Tino Sidin dalam Keluarga
TINO Sidin, ayah yang baik. Hangat di luar, hangat di keluarga. Ramah di luar, ramah di rumah. Di mata anak-anaknya, Tino Sidin tidak pernah marah. Bahkan lebih sering melucu. Kebiasaan Makan Tino Sidin, makan apa saja bisa. Menurut anak keduanya, Budiati (58), makan ayahnya, simple saja. Tapi, yang paling disukai, sambel terong bakar dan pisang. Makan sehari-hari, juga selalu senang makan dari yang ada. Soal makan tidak pernah mengeluh. Sayur lodeh, tempe basah, dan sayuran rumahan lainnya. Kalau Lebaran saja, keluarganya punya tradisi bikin rendang bumbu “Sumatera”. Bagaimanapun Tino Sidin besar dalam “lidah Sumatera”. Tidak tahu darimana resep sambal terong bakar itu. “Saya sampai sekarang masih sering membuatnya,” kata Budiati. Sebuah terong panjang hijau, dibakar di atas api kompor. Setelah kulit terong tersulut api dan kondisi sudah lemas, ditarik dari api. Angus dibersihkan dengan cara dikerik pakai pisau. Jika sudah terlihat bersih, dibelah, dibuka dikuakkan, kemudian ditaburi potongan kecil-kecil cabe rawit, bawah merah, dan sedikit garam dapur. Terakhir, dituang kecap manis secukupnya. Jadilah sambal terong bakar. “Bapak itu makannya sederhana-sederhana saja. Kami tak pernah mendengar Bapak mengeluh soal makan,” kata Budiati yang dibenarkan ketiga adiknya. Hanya, sedikit punya alergi makanan laut. Jika ada tambahan rejeki, Tino Sidin tidak terlalu banyak ngajak keluarganya makan di restoran, sekurangnya lebih banyak mengajak keluarga nonton bioskop. Tino Sidin sendiri seorang penggemar film-film koboi. Meskipun tergolong doyan makan, tetapi keluarga ini makan secukupnya dan seadanya. Tidak berlebihan dan mengada-adakan. Hanya, Tino Sidin memang selalu teringat masakan ibu. “Masakan dari ketan, pisang goreng, dan ikan peda selalu dirindunya,” kata Panca Takariyati, putri bungsunya. Hanya, Tino Sidin memang kerap berpuasa. Terlebih-lebih kalau sedang menyiapkan keperluan murid-muridnya.
Di mata anak-anaknya, setiap kali pulang dari bepergian, dekat atau jauh, Tino Sidin suka bawa oleh-oleh, meski itu hanya beberapa potong kue martabak. “Ini, ayo pada dimakan,” lembut perkataannya. Terasa ikhlas dan sejuk. Selain makan sederhana, Tino Sidin juga setia pada warung tertentu. Katong (50), anak dari sahabat Tino Sidin, sering diminta menjadi “sopir pocokan” Tino Sidin ke Jakarta atau kota besar lainnya. Yang terkesan, setiap kali menyopiri, Tino Sidin selalu minta Katong untuk melipat lengan baju sebelah kanan. Uniknya, kata Katong, selalu diajak mampir ke warung makan yang sama untuk mengisi perut. Kalau ke dan dari Jakarta, mampir di Gombong dan Cirebon. Pada warung yang sama. “Senangya ikut Pak Tino itu, diajak makan, tidak perlu ngebut, dan hafal jalan jalan jadi bisa belajar. Sudah itu selalu ceria selama dalam perjalanan. Tidak lupa, selalu diberi uang jajan,” kenang Katong yang terinspirasi pengalaman mendampingi perjalanan Tino Sidin dengan mobil, kini ia pun punya usaha tranportasi. Suka Bersih Pada dasarnya, Tino Sidin makan tidak pilih-pilih. Namun, Tino Sidin adalah seniman yang tergolong “resikan”, serba ingin bersih. Ketat dalam soal kebersihan dan kesehatan. Tino Sidin juga punya kebiasaan suka sering cuci tangan. Termasuk makan, tangan harus bersih. Sudarwoto, asistennya, bercerita, ketika itu, suatu siang yang panas menemani Tino Sidin ke Pasar Pagi buat beli kertas gambar di toko langgangan. Sudarwoto merasa haus dan spontan membeli dua bungkus susu kedelai siap minum dari pedagang keliling. Tahu Sudarwoto asyik dan nikmat minum susu kedelai, Tino langsung minta sebungkus yang masih di tangan Sudarwoto. Tino Sidin langsung meminumnya, menyedotnya kuat-kuat. Setelah menelan bertegak-tegak, Tino Sidin menghentikan penyedotannya. Wajahnya tampak bingung, lalu mempertanyakan kebersihan susu kedelai yang diminumnya, termasuk bertanya bagaimana kebersihan pedagang dan alat pembawanya. Sudarwoto menjawab kalem, “ ... gak apa-apa. Yang penting tidak haus lagi, ha...ha...ha...”. Uniknya, tanpa diketahui para tamu atau orang yang baru saja dijumpai, kemudian bersalaman, Tino Sidin selalu menyelinap dan bersegera untuk cuci tangan. Tino Sidin merasa harus mencuci tangannya tetapi juga harus pandai menyembunyikan kelakuannya itu agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Menurut perupa dan seniman Suyadi atau Pak Raden (80), Tino Sidin memang pribadi yang tidak pernah menyakiti hati orang. Suryadi ingat, ketika ada lomba menggambar untuk anak-anak di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Salah satu pesertanya, cucu Pak Harto. Tino Sidin menyampaikan komentar atas hasil karya anak tersebut, melalui suster pengawalnya. “Karena Pak Tino tidak mau
