TINJAUAN YURlDIS TERHADAP LEMBAGA PAKSA BADAN ATAU GIJZELING DALAM UU PERPAJAKAN
Makalah yang tidak dipublikasikan April 2005
Oleh: Maria Emelia Retno K
Telah didokumentasikan, Nomor .................. . Mengetahui, Kepala Pusat Dokumentasi,
......................................)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP LEMBAGA P AKSA BADAN ATAU GIJZELING DALAM UU PERPAJAKAN
DISUSUN OLEH :
MARIA EMELIA RETNO K
~43.D4
tl-Gf' t
\'1 ?-l49 Q-I.f-tt G &-- l S-. <
F AKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KATOLIK P ARAHYANGAN ~UNG
No. Klass
.1A?.qI.f... P:-~I... ~;
~·10. Induk.\?v.:\t:\9 Tgi 0.:.~.:.!.~; i Hodiah/Bfli ., ......................... .
::-Jori
.8.~....K., .......... "..... .
BABI PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Merupakan suatu kenyataan di Indonesia, kewajiban membayar pajak masih belum menjadi kesadaran masyarakat di Indonesia. Diperlukan adanya suatu upaya paksa negara dengan sanksi hukum. Masalahnya sanksi berupa apa yang pantas bagi masyarakat yang tidak patuh? Apakah penagihan dengan surat paksa dan penyitaan sampai penyanderaan (gijzeling) relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini? Apakah masih juga ada ancaman pidananya. Bagaimana pun pajak diakui sebagai salah satu sumber utarna penghasilan negara bagi kesejahteraan rakyat sehingga untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa dibutuhkan sistem perpajakan yang tertib, efektif dan berkesinambungan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sejak dilaksanakannya ketentuan penyanderaan (gijzeling) telah menimbulkan kegelisahan para penanggung pajak yang mempunyai utang lebih dari 100 juta dan mereka yang diragukan itikad baikuya untuk melunasi utang pajakuya. Selain itu, di sisi lain ada hal-hal yang menimbulkan kekhawatiran publik menyangkut pelaksanaan penyanderaan yang dikhawatirkan dapat berakibat timbulnya tindakan sewenang-wenang dari aparat pajak. Alasannya, pelaksanaan penyanderaan pada penanggung pajak tidak berdasar keputusan peradilan tetapi sesuai pelaksanaan sistem pemungutan pajak yang berIaku. Walaupun demikian kewenangan birokrasi pemerintah (eksekutif) dalam melaksanakan penyanderaan penanggung pajak didasarkan pada undang-undang, yang dilihat dari pelaksanaan penyanderaan menurut kelembagaan penyanderaan (gijzeling) yang berIaku, di dalam sistem hukum Indonesia sesungguhnya dimasukkan dalam kewenangan dari badan peradilan (yudikatif). Gijzeling sebenarnya bukanlah hal barn dalam sistem hukum negara kita, sebab gijzeling sudah dikenal sejak tahun 1926 sebagaimana diatur dalam Herziene Inlandsch
Reglement (HIR) PasaI209-224. Pandangan ini tampaknya masih dianut oleh Mahkamah Agung, seperti yang tercermin pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 Pasal 1 huruf a yang menyatakan bahwa "Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukan seseorang debitur dengan itikad tidak baik ke dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya" Pengertian debitur di sini dapat disamakan sebagai pengutang pajak yang diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak sesuai dengan bunyi Pasal 33 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Kekhawatiran teIjadinya kesewenang-wenangan birokrasi pemerintah dalam melaksanakan penyanderaan terhadap penanggung pajak bukanlah tidak bedasar.Hal tersebut telah diantisipasi oleh pembentuk undang-undang sehingga dalam Pasal 34 ayat (3) & ayat (4) UU Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa memberi kesempatan kepada penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan kepada Pengadilan Negeri dan jika dikabulkan sampai pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, penanggung pajak tersebut dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang telah l
dijalaninya. Dengan demikian, apabila lembaga gijzeling tersebut dilakukan menurut
I
sistem hukum yang berlaku, yaitu melalaui mekanisme badan peradilan, maka gugatan
I
1
terhadap pelaksanaan penyanderaan penanggung pajak tidak akan teIjadi. Dalllrn kt':t~tuan hUktllllgij;zeliilgya.ilgJehiluliken!iLmasYjIUikaLdalamkaitannya - -- - --dengan utang piutang, juga dikenal sebagai imprisonment of civil debts, merupakan pelaksanaan dari putusan pengadilan yang bersifat assesoir dari putusan pokok, karena debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, dalam perkara kepailitan berdasarkan Pasal 84 dan Pasal 86 dalam UU tentang Kepailitan Stbld 1905-217 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 4 Tahun 1998, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya Debitur dimasukan dalam tahanan apabila dengan sengaja tanpa sesuatu alasan yang sail, tidak memenuhi kewajibannya dan meninggalkan tempat tinggalnya tanpa izin dari hakim pengawas.
