TINJAUAN PUSTAKA Vanili Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrekanggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V. pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Subkelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Orchidales
Famili
: Orchidaceae
Genus
: Vanili
Species
: Vanili spp.
Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara 2538oC, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 1012 tahun (Heath dan Reineccius 1986). Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek, panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya
6
banyak, berwarna hitam, dan berukuran rata-rata 0,2 mm (Rismunandar dan Sukma 2003). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah vanili segar. Richard (1991) menyatakan bahwa waktu panen adalah faktor penting yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vanili yang baik. Buah hendaknya dipanen pada saat yang tepat (cukup masak), jangan terlalu awal (kurang masak) atau terlalu masak. Buah yang dipanen tepat waktu, kandungan vanillinnya di atas 2,2%, berwarna hitam, berminyak, dan mengkilat. Bila dipanen kurang masak, buah terlalu kaku dan flavornya kurang sempurna karena kadar vanillinnya rendah. Sedangkan bila dipetik terlalu masak, buah akan pecah, sehingga harganya akan rendah. Buah vanili yang dipanen sekitar umur 240 hari (8 bulan) setelah penyerbukan akan menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu 2,95% (Salim 1993). Komposisi kimia buah vanili segar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia buah vanili segar Komposisi Kimia Kandungan (%) 78 – 82 Air 8 – 20 Karbohidrat 4 -15 Lemak 0.005 Kalium 0.003 Kalsium 0.0024 Klor 0.004 Nitrogen 0.0015 Magnesium Sumber : Purseglove et al. (1981)
7
Pengolahan Vanili (Curing) Buah vanili diperdagangkan tidak dalam bentuk mentah, oleh karena itu memerlukan proses lebih lanjut. Vanili kering merupakan produk buah vanili yang paling banyak permintaannya di pasar (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Proses pengolahan buah vanili dikenal dengan istilah curing. Dalam proses curing, terjadi proses biokimia yang menyebabkan perubahan-perubahan pada buah vanili. (Kantor Pusat BRI 1986). Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa buah vanili yang memasuki perdagangan internasional adalah dalam bentuk cured vanili dari V. fragnans, V. tahitensis, dan V. pompona. Di pasaran internasional, vanili Indonesia dikenal dengan sebutan Java Vanilla Beans (Ruhnayat 2004). Penentu kualitas utama dari cured vanili adalah karakter aroma atau flavornya. Faktor-faktor lain yang juga turut menentukan kualitas cured vanili adalah penampakannya secara umum (terutama warna), fleksibilitas, panjang, kadar air dan kandungan vanillinnya (Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986). Kandungan vanillin yang tinggi diinginkan akan tetapi nilai ini tidak secara langsung sebanding dengan kualitas aroma atau flavor dari buah vanili. Proses curing buah vanili terdiri dari beberapa tahap berikut : 1. Pelayuan (wilting treatment/killing/scalding) Pelayuan bertujuan untuk mematikan sel-sel kulit bagian luar buah, dan memberikan jalan untuk bekerjanya enzim serta membantu mempermudah
proses
pengeringan
(Nurdjanah
dan
Rusli
1998;
Purseglove et al. 1981). Mula-mula, air dimasak dalam wadah atau drum yang terbuat dari besi atau stainless steel. Setelah suhu air mencapai 6365oC, polong vanili dicelupkan menggunakan wadah yang terbuat dari pelat besi berlubang atau anyaman kawat atau keranjang bambu (Ruhnayat 2004). Polong yang tua dicelup selama 3 menit karena lebih tebal dan padat, sedangkan polong yang muda atau terlalu tua cukup 1.5-2 menit. Pencelupan yang terlalu lama akan melembekkan serat sehingga dapat menurunkan kualitas, sedangkan pencelupan yang terlalu cepat tidak dapat memacu kerja enzim secara maksimal (Hadisutrisno 2005). Proses pelayuan yang sempurna ditandai oleh perubahan warna buah menjadi
8
coklat (Purseglove et al. 1981). Disamping pencelupan dalam air panas, pelayuan dapat dilakukan dengan cara penghamparan dan penggoresan (Suwandi dan Sudibyanto 2005). 2. Pemeraman (sweating) Setelah dilayukan, polong vanili ditiriskan dan diperam selama 24 jam dalam tempat pemeraman. Tempat pemeraman terbuat dari peti kayu yang berdinding ganda. Di antara kedua dinding tersebut dimasukkan sabut kelapa atau serbuk gergaji yang berfungsi sebagai isolator agar suhu dapat dipertahankan antara 38-40oC. Untuk meningkatkan daya isolator dan menyerap air yang keluar dari polong vanili, bagian dalam kotak harus dilapisi dengan kain yang agak tebal. Jika suhu polong vanili yang sudah ditiriskan kurang dari 38-40oC, perlu dilakukan penjemuran atau pemanasan awal selama 3 jam sebelum diperam. Setelah itu, polong vanili dibungkus dengan kain hitam (Ruhnayat 2004). Pemeraman bertujuan agar terjadi reaksi enzimatis dalam polong vanili, dimana enzim β-glukosidase akan mengubah glukovanillin menjadi vanillin dan glukosa (Purseglove et al. 1981; Ruhnayat 2004; Hadisutrisno 2005). Pada proses pemeraman ini terjadi perubahan secara biokimiawi dan enzimatik yang dapat menimbulkan aroma khas vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Tujuan lain dari pemeraman adalah untuk memperoleh tekstur dan fleksibilitas tertentu (Kantor Pusat BRI 1986). Vanili yang berubah warna menjadi kecoklatan (sawo matang), lentur (lemas), dan berminyak menunjukkan bahwa fermentasi telah berjalan sempurna. 