SYIQAQ AKIBAT TIDAK ADANYA NAFKAH BATHIN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
INDRIA LAILATUS SA’DIYAH NIM: 107044102281
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
SYIQAQ AKIBAT TIDAK ADANYA NAFKAH BATHIN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Indria Lailatus Sa’diyah NIM: 107044102281
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A NIP. 195003061976031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432 H/2011 M
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul SYIQAQ AKIBAT TIDAK ADANYA NAFKAH BATHIN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada Program Studi Peradilan Agama. Jakarta, 22 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN 1. Ketua Majelis
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 19500306 197603 1 001
2. Sekretaris
: Dra. Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906 10200312 2 001
3. Pembimbing
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 19550505 198203 1 012
4. Penguji I
: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 19720224 199803 1 003
5. Penguji II
: Drs. Heldi, M. Pd NIP. 19630414 199303 1 002
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 14 April 2011
Indria Lailatus Sa’diyah
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Segala puji syukur kepada Allah Swt. yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita sehingga kita dapat hidup sejahtera di alam semesta ini. Tak lupa pula shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw. Yang telah menunjukkan kita dari jalan yang sesat menuju jalan yang diridhoi Allah. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari adanya rintangan dan ujian, namun dengan adanya pihak-pihak tertentu yang bersedia membantu penulis dalam menulis skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: SYIQAQ AKIBAT TIDAK ADANYA NAFKAH BATHIN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(Kajian
Terhadap
Putusan
Perkara
Nomor
229/Pdt.
G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur). Karena itulah penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung telah membantu penyelesaian skripsi ini, di antaranya kepada: 1. Bapak Prof Dr. H. Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta Pembantu Dekan I, II dan III. 2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A sebagai Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah sekaligus merangkap sebagai pembimbing disusunnya skripsi ini yang telah membantu dengan sabar dan ikhlas menuntun dan mengarahkan sampai penulis dapat menyelesaikan menulis skripsi ini.
i
3. Bapak/Ibu pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum khususnya konsentrasi Peradilan Agama yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. 4. Bapak/Ibu Dosen yang selama ini rela dan sabar mengajarkan penulis dan kawan-kawan hingga akhirnya sampai pada penulisan skripsi. 5. Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur beserta staf-stafnya yang telah bersedia mengizinkan penulis untuk mengadakan penelitian dan memperoleh informasi yang berkaitan dengan tema skripsi. 6. Ibu Munifah Djam’an, S.H. selaku hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur yang menangani perkara yang penulis ambil guna penyusunan skripsi yang bersedia penulis wawancara untuk melengkapi data penulisan skripsi ini. 7. Bapak pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 8. Khusus kepada orang tua penulis yang senantiasa mendorong memberikan motivasi dan mendoakan penulis tanpa ada kata lelah. Terutama Ibu yang tak henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan anaknya. Dan untuk ayah penulis yang penulis yakin juga tak lupa mendoakan meskipun sudah di alam yang berbeda. Semoga beliau bahagia di alam sana. 9. Keluarga penulis, terutama kakak-kakak penulis yang dengan ikhlas dan tak henti-hentinya membimbing serta memberikan motivasi hingga pada selesainya skripsi ini.
ii
10. Teman-teman kelas Peradilan Agama-A angkatan 2007 yang selalu memberikan warna dalam hari-hari selama bersama, baik suka maupun duka yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 11. Orang-orang yang telah memberikan kontribusinya dalam menunjang selesainya penulisan skripsi ini. Demikian penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua umumnya dan bagi penulis khususnya.
Jakarta, 14 April 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… iv BAB I
PENDAHULUAN ………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………. 8 D. Metode Penelitian ………………………………………………. 9 E. Tinjauan Kajian Terdahulu …………………………………….. 10 F. Sistematika Penulisan ………………………………………….. 12
BAB II
PERCERAIAN DAN MASALAH SYIQAQ …………………… 15 A. Pengertian dan Dasar Perceraian …………………………...….. 15 B. Jenis dan Alasan Perceraian ……………………………............ 19 C. Akibat dan Hikmah Perceraian ……………………...…………. 28 D. Pengertian Syiqaq dan Sebab-sebab Timbulnya ..……...………. 32 E. Syiqaq Menurut Hukum Islam dan Positif ...………...……..….. 35
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR ……... 41 A. Sejarah Singkat ...…………………………...………………….. 41 B. Wilayah Yurisdiksi …………………………………………..… 43 C. Struktur Organisasi …………………………………………….. 45 D. Denah Kantor dan Keterangan Gedung …………………….…. 46 iv
E. Peta Lokasi …………………………………………………….. 48 F. Daftar Pejabat ………………………………………………….. 48 BAB IV
ANALISA
PUTUSAN
PERKARA
NOMOR
229/Pdt.
G/2008/PA.JT PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR ... 51 A. Duduknya Perkara ..………………………………….……….... 51 B. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim ……………....……. 53 C. Analisa Penulis ………………………………………………… 64 BAB V
PENUTUP ………………………………………………………… 71 A. Kesimpulan …………………………………………………..... 71 B. Saran ………………………………………………………....... 72
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………......... 73 LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………………..... 76 1. Surat Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi 2. Surat Bukti Wawancara 3. Hasil Wawancara dengan Hakim 4. Surat Keterangan dari Pengadilan Agama 5. Daftar Nama Pejabat Pengadilan Agama 6. Putusan
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia memang diciptakan oleh Allah Swt. untuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami isteri, maka setiap diri akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan kehidupan di muka bumi ini. Pernikahan merupakan ikatan suci dari dua insan yang saling mencintai dan mengharapkan kebahagiaan yang kekal dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Namun, dalam menjalankannya sangatlah tidak mudah, karena dalam membangun rumah tangga akan banyak ujian dan cobaan yang menghalangi terwujudnya keluarga yang kekal dan bahagia. Perkawinan atau pernikahan dalam literatur bahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan seharihari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan hadits Nabi. Kata na-kaha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat anNisa’ ayat 3 yaitu:
/ 1
2
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. al-Nisa’/4: 3) Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam al-Quran dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 yaitu:1
37 Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (QS. al-Ahzab/33: 37) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Sedangkan perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mistaaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Ed.1, Cet. Ke-2, h. 35 2
Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 5, Pasal 1, hal. 1
3
merupakan ibadah.3 Berbicara tentang perkawinan lebih menarik jika melihat definisi yang diberikan oleh Tahir Mahmood yang mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan isteri dalam sinaran Ilahi. Lebih jelas ia mengatakan: “Marriage is a relationship of body and soul between a man and a woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting family founded on belief in God Almighty.”4 Dalam Undang-undang Hukum Perdata juga dinyatakan bahwa undangundang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.5 Dari sini dapat dipahami bahwa pasal tersebut menganut sistem terbuka, meskipun kemudian di dalam pelaksanaannya perumusan mengenai perkawinan itu sendiri dicari dari doktrin atau ilmu pengetahuan. Pengertian itu lalu dikemukakan sebagai berikut: “perkawinan adalah sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”, dan sahnya pertalian itu ditentukan oleh persyaratan-persyaratan yang tersebut dalam peraturan hukum perdata.6
3
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama R.I., Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 1992), Pasal 2, h. 219 4
Tahir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: Academy Of Law And Religion, 1987), h. 209 5
R. Subekti, dan R. Tjitro Sudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Jakarta: Pradnya Paramita. 1999), Pasal. 6, h. 8 6
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. 1,
4
Agama Islam menganjurkan perkawinan, anjuran ini diungkapkan dalam berbagai macam ungkapan yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para Rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang akan datang kemudian.7 Pada suatu perkawinan terdapat pihak-pihak yang berkepentingan atas perkawinan itu. Pihak-pihak yang berkepentingan itu ialah pihak-pihak yang berhak atas perkawinan tersebut, yakni hak Allah. Di samping itu ada hak-hak orang-orang yang akan melangsungkan perkawinan dan hak wali. Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya itu. Terserah kepada yang berhak apakah ia akan melaksanakan atau tidak melaksanakan haknya itu.8 Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Di samping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang h. 13. Lihat juga Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1981), h. 14 7
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan bintang, 1993), Cet. 3, h. 9 8
Ibid, h. 7
5
mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.9 Islam memberikan jalan keluar ketika suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti ketidakcocokan pandangan hidup dan perselisihan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka diberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq (perceraian). Agama Islam membolehkan suami istri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu walaupun perceraian tersebut dibenci oleh Allah. Masalah thalaq menjadi hak pihak suami oleh para ulama telah disepakati, karena khitab atau pelaku kata thalaqa dalam ayat al-Quran selalu laki-laki, jadi pelaku hukum thalaq pun tentu pihak suami. Hak thalaq ini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan rasa cinta kasih antara dua belah pihak, sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan, tetapi yang ada kemudian hanya benci membenci, terbukalah pintu yang memberi hak talak kepada suami.10 Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah sebelumnya mengadakan upaya
9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 48
10
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, h. 118-119
6
perdamaian secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan istri, perceraian yang dilakukan atas permintaan istri disebut dengan cerai gugat. Perselisihan antara suami istri memang sering terjadi, namun di balik perselisihan pasti ada yang menyebabkan perselisihan itu terjadi. Masalah perkawinan yang didapat dari hasil perjodohan/kawin paksa juga bisa menjadi perselisihan di antara suami istri. Dalam kasus yang berada dalam Pengadilan Agama Jakarta Timur yaitu bahwasanya rumah tangga pemohon dan termohon selalu terjadi perselisihan antara keduanya yang mengakibatkan pemohon mengajukan permohonannya kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk menceraikan istrinya atas dasar alasan tidak adanya rasa cinta karena pernikahan keduanya berasal dari perjodohan/kawin paksa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Dalam kerangka inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap perkara perjodohan/kawin paksa yang berakibat pada perceraian. Dan pada skripsi ini penulis mengangkat judul “SYIQAQ AKIBAT TIDAK ADANYA NAFKAH BATHIN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT Pengadilan Agama Jakarta Timur). Dengan harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan sedikit menyumbangkan keterangan mengenai perselisihan yang terjadi antara suami isteri (syiqaq) yang dapat berakibat pada perceraian.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka untuk memperdalam pembahasan penulis akan membatasi masalah tentang mengapa perkara yang terjadi terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Timur, kemudian mengapa terjadi pada tahun 2008 dan mengapa juga hanya dalam perkara nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT saja serta mengetahui apa yang menjadi alasan hakim dalam memutus perkara dengan Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur. 2. Perumusan Masalah Dalam kehidupan rumah tangga antara suami isteri seharusnya dapat saling melengkapi satu sama lain dan memenuhi kebutuhan lahir maupun bathin, namun ketika semua yang diharapkan tidak juga tercapai dalam kehidupan rumah tangga tersebut dapat timbul perkara yang sebenarnya tidak dikehendaki yakni terjadi perselisihan antara keduanya. Dari rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a.
