading Barat - Kel. Pegangsaan Dua
7) Kec. Cilincing - Kel. Kalibaru - Kel. Cilincing - Kel. Semper Timur - Kel. Semper Barat - Kel. Sukapura - Kel. Rorotan - Kel. Marunda4
4
http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 2:11
57
2. Struktur Organisasi Berikut adalah bagan Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara:
ketua
Wakil ketua Hakim Panitera/Sekretaris Panitera Pengganti
Jurusita/Jurusita Pengganti Wakil Panitera
Pan. Mud. Permohonan
Wakil Sekretaris
Pan. Mud. Hukum
Kasub. Bag. Keuangan
Pan. Mud. Gugatan
Kasub. Bag. Kepegawaian
Kasub. Bag. Umum
Sumber: http://www.pa-jakartaUtara.go.id
3. Profil Jabatan Nama-nama yang tertuang dalam struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara pada akhir Tahun 2010 adalah sebagai berikut: Ketua
Drs. H. Busra, SH., MH.
Wakil Ketua
Drs. Tata Sutayuga, SH.
58
Hakim
Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH. Drs. H. Anwar Hidayat, SH. Dra. Hj. Syamsidar, SH., MH. Drs. Mahmud HD, MH. Drs. Ahmad Zawawi Drs. Muhammad Taufik, SH., MH. Dra. Sarbiati, SH. Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH. Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH. Drs. Eko Budiono, SH., MH.
Panitera/Sekretaris
Sufyan, SH
Wakil Panitera
H. Imanudin Tiflen, SH.
Wakil Sekretaris
Wahida Muslihah, S.Sos.
Panitera Muda Hukum
Asis Hidayanti, SH.
Panitera Muda Permohonan
Rahyuni, SH.
Panitera Muda Gugatan
Drs. H. Abdul Chaer HN, SH.
Kepala Sub. Bag. Kepegawaian
Purwanto Sigit Wibowo, SE.
Kepala Sub. Bag. Umum
Agus Triyogo, SE.
Kepala Sub. Bag. Keuangan
Siti Fajriah, SE.
Panitera Pengganti
Idris M. Ali, SH. Dra. Hasbiah
59
Dra. Ermiyati Arifah Abdul Hamid, S.Ag. Turchamun Ichwanuddin, SH. H. Kamaludin, SH., MH. Nurlaelah, SH. Lusiah Saragih, S.Ag., MH. Rifa'i, SH Fitri Astini, SH Milhan Affani Istiqlal, SH Achmad Sarkowi, S.HI. Jurusita Pengganti
Zamzam Lubis, SH. Abdul Djamat Hafas Toto Sudarto Feridiansyah Putra Agus Wiyono, A.Md Rona Handayani Yuri Ditya Putra Fernanda, A.Md. Dini Triana, S.Sos. Frimi Agustina, A.Md.
Bendahara Pengeluaran
Dini Triana, S.Sos.
