PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
oleh : AHMAD SAUQI NIM : 106044101386
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A
1430 H/2010 M
PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh
Ahmad Sauqi NIM :106044101386 Di bawah Bimbingan
Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag NIP : 150 277 991
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al Sakhshiyyah. Jakarta, 18 Maret 2010 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 1955 0505 198203 1012 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP 1955 0505 198203 1012
( ……………… )
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. NIP 1972 0224 199803 1003
( ……………… )
3. Pebimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag. NIP 150 277 991
( ……………… )
4. Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. NIP 1972 1010 199703 1008
( ……………… )
5. Penguji II : Drs. H. Ahmad Yani, MA. NIP 1964 0412 199403 1004
( ……………… )
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, Maret 2010
Ahmad Sauqi Nim: 106044101386
KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum. Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia
sebagai
mahluk
yang
paling
sempurna.
Diantara
salah
satu
kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna penyempurnaan skripsi ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul: “PERSELISIHAN
TERUS MENERUS ANTARA
SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT)”. Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggitingginya kepada pihak-pihak berikut:
1. Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, S.H., MA.,MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan bimbingan serta arahan baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakrta. 3. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama. 4. Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,M.H. Sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif nilai, semoga Allah membalasnya. 5. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya. 6. Seluruh dosen Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Teristimewa buat Ayahanda H. Khotib Aly dan Ibunda tercinta Hj. Marwiyah serta adik-adik kandungku Syukron Hamdi dan Nur Faizah serta seluruh
keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’anya, kesabaran, jerih payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan. 8. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Wakhidun AR, SH, M. Hum beserta staf dan para hakim yang telah bersedia untuk wawancara langsung, penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya. 9. Teman-teman angkatan 2005/2006 kelas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan kita terjalin hingga rambut memutih. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Amin yaa robbal alamien. (Jaza ka Allah khaira al-Jaza) Wasallamu’alaikum. Wr. Wb. Jakarta, Maret 2010
Al-Faqir Ahmad Sauqi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................. ....................i DAFTAR ISI.....................................................................................................iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.......................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................9 D. Metode Penelitian.................................................................9 E. Tinjauan Kajian Terdahulu..................................................11 F. Sistematika Penulis...……………………………………...14
BAB II
PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK A. Pengertian dan Dasar Perceraian………………………….16 B. Jenis dan Alasan Perceraian……………………………….20 C. Akibat dan Hikmah Perceraian…………………………....29 D. Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga Anak…………....34
E. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum Islam……………………………………………....38 F. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum Positif......................................................................42 BAB III
ANALISA PUTUSAN TENTANG CERAI GUGAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur..............................46 B. Kronologis Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT................................60 C. Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Kasus Perceraian di Pengadilan
Agama
Jakarta
Timur
Nomor
1164/Pdt.G/2008/PA.JT.................................,.....................62 D. Analisa Penulis.....................................................................70 BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................76 B. Saran....................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................80 LAMPIRAN.....................................................................................................84 1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 2. Hasil Wawancara Dengan Hakim
3. Surat Bukti Wawancara 4. Laporan Perkara Tahunan 2008 Pengadilan Agama Jakarta Timur 5. Putusan Nomor 1164/Pdt. G/2008/PA JT
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup berpasangpasangan adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia, maka setiap diri akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan kehidupan dimuka bumi ini. Pernikahan merupakan ikatan suci dari dua insan yang saling mencintai dan mengharapkan kebahagiaan yang kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Namun untuk mencapai cita-cita tersebut sangatlah tidak mudah, karena didalam membina sebuah keluarga yang sakinah akan banyak ujian dan rintangan yang menghalangi terwujudnya suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Agama Islam menganjurkan perkawinan, anjuran ini diungkapkan dalam berbagai macam ungkapan yang terdapat dalam 1
Direktorat pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992), pasal 2 h. 219
Al-Quran dan Hadits. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang kemudian.2 Islam sangat memperhatikan masalah keluarga bagi para penganutnya. Apabila landasan keluarga itu kuat, landasan negarapun akan kuat pula. Oleh karena itu, Islam tidak mengabaikan peranan pribadi antara anggota keluarga demi perenungan kemanusiaan saja. Islam memberi hak setiap anggota keluarga sesuai dengan kehidupannya, kemudian mengajukannya untuk mengemban tanggung jawab dengan penuh ketaqwaan. Untuk memelihara kedamaian dan ketertiban dalam kehidupan keluarga muslim, Allah telah menerangkan dalam surat An-nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa kaum lelaki adalah pelindung dan pemelihara kaum perempuan. Kedudukan sebagai pelindung dan pemelihara diberikan kepada kaum lelaki atas kaum perempuan, karena secara umum mereka memiliki kekuatan fisik lebih besar daripada kaum perempuan untuk bekerja keras. Kaum lelaki juga dinobatkan sebagai pemimpin. Adanya seorang pemimpin akan berpengaruh dalam menata anggota keluarga. Inilah sebabnya anggota keluarga yang lain terutama istri dituntut untuk menaati suaminya, maka Allah menjelaskan ketaatan istri sebagai hal yang paling pantas.
2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), Cet, ke-3, h.9.
Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan pada kenyataan, bahwa memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami isteri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Bahkan banyak di dalam hal kasih sayang dan kehidupan harmonis antara suami isteri itu tidak dapat diwujudkan. Keluarga bisa berarti “bathin” yaitu ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti “kaum” yaitu sanak saudara serta kaum kerabat. Yang di maksud dengan keluarga di sini adalah “Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan isteri, atau suami-isteri dan anak-anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya”.3 Asal-usul keluarga terbentuk dari peristiwa pernikahan yang kemudian melahirkan keturunan. Melalui sebuah lembaga pernikahan, seseorang laki-laki dan seorang perempuan mengikatkan diri lahir dan bathin untuk hidup bersama membentuk keluarga sebagai suami isteri dengan tujuan “membangun kehidupan yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang”, yang sering diistilahkan dengan sakinah mawaddah waa rahmah. Keterampilan mengelola sebuah keluarga agar mencapai kehidupan yang sakinah membutuhkan pengetahuan manajemen keluarga, juga memerlukan pengetahuan lain yang berkaitan dengan keluarga, diantaranya: sosiologi 3
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung),hal 4.
keluarga. Yang dimaksud dengan sosiologi keluarga adalah “suatu ilmu yang menjelaskan hubungan dan pengaruh timbal balik antara anggota keluarga dan antara keluarga dengan struktur sosial, proses sosial dan perubahan sosial”.4 Pola hubungan anak dan orang tua dalam sebuah keluarga sangat ditentukan oleh dua hal. Pertama, bagaimana orang tua memposisikan anaknya. Kedua, bagaimana status orang tua di tengah-tengah masyarakat.5 Mendudukan posisi anak “apakah anak itu sesungguhnya milik orang tua” ataukah “milik dirinya sendiri” akan sangat mempengaruhi relasi orang tua terhadap anak itu. Jika anak dianggap milik orang tua, maka orang tua akan berusaha sekuat tenaga mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap prilaku dan pikiran anak sesuai dengan keinginan orang tua. Dalam banyak hal, orang tua akan bersikap diktator dan anak tidak punya kesempatan untuk mengembangkan pilihannya sendiri. Sedangkan jika anak diposisikan sebagai milik diri anak itu sendiri, maka orang tua akan berusaha sekuat tenaga mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap prilaku dan pikiran anak sesuai dengan kemampuan, keuntungan dan dampaknya bagi anak. Anak memiliki
banyak
kesempatan
melakukan
pilihan-pilihan
berdasarkan
keinginannya sendiri. Dalam banyak hal, orang tua dan anak akan melakukan proses tawar menawar. Terkadang anak yang harus mengalah mengikuti harapan 4
5
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45-53
A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan manajemen Keluarga, (Jakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006) h. 178
orang tua, dan terkadang lagi orang tua yang harus mengalah mengikuti keinginan anak. 6 Adapun pengertian konsep keluarga bahagia adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial tanpa adanya turut campur dari orang lain. Keluarga tak bahagia sebaliknya bilamana ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan, dan keberadaan dirinya terganggu atau terhambat.7 Rumah tangga adalah amanah bersama yang seharusnya dijadikan sebagai awal ketika menempatkan masalah rumah tangga sebagai sentral pembinaan bersama di dalamnya. Apabila terjadi suatu problematika kehidupan dalam rumah tangga, hal ini dikarenakan masing-masing pihak di antara mereka tidak bisa memenuhi amanah tersebut. Karena itu, upaya-upaya dalam menanggulangi segala permasalahan dalam sebuah keluarga sangat penting sekali baik sebelum dilaksanakannya pernikahan maupun setelah terjadinya masalah-masalah dalam rumah tangga.8
