TINJAUAN REFORMASI BIROKRASI – Evolusi model birokrasi dalam perspektif ekonomi dan perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia1
Sigit Setiawan2
Sebagian pegawai Kementerian Keuangan dan juga kementerian lainnya bernapas lega mendengar UU Aparatur Sipil Negara atau disingkat UU ASN telah disahkan oleh DPR pada tanggal 19 Desember 2013 lalu. Asa untuk menopang keberlanjutan ekonomi keluarga untuk setidaknya dua tahun ke depan masih ada. Mereka yang harusnya sudah pensiun per Februari 2014 otomatis diperpanjang dua tahun.
LATAR BELAKANG Pengesahan UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang kemudian berlaku efektif per 15 Januari 2014 menandai dimulainya babak lanjutan pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia. Tidak terasa fase pertama reformasi birokrasi yang diinisiasi melalui penerbitan Perpres nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 akan berakhir pada tahun 2014 ini. Masih ada dua fase reformasi birokrasi di depan yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah hasil pemilihan umum tahun 2014 dan 2019, yaitu fase kedua (2015-2019) dan fase ketiga (2020-2024).
1 2
Telah dipublikasikan sebelumnya dalam Warta Fiskal Edisi #1/2014 Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral-BKF.
1
UU ASN dikatakan oleh para ahli menjadi tonggak sejarah reformasi birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public Management (NPM) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model Webberian yang diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU ASN tersebut penggolongan jabatan struktural dan fungsional bagi PNS diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu di luar PNS terdapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (kontrak). Jika garis waktu ditarik ke belakang, sejarah reformasi birokrasi Indonesia diawali oleh terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Peristiwa ekonomi yang diawali oleh runtuhnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu sekaligus pendorong Indonesia untuk melakukan pembenahan di segala bidang. Reformasi di bidang ekonomi, hukum, dan politik telah dilakukan terlebih dahulu, dan reformasi di bidang birokrasi kemudian menyusul. Bila tadi telah disebutkan bahwa pemicu dan pendorong reformasi birokrasi Indonesia diawali oleh peristiwa ekonomi, maka demikian pula halnya modelmodel birokrasi yang ada. Model birokrasi yang dianut oleh banyak negara di dunia saat ini termasuk Indonesia adalah mengadopsi model birokrasi yang telah diterapkan di negara-negara demokrasi Anglo-American, yang dipelopori oleh Inggris, Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan Kanada. Kelahiran modelmodel birokrasi sendiri tidak lepas dari peran dan dukungan perkembangan peristiwa ekonomi, serta teori-teori ekonomi dan administrasi publik. Tulisan ini akan membahas beberapa isu. Isu pertama adalah perjalanan evolusi model birokrasi di dunia dalam perspektif ekonomi. Isu selanjutnya adalah uraian singkat perkembangan reformasi birokrasi di Indonesia, khususnya di Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal, yang selanjutnya ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi singkat.