3. Pengeringan (drying) Setelah pemeraman selesai, polong dikeluarkan dari kotak dan langsung dijemur. Penjemuran dilakukan di atas kawat kasa yang telah dialasi kain hitam. Penjemuran bertujuan untuk menurunkan kadar air dari 70% menjadi 40-42%. Polong yang tua memerlukan waktu penjemuran hingga 15-20 hari, sedangkan polong muda sekitar 10-14 hari. Penjemuran dilakukan pada pukul 08.00-10.00. Setelah itu, kain hitam ditutup untuk menghindari polong dari terik matahari. Pada pukul 14.00-16.00 kain kembali dibuka. Setelah pukul 16.00, kain ditutup kembali dan kotak kasa
9
disimpan di dalam ruangan yang bersih dan berventilasi baik. Keesokan harinya, kotak kasa berisi vanili dibawa keluar untuk dijemur kembali (Hadisutrisno 2005). Proses pengeringan dan pemeraman dilakukan berselang-seling selama 5-7 hari, sampai buah vanili berwarna hitam (atau hitam kecoklat-coklatan) mengkilat, cukup kering, dan lentur (lemas). Menurut Rismunandar dan Sukma (2003), pengeringan dapat dilakukan menggunakan alat pengering pada suhu 60-65oC selama 3 jam. Kadar air yang telah mencapai 40-42% diturunkan lagi menjadi 2225% (Hadisutrisno 2005). Menurut Arana (1943) diacu dalam Purseglove et al. (1981), kadar air optimum untuk cured vanili adalah 30-35%. Dengan turunnya kadar air, aroma vanili semakin muncul. Caranya dengan pengeringan secara lambat yang dilakukan di dalam ruangan yang kering bersih, sejuk, dengan ventilasi yang baik, dengan suhu ruang sekitar 2829oC dan kelembaban udara 70-80%. Polong diletakkan di atas rak tripleks yang disusun dengan jarak 6 cm. Selama pengeringan, vanili harus terus dipantau karena rawan terhadap cendawan. Bila terdapat jamur, polong harus segera dibersihkan dengan air dingin atau air panas bila cendawannya banyak, bahkan dapat menggunakan alkohol 70% bila sangat parah. Lalu, polong tersebut dijemur kembali. Polong basah ini dipisahkan dari polong yang kering. Pengeringan telah selesai bila polong berwarna coklat kemerahan hingga kehitaman, beraroma tajam, dan lentur. Bila dililitkan pada jari akan kembali seperti semula. Dalam keadaan seperti ini atau kadar air 22-25%, polong dapat disimpan hingga 1-2 tahun (Hadisutrisno 2005). Menurut Ruhnayat (2004), pengeringanginan dilakukan dalam ruangan selama 30-45 hari. Pengeringanginan ini dapat dikombinasikan dengan oven yang bersuhu 50oC selama 3 jam setiap hari. Mutu vanili yang dihasilkan dengan cara kombinasi tersebut jauh lebih baik dan waktu yang diperlukan lebih singkat, yaitu sekitar 10 hari. 4. Penyimpanan (Conditioning) Conditioning bertujuan untuk menyempurnakan atau memantapkan aroma vanili (Heath dan Reineccius 1986; Richard 1991). Polong-polong vanili diikat dengan tali sebanyak 50-100 polong per ikat. Kemudian
10
masing-masing ikatan dibungkus dengan kertas minyak, kertas perkamon (parafin) atau plastik. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi kertas minyak. Peti tersebut kemudian disimpan di ruangan yang sejuk dan kering (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Penyimpanan ini dilakukan selama 2-3 bulan atau lebih lama untuk menyempurnakan perkembangan aroma dan flavor yang dikehendaki (Purseglove et al. 1981). Secara rutin dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya serangan jamur. Polong yang terserang jamur segera dibersihkan dengan kapas atau kain halus yang dibasahi alkohol. Polong yang kurang atau tidak keluar aromanya dijemur dan diperam kembali (Ruhnayat 2004). Menurut Purseglove et al. (1981), conditioning normalnya dilakukan pada suhu ruang. Buah vanili kering hasil proses curing dapat dilihat pada Gambar 2. Setiap negara penghasil vanili mengembangkan proses curing dengan cara yang berbeda-beda, akan tetapi secara umum terdapat empat tahap utama yaitu killing, sweating, drying dan conditioning (Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986; Dignum et al. 2002). Kesalahan dalam proses pengolahan buah vanili akan mengakibatkan turunnya mutu vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Pada tahap awal killing dan sweating, hanya 40% glukovanillin yang terhidrolisis menjadi vanillin (Odoux 2000).
Gambar 2 Buah vanili kering (Sumber : Suwandi dan Sudibyanto 2005).