6
Ibid., h. 179
7
Ibid., h. 180
Islam memberikan jalan keluar ketika suami isteri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti ketidakcocokan pandangan hidup dan perselisihan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka diberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq (perceraian). Agama islam membolehkan suami isteri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu walaupun dibenci oleh Allah SWT. Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami isteri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan isteri, perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut cerai gugat.9 Salah satu masalah sosial yang datangnya dari keluarga adalah terjadinya campur tangan orang tua yang mengakibatkan tidak harmonisnya relasi antara orang tua dan anak. Fenomena tersebut sangatlah memprihatinkan karena rumah tangga yang diawali dengan suatu ikatan dan ikrar suci, saling percaya dan menyayangi hancur dengan hilangnya kepercayaan dan tidak adanya keselarasan. Turut campur orang tua dalam rumah tangga anak memang sering terjadi dalam kehidupan, karena orang tua tersebut merasa menjadi orang tua dari anak 8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) Cet. Ke-2 H. 102 9
Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), H. 509
tersebut sehingga ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Ada pula bahkan yang mengatur kehidupan anaknya sehingga anaknya tertekan. Problem inilah yang menjadi masalah, batasan dari orang tua mencampuri urusan dari rumah tangga anaknya. Karena tidak semua dengan turut campurnya orang tua dalam keluarga anak bisa membuat harmonis dalam keluarga anak tersebut. Dalam kasus yang berada pada pengadilan agama Jakarta Timur yaitu bahwasannya rumah tangga penggugat dengan tergugat selalu dicampuri urusannya oleh orang tua tergugat dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya dari pada isterinya, sehingga sebuah keluarga tidak berjalan dengan baik karena adanya intervensi dari keluarga tergugat yang kemudian menyebabkan perceraian. Melihat dari pembahasan diatas, penulis tergugah untuk menulis tentang perkara turut campur orang tua yang mengakibatkan perceraian karena campur tangan orang tua dalam keluarga anak bisa menyebabkan hingga perceraian. Problem inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan studi penelitian, dan pada skripsi ini penulis mengangkat judul “TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT). Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit keterangan mengenai perceraian dengan alasan karena adanya turut campur dari orang tua.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan untuk mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi masalah tentang kewenangan orang tua terhadap keluarga anak dan mengetahui apa yang menjadi alasan hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT. 2. Perumusan Masalah Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama yaitu menjaga keutuhan rumah tangga agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah waa rahmah yang tidak adanya intervensi atau turut campur dari orang lain. Akan tetapi, terkadang orang tua sering kali mencampuri urusan rumah tangga anaknya dikarenakan masih merasa menjadi orang tua dari anaknya tersebut. Padahal, seseorang yang sudah menikah artinya anak itu sudah dianggap dewasa dan bisa menjalankan kehidupan keluarganya tanpa harus adanya turut campur orang tua dalam
menjalankan kehidupan keluarganya. Maka yang menjadi rumusan pada penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: a. Apakah turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum positif. b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara tersebut. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum positif. 2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara cerai gugat dengan alasan turut campur orang tua. Sedangkan manfaat dan signifikansi penelitian ini adalah: 1. Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan dan manfaat bagi khazanah keilmuan bidang hukum, baik hukum perdata positif maupun hukum perdata Islam. 2. Menambah perbendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum Islam khususnya dibidang Peradilan Agama. 3. Bagi pihak suami atau istri hendaknya selalu menjaga dan memelihara keutuhan dan keharmonisan rumah tangga, dari berbagai masalah yang sewaktu-waktu bisa datang tanpa disadari.
D. Metode Penelitian Untuk
mengumpulkan
data
dalam
penulisan
skripsi
ini,
penulis
menggunakan metode sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif yang bersifat pendekatan survey. 2. Sumber data dan proses pengumpulan data a. Data primer Data primer berbentuk putusan yang didapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur, serta melakukan wawancara dengan hakim yang memutuskan perkara tersebut. b. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara turut campur orang tua sebagai alasan perceraian dan dikumpulkan permasalah dan diklasifikasikan berdasarkan klasisifikasi masalah. 3. Alat pengumpul data Alat pengumpul data yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain. 4. Analisa data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisis yaitu menganalisis isi (conten analisa) dengan mendeskripsikan putusan perceraian akibat campur tangan orang tua dan menghubungkan dengan hasil wawancara, analisa yurisprudensi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian para hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian yang dikarenakan adanya campur tangan orang tua. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. E. Tinjauan Kajian Terdahulu Untuk menentukan arah pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi. No
1.
Nama/ Substansi Perbedaan NIM/Judul/Pro di/Kon/Fak/Tah un Herdianto 1. Menjelaskan 1. Munculnya orang penyebab dan faktorketiga bukan dari 103044121030 Perceraian Karena faktor apa saja yang luar akan tetapi Perselingkuh menyebabkan adanya datang dari keluarga (Studi Kasus di orang ketiga atau atau orang tua. Pengadilan perselingkuhan. Agama Jakarta 2. Untuk mengetahui Timur) penyelesaian kasus
Ahwal AlSyakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah & Hukum 2007
cerai gugat karena orang ketiga atau perselingkuhan.
2.
1. Menjelaskan faktor- 1. Menjelaskan faktorM. Lutfi faktor penyebab faktor penyebab 103044128035 orang tua turut perceraian pada Penyebab Perceraian campur yang Pada Pasangan pasangan dini. mengakibatkan Dini (Studi kasus 2. Perselisihan yang perceraian. sering dihadapi pada Pengadilan 2. Akibat dari kurang kurang siapnya Agama Jakarta pasangan untuk siapnya menjalin Selatan) menuju bahtera sebuah keluarga Ahwal Alrumah tangga juga sehingga adanya Syakhsiyyah merupakan penyebab turut campur orang Peradilan Agama tua. Universitas Islam perceraian pada pasangan dini Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah & Hukum 2007
3.
Eva Muslimah 1. Menjelaskan 1. Untuk mengetahui 104044201463 penyebab dan faktorturut campur orang Intervensi Orang faktor apa saja yang tua terhadap anak Tua Sebagai menyebabkan adanya dibenarkan menurut Faktor Pemicu intervensi orang tua hukum Islam dan Perceraia(Studi yang menjadi pemicu hukum positif. analisis putusan perceraian. 2. Kedudukan orang Pengadilan tua dalam keluarga Agama Jakarta anak. Barat) Ahwal Al-
Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah & Hukum 2009 4.
Surya Parma Batu 1. Menjelaskan faktorBara faktor perceraian yang diakibatkan 10404414445 Faktor Ekonomi karena ekonomi. Sebagai Alasan 2. Adanya pihak ketiga dalam penyelesaian Perceraian yaitu orang tua yang Ahwal Almembantu keluarga Syakhsiyyah anaknya Peradilan Agama Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah & Hukum 2008
1. Menjelaskan faktorfaktor penyebab orang tua turut campur yang mengakibatkan perceraian. 2. Akibat dari kurang siapnya menjalin sebuah keluarga sehingga adanya turut campur orang tua.
5.
Shonifah Albani 1. Perceraian yang 1. Perceraian yang di 102044125066 diakibatkan oleh akibatkan karena Perceraian Akibat orang ketiga, adanya turut campur Poligami (Studi sehingga terjadi atau orang tua. kasus Pengadilan adanya perceraian. Agama Jakarta 2. Orang ketiga tersebut Selatan) bukanlah dari pihak Ahwal Alkeluarga atau dengan Syakhsiyyah kata lain adalah orang Peradilan Agama lain. Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah &
Hukum 2006 6.
Hilmia 1. Perceraian yang 1. Perceraian yang di Perceraian Karena dikarenakan suami akibatkan karena Alasan Murtad murtad, sehingga adanya turut campur Ahwal Alterjadi atau adanya orang tua. perceraian. Syakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah & Hukum 2007
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini. Penulis menyusunnya secara sistematik. Adapun setiap babnya terdiri dari: Bab I
Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II
Perceraian, Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi pengertian dan dasar perceraian, hukum, jenis dan alasan perceraian, akibat dan hikmah perceraian, kedudukan orang tua dalam keluarga anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Islam dan positif.
Bab III Analisa kasus cerai gugat turut campur orang tua sebagai alasan perceraian di pengadilan agama Jakarta timur. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi profil pengadilan agama Jakarta Timur, duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, analisis penulis. Bab IV Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas, dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari peneliti atas permasalahan yang di teliti sehingga upaya mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan dan diharapkan akan bermanfaat untuk kalangan akademis umumnya dan penulis pada khususnya.
BAB II PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK A. Pengertian dan Dasar Perceraian 1. Pengertian perceraian
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh setiap umat Islam yang hendak menikah dari awal pernikahan hingga ajal menjemput, karena di dalam perkawinan itulah kita bisa menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara keluarga kita dengan baik, tetapi apabila semua itu tidak tercapai maka tidak sedikit pasangan suami istri mengakhiri bahtera rumah tangganya melalui jalan perceraian. Talak diambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara' talak yaitu : 10
ِ َ َِّّ ُ رَِِْ ا وَاجِ وَاَِْ ءُ اََْ َِ ا وْج
Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid Dua, (Darul Fattah, t.th ), h 278.