2
EVOLUSI MODEL BIROKRASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI Sejarah menunjukkan bahwa peristiwa ekonomi, teori-teori ekonomi dan administrasi publik memiliki andil yang amat besar dalam mendorong evolusi model birokrasi. Paling tidak terdapat tiga model dalam sejarah tata pemerintahan dunia, yakni 1) model patronase; 2) model Webberian; dan 3) model New Public Management (NPM) Model birokrasi tertua adalah model patronase, yang banyak digunakan pada masa pemerintahan kerajaan. Dalam model ini, kekuasaan pengelolaan dan pengendalian pemerintahan berada dalam genggaman satu orang yakni raja/ratu. Demi kepentingan melanggengkan kekuasaannya, maka raja akan memilih dan merekrut orang-orang terdekatnya untuk menjadi ‘pejabat dan pegawai pemerintah’ dan membantunya mengelola roda pemerintahan sehari-hari. Kesetiaan menjalankan perintah raja menjadi indikator utama pencapaian seseorang, terlepas apakah perintah raja tersebut baik atau buruk bagi rakyat yang dipimpinnya. Model ini kemudian ditinggalkan banyak negara dan pemerintahan pasca era revolusi industri (1750-1850). Terjadinya revolusi industri di Inggris tidak hanya mengubah cara pandang pebisnis dalam mengelola industrinya tapi juga turut andil dalam mengubah cara pandang negara dalam mengelola pemerintahannya. Aktivitas industri yang semula bersifat home-made dan berskala kecil kemudian berkembang menjadi industri massal. Contoh sukses dan paling populer dari penerapan manajemen industri produksi massal adalah metode Henry Ford dalam mengelola industri mobil di Amerika Serikat. Agar proses produksi mobil berlangsung produktif dan efisien serta dapat menghasilkan produk seragam secara massal, maka Henry Ford menyusun organisasi dari perusahaan Ford Motor miliknya yang didirikan tahun 1903 berdasarkan prinsip rule of law. Dengan prinsip tersebut, organisasi perusahaan memiliki penjabaran yang jelas dalam dokumen-dokumen tertulis dan mengikat secara hukum terhadap hubungan antar hirarki atau level manajemen, antar manajer dalam perusahaan, dan antar unit organisasi. Wilayah kekuasaan, 3
instruksi atau perintah, dan tanggung jawab dari masing-masing unit organisasi dan para manajer dalam unit organisasi yang sama memiliki batasan yang jelas dan mengikat secara hukum. Pada tahun 1930-an seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog kenamaan asal Jerman - Max Webber – memformulasikan sistem administrasi pemerintahan modern di masa itu, suatu model birokrasi yang dikenal dengan sebutan model Webberian, model birokratis, atau model tradisional. Efisiensi dan produktivitas yang ditawarkan oleh pola kerja industri pasca revolusi industri mengilhami Webber untuk mengadopsinya bagi tata laksana pemerintahan. Oleh karenanya model Webberian ini memiliki kemiripan dengan pola organisasi industri massal seperti halnya Ford Motor dan industri massal lainnya. Menurut model Webberian, administrasi pemerintahan didasarkan atas dokumen-dokumen tertulis, dan pengambilan keputusan merujuk pada aturanaturan yang didokumentasikan dan didasari kebiasaan pelaksanaan suatu kegiatan sebelumnya. Model ini menekankan pentingnya kendali terhadap input dan proses pengambilan kebijakan. Keberadaan aturan yang terdokumentasi dengan baik memungkinkan mutasi pegawai tidak akan mengganggu roda administrasi pemerintahan, sehingga membuat struktur birokrasi lebih permanen dan stabil. Warga negara yang merupakan ‘konsumen’ atau ‘klien’ bagi pemerintah diperlakukan sama di depan hukum, dan keputusan yang diberikan pemerintah terhadap warga negara merujuk pada hukum dan peraturan yang berlaku serta peristiwa sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar keputusan bersifat adil dan terhindar dari sengketa, serta menjaga transparansi, stabilitas, dan predictability dari keputusan itu sendiri. Para pegawai pemerintah memiliki keahlian tersendiri, dan rekruitmen didasarkan atas hasil tes yang menguji keahlian dan kemampuan teknis calon pegawai. Berbeda dengan model patronase, pemisahan secara tegas dilakukan antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan. Anggota legislatif bertindak sebagai pembuat kebijakan dan pemerintahlah kemudian yang mengimplementasikan kebijakan tersebut.
