Jurnal Balance Vol. 3, No. 1: 1-15 (2009) Available online @ http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/unm/article/view/17158
SUKSESI DALAM PERUSAHAAN KELUARGA Drs. Ec. Sentot Imam Wahjono, M.Si Universitas Muhammadiyah Surabaya.
[email protected]
Abstract Suksesi dalam perusahaan keluarga menempati posisi strategis khususnya dalam mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Tidak banyak perusahaan keluarga yang mampu bertahan sampai generasi ke-tiga dan seterusnya. Untuk itu diperlukan perencanaan suksesi yang matang. Terdapat hubungan antara keberhasilan suksesi dengan kinerja dalam perusahaan keluarga. Meskipun juga dipengaruhi oleh variabel etnik (Jawa, Madura, dan Cina) dan variabel antar generasi (generasi 1, 2, dan 3 dan seterusnya) terdapat hubungan positif. Keywords: perusahaan keluarga, etnik Jawa, Madura, Cina, suksesi antar generasi.
Pendahuluan Banyak bisnis keluarga yang sulit melewati 3 generasi (Widyasmoro, 2008). Kebanyakan perusahaan keluarga terlibat dalam konflik yang berkepanjangan untuk memperebutkan kekuasaan dalam perusahaan. Banyak permasalahan yang melingkupi bisnis keluarga sehubungan dengan suksesi. Pada umumnya pemegang pucuk kekuasaan perusahaan keluarga menyadari bahwa dengan perencanaan yang baik akan didapatkan pemimpin perusahaan yang baru dengan kualitas dan kapabilitas serta penerimaan yang baik dari sebagian besar komponen pendukung perusahaan keluarga. Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Family Firm Institute untuk the Family Business Review (Hall, 2008), diketahui bahwa hanya 30% dari keseluruhan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga bisa bertahan pada masa transisi antar generasi pada generasi ke-dua, sementara itu hanya 12% mampu bertahan pada generasi ke-tiga dan hanya 3% saja yang mampu berkembang sampai pada generasi ke-empat dan seterusnya. Hal ini yang membuat bertumbuh suburnya idiom dalam perusahaan keluarga bahwa: “generasi pertama yang mendirikan, generasi ke-dua yang membangun, dan generasi ke-tiga yang merusak”. Suksesi generasi pertama, dimana pendiri perusahaan keluarga sudah merasa tidak kuat lagi memegang kendali perusahaan, biasanya karena factor usia,
1
2
merasa bahwa para pelanjutnya kurang siap, seperti dalam kasus perusahaan keluarga Lombardi (Lansberg, 1999). Sementara itu bagi perusahaan generasi ke-2 terdapat permasalahan lain sehubungan dengan suksesi, yaitu pada umumnya pemegang puncak kendali perusahaan merasa sulit memutuskan dalam memilih pengganti. Pertimbangan loyalitas dan kedekatan emosional antara suksesor menjadi masalah pelik yang sulit dipecahkan (Baer, 2007). Dan bila perusahaan keluarga telah mencapai generasi ke-tiga terdapat pergeseran permasalahan yaitu apakah memilih suksesor dari dalam anggota keluarga (Kellerman, et al, 2008) ataukah dari luar dengan pertimbangan profesionalisme (Hall, 2008) tingkat pendidikan (Royer, 2008), kecakapan pengelolaan usaha, dan gender (Harveston, 1997). Lebih jauh, ketika terjadi permasalahan suksesi di perusahaan keluarga generasi ke-empat, kebanyakan permasalahan suksesi disebabkan oleh factorfaktor tata-nilai dari karyawan sehubungan dengan budaya perusahaan (Zulfikar, 2004). Adalah menarik untuk meneliti suksesi dalam perusahaan keluarga karena ternyata banyak perusahaan besar tingkat dunia yang sampai sekarang masih bertahan (sustain), bermula dari perusahaan keluarga yang berhasil melaksanakan suksesi kepemimpinan dalam perusahaannya. Beberapa perusahaan kelas dunia seperti Motorola, Nordstrom, Bakrie, Gudang Garam, sampai sekarang tetap sebagai perusahaan keluarga meskipun mereka telah menjadi perusahaan yang telah terdaftar sebagai perusahaan publik dalam bursa pasar modal. Miller dan Miller (2005) menyatakan bahwa, meskipun telah menjadi perusahaan publik, Nordstrom, Inc. tetap sebagai perusahaan dengan karakteristik perusahaan keluarga. Nordstrom, Inc. adalah perusahaan perdagangan retail khusus di bidang pakaian, sepatu, kosmetik, asesoris dan produk-produk fashion. Sebagai perusahaan yang berbasis di seattle, Washington, Amerika Serikat, perusahaan keluarga ini mempunyai 166 toko yang berlokasi di 28 negara bagian. Perusahaan keluarga ini didirikan di tahun 1901. Saat ini keluarga Norstrom mempunyai 3 direktur dari 11 anggota dewan direktur dalam perusahaan termasuk Presiden Direktur yaitu Blake W. Nordstrom, 48 tahun. Keluarga Nordstrom juga masih memegang kendali dalam