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.11 Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.12 Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian adalah menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan tersebut maka tidak lagi halal bagi suami atas istrinya. Tetapi dari pengertian di atas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan perceraian bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, tetapi hal ini berbeda jika kita melihat di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian dapat dilangsungkan hanya pada pengadilan agama. Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan melakukan perceraian di luar pengadilan agama maka perceraiannya itu tidak sah demi hukum atau batal demi hukum.
2. Dasar perceraian 11
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37, h 549. 12
h 141.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Akademika Persindo, Jakarta, 1992)
Memang tidak terdapat dalam al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila thalaq terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita lihat dari beberapa ayat al-Qur'an atau Hadis, seperti: a) Al-Baqarah Ayat 232
!"#$
( !)#*+, %&'
- 565#7859 3⌧, - ./)#012 - ./01?!@2 ( ;<=*> :2 (٢٣٢ : )أةABAC ……. Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.(Q.S. Al-Baqarah Ayat 232)
b) At-Thalaq Ayat 1
IJKL= DEFGH"*> %&'
MO!"#$ QREB-G5 - 567E#P, U )Y-G5!
U VWX2 U [\7+]^_ Z U 7L9 c b QR561B!>ab 3` FRX1!>e 3` - /9d^ hD*i;⌧j^ *fg9,H*> :2 ` ..G) 0h,#9 m hD=&k*hlb 0.G) -G05*n*> *b m
3` m o%!j*p (\)#. XG,
.sG!*e Z Lr05 q_XG9
uC
t!b2
0h?
0G5*^
(١ : )ا ق
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S. At-Thalaq: 1) c) Hadits Nabi Muhammad SAW
ِ ٍ ُّ !"# ّ$ %&'"! آ(ُ ٍ ا# ِ* ربِ دِ!رٍ ا%&ِ.ﺹ0ِْ ا0ا*ِ ا :567 و96 * ا:6ل ا* ﺹ07 <ل ر:2 *& ا3َ ر 13 (9? ا$ِ اَ" َقُ )روا9َ6َ ا:ِأَ ْ>َ=ُ ا َْ َ لِ ا Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Uba’id al- Himsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidillah bin Walid al-Dzashofi dari Muharib bin Itsar dari Abdullah bin Umar RA.: telah berkata Rasulullah Saw. : Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak atau perceraian (HR.Ibnu Majah)”. Dalam perundang-undangan Indonesia mengenai perceraian ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pada pasal 38-41. Pada pasal 38 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : “perkawinan dapat
13
Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon, Daar alFikr,1994, h. 633.
putus karena: a. Kematian; b. perceraian; c. atas keputusan pengadilan”. Hal ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 113. Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian sehingga proses penyelesaiannya pun berbeda.14 Maksud dari hal ini perceraian dapat terjadi akibat talak yang dilakukan oleh suami kepada istri seperti halnya talak yang dijelaskan oleh hukum Islam, dan perceraian dapat terjadi akibat gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri terhadap suami. Namun hal ini harus dilakukan didepan pengadilan seperti dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.15 B. Jenis dan Alasan Perceraian 1. Jenis Perceraian a. Cerai Talak
14
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-4, h. 206. 15
Kompilasi Hukum Islam. Departemen Agama RI, 1996. h. 38.
Cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.16 b. Cerai Gugat Dalam sebuah perkawinan, keputusan untuk bercerai tidak hanya tergantung pada seorang suami, isteri juga bisa mengajukan gugatan perceraian apabila sudah tidak merasa cocok lagi dan tidak tahan oleh tingkah laku suaminya. Dalam Islam, gugat cerai biasa disebut khulu’. Khulu’ berasal dari lafadz kha-la-‘a yang secara bahasa berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Pengertian ini dihubungkan dengan perkawinan karena Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman:
[\Op2 [\
16
Ibid., h. 60.
isteri menebus dirinya agar dibebaskan dari ikatan perkawinan dengan cara mengembalikan mas kawin yang telah mereka sepakati sebelumnya. 17
Definisi lain dari khulu’ secara bahasa berarti tebusan dan menurut istilah adalah talak yang diucapkan oleh isteri dengan mengembalikan mahar yang penah dibayarkan suami. 18 Sebagian Ulama mendefinisikan Khulu’ secara harfiah adalah “lepas” atau “copot” tetapi secara istilah Khulu’ diartikan “perceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafadz talak atau khulu”.19 2. Alasan perceraian Alasan perceraian adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Di dalam menjalankan kehidupan perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rohmah. Namun terkadang dalam perjalanannya sebuah perkawinan ada yang tidak mencapai tujuan
17
Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dan Ali Asy-Syarbaji, kitab fiqh madzhab syafie, jilid ke 4 (Kuala Lumpur: Prospecta Printers SDN BHD, 2005) 18
Syaikh Hasan Ayub, fikih keluarga,penerjemah M. Abd.Ghofar,E.M (Pustaka AlKautsar,2006) cet ke-5. hlm. 305. 19
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media,2003) edisi ke1. hlm. 131.
tersebut, maka terajadi putusnya perkawinan yakni melalui jalan perceraian. Dalam sebuah perceraian harus ada alasan kuat yang melatar belakangi terjadinya perceraian ini. Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus/terputusnya perkawinan. 20 a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan,
dan
hal-hal
yang
dapat
menggangu
keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini Al-Qur’an memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi perceraian. Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri melakukan nusyuz, surat an-Nisa’ ayat 34:
|)9* F{b?y xy0 Bz
3r~8, 0☺^ %&'
K5*^ m|)9* ./385*^
X b U 7⌧jp2 0☺^ m [\/?!b2 *n=y 70#W , 0☺^ #!d*,#
7j0 JZ m ⌧j0 QR560@7i5 *:5, >b - 5676 QR56V75,
20
269-274.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-2, h.
R;1 380☺!
|f :, U - 56^X U [h9 3⌧, [\7+=5$2 Z L: < ⌧d+0 - E[)#* BC =+3 `#* F{y⌧c
(٣٤ : ءC )ا
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri mereka dari tempat tidur mereka ,dan pukulah mereka. kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Q.S. an-Nisa’ : 34). Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif dan positifnya (al-Tarhib wa al-Targib), dari tindakannya itu, terlebih apabila sampai terjadi perceraian, dan yang terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya. 2) Apabila usaha pertama berupa pemberian nasihat tidak berhasil, langkah kedua adalah memisahkan istri dari tempat tidur suami, meski masih dalam satu rumah.
3) Apabila langkah kedua tersebut tidak juga dapat mengubah pendirian istri untuk nusyuz, maka langkah ketiganya adalah memberi
pelajaran,
atau
dalam
bahasa
Al-Qur’an
memukulnya. Para mufasir menafsirkan dengan memukul yang tidak melukai atau yang lebih tepat mendidiknya. b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi dapat juga nusyuz yang datang dari suami. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri. Dalam surat an-Nisa’ ayat 128 dinyatakan:
c b X,y Y2(I[ C: 2
@7ip 0/#5*^ 00 Y'1 3⌧, =u kX 0#W> :2 0☺E[)#* m ☯,#. 0☺z=k*^ < [0( .⌧,#IW ☯7jpO
\;Xa2 U =;59 : m -⌧|i
F{y⌧c Z Q{, U 7]n9
=+0( F{5#0☺59 0☺^ ( : ءC )اuAC
Artinya: “Dan jika seseorang khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. an-Nisa’ : 128). Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terdapat keterangan bahwa jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara istri merelakan haknya dikurangi untuk sementara agar suaminya bersedia kembali kepada istrinya dengan baik. c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri
Jika dua kemungkinan diatas menggambarkan salah satu pihak nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena keduan-duanya terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar. Dalam hal ini Al-Qur’an memberi petunjuk:
Z O!j;( : U 505[^ , ECk*^ 2 62 X &b ☺<0 0/#62 X &b ☺<0 ☯)#X 0G>B> : 0☺E!*^ C
,> ☺#* *:y⌧c Z L: < ( : ءC )اBC =h0(
Artinya: “Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscayaAllah memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa’ : 35). Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat mengadakan
perdamaian
dan
perbaikan
untuk
menyelesaikan
persengketaan antara kedua belah pihak suami dan istri. Apabila karena sesuatu hal hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya. d. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina.
Hal ini juga disebut dengan fakhisyah, hal ini menimbulkan saling tuduh
menuduh
antara
keduanya.
Cara
penyelesaiannya
adalah
membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Li’an sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubra”. Dalam hukum Islam perceraian dapat disebabkan oleh alasan-alasan sebagai berikut:21 a. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan tujuan dan hikmah dari perkawinan.
21
89.
Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h.
b. Karena salah satu pihak berpindah agama (murtad). c. Salah satu pihak melakukan perbuatan keji yang dilarang agama. d. Istri meminta cerai kepada suami dengan alasan suami tidak berapologi dengan alasan yang dicari-cari dan menyusahkan istri. e. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak istri. f.
Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad pernikahan (taklik talak).