4
Di tengah sisi baik dari model Webberian, berbagai kritik terhadap model Webberian bermunculan sejak tahun 1970-an dan menemukan momentumnya di era knowledge-intensive society and economy tahun 1990-an, awal masa yang ditandai dengan perubahan yang sangat cepat dan membanjirnya informasi melalui perangkat internet dan telekomunikasi. Model Webberian menjadi dipandang memiliki struktur yang gemuk, lamban, dan tidak efektif. Dengan desain struktur birokrasi yang hirarkis, bersifat komando, dan terpusat di sekelompok elite birokrasi, serta penerapan aturan yang bersifat kaku dan mutlak menjadikan model Webberian dipandang tidak dapat mengejar ketertinggalannya dengan dinamika masyarakat dan pasar yang menuntut perubahan secara cepat. Di era 1900-an pasca Great Depression, salah satu perdebatan para ekonom adalah terkait isu ‘kegagalan pasar (market failure)’ terhadap teori ekonomi klasik dan neoklasik. Perdebatan ini berujung pada lahirnya teori Keynes yang menyebutkan dibutuhkannya peran pemerintah yang lebih besar guna menstabilkan perekonomian khususnya dalam periode krisis agar ekonomi kembali pada kondisi normal. Pada akhir 1960-an para ekonom memperdebatkan isu sebaliknya, yakni isu ‘kegagalan pemerintah (government failure)’ yang turut mendorong gagasan agar sektor pemerintah dapat lebih dekat ke pasar, lebih tanggap dan lebih memfokuskan diri pada masyarakat selaku customer dari pemerintah. Kelompok ekonom ini - berasal dari pendukung revitalisasi teori ekonomi neoklasik, serta sekolah-sekolah ‘public choice dan new institutional economics’ - berpendapat pula bahwa sektor swasta lebih unggul dibanding sektor pemerintah dalam hal efisiensi teknis dan biaya, dan menolak anggapan bahwa pemerintah mengetahui segalanya yang terjadi di pasar. Adalah James Buchanan dibantu Gordon Tullock - duo ekonom yang merumuskan teori public choice. Dan James Buchanan atas jasa-jasanya kemudian memperoleh hadiah Nobel di bidang ekonomi. Teori ‘public choice’ menggunakan prinsip yang sama yang digunakan ekonom untuk menganalis perilaku individu di pasar dan menerapkannya dalam pengambilan keputusan kolektif. Ekonom yang mempelajari perilaku di pasar privat berasumsi bahwa 5
dorongan atas perilaku individu berasal dari kepentingan pribadi (self-interest). Walaupun perilaku sebagian besar individu tersebut didasarkan atas kepeduliannya terhadap sesama orang, motif utama mereka - bisa pemberi kerja, pegawai, atau konsumen - tetaplah untuk diri sendiri. Ekonom teori ‘public choice’ menerapkan asumsi yang sama bahwa walaupun individu-individu di arena politik memiliki kepedulian terhadap sesama orang, motif utama – bisa pemberi suara, politisi, pelobi, atau birokrat – adalah untuk diri sendiri. Teori tersebut bersifat skeptis terhadap pernyataan bahwa perilaku kerja pegawai pemerintah secara murni didorong oleh tugas dan pertimbangan atas kepentingan masyarakat, dan berargumen bahwa terdapat tujuan perilaku lain yang lebih kuat seperti ‘maksimasi anggaran’, ‘penyerapan anggaran’, dan ‘penghindaran risiko’. Kritikan terhadap model Webberian melahirkan tantangan bagi model pemerintahan terbaru yang disebut sebagai New Public Management (NPM). Model ini merupakan sintesa dari berbagai pendekatan: revitalisasi ekonomi neoklasik, new institutional economics, public choice, dan penggambaran model yang menyerupai sektor swasta. Reformasi terhadap model Webberian ini memperoleh daya dorong dari meningkatnya kesadaran terhadap potensi teknologi informasi dalam menunjang peningkatan efisiensi dan efektivitas kegiatan pelayanan publik. Terdapat tiga ciri utama dalam model NPM yaitu : 1) Disagregasi (pemecahan hirarki-hirarki sektor publik) Mengubah hirarki agar lebih datar (flat) yang diikuti dengan penyesuaian sistem informasi dan manajerial. Contoh diagregasi dalam hal ini adalah penghapusan dan pengalihan jabatan eselon III dan IV yang berorientasi fungsi dan bukan administrasi menjadi jabatan fungsional yang ditunjang oleh sistem informasi dan manajerial yang sepadan. 2) Kompetisi penyedia sumber daya internal
