JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PERILAKU Aldrin Watson Gainau* *Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UNCEN Kampus Baru Uncen-Waena, Jayapura
Abstract : This article is the author thoughts about bureaucratic reform in Indonesia in behavioral perspective. Conceptual background of writing this article is because these days many of us encounter problems apparatus unfavorable behavior, although Indonesia has happened Bureaucratic reform but not completely good behavior. The discussion in this article consists of bureaucratic reform, bureaucratic behavior, problem behaviors bureaucrats, bureaucratic reform and a solution to the problem solving behavior of bureaucrats in Indonesia. The focus of the discussion in this article is the behavior of bureaucrats in Indonesia, which has not shown the behavior of bureaucrats who give priority to service and performance. But instead more on enriching them selves. Therefore Bureaucracy in Indonesia needs total reform in order to achieve a well-ordered government to support public services.
Abstrak : Artikel ini adalah hasil pemikiran penulis tentang reformasi birokrasi di Indonesia dalam perspektif perilaku. Latar belakang pemikiran penulisan artikel ini adalah karena akhir-akhir ini banyak kita temui persoalan perilaku aparatur yang kurang baik, meskipun Indonesia sudah terjadi reformasi namun perilaku Birokrasi belum seutuhnya baik. Pembahasan dalam artikel ini terdiri dari reformasi birokrasi, perilaku birokrasi, problem perilaku birokrat, reformasi birokrasi dan solusi pemecahan terhadap permasalahan perilaku birokrat di Indonesia. Fokus pembahasan dalam artikel ini adalah perilaku birokrat di Indonesia yang belum menunjukan perilaku birokrat yang mengutamakan pelayanan dan kinerja. Tetapi sebaliknya lebih pada memperkaya diri. Oleh karena Birokrasi di Indonesia perlu di reformasi secara total demi tercapanya pemerintahan yang tertata dengan baik sehingga menunjang pelayanan publik. Keywords : Reformasi, Birokrasi, Perilaku Masalah yang terjadi di dunia birokrasi bukanlah hal yang baru bahkan tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju, bahkan Amerika, Jepang dan Cina juga mengalami hal yang sama terkait dengan persoalan birokrasi tetapi yang perlu dilihat adalah bagaimana dari berbagai negara yang mengalami persoalan ini telah menunjukkan hasil maksimal dari keberhasilan reformasi birokrasi yang dilakukan di negara masing-masing. Persoalan birokrasi sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk diselesaikan karena terkait dengan aspek politik, hukum, ekonomi dan sosial. Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini banyak kita temui persoalan perilaku aparatur yang kurang baik, sebut saja kasus Mafia Hukum, Mafia Peradilan, kisruh antara KPK dan POLRI dan masih banyak lagi kasus-kasus mafia yang belum terpecahkan dan yang terbaru adalah kisruh korupsi dana APBN pembangunan Wisma Atlet (Hambalang) yang melibatkan beberapa petinggi salah satu partai politik. Persoalan ini tambah menarik tatkala di berbagai bidang
mulai memfokuskan pembicaraannya tentang birokrasi. Mungkin masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu saat para tokoh lintas agama mengeluarkan sebuah rekomendasi atas apa yang dikerjakan pemerintahan saat ini. Hasil pertemuan tokoh lintas agama tersebut kemudian berujung pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut menghasilkan 18 poin yang pada salah satu poin menyebutkan terkait kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga hal ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar pertemuan dengan para tokoh lintas agama tersebut1. Dalam perspektif keilmuan Administrasi Publik terlihat jelas dari rekomendasi yang diberikan oleh para tokoh lintas agama akan adanya kesenjangan antara perilaku birokrasi di negara ini yang masih jauh dengan kinerja yang diharapkan. Persoalan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem 1 Untuk hasil Pertemuan Presiden dengan Tokoh Lintas Agama Baca Kompas Edisi 18, 19 Januari 2011
11
Gainau – Reformasi Birokrasi Perspektif Perilaku
dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kepemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk tapi kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya. Persoalannya ini serupa dengan apa yang di sampaikan oleh Warsito terkait dengan sepuluh persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya sebagai berikut : Prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit; Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Kurang responsif dan akomodatif terhadap tuntutan masyarakat; Kurang informatif dan kurang konsisten dalam kebijakan dan prosedur pelayanan; Terbatasnya fasilitas, sarana, prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan; Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya; Masih banyak dijumpai praktek pungutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN; Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan; Struktur dan kultur birokrasi pemerintah yang mengabaikan prinsip-prinsip good governance ; dan Struktur organisasi pemerintah yang belum mengindahkan azas “Hemat Struktur Kaya Fungsi”.2 Pemerintah dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik di Indonesia pada tahun 2009 telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung berbagai program prioritas dalam rangka reformasi birokrasi sebesar Rp 774 M dan meningkat menjadi Rp 161,7 T ditahun 2010 (aparaturnegara.bappenas.go.id) diharapkan mampu mengangkat keterpurukan praktek penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan 2 Prof. Warsito Utomo Bahan Kuliah Globalisasi dan Otonomi Daerah
