4
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kacapiring (Gardenia Jasminoides Ellis)
Botani dan Klasifikasi Kacapiring adalah spesies tanaman perdu berumur tahunan dari suku Rubiaceae, bunganya berwarna putih dan sangat harum. Tanaman ini dikenal dengan nama binomial Gardenia jasminoides Ellis yang berarti seperti melati, walaupun tidak ada hubungannya dengan marga Jasminum/ melati (http://www. wikipedia.org/wiki/Gardenia). Kacapiring berasal dari Cina dan Jepang. Kacapiring biasa ditemukan sebagai tanaman hias di pekarangan pada daerah dengan ketinggian 400 meter di atas permukaan laut. Kacapiring dapat berbuah pada ketinggian sekitar 3000 kaki di atas permukaan laut. Kacapiring merupakan perdu tegak dengan tinggi 1 sampai dengan 2 meter. Menurut Dalimartha (2005) klasifikasi nama daerah tanaman kacapiring dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan botani tanaman kacapiring adalah sebagai berikut : kingdom
:
Plantae
divisi
:
Magnoliophyta
klas
:
Magnoliopsida
ordo
:
Rubiales
genus
:
Rubiaceae
spesies
:
Gardenia augusta Merr
nama spesifik
:
Gardenia jasminoides Ellis
Tabel 1 Klasifikasi tanaman kacapiring (Gardenia jasminoides Ellis) Sinonim a. Gardenia augusta Merr b. Gardenia florida I c. Gardenia grandiflora Sleb d. Gardenia maruba Sieb e. Gardenia pictorum Hassk f. Gardenia radicans Thumb (Dalimartha 2005).
a. b. c. d.
Nama Daerah Sumatra : meulu bruek, raja patih (Aceh) Jawa : kacapiring (Sunda), peciring, cepiring, ceplok piring (Jawa) Maluku : kacapiring, sangklapa Nusa Tenggara : jempiring (Bali)
5
Tanaman kacapiring seperti terlihat pada Gambar 1 mempunyai batang bulat berkayu, bercabang, ranting muda, daunnya berlapis lilin dan tunggal. Daun letaknya berhadapan atau bercabang tiga, tebal dan licin seperti kulit, bertangkai pendek, bentuknya elips atau bulat telur sungsang, ujung dan pangkalnya runcing, tepi rata, permukaan atas mengkilap dengan panjang daun dari 4,5 sampai 13 cm, lebar daun antara 2 sampai 5 cm. Daun berwarna warna hijau tua dan berbau harum (Dalimartha 2005).
Gambar 1 Tanaman, bunga dan buah kacapiring (Gardenia jasminoides Ellis) Buah kacapiring berbentuk bulat telur, kulitnya tipis, mengandung pigmen berwarna kuning dan berbiji banyak. Buah bisa dimakan, dan juga digunakan sebagai pewarna kuning pada makanan seperti kunyit. Buah memiliki rasa pahit, sifatnya dingin dengan afinitas ke meridian jantung, hati, paru-paru dan lambung. Senyawa pada buah memiliki fungsi membuang racun, menghilangkan lembab, meningkatkan fungsi hati, menenangkan emosi (sedatifa), melancarkan aliran empedu ke usus, antiradang, antibiotik, pereda demam (antipiretik), peluruh dahak, peluruh kencing (diuretik), penyejuk darah, penawar racun, menghentikan pendarahan dan menghancurkan pembekuan darah (Dalimartha 2005). Buah mengandung komponen crocin (salah satu jenis karotenoid) berwarna kuning cerah. Buah yang kering merupakan bahan pewarna tekstil dan pewarna kue tradisional Jepang (wagashi), asinan lobak (takuan) dan pewarna nasi dalam masakan lokal (Dalimartha 2005). Bunga hanya muncul sekuntum di ujung-ujung tangkai, mempunyai mahkota ganda yang berlapis. Bunga sewaktu baru mekar berwarna putih bersih, tetapi sedikit berubah warna menjadi krem kekuningan. Bunga berbau sangat
6
harum sehingga sering digunakan sebagai bahan baku minyak bunga. Bunga kacapiring digunakan sebagai penambah rasa pada daun teh di Cina. Keharuman bunganya sepintas mirip melati sehingga banyak menarik minat serangga seperti beberapa spesies Lepidoptera dan semut. Bunga merupakan komoditas bunga potong, digunakan dalam karangan bunga dan korsase. Tanaman kacapiring berkembang
biak
dengan
cara
stek
atau
cangkok
(http://www.
wikipedia.org/wiki/Gardenia)
Pemanfaatan dan Khasiat Tanaman Kacapiring Daun
kacapiring
secara
tradisional
biasa
digunakan
obat
untuk
penyembuhan panas dalam. Daun juga digunakan sebagai substitusi dengan daun cincau hijau untuk membuat bahan makanan sejenis gel yang dijual sebagai bahan pengisi minuman segar. Gel dibuat dengan peremasan daun dalam media air hingga membentuk cairan keruh berwarna hijau membentuk gel. Gel berkhasiat untuk terapi beragam penyakit, di antaranya diabetes melitus, sariawan, demam dan sukar buang air besar (http://www.wikipedia.org/wiki/Gardenia). Daun yang lebat mampu menyejukkan udara dan menyerap zat beracun dari udara, sehingga tepat dijadikan tanaman penghijauan bagi kota-kota yang kadar polusinya tinggi (http://www.cybertokoh.com/mod.php). Hasil penelitian para ahli terhadap tanaman kacapiring, menunjukkan bahwa kacapiring mengandung senyawa yang mudah menguap. Senyawa tersebut adalah linalool
dan
styrolyl
(http://iptek.net.i/ind/pd_tanobat/view.php?id=143).
Komponen kimia pada daun hasil penelitian Fatmawati (2003), menyampaikan bahwa daun kacapiring mengandung senyawa flavonoid, saponin, tanin, asam galat, dan steroid/ terpenoid yang merupakan kelompok senyawa fenolik. Komponen kimia pada buah kacapiring adalah minyak atsiri, gardenin C14H12O6 atau C23H30O10, gardenosid, geniposide (Kang et al. 1997) adalah iridoid glukosida yang dihasilkan dari ekstraksi buah kacapiring, digunakan sebagai pewarna kuning alami pada makanan dan obat tradisional di Cina, genipin-1-glukoside,
genipin-1-β-D-gentiobioside,
gardoside
(8,10
dehidrologanin), glikosid β-sitosterol, α-manittol, nonacosasone, crocetin, crocin (C44H64O24) merupakan karotenoid larut air yang berperan memberi warna kuning
7
(Chen et al. 2007), klorogenin, tanin, dan dekstrosa (Dalimartha 2005). Zhou et al. (2007) mengisolasi kandungan buah kacapiring dan memperoleh 4 komponen utama yaitu shanzzhiside, deacetil-asperulosidik acid metil ester, gardenosid dan scandesidemetil ester yang dimurnikan dengan kristalografi dan kromatografi.