keputusan-keputusan strategis perusahaan dan mempunyai 27,9% kepemilikan saham (source: http://www.nordstrom.com/ ). Tidak jauh berbeda dengan Nordstrom, Inc., Grup Gudang Garam juga masih mempertahankan karakteristiknya sebagai perusahaan keluarga. Menurut Basri dan Eng (2004), PT Gudang Garam sebagai satu dari empat perusahaan terbesar di Indonesia adalah pabrikan rokok sigaret terbesar di Indonesia, dan perusahaan publik terbesar ke-dua di lantai Bursa Efek Indonesia. PT Gudang Garam didirikan di Kediri Jawa Timur di tahun 1958 oleh almarhum Surya Wonowidjojo dan kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rachman Halim (meninggal dunia tahun 2008). Kepemilikan saham oleh keluarga Wonowidjojo mengalami penurunan, di tahun 1985 tercatat 94% saham perusahaan dimiliki oleh keluarga, menurun menjadi 80% di tahun 1996 dan terus menurun menjadi 76% di tahun 2000. Meskipun terus mengalami penurunan porsi kepemilikan saham, PT Gudang Garam sebagai entitas bisnis tetap mempunyai kinerja yang baik. Sampai dengan tahun 2004, PT Gudang Garam masih merupakan salah satu perusahaan di Indonesia yang paling menguntungkan, terutama bila dilihat dari indicator imbal hasil atas asset (ROA) dan imbal hasil atas ekuitas (ROE) yang masing-masing menunjuk angka lebih dari 20% sampai
3
30%. Kinerja usaha ini juga diperlihatkan saat terjadi krisis ekonomi dan periode setelahnya. Ilustrasi dua perusahaan di atas menunjukkan keistimewaan perusahaan keluarga dalam perekonomian suatu Negara. Sebagai perusahaan keluarga yang telah menjalani suksesi masih tetap dan bahkan bisa meningkatkan kinerja perusahaan. Bahkan beberapa perusahaan keluarga berhasil menunjukkan kinerja terbaiknya saat periode krisis melanda suatu Negara. Hal ini merupakan pendidikan ekonomi yang baik bagi masyarakat dunia usaha. KAJIAN PUSTAKA A. Peran Perusahaan Keluarga Beberapa penelitian tentang perusahaan keluarga telah mencatatkan peran yang sangat signifikan dari perusahaan keluarga atas pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Perusahaan keluarga telah member kontribusi yang sangat besar bagi kegiatan ekonomi. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan bukan keluarga yang mengalami pasang surut pertumbuhan, perusahaan keluarga justru menunjukkan kinerja yang stabil dan cenderung meningkat. Sebagai dampak dari itu, perusahaan keluarga mampu member sumbangan antara 45% sampai 70% dari Produk Domestik Kotor (GDP) dan banyak menyerap tenaga kerja di banyak Negara (Glassop dan Waddell, 2005). Meskipun terdapat perbedaan antar Negara, persentase sumbangan perusahaan keluarga di suatu Negara secara rata-rata adalah di atas 60%. Jadi, secara umum perusahaan keluarga menempati posisi utama khususnya di Negaranegara yang menganut system ekonomi pasar. Dengan kata lain, di Negara-negara dengan system pasar, keberadaan perusahaan keluarga sangat menonjol dan mempunyai derajat keberlanjutan (sustainability) yang tinggi. Berdasarkan data dari International Family Enterprise Research Academy (2003), perusahaan keluarga menempati posisi penting dalam perekonomian suatu Negara-negara di dunia. Sebagai contoh, di Amreika Serikat, dimana diperkirakan 96 persen dari keseluruhan perusahaan adalah perusahaan keluarga. Sedangkan di Italy jumlah itu sedikit lebih kecil yaitu 93%. Sementara itu di Chili, 75% dari keseluruhan perusahaan dapat digolongkan sebagai perusahaan keluarga, di Belgia sebanyak 70%, di Spanyol sebanyak 75%, sedangkan di Australia bagian perusahaan keluarga adalah 75% dari keseluruhan unit bisnisnya. Selain itu, perusahaan keluarga memberikan sumbangan yang besar terhadap pembentukan Produk Nasional Kotor (GNP). Di Amerika Serikat 40% dari GNPnya disumbangkan oleh perusahaan keluarga. Perusahaan keluarga di Brazil dan Portugal menyumbangkan 65% GNP, sedangkan perusahaan keluarga di Australia menyumbangkan 50% GNP. Di Indonesia, sumbangan perusahaan keluarga terhadap pembentukan GNP adalah sebesar 80% (Casillas, Jose C., Fransisco J. Acedo and Ana M. Moreno, 2007: 22-24). Berdasar data BPS (2007) yang telah menyelenggarakan Survey Ekonomi Nasional (Susenas) di tahun 2006, di Indonesia terdapat 48.929.636 perusahaan. Dari sejumlah itu, sebanyak 90,95% dapat dikategorikan sebagai perusahaan keluarga. Data susenas tersebut juga menyebutkan bahwa perusahaan keluarga menyumbang 53,28% dari GDP dan menyerap 85.416.493 orang sebagai tenaga kerja atau 96,18% dari seluruh angkatan kerja.