6
Menggantikan pengambilan keputusan berjenjang (hirarki) dengan diversifikasi sumber-sumber penyedia input dan input antara dalam proses internal organisasi dan persaingan yang sehat. Contohnya adalah dengan mengurangi rantai komando dan melakukan pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang bekerja berdasarkan merit system. Dengan penetapan target kinerja, akan terdapat beragam output dari para pejabat fungsional yang saling berkompetisi untuk memperoleh reward dari unit organisasi - baik sebagai tim maupun perseorangan. 3) Skema remunerasi Beralih ke sistem insentif kinerja yang spesifik dan berbasis remunerasi (diukur dengan uang atau ekivalen) sebagaimana telah dibuktikan efektivitasnya pada sistem insentif bagi para profesional di sektor swasta Agenda sosialisasi model NPM telah dilakukan sejauh ini dalam skema ‘policy transfer’ dan ‘policy learning’ melalui badan-badan dunia seperti IMF, World Bank, dan OECD. Beberapa negara maju khususnya negara-negara demokrasi Anglo-American (terutama Inggris, New Zealand, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia) telah memelopori penerapan model NPM. Di Inggris penerapan dimulai melalui jargon ‘joined up government’, yang diikuti oleh Amerika Serikat di era Clinton melalui jargon ‘reinvention of government’. New Zealand termasuk paling progresif saat ini dan telah menerapkan secara luas penggunaan kontrak sebagaimana lazimnya di sektor swasta untuk kesepakatan dua pihak antara badan-badan pemerintah, antara badan pemerintah dan penyedia swasta, di dalam badan pemerintah itu sendiri, dan dalam unsur ketenagakerjaan pegawainya. Di Indonesia sendiri penerapan model NPM sudah terdengar gaungnya melalui penerbitan UU ASN.
PERKEMBANGAN REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA Pasca runtuhnya era Orde Baru, dalam reformasi birokrasi Indonesia tahap pertama (2010-2014) Indonesia melakukan transisi dari model birokrasi 7
sebelumnya, suatu struktur birokrasi yang tampak seperti model Webberian, namun dalam penerapannya lebih dekat kepada model patronase yang sentralistis. Berbeda dengan era Orde Baru, dalam Orde Reformasi sistem birokrasi ditata kembali untuk menghilangkan model patronase antara lain melalui penyusunan tupoksi, indikator kinerja dan job grading. Langkah awal penataan birokrasi sejauh ini patut diapresiasi dan telah menunjukkan hasil dalam kestabilan struktur birokrasi. Beberapa sektor pemerintah (termasuk Kementerian Keuangan) telah berhasil menjadi pelopor reformasi birokrasi yang ditunjang oleh upaya keras pemberantasan korupsi tiada henti oleh KPK. Namun harus diakui di sebagian sektor pemerintah pusat dan daerah penegakan prinsipprinsip transparansi, stabilitas, dan predictability model Webberian dalam pengambilan kebijakan belum berjalan mulus. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model birokrasi kementerian dan lembaga pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan saat ini pada umumnya masih menganut prinsip-prinsip model Webberian sebagaimana diusung oleh UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Walaupun demikian terdapat lembaga pemerintah seperti Kementerian PPN/Bappenas yang sudah memelopori penerapan sebagian model NPM sejak tahun 2004 melalui penghapusan dan pengalihan jabatan eselon IV di kedeputian-kedeputian ke jabatan fungsional perencana (JFP). Unit kerja eselon IV kini hanya ditemui di