II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sampah
2.1.1. Pengertian Sampah Sampah adalah bahan buangan padat atau semi padat yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau tidak digunakan lagi oleh pemakai tersebut. Sampah adalah suatu limbah yang bersifat padat terdiri dari sampah organik, sampah anorganik dan sampah bahan berbahaya beracun (B3) yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan (Dep. PU, 1990). Penanganan sampah yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran sebagai berikut (Hadiwiyoto, 1983): 1.
Sampah dapat menimbulkan pencemaran pada udara, akibat gas-gas yang terjadi dari penguraian sampah terutama menimbulkan bau yang tidak sedap. Selain itu sampah mengakibatkan mengganggu penglihatan yaitu suatu area yang kotor yang mencemari rasa estetika.
2.
Tumpukan sampah yang menggunung dapat menimbulkan kondisi lingkungan fisik dan kimia yang tidak sesuai dengan dengan kondisi lingkungan normal. Pada umumnya hal tersebut menimbulkan kenaikan suhu dan perubahan pH menjadi asam atau basa. Kondisi ini mengakibatkan terganggunya kehidupan manusia dan makhluk lain di lingkungan sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Kadar oksigen di area pembuangan sampah menjadi berkurang akibat proses penguraian sampah menjadi senyawa lain yang memerlukan oksigen yang diambil dari udara sekitarnya. Berkurangnya oksigen di daerah pembuangan 7 sampah menyebabkan gangguan terhadap makhluk sekitarnya.
4.
Dalam
proses
penguraian
sampah
dihasilkan
gas-gas
yang
dapat
membahayakan kesehatan, berupa gas-gas yang beracun dan dapat mematikan. 5.
Sampah sangat berpotensi menjadi sumber penyakit yang berasal dari bakteri patogen dari sampah sendiri serta dapat ditularkan oleh lalat, tikus, anjing dan binatang lainnya yang senang tinggal di areal tumpukan sampah.
2.1.2. Klasifikasi Sampah Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah didefinisikan menurut derajat keterpakaiannya, dalam prosesproses alam sebenarnya tidak ada konsep sampah, yang ada hanya produk-produk yang dihasilkan setelah dan selama proses alam berlangsung. Akan tetapi karena dalam kehidupan manusia didefinisikan konsep lingkungan maka sampah dapat dibagi menurut jenis-jenisnya. Sampah dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria menurut sumber, tipe, dan sifatnya (www.wikipedia.org, 2010). 1.
Klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya. Sumber-sumber sampah atau lokasi-lokasi penghasil sampah pada umumnya berkaitan dengan tata guna lahan, misalnya daerah pemukiman, perkantoran,
Universitas Sumatera Utara
pertokoan, industri, reaktor, pertambangan, rumah sakit, pasar, hutan, pertanian dan lain-lain. 2.
Klasifikasi sampah berdasarkan tipenya. Menurut tipenya sampah dibagi atas sampah padat, sampah cair, dan sampah debu. Sampah padat adalah segala bahan buangan selain kotoran manusia, urine dan sampah cair. Dapat berupa sampah rumah tangga; sampah dapur, sampah kebun, plastik, metal, gelas, dan lain-lain. Sampah cair adalah berbentuk cairan yang telah digunakan dan tidak diperlukan lagi dan dibuang ke tempat pembuangan sampah.
3.
Klasifikasi sampah berdasarkan sifatnya. Dilihat dari sifatnya, sampah di sini dibagi atas: a. Sampah organik, yaitu sampah yang mengandung senyawa-senyawa organik yang tersusun dari unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen dan lain-lain. Yang termasuk sampah organik adalah daun-daunan, kayu, kertas, karton, sisa-sisa makanan, sayur-sayuran, buah-buahan, potonganpotongan kayu, ranting, daun-daunan, rumput-rumputan pada waktu pembersihan kebun atau halaman yang mudah diuraikan mikroba. b. Sampah anorganik, yaitu sampah yang terdiri dari kaleng, plastik, besi, gelas atau logam lain yang tersusun oleh senyawa-senyawa anorganik. Sampah ini tidak dapat diuraikan oleh mikroba. Berdasarkan kemampuan diuraikan oleh alam (biodegradability) dapat dibagi
menjadi: (www.wikipedia.org, 2010)
Universitas Sumatera Utara
1.