4
B. Definisi dan Karakteristik Perusahaan Keluarga Tracey (2001: 3-4) menyatakan bahwa “A business is a family business if its owners think it is and want it to be”. Pernyataan ini terlihat sangat sederhana namun mengandung arti yang sangat dalam. Dikatakan bahwa suatu perusahaan tergolong sebagai perusahaan keluarga manakala pemiliknya berfikir dan menginginkan perusahaannya sebagai perusahaan keluarga. Hal ini dapat terlihat dalam budaya bisnis di beberapa Negara. Di Australia kebanyakan perusahaan dimiliki oleh keluarga, tetapi hanya sedikit yang betul-betul dikelola oleh keluarga primer. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak definisi perusahaan keluarga disampaikan, kebanyakan dari usulan definisi itu berfokus pada beberapa factor yang melingkupi perusahaan keluarga seperti kepemilikan, kendali, manajemen dan keinginan untuk melestarikan suksesi antar generasi atau masalah-masalah budaya. Banyak peneliti sependapat bahwa keterlibatan keluarga dalam perusahaan lah yang membuat perusahaan keluarga menjadi berbeda disbanding dengan perusahaan non keluarga (Miller dan Rice, 1967). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bernard (1975: 42) bahwa perusahaan keluarga dikendalikan oleh anggota keluarga tunggal khususnya dalam proses pengambilan keputusan bisnis yang penting. Beberapa peneliti mengintepreatsikan keterlibatan keluarga dalam hal kepemilikan dan manajemen (Handler, 1989). Sementara itu Churchill dan Hatten (1987) lebih cenderung menambahkan factor keberadaan keluarga pada saat terjadinya suksesi yang berasal dari dalam anggota keluarga. Lebih lanjut Carsrud (1994: 40) menjelaskan bahwa perusahaan keluarga adalah perusahaan yang benarbenar dimiliki oleh keluarga dan pembuatan dan pengambilan kebijakan perusahaan di dominasi oleh anggota “emotional kinship group”. Ini berarti bahwa sesuatu perusahaan keluarga manakala dominasi anggota keluarga yang termasuk dalam kelompok yang mempunyai pertalian keluarga secara emosional sangat besar dan kelihatan secara kasat mata. Dengan meninjau lebih dari 250 makalah dan artikel ilmiah dalam kelompok pustaka perusahaan keluarga, Chua, Jess H., James J. Chrisman dan Pramodita Sharma (1999) lebih jauh menjelaskan definisi perusahaan keluarga berdasar studi empiris. Dalam beberapa kali wawancara dengan manajemen perusahaan keluarga, pemimpin puncak (Chief Executives Officers / CEO) dari perusahaan dengan pemegang saham public minoritas dan dikelola oleh keluarga generasi ke-tiga menyangkal bahwa sesuatu perusahaan adalah perusahaan keluarga manakala perusahaan lain yang mempunyai atribut yang sama dideklarasikan. Para anggota dengan keluarga yang sama dimana secara bersama-sama memiliki dan mengelola bisnis dengan penuh semangat, membuktikan bahwa mereka bukanlah perusahaan keluarga. Mereka yakin bahwa hanya bisnis yang dimiliki oleh keluarga secara penuh dan tanpa pekerja tunggal non-keluarga lah yang bisa disebut perusahaan keluarga. Termasuk didalam pengertian perusahaan keluarga adalah manakala, beberapa saudara kandung dan saudara ipar ikut memiliki dan mengelola suatu perusahaan namun mereka tidak mengelola perusahaan lainnya diluar perusahaan itu, maka perusahaan itu bisa disebut perusahaan keluarga. Tidak ada perusahaan yang bisa luput dari keterlibatan keluarga sebab peristiwa pembuatan beberapa keputusan seringkali dipengaruhi oleh pasangan (suami/istri) dan anak-anak.
5
Definisi yang berbasis komponen yang terlibat dalam keluarga – manajemen, kepemilikan, tata-kelola, dan suksesi – adalah hal yang mudah untuk mengoperasikannya. Sayangnya, kita tak bisa membedakan antara dua perusahaan dengan level keterlibatan keluarga yang sama manakala salah satu menyatakan diri sebagai perusahaan keluarga sementara yang satunya menyatakan diri sebagai bukan perusahaan keluarga. Oleh karenanya, terdapat kebutuhan untuk mengembangkan definisi dalam menangkap esensi dari perusahaan keluarga dan yang mungkin dapat digunakan dalam membedakan perusahaan keluarga baik dalam tataran teori, penelitian maupun dalam praktek bisnis. Oleh karenanya, definisi perusahaan keluarga seringkali berdasar komponen yang mempengaruhinya bukan pada hal-hal yang termasuk esensinya termasuk visi yang dibawa oleh keluarga atau sebagian kecil anggota keluarga. Seharusnya definisi perusahaan keluarga dibangun berdasar tujuan dari kondisi dominan yang membentuk dan bagaimana mencapai visi melampaui beberapa generasi. Konsekuensinya, definisi perusahaan keluarga sebaiknya berdasar dua poin itu. Yang pertama, definisi itu harus didasarkan pada komponen yang popular sebagai hal-hal yang mempengaruhi pembuatan keputusan dan keterlibatan keluarga dalam operasional perusahaan keluarga. Yang kedua, definisi perusahaan keluarga harusnya dibangun berdasar esensi yang menjelaskan maksud dan tujuan dari visi dan bagaimana mencapai visi tersebut. Saya setuju dengan pemikiran pembentukan definisi perusahaan keluarga seperti itu. Oleh karenanya perusahaan keluarga di definisikan sebagai unit bisnis yang dioperasikan oleh keluarga atau kelompok keluarga yang mempunyai visi dan bermaksud mencapai visi tersebut. Ciri-ciri perusahaan keluarga pada umumnya adalah bahwa perusahaan keluarga: (1) dimiliki oleh kelompok keluarga tunggal yang dominan dengan jumlah kepemilikan saham lebih dari 50% (2) dirasakan sebagai perusahaan, (3) dikelola oleh orang-rang yang berasal dari keluarga pemilik mayoritas saham (Westhead, 1997). Sementara itu definisi keluarga sendiri belum ditarik garis tegas. Apakah yang dimaksud adalah keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, ataukah keluarga menengah yang terdiri dari dua (2) tingkat keluarga kecil dalam arti seluruh anggota kelaurga kecil ditambah seluruh anggota keluarga suami dan istri, ataukah keluarga besar yang terdiri dari tiga (3) tingkat keluarga kecil dalam arti seluruh anggota kelaurga kecil ditambah seluruh anggota keluarga kecil suami dan istri dan ditambah seluruh anggota menengah ipar. Tugiman (1995; 7) mengemukakan karakteristik perusahaan keluarga dalam konteks usaha kecil adalah (1) posisi kunci dipegang keluarga, (2) keuangan perusahaan cenderung berbaur dengan keuangan keluarga, (3) tidak adanya mekanisme pertanggung jawaban yang ketat, (4) motivasi kerja tinggi, (5) tidak adanya kekhususan dalam manajemen. Memang dengan karakteristik ini, perusahaan keluarga sangat lentur terhadap perubahan lingkungan. Hal inilah yang menjadi alasan utama sebuah perusahaan keluarga cepat beradaptasi dan menemukan bentuk bisnis yang cocok dan dengan segera dapat meraih peluang dan sekaligus dapat menampik kendala yang ada. Keluwesan dan kecepatan menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah itu menyebabkan keberhasilan dan sekaligus kegagalan perusahaan keluarga. Seringkali keluwesan itu menyebabkan tumpang tindih tugas dan peran yang justru merupakan sumber konflik (Kepner, 1983; Lansberg, 1983; Dyer, 1986).