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, alasan-alasan perceraian itu adalah: a. Suami tidak dapat memberi nafkah. b. Suami berbuat aniaya terhadap istri. c. Suami ghaib (berjauhan). d. Suami di hukum penjara.
Di dalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerangkan dan menjelaskan bahwa alasan-alasan perceraian sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan
isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan hal yang sama tentang alasan-alasan perceraian akan tetapi di dalam kompilasi hukum Islam ada tambahan dua point dalam penyempurnaannya yaitu: a. Suami melanggar taklik-talak. b. Peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. C. Akibat dan Hikmah Perceraian 1. Akibat Perceraian Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu : 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197422 Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. 2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)23 Pasal 149 Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
22
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h 549.
23
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, 1996, h 149.
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al-Dukhul. b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila Qobla al-Dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah.
Pasal 151 Bekas isteri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz. pasal 156
a. anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali
bila
ibunya
telah
meninggal
dunia,
maka
kedudukannya diganti oleh: 1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah; 3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang besangkutan; 5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. b. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. c. Apabila pemegang
hadhanah ternyata tidak
dapat
menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anakanak yang tidak turut padanya. 24 2. Hikmah Perceraian Dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga pada permasalahan perceraian akan ada hikmah yang akan kita dapatkan baik bagi sang suami atau sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal tetapi hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau isteri bahkan kepada sang anak itu sendiri.25
24
Ibid., h. 74-75.
Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Selain hal itu, hikmah adanya perceraian akan menambahkan kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang ataupun sedih. Karena semua ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami dapat kita ambil hikmah atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah SWT.
D. Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga Anak Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu bapak dan ibu.26 Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini juga yang mengasuh dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik
25 Amir Syarifudin
, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), h. 109-200. 26
Abdul Mustakim, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an, (Artikel Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006), hal. 149-150.
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Sedangkan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.27 Semua agama menempatkan kedudukan orang tua pada tempat terhormat. Hal ini sungguh pada tempatnya, karena tiada seorang pun yang nuraninya bisa mengingkari pengorbanan dan jasa tanpa batas dari orang tua mereka. Selama sembilan bulan ibu menjaga dan memberikan darahnya sendiri demi anak yang dikandung. Pada saat melahirkan betapa seorang ibu amat menderita. Ia tidak mempedulikan hidupnya sendiri. Harapan satu-satunya hanyalah: "Semoga anakku lahir dengan selamat".28 Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu
27
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung),
28
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45-
hal. 4.
53.
anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk dewasa.29 Di dalam al-Qur’an anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang berarti anak yang dilahirkan orang tuanya laki-laki maupun perempuan, besar atau kecil, tunggal atau banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat disebut al-Walad atau al-Mawlud, tetapi disebut al-Janin yang berarti al-Mastur (tertutup) dan al-Khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu. 30 Dalam masyarakat ditemui banyak sekali bentuk keluarga, antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dan terkadang tidak memiliki bentuk keluarga yang sama. Bentuk-bentuk keluarga tersebut dapat dibedakan dari dua hal, yaitu: 31 1. Keluarga Bathin (Nuclear Family), yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan suami isteri bersama anak-anaknya yang belum menikah. Bentuk keluarga yang seperti ini tidak memiliki ketergantungan terhadap unit keluarga lainnya. Hanya saja, dalam kegiatan yang sifatnya kolektif, keluarga ini masih relatif mementingkan kebersamaan walau hanya bersifat pilihan bukan kewajiban. Hubungan antara suami dan isteri lebih penting dari pada hubungan dengan sanak saudara lainnya. Sehingga membentuk 29
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hal. 30-31. 30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004), hal. 614. 31
A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan maanajemen Kekeluargaan, h. 8-13.
keluarga yang mandiri, lebih bertanggung jawab, lebih bebas menentukan pilihan dan terhindar dari konflik lebih jauh antara keluarga besar. 2. Keluarga Luas (Extended Family), yaitu sebuah keluaga yang terdiri dari keluarga bathin ditambah semua orang yang memiliki hubungan keturunan dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan tinggal dalam satu atap rumah. Bentuk kekeluargaan luas biasanyanya adanya konflik antara anggota keluarga akan sering terjadi dan arus hubungan kekeluargaan lebih banyak ditentukan oleh satu orang saja, yaitu orang yang memiliki kelebihan dan pengaruh, biasanya oleh orang yang lebih tua. Pada hakekatnya kedudukan orang tua sangatlah penting bagi anak, karena orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkan anak. Sesuai dengan pasal 46 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan seorang anak hendaklah wajib menghormati orang tuanya dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik dari orang tuanya, dan jika anak sudah dewasa mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya. Walaupun hubungan orang tua dan anak perlu mendapatkan perhatian khusus karena antara orang tua dan anak adanya ikatan biologis, artinya relasi ini secara alamiah atau natural yang mempersatukan mereka, yang terpenting dalam hubungan antara orang tua dan anak ini adalah kewajiban orang tua dalam memberikan nafkah selama anak ini belum dewasa orang tua wajib memberi
nafkah dan penghidupan kepada anak itu. Artinya ketika anak sudah berkeluarga, orang tua sudah tidak wajib lagi dalam memberikan nafkah dan penghidupan kepada anaknya, karena seorang anak yang sudah berkeluarga sudah dikatakan dewasa, dan seorang anak yang sudah berkeluarga apabila seorang isteri menjadi tanggungan suaminya. Tentunya kewajiban anak itu sendiri sebenarnya tidak hilang ketika seorang anak ini sudah dewasa dan mempunyai keluarga sendiri, namun kedudukan orang tua terhadap anak yang berubah. Karena ketika anak sudah berkeluarga mereka sudah mempunyai kewajiban terhadap keluarganya sendiri. Oleh karena itu kedudukan orang tua terhadap anak yang sudah mempunyai keluarga hanyalah sebatas antara hubungan timbal balik antara orang tua dan anak, atau orang tua hanya sebatas sebagai penasihat dan menjadi pembimbing dalam keluarga anaknya jika memang dibutuhkan. E. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Islam Islam selain mengatur hubungan suami isteri juga mengatur hubungan timbal balik yang harmonis antara orang tua dan anaknya. Keterkaitan yang erat dalam aturan Islam ini memugkinkan perkembangan yang seimbang antara generasi ke generasi.32 Mengenai kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya mencukupi kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya, baik dalam bentuk pangan, sandang
32
Ibnu Mushtafa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 2,(Penerbit : al-Bayan Bandung) 1993 cet 1, h. 112.
perumahan dan kesehatan. Kemudian mendidik anak-anaknya adalah sangat penting karena posisi keduanya sangat menentukan bagi kehidupan anakanaknya, selain itu kewajiban orang tua adalah mendidik anaknya agar berakhlak baik.33 Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis nasab berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Yaitu: 34 1. Hak nasab, dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya. 2. Hak Radla’ adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab di hadapan Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun, baik masih dalam tali perkawinan dengan ayah bayi atau pun sudah bercerai. 3. Hak Hadhanah adalah tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayi atau anak yang masih kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. 4. Hak Walâyah disamping bermakna hak perwalian dalam pernikahan juga berarti pemeliharaan diri anak setelah berakhir periode hadhanah sampai
33
34
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (PT: Bina Ilmu, Surabaya) 1995, cet. 1 h. 212.
Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 7-19.
dewasa dan berakal atau sampai menikah dan perwalian terhadap harta anak. 5. Hak Nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan di atas yang didasarkan pada hubungan nasab. Seorang anak meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga. Karena jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah SWT adalah melalui orang tua yaitu dengan “Birrul Walidain”. Sebagaimana yang tersirat dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 23:
U j.Gh59 ~`2 0hl^_ mJ%Jy ) ]> ` Cf!* ?! ^ - *5#[h*> Lb m =%X 0;+!
