C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
KONFUSIANISME DAN ZAMAN KITA1 Oleh Budiono Kusumohamidjojo 1. Konfusius: Sang Guru2 Konfusius (551-479 SM) adalah latinisasi dari nama Kǒng Fūzǐ.4 Dia lahir di dekat kota yang sekarang dikenal sebagai Qūfù, waktu itu negeri5 Lǔ (bagian tenggara dari provinsi Shāndōng sekarang, selatan Beijing). Namanya sering disingkat menjadi Kǒngzǐ . Silsilah Konfusius sebenarnya agak rumit, namun di sini akan disingkat saja. 6 Leluhur Konfusius pada umumnya adalah perwira militer. Jauh di puncak silsilah disebut raja yang terakhir dari Dinasti Shāng,7 yang salah satu keturunannya bernama Zhāng Gāofù/Cheng Kao-fu,8 seorang perwira, dan punya putra yang dia beri nama Kǒng Fùjiā. Dari Kǒng Fùjiā lah nama marga Kǒng berasal. 9 Salah satu keturunannya adalah seorang perwira juga, Kǒng Konfusius sewaktu muda (551-479 3 Liánggē, yang menikahi Yàn Zhēngzài. Pada tahun 551 SM). SM, di desa kecil bernama Chang Ping (WG) di negeri Lǔ, lahirlah Kǒng Zhòngní (yaitu Konfusius). Kelak Kǒng Qiū menjadi nama kehormatan dari Kǒng Zhòngní. Kǒng Fūzǐ artinya adalah ‘Tuan Guru Kǒng’, yaitu panggilan kehormatannya sebagai guru. Nama panggilan singkatnya adalah Kŏngzǐ. Pada usia 19 tahun dia menikah dengan Qí-guān Shí, 10 yang lantas melahirkan anak laki-laki yang bernama Kǒnglǐ, namun setelah empat tahun Konfusius menceraikan istrinya ini, yang meninggal pada tahun 484 SM. Kǒnglǐ kemudian juga akan menyebarkan ajaran bapaknya.11 Mula-mula Kǒngzǐ menjalani hidupnya sebagai pegawai kecil, tetapi menurut kronik dia adalah seorang autodidak yang rajin mempelajari naskah-naskah kuno. Kabarnya baru pada usia 50-an kemampuannya diakui oleh penguasa negeri Lǔ, dan dia diangkat menjadi menteri kehakiman pada usia 53 tahun. Namun dia kecewa dengan perilaku tidak profesional dari penguasa Lǔ dan memutuskan untuk lengser. Dia memulai 1
Naskah untuk presentasi di forum SSGS, Bandung, 01 April 2010. Naskah ini disadur dari Bab 7 dari buku saya: Sejarah Filsafat Tiongkok, yang akan diterbitkan bulan Agustus 2010 oleh Jalasutra, Yogyakarta. 2 Referensi: Fung, 1976; Fung, I; Konfuzius, Gespräche; Legge/Lunyü; Confucius: Lunyu. 3 http://www.crystalinks.com/confucius.html. 4 Sepuluh tahun setelah Konfusius meninggal, lahirlah Sokrates. 5 Saya menggunakan istilah ‘negeri’ dan bukan ‘negara’ di banyak tempat dalam buku ini. Negara dalam pengertian kita sekarang adalah suatu besaran politik dengan kedaulatan yang terdefinisikan dengan tajam. Di Tiongkok zaman itu derajat kedaulatan itu bisa bergeser turun/naik sejajar dengan tingkat kekuasaan efektif yang dimiliki seorang penguasa. Suatu negeri ketika itu bisa dipimpin seorang raja, yang pada gilirannya bisa saja harus membayar upeti kepada negeri lainnya yang lebih kuat. Baru Qín Shǐ Huángdì tahun 221 SM mendirikan suatu kesatuan politik berupa negara dengan kedaulatan yang tajam. 6 Uraian ini merujuk kepada Legge, Lùn-yǚ: 56-58. 7 Legge menyebut nama raja ini sebagai Raja Ch’i (PY: Qi), yang nampaknya kurang tepat, karena raja terakhir dari Dinasti Shāng adalah Dì Xīn 帝辛, juga dikenal dengan nama Shāng Zhòu 商紂, Shāng Zhòu Xīn 商紂 辛 atau Shāng Zhòu Wáng 商紂王. Dari: en.wikipedia.org/wiki/Shang_Dynasty. 8 Research saya tidak berhasil melacak nama ini dengan lebih rinci. 9 Chung Yoon-Ngan, The Founder of Confusius Family, dalam: www.asiawind.com/forums/read.php?f=2&i=2541&t=2540. 10 http://wiki.answers.com/Q/What_is_confucius_wife_name. 11 Sebagian nama Latin dari nama-nama di sini ditulis dalam versi WG.
Page 1 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
perjalanan panjang ke negeri-negeri di Tiongkok timur laut dan tengah dan mengunjungi negeri-negeri Wèi, Sòng, Chén, dan Cài. Maksudnya adalah untuk menjual gagasannya mengenai reformasi sosial dan politik. Dia gagal dalam menjual pikirannya kepada para penguasa. Dengan rasa kecewa, pada usia 68 tahun dia pulang dan menghabiskan waktu untuk mengajar. Muridnya banyak, bahkan konon sampai ribuan. Tetapi James Legge melaporkan daftar nama dari 86 murid yang dekat dengannya, sehingga dalam sejarah Tiongkok dia menjadi orang pertama yang menjadi guru dengan banyak murid. 12 Beberapa di antara muridnya yang terkemuka itu ada yang lantas menjadi pejabat dan menyebarkan ajaran Konfusius sampai sedemikian berpengaruh hingga 2500 tahun sesudahnya. Dia merasa terpukul oleh kematian putranya serta murid-murid utamanya, dan meninggal pada usia 72 atau 73 tahun. Konon Kǒngzǐ sempat berjumpa dengan Lǎozǐ, sebagaimana diberitakan oleh Sīmǎ Qiān (ca 145-86 SM), sejarawan kondang di zaman Dinasti Hàn Barat. Dalam buku kelima dari Shǐjì (Catatan Sejarah) yang ditulisnya disebutkan bahwa Konfusius merujuk pada pandanganpandangan dari Lǎozǐ sampai empat kali. Dalam Lùn-yǚ ada pengakuan bahwa Konfusius takjub kepada Lǎozǐ sehingga dia mengatakan, bahwa Lǎozǐ itu hanya bisa dibandingkan dengan naga.14 2. Naskah-naskah dan Ajarannya Tingkat penelitian dewasa ini hampir pasti dalam menetapkan, bahwa Kǒngzǐ tidak menulis satu naskah pun. Ajarannya direkam dan dibukukan dengan berbagai cara oleh murid-muridnya, yang langsung maupun keturunan muridnya. 15 Gagasan-gagasan Konfusius terutama terkumpul dalam Lùn-yǚ (dalam literatur Inggris Lukisan potret Konfusius, oleh Wú dikenal sebagai Analects, atau bunga rampai dialog). Lùn- Dào Zì (680-740), seniman zaman yǚ merupakan sumber terbaik untuk memahami ajaran Dinasti Táng (618-907).13 Konfusius, meskipun naskah ini sangat problematis karena merupakan susunan dari berbagai versi yang dikumpulkan lama setelah Konfusius mangkat, oleh murid-muridnya, anak-murid, maupun cucu-muridnya. Lùn-yǚ adalah dasar untuk memahami, bagaimana kita menuju pendidikan dan pembangunan manusia ideal, yaitu orang yang tahu bagaimana menjalani hidupnya, berinteraksi dengan orang lain, serta dengan cara bagaimana dia harus ambil bagian dalam kehidupan masyarakat dan negara.16 Ada dua naskah yang juga kerap dianggap sebagai ajarannya, meskipun bukan merupakan tulisannya. Pertama adalah Dà-xúe (the Great Learning, Ajaran Besar), yang pengarangnya amat diragukan, dan oleh James Legge dipandang sebagai karya kolektif dari murid-murid Konfusius.17 12
Legge/Lùn-yǚ: 112-127. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Confucius_02.png. 14 Legge/Lunyu: 65. 15 Needham: 4-5. 16 Riegel: 1. 17 Legge/Lùn-yǚ: 27. 13
Page 2 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