Bagaimana pandangan hukum Islam (fiqih) dan hukum positif mengenai perselisihan (syiqaq) antara suami isteri yang dapat menyebabkan perceraian?
b.
Faktor apa saja yang menyebabkan adanya perselisihan (syiqaq)?
c.
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara tersebut?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam (fiqih) dan hukum Positif mengenai perselisihan (syiqaq) antara suami isteri yang berakibat pada perceraian. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perselisihan (syiqaq). 3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara cerai talak dengan alasan adanya perselisihan (syiqaq) antara suami isteri. Sedangkan manfaat dan signifikansi penelitian ini adalah: 1. Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan dan manfaat bagi khazanah keilmuan bidang hukum, baik hukum perdata positif maupun hukum perdata Islam. 2. Menambah pembendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum Islam khususnya di bidang Peradilan Agama. 3. Bagi suami isteri hendaknya dapat saling memenuhi kebutuhan masingmasing pihak agar jangan sampai timbul perselisihan (syiqaq) yang dapat berakibat pada perceraian. D. Metode Penelitian Untuk
mengumpulkan
data
menggunakan metode sebagai berikut:
dalam
penulisan
skripsi
ini,
penulis
9
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif11 yang
bersifat
pendekatan
normatif
yuridis.
Metode
penelitian
yang
dipergunakan adalah metode deskriptif. 2. Sumber Data dan Proses Pengumpulan Data a. Data primer12 Data primer berbentuk “putusan” yang didapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Timur. b. Data sekunder13 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini. c. Data tertier Data tertier adalah data yang diperoleh dari kamus dan jurnal hukum. 3. Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang dipergunakan meliputi transkip interview (wawancara) dengan hakim yang memutus perkara tersebut, catatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain.
11
Data kualitatif pada umumnya dalam bentuk pernyataan kata-kata atau gambaran tentang sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk penjelasan dengan kata-kata atau tulisan. Lihat Ronny Kountur, Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Seri Umum No. 12., Ed. Revisi, h. 191 12
13
Data yang dikumpulkan peneliti langsung dari sumbernya. Lihat Ibid, h. 182
Data yang bersumber dari hasil penelitian orang lain yang dibuat untuk maksud yang berbeda. Data tersebut dapat berupa fakta, tabel, gambar dan lain-lain. Lihat Ibid, h. 178-179
10
4. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan deskriptif analisis dengan pendekatan konten analisis yaitu menganalisis isi (conten analysis)14 dengan mendeskripsikan putusan perkara dengan Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan menggunakan
Penelitian
Kepustakaan
(Library
research)15
dan
menghubungkan hasil wawancara. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. E. Tinjauan Kajian Terdahulu Untuk menentukan arah pembahasan dalam skripsi ini, penulis menelaah literatur yang pernah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi. No 1.
Nama/NIM/Judul/ Substansi Prodi/Kon/fak/Tahun Eva Muslimah 1. Menjelaskan 104044201463 penyebab dan Intervensi Orang Tua faktor-faktor yang Sebagai Faktor menyebabkan
Perbedaan 1. Menjelaskan perceraian yang diakibatkan karena perselisihan yang
14
Analisis data yang didasarkan pada aspek penting, yaitu data (dokumen, naskah atau literatur) dalam hal ini adalah putusan yang diperoleh dari Pengadilan Agama. 15
Adalah penelitian yang sumber datanya diambil dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah diterbitkan. LIhat Yayan Sopyan, Metode Penelitian, (Jakarta: tp., 2009), h. 28
11
2.
Pemicu Perceraian adanya intervensi terjadi antara suami (Studi Analisis orang tua yang isteri (syiqaq). Putusan Pengadilan menjadi pemicu Agama Jakarta Barat) perceraian. Ahwal AlSyakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum 2009 Surya Parma Batu 1. Menjelaskan faktor- 1. Menjelaskan faktor Bara 10404414445 faktor perceraian penyebab kandasnya Faktor Ekonomi yang diakibatkan rumah Sebagai Alasan karena ekonomi tangga/perceraian Perceraian keluarga. akibat perselisihan 2. Adanya pihak dan pertengkaran Ahwal Alketiga dalam yang secara khusus Syakhsiyyah peradilan penyelesaian yaitu karena tidak Agama Universitas orang tua yang terpenuhinya nafkah Islam Negeri Syarif membantu keluarga bathin. Hidayatullah Jakarta anaknya. fakultas Syari’ah dan Hukum 2008
3.
Hilmia Perceraian karena Alasan Murtad Ahwal AlSyakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum 2007
4.
Shonifah Albani 102044125066 Perceraian Akibat Poligami (Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan)
1. Perceraian yang dikarenakan suami murtad, sehingga terjadi adanya perceraian.
1. Perceraian yang diakibatkan oleh orang ketiga, sehingga terjadi atau adanya perceraian. 2. Orang ketiga
1. Adanya alasan tidak terpenuhinya sebagai awal perceraian.
1. Akibat perselisiahn dalam rumah tangga yang menjadi penyebab perceraian.
12
Ahwal AlSyakhsiyyah Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum 2006 5.
tersebut bukanlah dari pihak keluarga atau dengan kata lain adalah orang lain selain keluarga.
Ahmad Sauqi 1. Perceraian yang 106044101386 diakibatkan Perselisihan Terus perselisihan terus Menerus Antara menerus karena Suami Istri Akibat campur tangan Turut Campur Orang orang tua dalam Tua Sebagai Dasar rumah tangga. Alasan Perceraian 2. Akibat dari kurang (Studi di Pengadilan siapnya menjalin Agama Jakarta Timur) sebuah keluarga Ahwal Alsehingga adanya Syakhsiyyah Peradilan turut campur orang Agama Universitas tua. Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah dan Hukum 2010
1. Perceraian yang diakibatkan karena perselisihan antara suami isteri karena tidak terpenuhinya nafkah bathin. 2. Tidak adanya rasa saling sayang antara suami istri sehingga terjadi perceraian.
F. Sistematika Penulisan Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini, secara keseluruhan penulisan penelitian ini penulis membagi atas lima bab. Adapun setiap babnya terdiri dari: Bab Pertama
: Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu serta Sistematika Penulisan.
13
Bab Kedua
: Perceraian, Perceraian akibat dari adanya kawin paksa. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi Pengertian dan Dasar Perceraian, Jenis dan Alasan Perceraian, Akibat dan Hikmah Perceraian, Pengertian Syiqaq, faktor timbulnya dan perselisihan (syiqaq) Menurut Hukum Islam (fiqih) dan Hukum Positif.
Bab Ketiga
: Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi sejarah lahirnya dan wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur, Denah Kantor, Keterangan gedung dan peta lokasi, dan Daftar Pejabat yang berada di Pengadilan Agama Jakarta Timur.
Bab Keempat
: Analisa putusan tentang cerai talak syiqaq sebagai alasan dasar perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Dalam bab ini dijelaskan hal-hal mengenai Kronologis Kasus Perceraian
Perkara
Nomor
229/Pdt.
G/2008/PA.JT
di
Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pertimbangan dan Putusan Hakim dalam Kasus Perceraian Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur, Analisa Penulis. Bab Kelima
: Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan menggambarkan secara umum tentang permasalahan yang dibahas, dalam bab
14
ini juga mencakup saran-saran dari peneliti atas permasalahan yang diteliti sehingga upaya mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan dan diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan akademis umumnya dan penulis khususnya.
BAB II PERCERAIAN DAN MASALAH SYIQAQ A. Pengertian dan Dasar Perceraian 1. Pengertian Perceraian Cerai berasal dari bahasa Arab “thalaq” diambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa berarti memutus ikatan atau melepaskan. Sedangkan menurut istilah talak yaitu:
Artinya: “Memutus ikatan pernikahan, atau melepaskan ikatan pernikahan dengan kata „thalaq‟ atau sejenisnya”. Dalam redaksi lain juga diungkap arti kata talak, yaitu:
Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.” Menurut al-Jaziri, talak ialah:
1
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet. 3, Juz. 7, h. 356. Lihat juga Abi Sa‟id Umar bin Gharamah al-„Amrawi, Ahkam al-Thalaq Fi al-Kitab wa alSunnah wa al-Ijma‟, (Riyadh: Dar Al-Tahawi Library, t.th), h. 57 2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (al-Qahirah: Dar al-Fath Li al- I‟lam al-„Arabi, 2000), Cet. 1, Jilid. 2, h. 155 3
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „Ala Madzahib al-Arba‟ah, (Bur Said: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyah, t.th), Juz. , h.