Biodegradable, yaitu sampah yang dapat diuraikan secara sempurna oleh proses biologi baik aerob atau anaerob seperti sampah dapur, sisa-sisa hewan, sampah pertanian dan perkebunan.
2.
Non-biodegradable, yaitu sampah yang tidak bisa diuraikan oleh proses biologi, seperti plastik, kertas, kain dan lainnya. Dari klasifikasi sampah berdasarkan sumbernya yaitu: sampah dari rumah
sakit dan balai pengobatan, dan berdasarkan tipenya yaitu sampah yang berbahaya seperti sampah patogen dari rumah sakit, sampah beracun dari sisa-sisa pestisida, insektisida serta berdasarkan sifatnya yaitu sampah organik yang dapat diuraikan oleh mikroba, serta kandungan bakteri yang sering dijumpai pada sampah yaitu bakteri heterotrof yaitu bakteri yang memanfaatkan sampah organik atau sisa-sisa makhluk hidup sebagai sumber energinya diantaranya bakteri nitrit (Nitrosococcus), bakteri nitrat (Nitrobacter) dan jenis Clostridium di samping organisasi pembusuk utama, yang berperan dalam menguraikan asam amino dalam protein makhluk hidup, baik dari sampah tumbuhan maupun hewan menjadi senyawa amoniak maka sampah sangat cenderung menimbulkan penyakit terutama manusia yang berhubungan erat dengan sampah tersebut diantaranya yang paling dekat adalah pemulung sampah di TPA (Alcamo, 2001). Pemulung adalah orang yang kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang bekas yang masih memiliki nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas (Saratri, 2005). Pemulung dengan sampah sangat erat
Universitas Sumatera Utara
hubungannya karena ketergantungan hidup para pemulung dengan sampah sedemikian tingginya (Abidin, 2011). Pekerjaan ini banyak dilakukan oleh masyarakat miskin di kota-kota besar saat ini. Para pemulung ini dijumpai paling banyak di TPA-TPA kota besar di samping para pemulung yang bergerak antara TPS yang satu ke TPS yang lain. Pemulung yang berada di TPA sebagian besar sudah menjadikannya sebagai pekerjaan tetap dan kesehariannya tetap kontak dengan sampah, malah ada yang mendirikan gubuk-gubuk di sekitar TPA sebagai tempat tinggalnya. Pemulung biasanya menumpuk hasil pungutannya di dekat tempat tinggalnya (Abidin, 2011). Tidak sedikit hambatan yang dialami oleh para pemulung dalam melakukan pekerjaannya. Mulai dari ancaman dalam kesehatan karena bekerja ditempat yang kotor, hingga soal stigma negative seperti tidak teratur, kumuh, tidak bersih dan dekat dengan tindakan kriminal (Rachmannur, 2009). Pada kenyataannya peran para pemulung dalam menjaga lingkungan sangatlah besar. Bila sampah-sampah yang tidak bisa diuraikan atau yang tidak bisa dihancurkan oleh bakteri (sampah anorganik) tidak dipunguti oleh pemulung akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di tempat tersebut. Peran pemulung dalam hal stabilitas sosial merupakan salah satu cara mengatasi pengangguran karena mereka bekerja mandiri, kreatif, pekerja keras dan tidak menggantungkan diri pada orang lain (Rachmannur, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Penyakit Kulit Akibat Kerja
2.2.1. Struktur dan Fungsi dari Kulit Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan, mempunyai tiga lapisan terdiri dari epidermis, dermis dan lapisan subkutis (Suhariyanto, 2007). Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,5-1,75 m2, rata-rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (16mm) terdapat ditelapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis (Harahap, 2000). Bagian terpenting kulit untuk menjalankan fungsinya sebagai sawar adalah lapisan paling luar, disebut sebagai stratum korneum atau lapisan tanduk. Meskipun ketebalan kulit hanya 15 milimikro, namun sangat berfungsi sebagai penyaring benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan melampaui kapasitas toleransi serta daya penyembuhan kulit, maka akan terjadi penyakit (Wasitaatmadja, 2002). Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit, demikian pula sebaliknya. Salah satu lingkungan yang perlu diperhatikan adalah lingkungan kerja, yang bila tidak dijaga dengan baik dapat menjadi sumber munculnya berbagai penyakit kulit (Rofiq, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sejak dahulu di seluruh dunia telah dikenal adanya reaksi tubuh terhadap bahan atau material yang ada di lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kulit dikenal, pada individu atau pekerja tertentu baik yang berada di negara berkembang maupun di negara maju, dapat mengalami kelainan kulit akibat pekerjaannya. Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) dikenal secara populer karena berdampak langsung terhadap pekerja yang secara ekonomis masih produktif. Istilah PKAK dapat diartikan sebagai peradangan kulit yang diakibatkan oleh lingkungan kerja (Siregar, 2002). 2.2.2. Epidemiologi Penyakit Kulit Akibat Kerja Di Amerika Serikat pada tahun 2003 dilaporkan dari 4,4 juta pekerjaan berisiko kecelakaan dan penyakit diperkirakan 6,2% (269.500 kasus) disebabkan oleh penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (Taylor, 2008). Dari suatu penelitian epidemiologik di luar negeri mengemukakan, PKAK dapat berdampak pada hilangnya hari kerja sebesar 25% dari jumlah hari kerja. Secara umum, tampaknya hingga kini kelengkapan data PKAK masih menjadi salah satu tantangan, karena PKAK seringkali tidak teramati atau tidak teridentifikasi dengan baik akibat banyaknya faktor yang harus dikaji dalam memastikan jenis penyakit (Rofiq, 2007). Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja sukar didapat, termasuk dari negara maju, demikian pula di Indonesia. Umumnya pelaporan tidak lengkap sebagai akibat tidak terdiagnosisnya atau tidak terlaporkannya penyakit tersebut. Hal lain yang menyebabkan terjadinya variasi besar antar negara adalah karena sistem pelaporan yang dianut berbeda. Laporan insiden dermatitis kontak
Universitas Sumatera Utara
akibat kerja sebanyak 50 kasus per tahun atau 11.9 persen dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI-RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta (Suryani, 2008). 2.2.3. Bentuk Penyakit Kulit Akibat Kerja Terjadinya PKAK dipengaruhi oleh jenis PKAK dan faktor individual pekerja, seperti kekeringan kulit, keringat, pigmentasi, integritas epidermis, penyakit kulit yang sudah ada, faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan gesekan (Suhariyanto, 2007). Dermatitis kontak merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan dan merupakan lebih dari 85% dari Penyakit Kulit Akibat Kerja, berupa dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak iritan. Kasus lain seperti miliaria, folikulitis, dermatosis fiberglas dan urtikaria kontak. Di samping itu terdapat kasus-kasus yang sangat jarang dilaporkan seperti kerusakan pigmen dan keganasan kulit (Taylor, 2008). Secara tidak disadari, sebenarnya di lingkungan kerja kita mungkin ada bahan, barang atau unsur yang dapat bersifat melukai kulit, mengiritasi kulit, menyebabkan alergi kulit, menyebabkan infeksi kulit, maupun menyebabkan perubahan pigmen kulit jika menempel pada kulit. Bahkan, masih ada bahan atau unsur yang bersifat memicu terjadinya keganasan pada kulit (Sood, 2008). Dermatitis Di dalam Ilmu Kesehatan Kulit, istilah eksematosa sama dengan dermatitis. Pengertian dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh rasa gatal, dapat berupa penebalan/bintil kemerahan, multipel mengelompok atau tersebar, kadang
Universitas Sumatera Utara
bersisik, berair dan lainnya (Rofiq, 2007). Akibat permukaan kulit terkena bahan atau unsur-unsur yang ada di lingkungannya (faktor eksogen). Namun demikian, untuk terjadinya suatu jenis dermatitis atau beratnya gejala dermatitis, kadang-kadang dipengaruhi pula oleh faktor kerentanan kulit seseorang atau faktor endogen (Taylor, 2008). Bahan-bahan kimia yang berpengaruh untuk terjadinya Dermatitis adalah Arsen, Merkuri, Garam kromium, Resin venil dan akrilik, Dikromat, Heksaklorofen, Parafenildiamin, Cobalt dan Nickel (Suhariyanto, 2007). Dermatitis kontak adalah reaksi peradangan kulit yang terjadi akibat kulit kontak langsung dengan bahan yang bertindak sebagai alergen maupun iritan. Bahan tersebut kontak dengan kulit sering ditemukan dalam kehidupan senari-hari misalnya detergen, kosmetik, logam, karet tekstil, obat, bahkan bahan-bahan yang dijumpai dalam lingkungan pekerjaannya (Sukanto, 2008). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan mekanisme imunologik yang spesifik. Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantai sel, akibat antigen spesifik yang menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan mediator protein akan menuju ke dermis, di mana sel limfosit T menjadi tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen akan timbul reaksi alergi. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua PKAK, terbanyak bersifat nonalergi atau iritan. Sekitar 90.000 jenis bahan sudah diketahui dapat menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