Hidrokoloid
Sifat-Sifat Fungsional Hidrokoloid Hidrokoloid merupakan polimer larut air, mempunyai kemampuan mengentalkan atau membentuk sistem gel encer. Menurut Pomeranz (1991) hidrokoloid merupakan makromolekul hidrofilik yang dapat dilarutkan, didispersikan atau mengembang dalam air dan membentuk larutan yang kental (gel). Hidrokoloid alami dari tanaman sudah lama dipergunakan sebagai bahan campuran pada pengolahan makanan. Berdasarkan komponen penyusunnya, sebagian besar hidrokoloid merupakan polisakarida (Walter 1991). Hidrokoloid dapat meningkatkan kekentalan larutan dan membentuk gel (Glicksman 1969). Hidrokoloid tergolong senyawa yang relatif sulit dicerna namun dalam pengolahan pangan, senyawa ini digunakan untuk memodifikasi tekstur suatu produk pangan karena hubungannya dengan penerimaan konsumen (Fardiaz 1989). Hidrokoloid terdistribusi secara luas pada tanaman terutama sebagai komponen penyusun dinding sel dan lamela tengah, serta penyusun sel merismatik (Pomeranz 1991). Kadar hidrokoloid sangat tergantung dari umur, jenis dan kondisi tanaman (Walter 1991). Hidrokoloid berdasarkan sumber asalnya, dikelompokkan menjadi kelompok getah (seperti gum arab, karaya, gum gati dan tragakan), gum asal biji-bijian (seperti gum guar, gum biji, lokus pati), ekstrak rumput laut (seperti agar-agar, alginat, karagenan, fulselaran), ekstrak tanaman darat (seperti pektin), ekstrak hewan (seperti gelatin, kaseinat) serta gum hasil fermentasi (seperti gum xantan, dekstran, curdlan, gum gellan) (Phillips & William 2000).
8
Hidrokoloid dibedakan menjadi hidrokoloid tradisional dan hidrokoloid komersial. Hidrokoloid tradisional sudah biasa dikonsumsi masyarakat pada suatu daerah tertentu, namun keterbatasan informasi sifat dasarnya menyebabkan penggunaan hidrokoloid tersebut menjadi sangat terbatas. Beberapa contoh hidrokoloid tradisional adalah Premna oblongifolia Merr (Untoro 1985), Cyclea barbata L. Miers) dan Mesona polutris B.L. Hidrokokoloid tradisional terkadang mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan hidrokoloid komersial, yaitu cepat mengalami gelasi pada air dingin. Sifat-sifat gel dapat ditingkatkan dengan menambahkan ion logam divalen tertentu seperti Ca, Mg, Ba, Cu, Fe, Pb, dan Hg (Kurniati 1999). Berbagai jenis hidrokoloid dapat digunakan dalam industri pangan, baik yang berasal dari sumber alami maupun sintetis. Pemilihan jenis hidrokoloid yang digunakan untuk suatu produk pangan tergantung sifat-sifat hidrokoloid, sifat produk pangan yang diinginkan serta faktor pertimbangan biaya. Menurut Fardiaz (1989) berdasarkan sumber asalnya hidrokoloid dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu hidrokoloid alami, hidrokoloid alami termodifikasi dan hidrokoloid sintetis. Hidrokoloid atau gum mempunyai banyak sifat fungsional yang berguna dalam aplikasi pangan (Fardiaz 1989). Sifat utama hidrokoloid adalah mampu membentuk gel. Pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks. Gelasi melibatkan asosiasi (ikatan silang) dari rantai-rantai polimer untuk membentuk jaringan tiga dimensi secara kontinyu. Mampu memerangkap cairan, membentuk struktur yang kaku, kokoh, dan tahan mengalir di bawah suatu tekanan tertentu. Struktur gel merupakan asosiasi polisakarida rantai panjang. Struktur gel menghasilkan jejaring yang mampu memerangkap air (Bell 1989). Model konformasi gel sangat dipengaruhi oleh ikatan antar gula, derajat percabangan, derajat polimerisasi, ion logam dan hidrokoloid lain (Morris 1979). Menurut Graham & Horace (1977) sebagian besar hidrokoloid tersusun oleh glukosa, galaktosa, manosa, asam uronat, dan fruktosa. Perbedaan struktur antar hidrokoloid disebabkan oleh adanya selingan gula pada rantai samping. Pomeranz (1991) menggolongkan hidrokoloid menjadi kelompok homopolisakarida yang terdiri dari rangkaian gula sejenis dan heteropolisakarida yang terdiri dari gula
9
yang beragam. Perbedaan jenis gula bukan memberikan kontribusi terhadap geometri akhir, tetapi berpengaruh terhadap berat molekul (BM) dan sifat fungsional (Barbut & Foegeding 1993). Menurut Morris (1979) ada empat struktur dasar yang membentuk konformasi hidrokoloid, yaitu stuktur primer, sekunder, tersier dan kuartener.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Gel Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel pada hidrokoloid, dapat berdiri sendiri atau berhubungan satu sama lain sehingga memberikan pengaruh yang kompleks. Faktor-faktor yang paling menonjol adalah konsentrasi, suhu, pH, dan adanya ion atau komponen aktif lainnya (Fardiaz 1989).
Konsentrasi Konsentrasi
hidrokoloid
sangat
berpengaruh
terhadap
kekentalan
larutannya. Konsentrasi hidrokoloid yang rendah biasanya akan bersifat sebagai aliran Newtonian. Meningkatnya kosentrasi menyebabkan sifat aliran akan berubah menjadi non Newtonian. Hampir semua hidrokoloid memiliki kekentalan yang tinggi pada konsentrasi yang sangat rendah antara 1-5%, kecuali pada gum arab yang sifat Newtoniannya tetap dipertahankan sampai dengan konsentrasi 40%. Konsentrasi hidrokoloid pada daun cincau yang memiliki konsistensi sifat gel terbaik pada konsentrasi 5%. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, gel yang dihasilkan lebih banyak mengandung buih sehingga mempengaruhi penampilan fisik serta mempercepat terjadinya sineresis, sedangkan pada konsentrasi lebih rendah, gel yang diperoleh bersifat lebih encer sehingga konsentrasi sangat mempengaruhi karaktersistik sifat gel yang dihasilkan (Untoro 1985).