15
16
Artinya: “Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata tertentu.” Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.4 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.5 Jadi, pada intinya talak adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri yang diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu yang tidak dapat memenuhi tujuan dari diadakannya suatu perkawinan, yaitu keluarga yang kekal dan bahagia. 2. Dasar Perceraian Talak disyari‟atkan dalam al-Quran, sunnah dan juga ijma‟.6 Meskipun sebenarnya talak itu dibenci oleh Allah, hal ini masih dibolehkan selama pernikahan yang telah terjadi tidak dapat dipertahankan lagi. Ini merupakan cara yang terakhir ditempuh dalam suatu perkawinan jika perkawinan tersebut
4
Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 5, Pasal 39 ayat (1), h. 12 5
Cik Hasan Basri (et.al.), ed., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, Pasal. 115, h. 175 6
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 357
17
menjumpai masalah yang tak dapat diselesaikan melalui jalan perdamaian. Adapun dasar dari dibolehkannya cerai, antara lain: a. Al-Quran
/ Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah/2: 232)
/ Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. al-Thalaq/65: 1)
18
b. Sunnah
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Ada seorang laki-laki datang menghadap Nabi Saw. lalu ia bertanya: Ya Rasulullah, tuanku telah mengawinkann aku dengan amatnya dan sekarang ia bermaksud menceraikan antaraku dengan isteriku (bagaimanakah pendapatmu)? Ibnu Abbas berkata: Kemudian Rasulullah Saw. naik ke atas mimbar lalu ia bersabda: “Hai manusia, bagaimanakah ihwal salah seorang hambanya dengan amatnya (hamba perempuan) kemudian ia bermaksud menceraikan antara keduanya? Sebenarnya talak itu (hak) bagi orang yang mengambil betis (tanggung jawab).” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni)
Artinya: “Dan dari Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah „Azza wa Jalla adalah talak.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dengan sanad yang shahih)
7
Maktabah Alfiyah, Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani: Nailul Author, (Beirut: Dar Al-Jiil, 1973), Juz. 7, h. 2 8
Imam Hafidz Abi Daud Sulaiman ibn al-Asy‟ats al-Sajastani al-Azdi, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), Cet. 1, h. 334
19
c. Ijma‟ Para fuqaha sepakat atas dibolehkannya talak ini, dan secara akal/fikiran pendapat ini adalah kuat mengingat bahwa karena talak akan dapat terjadi/dilakukan jika terdapat ketidakharmonisan dalam rumah tangga (pada keadaan suami isteri).9 Dalam perundang-undangan Indonesia mengenai perceraian ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang tercantum pada Pasal 38 sampai 41. Pada Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa: “Perkawinan dapat putus karena; a) kematian, b) perceraian, dan c) atas keputusan pengadilan. Dari bunyi pasal tersebut sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113. Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian sehingga proses penyelesaiannya pun berbeda.10
B. Jenis dan Alasan Perceraian 1. Jenis Perceraian Adapun jenis perceraian yang dimaksud, yaitu:
9
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 357
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. 4, h. 206
20
a. Cerai Talak Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, dan 131.11 b. Cerai Gugat Dalam sebuah perkawinan, keputusan untuk bercerai tidak hanya dapat jatuh pada suami, seorang isteri juga dapat mengajukan gugatan cerainya kepada Pengadilan apabila sudah tidak merasa cocok dan nyaman lagi serta tidak tahan dengan tingkah laku suaminya yang sudah tidak seperti dulu lagi. Dalam Islam, gugat cerai biasa disebut dengan khulu‟. Khulu‟ secara bahasa berarti tebusan dan menurut istilah adalah talak yang diucapkan oleh isteri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan suami.12 Sebagian ulama mendefinisikan khulu‟ secara harfiyah adalah “lepas” atau “copot”, tetapi secara istilah khulu‟ diartikan sebagai perceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafadz talak atau khulu‟.13
11
Cik Hasan Basri (et.al.), ed., Kompilasi Hukum Islam, Pasal 117, h. 176
12
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah M. Abdul Ghafar E.M, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), Cet. 5, h. 305 13
h. 131
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003), Ed. 1,
21
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf (i) memberikan pengertian mengenai khulu‟ ini. Dikatakan bahwa khulu‟ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.14 Definisi lain dari khulu‟ adalah perceraian atas permintaan isteri dengan mengembalikan mas kawin yang diterimanya. Apabila dalam sebuah rumah tangga tujuan perkawinan diduga tidak akan tercapai dan penyebabnya adalah sikap yang negatif dari pihak suami sehingga si isteri melihat perkawinan tersebut sulit dipertahankan, maka dia berhak menuntut cerai pada suaminya, dengan syarat memberikan ganti rugi harta pada suaminya.15 Khulu‟ disyari‟atkan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229, yaitu:
/ Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
14
15
Cik Hasan Basri (et.al.), ed., Kompilasi Hukum Islam, Pasal 1, h. 140
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiyar Baru Ban Hoeve, 1997), Cet. 4, Jilid. 5, h. 57
22
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Baqarah/2: 229)
2. Alasan Perceraian Alasan perceraian adalah suatu kondisi di mana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka.16 Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus/terputusnya perkawinan:17 a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Mengenai hal ini al-Quran memberikan petunjuk, yaitu:
16
Ahmad Syauqi, “Perselisihan Terus Menerus Antara Suami Isteri Akibat Turut Campur Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA.JT)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, h. 22, t.d. 17
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. 2, h. 269-274
23
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (al-Nisa‟/4: 34) Berangkat dari ayat di atas al-Quran memberikan opsi sebagai berikut: 1) Isteri diberi nasihat dengan cara yang ma‟ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang dibuatnya. 2) Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.
24
3) Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si isteri seperti betisnya.18 b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami19 Nusyuz tidak hanya dapat terjadi dan dilakukan oleh isteri, suami juga dapat berlaku nusyuz. Selama ini sering disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Quran menyebutkan adanya nusyuz dari suami sesuai dengan ayat al-Quran:
/ Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Nisa‟/4: 128)
18
Ibid, h. 270. Menurut kitab Uqud al-Lujjain, ada beberapa alas an suami boleh memukul isterinya seperti, jika isteri menolak berhias dan bersolek dihadapan suami, menolak ajakan tidur, keluar rumah tanpa izin, memukul anak kecilnya yang sedang menangis, mencaci maki orang lain, menyobek-nyobek pakain suami, mengucapkan kata-kata yang tak pantas, menampakan wajah pada laki-laki lain yang bukan mahramnya, menolak mejalin kekeluargaan dengan keluarga suami. Lihat komentar FK 3 di dalam Wajah Bara Relasi Suami-Isteri, telaah kitab „Uqud Lujjain (Yogyakarta:LKiS, fk3, 2001), h. 26 19
Ibid. h. 270-271
25
Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada isteri, baik nafkah lahir maupun nafkah bathin. c. Terjadinya perselisihan/percekcokan antara suami isteri (Syiqaq)20 Jika dua kemungkinan di atas menggambarkan salah satu pihak nusyuz sedangkan pihak lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar. Dalam hal ini al-Quran memberi petunjuk:
/ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Nisa‟/4: 35) Dari ayat di atas jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masingmasing pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga sendiri. Ini lebih mudah untuk mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. Ulama sependapat bahwa mengirim juru damai itu
20
Ibid, h. 272-273
26
diperbolehkan, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tanpa diketahui sesab-sebab perselisihan itu, yakni siapa yang benar dan siapa yang salah. Kesepakatan ini didasarkan atas firman Allah yang telah disebutkan di atas.21 d. Terjadinya salah satu pihak berbuat zina Hal ini juga disebut dengan fakhisyah, yang mana menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara penyelesaiannya adalah dengan membuktikan tuduhan yang didakwakan dengan li‟an. “Li‟an sesungguhnya telah memasuki gerbang putusnya perkawinan dan bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li‟an adalah terjadinnya talak ba‟in kubra.”22 Dalam hukum Islam perceraian dapat disebabkan oleh alasan-alasan sebagai berikut: 1) Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan tujuan dan hikmah dari perkawinan. 2) Karena salah satu pihak berpindah agama (murtad). 3) Salah satu pihak melakukan perbuatan keji yang dilarang agama. 4) Isteri meminta cerai kepada suami dengan alasan suami tidak berapologi dengan alasan yang dicari-cari dan menyusahkan isteri. 5) Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak isteri. 21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Jilid. 2, h. 625 22
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 273-274
27
6) Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad pernikahan (taklik talak).23 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, alasan-alasan perceraian itu adalah: 1) Suami tidak memberi nafkah. 2) Suami berbuat aniaya terhadap isteri. 3) Suami ghaib (berjauhan). 4) Suami dihukum penjara. Untuk alasan perceraian lainnya dapat dijumpai pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu: Dalam Pasal 19 dijelaskan bahwa alasan-alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan cerai ada enam point yang harus diperhatikan. Di antara point tersebut yaitu bila salah satu pihak (suami atau isteri) melakukan perzinahan atau pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang susah untuk disembuhkan; salah satu pihak pergi tanpa kabar selama 2 tahun; mendapat hukuman penjara minimal 5 tahun setelah menikah; melakukan kekejaman dan penganiayaan atau yang biasa disebut dengan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga); mempunyai cacat badan yang menyebabkan suami/isteri tidak dapat memenuhi
23
Muammal Hamidy, Perkawinan dan Permasalahannya, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 89
28
kewajibannya; dan antara keduanya terdapat perselisihan yang terus menerus tanpa ada hentinya dan kemungkinan tidak dapat hidup rukun kembali.24 Untuk alasan perceraian ini, dalam KHI juga menjelaskan hal yang sama tentang alasan perceraian. Hanya saja di dalam KHI terdapat dua point tambahan dalam penyempurnaannya, yaitu bila suami melanggar taklik talak yang sudah disepakati sebelum menikah dan salah satu pihak berpindah dari agama Islam (murtad) yang menyebabkan tidak ada kerukunan dalam rumah tangga.25