6
Pada titik ekstrim yang lain, karakteristik perusahaan keluarga, justru membuat perusahaan keluarga memilih strategi konservatif, bermain aman, bermain pada pasar yang kurang kompetitif yang pertumbuhannya lambat (Davis dan Stern, 1988). Sementara itu Donckels dan Frohlich (1991: 159) setelah membandingkan banyak perusahaan keluarga di delapan negara Eropa menemukan bukti bahwa perusahaan keluarga secara konsisten menunjukkan jaringan yang lebih terbatas, kurang kerjasama, berkolaborasi atau melakukan sub-kontrak dengan perusahaan lain. Oleh karena itu Pery (2000: 121) mengatakan bahwa sebagai konsekuensinya perusahaan tidak bisa memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi, cenderung stabil tidak dinamis. Berbeda dengan kondisi perusahaan keluarga di Cina dan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara. Perusahaan keluarga cenderung dinamis, pengambilan keputusan cepat dan tidak bertele-tele karena didasari oleh kepercayaan sebagai dasar untuk survival, mempunyai hubungan personal yang erat dengan seluruh karyawan dengan menabrak jenjang manajemen (Perry, 2000, 97). Lebih lanjut Harianto (1997: 145) menyatakan kondisi itu akan kondusif bagi perkembangan perusahaan keluarga. Berdasar kepercayaan itu, selain keputusan lebih cepat diambil, juga memupuk disiplin dan budaya amanah. Dengan menghilangkan jenjang manajemen yang ada, akan menempatkan setiap karyawan berada pada posisi yang setara dengan karyawan yang lain apapapun jabatannya, sehingga menimbulkan komitmen yang lebih kuat. Hal ini juga memungkinkan pemilik memiliki “jendela yang dipercayai” dengan mana monitor perusahaan berjalan efektif. Sehingga kohesi yang diperoleh perusahaan keluarga orang-orang Cina membuatnya responsif pada peluang baru yang cocok dengan visi personal pemilik. Karakteristik perusahaan keluarga Cina dapat dilihat dalam tabel 1 Tabel 1 Karakteristik Perusahaan Keluarga Cina 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skala kecil dan struktur organisasi sederhana Produk tunggal atau pasarnya terfokus Kendali yang disentralisasi pada satu CEO dominan Kepemilikan dan kendali pada keluarga Kebudayaan organisasi paternalistik Hubungan eksternal ke pemasok dan pelanggan melalui jaringan personal Penghematan biaya dan efisiensi Kemampuan pemasaran lemah terutama promosi citra merk Hambatan pertumbuhan karena enggan berhubungan dengan manajer profesional Fleksibiltas strategis berdasar adaptabilitas pembuat keputusan yang dominan.
John Davis dan Morris Taguiri (Hoover, 2000: 61) menyatakan bahwa terdapat tiga (3) elemen pengaruh dalam bisnis keluarga, seperti terlihat dalam gambar 1, yaitu :
7
GAMBAR 1 Tiga Elemen Bisnis Keluarga Taguiri
BISNIS
KELUARGA
KEPEMILIKAN
Sumber : Hoover, 2000, hal. 61.
(1) Keluarga, keberhasilan dalam keluarga diukur dalam artian harmoni, kesatuan, dan perkembangan individu yang bahagia dengan harga diri yang solid dan positif. (2) Bisnis, adalah entitas ekonomi dimana keberhasilan diukur bukan pada harga diri dan kesenangan interpersonal individu, tetapi dalam produktivitas dan profesionalisme. Sehingga ukuran utama seseorang terletak pada kontribusi terhadap pelaksanaan strategi, pencapaian terget, dan profitabilitas perusahaan. (3) Kepemilikan, didasarkan pada peranan seseorang dalam investasi dalam perusahaan, peranan meminimalkan risiko, mewakili perusahaan berhubungan dengan pihak luar. Dalam bisnis keluarga, ketiga elemen tersebut bercampur menjadi satu bahkan batas-batas diantara ketiganya kabur dan tak tampak. Banyak fungsi menjadi tumpang tindih sehingga sering terjadi ketegangan hubungan, tetapi banyak hal menunjukkan bahwa kesuksesan bisnis keluarga dimulai dari kaburnya batas-batas itu. Untuk menjamin dinamika bisnis keluarga tetap dalam posisi yang menguntungkan, maka perlu dipertegas aturan hubungan bisnis keluarga, seperti tergambar dalam tabel 2. berikut.
8
Tabel 2. Matrix Aturan Hubungan Bisnis Keluarga Taguiri
Mengukur Keberhasilan Otoritas Penghargaan Finasial Lokus Pentingnya
Keluarga Harmoni
Bisnis Produksi
Kesetaraan
Tidak setara
Berdasarkan Keperluan
Berdasarkan Produktivitas
Individual aspirasi Aturan Inklusi Penerimaan tanpa kondisi Sumber : Hoover, 2000, hal. 64.