dermatitis. Dermatitis kontak iritan merupakan jenis PKAK yang paling sering terjadi di antara para pekerja, dibandingkan dengan Dermatitis Kontak Alergika (Odom, 2000). Dermatitis kontak alergi Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan reaksi inflamasi kulit yang berhubungan dengan proses imunologik pada kulit yang terpapar dengan bahan alergen. Berbeda dengan dermatitis kontak iritan, reaksi inflamasi yang timbul melalui proses imunologik setelah melalui beberapa kali paparan (Rofiq, 2007). Seseorang umumnya tidak terjadi reaksi pada paparan awal dengan bahan alergen, setelah paparan berulang seseorang menjadi tersensitisasi dengan bahan alergen. Seorang pasien akan mendapat kepekaan (hipersensitivitas) terhadap suatu bahan (fase sensitisasi) dalam waktu 10-14 hari. Pemaparan berikutnya (fase elisitasi) dalam waktu 12-48 jam. (Fitzpatrick, 2008)) Sering seseorang mengatakan sudah berbulanbulan saya bekerja seperti ini tidak menyebabkan kelainan pada kulit saya (Taylor, 2008). Bahan alergen yang berbeda mempunyai potensial sensitisasi yang berbeda dan juga pada kerentanan setiap individu oleh bahan alergen. DKA merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV di mana mediator kimiawi yang keluar akan menyebabkan dermatitis. Dermatitis yang terjadi bisa akut, sub-akut atau kronis tergantung sensitivitas para pekerja. Alergi pada bahan yang spesifik umumnya akan selamanya terjadi pada para pekerja (Baratawidjaja, 2002). Berbeda dengan pekerja dengan dermatitis kontak iritan, pekerja dengan DKA memerlukan pemindahan tempat kerja,
Universitas Sumatera Utara
sehingga sangat penting untuk membedakan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Seseorang dengan kecurigaan bahan alergen tertentu dianjurkan untuk menghindari bahan tersebut selamanya (Rofiq, 2007). Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan kelainan sebagai akibat pajanan dengan bahan toksik non-spesifik yang merusak epidermis dan atau dermis. Umumnya setiap orang dapat terkena, bergantung pada kapasitas toleransi kulitnya. Penyakit tersebut mempunyai pola monofasik, yaitu kerusakan diikuti dengan penyembuhan (Taylor, 2008). Berbeda dengan DKA, perubahan kulit pada DKI dapat terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah kontak dengan bahan iritan (Trihapsoro, 2002). DKI dapat terjadi melalui dua jalur: efek langsung iritan terhadap keratinosit dan kerusakan sawar kulit. Efek langsung iritan pada keratinosit, pada DKI akut, penetrasi iritan melewati sawar kulit akan merusak keratinosit dan merangsang pengeluaran mediator inflamasi diikuti dengan aktivasi sel T. Selanjutnya terjadi akumulasi sel T dengan aktivasi tidak lagi bergantung pada penyebab. Hal tersebut dapat menerangkan kesamaan jenis infiltrat dan sitokin yang berperan antara DKI dan DKA. Peradangan hanya merupakan salah satu aspek sindrom DKI. Apabila terjadi pajanan dengan konsentrasi suboptimal maka reaksi yang terjadi langsung kronik (Baratawidjaja, 2004). Stratum korneum atau kulit ari merupakan sawar kuli yang sangat efektif terhadap
berbagai
bahan
iritan
karena
pembaharuan
sel
terjadi
secara
Universitas Sumatera Utara