menyakit hati anak itu,” kata Suyadi, pencipta Serial Boneka Si Unyil yang tak kurang 4 tahun berpartner dengan Tino Sidin dalam urusan “menggembirakan” anak-anak. Disamping suka hidup bersih, Tino Sidin juga pria yang punya hobi agak beda. Suka pakai minyak wangi. Kalau mau pergi bersama keluar rumah, setelah siap berpakaian rapi, anak-anaknya disuruh mengangkat lengan, lalu Tino Sidin menyemprotkan sedikit minyak wangi ke arah bagian baju di ketiak mereka. Memang bukan minyak yang menyengat. Harumnya suam-suam saja. Namun, ada cerita, pada suatu persiapan syuting di studio televisi, para kru berseloroh kepada Tino Sidin, “Wah, harumnya kayak selebritis, Pak?” Konon, Tino Sidin hanya tersenyum lebar. Banyak Teman Di rumah, Tino Sidin banyak mengenakan kain sarung. Berkaos. Duduk-duduk, sambil corat coret. Sketsa. Menyapa dan bergurau anak isterinya. Bercerita pendek-pendek tentang yang lucu-lucu. Hal-hal yang menyenangkan. Tidak banyak cerita tentang beban kerjanya, tidak mengeluhkan beban hidupnya. Kalau pulang dari bepergian, ceritanya juga bukan
hal-hal
yang
mendalam
melainkan
pengalaman
ringan
berkesan
yang
menyenangkan dan membanggakan. Adakalanya, Tino Sidin serius berada di ruang meditasi yang ia gunakan secara khusus. Anak-anak tidak tahu dan tidak diberitahu apa yang dikerjakan di dalam. Demikian pula kalau sedang terima tamu, suasana rumah jadi hidup. Tapi, adakalanya mereka bicara serius, terutama yang bertandang pada malam hari. Di mata anak-anaknya, Tino Sidin adalah seorang ayah yang punya banyak teman dan suka datang ke rumah. Tino Sidin juga membiarkan anak-anaknya mengenal dekat tamu-tamu orangtuanya. Temannya banyak semenjak belum terkenal, dan apalagi setelah terkenal. Tino Sidin, menurut keterangan teman-temannya, juga sosok yang lapang dada, tidak membeda-bedakan, tidak mengeluh, tidak menjelekkan, mudah bergaul, tidak pernah pandang status. Pelukis Fadjar Sidik (almarhum), sejak keluarga ini tinggal di Kleben, 1962 – 1967, hampir tiap hari ada mampir ke rumah ini. Bahkan, keluarga Tino Sidin sering menyediakan pula makanan yang disukai Fadjar Sidik. Sudah seperti keluarga. Demikian pula kawa-kawan perupa yang lain. Perupa Mudjitha, sesama mahasiswa ASRI, juga kerap bertandang. Nasjah Djamin, kawan seperjuangan dari Medan, juga sudah seperti saudara. “Waktu keponakan Pak Nasjah sakit, dan harus ditunggui di RS Pugeran, Pak Tino sampai membayar orang untuk tunggu,” cerita Umi Nasjah. Demikian pula, ketika anak-anak Nasjah sakit, Tino Sidin dan isterinya tunggu rumah Nasjah, karena keluarga harus berada di rumah sakit. Saat keluarga Nasjah pindah rumah dari Sentulharjo ke Brontokusuman,
Tino Sidin pula yang sibuk membantu karena Nasjah Djamin sedang bertugas di Jakarta. “Hubungan Pak Nasjah dan Pak Tino Sidin itu sangat akrab. Dimana ada Pak Nasjah di situ ada Pak Tino Sidin,” cerita Djaduk Ferianto. Dua orang ini juga akrab dengan Bagong Kussudiardja, yang tinggal di Singosaren Lor, tak jauh pula dari Kleben. Apalagi, mereka juga sudah sering bertemu di rumah Soedarso. Dan mungkin juga sudah bertemu sejak di Sanggar SIM Yogya. Nasjah Djamin dan Bagong Kussudiardja satu kantor Jawatan Kesenian yang banyak pula seniman lain bekerja seperti Kusbini, SH Mintardja, Soedarso Pringgobroto, Handrio, dan sebagainya. Meski Tino Sidin bukan seniman yang pegawai negeri, seperti sebagian kawan-kawannya, tetapi pergaulan di antara mereka dekat. Tino Sidin juga sering bersama Nasjah dan Bagong, cerita Djaduk, pada kiprah Teater Indonesia. Dimana Kusno Sudjarwadi, Habib Barie, Sunarto