Tujuan Tergantung pada kondisi
Kepemilikan ROI dan ROS (responsibility of stewarship) Keduanya (setara dan tidak setara Berdasarkan apa yang diambil dan yang ditinggalkan. Profitabilitas Berhak ataukah diperoleh
C. Suksesi dalam Perusahaan Keluarga. Hal yang krusial dalam perusahaan keluarga adalah pergantian pucuk pimpinan (suksesi). Banyak perusahaan yang tidak siap dengan pergantian kepemimpinan sehingga perusahaan tersebut harus terhenti di generasi pertama saja, seperti dalam kasus Surabaya Post, harian terkemuka yang terbit di Surabaya dengan cakupan wilayah edar seluruh Jawa Timur. Meskipun putra-putri pendiri (R. Abdul Azis dan istrinya) bersekolah tinggi di Amerika Serikat dengan gelar doktor ekonomi, tetapi tidak bisa menyelematkan perusahaan sehingga harus di pailitkan oleh Pengadilan Niaga di tahun 2002. Berbeda dengan Surabaya Post, Thayeb Mohammad Gobel, pendiri PT Gobel Dharma Nusantara dahulu PT. National Gobel, menyiapkan Rachmat Gobel, anak ke-lima dan anak lelaki tertua. Gobel tua telah menyiapkan Rachmat sejak usia 8 tahun dengan sesering mungkin dilibatkan dalam suasana kantor dan pabrik di kawasan Cawang, Jakarta. Selain itu Rachmat juga disekolahkan bisnisdi Jepang (Chuo University) juga menjalani kerja magang di perusahaan keluarganya sendiri. Selepas dari kuliahnya di Jepang, Rachmat harus menjalani masa 6 tahun dengan bekerja mulai dari bawah sampai akhirnya memegang tampuk Direktur pada tahun 1990. Keputusan menyekolahkan Rachmat ke Jepang adalah visi cemerlang Gobel tua. Belakangan muncul banyak perusahaan baru hasil patungan dengan perusahaan raksasa elektonik Jepang, Matsushita (tabloit bisnis Kontan, edisi 42/XI, 16 Juli 2007). Rhenald Kasali (harian Suara Pembaharuan, 27 November 2008) juga menguatkan pendapat Gobel. Seperti yang terjadi dalam proses pergantian kepemimpinan perusahaan yang sukses di PT Mustika Ratu, Tbk, dari BRA Mooryati Soedibyo ke anaknya Putri Koeswisnu Wardani juga didahului dengan mekanisme pemagangan yang sungguh-sungguh. Proses pemagangan itu dijalaninya selama 5 tahun, dengan melibatkan pada pekerjaan yang berbeda-beda. Mulai dari bekerja di bagian pemasaran, kemudian pindah ke bagian keuangan, dengan perlakuan yang sama dengan karyawan biasa yang lain. Untuk menghindari
9
terjadi tumpang tindih peran, dan adanya kemungkinan “gangguan” dari anggota keluarga Putri yang lain, maka sang Ibu memberikan “mainan lain” kepada anakanak yang tak kebagian tongkat suksesi. Ada yang mengelola spa, untuk perawatan kecantikan tubuh, juga ada yang mengelola kontruksi yang sesuai dengan bakat dan pendidikan anak. Sedang anak yang lain yang tidak kebagian jabatan eksekutif tetap dilibatkan dalam menjaga bendera perusahaan dengan menempatkannya dalam jabatan komisaris. Bagi pendiri perusahaan keluarga, keberhasilan suksesi adalah ujian akhir kejayaannya (Tracey, 2001: 115-116). Adalah sulit untuk memahami mengapa suksesi seringkali merupakan isu yang sensitive, khususnya bagi perusahaan keluarga generasi pertama. Orang yang mendirikan dan membesarkan, merasa sedih untuk mati, dan kegagalan membuat renacana suksesi merupakan hal yang egois dan tolol. Adalah hal yang tak bisa diacuhkan apabila karena penanganan suksesi yang buruk tersebut membuat pesaing mendapat keuntungan yang signifikan. Menurut Alan Carsrud, konsultan perusahaan keluarga dari Amerika dalam Brännback M., Carsrud, A. L., Hudd, I., Nordberg, L. & Renko, M. (2006) menyarankan beberapa hal untuk rencana suksesi yang berhasil (golden rules for succession-planning) yaitu: 1. Susun harapan tentang tugas dan peran secara jernih. 2. Gaji berbasis kinerja actual, bukan berdasar kebutuhan personal. 3. Atur untuk supervisi, pemantauan, dan saran bagi mentor yang bukan keluarga. 4. Sediakan tanggung jawab yang sesungguhnya atas kinerja yang sesungguhnya. 5. Putar penugasan untuk periode yang bermakna. 6. Sediakan prosedur tertulis bagi anggota keluarga yang ingin meninggalkan perusahaan keluarga. Beberapa telaah atas pustaka tentang perusahaan keluarga, seperti yang dikemukakan oleh Neuberger and Lank (1998: 133) yang menyarankan konklusi sebagai berikut: 1) Suksesi CEO sejauh ini merupakan isu yang paling sering dibicarakan. 2) Factor kritis yang menentukan apakah suatu perusahaan keluarga dapat bertahan adalah kemampuan mengelola proses suksesi. Sementara itu Moores and Barrett (2002: 6) menyatakan bahwa “sustainability of Family Business depends on success of succession”. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa masa depan perusahaan keluarga tergantung pada keberhasilan suksesi. Sehingga tidak salah manakala Moores and Barrett (2002) mendefinisikan suksesi adalah peralihan kepemilikan perusahaan keluarga kepada suksesor dari pemilik sebelumnya. Perusahaan keluarga seringkali mempunyai masalah dalam pengelolaan suksesi ketika pendiri bisnis atau generasi pengelola saat ini telah begitu lama mengelola perusahaan keluarganyadan mendekati masa pensiun. Jika generasi sesudahnya mengambil alih manajemen, ada kemungkinan terdapat kesenjangan antara kepemilikan dengan kemampuan mengendalikan bisnis yang memerlukan ketrampilan dan kerja keras dalam memelihara dan mempertanggung jawabkan perusahaan keluarganya. Disisi lain, generasi tua sulit untuk menerima kenyataan bahwa ketuaannya dan dominansi patriarchal sudah tidak bisa diterima atau tidak sesuai lagi.