11
Flavor Vanili Flavor vanili terbentuk dari sejumlah komponen aromatik yang dihasilkan selama proses curing, dimana vanillin adalah komponen flavor yang paling dominan. Flavor vanili dari berbagai belahan dunia bervariasi bergantung pada iklim, tanah, derajat polinasi, tingkat kematangan pada saat panen dan metode curing yang digunakan (Purseglove et al. 1981). Pembentukan aroma dan flavor selama proses curing merupakan akibat dari proses fermentasi. Cured vanili mengandung vanillin, asam-asam organik (phydroxy benzoic acid dan p-coumaric-acid), wax, gum, resin, tanin, pigmen, gula, selulosa dan mineral (Purseglove et al. 1981; Farrel 1990). Flavor vanili yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 200 senyawa volatil dan sebagian besar senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan, akan tetapi hanya 26 senyawa yang ditemukan dalam konsentrasi lebih dari 1 ppm. Senyawa yang paling besar adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehide (vanillin) yaitu 2-2,8%, p-hydroxybenzaldehyde 0,2%, asam vanillat 0,2%, dan phydroxybenzylmethyl eter 0,02% dan asam asetat sekitar 0.02% (Anklam 1993; Klimes dan Lamparsky 1976, diacu dalam Anklam et al. 1997). Vanillin hanya merupakan salah satu diantara sekian banyak komponen yang menyusun karakter aroma, akan tetapi kadar vanillin masih menjadi indikator/parameter penting untuk menilai kualitas cured vanili (Purseglove et al. 1981; Anklam et al. 1997). Beberapa komponen non-volatil kemungkinan juga memegang peranan penting dalam memodifikasi persepsi flavor. Sebagai contoh, resin tidak mempunyai aroma, akan tetapi mempunyai taste yang menyenangkan, sehingga secara keseluruhan juga menguntungkan
dalam memantapkan
komponen volatil aromatik dalam larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981). Terdapat tiga jenis glukosida yang menghasilkan vanillin dan komponenkomponen fenol lainnya sebagai hasil pemecahan hidrolitik. Glukosida terbanyak diidentifikasi sebagai glukovanillin, sementara itu glucovanillyl alkohol ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Glukosida ketiga adalah ptotocatechuic acid (3,4-dihydroxy benzoic acid) (Heath dan Reineccius 1986). Vanillin terbentuk dari prekursor glukovanillin yang kemudian terhidrolisis selama proses curing dengan adanya enzim β-glukosidase endogenus (Purseglove et al. 1981;
12
Arana 1943, diacu dalam Ruiz-Teran et al. 2001). Hidrolisis dari glukosidaglukosida lainnya menghasilkan komponen-komponen volatil lain yang berkontribusi pada terbentuknya aroma dan flavor secara keseluruhan. Perubahan lebih lanjut dari vanillin yang dibebaskan dan substrat-substrat lainnya terjadi melalui aksi enzim-enzim oksidasi dan selama tahap conditioning perubahan nonenzimatik memegang peranan penting dalam pembentukan aroma (Purseglove et al. 1981). Modifikasi Proses Curing Vanili Modifikasi atau perbaikan dalam teknologi proses curing dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Setyaningsih et al. (2003) telah melakukan modifikasi ini, yaitu dengan penambahan perlakuan sebelum tahap killing (pelayuan). Perlakuan tersebut dilakukan dengan cara penyayatan buah (straching) dan perendaman buah vanili dalam aktivator enzim βglukosidase untuk memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase endogenus. Penyayatan dimaksudkan untuk memudahkan masuknya aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili. Perlakuan scratching (penyayatan) ini telah dilakukan pula pada metode Guadeloupe (Purseglove et al. 1981). Adanya penyayatan memberikan hasil yang lebih baik, dimana tingkat pecahnya buah menjadi rendah, waktu untuk sweating dan drying menjadi lebih pendek, serta kandungan vanillin dapat ditingkatkan. Akan tetapi, teknik ini menjadikan vanili lebih mudah terserang jamur dan mempunyai fleksibilitas dan penampakan yang lebih rendah daripada teknik yang umum dilakukan. Pada modifikasi curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003), aktivator enzim yang berhasil meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase endogenus adalah butanol 0,3 M dan sistein 1 mM serta dithiotreinol 1 mM dan sistein 1 mM, dengan waktu perendaman vanili berturut-turut selama dua jam dan satu jam. Modifikasi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pelayuan pada suhu 40oC selama 30 menit. Pada proses curing standar (metode Balitro II), pelayuan dilakukan pada suhu 60oC selama 3 menit. Suhu 40oC pada tahap
13
pelayuan modifikasi proses curing Setyaningsih et al. (2003) dipilih karena pada suhu tersebut enzim β-glukosidase menghasilkan aktivitas tertinggi. Secara keseluruhan, pada proses modifikasi terdapat enam tahap pengolahan, yaitu penyayatan (statching), perendaman dalam aktivator enzim βglukosidase, pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying) dan conditioning. Modifikasi proses curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003) ini menghasilkan peningkatan aktivitas enzim, kadar vanillin, dan kadar gula dibandingkan metode curing standar (metode Balitro II). Penggunaan butanol sebagai aktivator enzim β-glukosidase dikarenakan enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air sebagai penerima bagian glikosil sehingga dapat meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil nbutanol akan terikat pada enzim β-glukosidase melalui ikatan hidrogen. Gugus hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem kopelarut satu fase. Sistem kopelarut adalah sistem yang melarutkan pelarut organik (butanol) pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga enzim masih dapat mengikat air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat (Setyaningsih 2006). Adapun sistein termasuk asam amino non esensial dalam pertumbuhan sel dan mempunyai karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol. Sistein mempunyai gugus SH yang membantu kestabilan struktur enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi oksidasi, gugus SH akan diserang terlebih dahulu sehingga enzim dapat terlindungi (Setyaningsih 2006). Standar Mutu Vanili Ekspor vanili Indonesia selama ini ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Namun, perkembangan sepuluh tahun terakhir, selain Amerika Serikat, vanili Indonesia juga diekspor ke beberapa negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Perancis; Australia; dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea. Di pasar Amerika Serikat, vanili yang berkadar air rendah (20-25%) lebih disukai karena sebagian besar digunakan untuk keperluan industri ekstraksi. Untuk pasar
14
Perancis, Jerman, dan Jepang, dikehendaki vanili yang berpenampilan baik, berkadar vanillin tinggi, dan beraroma tajam. Ini disebabkan sebagian vanili di negara tersebut digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang dipasarkan dalam kemasan glass tube (Risfaheri et al. 1998; Suwandi dan Sudibyanto 2005). Untuk menyeragamkan mutu vanili, Organisasi Standar Internasional (ISO) telah menetapkan spesifikasi komoditi vanili yang diperdagangkan di pasar dunia dengan menggunakan ISO 5565-1982. Semua negara produsen (termasuk Indonesia) maupun konsumen mengacu pada standar ISO tersebut (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Adapun di Indonesia, standar mutu vanili yang digunakan adalah berdasarkan SNI 01-0010-2002 yang merupakan hasil revisi pada rapat kaji ulang, prakonsensus dan konsensus nasional pada tanggal 17 Oktober 2002. Standar ini mengacu pada acuan normatif ISO 948:1980, tentang Spices and Condiments-Sampling. Tabel 2 Syarat umum vanili No 1 2
Jenis Mutu Bau Warna
3
Keadaan polong
4 Benda-benda asing 5 Kapang Sumber : SNI 01-0010-2002
Persyaratan Bau khas vanilla Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilap, sampai coklat Penuh berisi sampai dengan kurang berisi, berminyak, lentur sampai dengan kaku Bebas Bebas
Tabel 3 Syarat mutu vanili Indonesia Jenis Mutu Mutu 1A Utuh polong Min. 11
Bentuk Ukuran utuh (cm) Ukuran polong Tidak ada dipotong-potong %Polong utuh Maks. 5 yang pecah dan terpotong % kadar air Maks. 38 % kadar vanilin Min. 2,25 % kadar abu Maks. 8 Sumber : SNI 01-0010-2002
Persyaratan Mutu 1B Mutu II Mutu III Utuh Utuh/dipotong Utuh/dipotong Min. 11 Min. 8 Min. 8 Tidak ada Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan Tidak disyaratkan
Maks. 38 Min. 2,25 Maks. 8
Maks. 30 Min. 1,50 Maks. 9
Maks. 25 Min. 1,00 Maks. 10
15
Keterangan : 1. Buah polong vanili yang cukup tua adalah yang hijau kekuning-kuningan dengan ujung yang menguning. 2. Polong utuh yang pecah adalah vanili yang disajikan dalam bentuk utuh, tetapi pecah lebih dari 4 cm ukuran panjangnya. 3. Benda asing adalah bahan-bahan bukan vanili, misalnya ranting, batu, tanah, bagian tubuh serangga dan lain-lainnya yang terikut dalam vanili. 4. Vanili yang ditumbuhi atau diserang oleh kapang dapat dilihat dengan mata biasa 5. Polong utuh yang terpotong adalah polong vanili yang pada bagian ujungnya terpotong sebagian tapi persyaratan panjang minimumnya masih terpenuhi. Pengeringan Vanili Pengeringan didefinisikan sebagai proses pemberian panas di bawah kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan (Fellows 2000). Pengeringan merupakan metode tertua untuk tujuan preservasi (pengawetan) bahan (Edmont et al. 1957; Singh dan Heldman 2001). Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan diantaranya adalah kondisi proses (temperatur dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan dan desain alat pengering. Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi karena perbedaaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan luar bahan (Fellows 2000). Pengeringan akan mengurangi massa dan volume produk dalam jumlah yang signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan penyimpanan (Singh dan Heldman 2001). Secara umum, produk-produk hortikultura dikeringkan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (sundrying) dan pengeringan buatan (Edmont et al. 1957).
16
Pengeringan vanili dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau menggunakan pengering buatan. Pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan vanili di atas lembaran kain hitam tebal berukuran kira-kira 1,5 m yang kurang lebih dapat membungkus 1015 kg buah vanili. Untuk memudahkan penjemuran, dapat dibuat para-para dari bambu setinggi 0,9 m, lebar 1,5 m, dan panjang 10-12 m (untuk menjemur 10 kg buah vanili). Di atas para-para ini dihamparkan kain katun sebagai alas vanili, yang dijemur selama 2-2,5 jam (tergantung dari panas teriknya matahari). Selama penjemuran ini, vanili tersebut dibungkus kembali menggunakan kain hitam dan dipanaskan lagi selama 2 jam (Kantor Pusat BRI 1996). Pengeringan buatan buah vanili telah banyak dipelajari untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul dalam pengeringan tradisional. Arana (1944) diacu dalam Purseglove et al. (1981) membandingkan pengeringan tradisional dengan matahari dengan oven pada suhu 45oC dimana kelembaban dijaga tetap tinggi. Pemeraman dan pengeringan menggunakan oven dilaporkan menghasilkan keuntungan dimana tumbuhnya jamur dapat dikurangi dan waktu proses menjadi lebih singkat. Penggunaan lampu infra merah juga telah dipelajari oleh Cernuda dan Loustalot (1948) diacu dalam Purseglove et al. (1981), akan tetapi metode