Suhu Pengaruh suhu akan menyebabkan penurunan kekentalan pada beberapa hidrokoloid. Kenaikan suhu dapat mengubah sifat aliran yang semula non Newtonian menjadi Newtonian. Pemanasan pada beberapa kelompok hidrokoloid diperlukan sampai suhu 75oC. Tujuan pemanasan adalah untuk meningkatkan jumlah mineral yang larut dalam larutan serta memungkinkan membentuk gel
10
yang utuh. Pemanasan diperlukan terutama oleh sekelompok pektin yang memiliki jumlah grup metoksi tinggi, sedangkan hidrokoloid pada daun cincau merupakan kelompok pektin bermetoksi rendah, dimana dalam pembentukan gelnya tidak memerlukan proses pemanasan (Untoro 1985). Pengaruh panas akan menyebabkan struktur gel menjadi rusak, lunak dan warna gel kecoklatan karena proses oksidasi dan lepasnya mineral Mg yang mengikat klorofil (Ferruzi et al. 2001). Peningkatan suhu menyebabkan pergerakan molekul-molekul dalam larutan baik molekul polisakarida atau ion-ion mineral, sehingga menunda kesempatan terbentuknya jejaring yang teratur antara polimer dengan ion mineral. Gel yang disimpan pada suhu rendah akan memberikan kekompakan dan kekuatan gel yang lebih baik karena terbentuk matrik sistem gel yang lebih kuat, yaitu pada gel daun cincau memiliki karakteristik sifat fisik yang jauh lebih baik dan memiliki umur simpan yang lama (5oC selama 30 hari penyimpanan), dibandingkan pada suhu ruang (Untoro 1985).
Derajat keasaman ( pH ) Hidrokoloid pada umumnya membentuk gel dengan baik pada kisaran pH tertentu. Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan kekentalan dengan meningkatnya pH hingga mencapai titik tertentu dan kemudian akan makin menurun bila pH terus ditingkatkan. Gel daun cincau hijau memiliki sifat fisik gel terbaik pada pH rendah (asam) yaitu sekitar 5,55. Pada pH 4,0 larutan menjadi kental sekali dan bila pH diturunkan lagi, maka kekentalan akan menjadi semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh gugus-gugus asam polisakarida, sehingga sifat larutan tergantung pada gugus tersebut. Jika gugus tersebut karboksil asam lemah maka viskositas larutan sangat dipengaruhi oleh pH (Untoro 1985). Interaksi antara polimer lebih mudah terjadi melalui ikatan hidrogen. Meningkatnya gaya gesek internal akan meningkatkan kekentalan. Pada pH yang sangat rendah viskositas gel daun cincau justru menurun karena terjadi protonasi pada gugus anion dari gugus asam polisakarida, yang diduga adalah karboksilat. Protonasi yang berlebihan menyebabkan jumlah ion H+ meningkat dalam larutan. Meningkatnya ion H+ menyebabkan protonasi merubah secara total gugus karboksil anion menjadi gugus karboksil netral, sehingga polimer menjadi tidak
11
bermuatan dan gaya tolak menolak antar polimer tidak ada, yang mengakibatkan polimer cenderung mengumpul atau tidak tersebar dalam larutan yang mengakibatkan viskositasnya rendah (Untoro 1985).
Keberadaan Ion Logam Beberapa jenis hidrokoloid membutuhkan ion-ion logam tertentu untuk membentuk gel, karena pembentukan gel tersebut melibatkan pembentukan jembatan melalui ion-ion selektif. Mineral dengan ion divalen dan multivalen bisa dipakai untuk membentuk gel seperti Ca2+, Ba2+, Mg2+, Zn2+, Fe2+, Pb2+, Mn2+, Cu2+, Hg2+, Fe3+. Ion bervalensi tunggal dari KCl, NaCl dan NH4Cl tidak dapat digunakan untuk membentuk gel karena ion dengan valensi tunggal tidak bereaksi dengan polimer. Ion bervalensi tunggal tetap larut dalam air dan terimobilisasi dalam gel yang dapat mempertinggi tekanan osmosis dari air dalam gel sehingga mengurangi sineresis (Untoro 1985). Rendlemen (1966) menyatakan bahwa logam alkali dan alkali tanah dapat membentuk komplek dengan karbohidrat. Penambahan garam mineral yang berlebihan menyebabkan penggumpalan atau “salting out”, dan keberadaan mineral akan menyebabkan terjadi kompetisi dengan hidrokoloid dalam mengikat air. Gel daun cincau dan alginat mempunyai mekanisme pembentukan gel secara kimia. Pembentukan gelnya dibantu oleh mineral tertentu, seperti kalsium yang membentuk jembatan ion sehingga mampu mengelasi OH pada gugus karboksilat. Ion kalsium yang ditambahkan pada pektin, pH 3 dan mengalami proses termal akan membentuk gel yang bersifat reversible. Logam divalen diperlukan untuk menghubungkan rantai-rantai asam pektinat sehingga dapat membentuk jaringan gel (Towle & Christensen 1973, diacu dalam Farida 2002).
Komponen aktif lainnya Sifat fungsional beberapa jenis hidrokoloid juga dipengaruhi oleh adanya hidrokoloid lain. Pengaruh ini dapat bersifat negatif, yaitu sifat fungsional semakin berkurang dengan adanya hidrokoloid lain ataupun bersifat positif karena adanya pengaruh sinergis antara hidrokoloid-hidrokoloid yang bergabung. Gum atau hidrokoloid dapat berinteraksi dengan ingredien pangan dan hidrokoloid lain.
12
Interaksi antara hidrokoloid biasanya bersifat sinergistik, apabila menghasilkan peningkatan kekentalan dalam bentuk campuran. Umumnya pengaruh komponen atau hidrokoloid lain dikontrol oleh pH dan konsentrasi (Fardiaz 1989).