tata kepemerintahan yang baik dan bersih guna mewujudkan harapan dan cita-cita seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Konsep birokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan muncul pada abad 19 melalui tulisan Mosca yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1895 yang mencoba mengklasifikasikan sistem pemerintahan menjadi dua tipe yaitu feodal dan birokratis (Blau & Meyer, 1987). Konsep birokrasi juga lahir dari pemikiran Max Weber yang dikenal dengan tipe ideal birokrasi atau yang sering dikenal juga dengan istilah birokrasi Weberian. Max Weber, seorang sosiolog Jerman yang kenamaan awal abad-19 menulis karya yang sangat terkenal berpengaruh di negara-negara yang berbahasa Inggris dan negara-negara daratan Eropa. Karya itu sampai sekarang dikenal dengan konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan (Blau & Meyer, 1987; Albrow, 1996; Thoha,2005). Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia, meskipun reformasi dalam skala lumayan telah berlangsung di negara-negara yang paling parah terpukul oleh krisis finansial tahun 1997. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina, Vietnam dan India. Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tidak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat (Jurnal Transparansi, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Edisi 18 Maret 2000). Perlunya reformasi birokrasi memang telah disadari sejak awal pembentukannya. Kesadaran itu didasarkan pada kenyataan bahwa 12
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
birokrasi yang diwariskan oleh pemerintah sebelumnya sangat tidak efisien dan efektif. Struktur organisasi pemerintah yang gemuk, dengan pembagian tugas yang tumpang tindih, telah menyebabkan panjangnya mata rantai proses penyampaian pelayanan kepada masyarakat yang membuka peluang terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kondisi itu diperburuk oleh kenyataan bahwa penghasilan aparat yang rendah mendorong mereka untuk memanfaatkan segala peluang yang ada, guna mendapatkan tambahan penghasilan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Lemahnya bargaining positions masyarakat serta kentalnya budaya birokrasi yang bersifat patrilineal yang sangat prosedural yang selama ini dirasakan sangat menghambat proses pelayanan publik serta tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem hubungan kerja antara pejabat politik, pejabat negara dan pejabat karier birokrasi di Indonesia merupakan salah satu kendala yang turut mempengaruhi kualitas serta eksistensi birokrasi di Indonesia. Peraturan perundangundangan yang diharapkan dapat mengatur penyelenggaraan birokrasi di Indonesia terbentur dengan berbagai kepentingan elit-elit politik, pejabat negara, elit-elit birokrat bahkan economic society (pengusaha). Kegagalan penyelenggaraan pemerintahan oleh aparat birokrasi turut dipengaruhi oleh perilaku birokrat itu dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat. Banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan anggaran publik, tingginya angka kemiskinan masyarakat di Indonesia di era demokrasi ini diakibatkan pula oleh rendahnya kualitas integritas diri seorang aparat birokrasi yang diperhadapkan antara kebutuhan atau kepentingan individu, keluarga, kelompok dengan tujuan organisasi. Ketidakjelasan batasan, hubungan, hak, wewenang dan tanggung jawab antara birokrasi dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik turut menambah ranking parahnya praktek penyelenggaraan pemerintahan atau birokrasi di Indonesia. Persoalan ini kemudian kiranya bagi penulis menjadi alasan penting kenapa reformasi birokrasi dilaksanakan. Alasan ini pula yang kiranya digunakan untuk meletakkan akar reformasi di tahun 1998 di bangsa ini tetapi kiranya perjalanan reformasi khususnya untuk birokrasi masih belum terasa, bahkan ada yang mengatakan berjalan ditempat jika dibanding-
kan dengan reformasi politik. Senada dengan pernyataan tersebut pandangan Miftah Thoha terkait pelaksanaan reformasi di bangsa ini yang lebih mengedepandakan reformasi politik dari pada reformasi birokrasi dimana pandangan beliau bahwa selama 10 tahun terakhir ini kita merasakan kemajuan reformasi di bidang politik dan ekonomi, Di bidang politik demokrasi semakin berkembang baik, kebebasan berpolitik dan perbedaan pendapat dijamin sangat baik. Akan tetapi kehidupan birokrasi menunjukkan kurva terbalik, hal ini bisa dilihat dari dua indikator Indeks Persepsi Korupsi dan Indeks kemudahan pelayanan usaha3. Namun bagaimanapun pandangan tentang birokrasi, dalam prakteknya di dunia empirik, image negatif terhadap birokrasi cenderung lebih berkembang, sehingga istilah birokrasi menjadi suatu stigma terhadap perilaku administrasi pemerintahan yang berbelit-belit. Bahkan dari permasalahan inilah bermunculan berbagai upaya-upaya konseptual untuk melakukan perbaikan citra birokrasi melalui gerakan reformasi birokrasi bahkan berangkat dari berbagai persoalan diatas yang mendasari penulis untuk tertarik mengulas bagaimana pelaksanaan reformasi birokrasi dalam perspektif perilaku birokrasi di Indonesia mengingat kompleksitas persoalan birokrasi di Indonesia dalam posisi kekuasaannya sebagai penggerak kehidupan bernegara. Dengan maksud memberikan sebuah masukan konseptual guna perbaikan citra birokrasi kedepannya. REFORMASI BIROKRASI Di Indonesia reformasi birokrasi merupakan bagian dari tuntutan reformasi secara total yang meliputi aspek politik, ekonomi, hukum dan sosial. Reformasi birokrasi sendiri menurut Khan (1981) dalam bukunya Warsito Utomo mendefinisikan reformasi sebagai suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Selain itu ditambahkan pula oleh Quah (1976) bahwa reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.4 3 Prof. Miftah Thoha, Bahan Presentase pada Stadium General di Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara UGM 4 Prof. Warsito Utomo, Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi
13
Gainau – Reformasi Birokrasi Perspektif Perilaku
Dari kedua defenisi yang penulis kutip diatas tergambar jelas bagaimana reformasi birokrasi itu sendiri sebenarnya menekankan tentang perubahan perilaku atau kebiasaankebiasaan lama dari aparatur pemerintahan. Selain itu reformasi birokrasi juga memberikan perubahan perilaku kepada para aparatur pemerintahan itu sendiri. Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan bagian dari reformasi administrasi negara. Hal ini bila dilihat dari pemahaman bahwa birokrasi merupakan salah satu unsur administrasi negara yang menjalankan fungsifungsi pemerintahan berupa pelayanan publik, sehubungan dengan hal tersebut maka sebenarnya reformasi administrasi negara termasuk didalamnya reformasi birokrasi pemerintahan. Reformasi birokrasi itu sendiri bukanlah merupakan hal baru di Indonesia karena sudah terjadi ketika adanya peralihan kekuasaan dari era orde lama ke orde baru. Tetapi yang perlu ditekankan dalam penulisan ini adalah semangat reformasi yang bersumbu pada reformasi 1998 yang mencoba memberikan perbaikan terhadap sistem pemerintahan sebelumnya yang telah berkuasa hampir 32 tahun lebih. Bahkan dimasa kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengidap virus Parkinson dan Proliferasi dimana dibuat dengan tujuan agar memperkuat kekuasaan yang sedang berlangsung. 5 Dalam usaha untuk merespon tuntutan masyarakat terhadap perlunya reformasi birokrasi di Indonesia, beberapa upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam sistem birokrasi di Indonesia tidak bisa diabaikan, salah satu diantaranya adalah dihapuskannya satu warna kepatuhan birokrasi terhadap satu partai tertentu. Bahkan sekarang kita dapat mendengar istilah netralitas birokrasi dalam partisipasi politik. Ini merupakan sebuah dampak dari pelaksanaan birokrasi itu sendiri. Tetapi pada kenyataannya perubahan yang dilakukan dapat dikatakan kurang atau bahkan tidak berpengaruh terhadap image negatif birokrasi itu sendiri terutama jika dikaitkan dengan masalah budaya kerja birokrasi yang cenderung korup (KKN). Bahkan disalah satu media cetak Nasional (kompas) mengatakan bahwa dari 33 gubernur 17 diantaranya Publik. Cet. II 2007 Pustaka Pelajar dan Program Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta hal 59 5 Miftah Thoha. Birokrasi Pemerintaha Indonesia di Era Reformasi. Cet kedua Kencara Prenada media Group Jakarta 2009
tersangkut perkara sehingga harus dinonaktifkan dari jabatannya.6 Dari data diatas menunjukkan bahwa dengan adanya konsep desentralisasi yang merupakan bagian dari agenda reformasi itu sendiri juga belum memberikan hasil memuaskan dari sisi reformasi birokrasi di daerah. Bahkan terkesan memberikan peluang untuk menjadi raja-raja kecil di daerah-daerah pemekaran. Selain itu alasan utama dimekarkannya daerah salah satu sebabnya yaitu mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat tetapi pada kenyataannya masyarakat kurang merasakan pelayanan tersebut masih saja dengan pola-pola lama yang berbelit-belit. PROBLEM PERILAKU BIROKRAT Orientasi reformasi yang lebih mengarah pada perubahan dalam birokrasi ini bukanlah hanya merupakan tuntutan yang tanpa alasan, melainkan karena adanya beberapa permasalahan yang selama ini membelenggu birokrasi pada umumnya. Permasalahan yang terjadi dalam perilaku birokrasi sering kali menjadi dasar permasalahan yang muncul dikalangan birokrasi. Masalah perilaku ini juga tidak sebatas dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri tetapi juga karena adanya pengaruh eksternal yaitu adanya intervensi dari partai politik terhadap aparat birokrasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Miftah Thoha bahwa terkait netralitas aparatur birokrasi tidak sepenuhnya terjadi karena adanya intervensi dari partai politik7. Persoalan mendasar yang terjadi sehingga terjadi perilaku menyimpang oleh aparatur birokrasi bukan pada pertentangan tujuan melainkan masalah pengetahuan yang tidak sempurna. Sebagaimana yang dijelaskan bahwa organisasi administratif adalah sistem-sistem perilaku kerjasama anggota-anggota organisasi diharapkan menyesuaikan perilaku mereka dengan mengingat tujuan-tujuan tertentu yang dianggkat sebagai tujuan-tujuan organisasional. 8 Maka tinggallah masalah mengkoordinasikan perilaku mereka, serta memberikan informasi kepada semua aparaturnya terkait pengetahuan tentang perilaku yang dijadikan 6 Kompas Edisi 18 Januari 2011 (Satu Tersangka Setiap Pekan) 7 Prof. Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Cet keempat. Kencara Prenada media Group Jakarta 2010 8 Herbert A. Simon Administrative Behavior (Perilaku Administrasi) Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Cet kelima. Bumi Aksara, Jakarta 2007 hal 131.