60
Bendahara Penerimaan
Rona Handayani
Staf
Ahmad Hikmayati, SH Jaenudin Abdul Haris Rahmansyah, SE. Mustofa Supri Zulfatoni, S.Hi. Mochamad Taufik, S.Ag. Aji Sucipto, A.Md. Sumber: Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010
C. Visi Misi dan Rencana Strategis 1. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara: a. Visinya adalah Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung b. Adapun Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara antara lain adalah: 1) Menjaga kemandirian Badan Peradilan 2) Memberikan pelajaran hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan. 3) Meningkatkan kualitas kepemimpina Badan Peradilan 4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Badan Peradilan.5 D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Pengadilan Agama Jakarta Utara berfungsi sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas 5
Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.102-104
61
pokok antara lain Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi syari’ah. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.6 Untuk mendukung Tugas Pokok dan Fungsi dalam pelayanan masyarakat khususnya masyarakat pencari keadilan maka pimpinan serta jajarannya termasuk hakim telah menyusun Standard Operating Prosedure yang sampai saat ini masih terus dirumuskan untuk dijadikan sebagai Standard Nasional Pengadilan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI. Sedangkan di bidang kesekretariatan yang merupakan pendukung tugas pokok dan fungsi pengadilan telah menyediakan sarana dan prasarana demi kelancaran tugas pokok dan fungsi termasuk penyusunan struktur organisasi Pengadilan Jakarta Utara.7 Pengadilan Agama juga memiliki kekuasaan-kekuasaan kewenangan dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum keluarga yang terjadi di masyarakat. Diantara kekuasaan Pengadilan Agama sendiri antara lain termuat dalam Undang-undang Peradilan Agama
49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
6
http://www.pa-jakartautara.com/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011 pukul 21.01 WIB 7
Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.101-102
62
Peradilan Agama.8 Kekuasaan Pengadilan Agama sebagaimana bunyi Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989, bahwa: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. (2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a) ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang Kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan
bagian
masing-masing
ahli
waris,
dan
melaksanakanpembagian harta peninggalan tersebut.9 Sedangkan Perubahan Pasal 49 dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ke dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2003 menjadikan kekuasaan Peradilan Agama sendiri semakin luas cakupan wilayah kewenangannya. 8
http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011
pukul 20.53 wib Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h.738-739 9
63
Perubahan Pasal tersebut menyatakan bahwa “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. warta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.”10
Lihat Undang-undang No 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 Pasal 49. 10
64
BAB IV ANALISA BEDA KARAKTER ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
A. Posita/Duduk Perkara Adapun posita/duduk perkara dari kasus ini adalah perkara cerai talak yang pada mulanya antara Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah dengan yang dikeluarkan dan dicatat pada tanggal 20 Januari 2008 di kantor urusan agama (KUA) yang berada di Jakarta Utara. Setelah pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon tinggal di rumah orang tua Pemohon Selama berumah tangga, rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan dengan baik, harmonis sebagaimana layaknya suami-isteri namun belum dikarunia keturunan. Akan tetapi sejak bulan januari 2008, Pemohon dengan Termohon mulai terjadi perselisihan yang terus-menerus dan sulit untuk didamaikan yang disebabkan antara lain: (1) Termohon tidak memperbolehkan Pemohon bekerja di malam hari, sementara pekerjaan Termohon tidak terbatas waktunya, bahkan sampai larut malam. (2) Termohon dengan Pemohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda, selalu berbeda pendapat dalam segala hal, yang akibatnya Termohon minta diceraikan.
65