pengeringan ini dilaporkan tidak memberikan keuntungan (mahal) dan dapat memacu oksidasi yang pada akhirnya merusak cured vanili. Widodo (1988) melakukan percobaan pengeringan vanili menggunakan alat pengering kabinet bertenaga listrik. Diperoleh hasil bahwa untuk menurunkan kadar air vanili dari 70,06% bb sampai kadar air 35,80% bb dibutuhkan waktu 48 jam dengan suhu pengeringan rata-rata 67,8°C. Energi yang dibutuhkan adalah sebesar 91.000 kJ. Percobaan ini juga memberikan informasi bahwa setelah pengujian mutu secara organoleptik, vanili hasil pengeringan tersebut lebih baik daripada mutu pengeringan hasil pengeringan dengan sinar matahari. Pengeringan vanili menggunakan microwave oven dilakukan oleh Dewi (2005). Penelitian tersebut menyatakan bahwa pengeringan microwave dengan daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik daripada daya lebih tinggi. Semakin lama waktu pengeringan maka proses penurunan kadar air semakin cepat dan laju pengeringan semakin meningkat. Secara umum terjadi
17
penurunan kadar air dan peningkatan kadar vanillin selama proses pemeraman tetapi terjadi penurunan kadar vanillin selama proses pengeringan sebagai akibat suhu pemanasan yang tinggi sehingga merusak enzim. Selama pengeringan, produk akan mengalami perubahan warna, tekstur, flavor dan aroma. Dinyatakan oleh Mazza dan LeMaguer (1980) diacu dalam Fellows (2000), bahwa panas tidak hanya menguapkan air selama pengeringan, akan tetapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil dari bahan pangan dan sebagai akibatnya sebagian besar bahan pangan yang dikeringkan mempunyai flavor yang lebih rendah daripada bahan asalnya. Tingkat hilangnya komponen volatil bahan tergantung pada temperatur, kandungan air dalam bahan, tekanan uap komponen volatil dan solubilitas komponen volatil tersebut dalam uap air. Komponen volatil yang mempunyai volatilitas dan difusivitas relatif tinggi akan hilang pada tahap awal pengeringan. Bahan pangan yang mempunyai kandungan flavor dengan nilai ekonomi tinggi (misalnya herba dan rempah) hendaknya dipanaskan pada suhu yang rendah. Menurut Fellows (2000), struktur porous yang terbuka dari produk yang dikeringkan kemungkinan akan terisi oleh oksigen, dan hal ini menjadi penyebab kedua terpenting dari hilangnya aroma karena terjadinya oksidasi komponenkomponen volatil dan lemak selama penyimpanan. Perubahan flavor dalam buahbuahan sebagai akibat oksidasi atau aktivitas enzim hidrolitik dapat dicegah dengan menggunakan sulfur dioksida, asam askorbat atau asam sitrat atau melalui pasteurisasi pada susu atau jus buah dan blanching pada sayur-sayuran. Pencegahan dapat pula dilakukan dengan penambahan enzim atau aktivasi enzim yang secara alami terkandung dalam bahan yang dikeringkan yang dapat menghasilkan flavor dari prekursor flavor dalam bahan pangan. Anklam et al. (1997) melaporkan bahwa vanillin dapat teroksidasi menjadi asam vanilat dan juga divanillin. Divanillin yaitu produk dimerik vanili terdeteksi setelah vanillin mengalami oksidasi dalam larutan yang mengandung hidrogen peroksida dan enzim peroksidase. Penambahan peroksida saja tidak menyebabkan terbentuknya produk oksidasi vanillin. Adapun asam vanilat merupakan produk oksidasi vanillin dengan adanya enzim xanthine oksidase. Kecepatan oksidasi
18
vanillin yang dihasilkan dari ekstrak vanili alami diketahui lebih rendah dibandingkan vanillin sintetik. Pengeringan Absorpsi Pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan melalui penyerapan air di dalam bahan pangan oleh material penghisap yang bersifat poros. Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air dari dalam bahan pangan dengan prinsip kapiler oleh absorben. Air yang terhisap absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata ke seluruh bagian absorben (Hall 1957). Dalam proses pengeringan absorpsi, sejumlah bahan dan absorben diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Bahan pengisap yang digunakan harus memiliki tekanan uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan yang akan dikeringkan (Christensen 1974). Pengeringan absorpsi tidak menggunakan aliran udara pengering dan suhu tinggi, sehingga faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara pengering. Jenis Pengeringan Absorpsi Sifat penyerapan air oleh bahan absorben telah banyak digunakan terutama di dalam kemasan untuk mencegah penyerapan air oleh produk (dikenal sebagai proses desikasi dalam kemasan). Menurut Samuel dan Vedamurthy (1984), absorben atau desikan yang digunakan untuk pengurangan air dari udara yang kontak dengan bahan pangan harus bersifat non korosif, tidak berbau, tidak beracun, tidak mudah terbakar, secara kimiawi bersifat inert terhadap ketidakmurnian udara, dan mudah didaur ulang. Selain itu, harganya juga harus relatif murah. Untuk bahan pangan, desikan yang umum digunakan berupa silika gel atau kalsium oksida (CaO), karena bahan-bahan ini merupakan bahan pengering yang mudah diperoleh dan tidak berbahaya, sehingga bila terserap ke dalam bahan pangan tidak membahayakan konsumen. Kapur api (CaO) juga merupakan material penyerap air atau absorben yang sangat baik untuk pengeringan secara absorpsi. Pengeringan absorpsi dengan
19