- - - - - ._._----
Demikian pula dalam KUHAP Pasal161 menyebutkan bahwa hakim ketua sidang dapat mengenakan sandera di rumah tahanan negara terhadap saksi atau saksi ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau beIjanji akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Dari beberapa ketentuan hukum mengenai penyanderaan tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia mengenal lembaga gijzeling adalah merupakan kewenangan badan peradilan. Hal tersebut dapat dimengerti karena penyanderaan merupakan perampasan atas kebebasan dan kemerdekaan orang yang merupakan Hak Azasi Manusia (HAM). Oleh karenanya perampasan atas kebebasan manusia seyogyanya diputuskan oleh badan peradilan sebagai penye1enggara penegakkan hukum dan keadilan. Sekalipun pajak merupakan pendapatan utama negara bagi kesejahteraan masyarakat dan perlunya mendorong peningkatan kesadaran serta kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dimana upaya paksa dengan jalan antara lain melalui penyanderaan, dalam suatu negara hukum yang menjunjung tinggi tegaknya hukum dan keadilan, maka sebaiknya UU Nomor 19 Tahun 1997 sebagaiman telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, sepanjang mengenai penyanderaan oleh Birokrasi Pemerintah (pasal 33 - Pasal 34) sebaiknya dilakukan peninjauan ulang untuk disesuaikan dengan sistem yang berlaku di Indonesia.
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH 1. Apakah gijzeling bertentangan dengan asas kebebasan dan hak hidup yang
terdapat pada Article Universal Declaration of Human Right yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia? 2. Apakah melalaikan pajak yang mendapatkan sanksi gijzeling adalah sarna dengan perbuatan pidana? 3. Jika tidak termasuk tindak pi dana, maka kewenangan siapa penyelenggaraan gijzeling, termasuk beban siapa
menan~gung
biaya penyanderaan dan dimana
disanderanya? 4. Kompentensi Pengadilan manakah yang berwenang untuk menyelesaikan kasus Gijzeling?
1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui apakah gijzeling bertentangan dengan asas kebebasan dan hak hidup bebas seperti yang tercantum dalam article Universal Declaration of Human Right. 2. Untuk mengetahui apakah melalaikan pajak yang diberi sanksi gijzeling adalah sarna dengan perbuatan pidana. 3. Untuk
mengetahui
menjadi
kewenangan
dan
tanggungjawab
smpa
penyelenggaraan gijzeling. 4. Untuk mengetahui kompetensi pengadilan mana penyelesaian kasus gijzeling.
1.4. METODE PENELITIAN Penulis dalam penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian yaitu metode deskriptif, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk membuat gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta keterkaitan antara fenomena yang diselidiki. Selanjutnya penulis melakukan pendekatan secara yuridis normatif yaitu metode penelitian yang menggunakan cara berfikir deduktif dan berdasarkan kebenaran koheren dalam menemukan kebenaran penelitian bertujuan mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan kontruksi. l Pendekatan yang didasarkan melalui studi kepustakaan dengan menelusuri data sekunder berupa : a) Bahan Hukum Primer yaitu Undang-undang b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. c) Bahan Hukum Tertier, yaitu kam,!s, ensiklopedia, dan bahan-bahan lainnya yang terkait.
Soejono Sukanto dan Sri mamudji. Penelitian Hukun Nonnatif: Suatu Tinjauan Singkat, cerakan VI, raja Grafindo persada,jakarla, 2001, halaman 1
I
~~-
- - -..