(3) Bahwa, Pemohon sudah berusaha mencari Termohon tapi tidak diketemukan. (4) Bahwa pada bulan maret 2008 merupakan puncak keretakan hubungan yaitu berpisah tempat tinggal antara Termohon dengan Pemohon serta Termohon pergi tanpa seizin dan sepengetahuan Pemohon, dan saat ini Termohon sudah tidak diketahui lagi tempat tinggalnya. (5) Bahwa Pemohon telah menepis harapan terciptanya suasana hidup rukun dan tentram dalam mahligai rumah tangga, dengan keadaan yang sudah demikian itu Pemohon sudah tidak ada kecocokan lagi dalam membina rumah tangga dan sudah tidak ada harapan serta sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup berumah tangga dengan Termohon. Karena itu sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam cukup alasan untuk permohonan Pemohon, karenanya Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Utara Cq. Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini berkenan memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap Termohon.1 B. Petitum/Tuntutan Putusan Berdasarkan
pada beberapa dalil
yang telah
dijelaskan
pada
posita/duduk perkara, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama segera 1
Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91
66
memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan perkara sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon 2. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu kepada Termohon. 3. Biaya perkara menurut hukum dan atau menjatuhkan putusan yang seadiladilnya.2
C. Alat Bukti Pembuktian berasal dari bahasa arab yaitu “bayyinah” yang artinya “suatu yang menjelaskan” ibnul Qayyim dalam kitabnya at-Thuruq alHukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.3 Adapun dalam perkara ini bukti-bukti yang dihadirkan oleh Pemohon adalah sebagai berikut: a. Foto kopi akta nikah serta aslinya b. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) c. Tiga orang saksi, paman, adik serta ibu kandung Pemohon4
2
Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91
3
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991),
4
Ibid., Lampiran, h. 92
h.153
67
D. Pertimbangan Hukum Adapun
pertimbangan
hukumnya,
bahwa
maksud
dan
tujuan
permohonan Pemohon adalah seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa antara Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah berdasarkan bukti kutipan akta nikah terlampir. Pemohon dan Termohon juga belum dikarunia keturunan. Sedangkan alasan pokok yang dimohon Pemohon terhadap Termohon bahwa rumah tangga Pemohon dan Termohon sering terjadi cekcok yang disebabkan karena: (a) Termohon tidak membolehkan Pemohon bekerja pada malam hari sedangkan Pemohon pekerjaannya tidak terbatas hanya pada siang hari, (b) Termohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda dengan Pemohon dalam sagala hal akibatnya Termohon minta diceraikan oleh Pemohon. (c) Termohon tidak pernah hadir dipersidangan sedangkan ia telah dipanggil dengan cara patut, sedangkan ketidakhadiran Termohon tidak memiliki alasan yang sah. (d) Majelis telah mendengar keterangan Termohon maupun saksi-saksi di persidangan.5 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon tersebut yang berdasarkan pada Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang 5
Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.93
68
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan sejalan dengan Inpres Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f) dalam hal ini kaitannya dengan Perbedaan sifat dan perilaku isteri sebagai alasan perceraian. Sedangkan dalam permohonan tersebut ada beberapa alasan yang menyebabkan suami mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Utara salah satunya alasan tersebut adalah perbedaan sifat dan perilaku isteri dalam segala hal terhadap suami. Adapun pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon kepada isterinya bahwa Termohon meragukan akan terciptanya suasana yang rukun dan tentram dalam rumah tangga mereka dan Pemohon merasa tidak sanggup lagi melanjutkan bahtera keluarga Pemohon dengan Termohon dikarenakan salah satu alasannya adalah perbedaan sifat dan perilaku mereka masing-masing yang mengakibatkan sering terjadinya percekcokan. Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya adalah bahwa alasan-alasan Pemohon dapat dibuktikan dengan kehadiran tiga orang saksi antara lain; paman Pemohon, adik Pemohon serta ibu kandung Pemohon yang masingmasing telah disumpah sesuai dengan agama Islam. Dalam kesaksian para saksi di muka sidang Pengadilan, Pemohon membenarkan keterangan mereka. Selanjutnya dalam perkara ini, Hakim menilai bahwa keterangan para saksi saling berhubungan dan berpendapat bahwa dalil-dalil atau alasan-alasan permohonan Pemohon tersebut telah terbukti kebenarannya.
69
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon karena alasan-alasan Pemohon telah memenuhi unsurunsur yang terkandung dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan telah sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f). Sebagaimana bunyi produk Perundang-undangan yang dijadikan rujukan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara untuk menyelesaikan perkara ini. Diantaranya adalah bunyi Pasal 39 ayat (2) UUP adalah “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.6 Sedangkan selanjutnya bunyi Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 75 bahwa Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”7 Selanjutnya, Pasal 116 huruf (f) KHI : Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Maka dengan menimbang hal-hal sebagaimana telah dipaparkan di atas permohonan Pemohon dikabulkan Majelis Hakim dengan Verstek dan