10
Ketika pengelola dan pemilik awal pension, terdapat dua isu terpisah, yaitu: 1. Pension dari menjalankan bisnis atau 2. Pension sebagai pemilik dan pengendali utama. Yang kedua seringkali seakan-akan berjalan dengan baik setelah kejadian yang pertama terjadi. Beberapa hal yang terjadi seperti permohonan saran dari generasi yang lebih muda adalah hal yang menyenangkan. Hal ini menyadarkan generasi tua bahwa roda bisnis sekarang telah beralih ke tangan generasi yang lebih muda. Meskipun demikian, selama kepemilikan masih berada di tangan generasi yang lebih tua, perasaan gundah dari generasi tua bisa diminimalisir. Perasaan inilah yang membuat banyak orang merasa nyaman untuk mencoba menjalankan bisnis meskipun mereka tidak memiliki kendali mutlak. Merujuk pada permasalahan kepemilikan dan pengendalian, Connolly, Graham and Christopher Jay, (1996: 177) merekomendasikan sejumlah 30% dari kepemilikan yang dipindahkan kepada generasi yang lebih muda agar generasi yang lebih muda bersemangat dalam mengelola dan memajukan perusahaan keluarga namun bagai generasi yang lebih tua merasa aman dan tanpa rasa khawatir atas kelajutan bisnisnya di perusahaan keluarga. Dalam hubungannya dengan suksesi, Craight (2003) dalam studinya menemukan beberapa hal, yaitu: (a) Generasi pendiri mempunyai derajat individualitas dan kepercayaan (self-belief) yang lebih tinggi disbanding generasi kedua atau ketiga dari perusahaan keluarga. (b) Generasi pendiri berbeda secara signifikan dengan generasi ketiga (tapi tidak dengan generasi kedua) pada masalah-masalah pelaksanaan (direction) dan perencanaan. Ketika proses suksesi sedang berjalan, hal terpenting untuk diingat adalah seharusnya terdapat uji pendahuluan untuk mengukur ketepatan suksesor dalam hal peraturan terdahulu dengan kebiasaan yang berjalan. Terdapat beberapa uji, (Lansberg, 2007) seperti: uji kualifikasi (qualifying test), uji ketabahan (selfimposed test), uji loyalitas (circumference test), dan uji politis (political test). D.
Model Suksesi dalam Perusahaan Keluarga. Terdapat beberapa rujukan model yang dapat digunakan oleh perusahaan keluarga di Indonesia dalam melakukan suksesi. Khususnya untuk perusahaan keluarga yang tergolong pada skala kecil dan menengah. Contoh model itu adalah: Lombardi model, Lansberg model, Gobel model, dan Mooryati model. Dalam mengaplikasikan model suksesi terdapat beberap hal yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu: 1. Perbedaan budaya Indonesian dan barat (American-European), 2. Perbedaan etika kerja, 3. Perbedaan situasi dan peluang kerja antar Negara, 4. Perbedaan tanggungan keluarga (family bond), 5. Perbedaan tata nilai dalam memandang konflik, 6. Perbedaan antar generasi (generational gap), 7. Perbedaan perhatian dalam berkonflik.
11
Oleh karenya, diperlukan model suksesi yang sesuai dengan dengan kondisi perusahaan keluarga di Indonesia, khususnya untuk kelas ekonomi kecil dan menengah. Model suksesi juga diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti: 1. Kapan waktu yang paling tepat dalam melakukan suksesi, 2. Bagaimana proses dan tahapan suksesi berlangsung, 3. Apa yang perlu disiapkan, 4. Siapa yang harus berpartisipasi saat perencanaan suksesi berlangsung dan diimplementasikan, 5. Bagaimana komposisi saham diantara anggota keluarga. Soedibyo (2007) menemukan dalam penelitiannya, bahwa terdapat lima fakta penting dalam proses suksesi di perusahaan keluarga, yaitu: 1. Persiapan suksesi adalah sangat penting, itulah sebabnya persiapan suksesi harus dikerjakan secara bersama-sama antara generasi tua dan generasi penerus. Keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada kualitas persiapannya. 2. Generasi muda yang kompeten adalah prasyarat untuk memelihara dan meningkatkan kinerja perusahaan keluarga. 3. Mutu suksesi ditentukan oleh variable yang dapat mengkomunikasikan konsep dan filosofi kepada generasi muda. 4. Penanaman nilai-nilai keluarga adalah sangat penting untuk dilakukan bersama. Untuk menghindari konflik, diperlukan pernyataan yang jelas atas hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga sejak dini. Konsep unit entity (pembedaan antara milik sendiri dan milik perusahaan) harus betul-betul dipahami dengan jelas diantara anggota keluarga. 5. Factor lain yang menentukan keberhasilan suksesi adalah semangat, pamrih (intention), kejujuran, dan honesty, and ketulusan (sincerity) dalam melakukan bisnis. Konflik antara generasi tua dan muda berasal dari perlakuan yang berbeda dalam memandang bagaimana melanjutkan perusahaan keluarga. Pada perusahaan keluarga Lombardi (Lansberg, 1999) suksesi berjalan secara spontan. Ketika Paul Lombardi Senior mengalami kecelakaan dan diputuskan untuk opname di rumah sakit selama 2 tahun. Setelah masa pemulihan selama 1 tahun kemudian, dia kembali ke kantornya, dia merasa heran bahwa perusahaan keluarganya masih berjalan dengan baik, bahkan bertambah besar, terkelola dengan baik dan berkelanjutan. Kemudian dia tahu bahwa anak tertuanya, Paul Jr, mengambil alih manajemen tapi tidak kepemilikan. Keberlanjutan perusahaan keluarga Lombardi ini disebabkan kapabilitas manajemen dari anaknya-anaknya yang dipimpin oleh Paul junior dan dukungan seluruh anggota keluarganya termasuk istri Paul senior, Anna, yang berfungsi sebagai pasak penjaga di poros roda (linchpin) dari budaya keluarga. Rangkuman dari model suksesi perusahaan keluarga Lombardi adalah sebagai berikut: 1. Suksesi adalah perjalanan (a journey), dengan pilihan tujuan yang ditentukan oleh gabungan mimpi keluarga (family’s share dreams).