-----~~---.--.-.------.~---
BABII GIJZELING DALAM PERPAJAKAN
2.1. Gijzeling dengan asas kebebasan dan hak hidup yang terdapat pada article universal Declaration of Human Right yang telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Sebagai bagian dari hukum publik, hukum Pajak memberikan kewenangan kepada penguasa untuk menentukan kebijaksanaan apa yang dirasa paling tepat untuk menciptakan tertib hukum di dalam masyarakatnya. Kebijaksanaan pemerintah dengan mengeluarkan UU Nomor 19 Tahun 1997 juncto UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan penyanderaan kepada wajib pajak yang memiliki hutang pajak diatas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Memang bila dilihat dari tindakan penyanderaan itu sendiri, telah teIjadi suatu tindakan perampasan kebebasan terhadap wajib pajak tersebut. Padahal bila ditilik lebih lanjut perbuatan menghindari pembayaran 1
pajak bukan merupakan perbuatan pidana apalagi UU Hak Azasi Manusia yang
II
diratifikasi Indonesia mengharamkan teIjadinya perampasan hak hidup dan kebebasan.
-1
Penyanderaan itu sendiri merupakan tindakan pengekangan sementara waktu. Kebebasan Penanggung Pajak (wajib pajak) dengan menempatkanya di tempat tertentu. Penyanderaan itu sendiri tidak boleh dilaksanakan dalam hal penanggung pajak sedang beribadah atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum. Penanggung pajak itu sendiri dapat dilepas apabila : 1. Untuk pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas
2. Jangka waktu 6 bulan atau jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan itu telah terpenuhi, 3. Berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, 4. Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan dan Gubernur. Di dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) dikatakan bahwa semua manusia lahir dengan hak-hak yang sarna dan mutIak dengan kebebasan-
kebebasan fundamental. Maksudnya adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang mendasar dan sarna di hadapan umum, sepanjang tidak bertentangan dengan hak-hak lain yang ada di sekelilingnya. Di dalam UDHR yang terdiri dari hak-sipil politik dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dijabarkan lebih lengkap bahwa setiap manusia memiliki hak-hak yang harus dihormati dan dilindungi. Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam Pasal 3 - Pasal 21 dan UU HAM tersebut memuat 2: a.
Hak untuk hidup, kebebasan dan kearnanan pribadi
b.
Hak bebas dari perbudakan dan pengharnbaan
c.
Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.
d.
Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi
e.
Hak untuk pengarnpunan hukum secara efektif
f
Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang sewenangwenang.
g.
Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak
h.
Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah
I.
Hak dari campur tangan dan sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-menyurat.
J.
Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik
k.
Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu
I.
Hak bergerak
m.
Hak memperoleh suaka
n.
Hak atas satu kebangsaan
o.
Hak untuk menikah dan membentuk keluarga
p.
Hak untuk mempunyai hak milik
q.
Hak bebas berpikir, kesadaran, dan beragama
r.
Hak bebas berpikir, dan menyatakan pendapat
2
Tommy Hlltomo. Kewarganegaraan dalam kewiraan. Hal 58-59
s.
Hak untuk berhirnpun dan berserikat
t.
Hak untuk rnengarnbil bagian dalarn pernerintahan dan hak atas akses yang sarna terhadap pelayanan rnasyarakat.
Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada pemyataan UU HAM rnenyangkut hal-hal sebagai berikut : a.
Hak jarninan so sial
b.
Hak untuk bekerja
c.
Hak atas upah yang sarna untuk pekerjaan yang sarna
d.
Hak untuk bergabung ke dalarn serikat-serikat buruh
e.
Hak atas istirahat dan waktu senggang
f.
Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan
g.
Hak atas pendidikan
h.