berkesinambungan dan proses penyembuhan berlangsung cepat. Apabila waktu pajanan lebih pendek daripada waktu penyembuhan, sehingga sel-sel keratinosit tidak sempat sembuh, maka akan terjadi gejala klinis DKI kumulatif (Taylor, 2008). Kerusakan sawar lipid berhubungan dengan kehilangan daya kohesi antar korneosit dan deskuamasi diikuti dengan peningkatan trans-epidermal water loss (TEWL). Hal tersebut merupakan rangsangan untuk memacu sintesis lipid, proliferasi keratinosit dan hiperkeratosis sewaktu transient sehingga dapat terbentuk sawar kulit dalam keadaan baru (Taylor, 2008). 2.2.4. Bentuk Lain dari Kelainan Kulit yang Diinduksi Lingkungan Dermatitis kontak fototoksik dan fotoalergik Bahan fototoksik sebagai bahan yang diserap sinar ultraviolet dan menyebabkan reaksi inflamasi pada kulit. Sebagai contoh bahan yang bersifat fototoksik termasuk obat-obatan yaitu golongan fenotiazin dan tetrasiklin, bahan industri kimia seperti tars dan golongan resin. Dermatitis fototoksik tidak melalui proses imunologik, berhubungan dengan kadar/dosis Bahan fototoksik mempunyai kecendrungan mengenai semua individu yang terpapar (Taylor, 2008). Dermatitis kontak fotoalergi, seperti halnya dermatitis kontak alergi melalui proses imunologi. Alergen hanya menjadi aktif bila ada sinar ultraviolet. Contoh dari fotoalergen ialah obat-obatan, parfum, krim pelindung matahari dan antiseptik (Rofiq, 2007). Urtikaria kontak Urtikaria kontak merupakan reaksi segera berupa wheal dan flare (bengkak dan rasa terbakar) pada kulit setelah terkena kontaktan. Tidak seperti dermatitis
Universitas Sumatera Utara
kontak, di mana cenderung meluas beberapa hari setelah kontak kulit. Urtikaria kontak meluas dengan segera setelah kulit kontak dengan kontaktan. Manifestasi klinisnya biasanya berupa terjadinya erupsi urtikaria segera (dalam waktu 30 menit setelah kontak) dan pada waktu yang lama menjadi dermatitis (Kaplan, 2008). Penyebab terjadinya urtikaria kontak meliputi bahan makanan seperti daging, telur, seafood dan sayuran, bulu dan sekresi dari hewan seperti ulat dan artropoda yang lainnya, tumbuhan dan bumbu-bumbu seperti rumput laut, thyme dan cabai rawit, parfum dan bahan penyedap seperti balsam dari Peru dan minyak kayu manis, beberapa jenis obat-obatan seperti antibiotik, logam, bahan pengawet seperti formalin dan asam benzoat, dan karet lateks sarung tangan (Kaplan, 2008). 2.2.5. Bentuk Lain Penyakit Kulit Akibat Kerja Bahan atau alergen dari lingkungan lain, termasuk agen fisik seperti radiasi ion, faktor mekanik, sinar ultraviolet, panas dan dingin dapat merusak kulit. Beberapa bahan kimia diserap secara perkutaneus dan dapat menyebabkan toksik sistemik seperti dioksin yang menyebabkan klorakne. Minyak dan lemak dapat menyebabkan oilakne. Campuran fenol seperti para tertiary butyl phenol formaldehyde resins dapat menyebabkan depigmentasi kulit. Gejalanya jarang terjadi, hanya 10% dari semua kasus DAK (Rofiq, 2007). Keganasan pada kulit akibat bahan karsinogen yang berasal dari lingkungan seperti sinar ultraviolet, hidrokarbon aromatik polisiklik dan arsenik seringkali tercetus setelah terpapar selama beberapa tahun (Rofiq, 2007). 2.2.6. Prognosis Penyakit Kulit Akibat Kerja
Universitas Sumatera Utara
Penyakit Kulit Akibat Kerja (PKAK) umumnya mempunyai prognosis buruk. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja logam dan pekerja konstruksi menemukan 70 persen tetap menderita dermatitis meskipun telah dilakukan upaya penghindaraan terhadap alergen penyebab dan perubahan jenis pekerjaan (Odom, 2000). Meski PKAK tidak memerlukan rawat inap, ringan, dan umumnya dianggap sebagai risiko yang perlu diterima, pengaruh terhadap pekerjaan dan status sosial psikologi harus diperhitungkan. Dampak PKAK terhadap ekonomi sangat besar. Ini meliputi biaya langsung atas pengobatan, kompensasi kecacatan dan biaya tidak langsung yang meliputi kehilangan hari kerja dan produktivitas, biaya pelatihan ulang serta biaya yang menyangkut efek terhadap kualitas hidup (Rofiq, 2007). Dengan penelitian ini dapat diharapkan apakah kedua hal tersebut dapat terjadi pada para pemulung di TPA sehingga dapat disimpulkan apakah pekerjaan yang mereka lakukan berisiko atau dapat dilakukan dengan tanpa kekhawatiran akan menderita penyakit kulit di samping itu tentunya akan diperoleh suatu sistem perlindungan terhadap rakyat kecil berupa pencegahan agar mereka dapat terlindungi dari penyakit sesuai dengan rencana pemerintah Indonesia Sehat 2010 karena pemulung juga adalah rakyat Indonesia (Suryani, 2008).