Yang kedua adalah Zhōngyōng (the Doctrine of the Mean, Ajaran Jalan Tengah) yang dipercaya sebagai buah karya dari Kǒng Zǐsī (cucu dari Konfusius). 18 Namun demikian, seperti yang dikemukakan sendiri oleh Konfusius, Rú-Jiā (ajaran Konfusianis) merujuk pada suatu literatur baku yang meliputi enam naskah yang disebut Lìujīng (Six Classics)19. Dalam Lùn-yǚ, Kǒngzǐ memaklumkan dirinya sebagai perpanjangan lidah zaman lampau ketimbang penemu gagasan baru.20 Dia tidak berambisi untuk mendirikan suatu bangunan teoretis mengenai kehidupan dan masyarakat atau membangun tata-upacara. Sebaliknya dia ingin agar murid-muridnya berpikir mendalam untuk diri sendiri dan mempelajari dunia luar, terutama melalui naskah-naskah kuno serta menemukan relevansi dari kejadian-kejadian politik di masa lalu bagi masalah-masalah moral di zamannya. Mereka juga dianjurkan untuk bercermin pada ungkapan-ungkapan rakyat maupun kelas elite.21 Sebelum Kǒngzǐ bukannya tidak ada pikiran-pikiran filosofis dalam sejarah Tiongkok. Lagi pula, dia pada umumnya tidak dipandang sebagai pembaharu. Sebaliknya, pandangannya kerapkali dinilai konservatif karena hampir semuanya merujuk ke masa lalunya, terutama Dinasti Zhōu, sehingga Gascoigne menyebut ajaran Konfusius sebagai ‘utopia ke masa lalu’.22 Jika dipandang dari perspektif yang positif, Konfusius hendak memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah-masalah aktual dan masa depan dengan merujuk kepada ‘resep lama’ yang memang sudah terbukti ‘manjur’. Konfusius pada umumnya diperlakukan sebagai cendekiawan Tiongkok yang pertama 23 dan filosof yang paling mempengaruhi alam pikir Tiongkok sampai 2.500 tahun setelah mangkatnya. Karena itu Konfusianisme kerapkali dibahas sebagai sistem filsafat yang pertama dalam sejarah filsafat Tiongkok. Konfusianisme memang memberi kesan sangat dominan dalam alam pikir orang Tionghoa pada umumnya, sehingga Legge misalnya merujuk Sir John Davis yang menyatakan bahwa “Apa pun pandangan lain atau agama dari seorang Tionghoa, dia akan berhati-hati dan memperlakukan Konfusius dengan hormat.”24 Di zaman ketika perpecahan, kekacauan dan perang berkepanjangan merajalela, Kǒngzǐ hendak mengembalikan ‘Perintah Langit’ (Tiānmìng) untuk dapat mempersatukan dunia (Tiongkok) dan membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi rakyat. Karena pandangannya mengenai individu dan masyarakat mengacu ke model masyarakat di zaman yang lampau, dia sering dipandang sebagai pemikir yang konservatif. Namun, seperti yang dipercaya oleh Kāng Yǒuwéi (1858–1927) ada dugaan bahwa Konfusius sebenarnya mengusahakan suatu agenda politik yang baru: 18
Legge/Lùn-yǚ: 41. Lìujīng (Six Classics), yang terdiri dari: • Yì-Jīng (Book of Changes, Buku tentang Perubahan), • Shījīng (Book of Odes, Buku Tembang), • Shūjīng (Book of History, Buku Dokumen/Sejarah), • Lǐjì (Record of Rituals, Buku Ritual), dan • Yuè Jīng (Book of Music, Buku Musik). Buku terakhir dalam serial ini adalah • Chūnqiū (Spring and Autumn Annals, kisah Musim Semi Dan Musim Gugur) yang mengisahkan sejarah negeri Lǔ dalam kurun waktu tahun 722-479 SM (tahun mangkatnya Konfusius). 20 Lùn-yǚ: VII.1. 21 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucius: 4. 22 Gascoigne: 35. 23 Fung II: 676, mengutip Kāng Yǒuwéi 康有為 - 康有为. 24 Legge/Lùn-yǚ: 93. 19
Page 3 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
menghidupkan kembali kerajaan yang bersatu, di mana para penguasanya naik tahta karena keunggulan moralnya dan bukan karena keturunan. 25 Penguasa yang demikian akan mengabdi kepada rakyat dan berusaha mencapai penyempurnaan pribadi maupun masyarakat, serta memancarkan kebajikannya sendiri kepada rakyat ketimbang mengatur perilaku rakyat melalui hukum dan peraturan. 26 Konfusius mengajukan pandangan itu untuk menegakkan tertib sosial dan perdamaian di tengah kecamuknya pasang surut politik menjelang zaman perang saudara yang termashur sebagai Warring States (Zhànguó Shídài (476-221 SM). Pandangan serupa itu bukannya tidak berakar dalam sejarah sekeliling yang diamatinya. Kǒngzǐ hidup di akhir zaman Chūnqiū, dan naskah Chūnqiū memang merefleksikan suatu masa yang penuh kemelut sosial-politik. Perlu difahami, bahwa dua abad sebelum lahirnya Konfusius, Dinasti Zhōu digusur dari lembah sungai Wèi (Wèi-hé) di barat ke kota Luò-yáng di sebelah timur. Artinya, sikap konservatif Konfusius sebenarnya boleh dipandang sebagai kerinduan akan stabilitas dan kemanusiaan seperti yang nanti akan menjadi jelas melalui prinsip-prinsip yang diajarkannya. Stabilitas dan kemanusiaan yang dirindukannya itu pada akhirnya memang diprojeksikan pada tatanan masyarakat dan lebih-lebih lagi negara. Tetapi prinsip-prinsip Konfusianisme dari dirinya sendiri menjelaskan, bahwa semuanya itu harus dimulai dari individu sebagai satuan manusia yang mendasar dan keluarga sebagai akar dari negara. Walaupun demikian, memang tidak mungkin untuk menggunakan istilah ‘individu’ di sini, apalagi istilah ‘individualisme’. Bahasa Hàn hanya mengenal satu kata untuk orang maupun kemanusiaan, yaitu rén, dan pengertian itu jauh dari sama dengan pengertian ‘individuum’ seperti yang dikenal dalam kultur Latin/Romawi yang kelak menjadi landasan kebudayaan Barat. 3. Etika Konfusian Ajaran yang paling mendalam dari Kǒngzǐ dengan demikian terletak pada tekanannya untuk membangun diri atau pemberadaban diri (self-cultivation), keteladanan moral serta kemampuan untuk membuat keputusan yang terlatih baik, ketimbang pengetahuan akan hukum-hukum alam. Etikanya dengan begitu lebih merupakan etika kebajikan (virtue ethics). Karena Konfusianisme tidak membedakan manusia dari masyarakat selayaknya subjek versus objek seperti dalam filsafat Barat, dalam Konfusianisme etika lantas bertumpang-tindih dengan politik. 27 Jadi sebenarnya mirip dengan pandangan Aristoteles yang mengajarkan bahwa politik itu harus mengandung etika. Metoda Konfusius jarang bersifat argumentatif, sehingga gagasan-gagasannya kerapkali disampaikan melalui kiasan atau sindiran, dan bahkan pengulangan (tautology). Ada sejumlah contoh yang memperlihatkan keutamaan manusia ketimbang materi dalam Lùn-yǚ. Itulah sebabnya mengapa para pengamat dari Barat maupun Timur kerap memandang Konfusius sebagai pelopor dari awal humanisme, 28 dan pandangan Konfusius itu tampil jauh sebelum humanisme masuk ke dalam filsafat Barat. Oleh para pengamat Barat, Kǒngzǐ juga kerap dibandingkan dengan Sokrates (469-399 SM) yang lahir sepuluh tahun sesudah Konfusius meninggal. Namun Konfusius 25
Fung II: 676. http://en.wikipedia.org/wiki/Confucius: 4. 27 Liu: 17. 28 Lùn-yǚ: X.11, When the stables were burnt down, on returning from court, Confucius said, "Was anyone hurt?" He did not ask about the horses. tr. A. Waley. http://en.wikipedia.org/wiki/Confucius: 4. 26
Page 4 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
sangat berbeda dari Sokrates dalam pendekatan terhadap realitas. Jika Sokrates dalam kerangka filsafat Yunani mempelopori filsafat manusia dengan nuansa yang metafisik, Konfusius jauh lebih down to earth, membumi, dan langsung menohok persoalan kualitas manusia dan kualitas perbuatan manusia sebagai sasarannya. Filsafat Tiongkok pada umumnya memang lebih tertuju pada etika sosial serta kerukunan dengan alam, dan hampir tidak punya interese untuk epistemologi dan logika.29 Hal itu lekas nampak dari prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Konfusius. Banyak orang berpendapat bahwa filsafat India atau Tiongkok itu bersifat intuitif atau mistikal, seperti yang dengan mudah kita jumpai dalam Daoisme, namun menurut Ross yang orang Barat, Konfusianisme konon adalah seratus kali lebih rasional dari filsafat Barat.30 Dalam rasionalisme Konfusian itu, konsep-konsep berikut memainkan peranan yang mendasar: - zhèngmíng (pembenaran/penegakan nama, rectification of names); - yì (kebajikan, budi, righteousness); - rén (kebaikan manusiawi, human heartedness), yang diurai menjadi: - zhōng (hati nurani untuk orang lain, conscientiousness to others); - shù (sikap mementingkan orang lain, altruism); dan - xìao (respek, rasa hormat, filial piety); - lǐ (ritual, prosedur, rites); - Tiānmìng (perintah langit, nasib, fate). Zhèngmíng, pembenaran, penegakan nama. Menurut Fung, prinsip ini adalah yang terpenting dalam stelsel Konfusius, karena hanya dengan menerapkan prinsip inilah negara bisa