Hak untuk berpartisipasi dalarn kehidupan yang berkebudayaan dari rnasyarakat. Dari uraian hak-hak sipil-politik dan ekosobud di atas, narnpak beberapa hak dari
individu yang "sepertinya" bertentangan dengan HAM jika dikaitkan dengan gijzeling (penyanderaan) seperti hak-hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang dan hak bergerak. Narnun jika ditelusuri lebih jauh lagi, tindakan atau perbuatan gijzeling tidaklah melanggar atau bertentangan dengan HAM. Hal ini dikatakan tidak bertentangan karena walaupun di dalarn gijzeling ada bentuk penyanderaan atau suatu tindakan yang mengekang kebebasan orang lain, namun itu adalah akibat dari apa yang tidak seharusnya dilakukan oleh individu tersebut, namun ia tidak rnelakukannya, yaitu dimana seharusnya yang bersangkutan membayar hutang pajaknya, namun individu tersebut tidak mernbayarnya sehingga dilakukanlah Gijzeling. Narnun Gijzeling ini bukanlah upaya satu-satunya yang dilakukan bila wajib pajak tidak mernbayar pajak, rnelainkan usaha terakhir yang dilakukan jika wajib pajak tidak juga rnembayar hutang pajaknya sarnpai batas waktu dan sampai batas jumlah tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa Gijzeling tidaklah bertentangan dengan atau dalam konteks HAM, karena Gijzeling adalah suatu tindakan dirnana tindakan tersebut dilakukan apabila tidak ada itikad baik dari wajib pajak untuk membayar hutang pajaknya sarnpai dengan waktu yang ditentukan dan dalarn jurnlah tertentu setelah diberikan
teguran-teguran ringan sampai teguran berat. Gijzeling bukanlah suatu perbuatan yang sengaja dilakukan tanpa adanya suatu kejelasan dan dasar hukum yang pasti.
2.2. Perbuatan Melalaikan Pajak tidak: sarna dengan Perbuatan Pidana Melalaikan pajak teIjadi setelah Surat Ketetapan Pajak (SKP) keluar. Melalaikan pajak adalah rnenolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan rnenolak rnernenuhi formalitas-forrnalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara rnenghalangi penyitaaan. Hal-hal yang akan dihadapi oleh seorang wajib pajak adalah : 1. Jika wajib pajak telah memenuhi SKP, rnaka dia hams membayar pajak sesuai
dengan SKP tersebut. 2. Jika wajib pajak tidak melakukannya, rnaka fiscus akan mengirirn surat teguran 3. Jika belurn dibayar juga, rnaka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sarna dengan putusan pengadilan yang berIaku tetap. Setelah 2x24 jam wajib pajak belurn mernbayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu. Kemudian biasanya wajib pajak akan rnelakukan usaha untuk rnenghalangi penyitaan itu dengan cara kasar dan cara halus. Cara kasar dilakukan dengan cara yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing herder untuk rnengusir juru sita tersebut, atau rnengancarn dengan golok. Cara halus dilakukan dengan cara rnengalihkan atau rnernindahtangankan semua harta wajib pajak ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Dengan rnaksud mencegah agar tidak rnernunculkan harta yang tersernbunyi atau disembunyikan ini, rnaka wajib pajak disandera (gijzeling). Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, maka biaya makan rninurn ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberIakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik rnaupun perdata (menurut HIR), tetapi ada edaran dari Mahkarnah Agung bahwa untuk . utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Utang pajak termasuk utang publik, karena itu wajib pajak yang tidak rnernbayar pajak akan disandera.
2.3. Penye1enggaraan Gijze1ing Pelaksanaan Gijzeling kasus pajak didasarkan kekuasaan birokrasi pemerintah (kekuasaan eksekutif) melalui surat perintah penyanderaan yang diterbitkan pejabat dengan izin tertulis Menteri atau Gubemur Kepala Daerah Tingkat 1. Kewenangan pemerintah dalam menagih pajak melalui penerbitan melalui surat seketika dan sekaligus atau surat paksa dan surat perintah penyitaan termasuk surat perintah penyanderaan didasarkan UU Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Pasal 33 ayat (I) menyebutkan, penyanderaan dapat dilakukan terhadap penanggung
pajak yang mempunyai utang
pajak
sekurang-kurangnya sebesar
Rp.IOO.OOO.OOO (seratusjuta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi pajak dan ayat (2) dari Pasal 33 tersebut menyebutkan bahwa penyanderaan sebagaimana tersebut pada ayat 1 hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis menteri atau gubemur kepala daerah tingkat 1. Pelaksanaanya diatur dengan PP Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Bruk Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Lebih lanjut secara teknis dikeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-02.UM.09.01 Tahun 2003, No 294 / KMK.03/2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Tampaknya mekanisme pelaksanaan penyanderaan Penanggung Pajak yang tidak kooperatif atau yang diragukan itikad baiknya sudah lengkap diatur berdasarkan perangkat hukum yang ada.