C. Akibat dan Hikmah Perceraian 1. Akibat Perceraian Perceraian yang telah terjadi tidak mungkin tidak menimbulkan akibat bagi yang bersangkutan. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan akibat tersebut, yaitu terdapat dalam Pasal 41 yang berisikan tiga poin di antaranya: Mengenai kewajiban memelihara dan mendidik anak yang harus dilaksanakan oleh kedua orang tuanya, dan apabila terdapat perselisihan pengadilan lah yang berhak memutuskan; semua biaya pemeliharaan dan pendidikan dibebankan kepada bapak (suami), apabila kenyataannya bapak tidak dapat menanggung, maka pengadilan memutuskan ibu (isteri) juga ikut serta
24
Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Cet. 5, Pasal 19, hal. 38 25
Cik Hasan Basri (et.al.), ed., Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116, h. 175-176
29
menanggung biaya tersebut; dan bagi suami wajib memberi biaya untuk isteri yang sudah diceraikannya/yang menceraikannya.26 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa akibat dari perceraian dijelaskan dalam Pasal 149 sampai dengan Pasal 160, yaitu: Pasal 149 menjelaskan kewajiban suami setelah perceraian harus memberikan mut‟ah kepada bekas isterinya dengan jumlah atau kadar yang wajar kecuali bila isterinya qobla al-dukhul; memberi nafkah kepada bekas isteri selama berlangsungnya masa iddah kecuali jika isteri tersebut dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan hamil; membayar lunas mahar yang belum dibayarkan; dan memberikan hak hadhonah kepada anaknya yang belum berumur 21 tahun.27 Pasal 150 dan 151 berisi bolehnya bagi suami untuk merujuk isterinya yang masih dalam masa iddah dan untuk isteri yang masih dalam masa iddah mempunyai kewajiban untuk menjaga dirinya dan tidak menerima pinangan dari orang lain. Sedangkan dalam Pasal 152 dijelaskan bagi isteri berhak menerima nafkah iddah jika dia tidak nusyuz.28 Selanjutnya dalam Pasal 153 yang berisi sebanyak enam ayat di dalamnya menjelaskan tentang resiko bagi wanita yang bercerai dari suaminya untuk
26
Lihat Pasal 41Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
27
Lihat Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
28
Lihat Pasal 150 sampai 152 Kompilasi Hukum Islam
30
melaksanakan iddah yang hitungannya bermacam-macam tergantung dari kondisi di mana antara suami isteri tersebut berpisah. Dalam pasal itu juga terdapat pengecualian bahwa tidak ada masa iddah bagi bekas isteri jika bercerai qabla al-dukhul.29 Pasal 154 dan 155 belum beranjak dari masa tunggu (iddah) untuk wanita yang bercerai karena khuluk, fasakh dan li‟an berlaku juga iddah talak. Sedangkan untuk isteri yang ditinggal mati suaminya iddahnya menjadi empat bulan sepuluh hari yang dihitung dari sejak kematian suaminya.30 Sedang untuk Pasal 156 menjelaskan akibat dari perceraian yang mengatur tentang hak pemeliharaan dan biaya keperluan anak dari mulai anak yang belum mumayyiz sampai anak yang sudah mumayyiz oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan perceraian yang terjadi.31 Kemudian Pasal 157 mengatur tentang harta bersama yang harus diperhitungkan ketika perceraian terjadi. Sedang Pasal 158 sampai 160 membicarakan mengenai mut‟ah yang wajib dbayarkan oleh bekas suami kepada bekas isteri dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dalam Kompilasi Hukum
29
Lihat Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam
30
Lihat Pasal 154 dan 155 Kompilasi Hukum Islam
31
Lihat Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam
31
Islam dan sunnah diberikan oleh bekas suami tanpa syarat serta besarnya mut‟ah itu sendiri.32 2. Hikmah Perceraian Walaupun talak itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Adapun hikmah dibolehkannya talak adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada kedua belah pihak dan orang di sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.33 Jika dilihat dari hikmah disyari‟atkan talak dari pikiran terdahulu, yaitu keinginan untuk sampai pada penyelamatan/pembebasan dari berbedanya akhlaq, datangnya kebencian secara tiba-tiba yang menjadikan tidak adanya (terciptanya) penegakan ketentuan dan hukum-hukum Allah.34
32
Lihat Pasal 157 sampai 160 Kompilasi Hukum Islam
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Ed. 1, Cet. Ke-2, h. 201 34
Imam Kamaluddin Muhammad Ibn Abdul Wahid al-Siwasi, Syarh Fathul Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz. 3, h. 463
32
Wahbah Zuhaili dalam bukunya juga mengungkapkan hikmah talak itu sendiri. Dikatakan bahwa talak sangat diperlukan untuk memutus kesulitan keluarga, diatur untuk memenuhi kebutuhan dan dibenci ketika tidak ada kebutuhan.35 Sesuai hadits:
Artinya: “Dan dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “siapa saja perempuan yang minta talak kepada suaminya tanpa ada sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Imam lima kecuali an-Nasai) D. Pengertian Syiqaq dan Sebab-sebab Timbulnya 1. Pengertian Perselisihan (Syiqaq) Syiqaq, berasal dari bahasa Arab “
” yang bermakna
” artinya pecah, berhamburan.37 Sedang “syiqaq” menurut istilah oleh
“
ulama fiqih diartikan sebagai perpecahan/perselisihan yang terjadi antara suami isteri yang telah berlarut-larut sehingga dibutuhkan perhatian khusus terhadapnya.
35
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, h. 358
36
Syaikh Faishal Ibn Abdul Aziz, Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Author, Penerjemah Muammal Hamidy, dkk., (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2001), Cet. 3, h. 2311 37
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), h.
33
Sejalan dengan pengertian tersebut “syiqaq” menurut penjelasan pasal 76 (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Syiqaq berarti “perselisihan”38 atau “retak”.39 Menurut istilah syiqaq dapat bearti krisis memuncak yang terjadi antara suami-istri sedemikian rupa, sehingga antara suami-istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran. Menjadi dua puhak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.40 Sedangkan menurut istilah fiqih, syiqaq adalah perselisihan suami-istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu serang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.41 Menurut Rahman dalam bukunya perkawinan dalam syariat Islam (1996: 85). Syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh perilaku dari salah satu pihak. Bila salah satu pihak dari pasangan suami istri itu bersifat buruk, atau salah satunya bersikap kejam kepada yang lainnya, atau seperti yang kadang kala terjadi, mereka tak dapat hidup rukun dalam satu keluarga. Maka dalam kasus ini syiqaq lebih mungkin terjadi,
38
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1974), h. 188
39
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.
40
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam, h. 188
146
41
H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 241
34
namun ia tetap akan tergantung pada kedua belah pihak, apakah mereka akan memutuskannya ataukah tidak. Perceraian akan selalu terjadi bila salah satu pihak merasa mustahil untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan terpaksa memutuskannya. Berbicara masalah syiqaq tak lepas dari yang namanya hakamain (juru damai). Menurut bahasa hakamain berarti dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri untuk menyelesaikan kasus syiqaq. 2. Sebab-sebab Timbulnya Syiqaq Sebenarnya, perkawinan itu tiada lain hanyalah suatu perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami isteri, dan apabila masing-masing pihak tak setuju dan tak cocok lagi dengan perkawinan tersebut dan untuk hidup bersama, maka perceraian antara mereka tak dapat ditunda lagi. Namun setiap terjadi percekcokan di antara mereka akan mengakibatkan perceraian. Hanya tidak adanya kesanggupan untuk hidup bersama sebagai suami isteri itulah yang menyebabkan ditempuhnya perceraian. Dari pernyataan di atas, adapaun yang dapat menjadi sebab-sebab terjadinya syiqaq antara suami isteri antara lain: a. Suami menderita impoten atau salah satu mengidap penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan hubungan suami isteri;
35
b. Jika suami dipenjara seumur hidup atau sampai waktu yang lama; c. Suami pergi tanpa memberi kabar sama sekali, atau apabila suami cacat selama-lamanya dan tak bias lagi memberi nafkah kepada isterinya; d. Salah satu pihak berkelakuan jahat, atau salah satu pihak berlaku kejam terhadap pihak lain, atau tak ada persesuaian dalam perangai mereka sehingga tidak dapat hidup bersama lagi.
E. Syiqaq Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Syiqaq Menurut Hukum Islam Dalam Islam, sebenarnya permasalahan mengenai syiqaq sudah tidak asing lagi bagi kita, karena salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam al-Qur‟an surah al-Nisa‟ ayat 35, Allah Swt. telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan.42
/ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang 42
Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian, artikel diakses pada 20 Juni 2011 dari http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html
36
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Nisa‟/4: 35) Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. Hakam yang dimaksudkan dalam AlQur‟an terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri.43 Menurut ayat diatas juga, jika terjadi kasus antara suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri yang berfungsi untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang terbaik.44 Terhadap kasus syiqaq ini, hakam bertugas menyelidiki dan mencari hakekat permasalahannya, sebab-sebab timbulnya persengketaan, dan berusaha sebesar mungkin untuk mendamaikan kembali. Agar suami istri kembali hidup bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika dalam perdamian itu tidak mungki ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan
43
Ibid.
44
H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 241
37
keputusannya menetapkan perceraian tersebut.45 Hakamain (kedua hakam) itu boleh memutuskan perpisahan antara suami istri, tanpa suami menjatuhkan talaq.46 Arti hakam yang tersebut pada ayat 35 surat al-Nisa‟ para ahli fiqh berbeda pendapat: a. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan qaul qadim dari pengikut Imam Syafi‟i, “hakam” itu berarti wakil. Sama halnya dengan wakil, maka maka hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak isteri sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami, begitu pula hakam dari pihak tidak boleh mengadakan khulu‟ sebelum mendapat persetujuan dari isteri. b. Menurut Imam Malik, sebagian lain pengikut Imam Hambali dan qaul jadid pengikut Imam Syafi‟i. Hakam itu sebagai hakim, sebagai hakim maka hakam boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami isteri yang sedang berselisih itu, apakah ia akan memberi keputusan perceraian atau ia akan memerintahkan agar suami isteri itu berdamai kembali.47
45
Ibid.