2.3.
Landasan Teori Sumber dan komposisi sampah kota yang terbanyak adalah dari pemukiman
dan pasar tradisional. Sampah pasar khusus seperti pasar sayur mayur, pasar buah dan
Universitas Sumatera Utara
pasar ikan jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik. Sampah yang berasal dari pemukiman umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri dari dari sampah organik dan sisanya anorganik. Hasil survei di Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya pada tahun 1987 menunjukkan komposisi sampah rata-rata sebagai berikut: Volume sampah
: 2 – 2,5 lt/kapita/hari
Berat sampah
: 0,5 kg/kapita/hari
Kerapatan
: 200 – 300 kg/m3
Kadar air
: 65 – 75 %
Sampah organik
: 75 – 95 %
Komponen lain
:
* Kertas
:6%
* Kayu
:3%
* Plastik
:2%
* Gelas
:1%
* Lain-lain
: 4 % (Sudradjat,2006)
Sampah–sampah ini berasal dari buangan kegiatan produksi dan konsumsi manusia baik dalam bentuk padat, cair maupun gas merupakan sumber pencemaran lingkungan hidup dan merupakan sumber penyakit jika tidak dikelola dengan baik karena bisa menjadi sarang penyakit (www.wikipedia.org, 2010). Dari sampah organik yang jumlahnya terbesar terjadi pembusukan oleh organisme pembusuk utama yaitu bakteri. Bakteri-bakteri ini memanfaatkan sampah organik atau sisa makhluk hidup terutama asam amino dalam proteinnya sebagai
Universitas Sumatera Utara
sumber energi dan bakteri ini juga akan mengakibatkan proses penyakit kulit yang timbul pada pemulung yang setiap hari berkontak dengan sampah tersebut. Di samping itu dari hasil penguraian sampah dapat juga menghasilkan gas methan yang berbahaya juga untuk kulit, tidak tertutup kemungkinan sampah buangan dari rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan pembuangan sampah medis dan non medis terbuang juga ke TPA dan dapat menimbulkan beberapa penyakit termasuk penyakit kulit. Yang paling berbahaya adalah sampah buangan industri yang termasuk golongan B3 yang dapat langsung mengiritasi permukaan kulit (Alcamo, 2001). Penghasil limbah B3 yang memiliki potensi menghasilkan limbah B3 antara lain Industri farmasi, industri logam dasar, industri karoseri, industri baterai kering, industri tekstil dan kulit seperti penggunaan zat warna yang mengandung Chrom, pabrik kertas dan percetakan, industri kimia besar meliputi pabrik pembuatan resin, bahan pengawet, cat, tinta, industri gas, pupuk dan sabun (Sastrawijaya, 1991). Penyakit kulit merupakan penyakit yang sering ditemukan pada penyakit akibat kerja, diperkirakan mencapai 10% dari penyakit akibat kerja. Hal ini bisa disebabkan karena komponen atau proses yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Pada pemulung yang selalu berkontak dengan sampah yang mengandung bahan-bahan kontaktan seperti rubber, kertas, beberapa bahan kayu, dan kaca sangat berisiko untuk menderita Penyakit Kulit Akibat Kerja (Suryani, 2008). Berdasarkan jenis organ tubuh yang dapat mengalami kelainan akibat pekerjaan seseorang, maka kulit adalah merupakan organ yang paling sering terkena, yakni 50% dari jumlah seluruh penderita Penyakit Kulit Akibat Kerja (Suryani, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Bahan-bahan organik bisa terurai oleh mikroba sehingga sampah dapat hancur mengalami degradibilitasi namun mikroba patologis seperti bakteri, virus dan parasit dapat tumbuh di dalam sampah tersebut bercampur dengan sampah yang degrabilitasnya lebih lama dibanding dengan sampah organik sehingga ini yang dapat menyebabkan penyakit kulit bila kontak dengan manusia sebagai inang yang baru (Suryani, 2008).
Universitas Sumatera Utara