dibereskan.31 Prinsip ini pada dasarnya adalah prinsip identitas seperti dalam filsafat Aristoteles: setiap realitas mempunyai nama (identitas). Jika nama itu digunakan secara tidak benar atau campur aduk, kita akan mendapatkan kekacauan dalam segala hal. Dalam Lùn-yǚ: XII.11 Konfusius mengatakan: “biarkan penguasa adalah penguasa, menteri adalah menteri, bapak adalah bapak, dan anak adalah anak.” Interpretasi antropologisnya adalah: setiap orang harus menjalankan peranan yang sesuai dengan status yang didukungnya. Konsekuensinya yang terbaca oleh Konfusius adalah, jika seorang penguasa memperlakukan negara sebagai seorang bapak, itu akan mengacaukan negara, begitu juga sebaliknya, dan seterusnya. Jadi sasaran dari penegakan nama atau rectification of names yang seperti sepele nampaknya itu sebenarnya merupakan upaya untuk menyesuaikan identitas dengan struktur dari realitas. Realisasi yang sesungguhnya dari penegakan nama (rectification of names) terjadi sebagai penegakan perilaku (rectification of behavior).32 Jika perilaku kebanyakan orang bisa ‘diluruskan’, jamaknya adalah perilaku masyarakat pada umumnya juga akan tertib dan damai. Pada akhirnya yang hendak dicapai adalah memang suatu tatanan organisatoris masyarakat yang tertib dan teratur yang berpangkal pada disiplin pribadi. Yì, kebajikan. Pada tahap Konfusianisme awal yì dan lǐ merupakan konsep-konsep yang bertalian erat. Yì bisa diterjemahkan sebagai kebajikan (righteousness), meski 29
Gascoigne: 33. Fung, I: 1-3. Ross: 1. 31 Fung I: 59. 32 Riegel: 7. 30
Page 5 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
konsep ini juga bisa berarti semata-mata “apa yang sebaiknya dilakukan pada suatu situasi tertentu”. Menurut Konfusius, motivasi dasar dari setiap manusia utama (gentleman, jūnzǐ) adalah untuk menegakkan yì, bahkan juga jika disadarinya bahwa hal itu merupakan ilusi.33 Untuk Konfusius, yì atau kebajikan itu juga menjadi jelas hanya dalam kontradiksi dengan lì atau keuntungan (profit). Konfusius mengatakan: “orang besar itu memahami kebajikan, sedangkan orang kecil itu memahami untung.” 34 Maksudnya adalah, bahwa orang-orang besar (manusia utama, superior men) itu pada umumnya mengurusi urusanurusan besar, yaitu urusan masyarakat dan negara, sedangkan orang kecil atau rakyat jelata biasanya sekadar memikirkan dirinya sendiri. Meski mengejar kepentingan sendiri itu belum tentu adalah jelek juga, seseorang akan menjadi orang yang lebih baik dan lebih bajik jika dia memotivasi hidupnya berdasarkan pada kebaikan kepentingan yang lebih besar yang merupakan tujuan dari yì. Inilah yang dimaksudkan dengan berbuat yang benar untuk tujuan yang benar.35 Rén, kebaikan manusiawi. Aksara rén 仁 terjadi dari dua aksara: rén 人 (orang) dan èr 二 (dua), sehingga aksara rén 仁 itu sudah menjelaskan banyak dengan sendirinya. Konsep rén adalah konsep yang juga teramat penting dalam ajaran Konfusius, karena pada dasarnya Konfusius menghendaki bahwa rén itu pada akhirnya menjadi cita-cita dari setiap orang.36 Rén merupakan dasar dalam etika maupun teori politik Konfusian. Rén merupakan kebajikan dalam memenuhi kewajiban seseorang terhadap sesamanya dan sering diterjemahkan sebagai ‘kebaikan’ atau ‘kemanusiaan’. Arthur David Waley (1889– 1966) menterjemahkannya sebagai ‘Goodness’ (dengan ‘G’ besar). Karena itu konsep rén ini sebenarnya merupakan pangkal dari keseluruhan ajaran Konfusius yang menjadikan pendidikan moral individu sebagai awal untuk mendirikan keluarga yang baik, kemudian berlanjut kepada penegakan ketertiban negara dan akhirnya membangun tertib dunia.37 Realisasinya yang utama adalah sebagai Golden Rule seperti yang sebenarnya juga dikenal dalam filsafat Barat: “orang harus selalu memperlakukan orang lain sebagaimana dia mau bagaimana orang lain memperlakukan dirinya.” 38 Secara negatif, Golden Rule kerapkali diungkapkan sebagai Silver Rule: “jangan pernah terapkan pada orang lain, apa yang kau tidak mau dilakukan terhadap dirimu.”39 Kebajikan dengan demikian bertumpu pada harmoni dalam hubungan dengan orang lain yang dihasilkan oleh praktik etis melalui proses identifikasi dari kepentingan diri dan kepentingan orang lain. 40 Dalam Lùn-yǚ: XII.22 umpamanya dikatakan: “kebaikan manusia itu terjadi dalam mengasihi orang lain”. Meski begitu, sikap itu bukan tanpa syarat, karena juga menyangkut soal keadilan. Ketika ditanya, apakah perbuatan 33
Fung I: 74. Lùn-yǚ: IV.16. 35 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 8. 36 Fung I: 69. 37 Liu: 17. 38 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 8, mengacu kepada Richard Wilhelm. Lùn-yǚ: XV.24. 39 Lùn-yǚ: XV.24. http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 5. Adept Kung asked: "Is there any one word that could guide a person throughout life?" (Kung yang cakap bertanya: adakah kata yang dapat menuntun seseorang sepanjang hidupnya?) The Master replied: "How about 'shu' [reciprocity]: never impose on others what you would not choose for yourself?" (Sang Guru menjawab: Bagaimana dengan shù 恕 [ketimbalbalikan]: jangan lakukan pada orang lain apa yang kau tak mau itu terjadi pada dirimu sendiri). tr. David Hinton. 40 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 8. 34
Page 6 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
batil harus dibalas dengan kebaikan, Konfusius kabarnya balik bertanya: lantas kebaikan itu dibalas dengan apa? Karena itu dia ada mengatakan: “Balaslah yang jahat dengan keadilan, dan balaslah kebaikan dengan kebaikan.”41 Sikap ini membawa dampak pada usaha untuk membangun sistem politik yang berpangkal pada soal keteladanan. Dia bilang, jika penguasa tidak punya rén, akan sulit untuk mengharapkan bahwa rakyat tidak menjadi bringas.42 Zhōng dan shù adalah prinsip untuk menegakkan konsep rén. Zhōng atau hati nurani diterjemahkan sebagai loyalitas dan sebenarnya merupakan penerapan dari xìao (rasa hormat) dalam tataran kenegaraan. Prinsipnya adalah, bahwa orang harus loyal kepada penguasa karena penguasa itu memegang Tiānmìng, atau mandat dari langit. Mandat itu diterimanya karena keutamaan moral yang dimilikinya. Dalam sejarah Tiongkok sering ada interpretasi bahwa pemberontakan bisa terjadi karena seorang raja atau kaisar tidak lagi mentaati Tiānmìng. Meski demikian, dalam sejarah Tiongkok kerap juga terjadi bahwa prinsip ini dijungkir-balikkan menjadi kesewenangan penguasa.43 Dalam Lùn-yǚ: XII.2 dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan zhōng, yaitu: “menopang dirinya dengan menopang orang lain dan orang yang membangun dirinya dengan membangun orang lain.” Meski Konfusius tidak faham soal invidualitas, pikiranpikirannya mengherankan para pendatang Barat yang pertama di abad XIII dan XIV, apalagi yang datang untuk menyebarkan agama Kristen. Sebabnya adalah karena dia ada mengatakan: “apa yang saya tidak mau orang lakukan padaku, saya juga tidak mau melakukannya pada orang lain,” 44 yang merupakan prinsip shù 恕 dan prinsip yang sebenarnya individualistik itu dikemukakan empat setengah abad sebelum prinsip yang sama masuk ke dalam Buku Perjanjian Baru. Xìao, respek. Ketertiban dalam hubungan antar-manusia yang hendak dicapai melalui zhèngmíng itu menjadi lebih jelas melalui prinsip xìao yang dalam bahasa Inggris kerap diterjemahkan sebagai filial piety (Latin: pietas filialis, yaitu kebajikan/hormat religius yang harus ditunjukkan oleh anak kepada orang tuanya). Menurut Konfusius, orang yang berkebajikan (memiliki rén) karena menjalankan zhōng (hati nurani) dan shù (altruisme, lawan dari egoisme), niscaya menjalankan xìao juga.45 Tetapi apa itu xìao sebenarnya? Praksis dari xìao dijelaskan lebih jauh secara analogis dalam naskah Zhōngyōng (Ajaran Jalan Tengah) yang ditulis oleh Kǒng Zǐsī, cucu dari Konfusius, atau yang dapat kita fahami sebagai ‘Prinsip Jalan Tengah’. Dalam syair XX.8 disebut prinsip ‘Lima Kewajiban Universal’, wǔlún, dan isinya adalah pengaturan hubungan antara: 1) penguasa dengan menterinya; 2) antara bapak dengan putranya (paralel nampaknya adalah prinsip hubungan antara orang-tua dengan anak laki maupun perempuan); 3) suami dengan isterinya; 4) abang dengan adiknya (tidak jelas bila hubungan itu adalah antara kakak perempuan dengan adik laki-laki);