⌧ 0G' 3⌧, 0☺563⌧c 2 0☺56.G*)2 3` h¤ a2 0☺¡¢£ r79 0☺./Z r5y 0☺56[DE9 ABC ☺>B3 =`[y
(٢٣: )ءارسالا
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekalikali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S. al-Israa’: 23). Mengenai ayat al-Qur-an di atas, bahwa adalah benar seorang anak itu harus berbakti dan menghormati orang tuanya walaupun anak itu sudah berkeluarga,
akan tetapi orang tua pun harus mengerti ketika anaknya sudah berkeluarga. Artinya anaknya itu mempunyai kewajiban yang lain selain kewajiban kepada orang tuanya, yaitu kewajiban kepada keluarganya. Selain itu memang benar bahwa anak itu harus selalu berbakti kepada orang tuanya dan selalu menghormatinya, namun berbakti dan menghormati disini bukan berarti harus selalu mematuhi perintah orang tua, apalagi ketika anak tersebut sudah berkeluarga. Jadi, selama perintah kedua orang tua tidak mengandung kezhaliman, maka anak harus menaatinya karena ridha orang tua adalah pintu surga. Sebagaimana dalam Hadis disebutkan:
" وَاِن،ً اَْأَة:ِ "إِن:َََل. ُ$َFُ أن" رَ?ُ ًأ9ْ َ ُ*I َ:ِ3َ ا"رْدَاءِر:ِوََْ أ 567ِ و9ْ6َ 96ّ ا:"6َِ ﺹ9ّ6لَ ا0ُ7َُ رPْQَِ7:َََل..َ2ِ<َ َِ :ُُِْﻥMَF :Nُأ ََ اَْبZَِِ\ْ ذ3َMَ. َْWِX ِْنYَ. ،ِT" َUََْابِ ا0ُْ أVَ7َْاُِأَو0"أ:ُل0َُی 35
(ٌcٌََِْ ﺹCَ# ٌdَِْی#:َ وَ<َل%ِ`ِىNaُ ا$)رَوَا
."ُ9ْ]َ^ْ#أَوِا
Artinya: Abu Darda’ ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata, ‘Aku memiliki seorang istri dan ibuku menyuruhku agar menceraikannya.’” Abu Darda’ menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang tua adalah pintu surga yang paling baik. Jika kamu mau, buanglah pintu itu atau peliharalah.’” (H.R. Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini shahih”).
35
Muhil Dhofir dan Farid Dhofir, Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Jakarta: PT, Najahun Dinar 2006) Cet. Ke-2 Hal. 395-386
Pada hakekatnya seorang anak harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya, meskipun orang tua masih dalam keadaan musyrik mereka tetap mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya. Berbuat baik kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada fardhu kifayah, amalan-amalan sunnah, berjihad di jalan Allah SWT dan berbuat baik kepada kedua orang tua tidak berarti harus meninggalkan kewajiban terhadap istri dan anak-anaknya, kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak tetap dipenuhi walaupun kepada kedua orang tuanya harus didahulukan.36 Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam (Aimmah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad (abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan lakilaki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan ketika suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati.37 F. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Positif
36
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Darul Qolam – Jakarta, 2005) hal. 34 37
Ibid., hal. 29
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dapat kita lihat dalam Bab X menyatakan bahwa:
Pasal 45 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:38 Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk: 1) Menghormati orang tua, wali dan guru. 2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman. 3) Mencintai tanah air, bangsa dan Negara. 4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. 5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
38
hal. 11
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung),
Berkaitan dengan kewajiban anak maka orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Kewajiban tersebut merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, akan tetapi bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 26 ayat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : 1) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. 2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minantnya. Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan yaitu pemberian tempat tinggal, makanan, pakaian, perawatan jika anak tersebut sakit. Sedangkan pendidikan yang dimaksud ialah mendidik anak tersebut menjadi mahluk sosial. Bagian yang utama dari kewajiban orang tua ini adalah menyekolahkan anak-anak agar dapat hidup mandiri di kemudian hari.39 Orang tua mempunyai hak mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anaknya, orang tua dapat memerintah anak dan sebaliknya anak wajib mematuhi perintah
39
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana, Jakarta, 2004), hal. 157-163.
itu. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hakhak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.40 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyebutkan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya. Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dengan sebaikbaiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya. Seorang anak yang sudah berkeluarga artinya sudah dikatakan dewasa, dan seorang yang sudah dewasa berarti harusnya sudah bisa mengurusi keluarganya sendiri tanpa adanya turut campur orang tua, karena dengan adanya turut campur
40
Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999), hal. 39.
orang tua ke dalam keluarga anak biasanya akan terjadi ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak berjalannya hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mengenai kewajiban orang tua terhadap keluarga anak sebenarnya hanya sebatas hubungan timbal balik dan bukan mencampuri urusan keluarga anaknya, karena anak tersebut sudah dikatakan dewasa dan mempunyai keluarga sendiri.
BAB III ANALISA KASUS CERAI GUGAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur 1. Sejarah Lahirnya Peradilan Agama Jakarta Timur41 Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a. Komandan Distrik sebagai Ketua. b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota. Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan,
41
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 12 Juli 2008. h.1.
tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”.
Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW). Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa : “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka”.
Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain :42
a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur. b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat. d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat. 2. Wilayah Yurisdiksi Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah :43 a. Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat b. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan c. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor/Kodya Depok d. Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi Luas wilayah : 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa (besumber data BAPEKO TAHUN 2003). Jumlah penduduk yang beragama Islam 2.569.390 jiwa (bersumber data Depag. Tahun 2003). Kodya Jakarta Timur adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur.
42
Ibid.h. 3.
43
Ibid.h. 3.
3. Struktur Organisasi
4. Denah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur
Lantai 1
Lantai 2
Lantai 3
5. Keterangan Gedung Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur gedung lama, terletak di Jakarta Timur dengan alamat Jl. Raya Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung Timur dibangun diatas tanah negara milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 M2, luas bangunan 360 M2, terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 di bawah APBN Depag RI, dengan keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang relatif padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah dengan pegawai honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 1997/1998, melalui anggaran APBN/ABBD DKI Jakarta Pemerintah telah membangun tambahan gedung 1 lantai di lokasi yang sama seluas 360 m2, sehingga sekarang ini menjadi 2 lantai dan 14 ruangan. Gedung Baru Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa Dua Wetan alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 kode pos 13750 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan Dana Pemda DKI Jakarta. Gedung baru kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 70 orang PNS,
ditambah dengan pegawai honorer 13 orang, pada tanggal 1 Maret 2004 seluruh karyawan/i dan membleir pindah ke kantor tersebut sampai dengan sekarang. 44
6. Peta Lokasi
44
Ibid.h. 4.
7. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.
Nama
Golongan
Pendidikan
Tahun
Terkah
Terakhi
Menduduki
ir
r
Jabatan
1.
KH. Moh. Ali
II/d
Pesantren
1962-1970
2.
KH. Irsyat
III/a
S1 IAIN
1970-1980
3.
Drs. Asmu’i Lubis
III/b
S1 IAIN
1980-1983
Kasim
4.
Drs. H. Supangat
III/d
S1 IAIN
1983-1989
5.
Drs. H. Muhail
III/d
S1 IAIN
1989-1992
S1 IAIN
1992-1994
6.
Drs. H. Abd. Manan CL, SH
IV/a
H. Abdullah, SH
IV/a
7.
8.
Drs. H. Sudirman, M. SH
S1 UIA S1 UID
1994-1996
SI IAIN IV/b
1996-1999 SI UIA S1 IAIN
9.
Drs. Hasan Bisri, SH, MH
IV/b
S1 UMY
1999-2001
S1 UII
10.
11.
12.
13.
Drs. H. Sayed Usman, SH
H. Helmy Bakri, SH Drs. H Ruslan Harunar Rasyid, SH. MH Drs. H Sarif Usman, SH. MH
S1 IAIN IV/a
2001-2004 S1 UIC
IV/c
S1 UII
2004 - 2004
IV/c
SL. IAIN
2004-2006
IV/c
SL.IAIN
2006-2008
14.
Drs. H. Wakhidun AR, SH, M. Hum
IV/c
S2. STIH Iblam
2008-sekarang
8. Daftar Nama Pengawai Kesekretariatan/Administrasi Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.
Nama
Golongan
Pendidikan
Terkah
Terakhi
ir
r
1.
Hj. Siti Waingah, S.Pd.I
IV/a
S.Pd.I
2.
Alfiah Yuliastuti, SH
III/b
SH
S1 UIJ 3.
Rohimah, SH. MH
III/b S2 UIJ
Keterangan
Wakil Sekretaris Kasubbag. Kepegawaian
Kasubbag Keuangan
4.
Muhammad Zuhri
III/b
SLA
Kasubbag Umum
5.
Susilowati, SH
III/a
SH
Staf Kepegawaian
6.
Hamim Naf’an, SHI
III/a
S1 UIJ
StafKepegawaian
7.
Rd. Yadi Sumadi, W
II/a
SLA
Staf Umum
8.
Muhammad Arsyi
II/a
SLA
Staf Umum
9.
10.
Sanjaya
Langgeng
Santoso Sri Komalasari
II/a
SLA
Bendahara
II/a
SLA
Pem Daftar Gaji
D3. 11.
R. Desy Puspasari
II/c
Sekretar
Staf Umum
is
9. Daftar Nama Pengawai Teknis Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
Drs. H. Wakhidun AR, SH, M.Hum Drs. H. Muh. Abduh Sulaeman, SH, MH Hj. Munifah Djam’an, SH Dra. Hj. Saniyah KH
Drs. Abu semen Bastoni, SH
Golongan
Pendidikan
Terkah
Terakhi
ir
r
IV/c
S2 STIH Iblam
Keterangan
Ketua/Hakim
Wakil Ketua/Hakim
IV/c
S2 UMI
IV/b
S1 IAIN
Hakim
IV/b
S1 IAIN
Hakim
S1 IAIN IV/c
Hakim S1 Hukum
6.
Drs. H Fauzi M Nawawi
IV/b
S1 IAIN
Hakim
S1 IAIN 7.