2.4. Kompetensi Pengadilan yang Berwenang untuk melangsungkan kasus Gijzeling: Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. Dalam hal gugatan
Penanggung Pajak dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka penanggung pajak dapat meminta ganti rugi atas penyanderaan yang telah dijalaninya sebesar Rp.100.000,OO (seratus ribu rupiah )setiap hari. Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Penanggung pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir. Penyanderaan terhadap penanggung pajak tidak mengakibatkan hapusnya hutang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
a.GUGATAN Gugatan penanggung pajak terhadap palaksanaan Surat Paksa, surat perintah Melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Pajak. Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan. Penanggung Pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada pejabat paling banyak Rp.SOOO.OOO,OO (lima juta rupiah). Perubahan besarnya ganti rugi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. Gugatan diajukari dalam jangka waktu 14 hari sejak Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman lelang dilaksanakan.
b. PERMOHONAN PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN Penanggung pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada pejabat yang membuat Surat Teguran atan Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah melaksanakan penyitaan, Surat Perintah penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan tersebut, pejabat harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. Apabila dalam jangka waktu tersebut pejabat tidak memberikan keputusan, maka permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu. Tindakan pelaksanaan penagiah pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh pejabat. Dalam hal permohonan tersebut ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
BAB III KESIMPULAN KESIMPULAN Dari hasil uraian di atas ada beberapa hal yang dapat kaIni simpulkan, yaitu bahwa Undang-undang tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa adalah baik adanya dikarenakan 3 L mempertegas proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan penerbitan surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis sebelum surat lain dilaksanakan. 2. mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif 3. mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi juga koInisaris, pemegang saham dan pemilik modal. 4. menaikan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak. 5. mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas persentase tertentu dari hasil penjualan 6. mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh wajib pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak 7. mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah,
menghalang-halangi
atau
menggagalkan
pelaksanaan
penagihan pajak. Tindakan Gijzeling dalam Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa merupakan suatu perbuatan yang tidak melanggar hukum bahkan tidak melanggar HAM dikarenakan terdapat suatu aturan hukum yang jelas mengenai aturan ini, dan tindakan tersebut tidak sernata-mata dilakukan dengan sengaja untuk merampas kebebasan sseorang namun merupakan suatu upaya terakhir yang dilakukan apabila para wajib pajak yang setelah ditegur, diperingati tetap tidak membayar hutang pajaknya. Hal ini dilakukan agar tercipta kesadaran wajib pajak dalam membayar hutang pajaknya.
3
Y. Sri Pudyatmoko, SH, MHum. Pengantar Hukum Pajak. Penerbit Andi Yogyakarta 2002. hal 97
....
-.--~.--.-------.
Melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, oIeh karena itu pelaksanaannya diatur dengan PP Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rahabilitasi Nama baik Penanggung Pajak dan Pemberian ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Pelaksanaan Gijzeling kasus pajak didasarkan kekuasaan
birokrasi
pemerintah (kekuasaan
eksekutif)
melalui
surat
perintah
penyanderaan yang diterbitkan pejabat dengan izin tertuIis menteri atau gubernur, kepala daerah tingkat I. OIeh karen a itu maka penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
DAFTARPUSTAKA A Bazar Harahap S.H dan Nawangsih Sutardi, SH. Hak Azasi Manusia dan Hukumnya. Pecirindo, Jakarta, 2006.
H.Moeljo Hadi, SH, Dasar-dasar Penagihan Pajak. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995
R Santoso Brotodiharjo, SH. Pengantar llmu Hukum Pajak. PT.Eresco. Bandung. 1995.
Y. Sri Pudyatmoko, SH, M.Hum. Pengantar Hukum Pajak. Penerbit Andi Y ogyakarta 2002.
Tommy Hartono Diktat kewarganegaraan dalarn kewiraan. Pusat kajian Humaniora Universitas katolik Parlihyangan , Bandung 2006. www.google.co.id
. -.. ----.---•..
--.---~------------