Isolasi Komponen Pembentuk Gel (KPG) Hidrokoloid pada tanaman sebagian besar berinteraksi dengan komponen lain membentuk struktur jaringan (Southgate 1991). Pemisahan hidrokoloid dari komponen tersebut memerlukan langkah sistematis seperti ekstraksi, filtrasi, sentrifugasi, penggumpalan dan pengeringan. Keberhasilan pemisahan suatu komponen tergantung dari konsentrasi, sifat fisiko-kimia dan tingkat kemurnian yang ingin dicapai (Southgate 1991). Konsentrasi hidrokoloid pada tanaman diperkirakan berkisar antara 2,5% sampai 5% dari total berat keringnya (Walter 1991). Metode ekstraksi yang memadai diperlukan untuk memperoleh hasil yang baik. Phatak et al. (1988) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam isolasi hidrokoloid adalah pH. Penurunan pH dapat menyebabkan gugus aktif hidrokoloid mengalami protonasi sehingga menjadi reaktif dan gaya tolak elektrostatiknya
akan
semakin
besar
untuk
menggerakkan
rantai-rantai
hidrokoloid. Penurunan pH juga menyebabkan ionisasi logam yang mempunyai tendensi untuk bereaksi dengan gugus aktif hidrokoloid. Hariyadi (1990), menyatakan nahwa reaksi tersebut perlu dikendalikan dengan menambahkan senyawa pengelasi logam seperti ethilendiamintetraacetate (EDTA). Penambahan EDTA dimaksudkan untuk membentuk kompleks antara mineral yang ada pada gel dengan EDTA (Nabrzyski 1997). EDTA adalah agen pengikat ion logam dan meningkatkan energi aktivasi dari reaksi inisiasi membentuk ikatan sigma dengan logam (Nostrandis 1976). Hidrokoloid sebagian besar mempunyai distribusi berat molekul dengan rentang luas. Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui berat molekul hidrokoloid salah satunya dengan fraksinasi (Houghton & Raman 1998). Fraksinasi bertujuan untuk memisahkan komponen berdasarkan ukuran molekul, muatan, bentuk, polaritas maupun volatilitas. Fraksinasi dengan cara ultrafiltrasi dapat dipergunakan untuk memisahkan suatu komponen berdasarkan berat
13
molekulnya (Bruneton 1999). Artha (2001) dalam penelitiannya melakukan fraksinasi komponen pembentuk gel daun cincau Cyclea barbata L. Miers dan memperoleh hasil bahwa isolat KPG terdiri dari sebagian komponen dengan berat molekul besar 1000-2000 kDa, yang tersusun oleh asam galakturonat sebagai rantai utama dan galaktosa pada rantai percabangannya. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan selama fraksinasi, yaitu pH dan konsentrasi larutan hidrokoloid. Larutan hidrokoloid dengan pH antara 2,5 sampai 2,8, akan menyebabkan pori-pori membran cepat tersumbat. Hal ini disebabkan oleh gugus fungsional yang berprotonasi dapat berinteraksi dengan sisi aktif membran sehingga terjadi penyumbatan pada pori-pori membran. Macrae et al. (1993) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid, maka pori-pori membran akan semakin cepat tersumbat. Setyaningsih (1998) berhasil melakukan fraksinasi peptida filtrat moromi dengan ultrafiltrasi menjadi fraksi dengan berat molekul antara 3 kDa sampai 10 kDa, dan antara 0,5 kDa sampai 3 kDa. Faksinasi larutan KPG juga dilakukan dengan memodifikasi kondisi tersebut (Artha 2001). Berat molekul polisakarida berbeda satu sama lain, karena variasi alami berat molekul, ketidakakuratan dalam teknik separasi, purifikasi dan dispersi molekul. Penentuan berat molekul suatu polisakarida sangat sulit, namun informasi tentang berat molekul sangat penting untuk viskositas, pembentukan gel dan pembentukan film. Keberadaan gugus asam karboksilat pada polisakarida yang bersifat asam, menyebabkan perbedaan sifat di dalam suatu larutan. Viskositas hidrokoloid jika gugus asam karboksilatnya adalah asam lemah, maka viskositasnya sangat dipengaruhi oleh pH. Gugus karboksilat pada larutan netral adalah garam anion. Garam alkali metal biasanya mengalami ionisasi, sehingga menghasilkan viskositas yang tinggi dalam larutan. Faktor tambahan yang berkontribusi terhadap viskositas adalah kenaikan hidran sebagai akibat anion karboksilat. Repulsi ion antara anion karboksilat menyebabkan molekul polisakarida mendorong satu sama lain sehingga mencegah gelasi (Manullang 1997). Kation divalen seperti kalsium, mengambil bagian di dalam ikatan intra dan inter molekuler yang menuju terbentuknya gel. Polisakarida yang mengandung grup asam karboksilat dan diasamkan sekitar pH 3.0 atau kurang, maka grup asam
14
tersebut hanya sebagian kecil terionisasi dan sifat larutan lebih mendekati pada polisakarida netral. Grup asam yang tidak bermuatan, bertaut oleh ikatan hidrogen menyebabkan presipitasi gel. Kebutuhan akan asam dalam pembuatan jelly buah merupakan contoh dari pengaruh pH tersebut. Grup asam kuat seperti ester sulfat, ditemukan pada beberapa gum tanaman dan polisakarida dari hasil laut. Polisakarida ini tidak banyak dipengaruhi oleh pH. Interaksi antara grup anion dari polisakarida asam pada suasana netral disebabkan karena adanya garam kation polivalen, dan media asam (Manullang 1997). Sebagian besar hidrokoloid tersusun oleh unit monomer berbeda, sehingga berpengaruh terhadap berat molekul (Walter 1991) dan struktur hidrokoloid yang dihasilkan (Pomeranz 1991). Struktur suatu hidrokoloid tergantung dari jenis gula penyusunnya (Bell 1989). Pendekatan yang mungkin dilaksanakan untuk mempelajari struktur suatu hidrokoloid adalah melakukan hidrolisis (Nollet 1990). Hidrolisis bertujuan untuk mendapatkan unit penyusun-penyusun polimer hidrokoloid. Hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis atau dengan asam (Bellitz & Grosh 1999). Hidrolisis enzim biasanya dilakukan apabila jenis polimer hidrokoloid telah diketahui (Graham & Horace 1977, diacu dalam Artha 2001). Hidrolisis asam dilakukan apabila jenis polimernya belum diketahui (Houghthon & Raman 1998). Reaksi hidrolisis yang seimbang, menyebabkan tidak semua polisakarida dihidrolisis menjadi gula sederhana (Scott 1990), namun sebagian dalam bentuk disakarida atau oligosakarida (Nielsen 1998). Hidrolisis asam biasanya berlangsung secara acak, pemutusan ikatan glikosidik tidak teratur, sehingga hasilnya sulit diprediksi (Helmy & El-Motagali, 1992). Reaksi hidrolisis yang sulit dikontrol, akan menyebabkan enolisasi, yaitu lepasnya molekul air (Belitz & Grosch 1999), sehingga dihasilkan produk dehidrasi gula seperti furfural, furan, furaldehid maupun furanon. Pemilihan model analisis gula selalu dijadikan pertimbangan (Graham & Horace 1979), karena setiap metode analisis mempunyai keterbatasan dalam hal deteksi (Nollet 1990). Menurut Scott (1990) deteksi gula sederhana dilakukan dengan kromatografi kinerja tinggi dan detektor yang dipergunakan biasanya adalah detektor indeks bias. Prinsip dasar dari detektor ini adalah perbedaan indeks bias komponen dalam larutan (Nielsen 2003). Menurut Black dan Bagley
15
(1978), pelarut yang paling banyak dipergunakan dalam analisis gula sederhana adalah campuran asetonitril : air. Perbandingan pelarut relatif bervariasi tergantung dari sampel yang dianalisis.