12
2. Kunci untuk memahami dimana kekuasaan sesungguhnya adalah terletak pada kepemilikan (ownership) perusahaan keluarga. 3. Suksesi digerakkan sesuai dengan jam biologis (biological clock). 4. Pembagian kepemimpinan hanya dapat bekerja dibawah kondisi yang benar. 5. Tawaran perpindahan kepemimpinan untuk mereformulasi arah perusahaan dan memperbarui energy perusahaan. 6. Upaya untuk mengendalikan kepemilikan dan pengambilan keputusan secara ketat merupakan benih yang dapat merusak keberlanjutan perusahaan keluarga. Akhirnya, keberlanjutan perusahaan keluarga tergantung pada penanaman rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa melayani (sense of stewardship) pada setiap generasi. E.
Pengaruh Suksesi dan Kinerja Perusahaan Keluarga. Tuhardjo (2008) setelah melakukan penelitian di sentra industry kecil Onix dan Marmer di Tulungagung dengan mengambil sampel sebanyak 143 pengusaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di tiga kecamatan (Campurdarat, Besuki dan Pakel) dari populasi sebanyak 260 pengusaha menyimpulkan bahwa: 1. Suksesi bisnis berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis, tidak terbukti. 2. Suksesi bisnis berpengaruh signifikan terhadap strategi bersaing, terbukti (hal. 252). 3. Suksesi bisnis dan strategi bersaing mempunyai pengaruh langsung. 4. Suksesi bisnis dan kinerja bisnis mempunyai pengaruh tak langsung (hal. 256) Temuan Tuhardjo ini, inkonsisten terhadap Zaudtke dan Dough (1997), Frieswick (1996), Goodchild (2003), Zimmerer (2002), dan Welson (1996).
13
DAFTAR RUJUKAN Baer, Greg. 2007. Real Love in the Workplace: Eight Principles for Consistently Effective Leadership in Business. GA: Blue Ridge Press, Rome. Basri, M. Chatib and Pierre van der Eng. 2004. Business in Indonesia: New Challenges, Old Problems. Singapore: ISEAS. Bernard, B. 1975. The development of organization structure in the family firm. Journal of General Management. Autumn, 42-60. Biro Pusat Statistik. 2007. National Economic Census (Susenas) in 2006. Jakarta: BPS. Electronic resources download: Sunday, January 11st, 2009. At www.depkop.go.id Brännback M., Carsrud, A. L., Hudd, I., Nordberg, L. & Renko, M. 2006. Perceived Success Factors In Start Up And Growth Strategies: A Comparative Study Of Entrepreneurs, Managers, And Students. Journal of Applied Psychology. Cale, Priscilla. 2008. Family Business Succession – A Process … Not an Event. Connecticut: University of Connecticut Family Business Program. Electronic resources download: Thursday, March 5th, 2009. At: http://www.business.uconn.edu/ FamilyBusiness/Enewsletter/July2008/SuccessionProcess.asp. Carsrud, Alan. L. 1994 Meanderings of a Resurrected Psychologist or, Lessons Learned in Creating a Family Business Program. Entrepreneurship: Theory and Practice, Vol. 19, p: 40. Casillas, Jose C., Fransisco J. Acedo and Ana M. Moreno. 2007. International Entrepreneurship in Family Business, Northampton: Edward Elgar Publishing, Inc. Chua, Jess H., James J. Chrisman and Pramodita Sharma. 1999. Defining the Family Business by Behavior. Entrepreneurship: Theory and Practice. Summer 1999 v23 i4 p19. Baylor University. Electronic resources download: on Sunday, March 2nd, 2009. At: http://faculty.utep.edu/LinkClick.aspx?fileticket&26055. Churchill, N.C., & Hatten, K.J. 1987. Non-market based transfers of wealth and power: A research framework for family businesses. American Journal of Small Business. 11(3), 51-64. Connolly, Graham and Christopher Jay. 1996. The Private World of Family Business. Melbourne: FT Pitman Publishing. Craig, Justin B.L. 2003. An Investigation and Behavioural Explanation of Family Businesser Functioning. A Dissertation submitted to the School of Health Sciences for the Degree of Doctor of Philosophy. Gold Coast: Bond University. Davis, P and D. Stern, 1988, Adaptation, survival and growth of the family business: an integrated systems perspective, Family Business Review. 1(1): 69-85. Donckels, R. and Frohlich, E., 1991, Are family businesses really different? European experiences from STRATOS, Family Business Review. 4(2): 149-160. Drucman, Daniel. 2005. Doing Research: Methods of Inquiry for Conflict Analysis. California: Sage Publication Inc.