kapur api merupakan metode pengeringan yang sederhana dengan bahan absorben yang relatif murah. Prinsip Pengeringan Absorpsi dengan Kapur Api Proses terjadinya pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api (CaO) adalah terjadinya penyerapan uap air yang ada di udara (lingkungan) pengering oleh absorben sehingga uap air udara pengering menjadi sangat rendah. Rendahnya RH udara pengering mengakibatkan terjadinya penguapan air bahan yang dikeringkan ke lingkungan udara pengering. Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan kapur api atau CaO di dalam lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO. Proses tersebut berlangsung secara terus-menerus sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium. Jadi dalam proses pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api (CaO), pengeringan bahan disebabkan oleh adanya perbedaan RH udara pengering karena diabsorpsi oleh absorben dengan aktivitas air (aw) bahan, karena uap air yang ada di udara diserap oleh absorben. Karakteristik Kapur Api Kapur api atau disebut juga kapur gamping maupun kapur tohor merupakan padatan berwarna putih yang berbentuk bongkahan dengan rumus kimia CaO dan mempunyai titik cair 2570oC serta titik didih 2850oC. Kapur api merupakan bahan pengering yang telah banyak digunakan dalam desikator dengan kapasitas yang sedang dan meninggalkan udara yang cukup kering. CaO mudah diperoleh sebagai kapur api dengan harga yang murah. CaO bersifat tidak mencair, bereaksi dengan air membentuk basa, dengan menyisakan 3 x 10-3 mg air/l udara yang dikeringkan (Harjadi 1990). Kapur api yang telah mati berupa
20
serbuk sehingga bila dipakai dalam desikator harus diusahakan agar debunya tidak mengganggu, misalnya dengan memberi tutup kain halus. Gaspary dan Bucher (1981) meyatakan bahwa CaO diproduksi dengan memanaskan batu kapur pada suhu 800oC-1200oC. Kapur api dapat dikelaskan berdasarkan derajat panas yang diberikan pada waktu pembentukannya, yaitu : 1. Soft burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu 800oC dengan sifat produk yang sangat reaktif (berupa CaO). 2. Hard burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu sekitar 1200oC dan waktu yang lebih lama, sehingga terbentuk kristal dengan sifat yang reaktivitasnya rendah (berupa Ca). 3. Medium burnt lime, dihasilkan melalui proses dengan waktu dan suhu di antara kedua proses di atas. Komposisi kimia kapur api dari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat yaitu dari Kajai dan Kemang Udik masing-masing mengandung CaO sebesar 93,6% dan 94,2% (Gaspary dan Bucher 1981). Sedangkan kapur api produksi PD Djaja Ciampea Bogor yang dianalisa oleh Sucofindo pada tahun 1998, mengandung CaO sebesar 88,82%. Energi Panas Dari Kapur Api CaO disebut kapur api karena apabila material tersebut bereaksi dengan air akan dihasilkan panas yang tinggi. Menurut Halim (1995), dibandingkan dengan desikan atau absorben yang lain yang sering digunakan untuk pengeringan bahan pangan, CaO memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi panas saat bereaksi dengan air. Fenomena pelepasan energi dalam CaO ini dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengeringan di dalam bahan pangan. Chang dan Tikkanen (1988) mengemukakan bahwa umur simpan kapur api relatif singkat (sekitar 60 hari), karena kapur api ini cepat bereaksi secara eksotermik dengan air untuk membentuk Ca(OH)2. Reaksi yang bersifat eksotermik ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu akibat pelepasan energi reaksi CaO dengan air sebagai berikut : CaO (s) + H2O (l)
Ca (OH)2 (s)
∆ Ho = -64,8 kJ
21
Reaksi yang bersifat eksotermik tersebut menghasilkan peningkatan suhu, tetapi suhu bahan selama pengeringan berlangsung kurang lebih konstan karena energi panas yang dilepaskan kapur (reaksi eksotermik) terus diserap bahan dan segera digunakan untuk penguapan air yang dikandung bahan (reaksi endotermik), dengan proses endotermik dan eksotermik yang kurang lebih setimbang (Soekarto 2000). Aplikasi Pengeringan Absorpsi Dengan Kapur Api Pemanfaatan kapur api sebagai absorben dalam proses pengeringan absorpsi telah dicobakan pada beberapa produk yaitu pada pengeringan biji lada (Halim 1995), pengeringan brem padat (Hersasi 1996), pengeringan fillet ikan (Asikin 1998), pengeringan gabah (Fuadi 1999), pengeringan biji pala (Suryani 1999), pengeringan benih tomat (Suzana 2000), dan pengeringan lada hitam (Wulandari 2002). Pengeringan absorpsi pada lada hitam yang dilakukan Halim (1995), memerlukan waktu pengeringan yang sama dengan waktu pengeringan secara penjemuran yaitu selama 8 hari, dengan rendemen lada hitam yang relatif sama. Tetapi pengeringan absorpsi dapat menghambat proses kehilangan minyak atsiri lada selama pengeringan, dimana kehilangan minyak atsiri dapat dihambat sebanyak 5 kali lipat untuk lada segar dan 14 kali lipat untuk lada kering petani dibandingkan dengan metode oven. Penggunaan kapur api sebagai absorben pada pengeringan brem padat dapat mempersingkat waktu pengeringannya. Pengeringan brem padat untuk mencapai kadar air 16% basis kering pada suhu kamar yang biasanya memerlukan waktu 18 jam, dapat dipersingkat waktunya menjadi 12 jam (Hersasi 1996). Selain lebih cepat, pengeringan brem dapat dilakukan di daerah yang memiliki RH udara rata-rata yang tinggi seperti di daerah Bogor, yang sulit digunakan untuk mengeringkan brem padat. Pengeringan absorpsi telah diaplikasikan pula untuk mengeringkan bahan hewani seperti fillet ikan dengan menurunkan kadar air ikan menjadi 9,04% basis basah. Pengeringan fillet ikan dengan alat pengering absorpsi pada RH 20% dan suhu 29oC memiliki laju pengeringan yang lebih lambat dibandingkan dengan
22