6
7
Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 (2)
Lihat Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 huruf (f)
70
mengikrarkan talak satu kepada Termohon dihadapan sidang Pengadilan Jakarta Utara. E. Putusan Dalam putusan perkara ini, pertama Majelis Hakim memutuskan perkara permohonan Pemohon dengan putusan verstek karena Termohon tidak pernah hadir di muka sidang. Kedua, Memberi ijin kepada Termohon untuk mengucapkan ikrar talak satu kepada Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Utara setelah putusan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap serta yang ketiga membebankan kepada Pemohon untuk membayar perkara sebesar Rp. 281.000,- (dua ratus delapan puluh ribu rupiah).8 F. Analisis Penulis Dewasa ini, hukum Islam eksistensinya semakin membutuhkan penyegaran interpretasi bagi masyarakat Islam sendiri khususnya. Terbukti, seperti di Negara kita Indonesia hukum Islam yang sudah dipositifkan berkenaan dengan hukum keluarga seperti Undang-undang Perkawinan dan lain sebagainya ternyata belum dapat mewakili aspirasi dalam mencari solusi masalah yang terjadi di masyarakat. Positivisasi hukum Islam disatu sisi banyak menimbulkan manfaat tersendiri bagi masyarakat muslim. Namun di sisi lain Perundang-undangan tersebut nampaknya masih sangat terbatas dalam mencakup seluruh
8
Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.94
71
permasalahan kehidupan umat muslim sendiri. Karena karakteristik zaman dan lingkungan serta teknologi terus mengalami perkembangan serta perubahan disana-sini. Paling tidak Said Agil dalam bukunya Hukum Islam dan Pluralitas Sosial menyebutkan terdapat Tiga unsur pokok yang berperan penting dalam merespons perkembangan zaman, yaitu keluwesan sumber-sumber hukum Islam, semangat ijtihad berdasarkan keahlian dan berijtihad dengan metodologi ushul fiqh.9 Secara umum kata “hukum” memiliki banyak perbedaan definisi, namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”10 Namun, bila hukum dirangkai dengan kata Syara’ yaitu “hukum syara’” akan memiliki arti “sebagai perangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua ummat yang beragama Islam.”11
9
Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Prluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet.1, h.23 10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1,
11
Ibid.,h.281
h.281
72
Sedangkan hukum positif sendiri adalah produk dari kekuatan-kekuatan politik yang melahirkannya. Sedangkan hukum yang hidup adalah hukum yang tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif.12 Secara teoritis kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat memang dapat dijadikan rujukan bagi Seorang Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengakui, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.”13 Tujuan dibuatnya hukum Islam menurut Syatibi adalah untuk mewujudkan maslahah bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.14 Selain itu adanya hukum juga salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi keperluan hajat hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsiniyyat.15 Kebutuhan Primer (Daruriyyat) adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan
12
Ibid., h.30
13
Ibid., h.30
14
Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th), Buku 1, Juz ke-2, h.4 15
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet.10, h.55
73
hidup manusia terwujud. Kebutuhan sekunder (Hajjiyat) adalah kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai kebutuhan primer, seperti misalnya kemerdekaan, persamaan, dan sebagainya yang menunjang eksistensi kebutuhan primer. Selanjutnya adalah kebutuhan tertier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup manusia selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup masyarakat misalnya, sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.16 Dalam analasis kali ini, penulis menganalisa alasan perceraian karena perbedaan karakter isteri terhadap suami. Secara garis besar penulis membingkainya dalam dua perspektif yang berbeda—Perspektif hukum Islam dan hukum positif. Adapun putusan Pengadilan, khususnya putusan Pengadilan Jakarta Utara No : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU yang mencantumkan redaksi perbedaan sifat dan perilaku isteri sebagai alasan perceraian menurut penulis tidak mendasar. Ini dikarenakan bahwasanya sudah menjadi fitrah setiap manusia dalam hal ini umat Islam diberikan perbedaan karakter khususnya pada sifat dan perilaku satu dengan lainnya oleh Allah SWT. Mustahil manusia memaksakan kehendak untuk berkarakter sama dalam sifat dan perilaku mereka satu sama lain.