Pr, Mien Brodjo, dan banyak lagi lainnya sering berproses bersama. Tercatat dalam ingatan para temannya, Tino Sidin berkawan dengan berbagai kalangan. Bahkan di luar komunitas seni, di luar komunitas ASRI. Seperti kalangan penghayat, kalangan profesional seperti wartawan dan guru. Tak ketinggalan militer dan usahawan. Kala itu, belum dikenal Tino Sidin dekat dengan anak-anak. Kawan kuliahnya di ASRI, yang seangkatan maupun yang senior-yunior, kerap mampir pula. Demikian pula orang-orang kampung dan pemuda setempat. Kesaksian Haji Sumaryanto Marzuki, Ketua RT setempat, Tino Sidin sosok yang akrab dengan masyarakat sekitar, meskipun levelnya nasional seperti layaknya selebiritis saat itu, tatapi tetap hidup bersahaja tidak nampak adanya kemewahan. Hidup sederhana, bergaul selumrahnya warga kampung, suka tolong menolong, suka bertegur sapa, adalah keseharian Tino Sidin di kampungnya. Warga juga sangat paham dan maklum, banyak tamu suka datang ke rumahnya. “Hampir semua kawan bapak yang ke rumah, kami mengenalnya sekaligus biasa bicara dan senda gurau dengan mereka,” kenang Budiati. Nyoman Gunarsa Pelukis kawakan Nyoman Gunarsa, malah melukiskan begitu akrabnya di sebagai tamu, terhadap anak-anak Tino Sidin. Saat dia sedang bertamu dengan maksud menjumpai Indrawati, perempuan yang ditaksirnya, Yuni, anak ketiga Tino Sidin selalu ‘heboh’ dan membekas dalam ingatan Nyaman Gunarsa. “... Yuni selalu dalam ingatan saya karena badannya lemu, gemuk, tapi ceria. Selalu menemani Indrawari di ruang tamu, apabila saya berkunjung. ... apa yang saya alami, dalam pertemuan itu selalu diiringi gelak ketawa, karena di tengah-tengah pembicaraan yang lucu maupun serius selalu diiirngi suara kentut
Yuni .... seolah-olah menjadi gongnya pertemuan saya dengan Indrawati yang sekarang menjadi isteri saya itu,” tulis dan kenang Nyoman Gunarsa. Nyoman Gunarsa bertemu jodoh memang di rumah Tino Sidin. Indrawati, perempuan asal Temanggung, sering berkunjung ke kediaman Tino Sidin di Kadipiro. Bahkan, ketika Nyoman Gunarsa memutuskan untuk segera menikah, mengirim surat khusus kepada Tino Sidin. Isinya, pernyataan telah bertekat bulat untuk segera menempuh hidup berdua (berumahtangga). Nyoman Gunarsa menulis, “...pernikahan akan kami atur menurut waktu jang setepat-2nja sesuai dengan adat kami (adat ketimuran).” Pada akhir surat tertanggal 5 Oktober 1972 itu, Nyoman Gunarsa menulis, “Harapan saja, agar Pak Tino sendiri bisa menolong kami demi kelantjaran atjara.” Selanjutnya, setelah mereka menikah, hubungan kekeluargaan terus terbangun. Tino Sidin kerap berkunjung ketika Nyoman Gunarsa membangun dan membuka museum seni rupa di Papringan, Yogyakarta. Bahkan, lukisan wajah Tino Sidin yang dikerjakan maesto seni lukis Indonesia, Basoeki Abdoellah, kini dikoleksi Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia, milik Nyoman Gunarsa di Klungkung Bali. “Bapak dulu secara khusus digambar sama Pak Basoeki Abdoellah di Jakarta. Lukisan itu dihadiahkan untuk bapak,” kata Titik Sidin. Suasana gembira lebih banyak mewarnai kedatangan para tamu. Terlebih-lebih kalau yang datang seniman. Apalagi, sejumlah seniman yang sudah dianggap dan menganggap keluarga sendiri. Pelukis kawakan Indonesia, Soedarso, sering berkunjung sejak masih berumah di Kleben Rt 24. Setiap Lebaran, Soedarsolah yang berandong menuju rumah Tino Sidin, cerita Sudarwoto. Demikian pula setelah Tino Sidin berumah di Kadipiro. Soedarso Waktu setelah kedatangan kedua ke Yogya, 1961-1962, Tino Sidin banyak kumpulkumpul bersama seniman-seniman lain ke kediaman Soedarso di Sentul, biasanya pada jam makan siang. Hubungan kedua keluarga ini terbilang sangat dekat. Sudarwoto, salah satu anak Soedarso, tak kurang 10 tahun menjadi asisten Tino Sidin mengajar menggambar di Jakarta dekade 80-an. Kunjungan Soedarso itu tak lebih untuk bersenda gurau, sembari bicara-bicara lukisan. Soedarso pula yang mengenalkan Tino Sidin kepada Adam Malik. Bahkan, Soedarso pula yang mengurus penagihan suatu pembayaran dari Adam Malik untuk Tino Sidin, sebesar Rp. 150 ribu, tahun 1970. Dalam surat ini, Soedarso meminjam dulu Rp. 50 ribu di antaranya.