14
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
keputusan. Kemudian ditambah oleh Miftah Thoha terkait perilaku organisasi adalah sebagai fungsi dari interaksi antara person atau individu dengan lingkungannya9. Karena dalam pemahamannya setiap individu memiliki perbedaan perilaku yang disesuaikan dengan lingkungan organisasinya masing-masing bahkan kemungkinan individu membawa karakteristik tersebut manakala ia akan memasuki suatu lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya. Bahkan persoalan empirik terkait perilaku aparatur birokrasi di Indonesia saat ini menjadi catatan merah yang perlu diperbaiki, dari sekian data KKN, Prosedur dan Mekanisme Kerja yang berbelit-belit, kaya struktur tetapi miskin fungsi kesemuanya merupakan persoalan perilaku aparatur didalamnya. Pada tataran tertentu, permasalahan-permmasalahan tersebut bisa terjadi secara parsial yang terfragmentasikan pada masing-masing kondisi. Tetapi pada tataran atau kondisi lainnya bisa pula terjadi secara bersamaan. Dan pada masa desentralisasi ini pun persoalan tersebut semakin terfragmentasikan kedalam satu kondisi dimana terlihat dari kepemimpinannya. Mungkin tidak semua dari persoalan kepemimpinan ini memberikan dampak negatif tetapi setidaknya kita dapat berkaca pada pola kepemimpinan di kabupaten Jembrana dan Sragen yang memiliki kepala daerah yang memiliki political will (keinginan politik) untuk merubah wajah birokrasi dari sini terlihat bahwa bagaimana suatu kepemimpinan merupakan cerminan dari perilaku aparatur birokrasi dibawahnya. REFORMASI BIROKRASI OTONOMI DAERAH
DALAM
Hasil survei dari berbagai kalangan menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 masih belum dapat menunjukkan hasil berupa peningkatan pelayanan publik yang memuaskan. Hasil penelitian PSKK-UGM pada tahun 2002 terhadap 150 kabupaten/kota di Indonesia dimana penilaian publik terhadap kualitas pelayanan publik di era otonomi daerah mayoritas masih sama saja bahkan ada yang mengatakan lebih buruk (Dwiyanto, dkk., 2003). Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa peningkatan pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu beriringan dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini dikarenakan beberapa 9 Prof. Miftah Thoha Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers Jakarta 2009 hal 33
hal, antara lain pemerintah daerah belum mampu mewujudkan prinsip keadilan dan persamaan perlakuan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, masih rendahnya tingkat responsivitas, tingkat efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah, dilihat dari segi waktu dan biaya, dan masih adanya budaya rente dalam birokrasi (Dwiyanto, dkk., 2003:81-103). Selain itu juga, rendahnya kualitas pelayanan publik diera otonomi daerah turut dipengaruhi oleh pola perilaku pemerintah daerah yang diberikan kewenangan secara penuh dalam menyelenggarakan birokrasi. Lahirnya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah, menunjukkan bahwa kedudukan pemerintah daerah sangat ”powerfull” dan hampirhampir tanpa kontrol baik dari pemerintah provinsi maupun pusat dalam menyelenggarakan otonominya. Sementara rakyat di daerah juga belum bisa optimal melakukan peranannya dalam mekanisme chek and balance. Dalam perkembangan otonomi daerah di Indonesia, berbagai kasus penyelewengan dan pelanggaran acap kali mewarnai bingkai birokrasi Indonesia. Eufhoria politik lokal justru dinilai sebagai faktor yang menghambat terwujudnya semangat reformasi birokrasi yang mendambakan profesionalisme dan netralitas birokrasi. Dinamika politik lokal di era otonomi daerah menjadi tidak terarah tanpa adanya komitmen yang kuat dari para elit pemerintahan (eksekutif dan DPRD) untuk menjalankan otonomi daerah yang luas ini sebagai suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat di daerah, bukan sebaliknya justru digunakan untuk mengabdi kepada kepentingan politik pejabat. Tingginya tingkat intervensi pejabat politik yang dipercayakan untuk memimpin birokrasi sebagai kepala daerah justru semakin memperkeruh dan mengokohkan predikat buruknya birokrasi di Indonesia di mata dunia. Hadirnya partai politik dalam suatu sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap tatanan birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah akan terdiri dari jabatan-jabatan yang diisi oleh para birokrat karier, dan ada pula yang diisi oleh para pejabat politik. Kehadiran pejabat politik yang berasal dari kekuatan politik atau partai politik dalam birokrasi pemerintah tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, penataan birokrasi pemerintah dengan mengakomodasikan hadir15
Gainau – Reformasi Birokrasi Perspektif Perilaku
nya jabatan-jabatan dan para pejabat politik perlu ditata dengan baik (Thoha, 2005:151). Dengan mengutip pendapat Carino (1994), lebih jauh Thoha menguraikan bahwa hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi. Lebih jauh Thoha (2008:11-12), menambahkan bahwa gerakan reformasi birokrasi itu belum menghinggapi atmosfer pemerintahan zaman reformasi sekarang. Gegap gempitanya gerakan reformasi birokrasi tidak sedahsyat gerakan antikorupsi. Padahal korupsi itu terjadi karena lembaga birokrasinya yang kuat dan kebesaran ini. Sistem politik yang berubah dari zaman pemerintahan orde baru menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-orang parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara dan jabatan birokrasi karier pemerintah. PERILAKU BIROKRASI Reformasi birokrasi pemerintahan di Indonesia harus pula dilakukan dari merubah perilaku individu di dalam birokrasi maupun perilaku kelompok di dalam birokrasi selain perbaikan dari sisi aturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling mematahkan. Merubah perilaku birokrat di Indonesia memang tidaklah mudah mengingat hal ini akan dibenturkan pada kepentingan-kepentingan para birokrat itu sendiri maupun kepentingankepentingan politik. Namun haruslah diingat bahwa selain kepentingan dan tujuan yang dibawa seseorang atau individu saat memasuki lingkungan birokrasi berupa kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya yang juga disebut sebagai karakteristik yang dipunyai individu di dalam organisasi, terdapat karakteristik organisasi pula. Karakteristik organisasi ini antaranya keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hierarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian, sistem pengendalian dan lain sebagainya (Thoha, 2008:34).
Tingginya angka penyalahgunaan kewenangan birokrasi di Indonesia turut pula dipengaruhi oleh benturan antara karakteristik individu dan karakteristik organisasi yang tidak seimbang yang turut dipengaruhi oleh kultur organisasi. Birokrasi menjadi lembaga yang sangat berkuasa, mempunyai kemampuan untuk berbuat kebaikan atau keburukan, karena birokrasi adalah sarana administrasi rasional yang netral dalam skala yang besar (Blau dan Myer, 1987:5). Dalam prakteknya, konotasi birokrasi yang berkembang justru sebagai lembaga negara yang inefisiensi dan tidak profesional. Pemikiran ini dimunculkan oleh para teoritisi manajemen yang memandang birokrasi identik dengan peraturan yang kaku. Albrow (1996:85-86), mengatakan beberapa gejala birokrasi seperti: terlalu percaya kepada preseden, kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha dan departementalisme. Selain itu kritik terhadap birokrasi berkenaan dengan formalisme datang dari Merton dan kawan-kawan (1952:365) yang menyatakan “ adherence to the rules, originally conceived as a means, becomes transformed into an end-it-self,…”. Dalam pelaksanaannya, birokrasi cenderung lebih mengutamakan prosedur ketimbang tujuan yang ingin dicapai melalui prosedur tersebut. Sisi lain kelemahan birokrasi adalah sangat dominannya pandangan kesektoran sehingga banyak kalangan menamakan gejala ego-sektor yang berlebihan, menenggelamkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Kritikan-kritikan tersebut muncul karena birokrasi lebih sering menunjukkan hal-hal yang bertentangan dengan konsep idealnya. Mindset lama dalam birokrasi yang memandang kekuasaan adalah segalanya, mengakibatkan birokrasi selalu mengabdi pada atasan dan mengabaikan kepentingan publik yang seharusnya dilayaninya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, dimana masyarakatnya masih menyakralkan kekuasaan yang mewujud dalam jabatan birokrasi pemerintah (Thoha, 2005:5). Kegagalan birokrasi juga terjadi karena masih adanya kasus KKN, patologi birokrasi serta upaya-upaya politisasi birokrasi yang didukung juga oleh SDM birokrasi yang masih rendah (Dwiyanto, dkk, 2006). Akibatnya kekuasaan birokrasi menjadi semakin besar tanpa ada yang mengontrol, sehingga rawan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
16
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
Semua hal yang terkait dengan penyimpangan perilaku birokrasi tersebut mengarah pada suatu konsep “organizational culture” yang dipahami sebagai suatu pola interaksi sehari-hari yang didasari oleh serangkaian sistem nilai, asumsi dan keyakinan yang telah melekat dan diterima-baik nilai-nilai formal maupun informal-sebagai sesuatu yang sudah semestinya (benar) dan menjadi dasar dari perilaku yang diharapkan dalam organisasi (Schein, 1985 dalam Dunsire, 1995:25-25). Dalam konteks ekologi organisasi, sisi informal ini dapat dilihat dari perilaku, dan proses-proses dalam organisasi seperti kemauan pejabat, pola komunikasi dan cara-cara mengambil keputusan yang bersifat personal hingga yang sistemik seperti pola rekruitmen, sistem kompensasi dan lain sebagainya yang jika dijalankan secara konsisten akan menjadi budaya organisasi. Budaya organisasi juga dapat dibentuk oleh faktor historical background, hal ini bisa dilihat dari dinamika regulasi, struktur organisasi dan strategi-strategi yang ditempuh guna menghadapi setiap persoalan dan tugas-tugas organisasional (Frost, et.al.1985:34). Kultur organisasi berfungsi sebagai mekanisme pengontrol yang secara informal mendorong atau menghalangi perilaku individu dalam organisasi (Steven J. Ott, 1989). Sistem nilai tersebut sulit untuk dirubah terutama jika nilai-nilai tersebut merupakan “hidden values”. Sistem nilai yang terkandung dalam hidden value tersebut justru merupakan inti dari kultur organisasi yang sesungguhnya (Schein, 1987). Terkait dengan perilaku birokrasi yang cenderung selalu menyimpang dari nilai-nilai normatif, sebenarnya tidak lain karena adanya sistem nilai informal (hidden values) yang lebih kuat daripada nilai normatif. Seperti nilai-nilai normatif administrasi negara tradisional yang antara lain meliputi: public provision of a function is more equitable, reliable, and democratically accountable than provision by a commercial or charitable body; where a ministry or other public body provides a service, it is provided uniformly to everyone within its jurisdiction; operations are controlled by a hierarchy of continuous supervision; employment practices including promotions, grading salary scales, and retirement are standardized throughout the public service; dan accountability of public servants to the public is via elected body (Stewart dan Walsh, 1992:509 dalam Dunsire, 1995:27-28).
Dalam memotret fenomena kegagalan birokrasi, William Niskanen (dalam Pollit, Birchall dan Putman, 1998:18) dengan pendekatan “rational choice”nya terhadap perilaku birokrasi, mengidentifikasi pola-pola perilaku birokrasi sebagai “budget maximisers”. Selain itu ia juga mencatat sejumlah fenomena dimana perilaku birokrasi umumnya kurang memperhatikan tuntutan efisiensi, karena mereka tidak harus berkompetisi dengan instansi/lembaga lain. Di sisi lain, Niskanen juga mengatakan adanya nilai positif dari kedua perilaku birokrat tersebut, yakni bahwa birokrat cenderung memberikan pelayanan yang oversupply kepada mas-yarakat dengan biaya tinggi, tidak menghiraukan prinsip efisiensi namun sangat efektif dalam memberikan pelayanan dan kenyamanan kepada masyarakat. Dalam hal ini birokrasi terkesan berlebihan dalam memberikan nilai tambah pelayanan dari apa yang diharapkan masyarakat. Jika selalu demikian kenyataannya, maka inefisiensi demi efektivitas tidak merugikan masyarakat justru sebaliknya memberi keuntungan. Namun apa yang terjadi tidak selalu demikian, pada umumnya inefisiensi birokrasi yang terjadi tidak memberi nilai tambah bagi pelayanan publik melainkan hanya menguntungkan birokrasi itu sendiri. Sofian Effendi (2010:57), mengatakan bahwa budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan hidup matinya sebuah organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Lebih lanjut Effendi menegaskan sebaliknya, birokrasi pemerintah kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organisasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian, bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah. Budaya organisasi yang terbangun akan berpengaruh pada perilaku organisasi. Perilaku di dalam organisasi pun tidak luput dari andil gaya kepemimpinan seseorang. Sebagai seorang pemimpin, apakah mampu menciptakan situasi yang efektif dan menyenangkan ataukah 17
Gainau – Reformasi Birokrasi Perspektif Perilaku
sebaliknya. Ada tiga situasi yang dapat mempengaruhi efektifitas kepemimpinan yaitu hubungan pimpinan anggota, derajat susunan tugas dan kedudukan kekuasaan pimpinan atau rumusan Fiedler (dalam Thoha, 2007:38), pertama, Hubungan pemimpin-anggota, merupakan variabel yang paling penting di dalam menentukan situasi yang menyenangkan tersebut; kedua, Derajat dari struktur tugas, merupakan masukan yang amat penting kedua, dalam menentukan situasi yang menyenangkan; dan ketiga, Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal, merupakan dimensi yang amat penting ketiga di dalam situasi yang menyenangkan. Situasi yang menyenangkan atau menguntungkan bagi pemimpin ditandai adanya hubungan baik antara pemimpin dengan bawahan, pemimpin dapat diterima bawahan, begitu pula sebaliknya, terjalin hubungan serasi antara kedua belah pihak, terbina suasana persahabatan, tiada pertikaian, setiap perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan memuaskan kedua belah pihak, tugas-tugas yang harus diselesaikan bawahan tersusun dengan jelas, tiap-tiap orang memiliki perincian tugas dengan jelas, wewenang dan tanggung jawab masingmasing tegas, tidak terjadi saling melempar tanggung jawab. Kedudukan kekuasaan formal pemimpin tegas dan kuat sehingga memudahkan usaha mempengaruhi bawahan. Sebaliknya, situasi yang tidak menguntungkan bagi pemimpin ditandai dengan adanya hubungan yang renggang antara pemimpin dengan bawahan. Pemimpin ditolak oleh bawahan, demikian pula sebaliknya, selalu timbul pertentangan antara kedua belah pihak, perbedaan berlarut-larut tanpa penyelesaian, tugas-tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahan tidak jelas, tidak ada kepastian tugas, wewenang dan tanggung jawab kabur, mudah saling lempar tanggung jawab, kadang-kadang saling merebut wewenang, kedudukan kekuasaan formal pemimpin tidak tegas dan lemah sehingga menyulitkan pemimpin untuk mempengaruhi bawahan. Memperkuat pendapat diatas selanjutnya Fiedler (dalam Thoha, 2007:41), menambahkan bahwa dalam situasi yang sangat menyenangkan dan sangat tidak menyenangkan, maka gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau yang hard nosed adalah sangat efektif. Dan ketika situasinya di tengah-tengah atau moderat antara menyenangkan dan tidak menyenangkan maka gaya kepemimpinan yang menekankan
pada hubungan kemanusiaan atau yang lunak (lenient) sangat efektif. SOLUSI PEMECAHAN Dari berbagai permasalahan tentang pelaksanaan reformasi birokrasi terutama yang dilihat dari sisi perilaku aparaturnya merupakan sebuah permasalahan yang kompleks terlebih lagi merupakan kumpulan dari berbagai permasalahan yang kumpulkan untuk dijadikan satu kata artinya bahwa berbagai persoalan didalam organisasi birokrasi dapat disatukan menjadi persoalan perilaku yang mengakibatkan berdampak pada KKN dan lain sebagainya. Pada umumnya disepakati bahwa birokrasi harus direformasi, tapi bagaimana cara mereformasinya merupakan pertanyaan yang belum terjawab karena berbagai macam pandangan yang pada akhirnya belum memiliki satu kesepakatan yang bulat untuk dijalankan. Namun bagi penulis bahwa yang terpenting saat ini adalah adanya keinginan atau kemauan dari pimpinan nasional, karena ini merupakan modal utama yang perlu didukung oleh konsep yang jelas dan konkrit. Kepemimpinan yang kuat (strong leadership) merupakan salah satu faktor kuat yang dapat memecahkan masalah birokrasi di Indonesia. Jika meminjam bahasanya Yeremias T. Keban (2008) bahwa membangun manusia birokrasi merupakan aspek pertama yang harus dibenahi adalah kualitas kepemimpinan birokrasi. Aspek ini harus dibenahi melalui leadership development.10 Bahkan beliau juga menambahkan bahwa pemimpin birokrasi dan manajer disemua tingkatan birokrasi harus membangun dan memelihara trust dari masyarakat. Bahkan dalam kehidupan bernegara trust memang sangat dibutuhkan untuk membangun solidaritas. Bahkan telah terbukti bahwa trust terhadap pemimpin sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi. Aspek-aspek yang perlu diubah memang terbilang kompleks tetapi yang menjadi perhatian penulis disini terkait dua hal penting yaitu pertama memberikan dorongan yang kuat bila perlu dalam bentuk dorongan politik terhadap leadership development dalam memperbaiki perilaku aparatur tersebut. Asumsi ini beralasan dari keberhasilan beberapa daerah otonomi (provinsi, kabupaten/kota) dalam mengelola manajemen birokrasinya sebagai10 Yeremias T Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu edisi kedua Gava Media Yogyakarta 2008
18
JURNAL ILMU SOSIAL, Vol. 11, No. 1, April 2013
mana yang ditunjukkan oleh Gorontalo, Jembrana, Sragen, Solok maupun Sarmi. Kesemuanya ini berawal dari political will pemimpin daerahnya. Jika semangat ini kita angkat pada level yang lebih tinggi dan kita berikan dorongan sepenuhnya maka pada asumsinya keberhasilan yang serupa akan kita raih. Dan yang kedua yaitu melakukan penyatuan sistem koordinasi terkait manajemen aparatur pemerintah (PNS). Tiga lembaga tersebut yaitu Menpan, LAN dan BKN. Alasan terkait dengan koordinasi ketiga lembaga tersebut dikarenakan dari ketiga lembaga ini memiliki objek yang sama yaitu aparatur pemerintah, sehingga dinilai penting untuk mengatur koordinasi diantara ketiga lembaga tersebut guna menghindari terjadinya tumpang tindih kebijakan dalam menyelesaikan kompleksitas birokrasi di Indonesia. PENUTUP Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsipprinsip good governance. Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi KKN sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services disebut governance (tata pemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut good governance (tata pemerintahan yang baik). Agar good governance menjadi kenyataan dan sukses dibutuhkan komitmen dari semua pihak baik dari pihak pemerintah dan masyarakat. .
Good governance yang efektif menuntut adanya “alignment” (koordinasi) yang baik dan integritas profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara membutuhkan kebijakan yang komprehensif dan integral dari berbagai macam aspek, baik aspek ekonomi, sosial budaya, administrasi, politik, hukum, keamanan dan sebagainya. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka itu, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih, dan bertanggung jawab serta bebas dari KKN. Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas institusi parlemen, serta tersedianya akses yang sama dalam hal informasi bagi masyarakat luas. Tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan isu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahanperubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bermartabat
DARTAR PUSTAKA Albrow, M., 1996, Birokrasi (Terjemahan), Tiara Wacaya, Yogyakarta. Blau, Peter M., & Meyer, Marshall W., 1987, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern (Terjemahan), UI-Press, Jakarta. Dunsire Andrew, 1995, Administrative Theory in The 1980s: Aviewpoint, Public Administration, Volume 73, Spring, 17-40. Dwiyanto Agus, dkk., 2003, Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta.
19
Gainau – Reformasi Birokrasi Perspektif Perilaku
--------------------------., (Editor), 2006, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gama Press, Yogjakarta. Effendi Sofian, 2010, Reformasi Tata Kepemerintahan: Menyiapkan Aparatur Negara Untuk Mendukung Demokratisasi Politik Dan Ekonomi Terbuka, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Simon, Herbert A., 2007, Administrative Behavior (Perilaku Administrasi) Suatu Studi Tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Cet kelima. Bumi Aksara, Jakarta. Keban, Yeremias T, 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, edisi kedua, Gava Media, Yogyakarta. Merton RK., Et.al., 1952, Reader in Bureaucracy, The free Press, USA. Ott J. Steven, Albert C. Hyde, Jay M. Shafritz, 2004, Public Managemen: The Essensial Readings, Chicago; Lyceum Books/Nelson Hall Publisher. Pollit C., Birchall J., Putman K., 1998, Decentralising Public Service Management, Pichard Batley and Gerry Stroker, Europe. Schein Edgar, 1985, Organizational culture and Leadership, Jossey-Bass, San Francisco. Thoha, Miftah, 2010, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Cet keempat. Kencara Prenada Media, Jakarta. ------------------, 2009, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers, Jakarta. ------------------, 2009, Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi. Cet kedua Kencara Prenada Media Group, Jakarta. -----------------, 2008, Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya, RajaGrafindo Persada, Jakarta. -----------------, 2007, Kepemimpinan Dalam Manajemen, RajaGrafindo Persada, Jakarta. -----------------, 2005, Birokrasi & Politik di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. ------------------, Bahan Presentase pada Stadium General di Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara UGM Utomo, Warsito, 2007, Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontemporer dalam Administrasi Publik. Cet. II, Pustaka Pelajar dan Program Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta. -------------------, 2010, Bahan Kuliah Globalisasi dan Otonomi Daerah, Program Pascasarjana Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM, Yogyakarta. Sumber lain : Media, Dokumen/Website: --------------------------, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Laporan hasil Conferensi di Hongkong, Developing Asia’s Public Service Sharing Best Practice, 4 –5 Oktober 2000, Hong Kong Convention and Exhibition Centre, Easten Regional Organization for Public Administration Hong Kong Conference 2000, dalam Modul Akuntabilitas dan Good Government, Modul 1 dari 5 Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Jakarta. Http:// aparaturnegara.bappenas.go.id, diakses pada tanggal 10 April 2010 Kompas Edisi 18, 19 Januari 2011 Kompas Edisi 18 Januari 2011 (Satu Tersangka Setiap Pekan)
20