41
Lùn-yǚ: XIV.36. http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 6. 43 Lùn-yǚ: V.11. 44 Lùn-yǚ: V.11. 45 Fung I: 72-73. 42
Page 7 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
5) antara teman dengan teman. 46 Prinsip xìao ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dan bukan hanya mewajibkan subordinasi, melainkan mengharuskan juga pelaksanaan kebajikan ke bawah. Prinsip itu tercermin juga dalam hukum pidana. Misalnya: anak yang melakukan kejahatan terhadap orangtuanya bisa dihukum lebih berat dari biasanya. Dalam setiap hubungan, orang yang superior (bapak, suami, dst.) mempunyai kewajiban mengasihi dan menjaga terhadap orang-orang yang dibawahinya (putra, istri, dst.). pada ruang lingkup berikutnya pola relasi dalam konteks keluarga itu diterapkan juga dalam konteks sosial. Sang bawahan harus taat kepada atasannya. Kekecualiannya adalah untuk hubungan antar-teman. Itupun jika salah satu lebih tua, hubungannya menjadi seperti kakak-adik. Kewajiban untuk taat itu bukannya tanpa syarat. Karena kewajiban taat Konfusian itu adalah untuk menjalankan keharusan yang baik, perintah yang tidak baik harus dibantah. Membantah kaisar memang bisa membawa risiko mati. Tetapi dalam Konfusianisme yang menganut doktrin ‘Tiānmìng’, seorang kaisar yang tidak lagi berkebajikan juga bisa digulingkan.47 Fenby telah mengilustrasikan penerapan kaidah ini dalam sistem politik Tiongkok modern dan dengan tangkas dan memperlihatkan, betapa pergeseran kekuasaan di RRT sebenarnya terjadi menurut pola ‘siapa yang lebih berhak menjalankan ‘Tiānmìng’.48 Lǐ, ritual. Pada satu ketika Kǒngzǐ membenarkan, bahwa konsep lǐ itu sekunder sifatnya.49 Lǐ yang mencerminkan etika Konfusian bertumpu pada tiga aspek kehidupan: ritual persembahan bagi leluhur dan berbagai dewa, tegaknya lembaga-lembaga sosial dan politik, serta ketaatan kepada tata-krama dalam kehidupan sehari-hari. Di zaman Tiongkok kuno, konsep lǐ itu mempunyai makna yang sangat lebar: dia bisa berarti sopan santun, segala adat kebiasaan, sampai kepada institusi-institusi sosial dan politik yang kompleks.50 Menurut Konfusius lǐ itu terjadi dari perilaku para orang bijak dalam sejarah manusia dan tidak terlalu berhubungan dengan langit, Tiān. Konsep lǐ itu lebih berurusan dengan perilaku seseorang dalam rangka ikut membangun masyarakat yang ideal ketimbang melulu mentaati ritual upacara. Konsep lǐ itu lebih mengedepankan bahwa orang selalu berhadapan dengan pilihan untuk melakukan perbuatan yang benar di saat yang benar, dan karena itu bertumpu pada latihan diri untuk mengikuti lǐ seperti yang telah dipraktikkan oleh para orang bijak zaman dahulu dan terutama mencakup penilaian etis mengenai kapan lǐ harus dijalankan dalam konteks yang situasional. 51 Ini mengingatkan kita pada Gorgias ho Leontini (ca. 483-375 SM), filosof Yunani kuno yang menggagas konsep ‘kaírós’ (καιρός), yaitu mengatakan sesuatu yang benar pada saat yang tepat. Tiānmìng. Dalam filsafat Tiongkok dikenal apa yang disebut Tiānmìng, yang secara harfiah diartikan sebagai perintah langit. Maksudnya, jika langit/sorga sudah 46
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 7. Dari prinsip terakhir inilah dikenal tabu yang dalam dialek Hokkian disebut ‘bucia hopeng’ atau ‘pantang makan teman’, yang dalam arti luas diterapkan sebagai fairness terhadap mitra dagang dalam perkongsian. 47 Paragraf mengenai ‘Hubungan yang Enam’ ini merujuk kepada Ross, op.cit. 48 Fenby: 4-5. 49 Fung I: 63-64. 50 Fung I: 68. 51 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 8.
Page 8 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
menghendaki begitu, tidak bisa terjadi lain. Karena itu Tiānmìng kerap difahami sebagai nasib, takdir atau keputusan langit, tetapi kerap juga ditafsirkan sebagai mandat kepada kaisar. Dalam Lùn-yǚ: XIV.38 dikatakan: “jika prinsip-prinsip saya bisa tegak di bumi, itulah Tiānmìng. Jika prinsip-prinsip saya runtuh, itu juga Tiānmìng.” Lantas dibilang juga: “barang siapa tidak tahu Tiānmìng, dia tidak bisa menjadi orang besar.” Menurut Konfusius, kita memang tidak bisa merubah nasib itu, tetapi kita dapat menentukan apa yang mau kita hasilkan dalam hidup ini dan sebagai apa kita hendak dikenang orang setelah kita mati.52 Perintah langit itu erat kaitannya dengan kepercayaan tradisional orang Tionghoa bukan hanya akan Shàngdì, melainkan juga akan adanya makhluk tak berwujud dan arwah leluhur. 53 Kendati begitu, Konfusius sendiri cenderung untuk menghindar dari soal-soal metafisik. Ketika dia ditanya komentarnya soal arwah leluhur dan dunia akhirat, dia bilang: “ketika kau tak mampu mengabdi pada manusia, bagaimana pula kau mau mengabdi pada arwah-arwah?”, dan juga “manakala kau tak faham tentang hidup, mana pula kau mau faham tentang akhirat?”54 Nyata sekali sikapnya yang pragmatis. Sebenarnya dari sini kita bisa menjadi faham, bahwa pandangan yang memperlakukan Konfusianisme sebagai agama (Rú-Jiào) sebenarnya merupakan kultus pribadi kalau bukannya mistifikasi, sehingga boleh dipandang sebagai keliru. Ironis bahwa di dunia Barat dia kerap dibandingkan dengan Sokrates yang sepanjang hidupnya bicara mengenai dewa-dewa dan memandang ajaran politiknya sebagai misi yang sakral, justru dihukum mati karena dituduh sebagai penghojat. Sebaliknya Konfusius kemudian diperdewakan (melalui banyak kuil yang didirikan untuknya) cenderung menghindar untuk bicara mengenai dewa-dewa, kalau malahan bukannya sama-sekali abstain.55 Namun demikian, dia bukannya tidak menyoal masalah kebenaran. Dalam kerangka ini Konfusius sudah menyebut konsep Dào juga, namun dengan konotasi yang berbeda dari apa yang diterangkan dalam Daoisme. Dia antara lain mengatakan “Tetapkan hatimu pada Dào” (Lùn-yǚ: VII.4). Pernyataan ini memuat pandangan mengenai Dào sebagai prinsip batin yang harus dijadikan patokan perilaku. Lantas dia juga menyatakan: “Mendengar Dào di pagi hari dan mati di malam hari, itu tidak masalah” (Lùn-yǚ: IV.9). maksudnya: jika orang sudah mendapatkan Dào, bolehlah dikatakan bahwa dia sudah mencapai tujuan hidupnya. Menurut Fung Yulan, kedua proposisi dari Lùn-yǚ ini mengungkapkan pemahaman Konfusius terhadap Dào sebagai jalan atau kebenaran. Namun dalam Lùn-yǚ: II.4 yang mencerminkan proses pencerahan yang dialami oleh Konfusius menjadi lebih jelas, bahwa Dào itu bisa ditafsirkan sebagai jalan menuju kebenaran: “Pada usia 15 tahun saya membulatkan hati untuk belajar. Pada usia 30 tahun saya teguh. Pada usia 40 tahun saya tidak mempunyai keraguan lagi. Pada usia 50 tahun saya tahu Tiānmìng. Pada usia 60 tahun saya sudah taat pada Tiānmìng. Pada usia 70 tahun saya bisa mengikuti hasrat nalar saya tanpa melanggar batas-batas kebenaran.” Dalam kaitan ini ‘belajar’ untuk Konfusius bukanlah seperti apa yang kita maksudkan sebagai peningkatan pengetahuan, melainkan lebih sebagai peningkatan kemampuan nalar.56 52