Sepanjang tahun 60-an, Soedarso juga kerap bersama-sama Tino Sidin apabila bepergian ke Jakarta. Sebaliknya, kalau Tino Sidin bertandang ke rumah Soedarso di Sentul, kenang Sudarwoto, Tino Sidin selalu memetik buah jambu yang ada di pekarangan rumah, untuk dibawa pulang. Yang tak ketinggalan, bersama-sama makan siang. Meskipun ada urusan penting, kawan seniman yang datang selalu membawa suasana kekeluargaan. Tino Sidin pandai menciptakan suasana pertemuan menjadi cerah ceria. Agak berbeda kalau yang datang orang penting tapi tak punya latar belakang sebagai seniman. Tino Sidin bisa juga bersikap formal meski selalu penuh cerah ceria. Tamu Tino Sidin memang beragam, dari tetangga, teman seprofesi dan keluarganya, akademisi, panitia lomba lukis, wartawan, sampai dengan pejabat negara. “Tino Sidin punya banyak temen Cina di sekitar Malioboro,” saksi Dokter Dewi Sarodja. Untuk memperluas usahanya, mereka sering berpartisipasi membeli nomor lotre. Tahun 80-an, perabotan kursi ruang tamu Tino Sidin konon dibeli dari uang menang lotre. Bahkan pernah Giyanto, salah seorang murid kebatinan, pernah diajak naik mobil memenuhi undangan ke Cilacap. Di sana Tino Sidin menjumpai seorang kenalannya, seorang Cina yang mengundangnya. Waktu itu, cerita Giyanto, Tino Sidin diberi modal Rp. 5.000 untuk pasang nomor. Tino Sidin, menurut Giyanto, sebenarnya tidak suka main nomor tetapi hanya karena ada yang memberinya modal buat beli nomor. Titik, suatu kali pernah diajak membeli nomer. Tapi kelihatan sekali kalau Tino Sidin iseng belaka. Jumlah yang dibeli juga tak seberapa, selembar dua lembar saja. Meski hampir selalu tidak dapat, tidak tembus, banyak orang yang suka berdiskusi hangat soal “nyorek nomer” itu. “Sebenarnya, soal nomer bapak itu tidak kepikiran, tidak serius, lebih untuk sarana pergaulan kala itu,” kata Titik. Disamping tamu untuk urusang “laku” dan menyerap “ilmu slamet” ataupun “Waris Napas”, Tino Sidin juga amat sering didatangi orang sakit. Kepada Tino Sidin mereka minta jalan penyembuhan. Mereka bertindak seperti pasien, dan Tino Sidin berusaha memenuhi permintaan yang sakit maupun keluarganya. Namun, Tino Sidin tidak menempatkan dirinya sebagai juru sembuh. Tino Sidin menolong maksimal sebatas dia mampu. Bahkan, ada beberapa tamu langganan yang setia dan tampak nyaman setiap kali mampir bertandang. Siapa mereka? Peminta-minta dan atau mereka yang sedang tidak sehat jiwa, stress. Ada seorang Nyonyah Belanda, Nyah Lepi, yang sedang menderita stress, hampir tiap hari berkunjung karena oleh Tino Sidin dan keluarganya selalu diberi kesempatan untuk mencurahkan perasaannya. Apapun yang dibilang Nyonyah itu, Tino Sidin selalu
mendengarkan. Ternyata, Nyonyah itu sangat fasih pula berbahasa Inggris. Oleh Tino Sidin justeru diminta mengajari anak-anaknya belajar bahasa asing itu. Meski acap tidak fokus, namun lumayan dalam memberi motivasi untuk menguasai bahasa Inggris, terutama terjadi pada anak pertama, Puti. (Belakangan hari, Puti mendapat beasiswa belajar Strata 2 ke Australia). Para peminta-minta yang datang, suka pula diajak mampir oleh Tino Sidin. Diajak ngobrol ringan, kadang diberi minum dan makan selagi di meja makan tersedia. “Bapak memang bawaannya gitu, menganggap semua orang sama. Jadi ya biasa saja, orang minta, orang gila pun jika datang ke rumah, dianggapnya sebagai tamu. Bapak orangnya tidak tegaan,” kata Titik. Tidak tahu, kenapa orang-orang itu tampak nyaman mampir ke rumah Tino Sidin. Malah, ada seorang langganan yang menjadi tenar dengan sebutan Pak Seratus. Sebutan itu muncul karena kalau datang minta uang Rp.100,-. Pak Seratus ini, suka bicara matematikan dan itung-itungan. Sampai kalau ke rumah Tino Sidin langsung masuk dan bilang, “... sebentar saya mau makan.” Tiga Tegaan Tino Sidin memang tidak tegaan. Budiati pernah suatu hari