46
Sidi Gazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan (Jakarta: Pustaka Antara Jakarta, 1974),
47
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam, h. 189
h. 102
38
Menurut pendapat pertama yang menyangkut hakam adalah pihak suami dan pihak isteri, karena ayat 35 diatas diajukan kepada mereka. Menurut pendapat kedua bahwa yang menyangkut hakam itu adalah hakim atau pemerintah, karena ayat diatas diajukan kepada seluruh muslimin. Dalشm hal perselisihan suami-isteri, urusan mereka diselesaikan pemerintah mereka atau oleh hakim, yang telah diberi wewenang untuk mengadili perkara yang disampaikan.48
Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba‟in.
artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah baru.49 2. Syiqaq Menurut Hukum Positif Dalam hukum positif Indonesia keberadaan syiqaq ini diakui dalam perundang-undangan. Dimana hal ini juga menjadi rumusan undang–undang untuk alasan perceraian antara suami isteri. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
48
Ibid, h. 190
49
H. Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 242
39
pertengkaran dan tidak ada akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 50 Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam Kompilasi Hukum Islam.51 Karena terdapat sebab itulah kemudian hukum Positif juga mengatur tentang hakam untuk mengatasi masalah syiqaq yang terjadi antara suami isteri. Jika hakam yang dimaksudkan dalam al-Quran terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami isteri. Sedang hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2) boleh dari pihak keluarga suami saja, atau dari pihak keluarga isteri saja, bahkan diperbolehkan hakam yang terdiri dari pihak lain. Namun demikian, maksud dan tujuan pembuat undang-undang bukanlah untuk menyingkirkan ketentuan surat al-Nisa‟ ayat 35, tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung problema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya. Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.52 Menurut Noel J. Coulson dan Morteza Mutahhari (1985: 243), hakam dipilih dari keluarga suami
50
Lihat Pasal 41 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan 51
Lihat Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam
52
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 76 ayat (2)
40
dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.53
53
Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian, artikel diakses pada 20 Juni 2011 dari http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaian-sengketa.html
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a. Komandan Distrik sebagai Ketua. b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota.1 Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”.2
1
Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur Diambil Pada Tanggal 3 Januari 2011, h. 1
2
Ibid, h. 1
41
42
Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum, karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).3 Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa : “Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera, maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka.”4 Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor cabang, antara lain : a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat
3
Ibid, h. 1
4
Ibid, h. 1
43
d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.5 B. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan dan 65 kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah: 1. Sebelah utara dengan: Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat 2. Sebelah barat dengan: Kodya Jakarta Selatan 3. Sebelah selatan dengan: Kabupaten Bogor/Kodya Depok 4. Sebelah timur dengan: Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi.6 Luas wilayah: 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa (besumber data BAPEKO TAHUN 2003). Jumlah penduduk yang beragama Islam 2.569.390 jiwa (bersumber data Depag. tahun 2003). Kodya Jakarta Timur adalah wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur.7 Adapun 10 wilayah kecamatan tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Kecamatan Matraman, terdiri dari 6 (enam) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 153.484 jiwa, yaitu: Kelurahan Kebon Manggis, Kelurahan Palmeriam, Kelurahan Pisangan Baru, Kelurahan Kayu Manis, Kelurahan Utan Kayu Utara, Kelurahan Utan Kayu Utara dan Kelurahan Utan Kayu Selatan.
5
Ibid, h. 1
6
Ibid, h. 3
7
Ibid, h. 3
44
2)
Kecamatan Jatinegara, teridri dari 8 (delapan) Kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 250.186 jiwa, yaitu: Kelurahan Bali Mester, Kelurahan Bidaracina, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kelurahan Cipinang Muara, Kelurahan Rawa Bunga dan Kelurahan Kampung Melayu Kecil.
3)
Kecamatan Pasar Rebo, terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 240.074 jiwa, yaitu: Kelurahan Baru, Kelurahan Cijantung, Kelurahan Gedong, Kelurahan Kalisari dan Kelurahan Pekayon.
4)
Kecamatan Kramat Jati, terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 175.883 jiwa, yaitu: Kelurahan Balekambang, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Cawang, Kelurahan Cililitan, Kelurahan Dukuh, Kelurahan Kampung Tengah dan Kelurahan Kramat Jati.
5)
Kecamatan Pulogadung terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 250.878 jiwa, yaitu: Kelurahan Cipinang, Kelurahan Jati, Kelurahan Jatinegara Kaum, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Pisangan Timur, Kelurahan Pulogadung dan Kelurahan Rawamangun.
6)
Kecamatan Cakung terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 251.184 jiwa, yaitu: Kelurahan Cakung Barat, Kelurahan Cakung Timur, Kelurahan Jatinegara, Kelurahan Penggilingan, Kelurahan Pulogebang, Kelurahan Rawa Terate dan Kelurahan Ujung Menteng.
7)
Kecamatan Ciracas, terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 160.679 jiwa, yaitu: Kelurahan Cibubur, Kelurahan Ciracas, Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Kelurahan Rambutan dan Kelurahan Susukan.
8)
Kelurahan Cipayung terdiri dari 8 (delapan) kelurahan dengan jumlah penduduknya sebanyak 171.883 jiwa, yaitu: Kelurahan Ceger, Kelurahan Cilangkap, Kelurahan Cipayung, Kelurahan Lubang Buaya, Kelurahan Munjul, Kelurahan Pondok Rangon dan Kelurahan Setu.
45
9)
Kecamatan Makasar terdiri dari 5 (lima) kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 193.085 jiwa, yaitu: Kelurahan Cipinang Melayu, Kelurahan Halim, Kelurahan Kebon Pala, Kelurahan Pinang Ranti dan Kelurahan Makasar.
10) Kecamatan Duren Sawit terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan dengan jumlah penduduknya 203.280 jiwa: Kelurahan Duren Sawit, Kelurahan Malaka Jaya, Kelurahan Pondok Kopi, Kelurahan Pondok Bambu dan Kelurahan Klender.8 C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama
9
8
Ibid, h. 3. data terlampir
9
Struktur Organisasi, Diakses pada 3 Januari 2011 dari http://www.pajakartatimur.net
46
D. Denah Kantor dan Keterangan Gedung Pengadilan Agama 1. Denah Kantor Lantai 1
Lantai 2
Lantai 3
10
10
Denah. Diakses pada 3 Januari 2011 dari http://www.pajakartatimur.net
47
2. Keterangan Gedung a) Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur Gedung lama, terletak di Jakarta Timur, dengan alamat Jl. Raya Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung Timur dibangun di atas tanah negara milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 M2, luas bangunan 360 M2, terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 di bawah APBN Depag RI, dengan keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang relatif padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah dengan pegawai honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 1997/1998, melalui anggaran APBN/ABBD DKI Jakarta Pemerintah telah membangun tambahan gedung 1 lantai di lokasi yang sama seluas 360 m2, sehingga sekarang ini menjadi 2 lantai dan 14 ruangan.11 b) Gedung Baru Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa Dua Wetan alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 kode pos 13750 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai yang dibangun tahun 2003 dengan Dana Pemda DKI Jakarta. Gedung baru kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat begitu pula dengan
11
Arsip, h. 4
48
karyawan yang berjumlah 70 orang PNS, ditambah dengan pegawai honorer 13 orang, pada tanggal 1 Maret 2004 seluruh karyawan/i dan membleir pindah ke kantor tersebut sampai dengan sekarang.12
E. Peta Lokasi Pengadilan Agama
13
F. Daftar Pejabat di Pengadilan Agama 1. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Adapun jumlah ketua Pengadilan Agama Jakarta timur mulai dari tahun 1962 sampai tahun 2011 adalah sebanyak 14 (empat belas) orang, yang rata-rata
12
Ibid, h. 4
13
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
49
berasal dari IAIN yang sekarang berubah menjadi UIN. Selain dari IAIN ada pula yang berasal dari pesantren hanya satu orang yakni ketua pada periode pertama dan yang lainnya berasal dari universitas Islam selain IAIN.14 2. Daftar Nama Pegawai Kesekretariatan/Administrasi Pengadilan Agama Pegawai kesekretaritan/administrasi pengadilan agama terdiri wakil sekretaris sampai pada staf-staf pemegang kendali semua yang berhubungan dengan pengadilan agama itu sendiri. Rata-rata pendidikan terakhir bagian ini adalah sarjana minimal D3 ada juga yang sudah menjadi S2.15 3. Daftar Nama Pegawai Teknis Pengadilan Agama Sebanyak 18 (delapan belas) orang yang menjadi pegawai teknis di Pengadilan Agama yang kesemuanya merupakan lulusan dari universitasuniversitas yang diakui. Dan rata-rata berasal dari IAIN (sekarang UIN), hanya beberapa saja yang dari luar IAIN. Pegawai teknis ini ialah menjadi ketua dan wakil ketua Pengadilan dan yang lainnya adalah hakim.16 4. Daftar Nama Tenaga Kepaniteraan Pengadilan Agama Beranjak dari pegawai teknis kemudian ke tenaga kepaniteraan yang dipimpin oleh ketua Panitera. Panitera mempunyai bagian-bagian yakni dari panitera muda gugatan, panitera muda hukum dan panitera permohonan. Sedangkan sebanyak 12
14
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
15
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
16
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
50
(dua belas) orang menjadi panitera pengganti, tiga orang staf panitera muda hukum dan satu orang staf panitera muda gugatan dan lainnya masih calon hakim. Rata-rata berpendidikan terakhir S117 5. Daftar Nama Kejurusitaan Pengadilan Agama Bagian yang terakhir dari pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur yaitu kejurusitaan. Bidang ini dipegang oleh sebanyak 11 (sebelas) orang, di antaranya sebagai juru sita dan lainnya sebagai juru sita pengganti. Rata-rata berpendidikan terakhir SLA.18
17
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
18
Daftar Pejabat, Diakses Pada http://www.pajakartatimur.net. Data terlampir