Sekretariat Kementerian PPN/Sekretariat Utama Bappenas, Tata Usaha Kedeputian, dan Inspektorat. Melalui pengalihan ke jabatan fungsional tersebut Bappenas menargetkan terjadi peningkatan kemampuan profesional dan peningkatan kinerja khususnya para fungsional perencana di bidang perencanaan baik perencanaan makro, sektoral, dan regional pembangunan nasional. Upaya Bappenas tersebut selaras dengan wacana pengalihan jabatan eselon III dan IV ke jabatan fungsional yang telah disuarakan dalam berbagai kesempatan oleh Kemenpan-RB, dan juga UU ASN yang secara filosofis hanya mengenal eselonisasi hingga eselon II – eselonisasi yang diistilahkan sebagai jabatan pimpinan tinggi. Dalam UU ASN, jabatan yang berorientasi pada administrasi dimasukkan ke dalam jabatan 8
administrasi, sedangkan jabatan yang berorientasi pada fungsi dimasukkan ke dalam jabatan fungsional. Sementara itu Kementerian Keuangan baru mulai merintis melalui penerbitan PMK Nomor 27 tahun 2014 tentang Pedoman Pembentukan dan Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkungan Kementerian Keuangan yang berlaku efektif per 4 Februari 2014. Penerbitan PMK ini didasari atas tujuan untuk menyamakan persepsi mengenai jabatan fungsional bagi seluruh unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna melakukan revitalisasi jabatan fungsional di lingkungan Kementerian Keuangan. Upaya pengembangan dan revitalisasi jabatan fungsional mengandung implikasi antara lain perlunya rasionalisasi jabatan struktural dan jabatan fungsional, penyusunan jenjang karir kepegawaian, program diklat yang relevan dan terstruktur, job grading dan job pricing, penentuan orang yang tepat pada jabatannya, pengelolaan kinerja pegawai, penghargaan finansial dan non-finansial kepada pegawai, dan budaya kemitraan antara jabatan struktural dan jabatan fungsional berdasarkan kode etik yang berlaku. Upaya pengalihan jabatan struktural tertentu yang lebih berorientasi ke fungsi menjadi jabatan fungsional perlu dilakukan mengingat hal tersebut akan mendukung lima tema transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan, yakni 1. Memperkuat budaya akuntabilitas berorientasi outcome; 2. Merevisi model operasional, merampingkan proses bisnis, mempercepat digitalisasi pada skala besar; 3. Membuat struktur organisasi lebih “fit-for-purpose” dan efektif; 4. Menghargai kontribusi pegawai berprestasi dengan mengembangkan dan memberdayakan mereka untuk memperoleh dan membangun keahlian fungsional yang vital; 5. Menjadi lebih proaktif dalam mempengaruhi stakeholder untuk menghasilkan terobosan nasional.
9
Transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan itu sendiri merupakan amanat dari KMK Nomor 183 tahun 2013 tentang Kebijakan Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025. Dalam KMK tersebut dirumuskan bahwa strategi bidang organisasi dan tata kelola adalah mewujudkan transformasi pelaksanaan tugas dan fungsi unit organisasi melalui pengembangan jabatan fungsional dan penataan jabatan struktural dengan rincian strategi sebagai berikut:
-
-
-
Periode 2014-2019 Membentuk jabatan fungsional core business Kemenkeu; Monev jabatan fungsional; Penyempurnaan jabatan fungsional Kementerian Keuangan yang sudah ada; Penggunaan jabatan fungsional yang dikembangkan K/L lain; Memasukkan tusi jabatan fungsional ke dalam peraturan organisasi dan tata kerja Kementerian Keuangan; Pengembangan TIK untuk mendukung pengembangan jabatan fungsional.
-
-
Periode 2020-2025: Rasionalisasi jabatan struktural dan jabatan fungsional (right sizing); Sinergisitas antara jabatan struktural dan jabatan fungsional; Penyempurnaan jabatan fungsional Kementerian Keuangan yang sudah ada; Penggunaan jabatan fungsional yang dikembangkan K/L lain.