jalan bersama bapaknya. Di perjalanan, ada seorang nenek tua keliling jualan buah-buahan yang digendongnya. Tino Sidin rupanya melirik dan memperhatikan. Perempuan tua itu tampak lelah dan dagangannya masih banyak. Tino Sidin mengajak Budiati mendekati perempuan itu. Tak tahunya, Tino Sidin membeli buah-buahan jualan nenek-nenek itu. “Bapak ndak tega, melihat jualan nenek itu tak ada yang beli,” cerita Budiati. Tino Sidin melukis tidak dengan tujuan utama dijual. Buktinya, kalau ada orang yang menyukai lukisannya, tapi tak punya uang buat membelinya, ia berikan begitu saja. Akal halnya pula topi baret miliknya. Belasan topi baret telah dimilikinya. Tidak satupun yang ia beli. Semuanya oleh-oleh kawan-kawannya dari luar negeri. Abbas Alibasyah, Bagong Kussudiardja, Nasjah Djamin, Daoed Joesoef, dan Pak Harto pernah memberinya. Pak Harto malah membernya 2 buah sekaligus. Sejak sebelum topi baretnya menjadi khas dirinya, Tino Sidin sebenarnya sudah berbaret di pergaulan dari hadiah Abbas Alibasyah dan Bagong Kussudiardja. Kata Nurhayati, isteri Tino Sidin, tidak semua baret itu dikoleksi, sebagian sudah diberikan kepada kenalannya yang menginginkan. Saat mulai aktif mengasuh acara “Gemar Menggambar” di TVRI Stasiun Pusat Jakarta itu, 1979, sebenarnya berada di tengah kesibukannya menyiapkan tugas-tugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Terutama setelah menerima Surat Tugas dari Direktur Jenderal Pendidikan Dasar, untuk menjadi Penatar Guru Gambar se Indonesia.
Tino Sidin berkeliling ke ibukota propinsi se Indonesia. Bersamaan dengan itu, Tino Sidin juga masih banyak mengasuh sanggar lukis anak yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya, termasuk yang di Yogyakarta. Dalam kesibukannya wira-wiri dari tahun 1979, khususnya Yogya – Jakarta, sampai dengan akhir hayatnya komunikasi dengan keluarga terus terjaga. Kadang mereka saling bertulis surat, yang lewat pos atau dititipkan teman yang berkunjung. Pada saat itu pula, Tino Sidin mengelola “dua dapur”, Jakarta sebagai lahan mendapatkan rezeki dan berkiprah secara nasional, Yogyakarta sebagai rumah tinggal keluarga dan menyerap energi kreatif kota budaya ini. Tino Sidin mencoba, menaklukkan Jakarta. Motivator dalam Keluarga Meski sangat sibuk dan wira-wiri Jakarta – Yogya, sesekali terjun ke daerah, Tino Sidin tidak pernah melupakan kehangatan dalam keluarganya. Tino Sidin adalah bapak yang sabar dan penyayang. Tidak pernah marah. Ternyata, Tino Sidin memang seorang motivator ulung. Setidaknya diakui Budiati, anak keduanya. Ketika mereka berdua naik pesawat dari Jakarta ke Yogya. Saat hendak landing, cuaca sangat buruk. Hujan deras dan pesawat hanya berputar-putar di udara. Penumpang cemas. Rupanya, Tino Sidin memperhatikan kecemasan Budiati. Lalu Tino Sidin bilang lirih, lembut, tetapi jelas, “... jangan takut, ... kan banyak temennya.” Kontan Budiati hilang cemas. Kejadian itu terulang ketika Budiati hendak melahirkan anak pertama. Tentu saja terdapat perasaan khawatir. Sebelum masuk ruang persalinan, ayahnya memberi semangat, “ ...tidak usah khawatir. Tenang saja. Kalau nanti melahirkan normal, ya sakitnya sedikit. Setelah itu, selesai. Tapi kalau melahirkannya dioperasi ya ndak terasa. Setelah itu, perihnya terasa.” Setelah itu, Tino Sidin menunggui sampai cucunya lahir. Meski saban hari waktunya nyaris dihabiskan untuk mengurus “anak orang”, anak sendiri tak dilupakan. Berbagai macam cara ditunjukkan Tino Sidin untuk memperlihatkan dirinya sebagai bapak yang penuh perhatian. Waktu Budiati akan mandaftar masuk kuliah di Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKSS IKIP Yogyakarta, Tino Sidin mengantar. Bahkan antre berdesak-desak membelikan formulir untuk Budiati. Tino Sidin pun masih sempat mengajak anaknya ke luar kota dengan cara diboncengkan motor. Avestiva Iriyati, Ipa, anak keempatnya merasa paling sering di ajang ke pedesaan. Setiap pergi, Tino Sidin selalu siap kertas dan spidol. Sering diajak masuk ke pedusunan, ke tebing dan lereng, dan juga sawah serta sungai. Tino Sidin biasanya langsung membuat sketsa dan membiarkan Ipah bermain di alam bebas. Ipah merasa