Dra. Nurroh Sunnah, SH
IV/b
Hakim S1 UIM
8.
9.
10.
Hj. Yustimar, SH
Drs.HM. Fadjri Rivai, SH.MH
Hj. Nani Setyawati, SH
IV/b
S1 UID
Hakim
S1 IAIN IV/b
Hakim S2 Hukum
IV/a
S1 Untar
Hakim
10. Daftar Nama Tenaga Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.
Nama
Golongan
Pendidikan
Terkah
Terakhi
ir
r
Keterangan
1.
Drs. H. Syaiful Anwar
IV/b
S1 IAIN
Panitera /Sekretaris
2.
H. Syamsuri, Agus, SH
III/d
S1 UIA
Wakil Panitera
3.
Ali Mushofa, SH
III/d
S1 UIA
4.
Pahrurrozi, SH
III/c
S1 UIA
Panitera Muda Gugatan Panitera Muda Hukum
5.
H.
Bangbang
Sri
Pancala, SH
III/d
S1 Unta
Panitera Muda Permohonan
6.
Drs. Ade Faqih
III/c
S1 UIJ
Panitera Pengganti
7.
Siti Makbullah, SH
III/c
S1 UIJ
Panitera Pengganti
8.
Aday, S.Ag
III/c
S1 Hukum
Panitera Pengganti
9.
Syamsul Rizal, SH
III/c
S1 Hukum
Panitera Pengganti
10.
Sumaryuni, SH
III/b
S1 Hukum
Panitera Pengganti
11.
Hamdani, SHI
III/b
S1 Syari’ah
Panitera Pengganti
12.
Mastanah, SH
III/b
S1 Hukum
Panitera Pengganti
13.
Nova Asrul Lutfi, SH
III/c
S1 Hukum
Panitera Pengganti
14.
15.
Hj. Spa Icthtiyatun, SH. MH
Idris M Ali, SH
S1 Hukum S2 Hukum
Panitera Pengganti
S1 Hukum
Panitera
III/c
III/c
Pengganti Panitera
16.
Dra. Siti Nurhayati
III/d
S1 IAIN
17.
Titiek Indriyaty, SH
III/b
S1 UIA
18.
Mahrus, LC
III/a
LIPIA
Cakim/PP Lokal.
19.
Achmad Cholil, S.Ag
III/a
S1 IAIN
Cakim/PP Lokal
S1 20.
Sutini, S,Ag
III/c
Tarbiya h
Pengganti Panitera Pengganti
Staf Panmud Hukum
21.
Mohamad Edwar
II/a
Man
Staf Panmud Hukum
22.
Sirajuddin Haris
II/a
Man
Staf Panmud Hukum
23.
M. Dirwansyah Ridlah
II/a
Man
Staf Panmud Gugatan
24.
Shofa Qolbi Djabir, LC
III/a
S1 Syari’ah
Cakim/PP Lokal
25.
Khoerunnisa, SHI
III/a
S1 Syari’ah
Cakim/PP Lokal
26.
Siti Mahbubah
III/a
S1 Syari’ah
CPP
27.
Hisni Mubarok
III/a
S1 Syari’ah
CPP
11. Daftar Nama Kejurusitaan Pengadilan Agama Jakarta Timur
No.
Nama
Golongan
Pendidikan
Terkah
Terakhi
ir
r
Keterangan
1.
Zulkipli
III/b
SLA
Juru Sita
2.
Moch. Sidik
III/b
SLA
Juru Sita
3.
Burhamzah
III/a
SLA
4.
Budi Sukirno
III/a
SLA
5.
Obang Hasyim. A
II/c
SLA
6.
Ikbal Bisry
II/b
SLA
7.
Sri Mulyati
III/b
S.Ag
8.
Veny Rarmawati
II/b
SLA
Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti Juru Sita Pengganti
9.
Rahmah Sufiyah, SH
III/b
S1. Hukum
10.
Tati Yulianti
III/a
SLA
11.
Muhammad Sayhon
II/a
SLA
Juru Sita Pengganti JS. Pengganti Juru Sita Pengganti
B. Kronologis Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT Dalam Perkara Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT penggugat adalah isteri yaitu Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio, umur 28 tahun, agama Islam, pendidikan S1, pekerjaan Guru, bertempat tinggal di Jalan Cipinang Muara II No. 2 RT 017 RW 02 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur. Dan tergugat adalah suami yaitu Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal, umur 37 tahun, agama Islam pendidikan S1, pekerjaan karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan Delima II No. 14B RT 004 RW 003 Kelurahan Malaka Sari, kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur. Perkawinan mereka telah tercatat di PPN KUA Kecamatan Duren Sawit Kota Jakarta Timur dengan Akta Nikah Nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006. Setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya Suami
Isteri dengan baik telah berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal di Malaka Sari Jakarta Timur selama 6 bulan namun belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang sulit diatasi sejak bulan Desember tahun 2006 dan semakin tajam dan memuncak terjadi pada bulan Juli tahun 2008. Sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena : 1.
Orang tua Tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
2.
Tergugat lebih mementingkan keluarga (orang tua) pada kepentingan Penggugat sebagai isteri.
3.
Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada kecocokan dalam membina rumah tangga.
4.
Orang tua Tergugat selalu menceritakan aib Penggugat kepada orang lain. Sejak berpisah Penggugat dan Tergugat sejak bulan Juli tahun 2008 maka hak
dan kewajiban suami isteri tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sejak itu tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap penggugat, meskipun penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan bermusyawarah atau berbicara dengan tergugat secara baik-baik tetap tidak berhasil Berdasarkan alasan tersebut
penggugat
telah mengajukan gugatannya
bertanggal 28 Juli 2008 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Timur memohon agar Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menjatuhkan talak satu tergugat dan menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman untuk rakyat pencari keadilan bagi yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.45 Pelaksanaan tugas peradilan seorang hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan siapapun, bahkan ketua pengadilan sendiri tidak berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakannya. Hakim bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yan telah ditetapkan.46 Pada hari sidang yang telah ditetapkan, penggugat dan tergugat telah hadir dipersidangan. Lalu majelis hakim telah member nasihat kepada penggugat dan tergugat agar rukun kembali.
45
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1996) Cet. 1 h.16. 46
1 h.32.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press) Cet.
Kemudian dibacakan surat gugatan tertanggal 28 Juli 2008 yang isinya tetap dipertahankan oleh
penggugat.
Atas gugatan penggugat
tersebut
tergugat
menyampaikan jawabannya secara lisan yang intinya tergugat membenarkan semua dalil-dalil gugatan penggugat dan tergugat menyatakan tidak keberatan bercerai dengan penggugat. Lalu penggugat maupun tergugat menyatakan cukup dalam jawab menjawab tanpa replik dan duplik. Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, penggugat telah mengajukan alat-alat bukti berupa fotokopi kutipan akta nikah Nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur (bukti P.1). Selain bukti surat, penggugat juga telah menghadirkan 2 orang saksi keluarga yang memberikan keterangan di depan sidang dengan di bawah sumpah sebagai berikut: 1. Saksi I : Satya Putra Ilyas bin Hermawi, umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, bertempat tinggal kediaman di Jalan K.H. Mas Mansyur 25 A RT 012 RW 011, Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta Pusat, yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut: − Bahwa saksi adalah Paman Penggugat − Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri dan belum dikaruniai anak
− Bahwa Penggugat dengan Tergugat akan bercerai − Bahwa penyebabnya karena Penggugat dengan Penggugat dijodohkan − Bahwa mereka pisah rumah sejak bulan Juli 2008 − Bahwa saksi sudah menasehati mereka namun tidak berhasil 2. Saksi II : Hasna Hasan binti Hasan Bisri, umur 63 tahun, agama Islam, pekerjaan Pensiunan Bukopin, bertempat tinggal di Jalan Delima II B 9/10/177 RT 15 RW 03, Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur, yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut : − Bahwa saksi adalah tante tergugat − Bahwa penggugat dan Tergugat menikah karena dijodohkan − Bahwa mereka saat ini akan bercerai Penggugat dengan Tergugat karena orang tua Tergugat terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga − Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pisah rumah sejak bulan Juli 2008 dan − Saksi sudah menasehati keduanya tapi tidak berhasil Atas keterangan kedua saksi tersebut, penggugat menyatakan bahwa saksi sudah menasehati keduanya tapi tidak berhasil dan penggugat dan tergugat menyatakan menerimanya.