16
Ibid.,h.55
74
Namun berbeda memang, ketika perbedaan-perbedaan tersebut terus diangkat kepermukaan oleh salah satu dari mereka atau kedauanya dan berdampak pada saling melalaikan hak dan kewajiban mereka sebagai pasangan suami ataupun isteri. Tentunya akan menjadikan pertengkaran dan percekcokan yang
terus menerus dan berujung pada ketidak-harmonisan kehidupan
keluarga. Oleh karenanya, jika perkawinan yang sudah goyah tersebut tetap dipertahankan, dapat berakibat lebih buruk bagi mereka yang menjalankannya, sehingga hal ini harus dihilangkan. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi: ١٧
ُا َ َ ُر َُال
Dalam menghilangkan yang madarat, tidak boleh dengan menempuh madarat yang sama atau yang lebih berat madaratnya. Sebagaimana prinsip hukum Islam yang lain, menghindari yang mengandung kerusakan lebih diutamakan dari pada sekedar mendatangkan maslahat, karena prinsip hukum Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadaratan. Dengan menggunakan kaidah fiqih ini juga dapat dibenarkan. Sebab jika sudah jelas dan terbukti bahwa perselisihan dan pertengkaran itu memang terjadi dan sulit untuk hidup rukun kembali, maka Pengadilan Agama Jakarta
17
h.85
Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet.I,
75
Utara sebagai lembaga kenegaraan berhak untuk memutuskan hubungan perkawinan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan karakter pasangan dalam kehidupan rumah tangga menurut Sarbiati.,S.H, M.H saat diwawancarai mengenai hal tersebut menjelaskan faktornya antara lain: Pertama, Kultur yang berbeda. Misalnya orang Sumatera (Medan) menikah dengan orang Jawa atau Sunda. Kita bisa melihat bahwasanya dari segi kultur yang berbeda biasanya akan memunculkan watak dan karakter yang berbeda antara suami isteri dalam sebuah rumah tangga. Karena masing-masing memiliki background kultur yang beda. Kedua, Tidak adanya “Kesalingan”. Artinya Antara suami isteri tidak terbuka dalam hal apapun. Antara suami isteri tidak saling berkomunikasi justru sebaliknya mis komunikasi, diam-diaman. Antara suami isteri tidak saling menyayangi, menghormati, menghargai dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk ketidak-salingan ini sebenarnya sudah keluar dari koridor ketentuan tujuan pernikahan itu sendiri.18 Padahal Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk lemah lembut dalam berkata-kata. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 159:
18
Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati. Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
76
ۖ * ()' & %# $# " ! ۚ 5 :=< ۗ 4+ #;:/ 9+ 87 1ۚ 56# 4 2 3 1' 0/ . - + , + (GHI: E/=1+ C) !A/@# (%?> Artinya: Dan dengan adanya rahmat Allah maka engkau (Muhammad) bersikap lunak (lemah lembut) kepada mereka. Seandainya engkau kasar dan keras hati, maka pastilah mereka akan menyingkir dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan (keduniaan). Dan bila engkau telah berketetapan hati, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah cinta kepada orangorang yang bertawakkal. (Q.S. Ali Imran/3: 159)
Bila diteliti, ayat tersebut—sekalipun ditujukan kepada Nabi, namun umatnya juga termasuk—mempunyai 4 pesan moral; (1) perintah untuk lemah lembut dalam bertutur kata, (2) banyak memberi maaf, (3) dan banyak istigfar, (4) pasrahkan urusan kepada Allah setelah mengambil keputusan.19 Begitu pun kehidupan suami isteri diharapkan dapat berlemah-lembut serta mudah memberi maaf kepada masing-masing pasangannya. Sebagaimana Nabi Muhammad sendiri adalah teladan bagi umatnya segala hal termasuk akhlak di dalamnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
1L56 M !#5 N 1> = A@ O P OQ .R C . 4 = K$ (VG : EE/U96) S1 !T 518
19
Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik) ,h.222
77
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (QS. Al-Ahzab/33: 21)
Dalam ayat lain juga ditemukan firman Allah SWT sebagaimana berikut:
(\ : Z[ / $) !+ WL 4X *Y&<
Artinya:“…Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”(QS. Al-Qalam/68: 4)
Nabiyullah Muhammad Saw juga bersabda:
(Q1>12 dR + KX. c) ] L^# _ ` a5b^ #TXc Y&