senang bemain air sungai yang benaing, berlarian di antara bebatuan, tetapi tak jarang pula bosan menunggu. Ipa ini pernah tercecer dari motor tanpa diketahui Tino Sidin. Saat itu, Ipa dibonceng ayahnya keluar kota. Lelah bermain. Sepulang dari lokasi kunjungan, Ipa mengantuk saat dibonceng. Tertidur, lepas pegangan dan jatuh. Beruntung sepeda motor jalan lambat dan jalanan sepi. Anehnya, Tino Sidin tidak tahu dan tidak merasa anaknya jatuh. Tahu-tahu, ada pengendara sepeda motor yang menyusul dan memberitahukan kalau anak yang diboncengnya, tercecer di jalan. Jatuh. Tino Sidin berbalik kembali arah diliputi tanda tanya. Beruntung, Ipah tak kurang suatu apa. Lain halnya kepada Titik, dalam suratnya kepada isterinya, Tino Sidin menulis, “...Bilang sama Titik buku apa yang dipesan. Suratnya hilang (lupa) entah dimana.” Rupanya, di Jakarta Tino Sidin biasa pula belanja titipan anaknya. Apalagi permintaan buku. Tahun 1980, bulan November, pun menulis berita dalam suratnya, “Saya sedang carikan buku Ipa.” Ipa, anak keempatnya. Akan hanya belajar anak, Tino Sidin sangat memperhatikan. Ipa masih ingat, waktu di SD, ayahnya suka bertanya dan menguji pelajaran Ipa di sekolah. Dasar bekas guru, pengetahuan umum, ilmu bumi, dan sejarah diketahuinya. Jadi, Tino Sidin biasa mendampingi anaknya belajar. Tino Sidin sangat memperhatikan pendidikan dan sekolah anak-anaknya. Tampak Tino Sidin selalu mengikuti perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, dari lahir sampai mereka dewasa. Tino Sidin merasa malu, kalau sampai mendidik anak sendiri gagal sementara ia dikenal sebagai “pendidik anak-anak” yang sukses, khususnya dalam seni gambar. Meski terasa berat, Tino Sidin menjalani tanggung jawab seorang ayah dengan cerah ceria, semua keadaan selalu dirasainya: baik-baik saja. Mengalir dan dinikmati. Lima puterinya, seluruhnya mengenyam pendidikan tinggi. Mereka (1) Putiati, Tebing Tinggi, 17 Mei 1952. Puti lulus Fakultas Teknologi Pertanian; Master of Science (S2) dari Australia (bea siswa); dosen Universitas Brawijaya Malang, kemudian pindah menjadi dosen Fakulutas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor; meninggal 11 Mei 2012. (2) Budiati, Binjai, 19 Desember 1954. Budi Jurusan Pendidikan Seni Rupa FKSS IKIP Yogyakarta; kini mengajar di SMA Negeri Bawang Purwanegara, Banjarnegara; (3) Tri Yuniarti, Tebing Tinggi, 19 Juni 1959. Yuni lulus Akademi Perhotelan Buana Wisata Yogyakarta. dia pula yang mendampingi aktivitas ayahnya di Jakarta; (4) Avestiva Iriyati, Tebing Tinggi, 1 Agustus 1961. Ipah lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta; kini bekerja sebagai PNS di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. (5) Panca
Takariyati, Yogyakarta, 22 Agustus 1965. Titik lulus dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Kini berwirausaha bidang seni dan kerajinan di Yogyakarta. Kegembiraan dan kegairahan hidup Tino Sidin juga membunga, ketika mulai lahir cucu-cucunya. Anak-anak Tino Sidin sudah berkeluarga dan beranak-pinak, kecuali si bungsu Titik, yang hingga kini belum menikah. Mereka memberi 4 cucu dan 3 cicit. Mereka tersebar di Jakarta, Bogor, Banjarnegara, dan Yogyakarta, dan Sydney Australia. Titik menunggui rumah peninggalan. “Ya, saya jadinya yang tunggu rumah keluarga. Ini akan tetap menjadi tetenger, dan sedang kami usahakan menjadi semacam museum sederhana Tino Sidin, atau sekurangnya publik bisa mengakses peninggalan Pak Tino yang kami simpan di rumah ini. Sketsanya, lukisannya, baretnya, .... sampai