Gel Daun Kacapiring Daun kacapiring mampu menghasilkan gel yang unik seperti gel pada daun cincau. Gel kacapiring dapat diperoleh dengan meremas-remas daun kacapiring segar di dalam sejumlah air sampai diperoleh air perasan yang kental, keruh berwarna hijau. Filtrat cairan yang disaring apabila dibiarkan beberapa waktu akan membentuk gel seperti bongkahan yang tidak tembus cahaya dan licin. Daun cincau yang selama ini dikenal di Indonesia, digunakan untuk membuat bahan sejenis gel yang banyak dijual sebagai bahan pengisi minuman segar. Gel adalah sejenis makanan yang bersifat seperti agar-agar, dihasilkan dari hasil remasan daun yang ditambahkan air secukupnya sebagai pelarut. Gel daun umumnya dapat dibentuk pada suhu kamar antara 25oC sampai 30oC. Nasution (1999) meneliti gel cincau hijau dan memperoleh hasil bahwa pada konsentrasi 5% b/v, akan memberikan sifat-sifat gel baik seperti kekuatan pecah, titik pecah dan kekakuan. Konsentrasi 4% b/v, gel yang dihasilkan bersifat sangat elastis dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk membentuk gel. Sifat sangat elastis mengakibatkan gel sangat sulit untuk dipotong. Ekstrak daun dengan rasio daun lebih dari 5% b/v, menghasilkan buih yang banyak dan mengganggu kekompakan. Gel daun kacapiring merupakan salah satu hidrokoloid. Semua hidrokoloid mampu memberikan kekentalan terhadap suatu larutan, tetapi hanya sedikit jenis hidrokoloid yang mempunyai sifat mampu membentuk gel. Gel merupakan suatu sistem koloid, dimana cairan terdispersi dalam padatan (Untoro 1985). Hidrokoloid mempunyai nilai guna yang penting karena sifat fungsional yang dimiliki. Hidrokoloid merupakan polimer-polimer rantai panjang yang larut atau terdispersi di dalam air dan menyebabkan viskositas larutan menjadi tinggi. Sifat mengental dalam air ini merupakan alasan utama dari kegunaan hidrokoloid. Menurut Heyne (1987) unsur yang menyebabkan terbentuknya gel adalah suatu karbohidrat yang mempunyai daya jendal jika dicampur dengan air. Gel tersebut umumnya hanya tahan antara 1 sampai 2 hari pada suhu ruang. Gel
16
adalah suatu sistem koloid yang butir terdispersinya padat. Butir-butir ini peroleh dengan cara menghancurkan butir-butir yang lebih besar yang dikenal dengan dispersi mekanik. Butir-butir ini bersambung membentuk suatu jaringan yang agak kaku dan memerangkap cairan pelarut di dalamnya. Karbohidrat pada daun adalah gum alam. Gum diperoleh dari hasil ekstraksi tanaman dan kerusakannya sering terjadi karena sineresis. Sineresis terjadi karena kekuatan dari luar, seperti pemotongan dan putusnya ikatan benang fibriler. Komponen pembentuk gel pada daun kacapiring diduga merupakan senyawa hidrokoloid yang memiliki mekanisme gelasi mirip dengan daun cincau sehingga sifat fungsional yang ingin diketahui mengacu pada penelitin tentang daun cincau. Artha (2001) mengisolasi dan mengarakterisasi sifat fungsional komponen pembentuk gel cincau hijau Cyclea barbata L. Miers. Hasil karakterisasi yang diperoleh adalah gel cincau terbaik berdasarkan kadar air dan berat gel diperoleh pada perlakuan penambahan FeSO4, sedangkan persentase tertinggi pada penambahan CaCl2. Isolat KPG dengan konsentrasi 1.5% b/v bersifat sensitif terhadap ion kalsium, pH dan suhu 90oC. Kekentalannya meningkat dengan meningkatnya konsentrasi hidrokoloid dan penyimpanan pada suhu beku selama 1 bulan. Oleh karena itu KPG daun cincau baik digunakan sebagai bahan pengental untuk produk yang mengandung kalsium, mempunyai pH rendah sekitar 4,0 dan mengalami proses termal maupun proses pembekukan dan kurang tepat diterapkan pada produk pangan yang dihidangkan dalam keadaan panas.
Serat Pangan (Dietary fibre) Serat pangan adalah senyawa bioaktif non gizi yang disebut fitokimia. Senyawa tersebut secara bersamaan memberikan dampak penting pada beberapa mekanisme enzim dalam menangkal racun (detoksifikasi), stimulasi ketahanan tubuh, metabolisme kolesterol, pengikatan zat karsinogenik dalam usus, efek antibakteri dan antioksidan. Komponen serat yang tinggi ditemukan pada dinding sel tanaman. Komponen ini termasuk senyawa struktural seperti selulosa, pektin dan lignin (Muchtadi 2000). Serat pangan merupakan bagian dari karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh sistem enzim pencernaan. Serat pangan banyak berasal dari dinding sel
17
berbagai sayuran dan buah. Secara umum serat pangan adalah kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem sekresi normal dalam lambung dan usus kecil (Winarno 1997). Beberapa jenis komponen serat dapat dicerna (difermentasi) oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produk-produk fermentasi. Muchtadi (2000) menyebutkan bahwa total dietary fibre (TDF) terdiri dari komponen soluble dietary fibre (SDF), dan insoluble dietary fibre (IDF). Soluble dietary fibre (SDF) adalah serat pangan yang dapat larut pada air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Gum, pektin, dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman merupakan sumber SDF. Insoluble dietary fibre (IDF), merupakan serat pangan yang tidak larut dalam air panas atau dingin. Sumber IDF adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sebagian kecil kutin, lilin tanaman dan kadang-kadang senyawa pektat yang tidak dapat larut. IDF merupakan kelompok terbesar dari TDF dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah sepertiganya (Muchtadi 2000). Serat tidak larut ada tiga macam yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Serat tidak larut banyak terdapat pada sayur, buah dan kacang-kacangan. Sedangkan serat larut adalah pektin, musilase dan gum. Serat larut juga banyak terdapat pada buah, sayur dan sereal, sedangkan gum banyak terdapat pada akasia. Serat pangan pada tumbuhan terdapat dalam struktur dinding sel, terutama pada jaringan parenkim dan sebagian dari jaringan terlignifikasi. Dinding sel tanaman terdiri dari tiga lapisan yang berbeda secara morfologis yaitu lapisan antar sel (lamela tengah), dinding sel pertama dan dinding sel kedua (Muchtadi 2000). Gordon (1989) menyatakan bahwa serat pangan total mengandung gulagula dan asam-asam gula sebagai pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau bereaksi satu sama lain. Gula dan asam merupakan bahan pangan utama dalam serat makanan total. Komponen gula yang membentuk serat adalah glukosa, galaktosa, silosa, manosa, arabinosa, ramnosa, dan fruktosa. Asam-asam gula pada serat adalah asam manonuronat, galakturonat, guloronat, dan 4-o-metilglukoronat. Grup fungsional dari serat makanan adalah hidrogen, hidroksil, karbonil, sulfat dan metil. Semua komponen serat pangan