Artinya:“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR. Sa’ad dari Abi Hurairah) Dikutip dalam buku Etika berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik21 bahwa Allah telah menganugerahkan akhlak yang luhur kepada Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Wujud keluhuran akhlak Rasulullah tersebut seperti yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah kepada orangorang bertanya tentang akhlak Rasulullah, bahwa akhlak beliau adalah AlQur’an.” Secara umum pengertian akhlak mengacu pada sifat manusia secara umum tanpa mengenal perbedaan diantara laki-laki dan perempuan; sifat 20
Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Baker as-Suyuti, al-Jaami’us Shagir, (Darul Qolam, 1996), h.92 21
Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik), h.3
78
manusia yang baik maupun sifat manusia yang buruk.22 Oleh sebab itu akhlak terbagi dua, al-Ahlaq al-Hasanah (akhlak yang baik) atau al-Ahlaq alMahmudah (akhlak yang terpuji dan al-Ahlaq al-Qabihah (akhlak yang buruk) atau al-Ahlaq al-Mazmumah (akhlak tercela).23 Akhlak bersumber pada jiwa. Jika jiwa seseorang itu bersih, jernih dan bening, maka akhlak orang itu akan baik dan mulia. Sebaliknya, jika jiwa seseorang itu kotor dan penuh noda maka dari jiwa yang demikian tidak akan pernah memancarkan akhlak yang baik dan mulia.karena kualitas akhlak seseorang ditentukan oleh keadaan jiwannya.24 Bagaimanapun karakter-karakter suami isteri yang berkaitan dengan sifat dan prilakunya dalam sebuah rumah tangga mesti diperhatikan secara teliti. Karena kehidupan keluarga adalah kehidupan yang menyatukan dua kepala berbeda. Akhlak masing-masing pihak akan menjadikan sebuah keluarga bagai surga ataupun neraka. Sebagai contoh dalam kasus yang penulis teliti adalah sikap isteri yang melarang suami untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari. Contoh lainnya suami atau isteri melakukan perselingkuhan, salah satu pasangan tidak lagi bisa melaksanakan kewajibankewajibannya sebagai suami ataupun isteri tanpa alasan yang dibenarkan oleh 22
Ibid, h.2
23
Ibid., h.2
24
Ibid., h.6
79
Syar’i. Contoh-contoh perilaku ini sudah dapat dijadikan alasan perceraian— baik permohonan ataupun gugatan.25 Selanjutnya dari perspektif hukum positif bahwasanya perbedaan sifat dan perilaku isteri tidak diatur secara khusus dalam perundang-undangan Indonesia sebagai sebuah alasan perceraian baik dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 atau Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan serta dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sendiri. Oleh karena Perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan perilaku isteri tidak diatur secara khusus dalam Perundang-undangan Indonesia, maka bagi para penegak hukum untuk menemukan kepastian hukumnya. Dalam hal ini dibutuhkan kecerdasan Seorang Hakim untuk memecahkan perkara yang memang tidak secara khusus diatur dalam perundang-undangan Indonesia (baik itu UUP No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 atau KHI) semakin tertantang. Dalam hal ini metode ijtihad Hakim dalam meramu segala permasalahan yang berkaiatan dengan alasan-alasan perceraian seperti Perbedaan sifat dan perilaku isteri ini. Seperti dijelaskan dalam wawancara penulis dengan Hakim bahwa memang alasan perbedaan sifat dan perilaku suami isteri tidak diatur dalam Perundang-undangan, namun alasan tersebut dapat dimasukkan kedalam
25
Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati. Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
80
kategori pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Jo. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf (f) yaitu bahwa Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Menurut keterangan yang penulis dapatkan bahwa perbedaan sifat dan perilaku ini sebagai pemicu adanya ketimpangan hak dan kewajiban suami isteri yang dapat menyebabkan Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.26 Sedangkan mengenai alat bukti, khususnya dalam perkara ini, yaitu dengan adanya keterangan berupa lisan dari Pemohon, surat-surat seperti akta nikah dan lainnya serta saksi-saksi yang didatangkan dari pihak Pemohon. Dari putusan yang penulis dapatkan Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek, karena Termohon tidak hadir dan tidak pula mengirim wakil sebagai kuasanya untuk hadir di muka sidang padahal Termohon telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan. Menurut Hakim saat diwawancarai, Setiap masalah dapat dibuktikan oleh Pemohon atau penggugat dan memenuhi unsur-unsur pembuktian—
26
Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta, Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