pengeringan menggunakan alat pengering model terowongan pada RH 40%, suhu 40oC dan aliran udara 2,0 m/detik (Asikin 1998). Pada pengeringan biji pala bertempurung, waktu yang dibutuhkan pengeringan absorpsi lebih lama, yaitu 8-9 hari dibanding waktu pengeringan dengan penjemuran selama 7 hari (rata-rata lama penjemuran 3 jam/hari). Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11,78% pada pengeringan absorpsi dan 10,92% pada penjemuran. Meskipun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengering absorpsi memiliki penampakan dan warna yang paling baik (Suryani 1999). Hasil penelitian Suzana (2000) menunjukkan bahwa pengeringan benih tomat dengan alat pengering absorpsi selama satu hari dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5,5% bb. Uji viabilitas menunjukkan bahwa benih tomat memiliki daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94,5%. Adapun
hasil
penelitian
Wulandari
(2002)
menunjukkan
bahwa
pengeringan absorpsi pada lada hitam dapat memperkecil hilangnya minyak atsiri pada lada dibanding pengeringan menggunakan sinar matahari. Proses pengeringan absorpsi juga dapat berlangsung lebih cepat (sekitar 4-5 hari) untuk mencapai kadar air 12% dibandingkan pengeringan menggunakan sinar matahari (7-8 hari). Keunggulan Pengering Absorpsi Dengan Kapur Api Menurut Soekarto (2000), pengeringan dengan kapur api memiliki beberapa keunggulan yaitu : (1) bahan absorben kapur api mudah didapat dan harganya murah; (2) daya pengeringannya kuat; (3) cocok untuk pengeringan bahan yang peka terhadap panas dan sinar; (4) dapat mencegah kehilangan zat volatil selama pengeringan; (5) tidak memerlukan bahan bakar yang dapat mencemari lingkungan; (6) hasil sampingnya berupa bahan kapur Ca(OH)2 yang banyak manfaatnya; dan (7) laju pengeringannya dapat dikendalikan. Pengeringan absorpsi juga memiliki rendemen yang baik karena dapat menekan kehilangan bahan akibat tercecer (Halim 1995). Selain itu, pengering absorpsi mudah dalam proses pengeringannya dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.
23
Pengeringan Microwave Microwave merupakan bentuk dari energi gelombang elektromagnetik dengan frekuensi berkisar antara 300 MHz-300GHz yang dapat diaplikasikan secara luas dalam industri. Pengeringan adalah salah satu aplikasi dari penggunaan microwave yang telah dilakukan selama 40 tahun terakhir untuk mengeringkan bahan pangan, produk-produk kayu, kertas, tekstil, produk-produk mineral dan bahan-bahan kimia (Mujumdar 2003). Pemanasan dan pengeringan menggunakan microwave berbeda dengan metode pengeringan konvensional. Metode konvensional diatur oleh gradien temperatur antara temperatur luar dan temperatur dalam bahan, sedangkan mekanisme pemanasan dari frekuensi microwave tidak diatur oleh gradien temperatur. Energi yang dihasilkan diserap oleh bahan yang masih basah. Peralatan microwave terdiri dari tiga komponen utama, yaitu microwave generator, waveguide, dan applicator. Keuntungan pengeringan menggunakan microwave diantaranya prosesnya cepat, kecepatan pengeringan tinggi, waktu pengeringan lebih singkat, kualitas produk menjadi lebih seragam dan lebih baik jika dikombinasikan dengan proses pengeringan konvensional lainnya (misalnya vacuum drying atau freeze drying), konsumsi energi menjadi lebih rendah, dan menghemat biaya (Mujumdar 2003; Wang et al. 2004). Bahan pangan dengan kandungan air tinggi seperti buah dan sayuran dapat menyerap energi microwave dengan cepat. Pemanasan dengan microwave merupakan akibat dari interaksi kimia kandungan bahan pangan dengan medan elektromagnetik. Ketika gelombang microwave diaplikasikan pada bahan pangan, dipol-dipol molekul air dan molekul polar lainnya akan berusaha berorientasi ke dalam medan elektromagnetik tersebut (seperti halnya kompas di dalam medan magnet). Karena terjadi perubahan osilasi yang sangat cepat dalam medan elektromagnet antara kutup positif dan negatif berjuta-juta kali setiap menit, maka dipol-dipol tersebut akan berusaha mengikutinya. Perubahan yang sangat cepat tersebut pada akhirnya akan menimbulkan panas friksi. Meningkatnya temperatur dalam molekul air akan memanaskan komponen-komponen di sekitarnya dalam bahan pangan tersebut melalui konduksi maupun konveksi (Mujumdar 2003). Dapat dikatakan bahwa
24
pemanasan menggunakan microwave menimbulkan panas dari dalam ke luar bahan. Panas akan menguapkan molekul air secara perlahan-lahan dan merata di seluruh permukaan bahan. Pada kenyataannya bagian luar menerima energi yang sama dengan bagian dalam bahan, akan tetapi bagian permukaan akan kehilangan panas lebih cepat karena menguapkan panas ke lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan bagian permukaan tidak menerima panas yang berlebih (tidak terjadi overheating). Pengeringan menggunakan microwave dipengaruhi oleh kemampuan bahan untuk menyerap energi microwave itu sendiri. Kemampuan bahan dalam menyerap gelombang mikro, yang juga menentukan jumlah panas yang dihasilkan dikenal dengan istilah loss factor. Bahan pangan dengan kandungan air tinggi mempunyai loss factor yang tinggi. Bahan tersebut akan menyerap energi dengan cepat sehingga penguapan air terjadi dengan cepat sehingga waktu pengeringan dapat dipersingkat (Mujumdar 2003). Air merupakan zat bersifat polar yang sangat mudah menyerap energi microwave (loss factor = 12.0 pada 2450 MHz). Vanili adalah bahan yang mempunyai kandungan air yang tinggi, dengan demikian vanili tergolong bahan yang mudah menyerap gelombang mikro. Pengeringan menggunakan microwave oven telah digunakan sebagai metode pengeringan alternatif untuk produk-produk pangan seperti buah, sayur, snack, dan produk-produk olahan susu. (Wang et al. 2004). Beberapa produk pangan telah berhasil dikeringkan dengan aplikasi microwave-vacuum atau kombinasi microwave dengan proses konveksi, seperti misalnya plain yoghurt, cranberri, irisan wortel, gel buah, susu skim, whole milk, kasein bubuk, irisan kentang, anggur, apel dan mushroom dan gingseng Amerika, serta vanili.