18
total memberikan karakteristik fungsional pada serat meliputi kemampuan daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dengan viskositas yang berbeda-beda, mengadsorpsi minyak, pertukaran kation, serta memberikan warna dan flavor (Muchtadi 2000). Serat pangan secara kimia dapat diklasifikasikan sebagai polisakarida dan non polisakarida. Serat pangan yang merupakan kelompok polisakarida adalah selulosa, hemiselulosa (arabinoksilan, galaktomanan dan glukomanan), substansi pektat, β-glukan, musilase, gum dan polisakarida alga, sedangkan serat pangan yang tergolong non-polisakarida adalah lignin (Muchtadi 2000). Pengaruh fisiologi serat pangan adalah menghasilkan sejumlah reaksi biologis. Hal ini tergantung pada sifat fisik-kimia masing-masing sumber serat, meliputi peningkatan masa feses, penurunan kadar kolesterol darah dan penurunan respon glikemik. Serat mengikat air dan asam empedu sehingga menyebabkan feses menjadi lunak, mudah didorong keluar. Mekanisme ini mampu menurunkan kolesterol dan resiko kanker, karena waktu transit yang lama dan senyawa karsinogenik yang bermukim dalam tubuh menjadi pendek sehingga kesempatan untuk membahayakan tubuh menjadi semakin kecil (Golberg 1994). Serat mempunyai kemampuan berinteraksi dengan komponen makanan lain pada saluran pencernaan dan enzim pencernaan. Dinding sel buah sayur mengandung selulosa, polisakarida pektik dan siloglukan sebagai komponen utama polisakarida. Biji sereal mengandung arabinosilan (1-3,1-4)-β-D-glukan, dengan jumlah selulosa yang bervariasi dan hanya sedikit polisakarida pektik (Muchtadi 2000). Antioksidan Antioksidan adalah zat yang mampu mencegah atau memperlambat terjadinya proses oksidasi. Antioksidan pada konsentrasi yang tinggi dapat bersifat sebaliknya yaitu menjadi prooksidan atau meningkatkan oksidasi (Schuler 1990). Menurut Halliwell et al. (1992) antioksidan adalah zat yang dalam konsentrasi kecil dapat mencegah atau memperlambat laju oksidasi radikal bebas. Antioksidan alami dapat berfungsi tunggal atau lebih seperti sebagai senyawa pereduksi, penangkap radikal bebas, pengompleks logam, prooksidan
19
dan quencher dari bentuk singlet oksigen. Senyawa-senyawa ini umumnya golongan fenol atau polifenol yang berasal dari tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan dari asam sinamat, kaumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional. Menurut Langseth (2000) katekin dan epigalokatekin, merupakan komponen fenolik yang terdapat pada teh hijau dan teh hitam. Senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan sehingga dapat mencegah beberapa penyakit degeneratif seperti kanker dan atherosklerosis atau jantung koroner. Kadar polifenol pada daun teh antara 20% sampai 30%, sedangkan secangkir seduhan teh mengandung sampai 40 mg flavonoid. Daun kacapiring juga mengandung komponen bioaktif yang mungkin disebabkan adanya komponen fenolik, dan kandungan klorofilnya sebagai co-faktor dalam meningkatkan kemampuannya menangkap radikal bebas (Rahmayanti & Sitanggang 2006). Menurut Larson (1988) diacu dalam Andarwulan (1995) menyatakan bahwa senyawa antioksidan alami digolongkan sebagai komponen fenolik, protein, komponen nitrogen, karotenoid, dan komponen lain seperti vitamin C, keton, dan glikosida, yang memiliki mekanisme mengikat radikal bebas. Radikal bebas secara kontinyu dibentuk oleh tubuh. Tubuh memiliki sistem antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas, baik melalui proses enzimatis maupun non enzimatis. Antioksidan dapat diartikan sebagai senyawa pemberi elektron yang diperlukan oleh radikal bebas dalam menstabilkan dirinya, dan dapat juga menghentikan pembentukan radikal bebas (Atmosukarto 2003). Antioksidan alami ditemukan pada berbagai tumbuhan, tanaman berkayu, sayur atau buah. Senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan pada tanaman berkayu seperti terpenoid, pada sayur dan buah mempunyai banyak vitamin A, B, C, E dan β-karoten. Vitamin-vitamin tersebut dapat berperan sebagai antioksidan, sehingga mampu melindungi tubuh dari penyakit kanker (Atmosukarto 2003). Antioksidan alami terdapat pada seluruh bagian tanaman tingkat tinggi, seperti pada kayu, batang, daun, buah, akar, bunga dan serbuk sari. Senyawa ini biasanya adalah senyawa fenol atau polifenol (Pratt 1992).
20
Antioksidan pada tanaman tinggi telah diuji secara in vitro, mampu memberikan perlindungan dari kerusakan akibat oksidasi, menghambat serta mengikat radikal bebas dan oksigen yang reaktif. Singlet oksigen dengan kuat diikat oleh karoten terutama β-karoten. Komponen fenolik berperan sebagai antioksidan tergantung pada nilai redoks dari grup hidroksil, dengan mekanisme mereduksi, donor hidrogen dan mengikat oksigen (Hudson 1990). Wijeratne et al. (2006) menyatakan bahwa beberapa antioksidan alami antara lain asam amino dan dipeptida, hidrolisat protein, protein larut air, phospholipids, garam inorganik, tokoferol dan turunannya, karotenoid, asam askorbat, enzim antioksidan, komponen fenolik bagian tanaman yang dapat/ tidak dapat dimakan. Antioksidan pada makanan mampu meningkatkan perlawanan oksidasi dari serangan singlet oksigen, menurunkan konsentrasi oksigen, mencegah rantai inisiasi pertama dengan mengikat radikal bebas, mengikat ion sebagai katalis, dekomposisi produk utama, dari oksidasi menjadi produk non radikal dan memecah rantai substansi untuk mencegah bersambungnya abstraksi hidrogen dari substrat. Antioksidan alami pada makanan akan habis saat proses. Antioksidan pada berbagai variasi diet makanan lebih efektif melawan oksidasi dari pada satu atau dua komponen.