81
keterangan Pemohon/ penggugat, surat-surat, maupun para saksi. Inilah yang menjadi dasar Hakim dalam memutuskan suatu putusan. Dalam hal ini Hakim mengaitkan mengaitkan permasalahan pada putusan perkara Pengadilan No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dengan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f) Jo. KH Pasal 116 huruf (f) yang menyatakan alasan perceraian karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Karena adanya perbedaan karakter dalam hal sifat dan perilaku dari masing-masing pasangan dalam segala hal, dalam kurun waktu yang lama, sifat dan perilaku ini akan memicu terjadinya hal tersebut (pertengkaran terus menerus). Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan perceraian tersebut dikabulkan Pengadilan. Selanjutnya, oleh karena perkara ini adalah perkara dalam bidang perkawinan, maka dalam menyangkut semua biaya dalam perkara ini dibebankan kepada Pemohon. Ini sesuai berdasarkan Undang-undang Peradilan Agama No. 1 Tahun 1974 pasal 89 ayat (1) Jo. Undang-undang No.7 Tahun 1989 biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.
82
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari Uraian di atas penulis penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Menurut Hukum Islam perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan prilaku suami isteri adalah hal yang wajar terjadi. Khususnya untuk sifat yang merupakan bawaan sejak lahir manusia. Sedangkan prilaku sebagaimana telah penulis jelaskan memiliki faktor-faktor pembentuknya tersendiri. Dalam hal ini, secara umum Nabi Muhammad adalah orang yang mestinya dicontoh karakternya baik dari sifat dan prilaku kita sebagai muslim. Bagaimana pun Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (suri teladan) bagi umatnya. Dari sudut pandang ini, menurut hemat Penulis mestinya memang kehidupan bahtera rumah tangga antara suami isteri saling menghormati perbedaan-perbedaan sifat dan prilaku masing-masing—selagi karakter-karakter itu tidak merusak keutuhan rumah tangga. Menurut hukum positif, Perbedaan karakter isteri sebagai alasan perceraian memang sejatinya tidak pernah termuat dalam Perundang-undangan Indonesia sebagai dalil untuk meneguhkan keinginan suami dalam menceraikan isterinya. Namun pada prakteknya ditemukan alasan-alasan Perceraian yang tidak termuat
83
dalam Perundang-undangan Indonesia dikabulkan Majelis Hakim. Ini dimaklumi, karena ternyata Hakim melihat adanya pertengkaran yang terus-menerus dikhawatirkan terjadi syiqaq. Dari sinilah Majelis hakim berkesimpulan dengan melihat maslahah mursalahnya. Bahwa demi kebaikan bersama antara suami isteri maka perceraian harus ditempuh sebagai jalan akhir untuk menyudahi pertikaian yang terus-terusan terjadi. Sedangkan pada perkara ini perbedaan karakter isteri sebagai pemicu terjadinya perceraian. Sedangkan penulis melihat bahwasanya perbedaan sifat dan prilaku isteri yang dijadikan alasan untuk menguatkan argumen suami dalam meloloskan permohonannya tidak mendasar. Karena manusia memang sudah kodratnya diciptakan berbeda baik fisik maupun sifat (ruhaniah). Maka dari itu menurut hemat Penulis, Hakim mestinya tidak memberikan kesempatan pada suami untuk menceraikan isterinya dalam keadaan demikian. Karena bagaimanapun dengan adanya putusan perkara ini sudah dapat dipastikan ada pihak-pihak yang dirugikan—lebih-lebih dari pihak isteri. 2. Dalam hal ini, penyebab perbedaaan karakter suami isteri dalam keluarga yang berakibat pada perceraian adalah prilaku isteri yang tidak membolehkan suami untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari. Faktor lain, antara suami-isteri memiliki perbedaan pandangan masingmasing mengenai sifat dan prilaku dalam segala hal. Artinya baik suami ataupun
84
isteri memiliki sifat egois karena tidak ada satupun yang berusaha mencairkan keadaan dalam sebuah keluarga ketika masalah sedang mendera mereka. 3. Sedangkan yang melatarbelakangi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara adalah pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya dan pasal 19 huruf F Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Juncto pasal 116 huruf F Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa “alasan perceraian antara suami isteri yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.” Sedangkan penyebab pertengkaran tersebut karena perbedaan karakter suami isteri.