Sementara itu sebagai implementasi PMK Nomor 27 tahun 2014, Badan Kebijakan Fiskal yang saat ini telah memiliki jabatan fungsional peneliti juga telah mengusulkan jabatan fungsional baru yakni analis ekonomi. Sedangkan dari usulan seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan terdapat total dua puluh usulan jabatan fungsional baru. Sejauh ini Kemenpan-RB telah memfasilitasi kelahiran jabatan fungsional analis kebijakan melalui penerbitan landasan hukumnya. Jabatan fungsional analis 10
kebijakan telah memiliki landasan hukum dan pedoman teknis menurut Permenpan-RB Nomor 45 tahun 2013. Di samping itu instansi pembina jabatan fungsional analis kebijakan telah ditunjuk yakni Lembaga Administrasi Negara (LAN) berdasarkan Perpres nomor 57 tahun 2013. Di luar itu, terdapat beberapa jabatan fungsional lain yang bisa saja berada di unit-unit tertentu di BKF, walau nantinya menginduk ke unit pembina asal. Contohnya antara lain perencana, perancang peraturan undang-undang, analis kepegawaian, dan pranata komputer. Hal tersebut semestinya dimungkinkan karena UU ASN disusun bertujuan untuk menerapkan sistem manajemen pegawai yang berbasis jabatan - sebagai pengganti sistem manajemen pegawai berbasis karier menurut UU Pokok-Pokok Pegawai Nomor 8 tahun 1974 dan UU Nomor 43 tahun 1999. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, dalam perjalanan evolusi model birokrasi paling tidak terdapat tiga model yaitu 1) model patronase, 2) model Webberian, dan 3) model New Public Management (NPM). Perjalanan evolusi model birokrasi merupakan respon terhadap perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat dan dipacu oleh peristiwa yang mengubah tatanan ekonomi masyarakat secara fundamental, seperti revolusi industri, krisis ekonomi serta perkembangan teknologi telekomunikasi dan informasi. Berbagai teori ekonomi yang lahir memberikan penguatan terhadap evolusi ini. Model birokrasi pemerintah Indonesia termasuk Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal saat ini adalah dalam proses transisi dari model Webberian ke model New Public Management seiring dengan penerbitan UU Aparatur Sipil Negara Nomor 5 tahun 2014. Kementerian Keuangan telah mengumpulkan duapuluh calon jabatan fungsional baru termasuk analis ekonomi yang diusulkan oleh Badan Kebijakan Fiskal. Selain jabatan fungsional peneliti yang sudah terlebih dulu ada di BKF, direkomendasikan untuk mengisi BKF dengan jabatan fungsional inti BKF seperti analis kebijakan dan analis ekonomi. Selanjutnya rekomendasi tersebut juga dapat diterapkan untuk jabatan fungsional di luar inti BKF mengingat UU ASN bertujuan untuk menerapkan sistem manajemen pegawai yang berbasis jabatan dan bukan lagi sistem manajemen pegawai berbasis karier. Hal-hal tersebut diharapkan akan mengukuhkan BKF dan Kementerian Keuangan sebagai pelopor reformasi birokrasi guna menuju tata 11
kelola pemerintahan Indonesia ke depan yang semakin efektif, efisien, maju dan modern.
12
REFERENSI
S. Goldfinch, J. Wallis. International Handbook of Public Management Reform. Edward Elgar Publishing. 2009 J.S. Shaw. Public Choice Theory, dalam The Concice Encyclopedia of Economics. Library of Economics and Liberty. C. Winston. Government Failure versus Market Failure: Microeconomics Policy Research and Government Performance. AEI-Brookings Joint Center For Regulatory Studies. 2006. Kementerian Keuangan. Cetak Biru Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan 2014-2025 Naskah Akademik Rancangan UU ASN. Peraturan perundang-undangan yang relevan.
13