Senyawa Fenol Senyawa fenolik yang terkandung dalam pangan merupakan salah satu hasil metabolisme sekunder tanaman. Secara kimia, senyawa fenolik terdiri dari sebuah cincin aromatik yang terdiri dari satu atau lebih senyawa hidroksil, termasuk turunan fungsionalnya. Pada umumnya fenol bersifat polimerik dan tidak larut dalam lignin sehingga terdapat di seluruh vascular. Beberapa fenol pada makanan dapat larut dalam air atau perlarut organik.Umumnya kandungan senyawa fenol berbeda satu dengan yang lain. Senyawa fenolik dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk asam fenolik, flavonoid, lignan, stillbene, coumarin dan tanin. Senyawa fenolik pada tanaman memiliki fungsi yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksi. Senyawa sebagai antipatogen, serta berperan dalam pembentukan pigmen. Beberapa sifat produk pangan juga berhubungan dengan keberadaan senyawa fenolik, antara lain kesegaran dan efek kesehatan oleh
21
keberadaan senyawa fenolik tertentu. Namun senyawa fenolik dalam jumlah yang besar dapat bersifat sebagai antinutrisi, sehingga perlu pertimbangan yang baik sebelum dikonsumsi. Senyawa fenolik memiliki efek yang penting pada stabilitas oksidasi dan keamanan mikrobiologi pangan, seperti aktivitas biologis yang berhubungan dengan efek penghambatan pada metagenesis dan pembentukan karsinogen. Beberapa tanaman seperti biji-bijian, minyak, legum, rempah-rempah dan teh telah lama dikenal mengandung senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antoksidan senyawa fenolik dari sumber-sumber tanaman lainnya juga terus diteliti oleh para pakar, antara lain terhadap aktivitas antioksidan dan kandungan senyawa fenolik pada beberapa buah dan sayuran. Senyawa
fenol
dalam
bahan
pangan
menurut
Harborne
(1987),
dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (1) fenol sederhana dan asam fenolat (pkresol, 3-etil fenol, 3,4-dimetil fenol, hidroksiquinon, vanillin, asam galat), (2) turunan asam hidroksi sinamat (p-kumarat, kafeat, asam ferulat dan asam klorogenat) dan (3) flavonoid (katekin, flavon, flavonol dan glikosida). Senyawa fenol alami telah diketahui lebih dari seribu struktur. Flavonoid merupakan golongan terbesar. Flavonoid adalah senyawa alami hasil sintesis tanaman yang terdapat pada semua bagian tanaman seperti buah, daun, kayu dan kulit kayu (Pratt 1992). Flavonoid dapat membantu reaksi redoks terhadap fungsi vitamin C pada pembuluh darah, dan sebagai antioksidan yang aktivitasnya tergantung pada bentuk, dosis, sistem enzim atau deoksidasinya. Senyawa flavonoid dapat digolongkan menjadi 3, yaitu (1) senyawa yang dapat menangkap radikal oksigen (misalnya kaemferol, naringenin, apigenin dan naringin), (2) senyawa yang dapat menghilangkan pengaruh radikal oksigen (misalnya miricetin, delpinidin atau quercetin), (3) senyawa yang bersifat sebagai antioksidan atau prooksidan tergantung pada konsentrasinya (misalnya phoretin, sianin, katekin, dan morin), serta (4) senyawa yang bersifat inaktif (misalnya rutin dan phyloridin) (Pratt 1992). Nenadis et al. (2005) meneliti komponen fenolik yang berpotensi mengikat radikal bebas dari Olea europae. Senyawa yang teridentifikasi adalah metabolit dari hidroksitirosol. Bond disosiasi entalpi (BDE) dari grup hidroksil dan ion
22
potensial diprediksikan sebagai donor atom H+ dan donor elektron yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan. Lignan dan fenol lain mempunyai nilai BDE tinggi antara 85,1 sampai 88,0 kkal/mol. Nilai BDE tinggi memiliki potensi yang rendah dalam mengikat radikal. Franke et al. (2005) melakukan penelitian terhadap pemberian orange jus yang mengandung vitamin C, flavanon termasuk glikosida, karoten (xantophil dan criptoxantin) dan asam folat diperoleh rasio kolesterol low density lipoprotein (LDL) dan high density lipoprotein (HDL) menurun. Oleh karena itu orange jus merupakan sumber makanan yang baik untuk meningkatkan sirkulasi dan konsentrasi komponen hidrofilik sebagai fitokimia lipofilik. Potensi antioksidan senyawa fitokimia yang menguntungkan adalah flavonoid (hesperetin dan narigenin predominan sebagai glikosida), karotenoid (xantophyl, kriptoxantin, karoten) dan vitamin C (Asplund 2002). Reddy et al. (2004) menyatakan bahwa antioksidan alami mampu mencegah autooksidasi dari lemak dan minyak. Ekstrak tanaman yang dicampurkan pada biskuit seperti amla (Emnlica officianalis), daun drumstick (Moringa oleife)r dan raisin (Vitis vinifera), merupakan antioksidan alami. Semua ekstrak mampu memberikan penghambatan. Persentase antioksidannya tinggi, dianalisis secara in vitro, menggunakan metode β-karoten bleaching, dengan standar antioksidan adalah buthylated hydroksi anisol (BHA). Penambahan ekstrak tanamam biji fenugreek dan rimpang jahe yang di freeze dryer efektif mengontrol oksidasi lemak selama penyimpanan dingin (Mansour & Khalil 2000).