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 229/Pdt. G/2008/PA.JT PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR A. Duduknya Perkara Pengadilan Agama dalam wilayah yuridiksinya mempunyai tugas yakni menerima, memeriksa, dan mengadili perkara perdata yang datang kepadanya. Pengadilan Agama bersifat pasif, yakni menunggu perkara datang, bukan menjemput perkara. Dalam perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT tergolong dalam perkara cerai talak. Yang mana pemohon adalah suami yaitu Tutur Budiman bin Ahmad Munir, umur 40 tahun, agama Islam, pendidikan D3, pekerjaan karyawan, bertempat tinggal di Jalan Kp. Pulo Jahe Rt. 006 Rw. 014 Kelurahan Jatinegara Kecamatan Cakung Kota Jakarta Timur. Dan termohon adalah isteri yaitu Nunung Nuraeni binti H. Hadori, umur 32 tahun, agama Islam, pendidikan SMA, pekerjaan guru TK, bertempat tinggal di Jalan Centra Primer Gg. Sadar II Rt. 07 Rw. 08 No. 21C Kelurahan Pulogebang Kecamatan Cakung kota Jakarta Timur.1 Perkawinan mereka telah tercatat di PPN KUA Kecamatan Maleber, Kuningan Jawa Barat dengan akta nikah Nomor 260/08/VII/2007 tanggal 7 Juli 2007. Setelah menikah pemohon dan termohon hidup rukun namun belum pernah
1
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 1
51
52
berhubungan badan layaknya suami isteri dan keduanya bertempat tinggal di Pulo Jahe Jakarta Timur selama 4 bulan. Akan tetapi kehidupan rumah tangga pemohon dan termohon mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi sejak bulan Juli tahun 2007. Perselisihan dan pertengkaran itupun semakin memuncak terjadi pada bulan November tahun 2007. Adapun sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena: 1. Pernikahan pemohon dan termohon terjadi bukan atas dasar rasa cinta mencintai, tetapi karena perjodohan. 2. Termohon dan pemohon berbeda pendapat satu sama lain dalam membina rumah tangga. 3. Termohon tidak mampu nafkah bathin.2 Sejak berpisah tempat tinggal selama kurang lebih 4 bulan, maka hak dan kewajiban suami isteri tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak itu termohon tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai isteri terhadap pemohon, meskipun pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan/cara bermusyawarah atau berbicara dengan termohon secara baik-baik namun tidak berhasil. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka pemohon mengajukan permohonannya kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur tertanggal 13 Februari
2
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 2
53
2008 yang terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur dengan memohon agar Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur/Majelis Hakim mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya dan memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj'i terhadap termohon, serta menetapkan biaya perkara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.3 B. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan bagi yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.4 Pelaksanaan tugas peradilan seorang hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan siapapun, bahkan ketua pengadilan sendiri tidak berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakannya. Hakim bertanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang telah ditetapkan.5
3
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 2-3
4
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010), Buku II, Ed. Revisi, h. 53 5
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), Cet. VII, h. 32
54
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, kedua belah pihak (pemohon dan termohon) hadir dalam persidangan. Kemudian majelis hakim berusaha untuk mendamaikan keduanya agar rukun kembali. Selanjutnya majelis hakim melakukan pemeriksaan dengan membacakan surat permohonan yang diajukan pemohon tertanggal 13 Februari 2008 kepada pengadilan yang mana pemohon tetap bersikukuh untuk mempertahankan isi dari surat permohonan yang intinya ingin bercerai dengan termohon (istri). Atas permohonan pemohon tersebut termohon dalam hal ini menyampaikan jawabannya secara tertulis yang pada pokok isinya termohon menolak secara tegas dalil-dalil permohonan pemohon kecuali yang secara tegas diakui dan dibenarkan oleh termohon, yakni adanya pertengkaran yang terjadi antara pemohon dan termohon dan adanya pisah rumah antara pemohon dan termohon sejak bulan November 2007. Selanjutnya dilanjutkan dengan replik dan duplik.6 Dalam replik pemohon masih mempertahankan permohonannya sedangkan dari duplik pihak termohon juga mempertahankan jawabannya semula. Dari replik duplik tersebut tidak menemui kecocokan, maka kemudian keduanya telah mengajukan kesimpulan dan memohon putusan kepada majelis hakim.7 Selanjutnya, untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya pemohon telah mengajukan alat-alat bukti berupa fotokopi kutipan akta nikah Nomor
6
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 3
7
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 5
55
260/08/VII/2007 tanggal 7 Juli 2007 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Maleber, Kuningan Jawa Barat (P.1). Selain bukti surat, pemohon juga menghadirkan satu orang saksi keluarga yang memberikan keterangan di depan sidang dengan di bawah sumpah yaitu: Nanang Haryono bin Sukirman, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Kp. Medayu Rt. 003 Rw. 02 Desa Medayu Kecamatan Wanadadi Banjar Negara, yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut: -
Bahwa saksi adalah keponakan pemohon dan kenal dengan termohon sebagai isteri pemohon
-
Bahwa pemohon dan termohon sudah pisah rumah sejak bulan November 2007
-
Bahwa perkawinan mereka dijodohkan bukan didasari rasa cinta mencintai
-
Bahwa saksi telah menasehati mereka agar rukun kembali, namun tidak berhasil.8
Selain pemohon, termohon juga mengajukan alat-alat bukti seperti yang dilakukan oleh pemohon, yaitu bukti surat berupa salinan akta nikah Nomor 260/08/VII/2007 tanggal 7 Juli 2007 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Maleber, Kuningan Jawa Barat (T.1).
8
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 6
56
Selain bukti surat, termohon juga mengajukan bukti satu orang saksi, yaitu: Abas bin H. Hadori, umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, bertempat tinggal di Jalan Kp. Penggilingan Rt. 012 Rw. 003 Kelurahan Penggilingan Kecamatan Cakung kota Jakarta Timur. Yang memberikan keterangannya di bawah sumpah sebagai berikut: -
Bahwa saksi adalah kakak kandung termohon
-
Bahwa saksi bertetangga dekat dan kenal dengan pemohon sebagai suami termohon
-
Bahwa pemohon dan termohon sudah pisah rumah sejak bulan November 2007
-
Bahwa pemohon telah berselingkuh dengan wanita lain
-
Bahwa pemohon tidak dapat memberikan nafkah bathin sejak pernikahan terjadi kepada termohon
-
Bahwa saksi telah mendamaikan mereka namun tidak berhasil.9
Atas keterangan saksi-saksi tersebut, menyatakan bahwa saksi sudah menasehati keduanya tetapi tidak berhasil dan pemohon dan termohon tetap pada alasan-alasan semula. Setelah mendengar keterangan dari saksi-saksi, pemohon dan termohon telah mencukupkan pembuktiannya dan pada akhirnya pemohon dan termohon telah mengajukan kesimpulan dan mohon putusan.
9
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 6
57
Untuk meringkas uraian dalam putusan ini, majelis hakim cukup menunjuk berita acara persidangan ini. Mengenai hukumnya maksud dan tujuan permohonan pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas, majelis hakim telah berusaha memberi nasehat dan mendamaikan pemohon dan termohon agar rukun kembali dalam membina rumah tangganya, namun tetap tidak berhasil. Hal ini sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974.10 Pemohon dalam permohonannya menyatakan ingin mentalak termohon adalah karena sering terjadi percekcokan dan pertengkaran yang disebabkan oleh hal-hal sebagaimana tersebut dalam point 5 tentang duduk perkaranya pada surat permohonan pemohon.11 Atas
permohonan
pemohon
tersebut,
termohon
tidak
sepenuhnya
membenarkan dalil-dalil pemohon. Namun dari dalil-dalil permohonan pemohon dan tanggapan dari termohon dapatlah disimpulkan bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah benar telah terjadi perselisihan dan
10
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 6-7
11
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 7
58
pertengkaran antara pemohon dan termohon yang terjadi sejak bulan Juli tahun 2007 dan puncaknya pada bulan November tahun 2007.12 Dalam
meneguhkan
dalil-dalilnya,
pemohon
dan
termohon
telah
mengajukan alat-alat bukti yang terdiri dari bukti surat bertanda P.1 dan bertanda T.1 dan satu orang saksi dari pemohon dan satu orang saksi dari termohon. Bukti surat bertanda P.1 dan T.1 berupa asli kutipan akta nikah nomor 260/08/VII/2007 tanggal 7 Juli 2007 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Maleber, Kuningan Jawa Barat. Bukti tersebut adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dan dalam surat tersebut memuat tentang telah terjadinya akad nikah antara pemohon dan termohon pada tanggal 7 Juli 2007.13 Dengan demikian majelis hakim menilai bukti P.1 dan T.1 adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil sehingga mempunyai kekuatan hukum atau pembuktian yang sempurna dan mengikat sesuai dengan Pasal 165 HIR. Oleh karenanya majelis hakim menilai bahwa pemohon dan termohon adalah pasangan suami isteri yang sah dan belum mempunyai anak karena belum pernah berhubungan badan. Bahwa alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh pemohon adalah antara pemohon dengan termohon sering terjadi perselisihan faham yang disebabkan pernikahan mereka dijodohkan, tanpa ada rasa cinta. Dan antara pemohon dan
12
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 7
13
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 5
59
termohon dalam membina rumah tangga terjadi perbedaan pendapat satu sama lain serta terjadi pertengkaran karena tidak ada nafkah bathin dan secara yuridis alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh Pemohon tersebut mengacu pada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.14 Selanjutnya meskipun termohon tidak mengakui sepenuhnya dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon, namun dalam jawabannya termohon mengakui bahwa antara pemohon dengan termohon terjadi pertengkaran, hanya saja alasannya berbeda dengan yang diajukan oleh pemohon. Adapun alasannya yaitu pemohon tidak dapat memberikan nafkah bathin sejak awal pernikahan. Dan termohon juga mengakui bahwa adanya pisah tempat tinggal sejak bulan November 2007. Dari jawaban termohon tersebut, kemudian terungkap fakta-fakta sebagai berikut: -
Pemohon dan termohon sering terjadi percekcokan dengan sebab pemohon tidak dapat memberi nafkah bathin
-
Pemohon dan termohon pisah rumah sejak bulan November 2007 dikarenakan adanya keributan.15
14
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 8
15
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 7
60
Setelah bukti saksi keluarga yang keterangannya tidak terdapat kecocokan antara keduanya, di mana saksi dari pemohon menyampaikan bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sulit untuk dipertahankan karena perkawinan mereka dijodohkan yang berakibat pada percekcokan sampai pemohon dan termohon pisah rumah. Sedangkan saksi dari pihak termohon menyampaikan bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sulit dipertahankan karena pemohon telah berselingkuh dengan wanita lain dan pemohon tidak memberikan nafkah bathin kepada termohon yang juga berakibat pada percekcokan sampai mereka pisah rumah. Setelah terungkap fakta-fakta dari keterangan saksi-saksi bahwa telah terjadi perselisihan antara pemohon dengan termohon yang sulit untuk dirukunkan kembali selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan petitum permohonan pemohon. Terhadap petitum pemohon untuk mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut: -
Pemohon dan termohon adalah suami isteri yang sah sesuai bukti P.1 dan T.1.