Riegel: 5. Legge, Lùn-yǚ: 99. 54 Lùn-yǚ: XI.11. 55 Ross: 4. 56 Fung, 1976: 46. 53
Page 9 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
Belajar atau lebih tepat: pendidikan dan proses belajar, menempati kedudukan penting dalam ajaran Konfusius. Bagi Konfusius, pendidikan itu jalan wajib untuk menjadi manusia utama (gentleman, jūnzǐ). Kewajiban itu makin besar, sejalan dengan kedudukan dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakat. Persis seperti kata orang Prancis: noblesse oblige. Dalam kerangka inilah jūnzǐ itu adalah orang yang mengutamakan orang lain dan kebajikan. Kebalikan dari jūnzǐ adalah xiáorén dan artinya adalah betul-betul orang kecil (xiáo, kecil; rén, orang), karena orang-orang jenis ini hanya mementingkan diri sendiri dan keuntungan pribadi.57 Dalam stelsel Konfusian anak petani bisa saja menjadi jūnzǐ, sedangkan anak kaisar yang tak tahu malu juga bisa menjadi xiáorén. Konfusius sendiri dikenal sebagai pembelajar yang tekun. Maka tidak heran jika dia berpengaruh besar pada pendidikan di Tiongkok kuno. Pada tahun 124 SM, jadi dalam zaman Dinasti Hàn awal, sebuah sekolah tinggi didirikan untuk pendidikan dalam Konfusianisme. Para mahasiswanya berjumlah sekitar 30.000 orang. Mereka itu mempersiapkan diri untuk menempuh ujian guna menempati jabatan-jabatan publik, suatu praktik yang sudah mulai diselenggarakan sejak zaman Dinasti Zhōu, kira-kira 500 tahun sebelumnya.58 Dŏng Zhòngshū (ca. 179-104 SM) yang Neo-Konfusianis berperanan besar dalam memantapkan sistem ini. Konsep pendidikan Konfusius menjadi dasar bagi sistem meritokrasi dalam pemerintahan kekaisaran Tiongkok. Artinya, siapapun bisa masuk pemerintahan asal lulus ujian. Setelah runtuhnya Dinasti Qín, Kaisar Hàn Wǔdì dari Dinasti Hàn menerapkan Konfusianisme, sehingga mulai tahun 165 SM diberlakukan sistem ujian negara untuk mengangkat pegawai atau pejabat pemerintah. Praksis itu berlaku sampai tahun 1912 ketika Dr. Sun Yat Sen (PY: Sūn Yì-xiān) mendirikan Republik Tiongkok.59 Peranan pendidikan sedemikian besarnya dalam Konfusianisme, sehingga setara juga penghargaan Konfusius kepada guru. Dia konon mengatakan: “Jika ada orang menjadi gurumu untuk satu hari, kau harus memperlakukannya seolah dia adalah bapakmu untuk sepanjang sisa hidupnya.”60 Saya kurang tahu persis seberapa jauh konsep xìao ini masih ditaati di Tiongkok dalam ruang pendidikan, tetapi di Jepang tradisi ini masih berlaku sampai sekarang. 4. Politik Pemikiran politik Kǒngzǐ dilandaskan pada ajaran etiknya. Dia yakin bahwa pemerintah yang terbaik adalah yang memerintah dengan ritual (lǐ) dan moralitas rakyat ketimbang dengan penyuapan dan pemaksaan. Dalam Dà-xúe (Ajaran Besar) dia berpesan: Jika orang harus dibimbing oleh hukum dan keseragaman hendak dicapai melalui hukuman, orang memang akan menghindari hukuman namun tanpa rasa malu. Tetapi jika mereka dipimpin dengan kebajikan dan keseragaman dicapai dengan jalan menerapkan aturan kepatutan, orang akan memiliki rasa malu, dan lebih-lebih lagi menjadi orang baik.61 57
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 6. Douglas: 247. 59 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 4. 60 Ross: 11, diambil dari Journey to the West, Volume II, [Foreign Languages Press, Beijing, 1993, 1007, p.711]. 61 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism; Daxue/Ta-Hsueh 大学, The Great Learning: "If the people be led by laws, and uniformity sought to be given them by punishments, they will try to avoid the punishment, but have no sense of shame. If they be led by virtue, and uniformity sought to be given them by the rules of 58
Page 10 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
Rasa malu ini merupakan internalisasi dari rasa kewajiban, di mana hukuman mendahului perbuatan jelek, jadi sebaliknya dari pendekatan Legalisme Hán Fēizǐ di kemudian hari yang memilih untuk menghukum kejahatan dan mengganjar kebaikan.62 Konfusius sangat menekankan keteladanan para penguasa dalam mengurus negara. Jika perilaku penguasa itu benar, rakyat yang ada di bawah kuasanya akan mengikutinya. Dia memberi nasihat kepada Jì Kāngzǐ yang merampas kekuasaan di negeri Lǔ: “Jika kamu bertujuan baik, maksud rakyat juga akan baik. Karakter moral penguasa adalah angin, karakter moral mereka yang di bawah kuasanya adalah rumput. Jika angin bertiup, rumput itu akan merunduk.”63 Kǒngzǐ mendukung gagasan pemerintahan oleh seorang bajik (dàshèng ) yang berkuasa penuh yang memerintah sebagai kaisar, sangat mungkin karena keadaan Tiongkok di zaman itu yang kaotis. Kendati demikian, sebenarnya gagasannya itu mengandung elemen-elemen pembatasan kekuasaan. Dia menuntut kejujuran sedemikian jauh, yang bukan hanya menyangkut ‘satu kata dengan perbuatan’, melainkan juga dalam ekspresi wajah. Jadi pantanglah untuk Konfusius bahwa penguasa bersikap populis terhadap rakyat sambil menindas dengan diam-diam. Dia memperingatkan para penguasa untuk tidak menindas atau menganggap sepi rakyat kecil: “Kamu boleh merampas tiga divisi dari para panglimanya, tetapi kamu tidak akan bisa mengkebiri petani yang paling bersahaja sekalipun dari pikirannya.”64 Meskipun demikian, dia tetap menekankan senioritas dalam relasi antara raja dengan kaula atau antara bapak dengan anak. Uniknya adalah, bahwa dalam kerangka Konfusian, yang junior tidak hanya harus manut kepada yang senior, melainkan juga memberitahu sang senior jika dianggap yang senior itu bertindak salah. Pandangan ini berasal dari muridnya, Mèngzǐ, yang bahkan sedemikian jauh mengajarkan bahwa raja harus digulingkan jika menyimpang dari perilaku sepatutnya seorang raja sehingga kehilangan Tiānmìng (Mandat dari Langit). Itu sebabnya juga mengapa tyrannicide (pembunuhan penguasa) dianggap oleh kebanyakan petarung kekuasaan di Tiongkok, lebih-lebih dalam zaman-zaman peralihan, sebagai dibenarkan dalam kerangka Konfusian karena seorang tiran adalah lebih penjahat ketimbang raja. Konfusius sendiri pernah mengatakan dalam Lùn-yǚ: "Pemerintah yang menindas adalah lebih menakutkan daripada seekor harimau.”65 5. Warisan dan Murid-muridnya Murid-murid Kǒngzǐ dan cucu tunggalnya, Kǒng Zǐsī, melanjutkan ajaran dan sekolahnya sepeninggal Konfusius, terutama melalui mereka yang menjadi pejabat tinggi di berbagai istana di Tiongkok. Dua murid unggulannya, walaupun tetap berpegang pada ajaran sosial-politik Konfusius, kemudian akan memberi nuansa yang bertolak belakang. Mèngzǐ, atau Mencius (dikenal juga sebagai Mengko 371?-289? SM) yang lebih idealistik menggaris-bawahi kebaikan internal pada manusia sebagai sumber dari institusi-institusi etis yang membimbing manusia menuju pelaksanaan rén, yì, dan lǐ. Sebaliknya Xúnzǐ (298?-238? SM) yang lebih realistik menekankan aspek realistik dan materialistik dari
propriety, they will have the sense of shame, and moreover will become good." Terjemahan oleh James Legge. 62 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 10. 63 Riegel: 7; Lùn-yǚ: XII.19. 64 Riegel: 6; Lùn-yǚ: IX.26. 65 http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 9, Lùn-yǚ. TIME, June 2009.