B. SARAN-SARAN
1. Perlunya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait kepada masyarakat baik melalui media cetak atau elektronik berupa ceramah-ceramah keagamaan, Khatib jum’at, seminar-seminar dan lain sebagainya dengan menekankan bahwa pada dasarnya tujuan perkawinan bukanlah hanya untuk sekedar pemenuhan nafsu biologis dan tujuan sesaat semata namun juga bernilai ibadah kepada Allah SWT. 2. Menekankan kepada masyarakat pengetahuan tentang perceraian. Bahwa perceraian adalah hal yang dibenci Allah SWT dan sebagai solusi terakhir apabila
85
tidak ada lagi jalan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. 3. Perlunya penekanan pembelajaran tentang akhlak sedini mungkin, baik sejak duduk bangku Sekolah Dasar (SD), SLTP maupun jenjang SMA. Agar sedini mungkin muslim Indonesia memahami adanya perbedaan dan persamaan diantara manusia (khususnya suami-isteri) baik yang berupa sifat maupun prilaku.
86
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006. Abdurrahman, Asjmuni, Qaidah-qaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama, 2006. Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006 Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani,1999. Al-Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003) Al-Kahalani, Sayyid Muhammad Ibn Ismail dan San’ani. Subulus Salam, Surabaya, Al-Hidayah, Juz 3. Al-Sijistani Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar al-‘Alam, 2003. Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar alKutub al-‘Ilmiyyah, t.th, Buku 1, Juz ke-2. Al-Qaradhawi, DR. Yusuf. Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim— Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
87
Assuyuti, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi baker. al-Jaami’us Shagir, Darul Qolam, 1996. Basyir , A. Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999. Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. ____________ Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Al-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar al-‘Alam, 2003 Darajat, Zakiyah. Ilmu Fiqih, Jakarta: Depag RI, 1989 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Doi, A. Rahman I. Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, penerjemah, Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996. Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007. __________, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: QALBUN SALIM, 2005. Djamil , H. Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Dr. Wahbah. Al-Fiqhu al-Isamiy wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr. Esposito, L. John. Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(alShirat al-Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004. Kauma, Fuad. Membimbing Istri Mendampingi Suami,Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Gozaly, Rahman, Abdul, H. Drs. Fiqih Munakahat, Jakarta: PT. Kencana, 2003. Gultom, Elfrida R. Hukum Perdata, Jakarta: Literata, 2010.
88
Hejazziey. Djawahir. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007 Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam Membangun Kearifa Umat,Yogyakarta: UII Press, 1997. Muhdlor, A.Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, Bandung: al-Bayan, 1995. Mujib, M.Abdul. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Mulyati, Sri. ed. Relasi Suami Isteri dalam Islam, .Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002. Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di kalangan Orang Islam Jawa. Penerjemah. H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991. Prakoso, Djoko. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,1987. Rahman, Bakri A. Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata B/W, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981. Rahman , Fazlur. Islam penerjemah Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003. A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991 Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
89
________________. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989. Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: Paradya Paramita, 1982. Supratiknya ,ed. Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia, Jakarta: PPIM,1998. Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Winardi, J. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, Jakarta: Rajwali Pers, 2008. Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo, 1993.
Perundang-undangan dan Internet: 1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No.3 Tahun 2003 tentang perubahan UUPA 3. Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati. Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB 4. http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011 pukul 20.53 wib 5. Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html, diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB