TINJAUAN PUSTAKA
Vertisol Vertisol merupakan order untuk tanah liat berwarna kelam yang bersifat fisik berat. Tanah ini terbentuk pada wilayah dengan topografi agak bergelombang sampai berbukit pada ketinggian <300 m dpl, temperatur tahunan rata-rata 25 oC dengan curah hujan <2500 mm per tahun. Vertisol merupakan tanah yang banyak mengandung mineral liat smektit. Diantara tiga mineral smektit (montmorillonit, beidelit dan nontronit), montmorillonit merupakan mineral yang paling banyak dikandung oleh Vertisol. Berdasarkan hasil penelitian Mulyatri (2003) menggunakan XRD, komposisi mineral liat Vertisol Cianjur terdiri atas 90% montmorillonit, 8% kaolinit, 1% kuarsa dan 1% kristobalit. Montmorillonit merupakan mineral liat tipe 2:1 yang dapat mengembang dan mengerut. Perbedaan musim hujan dan kemarau yang nyata menyebabkan Vertisol mengerut membentuk retakan-retakan tanah pada saat tanah kering dan pada saat basah akan terbentuk relief mikro gilgai akibat pengembangan tanah (Hardjowigeno, 1993). Tingginya kandungan montmorillonit menyebabkan Vertisol memiliki KTK (80-120 cmol(+)/kg) dan luas permukaan total (600-800 m2/g) yang tinggi serta menyebabkan tanah ini mengandung koloid dengan aktivitas yang sangat tinggi (Bohn et al., 1979). Bahan induk Vertisol umumnya bersifat alkalis, yaitu batuan sedimen berkapur, batuan beku basa, atau endapan alluvium dari bahan-bahan tersebut. Kandungan bahan induk ini menyebabkan Vertisol memiliki kejenuhan basa yang tinggi (80-100%) dengan dominasi kation Ca dan Mg, pH 6.0-8.0, kandungan liat tinggi (50-70%) serta kandungan bahan organik rendah (1-3%) pada lapisan atas (Rachim, 2009). Sifat-sifat kimia tanah Vertisol sangat baik untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, tingginya kohesi dan plastisitas yang dimiliki Vertisol menyebabkan tanah ini sangat lengket jika basah. Sifat mengembang dan mengerut menyebabkan tingginya fiksasi K dan kesulitan dalam pengolahan.
Vertisol
cocok
digunakan
untuk
pertanaman
padi
sawah
karena
permeabilitasnya yang rendah. Vertisol juga dapat digunakan untuk pertanaman jagung, kedelai, tebu, kapas, tembakau dan hutan jati. Walaupun demikian, vegetasi alami tanah ini didominasi oleh rumput, savana, hutan terbuka, atau semak gurun (Rachim, 2009), sehingga sering digunakan sebagai area penggembalaan.
Montmorillonit Nama montmorillonit dikhususkan untuk mineral liat aluminium silikat terhidrasi dengan sedikit substitusi. Montmorillonit beserta beidelit dan nontronit merupakan smektit dioktahedra yang terbentuk dari mineral primer mika. Montmorillonit merupakan mineral liat tipe 2:1 yang terdiri atas dua Si-tetrahedra yang mengapit satu Al-oktahedra pada masing-masing unitnya. Lapisan-lapisan tersebut bertumpuk dalam pola dari lembar-lembar Si-tetrahedra dan Al-oktahedra atau Mg-oktahedra. Lembar-lembar tersebut meluas tanpa batas dalam arah dua dimensi. Montmorillonit merupakan mineral liat yang khas pada tanah-tanah Vertisol, Mollisol, Alfisol, serta beberapa Entisol (Tan, 1991). Montmorillonit merupakan mineral liat tanah yang sangat reaktif. Diameter koloid montmorillonit berkisar 0.01-1.00 µm. Adanya jarak antar unit lapisannya (pada kondisi kering udara sekitar 12-14 Ǻ) menyebabkan mineral ini memiliki permukaan-permukaan aktif luar dan antar lapisan (internal). Permukaan aktif luar montmorillonit meliputi bagian permukaan luar serta pinggiran kristalnya. Bagian internal merupakan area pada permukaan basal plane atau permukaan antar lapisannya. Permukaan internal lebih luas daripada permukaan aktif luar. Montmorilonit memiliki luas permukaan total 600-800 m2/g dan hampir 80% merupakan permukaan internal (Bohn et al., 1979). Menurut Tan (1991), permukaan antar lapisan merupakan bagian utama dari permukaan total yang dimiliki montmorillonit. Hanya 10% dari permukaan total tersebut yang merupakan tepi-tepi kristal yang aktif, sehingga pengaruhnya terhadap penjerapan lebih rendah daripada permukaan internal. Fiksasi K banyak terjadi pada permukaan internal.
Montmorilonit memiliki dua muatan negatif, yaitu muatan permanen dan tergantung pH. Muatan permanen timbul akibat substitusi isomorfik tidak sempurna yang menghasilkan tapak jerapan negatif ion-ion O2- dan OH-. Muatan ini tidak berubah dengan adanya perubahan pH (Bohn et al., 1979), sedangkan muatan tergantung pH berasal dari disosiasi ion H+ dari gugus hidroksil pada pinggiran kristal. Namun, karena dikelilingi oleh jaringan atom-atom oksigen, disosiasi dan sumbangannya terhadap muatan negatif relatif rendah (Tan, 1991). Adanya
muatan-muatan
tersebut
memungkinkan
terjadinya
reaksi
penjerapan dan pertukaran bahkan fiksasi ion pada montmorillonit. Penjerapan dapat terjadi pada semua kation. Namun, pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat tipe 2:1, permasalahan fiksasi K telah banyak menjadi perhatian. Fiksasi K yang tinggi terutama terjadi pada tanah yang mengandung mineral liat tipe 2:1 seperti smektit, vermikulit dan illit dalam jumlah yang tinggi (Mengel dan Kirkby, 1982; Sopher dan Baird, 1982; Tan, 1991; Tisdale et al., 1985). Salah satu penyebab terjadinya fiksasi K adalah akibat terjebaknya K pada permukaan antar lapisan mineral liat.
Kalium Tanah Kadar K tanah-tanah di daerah tropik pada umumnya rendah. Rendahnya kadar K ini disebabkan oleh tingginya tingkat pelapukan dan pencucian, bahan induk yang miskin K, pengurasan tanah akibat pertanaman yang terus menerus, serta pemupukan yang tidak seimbang (Adiningsih, 1985). Kadar K dalam tanah organik kira-kira 0,03%, sedangkan tanah mineral biasanya mengandung K lebih dari 4% (Mengel dan Kirkby, 1982). Kebutuhan
tanaman
akan
hara
K
berubah-ubah
selama
masa
pertumbuhannya. Kebutuhan K pada awal pertumbuhan rendah dan terus meningkat hingga ke fase generatif. Kalium merupakan hara esensial pada hampir semua tahapan pertumbuhan tanaman. Fungsi K bagi tanaman antara lain berperan vital pada proses fotosintesis, translokasi hasil fotosintesis, regulasi stomata, dan mengaktifkan katalis atau enzim-enzim tanaman. Tanaman kahat K tidak dapat memanfaatkan air dan hara secara efisien, baik yang berasal dari tanah maupun
pupuk, kurang toleran terhadap cekaman lingkungan, dan kurang resisten terhadap serangan hama dan penyakit. Hal ini menyebabkan rendahnya mutu hasil produksi tanaman (Sumantri dan Sudriatna, 2006). Kalium merupakan hara yang paling banyak dibutuhkan tanaman setelah N dan P. Sekitar 6-10% dari total K yang dibutuhkan tanaman dapat diperoleh melalui kontak langsung dengan tanah, sedangkan jumlah K yang dapat diserap melalui intersepsi akar sebesar 1-2% (Tisdale et al., 1985). Sumber utama K bagi tanaman berasal dari pelapukan mineral yang mengandung K seperti feldspar (415% K2O), muskovit (7-11% K2O), Biotit (6-10% K2O), Illit (4-7% K2O), vermikulit (0-2% K2O), klorit (0-1% K2O) dan montmorillonit (0-0,5% K2O) (Mengel dan Kirkby, 1982). Kalium lebih banyak terdapat pada tanah-tanah bereaksi netral hingga basa daripada tanah masam. Secara umum terdapat 3 bentuk K di dalam tanah: (1) tidak tersedia, (2) lambat tersedia dan (3) segera tersedia. Kalium tidak tersedia terdapat dalam struktur mineral seperti mika dan feldspar. Kalium lambat tersedia, yaitu K yang diikat sementara di antara lapisan illit, vermikulit dan montmorillonit. Bentuk K segera tersedia merupakan K dapat dipertukarkan dan yang ada dalam larutan tanah. Bentuk K tersedia sangat mudah hilang dari tanah melalui pencucian (Sopher dan Baird, 1982). Menurut Tisdale et al. (1985), 9098% K berada dalam bentuk tidak tersedia, 1-10% lambat tersedia dan 0,1-2% segera tersedia. Ketiga bentuk K ini membentuk keseimbangan dalam tanah. Bentuk tidak tersedia dan lambat tersedia merupakan persediaan K dalam tanah bagi tanaman. Kalium ini nantinya akan tersedia bagi tanaman walaupun melalui proses yang sangat lambat. Pada Vertisol, kadar total K pada umumnya tinggi, namun ketersediaannya rendah karena adanya jerapan oleh montmorillonit. Tindakan meningkatkan ketersediaan K bagi tanaman yang biasanya adalah dengan penambahan pupuk ke dalam tanah. Kalium yang ditambahkan sebagai pupuk ke dalam tanah dapat dijerap oleh mineral liat. Kalium yang dijerap diikat pada permukaan antar lapisan mineral selama proses pengembangan dan pengerutan tanah. Apabila terjadi pengikatan seperti ini, maka K tidak akan mudah dilepaskan dan akan menjadi sangat sulit tersedia bagi tanaman (Sopher dan Baird, 1982). Penyediaan K
kembali ke dalam tanah akan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: faktor intensitas, kuantitas, dan daya sangga, dimana faktor-faktor tersebut tergantung pada pH tanah, potensial redoks, kandungan dan keadaan bahan organik, tekstur dan mineralogi, komposisi dan konsentrasi ion-ion dalam larutan, serta suhu tanah (Widjaja-Adhi, Suwardjo, dan Soepartini, 1996). Kalium dapat dipertukarkan diikat dengan ikatan elektrostatik pada liat dan bahan organik tanah dan sangat mudah dilepaskan ke larutan tanah melalui pertukaran dengan kation lain. Kalium yang berada dalam larutan tanah sebagai hasil proses keseimbangan dari penambahan pupuk maupun K yang dilepaskan dari mineral dapat saja mengalami pencucian melalui air drainase, digunakan organisme, dijerap sebagai ion dapat dipertukarkan di sekitar partikel liat, atau berubah menjadi bentuk lambat tersedia. Menurut (Tisdale et al., 1985), peningkatan
konsentrasi
K
dalam
larutan
akan
menyebabkan
reaksi
kesetimbangan bergeser dan beberapa K akan dijerap oleh koloid liat dan sebagian mungkin berubah menjadi bentuk tidak tersedia.
Polimer Hidroksi Aluminium (PHA) Aluminium banyak terdapat di dalam tanah. Jumlahnya sekitar 7,1% berat kulit bumi. Aluminium dapat terlepas dari mineral-mineral primer sebagai akibat hancuran iklim dimana sebagian akan terpresipitasi sebagai mineral sekunder aluminosilikat. Hancuran iklim menyebabkan Si lebih cepat hilang daripada Al, dimana Al yang tertinggal akan dipresipitasikan menjadi oksida atau hidroksida (Lindsay, 1979). Ultisol dan Oxisol merupakan tanah yang kaya akan hidroksida Al dan Fe. Gibsit [Al(OH)3] merupakan mineral Al-OH yang umum terdapat dalam tanah. Penelitian mengenai PHA telah banyak dilakukan. Pembentukan polimer ini dapat terjadi secara alamiah di dalam tanah pada kondisi masam dimana mineralmineral mengalami pelapukan lanjut. Polimer ini juga dapat dihasilkan di laboratorium atau secara sintetik melalui pabrikasi.
Hsu (1989) menyatakan bahwa struktur unit lapisan Al-OH terdiri atas paket ion-ion OH- yang saling berdekatan, dimana ion Al3+ terletak dalam koordinasi heksagonal. Ion Al3+ menempati 2/3 posisi oktahedra dan tersebar pada cincin-cincin heksagonal. Ion Al3+ berikatan dengan tiga ion Al3+ lainnya yang dihubungkan dengan enam ion OH- dimana masing-masing Al3+ dihubungkan oleh dua ion OH-. Pada bagian pinggir unit Al-OH, masing-masing Al3+ hanya berikatan dengan dua ion Al3+ lainnya yang dihubungkan dengan empat ion OH-, sedangkan salah satu dari dua ion OH- lainnya digantikan oleh molekul air (Gambar 1). Bentuk struktur Al-OH ini menggambarkan struktur gibsit atau Al(OH)3 kristalin (Tan, 1991).
Gambar 1. Skema unit lapisan Aluminium hidroksida (Hsu, 1977) Di dalam tanah, polimer hidroksi aluminium dapat terbentuk dari Al-OH yang terpolimerisasi atau dari Al3+ yang terhidrolisis kemudian membentuk polimer. Proses ini biasanya terjadi akibat hancuran iklim di daerah tropik. Lebih lanjut Hsu (1989) menyatakan bahwa polimer hidroksi aluminium merupakan fragmen dari kristal aluminium hidroksida yang stabil dan sukar larut, sehingga apabila terjadi polimerisasi Al-OH dalam larutan, akan dihasilkan struktur yang mirip dengan Al(OH)3 bentuk padat atau gibsit (Gambar 2).
Gambar 2. Polimer Hidroksi aluminium dengan struktur 6 cincin heksagonal (Hsu dan Bates, 1964) Pada smektit dan vermikulit, pembentukan Al-OH pada antar lapisan mineral terjadi akibat terlepasnya Al3+ dari posisi oktahedra selama terjadi hidrolisis atau polimerisasi Al-OH membentuk polikation yang lebih besar dengan rumus struktur Al6(OH)153+, atau yang mirip dengan rumus struktur tersebut, yang terjadi pada antar lapisan permukaan mineral liat smektit dan vermikulit. Keberadaan lapisan hidroksida ini pada antar lapisan permukaan smektit disebut Hydroxy-interlayered Smectite (HIS) dan pada vermikulit disebut
Hydroxy-
interlayered Vermiculite (HIV) (Schulze, 1989)( Gambar 3).
Gambar 3. Skema struktur Hydroxy-interlayered Smectite (HIS) (Shultze, 1989) Smektit dan vermikulit dapat menjerap kation Al3+, Al-OH dan PHA dengan sangat kuat pada permukaan antar lapisannya. Hsu dan Rich (1960) serta Jackson (1960, dalam Barnhisel, 1977) mengusulkan struktur dengan 6 cincin heksagonal [Al6(OH)153+] sebagai polimer terkecil yang dapat masuk pada permukaan antar lapisan mineral liat. Selain Al, kation Fe dan Mg juga dapat membentuk hidroksida antar permukaan mineral liat yang pada dasarnya merupakan bentuk fiksasi kation. Pembentukan struktur lapis hidroksida antar permukaan mineral sangat beragam,
tergantung pada 3 faktor, yaitu: struktur dasar atau kandungan mineral liat 2:1 seperti vermikulit dan smektit, tingkat pengisian antar lapisan dan komposisi bahan hidroksida yang terjadi dalam antar lapisan mineral liat (Barnhisel, 1977). Keberadaan Al di dalam tanah sangat tergantung pH tanah. Pada tanah masam, Al terdapat sebagai ion yang dapat dipertukarkan. Aluminium dapat dijerap permukaan liat dalam bentuk kation Al3+, Al-OH, atau polimernya dengan gaya elektrostatik, sama halnya dengan kation lain seperti Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+. Namun PHA yang terdapat pada permukaan internal montmorillonit merupakan kation terfiksasi kuat yang tidak dapat dipertukarkan (Barnhisel dan Bertsch, 1989; Bohn et al., 1979; Frenkel dan Shainberg, 1980; Hsu, 1989; Saha, Taniguchi, dan Sakurai, 2002). Selain dijerap, Al-OH dan polimernya juga dapat menjerap dan meretensi anion. Proses ini terjadi pada pH rendah dimana Al-OH dan polimernya memiliki muatan positif. Muatan ini diperkirakan berasal dari protonisasi atau penambahan ion hidrogen pada grup hidroksil yang terdapat pada pinggiran mineral. Muatan posistif yang terbentuk akan menarik ion-ion seperti NO3-, SO42-, Cl-, H2PO4-, HPO42- dan PO43-. Penjerapan anion-anion tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya retensi fosfat. Retensi fosfat diketahui banyak terjadi pada tanah-tanah yang banyak mengandung Al dan Fe hidroksida. Ketersediaan K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat 2:1 dapat mengembang sangat rendah sebagai akibat adanya fiksasi. Pada Vertisol, rendahnya ketersediaan K dapat diatasi dengan pemberian PHA. Pemberian polimer ini pada montmorillonit dapat mengurangi jerapan kation-kation Ca, Mg, K dan Na pada permukaan koloid mineral liat. Khusus untuk K, kehadiran PHA dapat mengurangi kapasitas fiksasi dengan cara menggantikan kedudukan K pada permukaan internal montmorillonit sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman (Tisdale et al., 1985). Kehadiran Al-OH dan polimernya pada sistem liat seperti montmorillonit dan vermikulit dapat mengubah KTK, luas permukaan area jerapan, dan kemasaman tanah (Rengasamy dan Oades, 1978). Penjerapan PHA menyebabkan menurunnya tapak jerapan negatif koloid tanah sehingga menurunkan KTK dan
pH tanah (Bohn et al., 1979). Berdasarkan hasil penelitian Saha et al. (2002), penjerapan hidroksialuminium (HyA) (sintetik) dan hidroksialuminosilikat (HAS) pada montmorillonit menyebabkan perubahan drastis terhadap sifat-sifat elektrokimia dan mineralogi liat, menyebabkan retensi fosfat, fiksasi serta pertukaran K+ dan NH4+. Pengaruh PHA terhadap sifat fisika tanah juga telah banyak diteliti. Pemberian PHA dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah yang mengandung mineral liat 2:1 dapat mengembang seperti meningkatkan permeabilitas tanah, penurunan bobot isi tanah dan meningkatkan kemantapan agregat tanah. Polimer hidroksi aluminium yang terikat kuat di antara lapisan permukaan koloid liat berfungsi sebagai agen penyemen yang mengikat lapisan-lapisan silikat yang berdampingan secara bersama-sama, serta dengan menggantikan kationkation antar lapisan yang memiliki energi hidrasi lebih tinggi seperti Na+, K+ dan Li+. Kehadiran PHA akan mereduksi potensi mengembang mengerut liat (Hsu, 1989). Hal ini juga telah dipaparkan oleh para peneliti lainnya seperti Barnhisel dan Bertsch (1989), Borchardt (1989), Frenkel dan Shainberg (1980), Rengasamy dan Oades (1978), Tisdale et al. (1985).
Jerapan Kalium Koloid mineral liat mempunyai muatan negatif yang dapat menjerap dan mempertukarkan kation-kation. Reaksi ini sangat penting dalam penyediaan dan penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan. Jerapan kation-kation pada permukaan koloid mineral memiliki kekuatan yang berbeda-beda tergantung pada valensi dan derajat hidrasi kation. Umumnya, semakin tinggi valensi dan semakin rendah derajat hidrasi kation, maka akan semakin kuat kation tersebut dijerap (Tan, 1991). Dikenal dua istilah jerapan kation, yaitu jerapan spesifik dan nonspesifik. Jerapan spesifik umumnya terjadi pada kation-kation logam berat seperti Cu, Zn, Mn dan Pb. Kation-kation yang dijerap ini akan berada pada tingkat retensi. Tanah-tanah yang mempunyai kemampuan tinggi meretensi logam-logam berat adalah tanah-tanah yang kaya bahan organik dan oksida-oksida Fe dan Al. Jerapan
nonspesifik terjadi apabila kation-kation dijerap oleh koloid tanah secara elektrostatik dan dapat dipertukarkan (Tan, 1991). Efisiensi pertukaran kationkation tergantung pada kepekatan ion atau hukum aksi massa, aktivitas ion, dan jenis mineral liat. Pada kondisi tertentu, kation terjerap diikat kuat oleh koloid sehingga tidak dapat terambil kembali dengan reaksi pertukaran. Kation ini disebut kation terfiksasi. Fiksasi yang paling penting adalah yang terjadi pada ion K+ (Tan, 1991). Fiksasi K tergantung pada jumlah muatan negatif mineral, luas dari wedge zone, kelembaban, konsentrasi ion K, dan konsentrasi kation lain di sekeliling medium. Fiksasi yang tinggi terjadi jika muatan negatif per unit lapisan silikat tinggi. Jika ini terjadi, ion K dipegang sangat kuat oleh muatan negatif lapisan silikat (Mengel dan Kirkby, 1982). Pada vermikulit dan illit, fiksasi K dapat terjadi pada kondisi lembab dan kering, sedangkan pada smektit akan sangat tinggi pada kondisi kering. Urutan kekuatan fiksasi mineral tersebut terhadap K, yaitu: vermikulit >illit>smektit (Mengel dan Kirkby, 1982). Seperti kation lain, K dapat dijerap pada permukaan koloid montmorilonit melalui ikatan elektrostatik dan dapat dipertukarkan, sedangkan yang terdapat pada permukaan antar lapisan mineral difiksasi kuat. Pada vermikulit, ion-ion Ca2+, Mg2+ dan Na+ yang terdapat diantara lapisan mineral merupakan kation yang segera tersedia, tetapi K+ dan NH4+ merupakan kation yang tidak dapat dipertukarkan (Bohn et al., 1979). Banyak faktor yang menyebabkan tingginya fiksasi K pada mineral liat 2:1 seperti montmorillonit. Potensi mengembang dan mengerut yang tinggi menyebabkan mineral ini dapat menerima dan menjerap senyawa-senyawa organik dan ion-ion inorganik seperti K (Tan, 1991). Tingginya KTK mineral liat seperti montmorillonit, vermikulit dan illit juga merupakan penyebab tingginya jerapan terhadap K dan kation kation lainnya (Tisdale et al., 1985). Vermikulit dapat terbentuk dari hancuran mika dan klorit. Hancuran mika menjadi vermikulit atau smektit terjadi melalui pergantian K pada sisi interlayer dengan kation terhidrasi yang dapat dipertukarkan (Schulze, 1989). Penggantian K
oleh kation-kation yang memiliki jari-jari hidrasi yang lebih tinggi (Ca
2+
, Mg
2+
dan Sr2+) menghasilkan pengembangan mineral liat dan pembentukan mintakat baji atau wedge zone (Mengel dan Kirkby, 1982). Pembentukan wedge zone menunjukkan situs-situs untuk selektivitas yang tinggi terhadap K+ dan NH4+ (Tan, 1991). Pada montmorilonit terdapat tiga tipe tapak jerapan K, yaitu: planar (posisip), edge (posisi-e), dan inner (posisi-i) (Gambar 4). Posisi-p merupakan tapak jerapan yang berada pada permukaan luar mineral liat dan kurang selektif terhadap jerapan K. Kalium yang terjerap pada posisi ini dapat dipertukarkan dan tersedia bagi tanaman. Posisi-e terdapat pada pinggiran kristal, sedangkan posisi-i terdapat pada permukaan antar mineral liat dan memiliki selektivitas yang tinggi terhadap jerapan K (Tisdale et al., 1985). Kalium paling banyak dijerap pada posisi-e dan posisi-i. posisi - p posisi - i
K tidak dapat dipertukarkan
Posisi - e Hidroksida Al (atau Fe)
Gambar 4. Model lapisan mengembang silikat dengan permukaan antar lapisan serta posisi tapak jerapan K (Mengel dan Kirkby, 1982). Kadar K larutan tanah merupakan hasil keseimbangan dari ketiga bentuk K. Keberadaan K dapat dipertukarkan, kecepatan fiksasi, dan difusi K akan mempengaruhi kemampuan tanah dalam mempertahankan konsentrasi K dalam larutan dan kapasitas sangga tanah. Vertisol mempunyai daya sangga yang tinggi terhadap K. Kalium yang ditambahkan pada tanah ini akan difiksasi sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Berdasarkan hasil penelitian Mulyatri (2003), pengaruh pemberian K terhadap K tidak dapat dipertukarkan meningkat sangat nyata akibat pemberian K sampai dosis 300 ppm baik diinkubasikan selama 1, 2, 3, atau 4 minggu dengan pemberian air kapasitas lapang pada
Vertisol Cianjur. Menurut Mengel dan Kirkby (1982), hampir 92% dari K yang ditambahkan ke dalam tanah akan difiksasi oleh mineral liat. Penelitian yang pernah dilakukan untuk meningkatkan pelepasan K terfiksasi pada tanah yang didominasi mineral liat 2:1 dapat mengembang antara lain dengan penambahan kation-kation seperti asam oksalat, Na+, NH4+ dan Fe3+ (Nursyamsi, 2008). Penambahan kation-kation tersebut nyata meningkatkan pelepasan K terfiksasi di dalam tanah. Selain itu, dari hasil penelitian Sudadi, Hidayati, dan Sumani (2007), diperoleh bahwa mulsa jerami padi mampu meningkatkan K tersedia tanah sebesar 20,88% dan mulsa sekam padi sebesar 10,17% pada saat fase vegetatif maksimum tanaman kedelai pada Vertisol. Menurut Tan (1991), kehadiran asam-asam humat dan fulvat dalam tanah dapat mempercepat pelepasan K. Jerapan senyawa-senyawa organik dapat membentuk kompleks organomineral yang mampu menggantikan kation-kation inorganik seperti K pada posisi antar lapisan mineral liat. Selain upaya-upaya tersebut di atas, pemberian PHA juga mampu meningkatkan pelepasan K terfiksasi. Polimer hidroksi aluminium yang diberikan pada Vertisol akan masuk ke dalam permukaaan antar lapis mineral montmorillonit dan mengganti kedudukan K serta
kation-kation lain pada
kompleks jerapan. PHA tersebut diikat kuat dan tidak dapat dipertukarkan melalui pertukaran ion biasa. Keberadaan PHA dalam mineral liat mampu menurunkan KTK tanah. Penurunan KTK tanah ini menyebabkan penurunan jerapan koloid terhadap K terutama pada permukaan antar lapisan mineral.
Sifat-sifat Kimia Tanah Kapasitas Tukar Kation (KTK) Nilai KTK merupakan salah satu petunjuk tujuan kesuburan tanah. Tanahtanah dengan KTK tinggi biasanya subur karena mempunyai daya menyimpan hara tinggi dan kaya akan kation-kation basa. Namun demikian, pada tanah-tanah masam mungkin banyak mengandung ion Al dan H yang dapat dipertukarkan.
Smektit dan vermikulit memiliki luas permukaan jerapan kation-kation yang tinggi. Keberadaan mineral liat ini menyebabkan tanah memiliki KTK tinggi. Selain bahan organik, vermikulit merupakan mineral liat yang memiliki KTK paling tinggi. Rata-rata KTK koloid utama tanah, yaitu: humus 200 cmol(+)/kg, vermikulit 100-150 cmol(+)/kg, montmorillonit 70-95 cmol(+)/kg, illit 10-40 cmol(+)/kg, dan kaolinit 3-15 cmol(+)/kg (Tan, 1991). Nilai KTK bervariasi berdasarkan jenis dan jumlah mineral liat di dalam tanah. Pertukaran kation pada kebanyakan tanah berubah dengan pH. Oleh karena itu, KTK tanah dibedakan menjadi KTK permanen dan KTK tergantung pH. KTK tergantung pH terjadi karena meningkatnya ionisasi ion H+ dari gugus OH fungsional. Polimer hidroksi aluminium, bahan organik, dan mineral nonkristalin umumnya menunjukkan sifat-sifat tergantung pH yang lebih tinggi daripada smektit (Borchardt, 1989). Nilai KTK tanah meningkat seiring dengan peningkatan pH tanah dan biasanya rendah pada tanah masam. Pada tanah dengan nilai pH sangat rendah, hanya muatan permanen liat dan sebagian kecil dari muatan koloid organik memegang ion yang dapat diganti melalui pertukaran ion (Soepardi, 1983). Pemberian PHA atau pembentukan aluminium hidroksida dalam ruang antar lapis dapat menurunkan KTK mineral seperti pada montmorillonit (Borchardt, 1989), vermikulit (Rich, 1960 dan Douglas, 1989), dan kaolinit (Dixon, 1989). PHA yang terdapat pada permukaan mineral liat ini akan menetralkan muatan mineral dan dijerap kuat. Apabila dilakukan pengukuran KTK, nilai yang diperoleh akan lebih rendah karena adanya pemblokan oleh polimer tersebut. KTK tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk menjerap K. Tanah yang memiliki KTK tinggi memiliki kemampuan menjerap K yang tinggi. Tingginya muatan smektit cenderung memiliki kemampuan menfiksasi K yang tinggi seperti vermikulit (Borchardt,1989).