Baik penggugat maupun tergugat telah mencukupkan pembuktiannya dan kemudian penggugat menyampaikan kesimpulan secara lisan yang intinya penggugat tetap pada gugatannya untuk bercerai dengan tergugat sedangkan tergugat menyatakan mengikuti kemauan penggugat saja. Untuk menyingkat uraian dalam putusan perkara ini, majelis hakim cukup menunjuk berita acara persidangan perkara ini. Lalu mengenai hukumnya maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas, majelis hakim telah berusaha menasehati penggugat dan tergugat agar rukun kembali dalam membina rumah tangganya, akan tetapi tidak berhasil, sesuai dimaksud Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam. Penggugat dalam gugatannya menyatakan ingin bercerai dengan tergugat adalah karena saling terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan tergugat yang disebabkan hal-hal sebagaimana tersebut pada point 5 pada surat gugatan penggugat. Atas gugatan penggugat tersebut, tergugat membenarkan semua dalil-dalil penggugat. Dan dari dalil-dalil gugatan penggugat dan tanggapan tergugat dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini apakah benar telah terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penggugat dan tergugat yang terjadi sejak bulan Desember tahun 2006 dan puncaknya pada Juli tahun 2008.
Dalam meneguhkan dalil-dalilnya, penggugat telah mengajukan alat-alat bukti yang terdiri dari bukti surat bertanda P.1. dan dua orang saksi. Bukti surat bertanda P.1. berupa asli kutipan akta nikah nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur, bukti tersebut adalah surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang dan dalam surat tersebut memuat tentang telah terjadinya akad nikah antara penggugat dan tergugat memuat tentang telah terjadinya akad nikah antara penggugat dan tergugat pada tanggal 18 Juni 2006. Dengan demikian majelis hakim menilai bukti P.1. adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materil sehingga mempunyai kekuatan hukum atau pembuktian yang sempurna dan mengikat sesuai dengan Pasal 165 HIR. Oleh karenanya majelis hakim menilai bahwa penggugat dan tergugat adalah hubungan sesuai suami istri yang sah dan belum mempunyai anak. Bahwa alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat adalah antara penggugat dengan tergugat sering terjadi perselisihan faham disebabkan dijodohkan dan orang tua tergugat terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga penggugat dan tergugat dan secara yuridis alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh Penggugat tersebut mengacu kepada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 197 Jo, Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya meskipun tergugat telah mengakui sebagai dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat dan pengakuan menurut Pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, sehingga dengan adanya pengakuan tergugat maka sengketa diantara para pihak dianggap telah terbukti. Namun karena masalah rumah tangga (pernikahan) itu bukan hanya sebatas hubungan perdata biasa saja antara suami isteri, akan tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang luhur maka di dalam memutuskan hubungan perkawinan tersebut selain harus mempertimbangkan bukti-bukti juga perlu mendengar keterangan dari pihak keluarga penggugat dan/atau tergugat. Setelah bukti saksi keluarga yang keterangannya saling berhubungan dan bersesuaian satu sama lain dengan keterangannya dibenarkan oleh penggugat maupun tergugat maka majelis hakim telah dapat menemukan fakta di persidangan yaitu pada pokoknya sebagai berikut : − Penggugat dan tergugat telah terikat sebagai suami isteri. − Pernikahan penggugat dan tergugat belum dikaruniai keturunan anak. − Antara penggugat dan tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran dan telah berpisah rumah selama kurang lebih empat bulan. − Dalam berumah tangga antara penggugat dan tergugat pernah terjadi ketidak rukunan dan perselisihan faham.
Setelah majelis hakim menemukan fakta-fakta selanjutnya majelis hakim akan mempertimbangkan petitum gugatan penggugat. Terhadap petitum penggugat untuk mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut: − Penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah sesuai bukti P.1. − Tergugat membenarkan semua dalil-dalil penggugat, maka sesuai dengan pasal 174 HIR pengakuan tergugat tersebut menjadi bukti yang kuat, oleh karenanya majelis hakim dapat mempertimbangkan. − Penggugat telah menguatkan dalil-dali gugatannya melalui alat-alat bukti di persidangan dan terbukti bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sudah tidak dapat dirukunkan kembali. − Berdasarkan fakta antara penggugat dan tergugat telah berpisah rumah selama 1 tahun, kondisi ini merupakan indikasi bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis lagi karena perselisihan dan pertengkaran antara mereka telah mencapai klimaks. − Keluarga penggugat telah berusaha mendamaikan mereka namun tidak berhasil sebagaiman dimaksud oleh Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kondisi ini menunjukan bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah pecah sehingga tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah serta sebagaiman telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat (21) yang artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya adalah diciptakanNya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikanNya kasih sayang diantara kamu, sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang berfikir” tidak dapat terwujud. Dari fakta-fakta tersebut terbukti kedua belah pihak baik penggugat maupun tergugat telah kehilangan hakikat dan makna dari tujuan perkawinan tersebut dimana ikatan perkawinan sedemikian rapuh, tidak terdapat lagi rasa sakinah (ketenangan) dan telah luput dari rasa mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) dan mempertahankan perkawinan seperti itu tidak akan membawa maslahat, bahkan mungkin melahirkan madharat yang lebih besar bagi penggugat dan tergugat. Berdasarkan fakta-fakta tersebut dan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. majelis hakim berpendapat bahwa dalil-dalil gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi, maka telah cukup alasan bagi majelis maka majelis hakim untuk mengabulkan gugatan penggugat.
Terhadap petitum penggugat untuk menyatakan jatuh talak satu tergugat terhadap penggugat, maka majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut: − Oleh karena majelis hakim telah mengabulkan gugatan penggugat dengan alasan dalil-dalil gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka majelis hakim dapat menetapkan menjatuhkan talak ba’in sugro tergugat (Eko Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal) terhadap penggugat (Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio). Terhadap petitum penggugat tentang biaya perkara, berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006, maka majelis hakim menetapkan biaya perkara dibebankan kepada penggugat. Segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini. D. Analisa Penulis Islam adalah agama yang sangat adil terhadap umatnya. Dalam hukum perkawinan pun Islam memberikan batasan Syar’i guna mengarungi bahtera rumah tangga agar menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Namun seringkali konflik dan perpecahan pun sering muncul dalam biduk rumah tangga, sehingga Islam pun membuka kelonggaran berupa pintu perceraian, bila konflik dan
perpecahan sudah tidak bisa diatasi. Artinya Islam tidak memberikan suatu ketentuan yang kaku, sehingga ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan dalam hal ini. Dalam Islam perkawinan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu dalam penderitaan. Agama Islam membolehkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.47 Seperti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt. G/2008/PA JT yang disebabkan karena orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat. Dalam perkara cerai ini penggugat Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio menggugat suaminya Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal pada tanggal 28 Juli 2008. Penggugat menyatakan dalam surat gugatannya yang menjadi alasan utama penggugat menggugat cerai suaminya adalah perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh, orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat, tergugat lebih mementingkan keluarga (orang tua) pada kepentingan penggugat sebagai isteri, antara penggugat dan tergugat sudah tidak ada 47
Ahmad shiddiq, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam (Surabaya Pustaka Pelajar 2001), cet. Ke-1, h.54-55.
kecocokan dalam membina rumah tangga dan orang tua tergugat selalu menceritakan aib penggugat kepada orang lain. Hemat penulis inti dari alasan perceraian dalam perkara ini adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus hal ini sesuai dengan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Perselisihan dan pertengkaran ini disebabkan orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat, tergugat lebih mementingkan keluarga (orang tua) pada kepentingan penggugat sebagai isteri, antara penggugat dan tergugat sudah tidak ada kecocokan dalam membina rumah tangga dan orang tua tergugat selalu menceritakan aib penggugat kepada orang. Majelis hakim pun sudah berusaha unuk memberikan nasihat kepada penggugat dan tergugat agar dapat rukun kembali, namun tidak berhasil. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pembacaan surat gugatan oleh penggugat yang pada intinya tetap mempertahankan isi dari surat gugatan tersebut. Dalam jawaban tergugat terhadap gugatan penggugat yang disampaikan lisan oleh tergugat sendiri, tergugat membenarkan semua dalil-dalil penggugat dan menyatakan tidak keberatan bercerai dengan penggugat.
Hemat penulis, tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan penggugat yang membenarkan semua dalil-dalil penggugat, berarti tergugat mengakui bahwa memang orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat yang akhirnya menimbulkan perselisihan faham dan pertengkaran dalam rumah tangga. Begitu pula jawaban hakim yang penulis wawancara, hakim tersebut menyatakan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam cukup sebagai landasan hukum dalam perkara ini. Mengenai pernyataan tergugat bahwa tergugat tidak keberatan bercerai dengan penggugat, ini berarti pengakuan tergugat tersebut menjadi bukti yang kuat sesuai dengan Pasal 174 HIR dan berarti tergugat menyetujui terhadap isi petitum gugatan penggugat. Mengenai pembuktian penggugat mengajukan bukti surat dalam bentuk kutipan akta nikah nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur dan saksi sebanyak 2 orang. Saksisaksi adalah keluarga dari penggugat, dan keterangan dari saksi-saksi tersebut saling berhubungan dan bersesuaian satu sama lain yang antara lain menjelaskan: bahwa penggugat dan tergugat benar suami istri yang sah dan belum mempunyai keturunan anak, benar terjadi perselisihan antara mereka karena penggugat dan tergugat menikah karena dijodohkan dan karena orang tua tergugat terlalu ikut campur dalam
masalah rumah tangga serta kedua saksi sudah berusaha mendamaikan mereka berdua namun tidak berhasil. Penggugat dan tergugatpun membenarkan persaksian mereka yang pada intinya menerangkan bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat. Hemat penulis mengenai alat bukti surat sudah sesuai dengan Pasal 165 HIR yang bukti surat tersebut adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan syarat meteriil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan alat bukti saksi juga sudah sesuai dengan Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Putusan hakim terhadap perkara ini yang menjadi landasan hakim adalah Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Hemat penulis, putusan ini terlalu sedikit mengambil landasan hukum dalam mengambil putusan karena dari penulis lihat dari perkara ini dapat diambil Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam. Lalu dengan alasan adanya campur tangan orang tua dapat dijadikan sebuah alasan dalam mengajukan perceraian, karena mengajukan gugatan adalah hak dari penggugat dan pengadilan bersifat pasif atau menunggu datangnya perkara.