Page 11 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
pemikiran Konfusius, sambil menekankan bahwa moralitas tertanam dalam masyarakat dan perseorangan melalui tradisi dan pendidikan.66 Meski Kǒngzǐ mendapatkan tempat utama dalam khasanah filsafat Tiongkok dan tempat terhormat dalam filsafat Barat abad XX, dia bukannya tidak mengundang kritik. James Legge yang ahli sinologi kondang abad XIX dari Oxford, kendati hormatnya pada tokoh ini, tak urung memandang Konfusius sebagai orang yang tidak bisa menyumbang gagasan untuk suatu negara modern. “Dia mengabdi pada suatu sistem politik raksasa, tetapi yang mentalitasnya adalah mentalitas anak kecil. Sistem pemerintahan yang diajarkan oleh Konfusius adalah despotisme, meski memang yang sudah tercerahkan.”67 Kelak Konfusianisme mendapatkan berbagai interpretasi baru yang memadukannya dengan pikiran-pikiran yang ditarik dari Yì-Jīng dan Yīn-Yáng, maupun dari Daoisme serta Buddhisme. Sebagai Neo-Konfusianisme dengan multiwajah faham ini malahan memantapkan diri sebagai sokoguru dalam ideosinkretisme filsafat Tiongkok. 6. Mèngzǐ Mèngzǐ adalah murid dari Kǒng Zǐsī yang adalah cucu dari Konfusius. Ajaran utama dari Konfusius adalah prinsip rén (kebaikan manusiawi) dan yì (kebajikan), tetapi dia tidak menjelaskan mengapa manusia harus menjalankannya. Adalah Mèngzǐ yang mengatakan bahwa manusia harus menjalankannya karena manusia itu pada hakekatnya adalah baik. Tesis dasar itu nampak dari pernyataannya ini: “Tidak ada orang yang sampai hati melihat penderitaan orang lain.”68 Dengan begitu Mèngzǐ juga mengambil sikap terhadap pertanyaan kontroversial di zamannya mengenai apakah hakekat manusia yang sebenarnya.69 Sikap itu juga kemudian diterapkannya ke bidang kehidupan bersama. Prinsip bahwa manusia pada dasarnya adalah baik lantas menjadi dasar mengapa Mèngzǐ memandang negara sebagai institusi moral dan memandang penguasa lebih sebagai sebagai penguasa dalam arti moral, dan bukan dalam arti kekuasaan. Bahkan Tiān (sorga/langit) juga difahaminya sebagai suatu puncak moralitas. Dengan begitu, orang yang bermoral bukan hanya merupakan warga dunia, melainkan juga warga sorga.70 Untuk Mèngzǐ, soal moralitas itu banyak tergantung dari kebenaran dalam hubungan antar manusia. Karena itu dia merumuskan konsep wǔlún dari Konfusius dalam hubungan-hubungan etis yang lebih jelas. Katanya: “antara bapak dan anak itu harus ada kasih-sayang, antara penguasa dan menteri harus ada kebajikan, antara suami dan istri harus ada perhatian untuk funksi masing-masing, antara yang tua dan yang muda harus ada tertib hubungan yang benar, dan antara teman harus ada kesetiaan.”71 Menurut Mèngzǐ, setiap orang mempunyai kapasitas yang sama untuk menjadi manusia utama, asal saja dia mengembangkan dirinya secara maksimal untuk mencapai kelengkapan hakekatnya sebagai “manusia yang pada dasarnya adalah baik”. Pandangan yang membedakannya dari Konfusius adalah dalam cara dia memandang manusia sebagai makhluk sosial, sehingga manusia dapat mencapai tujuannya itu hanya dalam kebersamaan (mirip dengan Aristoteles). Persepsinya mengenai manusia sebagai makhluk sosial itu membuat konsepsinya mengenai negara menempatkan rakyat pada kedudukan 66
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 9. Legge, Lùn-yǚ: 106-107. Seorang ‘despot’ adalah seorang yang memerintah sesuka hatinya. 68 Fung, 1976: 75, mengutip Mengzi IIa, 6. 69 Fung, 1976: 69. 70 Fung, 1976: 77, mengutip Mengzi VIIa, 19. 71 Legge, Lùn-yǚ: 103, mengutip Mengzi, III. Pt. I. iv. 8. 67
Page 12 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
yang sentral: “Rakyat adalah unsur terpenting dalam negara. Roh negeri dan padi-padian adalah yang kedua, sedangkan penguasa adalah yang terakhir.”72 Menurut hemat saya, “roh negeri” itu sekarang kita fahami sebagai “nasionalisme”. Karena rakyat dipandangnya sebagai unsur yang utama dalam kehidupan bersama, keadilan menjadi soal yang penting sekali, terutama dalam hal pemastian kesempatan hidup. Akibatnya, pada tingkat implementasi keadilan itu terutama bertumpu pada distribusi tanah yang adil, yang didasarkan pada suatu sistem yang kemudian dikenal sebagai ‘sistem sumur’ atau jǐngtián zhìdù (zhìdù: sistem).73 Dalam masyarakat petani, keadilan dalam soal distribusi dan pemilikan tanah itu adalah soal yang sangat krusial. Dalam konsep Mèngzǐ itu, setiap lì persegi (yaitu setara dengan sepertiga mil persegi, atau kira-kira satu kilometer persegi) harus dibagi menjadi sembilan petak. Petak kesembilan yang ada di tengah-tengah adalah petak publik yang hasilnya harus diserahkan kepada pemerintah, sementara kedelapan petak sekeliling lainnya adalah petak privat yang dikerjakan oleh, dan hasilnya boleh dinikmati masing-masing keluarga yang mengerjakannya.74 Pada kesan pertama, sistem jǐngtián zhìdù ini nampak seperti ideal untuk menjaga stabilitas sosial. Masalahnya adalah, sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk akan ada kebutuhan untuk satuan-satuan jǐngtián yang lebih banyak, yang tentu saja tidak selalu dapat dipenuhi. Itulah sebabnya, Tiongkok dari waktu ke waktu didera oleh berbagai kemelut politik (dan tentu juga militer) yang didorong oleh kepentingan untuk menguasai tanah yang memang diperlukan bukan hanya bagi kebutuhan pangan penduduk, tetapi juga untuk logistik militer. Persis seperti yang sudah dijalankan oleh Qín Shǐ Huángdì di abad III SM. 7. Xúnzǐ Xúnzǐ dikenal juga dengan nama Xúnqǐng atau Xúnkuàng. Mèngzǐ menekankan kebebasan individual namun menilai tinggi nilai-nilai super-moral, dan karena itu lebih dekat dengan aspirasi yang lebih religius. Sedangkan Xúnzǐ menekankan kontrol sosial sambil merinci pandangannya mengenai naturalisme dan karena itu cenderung berseberangan dengan religi.75 Xúnzǐ terkenal karena pandangan dasarnya yang menyatakan bahwa hakekat manusia itu adalah jahat (evil): “hakekat manusia itu adalah jahat, kebaikannya adalah hasil pendidikan.”76 Segala yang baik dan bernilai itu adalah hasil dari upaya manusia yang mewujud sebagai kebudayaan. Nilai itu ada dalam kebudayaan dan kebudayaan itu adalah keberhasilan manusia. Faktor inilah yang membuat manusia itu menjadi sama penting dengan sorga dan bumi: “sorga itu mempunyai musim-musimnya, bumi mempunyai sumber-sumbernya, manusia mempunyai kebudayaannya.”77 Kendati pandangannya mengenai hakekat manusia itu berseberangan dengan pandangan Mèngzǐ, dia sepakat dengan Mèngzǐ bahwa setiap orang bisa saja menjadi orang bijak (sage, dàshèng ) jika dia memang menghendakinya. Untuk Xúnzǐ hal itu
72
Fung, 1976: 74, mengutip Mengzi VIIb, 14. Di Indonesia kita mengenalnya sebagai ‘petak sembilan’, namun lebih lekat dengan dunia perjudian di kawasan Pecinan/Chinatown, di mana petak yang kesembilan adalah domein sang bandar. 74 Fung, 1976: 75. 75 Fung, 1976: 143. 76 Fung, 1976: 145, mengutip naskah Xúnzǐ: 17. 77 Fung, 1976: 144, mengutip naskah Xúnzǐ: 17. 73
Page 13 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