Klorofil Klorofil adalah zat warna hijau daun yang terbentuk dari proses fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan. Klorofil terletak pada badan-badan plastid yang disebut kloroplas. Kloroplas memiliki bentuk yang teratur, dibawah mikroskop lensa lemah tampak sebagai lempengan berwarna hijau. Klorofil terikat erat dengan lipid, protein, dan lipoprotein. Molekul-molekul ini terikat dengan ikatan monolayer. Lipid terikat karena afinitas fitol, sedangkan protein terikat karena afinitas cincin planar porfirin yang hidrofobik. Dua persen dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuh-tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya. Flavonoid merupakan salah satu
23
golongan fenol terbesar dan merupakan kandungan khas tumbuhan hijau, yang selalu disertai karoten (Markhan 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisik-kimia klorofil adalah asam, suhu, cahaya, oksigen dan enzim (Lopes-Ayera et al. 1992). Ferruzzi et al. (2001) menyatakan bahwa studi mengenai absorpsi dan metabolisme klorofil belum banyak dilakukan. Sifat klorofil yang mudah terdegradasi oleh asam, panas, cahaya, oksigen menjadi salah satu kendala pada studi-studi absorpsi klorofil. Disebutkan pula, bahwa hanya dalam waktu setengah jam pada fase lambung (pH 2), lebih dari 95% klorofil a dan b berubah menjadi bentuk feofitin (kehilangan mineral Mg), selanjutnya feofitin dimetabolisme oleh mikroflora usus antara lain menjadi feoforbid. Klorofil dapat diserap oleh usus dikemukakan oleh Ferruzzi et al. 2001, dalam penelitiannya menggunakan pure bayam yang dicerna secara in vitro (menggunakan enzim-enzim pencernaan), pada sel Caco-2 sebagai model sel manusia. Klorofil alami terdegradasi selama pencernaan. Turunan-turunan klorofil kemudian bergabung dengan misel lipid setelah diinkubasi dengan sel Caco-2. Turunan-turunan klorofil yang bersifat lipolitik terakumulasi dalam sel. Oleh karena itu diduga bahwa turunan klorofil dapat diserap secara in vivo. Egner et al. (2001) berhasil membuktikan bahwa adanya penyerapan turunan klorofil dalam darah. Mereka melakukan studi interfensi sodium chopper chlorophyll (SCC), terhadap banyak manusia. Hasil intervensi dengan dosis 100 mg, 3 kali sehari selama 4 bulan, diperoleh bahwa pada serum darah subyek ditemukan bentuk klorin (suatu turunan klorofil), dan serum darah subyek berwarna hijau. Hal ini belum pernah ditemukan sebelumnya dan penemuan ini menunjukkan adanya penyerapan in vivo turunan klorofil. Aktivitas biologis klorofil telah dilaporkan bahwa klorofil dan beberapa turunannya
memiliki
kemampuan
antimutagenik,
antioksidan
dan
anti
hiperkolesterol. Egner et al. (2001) menyatakan bahwa konsumsi klorofilin atau suplemen pangan tinggi klorofil dapat melindungi perkembangan karsinogen sel hati atau kanker lain yang diinduksi dari lingkungan. Ferruzzi et al. (2002) menguji kapasitas menangkap radikal bebas berbagai turunan klorofil. Klorofil yang kehilangan logamnya pada pusat cincin porfirin, menurunkan kapasitas
24
antioksidannya. Logam yang terkelat mengakibatkan lebih terkonsentrasinya densitas elektron di pusat cincin dan menjauhi kerangka porfirinnya, sehingga meningkatkan kemampuannya mendonorkan elektron dari sistem porfirin yang terkonjugasi. Klorofil yang kehilangan group fitilnya menampakkan peningkatan antioksidasi.
Kedua
pernyataan di
atas
menunjukkan
bahwa
kerangka
klorin/porfirin dan keberadaan logam terkelat adalah dua hal yang penting untuk kapasitas antioksidan. Struktur klorofil dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia klorofil (Nollet 2000) Mekanisme antioksidasi klorofil Endo et al. (1985) diacu dalam Prangdimurti (2007) mengemukakan tentang mekanisme antioksidatif klorofil dan turunannya. Mereka membandingkan aksi antioksidan antara klorofil a dan turunannya yaitu feofitin a, protoporfirin dan Mg-protoporfirin. Keempat senyawa memperlihatkan kapasitas antioksidatif terhadap metil linoleat dalam kondisi gelap dengan parameter bilangan peroksida (PV) dan bilangan karbonil (CV). Klorofil dan Mg-protoporfirin memperlihatkan aktivitas antioksidatif yang lebih besar dibandingkan feofitin dan protoporfirin dalam hal menghambat pembentukan peroksida. Pengujian menggunakan senyawa pirol yaitu penyusun struktur porfirin, tidak menunjukkan aktivitas antioksidatif yang berarti. Hasil ini menunjukkan bahwa stuktur porfirin penting untuk aksi antioksidatif klorofil dan keberadaan Mg, meningkatkan aktivitas antioksidan
klorofil.
Penelusuran
lebih
lanjut
mengenai
pengaruh
Mg
menyimpulkan bahwa Mg akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas
25
antioksidan klorofil jika dalam bentuk terkelat dalam struktur klorofil, bukan dalam bentuk ionik (sebagai MgCl2). Endo et al. (1985) memperlihatkan kemampuan klorofil dan feofitin dalam mendegradasi hidroperoksida, yaitu dengan cara menginkubasikan dalam substrat metil linoleat hidroperoksida. Hasilnya menunjukkan bahwa kedua senyawa tersebut tidak memiliki kemampuan mendegradasi hidroperoksida dengan parameter bilangan peroksida dan bilangan karbonil. Kemampuan menangkap radikal bebas 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH), menunjukkan bahwa klorofil memiliki kemampuan menangkap (scavenger) radikal lipid yang dihasilkan selama proses autooksidasi minyak sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi. Besarnya aktivitas antioksidan klorofil dengan menggunakan metode DPPH dilaporkan oleh Kristopo et al. (2006) diacu dalam Prangdimurti (2007), menggunakan klorofil yang diisolasi dari selaput hijau kecambah kacang hijau. Dari hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa pada konsentrasi 5 x 10-5 M aktivitas antioksidan klorofil a sebesar 10,857 + 0,277% dan klorofil b sebesar 8,937+ 0,454%. Klorofil tertanam pada membran tilakoid dan terikat dengan protein integral diantara lipid bilayer. Ekstraksi klorofil dipermudah dengan bantuan detergen seperti tween 80. Tween 80 termasuk detergen ionik. Tween 80 berfungsi menekan pembentukan feofitin pada ekstraksi klorofil, dibandingkan detergen anionik seperti sodium dodecyl sulfate (SDS). Sodium dodecyl sulfate meningkatkan muatan negatif pada permukaan membran kloroplas dan menghasilkan akumulasi ion H+ sehingga pembentukan feofitin meningkat (Vargas dal Lopez 2003, diacu dalam Prangdimurti 2007). Jenis larutan pengekstrak juga mempengaruhi kapasitas antioksidan, kadar klorofil larut air dan kadar total klorofil. Penambahan tween 80 sebanyak 1 % ke dalam larutan pengekstrak meningkatkan kapasitas antioksidan dari ekstrak aquades maupun ekstrak dengan campuran Na-sitrat. Hal ini sesuai dengan penelitian Prangdimurti (2007) yang mengemukakan bahwa ekstrak daun suji dengan beberapa larutan pengekstrak yang mengandung senyawa bersifat basa menghasilkan efek kapasitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan hanya dengan aquades.