14
Glassop, Linda and Dianne Waddel. 2005. Managing the Family Business. Heidelberg: Heidelberg Press. Hall, Anika, Mattias Nordqvist. 2008. Professional Management in Family Businesses: Toward an Extended Understanding. Family Business Review. vol. XXI, no. 1, March, pp. 51-68. Handler, W. C. 1989. Methodological issues and considerations in studying family businesses. Family Business Review, 2(3), 257-276. Harianto, F., 1997, Business Linkages and Chinese Entreprenuers in Southeast Asia, in T. Brook and H.V. Luong (eds) Culture and Economy: The Shaping of Capitalism in Eastern Asia, The University of Michigan Press, Ann Arbor:. Harveston, Paula D., Peter S. Davis and Julie A. Lyden. 1997. Succesion Planning in family Business: The Impact of Owner Gender. Family Business Review. Dec v10 i4 p373, Family Firm Institute, Inc. Hoover, Edwin A., Colette Lombard Hoover, 2000, Getting Along in Family Business The Relationship Intelligence Handbook, edisi bahasa Indonesia, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta. Johnson, R. Burke, Anthony J. Onwuegbuzie. 2004. Mixed Methods Research: A Research Paradigm Whose Time Has Come. Educational Researcher. Vol. 33 No. 7, October, pp. 14-26. Kellermans, Frans W., Kimberly A. Eddleston, Tim Barnett, Allison Pearson. 2008. An Exploratory Study of Family Member Characteristics and Involvement: Effects on Entrepreneurial Behavior in the Family Firm. Family Business Review. vol. XXI, no. 1, March, pp. 1-14. Kontan tabloit bisnis, edisi 42/XI, 16 Juli 2007. King, Sandra W., George T. Solomon, and Lloyd W. Fernald, Jr. 2001. Issues in Growing a Family Business: A Strategic Human Resource Model. Journal of Small Business Management, 39(1) pp.3-13. Lansberg, Ivan. 1999. Succeeding Generations: Realizing the Dream of Families in Business. Boston, Massachusetts: Harvard Business School Press. Lansberg, Ivan. 2007. The Test of Prince. Harvard Business Review. September. Lantu, Donald, et al. 2006. Servant Leadership, The Ultimate Calling to Fulfill Your Life’s Greatness. Jakarta: Gradien Books Press. Lindsay, Noel J., and Justin B. L. Craig. 2000. Stars under the Southern Cross, the untold stories of queensland’s Family Businesses. Australian Centre for Family Business. Gold Coast: School of Business Bond University. Miller, Danny and Isabelle Le Breton-Miller. 2005. Managing for the long run: lessons in competitive advantage from great family businesses. Boston: Harvard Business School Press. Miller, E. J., & Rice, A. K. 1967. Systems of organizations. London: Tavistock. Moores, Ken and Mary Barrett. 2002. Learning Family Business, Paradoxes and Pathways. Aldeshot, Hampshire: Ashgate Publishing Limited. Neubauer, Fred and Alden G. Lank. 1998. The Family Business, Its Governance for Sustainability, London: MacMillan Press, Ltd. Perry, Martin. 2000. Small Firm and Networks Economices, edisi bahasa Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Pribadi B., P. Cahanar. 2000. Seri Kekayaan yang Tersembunyi Sukses Merambah Dunia, Jakarta: Kompas Media Nusantara.
15
Royer, Susanne, Roland Simons, Britta Boyd, and Alannah Farrerty. 2008. Promoting Family: A Contingency Model of Family Business Succession. Family Business Review. vol. XXI, no. 1, March, pp. 15-30. Soedibyo, Moorjati. 2007. Kajian terhadap Suksesi Kepemimpinan Puncak (CEO) Perusahaan Keluarga Indonesia - menurut Perspektif Penerus. Jakarta: Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Susanto, AB, et al, 2008, A Strategic Management Approach Corporate Culture & Organization Culture, Divisi Penerbitan The Jakarta Consulting Group, Jakarta. Tracey, Denis. 2001. Family Business – Stories from Australian family business and the people who operate them, the volatile mix of love, power and money, Melbourne: Information Australia. Tugiman, 1995, Peranan Usaha kecil dan Koperasi dalam Memanfaatkan Sisa Laba BUMN, Penerbit Eresco, Bandung. Tuhardjo. 2008. Hubungan Pengalaman dan Pembelajaran Fungsi Utama Bisnis dan Suksesi Bisnis dengan Strategi Bersaing dan Kinerja Bisnis pada sentra Industri Kecil Onix dan Marmer di Tulungagung. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Negeri Malang. Malang. Westhead, P., 1997, Ambitions, external environment and strategic factor differences between family and non-family companies, Entrepreneurship and Regional Development 9(2): 127-158. Widyasmoro, T. Tjahjo. 2008. Bisnis Keluarga - Suksesi atau cukup 3 Generasi. Majalah Intisari. April. Yang, Twang Peck. 2004, Chinese Business Elite in Indonesia and the Transition to Independence 1940-1950, Oxford University Press, edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Niagara, Yogyakarta. Zulfikar, Mochammad Reza. 2004. Analisis Pengaruh Faktor Nilai-nilai Utama Karyawan terhadap Budaya Perusahaan PT. HM. Sampoerna, Tbk. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
16