Akan tetapi yang menjadi alasan perceraian bukanlah dari turut campurnya orang tua, tetapi akibat dari turut campur orang tua yang mengakibatkan adanya percekcokan dan perselisihan yang terus-menerus. Ini sesuai dengan pernyataan hakim dari wawancara yang dilakukan penulis bahwa orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat ini hanya dijadikan sebab atau indikasi terjadinya perselisihan bukan sebagai alasan perceraian. Sedangkan dilihat dari hukum Islam dalam perkara ini alasan perceraian ini adalah syiqaq. Syiqaq ini disebabkan oleh suami tidak bisa menjadi pemimpin keluarga yang menyebabkan pertengkaran dan perselisihan. Dalam amar putusan majelis hakim terhadap perkara ini adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya yang berarti seluruh isi petitum pengugat dikabulkan, menjatuhkan talak satu bain sugra tergugat (Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal) terhadap penggugat (Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio) yang berarti dalam penyelesaian perkara ini dengan jalan perceraian.
BAB IV PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat penulis ambil beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut. C. Kesimpulan 1. Turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak menurut hukum Islam dibenarkan atau dibolehkan selama perintah kedua orang tua tidak mengandung kezhaliman, karena ridha orang tua adalah pintu surga. Sosok orang tua tidak bisa dihilangkan karena orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkannya, akan tetapi turut campurnya orang tua dalam keluarga anaknya hanya dalam konteks menjadi pembimbing dan memberikan nasihat dalam keluarga anaknya, bukan berarti mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam (Aimmah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad (abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki-laki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan ketika suami sudah
menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati. Sedangkan turut campur orang tua terhadap keluarga anak menurut hukum positif seharusnya tidak ada atau tidak dibenarkan, karena kewajiban orang tua terhadap anak menurut Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 UndangUndang tentang Perkawinan hak dan kewajiban antara orang tua dalam Bab X menyatakan bahwa kedua orang tua hanya wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Artinya ketika anak itu sudah menikah anak itu sudah dikatakan dewasa dan orang tua tentu saja sudah tidak lagi mempunyai kewajiban terhadap anaknya. Apa lagi untuk mencampuri urusan keluarga anaknya, tentu saja tidak dibenarkan karena anak tersebut dikatakan sudah dewasa karena sudah menikah. 2. Peradilan Agama sebagai wadah bagi pencari keadilan , khususnya bagi orang Islam dalam sengketa perkara perdata. Perceraian dibedakan atas cerai talak dan cerai gugat, maka penyelesaiannya pun berbeda jika dilihat dari bentuk putusannya. Ada yang bentuk putusannya berupa talak khul’u dan ada yang berupa talak bain sughra. Hal ini dikarenakan materi hukum yang terdapat dalam isi posita dan petitumnya yang akhirnya menghasilkan produk hukum yang berbeda pula. Dalam kasus perceraian akibat dari turut campurnya orang tua terhadap keluarga anak pada putusan nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT di
Pengadilan Agama Jakarta Timur, dikarenakan dalam jawaban tergugat terhadap
gugatan
penggugat
membenarkan
dalil-dalil
penggugat
dan
menyatakan tidak keberatan bercerai dengan penggugat yang pada intinya menerangkan bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat, maka dari itu majelis hakim berpendapat bahwa hal tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang dirumuskan oleh Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 116 (f) KHI Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991, maka penyelesaian perkara perceraian akibat dari turut campurnya orang tua terhadap keluarga anak ini adalah dengan putusan talak satu bain sughro. D. Saran 1. Hendaknya orang tua lebih memahami dan menyadari, ketika anaknya telah menikah mereka sudah mempunyai kewajiban yang lain terhadap keluarganya sendiri. 2. Alangkah lebih baiknya ketika anak sudah menikah hendaknya tidak tinggal serumah dengan orang tua atau mertuanya agar orang tua atau mertuanya tidak mudah untuk mencampuri urusan rumah tangga anaknya. 3. Apabila tejadi perselisihan dalam rumah tangga diusahakan hendaknya diselesaikan dahulu dengan pasangan dan dengan kepala dingin sebelum
keluarga masing-masing mengetahui. Jika memang tidak berhasil kirimlah hakam atau juru damai dari pihak suami atau isteri. 4. Bagi pasangan suami isteri bisa lebih menambah intensitas komunikasi dalam rumah tangga agar bisa menyelesaikan permasalahan keluarganya sendiri, karena tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah waa rahmah. 5. Untuk para ulama agar selalu mensyi’arkan tantang kerukunan dalam rumah tangga, hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga kepada masyarakat sehingga dapat mengurangi tingkat perceraian yang ada. 6. Bagi pemerintah agar lebih mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan khususnya hak dan kewajiban suami dan istri kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Ghani, Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta : PT Intermas, 1997)
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Akademika Persindo, Jakarta, 1992)
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002)
Al-Qazwainiy, Abi Abdullah bin Yazid , Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon, Daar al- Fikr,1994
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo: Daarul Hadits, 2004)
Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Bakti, 1993.
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 12 Juli 2008.
Arto, Mukri, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 1996)
Asy-Syarbaji, Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dan Ali, kitab fiqh madzhab syafie, jilid ke 4 (Kuala Lumpur: Prospecta Printers SDN BHD, 2005)
Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, (Pustaka Al-Kautsar, 2006 )
Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992)
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (PT: Bina Ilmu, Surabaya) 1995
Dja’is, SH, Deasy Caroline Moch., Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999)
Dhofir, Muhil Dhofir dan Farid, Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Jakarta: PT, Najahun Dinar 2006)
Effendi, Satria, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999)
Ghofar, E.M, Syaikh Hasan Ayub, fikih keluarga,penerjemah M. Abd. (Pustaka AlKautsar,2006)
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2003.
Hurman, dan Miles, Analisa Data Kualitatif, (Jakarta : UI Press, 1992)
Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang : Asy-Sifa) Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Darul Qolam – Jakarta, 2005) hal. 34 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : PT Citra Umbara, 2007) Lopa, Baharuddin, Al Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, PT. Dana Bhakti Primayasa,Yogyakarta, 1996
Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam system Peradilan Islam, Kencana, Jakarta, 2007
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, tt
Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988)
Moleong, J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja rosdakarya, 2004)
Mughniyah, M. Jawad, fikih lima madzhab, (Beirut: Dar Al- Jawad, 2006)
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press)
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan Bintang, 1993.
Mustakim, Abdul, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an, (Artikel Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006)
Mushtafa, Ibnu, Keluarga Islam Menyongsong Abad 2,(Penerbit : al-Bayan Bandung) 1993
Nasution, Khoirudin, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap perundangperundang perkawinan muslim perkawinan kontemporer di Indonesia dan Malesia INIS, Jakarta, 2002.
Nuruddin, Amir dan Tarigan,Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi kritis perkembangan hukum islam dari fikih, UU No1/1974 sampai KHI, Jakarta : Kencana, 2006 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004
R.Tjitrosudibio, dan R.Subekti, S.H, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya Paramita, Jakarta,2006) Rahman, Abd, Ghazaly, Fiqh Munakahat , Fajar Interpratama Offset, 2003 Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah Jilid Dua, (Darul Fattah, t.th) Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah jilid 3, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006) Sajastani, Abi Daud Sulaiman bin As-as, Sunan Abi Daud, h. 500.
Shiddiq, Ahmad, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam (Surabaya Pustaka Pelajar 2001)
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004)
Suhendi, Hendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Sulaiman, Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung :PT.Sinar Baru Algesindo) Surtiretna, Nina, Bimbingan Seks Suami isteri Menurut Pandangan Islam dan Medis, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001
Sutarmadi, A. , Administrasi Pernikahan dan manajemen Keluarga, (Jakarta: Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006)
Syarifuddin, Amir, Garis-garis besar Fiqh. Jakarta : kencana Prenada Media Group, 2003.
Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991)
Taat, Amir Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam Tuntunan Keluarga Bahagia,(Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994
Tim penulis, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Jakarta.
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung)
Usman, Husaini, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta, Bumi Aksara, 2001) Yanggo, Huzaemah T, Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2002