Vacuum Infiltration Kata vakum berasal dari bahasa latin vacuus, yang berarti kosong. Kata ini merefleksikan kondisi vakum ideal atau vakum sempurna (tekanan absolut nol). Tekanan absolut nol ini, seperti halnya suhu absolut nol Kelvin tidak pernah terealisasi di dunia nyata. Walaupun demikian, tekanan nol atm tetap dipergunakan sebagai acuan pada alat ukur tekanan (Ryans dan Roper 1986).
25
Teknologi vacuum merupakan salah satu bentuk teknologi baru yang berkontribusi untuk preservasi/pengawetan buah dan sayur-sayuran. Teknologi ini dikenal pula dengan vacuum infusion atau vacuum impregnation. Teknologi vacuum merupakan perlakuan pendahuluan yang diberikan pada pemrosesan buah atau sayur untuk meningkatkan kualitasnya dengan cara inkorporasi aktif suatu material tertentu ke dalam struktur produk. Teknologi vacuum infusion didasarkan pada transfer massa hidrodinamik secara cepat dengan cara menempatkan produk pangan di bawah kondisi vacuum sebelum pemberian larutan impregnasi. Perlakuan ini menyebabkan udara yang semula terkandung dalam pori-pori buah atau sayuran digantikan oleh larutan impregnasi. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi vakum tergantung dari efisiensi sistem vakum (pompa dan bagian-bagian alat vakum yang lain) dan biasanya hanya berlangsung selama beberapa detik saja (Saurel 2002). Perlakuan ini dapat diaplikasikan pada produk porous dan pada buah serta sayuran utuh maupun yang dipotong-potong. Teknologi vacuum dapat dikombinasikan dengan pencelupan produk dalam larutan hipertonik (Saurel 2002). Pada proses pencelupan ini, penggunaan tekanan vacuum dapat mempercepat penetrasi larutan ke dalam produk dibandingkan dengan proses difusi molekuler yang terjadi dengan lebih lambat. Ketika kondisi vacuum diaplikasikan, gas-gas yang terperangkap dalam produk akan mengembang dan sebagian akan dihilangkan dari matriks bahan pangan. Setelah tekanan dirubah kembali ke tekanan normal, perbedaan tekanan dihasilkan sehingga menyebabkan penetrasi larutan ke dalam struktur produk yang masih kosong hingga tercapai keseimbangan tekanan internal dan eksternal. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi vacuum tergantung pada efisiensi sistem vacuum (misalnya pompa dan perlengkapan lainnya) dan dapat berlangsung hanya selama beberapa detik saja. Pada beberapa kasus, produk harus tetap dijaga di bawah kondisi vaccum untuk beberapa menit untuk meyakinkan ekstraksi gas-gas internal telah berlangsung dengan baik. Langkah ini tidak penting jika degassing telah sempurna selama tekanan menurun (Saurel 2002). Teknik vacuum infiltration dilakukan untuk mempercepat absorpsi larutan ke dalam jaringan produk. Vacuum infiltration dari larutan kalsium klorida telah banyak
diaplikasikan
untuk
menunda
pematangan
dan
mengontrol
26
ketidakteraturan fisiologi selama penyimpanan buah dan sayur-sayuran. Sebagai contoh, vacuum infiltration diterapkan pada apel, lemon, alpukat, mangga, strawberri, dan tomat (Saurel 2002). Teknik vaccum infiltration dari etanol telah pula dilakukan pisang (Bagnato et al. 2003) untuk mendorong masuknya etanol ke dalam buah-buahan tersebut. Infiltrasi Dengan Pemberian Tekanan Tinggi Pemberian tekanan tinggi di atas 1 atm (tekanan udara normal) telah dilakukan oleh Kesmayanti (1996) dan Juanasri (2004). Kesmayanti (1996) melakukan infiltrasi poliamin ke dalam buah mangga di dalam autoklaf yang telah dirancang untuk infiltrasi. Melalui selang karet yang menghubungkan alat dengan kompresor, udara dialirkan ke dalam alat sehingga tekanan alat mencapai sekitar 10 lb/inch2 atau 0,72 kg/cm2. Pemberian tekanan tersebut dilakukan selama tiga menit. Juanasri (2004) melakukan infiltrasi spermidin dan giberelin ke dalam buah manggis untuk tujuan pengawetan. Seperti halnya penelitian Kesmayanti (1996), alat yang digunakan adalah autoklaf yang telah dimodifikasi untuk infiltrasi. Tekanan yang diberikan untuk infiltrasi spermidin dan giberelin ke dalam buah manggis tersebut adalah 0,3 kg/cm2. Proses dilakukan selama tiga menit.
27