dokumen pribadinya ....kwitansi honor di tvri, dan sebagainya...,” kata Titik soal rencananya. Komunikasi Terus Ketika si bungsu, Titik, sedang di bangku SD, Tino Sidin sudah mulai aktif di Jakarta. Sumbu komunikasi mereka tak bisa lain kecuali, Tino Sidin sesering mungkin pulang Yogya. Atau, sesekali mereka bersama di Jakarta bersama atau tidak bersama ibu mereka yang setia tetap memilih domisili di Yogyakarta. Apalagi, 1981 mulai membangun rumah milik sendiri meski diperoleh dengan cara mencicil. Padahal, kalau Tino Sidin mau “pulang pindah” ke Medan, di kota itu masih tersedia hak lahan tanah warisan Tino Sidin yang cukup luas. Mereka tetap memilih domisili di Kadipiro, yang komunitas pergaulan sehari-hari dalam bertetangga sudah dijalian sejak 1962. Keluarga Tino Sidin malah dirasakan oleh banyak orang dan penggemarnya, sebagai keluarga Yogya. Tino Sidin tak terasa lagi “Medan-nya” dan lebih “Jogjani” dan “Jawani”, ya karena pada dasarnya Tino Sidin orang Jawa yang numpang lahir di Tebing Tinggi. Komunikasi setiap keberadaan Tino Sidin, terutama di Jakarta, terus terjalin. Kehangatan selalu terjaga. Surat menyurat, kerap mereka lakukan. Tino Sidin banyak bersurat kepada Nurhayati, isterinya. Nada surat-suratnya, lembut dan lugas. Waktu sebelumnya, Februari 1979 dari Ujung Pandang, Tino Sidin menulis surat untuk isterinya yang ditutup dengan kalimat, “... Salam kasih sayang dari Ujung Pandang.” Surat-surat Tino Sidin dari medan tugas kepada isteri dan keluarganya terkesan lembut, sabar, dan menyejukkan, meskipun hampir semua suratnya itu bicara “soal uang” terkait dengan kebutuhan hidup keluarga mereka. Termasuk, keterusterangan Tino Sidin saat belum dapat uang atau sedang kantong kempes. “Saya sedang mencarikan bukunya Ipa. Uang belum ada ....,” tulisnya (24 November 1980). Lain kali Tino Sidin menulis, “ ...Mungkin saya agak lambat ke Yogya, sebab mengurus buku-buku yang diambil DKI. Mudah-mudahan ada
uang masuk ....”. Surat tertanggal 17 Januari 1980 itu diberi addendum, NB begini, “Uang Pat Yit sudah terima? Saya akan kirim Rp. 30.000 lagi, kantong sedang pes, sambil menunggu uang buku. Bagaimana uang dari Pakde?” Ketika berada di Singapura, Oktober 1979, mengirim surat dengan kertas berkop Irama Hotel, 435 Orchad Road, Tino Sidin menulis, “... saya di Singkep dan Karimun, lima hari dan terus ke Singapura. Beberapa hari saya menunggu uang tapi tidak datang.” Dalam
pandangan
umum,
popularitas
Tino
Sidin
waktu
itu
membawa
keberlimpahan uang. Bahkan, Tino Sidin juga sangat dekat punya hubungan sama orangorang penting di negeri ini. Beberapa di antara mereka punya jabatan tinggi dan atau usaha besar. Bahkan, sejumlah di antaranya menggunakan jasa Tino Sidin, baik untuk urusan kebatinan maupun untuk melatih privat cucu-cucu mereka dalam menggambar. Namun, Tino Sidin bukan tipe orang yang suka memanfaatkan kesempatan dan mumpung. Mungkin karena penempaan dirinya sebagai pejuang, dididik di lingkungan Taman Siswa, dan sifat-sifat kemandiriannya menyebabkan Tino Sidin tidak suka merepotkan orang. “Bapak itu, diundang lalu diajak keliling daerah, pulang dapat pengalaman pun sudah senang. Sudah bangga bahagia. Tidak pernah minta-minta, tidak pasang tarif, dan tidak etungan,” cerita Titik. Hidup Sederhana Tino Sidin adalah ayah pandai bersyukur. Apapun yang didapat, berapapun yang didapat, selalu dinikmati dengan suka cita. Itulah mungkin yang menjadikan keluarga ini mengalir mengikuti irama perubahan dan fluktuasi keadaan. Dinikmati aja. Tino Sidin sendiri tidak pernah silau terhadap populeritas dirinya. Anggapan banyak uang itu juga tersiar luas ketika Tino Sidin mengalami kecelakaan lalu lintas di Kebumen, 24 November 1981. Tino Sidin dalam perjalanan pulang dari Jakarta itu, di dalam mobilnya yang celaka ditemukan membawa uang sebesar Rp. 