-
Dalil-dalil yang dikeluarkan pemohon seluruhnya tidak disetujui oleh termohon, maka dalam hal ini majelis mempertimbangkan putusan dengan mengambil jalan tengah, yang tidak mendeskreditkan termohon yakni bahwa adanya pertengkaran dan pisah rumah antara pemohon dengan termohon yang diakui oleh termohon.
61
-
Pemohon telah menguatkan dalil-dalil permohonannya melalui alat-alat bukti di persidangan dan terbukti bahwa rumah tangga pemohon dan termohon terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sudah tidak dapat dirukunkan kembali.
-
Berdasarkan fakta antara pemohon dan termohon telah berpisah rumah selama 4 bulan, kondisi ini merupakan indikasi bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sudah tidak harmonis lagi karena perselisihan dan pertengkaran antara mereka telah mencapai klimaks.
-
Keluarga pemohon telah berusaha mendamaikan mereka namun tidak berhasil sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, kondisi ini menunjukkan bahwa rumah tangga pemohon dan termohon sudah pecah sehingga tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Quran surat al-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati dan dijadikan-Nya kasih sayang di antara kamu,
62
sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir.” tidak dapat terwujud.16 Dari fakta-fakta tersebut terbukti kedua belah pihak pemohon maupun termohon telah kehilangan hakikat dan makna dari tujuan perkawinan tersebut di mana ikatan perkawinan sedemikian rapuh, tidak lagi terdapat rasa sakinah (ketenangan) dan telah luput dari rasa mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) dan mempertahankan perkawinan seperti itu tidak akan membawa maslahat, bahkan mungkin melahirkan madharat yang lebih besar bagi pemohon dan termohon. Berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan dan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan majelis hakim berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan pemohon telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka telah cukup alasan bagi majelis hakim untuk mengabulkan permohonan pemohon. Terhadap petitum pemohon untuk menjatuhkan jatuh talak satu raj'i pemohon terhadap termohon, maka majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
16
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 7-8
63
-
Oleh karena majelis hakim telah mengabulkan permohonan pemohon dengan alasan dalil-dalil permohonan telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka majelis hakim dapat menetapkan memberi izin kepada pemohon (Tutur Budiman bin Ahmad Munir) untuk mengucapkan ikrar talak terhadap termohon (Nunung Nuraeni binti H. Hadori) di depan sidang pengadilan Pengadilan Agama Jakarta Timur setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.
-
Oleh karena perceraian atas kehendak pemohon, sedang termohon bukan termasuk isteri yang nusyuz, dan pemohon juga tidak memberikan nafkah bathin kepada termohon, maka termohon tidak mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah iddah dari pemohon, pemohon hanya dihukum untuk memberikan mut'ah kepada termohon.17
Terhadap petitum pemohon tentang biaya perkara, berdasarkan Pasal 189 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diperbaharui dengan Unang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka majelis hakim menetapkan biaya perkara dibebankan kepada pemohon.18
17
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 8
18
Salinan Putusan Perkara Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT., h. 8
64
Pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan hukum Islam yang berkenaan dengan perkara ini. C. Analisa Penulis Dalam Islam perkawinan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benarbenar dalam keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap berada dalam ikatan perkawinan. Agama Islam membolehkan perceraian dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah Swt.19 Perceraian menurut agama Islam diakui sebagai solusi terakhir dalam menghadapi kemelut rumah tangga. Walaupun perceraian dibolehkan, tetapi melanggar prinsip-prinsip serta tujuan dalam pernikahan itu sendiri seolah menjadi biasa serta gagal dalam membina rumah tangga dengan konsekuensi logis. Bila perceraian dilakukan maka sebuah rumah tangga menjadi seolah-olah neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya.20 Seperti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 229/Pdt. G/2008/PA.JT yang disebabkan karena dalam rumah tangga pemohon dan termohon jauh dari adanya nafkah bathin.
19
Ahmad Shidiq, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam, (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2001), Cet.
20
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), Cet.
1, h. 55
1, h. 148
65
Dalam perkara cerai ini yang tergolong dalam cerai talak pemohon Tutur Budiman bin Ahmad Munir mengajukan permohonannya kepada Pengadilan Agama untuk menceraikan isterinya Nunung Nuraeni binti H. Hadori pada tanggal 13 Februari 2008. Yang menjadi alasan pemohon dalam surat permohonannya adalah bahwa pernikahan antara pemohon dan termohon bukan atas dasar cinta mencintai, namun karena perjodohan yang kemudian mengakibatkan pemohon dan termohon sering berbeda pendapat dalam membina rumah tangga sehingga nafkah bathin pun tidak pernah terjadi. Hemat penulis bahwa inti dari alasan perceraian dalam perkara tersebut adalah perselisihan dam pertengkaran antara pemohon dan termohon. Perselisihan ini terjadi disebabkan tidak terpenuhinya nafkah bathin baik dari pemohon maupun termohon, yang mana pemohon mengungkapkan bahwa pernikahan mereka karena perjodohan yang kemudian mengakibatkan pemohon dan termohon sering berbeda pendapat dalam membina rumah tangga. Menurut hakim yang penulis wawancara juga mempunyai jawaban bahwa dalam Undangundang tidak terdapat alasan yang seperti disebutkan, yang dijadikan alasan pokok juga bukan karena dijodohkannya, namun alasannya karena ditipu dengan melakukan perkawinan yang kemudian timbul percekcokan antara suami istri tersebut.21 Dari hal itu jelas bahwa alasan perceraian yang diajukan oleh pemohon sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
21
Munifah Djam’an, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Wawancara Pribadi, Jakarta, 18 Maret 2011
66
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Hal ini juga sesuai dengan putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim. Dalam proses persidangan majelis hakim pun sudah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan memberi nasihat, namun tidak juga berhasil. Yang dilakukan majelis hakim dalam hal ini sudah sesuai dengan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Namun majelis hakim kurang dalam mengambil landasan hukum, seharusnya majelis hakim juga mencantumkan satu pasal lagi yaitu Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah dilakukan usaha untuk mendamaikan, selanjutnya pemohon membacakan
surat
permohonan
yang
pada
intinya
pemohon
tetap
mempertahankan isi dari permohonannya tersebut. Giliran termohon menjawab isi permohonan dari pemohon dengan jawaban secara tertulis. Dalam jawaban itu termohon menolak secara tegas isi permohonan kecuali yang secara tegas diakui dan dibenarkan oleh termohon, yakni adanya perselisihan dan pertengkaran dan adanya pisah rumah sejak bulan November 2007. Terdapat hal-hal yang menurut termohon tidak sesuai. Dari jawaban termohon diungkap fakta-fakta yang pada
67
intinya menurut termohon pertengkaran yang terjadi bukan karena perjodohan yang terjadi pada pernikahan mereka seperti yang telah diungkap oleh pemohon, tetapi karena pemohon tidak dapat memberi nafkah bathin kepada termohon. Dari pernyataan termohon itu sudah dapat diketahui bahwa termohon mengakui adanya pertengkaran, hanya saja penyebabnya yang berbeda. Dari pernyataan hakim yang penulis wawancara, dalam hal pemohon tidak memberikan nafkah bathin adalah wajar karena memang sudah dari awal pernikahan pemohon tidak menaruh cinta kasih kepada termohon, dengan alasan pernikahan mereka terjadi karena dijodohkan. Hemat penulis termohon dalam jawabannya yang menentang terhadap dalildalil dari permohonan pemohon berarti masih harus dilanjutkan dengan proses replik dan duplik. Diketahui dari hasil replik pemohon tetap pada permohonannya semula, begitu juga dengan termohon dalam duplik yang tetap mempertahankan jawabannya. Dari hasil replik duplik yang dilakukan, akhirnya pihak pemohon dan termohon mengajukan kesimpulan dan memohon kepada majelis hakim untuk memutus perkara ini. Mengenai pembuktian pemohon dan termohon sama-sama mengajukan bukti surat dalam bentuk kutipan akta nikah nomor 260/08/VII/2007 tanggal 7 Juli 2007 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Maleber, Kuningan Jawa Barat dan satu orang saksi dari pemohon dan satu orang saksi dari termohon. Saksi-saksi adalah keluarga dari pemohon dan juga keluarga dari termohon dan keterangan
68
dari saksi-saksi tersebut bertolak belakang karena antara saksi dari pemohon dan saksi dari termohon mengemukakan pernyataan yang berbeda yang antara lain menjelaskan: -
Saksi dari pihak pemohon mengatakan bahwa benar antara pemohon dan termohon terjadi perselisihan hingga akhirnya pisah rumah karena pemohon dan termohon menikah karena dijodohkan dan saksi sudah berusaha mendamaikan keduanya namun tidak berhasil.