Reaksi Tanah (pH) Pengetahuan mengenai reaksi tanah (pH) sangat penting karena banyak dipertimbangkan dalam pemupukan, pengapuran, dan perbaikan sifat kimia dan fisika tanah. Pada umumnya, pH yang baik bagi pertumbuhan tanaman sekitar 6,5-7. Vertisol memiliki pH sekitar 6.0-8.2. pH berpengaruh pada kehadiran hara nutrisi yang menyokong pertumbuhan tanaman. Keberadaan Al di dalam tanah memengaruhi reaksi (pH) tanah karena Al merupakan sumber kemasaman tanah. Aluminium banyak terdapat pada tanahtanah mengalami pencucian dan pelapukan yang tinggi khususnya di daerah lembab. Aluminium apabila terhidrolisis akan berubah menjadi monomerik atau polimerik hidroksi aluminium membentuk Al(OH)2+, Al(OH)2+, atau bentuk terpresipitasi Al(OH)3 (gibsit). Aluminium berada dalam bentuk kation Al3+ pada pH <4.7, Al(OH)2+ pada pH 4.7-6.5, Al(OH)3 pada pH 6.5-8.0 dan Al(OH)4- pada pH >8.0. Pada tanah dengan pH rendah, kadar PHA terjerap dalam jumlah tinggi akan menurunkan KTK tanah akibat peningkatan tapak jerapan positif polimer. Peningkatan pH dapat menurunkan tapak jerapan positif dan meningkatkan KTK tanah (Bohn et al., 1979). pH tanah sangat berpengaruh terhadap muatan tergantung pH montmorillonit yang terdapat pada pinggiran kristalnya. Muatan negatif tanah tinggi jika pH tinggi dan rendah jika pH tanah rendah.
Basa-basa dapat dipertukarkan (Ca2+, Mg2+, K+, dan Na+) Vertisol merupakan order tanah yang umumnya terbentuk di daerah dengan curah hujan rendah. Kation Ca2+ dan Mg2+ akan menjenuhi kompleks jerapan koloid tanah dan tidak akan hilang tercuci dari tanah. Kandungan basa-basa yang tinggi tersebut menyebabkan terciptanya suasana pH sekitar netral hingga alkalin. Dalam suasana demikian, ion-ion Al3+ menjadi senyawa tidak larut dan ion-ion H terjerap akan digantikan oleh kation-kation basa tersebut. Kandungan kation-kation basa di dalam tanah tergantung pada bahan induk dan curah hujan. Kandungan Ca kira-kira 3,6% pada lithosfer dan 1,37% di dalam tanah, Mg kira-kira 2,1% pada lithosfer dan 0,5% di dalam tanah, Na kira-kira
2,8% pada lithosfer dan 0,63% di dalam tanah, sedangkan K kira-kira 2,6% pada lithosfer dan 0,83% di dalam tanah (Lindsay, 1979). Kalsium dapat dipertukarkan merupakan bagian penting dari struktur tanah. Kalsium dapat menyebabkan terjadinya koagulasi koloid tanah yang mendukung perbaikan struktur dan stabilitas partikel tanah. Kalsium kebanyakan hilang dari tanah karena pencucian. Ion H+ yang dihasilkan dari proses disosiasi dapat melepaskan Ca melalui proses penghancuran atau dengan pertukaran dari koloid tanah (Mengel dan Kirkby, 1982). Magnesium merupakan kation yang berasal dari hancuran mineral ferromagnesium seperti biotit, serpentin, hornblende dan olivin. Kandungan Mg pada tanah berliat sekitar 0,5%. Magnesium juga terdapat pada mineral sekunder yaitu pada kisi-kisi dan antar permukaan mineral liat. Magnesium dapat dipertukarkan biasanya berkisar 5% dari totalnya (Mengel dan Kirkby, 1982). Kalium terdapat dalam jumlah yang sedikit dibandingkan kation-kation basa lainnya bahkan lebih rendah daripada Na karena dijerap oleh liat montmorillonit. Dibandingkan dengan K, Na sedikit lebih mudah tercuci. Natrium dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit sedangkan K merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang tinggi dibandingkan kation-kation basa lainnya. Adapun komposisi kation-kation basa tersebut pada tanah-tanah yang didominasi oleh mineral liat 2:1 seperti Vertisol , yaitu: 4% KTK tanah dijenuhi K+, 4-20% KTK dijenuhi Mg2+ dan 80% KTK dijenuhi Ca2+ (Mengel dan Kirkby, 1982).
Kejenuhan Basa (KB) Kejenuhan basa setiap tanah berbeda-beda. Tanah yang terdapat di daerah kering biasanya jenuh dengan kation-kation basa dan di daerah lembab biasanya kurang akan
kation-kation basa akibat pencucian yang tinggi dan biasanya
dijenuhi oleh kation-kation Al dan H. Pengetahuan mengenai KB tanah sangat penting ditinjau dari segi kesuburan. Antara KB dan pH tanah memiliki hubungan yang nyata dimana penurunan KB akibat pencucian basa-basa akan menurunkan pH tanah (Soepardi, 1983). Vertisol memiliki nilai KB yang tinggi (80-100%) dengan dominasi kation Ca dan Mg.