30 juta. Padahal, saat itu memang membawa uang, tapi jumlahnya Rp. 3 juta itupun uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk menambah persiapan biaya membuat rumah. Dalam kurun waktu panjang, tunjangan veteran yang dia terima, dan tentu besarannya tidak seberapa dibanding kebutuhan hidupnya, tetap menjadi nilai yang berharga bagi keluarga ini. Dalam perjalanan hidup mereka, uang tunjangan veteran yang diterima setiap bulan itu selalu bermakna. Tino Sidin, adalah Anggota Veteran Pejuang Kemerdekaan, terdaftar dalam register terakhir LVRI KTA 6876/MDIV/V/1983. Pangkat Golongan “A” NPV 2.027.159 Jakarta, 07 – 05 – 1983. Propinsi DKI Jakarta, ditandatangani
Ketua S Broto Laksono Kolonel Kav NRP 13790. Sejak kuliah di ASRI 1961-1963, Tino Sidin juga sudah terima tunjangan itu. Sejak berada di Yogya bersama keluarganya, 1962, selain mengandalkan perekonomian keluarga dari lukisan yang laku. Sayangnya, lukisan yang dibeli orang, hanya sesekali saja. Sementara itu, pelayanan kasepuhan kepada mereka yang datang dan meminta bantuan, sepenuhnya sebagai pengabdian hidupnya. Kerja sosial betul. Tapi Tino Sidin meski selalu bilang bahwa dirinya pemalas, namun dua hal penting yang diakui banyak orang ada pada dirinya. Yaitu, disiplin kerja dan tidak mau diam. Disiplin kerja itu mewujud pada kesetiaan dan kesungguhan pada setiap hal yang sedang kerjakan. Sifat tidak mau diam, artinya selalu saja ada yang dikerjakan, membuahkan jalan untuk mendapatkan penghasilan, membuka pintu rezeki. Mungkin Tino Sidin punya pedoman, obah mamah, selalu yakin kalau mau bekerja, rezeki akan mengikuti. Dan, tampaknya Tino Sidin menemukan dunianya pada “mengajak anak-anak menjadi gemar menggambar”. Itulah aktivitas yang dilakukannya di banyak tempat, sejak 1969, hampir tiap hari sepanjang tahun tanpa henti hingga akhir hayatnya, 1995. Bahkan, ketika telah lunglai di pembaringan rumah sakit menjelang akhir hidupnya, Tino Sidin masih menandatangani surat keputusan pemenang lomba lukis anak-anak di Jakarta. Anak-anak juga tahu persis, ayahnya punya panggilan sayang untuk Nurhayati. Tino Sidin sehari-hari memanggil isteri dengan sebutan, “Noi.” Nurhayati, Noi. Seperti dalam surat Tino di Jakarta kepada isterinya di Yogya (tanpa tanggal, tetapi diperkirakan tahun 1994), “....kapan ke Jakarta? Kalau ke Jakarta naik Fajar Utama saja. Naik yang eksekutif saja. Jadi Noi pesan tempat dulu. Kalau Noi ada uang pinjami Darjono Rp. 30.000,dulu. Nanti saya ganti. Gitu dulu Noi.” Penuh perhatian, tapi ada maunya. Sebenarnya dia mau bilang kepada isterinya, “...tolong pinjami dulu Darjono....” Tahun 1979, bulan Februari, saat bertugas menatar guru gambar di Ujung Pandang, menggunakan kertas kop “Victoria Hotel”, sambil bercerita tentang alerginya kambuh karena sedang tidak enak badan, “Saya anjurkan Noi jangan banyak makan nasi, yang baik banyak sayuran dan buah-buahan. Garam sedikit saja. Janganlah terlalu memikirkan saya dengan pikiran yang ruwet, selalu kembalikan pada Allah.” Kembalikan kepada Allah. Itu kunci spiritualitas hidup Tino Sidin. Pada 24 Februari 1980, dari Jakarta Tino Sidin menulis surat untuk Nurhayati, isterinya. Dengan menggunakan kertas kop Majalah Wanita MUTIARA, Tino Sidin menulis, “ ....Saya prihatin sekali waktu Noi diambil cairannya. Saya terus berfikir ke rumah. Semoga Noi sehat selalu
dan jangan berfikir macam-macam. Kalau saya bekerja, banyak gangguan fikiran, pekerjaan itu nanti tidak akan sukses”. Selanjutnya ditulis, “Inilah yang saya harap ada pengertian dari Noi. Waktu ini saya berfikir, bahwa dalam beberapa tahun ini harus semuanya beres. Sesudah itu, mungkin harapan akan tipis. Percayalah dan saya harap Noi mengerti dan menyokong saya. Janganlah Noi membuat diri Noi susah.” Surat itu, ditutup dengan, “...saya tetap menyayangi Noi sampai saya mati.” ***