-
Saksi dari pihak termohon mengatakan bahwa benar antara pemohon dan termohon terjadi perselisihan hingga akhirnya pisah rumah karena pemohon telah berselingkuh dengan wanita lain dan pemohon tidak memberikan nafkah bathin kepada termohon serta saksi sudah berusaha mendamaikan namun tidak berhasil.
Pemohon dan termohon pun membenarkan persaksian dari pihak masingmasing. Namun pada intinya persaksian mereka sama yaitu terjadi perselihan dan pertengkaran antara pemohon dan termohon. Hemat penulis mengenai alat bukti surat sudah sesuai dengan Pasal 165 HIR yang mana bukti surat adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formal dan syarat materiil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna22, sedangkan untuk bukti saksi juga sudah sesuai dengan Pasal 22 ayat (2)
22
Yang mengandung arti bahwa ia tidak memerlukan lagi suatu penambahan pembuktian dus ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna. Lihat A. Patra M. Zen dan Uli Parulian Sihombing. Ed., Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga Bantuan HUkum (LHB) Jakarta, 2001), h. 64
69
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974. Putusan hakim terhadap perkara ini berpijak pada peraturan yang sesuai. Adapun yang menjadi landasan hakim adalah Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Hemat penulis putusan ini jika dilihat dari landasan hukumnya sudah terpenuhi, hanya saja jika dilihat dari masalahnya seharusnya dapat juga mengambil dari Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 77 ayat (5) Kompilasi Hukum Islam. Kemudian dengan adanya alasan perkawinan keduanya hasil dari dijodohkan yang mengakibatkan suami isteri cekcok dan bertengkar serta tidak adanya nafkah bathin dapat dijadikan sebagai alasan dalam mengajukan perceraian karena mengajukan perkara/permohonan adalah hak dari pemohon dan pengadilan hanya bersifat pasif, yakni menunggu datangnya perkara. Yang menjadi alasan hakim dalam putusan ini adalah bahwa akibat perceraian bukanlah karena dijodohkan saja, tetapi hakim juga melihat dari penyebabnya yaitu karena antara pemohon dan termohon terjadi perselisihan yang sudah sulit untuk dirukunkan kembali karena tidak adanya nafkah bathin.
70
Sedangkan jika dilihat dari hukum Islam alasan perceraian dalam perkara ini adalah syiqaq. Syiqaq ini disebabkan oleh pernikahan yang dijodohkan tanpa ada rasa cinta mencintai yang menyebabkan pertengkaran dan perselisihan itu timbul. Dalam amar putusan majelis hakim terhadap perkara ini adalah mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya. Hal ini berarti seluruh isi petitum pemohon dikabulkan, yaitu menetapkan memberi izin kepada pemohon (Tutur Budiman bin Ahmad Munir) untuk mengucapkan talak terhadap termohon (Nunung Nuraeni binti H. Hadori) di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berarti dalam penyelesaian perkara ini adalah dengan jalan perceraian.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Menurut hukum Islam syiqaq dapat terjadi antara suami isteri karena sebabsebab tertentu yang mengakibatkan kedua belah pihak tidak dapat hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dalam Islam jika antara suami isteri terjadi syiqaq (perselisihan) maka sebaiknya diutus dua orang hakam satu berasal dari pihak suami dan satu dari pihak isteri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab-musabab terjadi syiqaq dimaksud, serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah (cerai) yang terbaik. Sedangkan menurut hukum positif syiqaq diakui secara tegas dalam Undang-undang yang dituangkan dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang juga mengatakan bahwa apabila dalam suatu rumah tangga yakni antara suami isteri terdapat perselisihan (syiqaq) sebelum memasuki gerbang perceraian maka diharuskan untuk diutusnya hakam baik dari pihak suami maupun dari pihak isteri. 2. Adapun yang menyebabkan syiqaq itu timbul adalah karena kemungkinan timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama, atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya, sehingga tak mampu memberi nafkah pada istrinya, maka dalam 71
72
keadaan demikian dapat terjadi syiqaq kalau istri menginginkan perceraian, dapat juga sebab-sebab itu terjadi kepada isteri, maka suami pun boleh mengajukan permohonan cerainya jika ia menginginkan. 3. Dari perkara 229/Pdt. G/2008/PA.JT yang terjadi majelis hakim berpendapat bahwa alasan yang dipakai dalam permohonannya dapat dikatakan telah sejalan dengan alasan perceraian yang dirumuskan oleh Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam keluaran Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Dan dari Pasal-pasal tersebut maka penyelesaian perkara perceraian karena perselisihan antara suami isteri ini adalah dengan putusan talak satu raj’i. B. Saran 1. Seharusnya teori dan pengetahuan mengenai hal-hal yang menyebabkan terjadinya syiqaq disosialisasikan kepada masyarakat melalui media seperti kultum, kuliah shubuh, pengajian, khatib Jum’at dan sejenisnya. 2. Syiqaq dapat menyebabkan perceraian, karena itu harus ada keterbukaan antara pihak suami dan pihak isteri untuk mengungkapkan masalah-masalah yang sedang dihadapi. 3. Perlu diadakannya penelitian tentang jumlah yang mengarah pada positif dan negatif tentang kondisi objektif perselisihan antara suami isteri yang diakibatkan sebab-sebab tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya. Abi Daud Sulaiman Ibn al-Asy‟ats al-Sajastani al-Azdi, Imam Hafidz. Sunan Abi Daud, Cet. 1. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998. Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah. Juz. 4. Bur Sa‟id: Maktabah Al-Tsaqafah Ad-Diniyah, t.th Ali bin Muhammad As-Syaukani, Muhammad bin. Nailul Author. Juz. 7. Beirut: Dar Al-Jil, 1973 Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Cet. 3. Juz. 7. Beirut: Dar alFikr, 1989 Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur diambil pada tanggal 3 Januari 2011. Akto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Cet. 4. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Ayyub, Syaikh Hasan. Penerjemah M. Abdul Ghafar E.M. Fikih Keluarga. Cet. 5. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. 4. Jilid. 5. Jakarta: Ichtiyar Baru Ban Hoeve, 1997 Direktorat pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama R.I. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1988 Gazalba, Sidi. Menghadapi Soal-soal Perkawinan. Jakarta: Pustaka Antara Jakarta, 1974 Hasan Basri (et.al.), Cik. Ed. Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional. Cet. II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Hamidy, Muammal. Perkawinan dan Permasalahannya. Surabaya: Bina Ilmu, 1980 73
74
Ibn Abdul Aziz, Syaikh Faishal. Bustanul Ahbar Mukhtashar Nailul Author, Cet. 3. Penerjemah Muammal Hamidy, dkk. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001 Kadir Muhammad, Abdul. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Ciputat Press Kountur, Ronny. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Seri Umum No. 12. Ed. Revisi Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Buku II. Ed. Revisi. Jakarta: Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010 Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy Of Law and Religion, 1987 Muhammad Ibn Abdul Wahid al-Siwasi, Imam Kamaluddin. Syarh Fathul Qadir. Juz. 3. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Cet. 3. (Jakarta: Bulan bintang, 1993 M. Zen A. Patra dan Uli Parulian Sihombing. Ed., Hukum Perdata. Jakarta: Lembaga Bantuan HUkum (LHB) Jakarta. 2001 Rahman Ghazaly, H. Abdul. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006 Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. 2. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997 Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid. Jilid. 2. Penerjemah Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Cet. 1. Jilid. 2. al-Qahirah: Dar al-Fath Li al- I‟lam al-„Arabi, 2000 Sa‟id Umar bin Gharamah al-„Amrawi, Abi. Ahkam al-Thalaq Fi al-Kitab wa alSunnah wa al-Ijma’. Riyadh: Dar Al-Tahawi Library, t.th
75
Shidiq, Ahmad. Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam. Cet. 1. h. 55. Surabaya: Pustaka Pelajar, 2001 Sopyan, Yayan. Metode Penelitian. Jakarta: tp. 2009 Subekti, R. dan R. Tjitro Sudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. 1999 Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Ed.1. Cet. Ke-2. Jakarta: Prenada Media, 2006 --------------. Garis-garis Besar Fiqh. Ed. 1. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003 Syauqi, Ahmad. “Perselisihan Terus Menerus Antara Suami Isteri Akibat Turut Campur Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA.JT)”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 Tihami Sohari Sahrani, M.A. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Ed. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Cet. 5. Jakarta: Sinar Grafika, 2004 Warson Munawwir, Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak. 1984 Wawancara Pribadi dengan Munifah Djam‟an (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur). Jakarta, tanggal 18 Maret 2011 http://www.pajakartatimur.net Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian, artikel diakses pada 20 Juni 2011 dari http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaiansengketa.html