dimungkinkan karena manusia memiliki kecerdasan yang bisa membawa kepada kebaikan. Pertanyaannya adalah, jika manusia pada dasarnya adalah jahat, bagaimana pula dia bisa menjadi baik secara moral? Jika setiap orang terlahir jahat, dari mana datangnya kebaikan? Untuk itu Xúnzǐ mengajukan dua argumentasi. Pertama adalah, bahwa untuk dapat bertahan hidup manusia perlu organisasi sosial karena manusia tidak dapat mengerjakan segalanya sendiri. Kedua, manusia perlu bersatu untuk dapat mengungguli makhluk-makhluk lainnya. Untuk memenuhi kedua syarat itu manusia perlu menjalankan lǐ, suatu konsep dasar dalam Konfusianisme yang biasanya diartikan sebagai ritual, namun secara mendalam berimplikasi sebagai perilaku yang sesuai dengan adat istiadat yang diperlukan untuk kehidupan bersama yang tertib dan damai. Adat istiadat itu diperlukan karena kebutuhan manusia banyak, sementara kebutuhan yang tersedia itu terbatas. Jika manusia tidak mengatur perilakunya, yang akan terjadi adalah kekacauan.78 Pengaturan perilaku itu juga diperlukan karena manusia dari alamnya berbeda dari hewan. Kenyataan biologik manusia maupun hewan itu (ada maskulin dan feminin, dst.) merupakan kenyataan alam. Sedangkan relasi antar manusia (filsafat Barat menyebutnya inter-subjectivity) dan peringkat hubungannya (bapak/anak, suami/istri, dst) adalah produk dari peradaban (kebudayaan). Relasi itu bukan hadiah dari alam melainkan merupakan prestasi kebudayaan dan peradaban. Relasi itulah yang harus dijaga dengan lǐ yang dalam kerangka ini difahami sebagai adat istiadat atau aturan. Karena itu dalam kerangka Konfusian ini, li itu harus diartikan lebih sebagai rules of social conduct (aturan perilaku sosial). Xúnzǐ merumuskan dua perbedaan dari lǐ. Dalam kerangka sosial, lǐ itu bersifat regulatif terhadap hasrat manusia. Sedangkan dalam kerangka ritual, lǐ itu bersifat menghaluskan emosi. Penjelasan itu bersumber dari pandangan Xúnzǐ yang memang menegaskan bahwa manusia itu memiliki dua kapasitas: rasio dan emosi. Dia menjelaskan perbedaan kedua kapasitas itu begini. Jika ada orang yang kita kasihi meninggal, maka kita tahu, bahwa secara rasional, kematian adalah kematian dan tidak ada alasan rasional untuk percaya bahwa jiwa itu tidak bisa mati. Karena itu, jika kita semata-mata mengandalkan rasio, tidak ada alasan untuk berdukacita. Tetapi karena kita juga punya emosi, kita lantas mengharapkan bahwa orang yang mati itu hidup lagi sehingga kita mengharapkan bahwa ada jiwanya yang akan melanjutkan hidup di dunia yang lain. Karena itu ada perbedaan yang nyata antara apa yang kita ketahui dan apa yang kita harapkan. Xúnzǐ mengakui bahwa pengetahuan itu penting, tetapi kita tidak bisa hidup hanya dengan pengetahuan. Dalam kenyataannya kita juga memerlukan kepuasan emosional. Sikap kita terhadap kematian jadinya mementingkan kedua kapasitas itu bersama-sama, dan itulah yang dilakukan dalam Konfusianisme. Karena itu Konfusius kabarnya mengatakan bahwa sikap yang benar adalah memperlakukan kematian sebagaimana yang kita ketahui dan sebagaimana yang kita harapkan.79 Karena itu Xúnzǐ juga mengatakan bahwa ritual itu adalah untuk memperlakukan aspek hidup dan mati dari manusia secara benar. “Hidup itu adalah awal dari manusia, kematian adalah akhirnya. Jika awal dan akhir dari manusia diperlakukan dengan baik, jalan kemanusiaan itu menjadi lengkap... karena itu funksi perkabungan adalah untuk menjelaskan makna dari hidup dan mati,
78 79
Fung, 1976: 146. Fung, 1976: 148-149, mengutip Lǐjì: 2.
Page 14 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
untuk melepas orang yang meninggal dengan duka dan hormat, dan dengan begitu melengkapi akhir dari manusia.”80 Dalam kerangka epistemologi dia melancarkan kritik terhadap pandangan Daoisme mengenai hakekat realitas dan alam semesta karena Daoisme justru tidak ambil pusing mengenai manusia. Kritik itu berbentuk sajak yang mengesankan, seperti yang diungkapkan oleh Needham dalam versi bahasa Inggris, sbb.: You glorify Nature and meditate on her; (Kau memuliakan Alam dan bermeditasi kepadanya) Why not domesticate her and regulate her? (Mengapa bukannya kau jinakkan dan atur dia?) You obey Nature and sing her praises; (Kau taati Alam dan nyanyikan pujian baginya) Why not control her course and use it? (Mengapa bukannya kau kontrol prosesnya dan manfaatkan dia?) You look on the seasons with reference and await them; (Kau pandang musim-musim dengan hormat dan nantikan mereka) Why not respond to them by seasonal activities? (Mengapa tak kau respon mereka dengan kegiatan musiman?) You depend on things and marvel at them; (Kau tergantung dari hal-hal dan mengaguminya) Why not unfold your own abilities and transform them? (Mengapa tak kau kembangkan kemampuanmu sendiri dan merubahnya?) You meditate on what makes a thing a thing; (Kau bermeditasi mengenai apa yang membuat suatu hal adalah suatu hal) Why not so order things that you do not waste them? (Mengapa tak kau atur hal-hal sehingga tak kau boroskan mereka?) You vainly seek into the causes of things; (Sia-sia kau mencari penyebab segala hal) Why not appropriate and enjoy what they produce? (Mengapa tidak kau gunakan dan nikmati yang mereka hasilkan?) Therefore I say – To neglect man and speculate about Nature; (Karena itu kukatakan – mengabaikan manusia dan berspekulasi mengenai Alam). Is to misunderstand the facts of the universe. (Sama saja dengan salah memahami alam semesta).81
Kunci dari sajak itu ada dalam baris kedua sebelum terakhir, di mana Xúnzǐ menohok Daoisme yang mengabaikan manusia dan justru berspekulasi mengenai alam semesta, dan dengan demikian malahan salah tafsir mengenai hakekat alam semesta. Menurut Xúnzǐ, kapasitas mengetahui manusia itu terdiri dari dua bagian: yang satu adalah indra alami dan yang lainnya adalah akal itu sendiri. Indra berfunksi untuk menerima kesan, sedangkan akal memberi makna pada kesan. Jika indra tidak berhasil menangkap kesan, dan akal tidak berhasil mengidentifikasi serta memaknainya, maka kita katakan tidak ada pengetahuan.82 Jelaslah bahwa epistemologi Xúnzǐ adalah empirisme 80
Fung, 1976: 149, mengutip Xúnzǐ, Treatise on Rites: 19. Ch. 17, p. 23b, dikutip dari Needham: 28. Terjemahannya berasal dari saya. 82 Fung, 1976: 151, mengutip Xúnzǐ, On the Rectification of Names, 22. 81
Page 15 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
yang memang kental mewarnai realismenya. Realisme itu kelak akan tampil menonjol dalam ajaran Hán Fēizǐ, sahabatnya yang legalistik dan mengabdi pada Dinasti Qín yang mempersatukan Tiongkok. Perkembangan dalam Konfusianisme ini terjadi sejalan dengan tumbuhnya Legalisme (Fǎ-Jiā) yang memandang konsep rén sebagai refleksi kepentingan diri dan tidak berguna untuk penguasa dalam menjalankan pemerintahan secara efektif. Pertentangan antara Konfusianisme dan Legalisme memuncak pada tahun 213 SM, delapan tahun setelah Kaisar Qín Shǐ Huángdì menaklukkan Tiongkok dan Perdana Menteri Lǐ Sī (ca. 280-208 SM) meyakinkan Kaisar Qín untuk meninggalkan feodalisme gaya Konfusian zaman Dinasti Zhōu. Ketika para sarjana Konfusian membantahnya, Lǐ Sī berhasil meyakinkan Kaisar Qín untuk memerintahkan pembunuhan mereka dan pembakaran buku-buku Konfusius. Di zaman Dinasti Hàn akhir (23 TM-220) dan Dinasti Táng (618-907) Konfusianisme justru menjadi bergengsi. Di bawah Kaisar Hàn Wǔdì, sejak tahun 140 SM naskah-naskah Konfusius menjadi bahan wajib dalam ujian pegawai negeri dan berlanjut sinambung sampai abad XIX.83 8. Zhū Xī: Sang Synthesizer84 Naskah-naskah Kǒngzǐ yang kelak diperkaya dengan karya-karya dari Mèngzǐ dan Xúnzǐ kemudian akan dikenal di dunia Barat sebagai ‘Konfusianisme’. Seribu tahun sesudah mereka, di zaman Dinasti Sòng (960-1279), seorang sarjana bernama Zhū Xī menampilkan interpretasi yang amat berbeda mengenai Konfusianisme dengan menginjeksi gagasan-gagasan Daois dan Buddhis ke dalam Konfusianisme itu. Zhū Xī (1130-1200), dari Yùxī, Provinsi Fújiàn, Tiongkok tenggara, adalah seorang sarjana Konfusian yang kemudian menjadi kesohor sebagai pelopor aliran Neo-Konfusian yang sangat rasional. Ketimbang memperhatikan Yì-Jīng, dia menghidupkan kembali Lùn-yǚ, buku Mèngzǐ, Dà-xúe, dan Zhōngyōng dan menyebutnya ‘Buku Yang Empat’, Sì Shū. Sì Shū ini menjadi bahan ujian negara untuk para calon pegawai negeri sampai tahun 1905. Zhū Xī mendapatkan julukan sebagai ‘Synthesizer’ atau ‘Pemadu’ karena dia memang berusaha memadukan segala konsep dasar Konfusian sebagai suatu sintesis yang juga mengabsorbsi elemen-elemen Daois dan Buddhis yang dipandangnya berguna.85 Menurut Zhū Xī, segalanya yang ada di alam semesta ini dapat dikembalikan kepada paduan dari dua prinsip dasar realitas, yaitu: qì, yang kadang-kala disebut juga sebagai kekuatan material, dan lǐ, yang kadang-kala diterjemahkan sebagai prinsip rasional atau malahan juga hukum. Sumber dari lǐ ada dalam Tàijí, yang berarti ‘Puncak Yang Tertinggi’. Sedangkan sumber dari qì tidak dijelaskan oleh Zhū Xī, yang membuat sebagian ahli berpendapat bahwa Zhū Xī itu adalah seorang monis di bidang metafisika. Sedangkan bagi sebagian kritisi lain lagi dia adalah seorang dualis. Menurut Zhū Xī, setiap benda dan setiap orang mempunyai lǐ nya sendiri dan karena itu mempunyai kontak metafisik dengan Tàijí. Apa yang dikatakan adalah jiwa manusia, akal atau roh difahami juga sebagai Tàijí, yang merupakan prinsip utama yang kreatif sebagaimana dia bekerja dalam diri seseorang. Qì dan lǐ itu bekerjasama secara interdependen. Mereka berada dalam segala makhluk di alam semesta, dan kedua aspek itu bermanifestasi dalam penciptaan dari satuan-satuan realitas yang substansial. Jika kegiatan mereka berkembang ekspansif, 83
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucianism: 10. Referensi: en.wikipedia.org/wiki/Zhu_Xi. 85 Fung II: 566 et seq. Fung 1976: 194-195. 84
Page 16 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
maka yang hidup adalah moda energi Yáng. Jika kegiatan mereka menyusut, maka yang hidup adalah moda energi Yīn. Baik Yáng maupun Yīn berinteraksi terus menerus, dan secara bergantian mendapatkan atau kehilangan dominasi satu terhadap yang lainnya. Dalam proses berkembang dan menyusut itu menjelmalah kelima elemen Wǔ-xíng: api, air, kayu, metal dan tanah. Di sini kita lihat bagaimana prinsip Daois bersintesa dengan doktrin Wǔ-xíng. Zhū Xī ada bersinggungan dengan pengaruh Buddhisme. Dalam kerangka lǐ dan qì, sistem yang diajukan oleh Zhū Xī amat mirip dengan gagasan Buddhis mengenai lǐ (sekali lagi: prinsip) dan shì (hal-hal, affairs, matters), 86 meskipun Zhū Xī dan para pengikutnya tegas menyatakan bahwa mereka tidaklah menjiplak gagasan-gagasan Buddhis, dan sebaliknya malahan menggunakan konsep-konsep yang sudah lama ada dalam Yì-Jīng. Zhū Xī menjelaskan, bagaimana konsep Tàijí itu kompatibel dengan prinsip Daoisme, tetapi konsepnya mengenai Tàijí berbeda dari konsep Dào dalam Daoisme. Manakala Tàijí merupakan prinsip yang membedakan dan menghasilkan sesuatu yang baru, Dào sendiri membisu dan mereduksi segalanya ke dalam kesetaraan dan persamaan. Dia bersikukuh bahwa terdapat suatu harmoni sentral yang tidak statis atau hampa, melainkan dinamis, dan bahwa Tàijí itu sendiri adalah suatu konstan kegiatan yang kreatif. Zhū Xī tidak memusingkan gagasan-gagasan tradisional seperti ‘Tuhan’ (Shàngdì) atau sorga (Tiān), kendati dia memperlihatkan bagaimana gagasannya sendiri sebetulnya merefleksikan gagasan-gagasan tradisional itu. Dia menganjurkan agnostisme dalam Konfusianisme, karena dia percaya bahwa Tàijí itu merupakan suatu prinsip yang rasional. Dia juga membahas Tàijí itu sebagai suatu kehendak yang inteligen dan berperan mengatur di balik alam semesta. Dia tidak menganjurkan pemujaan kepada roh dan persembahan kepada patung-patung, meski dia sendiri mempraktikkan suatu pemujaan kepada leluhur. Dia tidak percaya bahwa roh leluhur itu ada, dan sebaliknya bersikap bahwa pemujaan leluhur itu semata-mata bentuk pengenangan dan penghormatan. Zhū Xī menjalankan praktik meditasi harian yang sama tetapi tidak serupa dengan apa yang dilakukan dalam aliran Buddhis dhyana atau meditasi gaya Chán , di mana nalar itu tenang dan diam. Dalam meditasinya Zhū Xī tidak perlu menghentikan kegiatan berpikir seperti yang diajarkan dalam Buddhisme, melainkan melakukannya dengan introspeksi yang senyap untuk menyeimbangkan berbagai aspek kepribadian dan mendorong pikiran yang terfokus dan berkonsentrasi. Pola meditasinya lebih bersifat Konfusian dalam arti dia lebih mementingkan moralitas. Dalam meditasi dia berusaha untuk menalar dan merasakan harmoni dengan alam semesta. Dia percaya bahwa bentuk meditasi ini lebih mendekatkan kemanusiaan dengan harmoni. Dari tahun 1313 sampai tahun 1905, komentar-komentar Zhū Xī terhadap keempat buku yang disebut di atas telah membentuk dasar bagi ujian pegawai negeri di Tiongkok. Ajarannya disanggah oleh pemikir seperti Wáng Yángmíng (1472–1529), meskipun kemudian ajaran Zhū Xī akan mendominasi ajaran Neo-Konfusian lain seperti yang dari Wáng Fūzhī (1619–1692). Filsafat Zhū Xī selamat dari Revolusi Intelektual tahun 1917, dan kelak Fung Yulan melakukan interpretasi terhadap konsep-konsepnya lǐ, qì, and Tàijí serta menjahitnya menjadi suatu teori metafisika yang berbeda. Fung Yulan telah menganalisis dan mengembangkan konsep-konsep itu dengan cara yang lumrah dalam 86
Konsep shì 事 ini juga digunakan dalam aliran Ming-Ji.
Page 17 of 18
C:\Documents and Settings\BudiKusumo\My Documents\Wissenschaft\Bücher\Sinologie\Konfusianisme Dan Zaman Kita 20100723.doc
tradisi filsafat Barat dan menghasilkan suatu metafisika Neo-Konfusian yang rasionalistik.87 Zhū Xī sendiri banyak diabaikan dalam hidupnya, namun tidak lama setelah dia meninggal, interpretasinya menjadi pandangan orthodoks yang baru mengenai Konfusianisme. Hasilnya adalah Neo-Konfusianisme yang sudah banyak menyimpang dari Lùn-yǚ, namun berjaya di Tiongkok dan Vietnam sampai abad XIX, karena para pegawai dan sarjana Konfusian di zaman Dinasti Yuán (1279-1368) dan Dinasti Ming (1368-1644) bertumpu pada interpretasi dari Zhū Xī itu. Konfusianisme yang mengalami metamorfosa sebagai Neo-Konfusianisme berpengaruh jauh dalam masyarakat Tionghoa, sampai ke zaman modern kita. Kendali diri yang menjadi pangkal ajarannya telah menjadi basis bagi kerajinan dan ketekunan yang mewarnai dan membuat umumnya masyarakat Tionghoa secara ekonomis sukses di mana pun mereka berada dan boleh menjadi makmur: di California, Malaya (Malaysia), maupun di Tiongkok daratan.88 Jakarta: 20100729 Budiono Kusumohamidjojo89
87
http://en.wikipedia.org/wiki/Feng_Youlan. Ross: 3. 89 Sarjana Hukum, Jurusan Hukum Internasional, Universitas Parahyangan, Bandung (1976); Doktor der Philosophie (Dr.phil.), magna cum laude, Staatsuniversität Würzburg, Jerman (1982); Penterjemah disumpah untuk bahasa Inggris, Jerman, Belanda v/v bahasa Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta (1995); Gurubesar untuk Filsafat Hukum, Fakultas Filsafat, Universitas Parahyangan, Bandung (Keputusan Menteri Diknas 2006). 88
Page 18 of 18