4
TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Luas areal dan produksi kelapa Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Pada tahun 2006 Indonesia memiliki luas areal pertanaman kelapa 3,818 juta Ha (32,37 %) disusul berturut-turut oleh Filipina
3,243 juta hektar (27,50%), India
1,935 juta
hektar (16,41 %), Srilangka 0,395 juta hektar (3,35 %), dan Thailand 0,226 juta hektar (1,91 %) (APCC, 2007). Potensi kelapa dunia dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan potensi kelapa Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Peta potensi kelapa dunia No.
Negara
2002
Tahun 2004 1000 ha
2003
2005
2006
1.
Indonesia
3.885
3.911
3.870
3.894
3.818
2.
Filipina
3.182
3.217
3.259
3.243
3.243
3.
India
1.892
1.919
1.899
1.935
1.935
4.
Sri Lanka
442
442
395
395
395
5.
Thailand
327
328
343
344
226
6.
Tanzania
310
310
310
310
313
7.
Papua New Guinea
260
260
260
260
260
8.
Brazil
263
271
275
281
280
9.
Mexico
171`
148
148
150
12
10.
Vietnam
165
136
133
132
133
159
131
131
130
115
70
70
70
70
78
Sumber : APCC (2007) Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa produktivitas kelapa Indonesia 4.235 butir kelapa per hektar per tahun masih rendah dibanding negara-negara penghasil kelapa lainnya misalnya Philipina, India, Sri Lanka, Brazil, Mexico, Vietnam, Myanmar dan Cina. Brazil, Cina, Myanmar dan Mexico merupakan negara-negara penghasil kelapa dengan
5 produktivitas tertinggi yaitu masing-masing 13.496, 12.500, 10.671 dan 7.917 butir kelapa per hektar per tahun. Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% (sejak tahun 2004) dan melibatkan lebih dari tiga juta rumah tangga petani. Tabel 2 Produktivitas kelapa Indonesia dan negara-negara lain No
Negara
Produktivitas kelapa (butir/hektar/tahun)
1.
Indonesia
4.235
2.
Philipina
4.334
3.
India
6.632
4.
Sri Lanka
5.608
5.
Thailand
3.500
6.
Tanzania
1.492
7.
Brazil
13.496
8.
Papua New Guinea
3.125
9.
Mexico
7.917
10.
Vietnam
5.132
11.
Malayasia
3.008
12.
Vanuatu
3.125
13.
Myanmar
10.671
14.
China
12.500
Sumber : APCC (2007) Kelapa biasa disebut sebagai pohon kehidupan (tree of life) dan pohon surga (A heavenly tree) karena semua bagian tanaman ini dapat digunakan untuk kehidupan. Pada umumnya, produk kelapa di Indonesia dipasarkan dalam bentuk primer sehingga nilai ekonominya sangat rentan terhadap fluktuasi musim yang menyebabkan nilai jual rendah dan menimbulkan kerugian di pihak petani. Namun demikian, penerimaan dari sektor komoditas kelapa masih dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki
6 pengelolaan dan efisiensi pengolahan serta pengolahan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini. Komposisi kimia minyak kelapa berbeda dengan komposisi kimia sumber minyak lainnya. Keunikan minyak kelapa, yaitu kaya akan kandungan asam-asam lemak jenuh berantai pendek dan berantai menengah. Minyak biji sawit atau palm kernel oil (PKO) merupakan minyak yang komposisi kimiawinya mirip dengan minyak kelapa Sebagai perbandingan komposisi asam-asam lemak berbagai sumber
minyak nabati dapat
dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dan minyak nabati lain (%) Sumber minyak Kelapa
Biji sawit
Sawit
Jagung
Kedelai
C6:0 kaproat
0,50
0,30
-
-
-
C8:0 kaprilat
8,00
3,90
-
-
-
C10:0 kaprat
7,00
4,00
-
-
-
C12:0 laurat
48,00
49,60
0,30
-
-
C14:0 miristat
17,00
16,00
1,10
-
0,10
C16:0 palmitat
9,00
8,00
45,20
11,50
10,50
C18:0 stearat
2,00
2,40
4,70
2,20
3,20
C20:0 arahidat
0,10
0,10
0,20
0,20
0,20
C16:1 palmitoleat
0,10
-
-
-
-
C18:1 oleat
6,00
13,70
38,80
26,60
22,30
C18:2 linoleat
2,30
2,00
9,40
58,70
54,50
C18:3 linolenat
-
-
0,30
0,80
8,30
C20:4 arahidonat
-
-
-
-
0,90
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
8,40
15,70
48,50
86,10
86,00
Jenuh :
Tidak jenuh :
Total Persen tidak jenuh
Sumber : Thampan dalam Supriatna (2008)
7 Alkohol Lemak (Fatty Alcohol) Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak
alami
sedangkan turunan dari petrokimia (parafin dan etilen) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hall et al., 2000). Alkohol lemak termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar yang merupakan alkohol alifatik rantai panjang. dengan panjang rantai antara C6 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus dan monohidrat serta dapat diserap atau mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon lurus di atas C22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Karakter Alkohol lemak (primer atau sekunder) linier atau bercabang, jenuh atau tidak jenuh ditentukan oleh proses pabrik dan bahan baku yang digunakan (Presents, 2000). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di Eropa Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95 % dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan Alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents, 2000) Menurut Suryani et al. (2001), Alkohol lemak diturunkan dari asam lemak dan metil ester melalui reaksi hidrogenasi. Reaksi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : • Minyak nabati ditransesterifikasi menjadi metil ester, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak. • Minyak nabati dihidrolisis menjadi asam lemak, lalu dihidrogenasi menjadi Alkohol lemak Untuk menghasilkan Alkohol lemak terlebih dahulu dilakukan transesterifikasi yang merupakan proses paling efektif untuk transformasi molekul trigliserida menjadi molekul ester asam lemak. Transesterifikasi melalui reaksi antara alkohol dan molekul trigliserida dengan adanya katalis asam atau basa (Gambar 1). Sedangkan reaksi kimia Alkohol lemak dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (Aldehid/ keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan Keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart, 2003).
8
Minyak kelapa/sawit
Pemurnian
Transesterifikasi
Hidrolisis
Gliserin
Gliserin
Asam lemak
Metil ester
Esterifikasi
Fraksinasi destilasi
Fraksinasi destilasi
Hidrogenasi
Hidrogenasi
Alkohol lemak Gambar 1 Proses pembuatan Alkohol lemak (Present, 2000) Dengan kehadiran alkohol berlebih, hemiasetal/hemiketal bereaksi lebih lanjut membentuk asetal/ketal. Gugus hidroksil (OH) dari hemiasetal digantikan oleh gugus alkoksil (OR). Reaksi pembentukan asetal terjadi karena salah satu dari kedua oksigen hemiasetal dapat diprotonasi. Bila oksigen hidroksil diprotonasi, lepasnya air menghasilkan karbokation resonansi. Reaksi karbokation ini bereaksi dengan alkohol yang biasa sebagai pelarut dan berada dalam keadaaan berlebih menghasilkan asetal (sesudah proton lepas). .
9 Tabel 4 Reaksi kimia alkohol lemak dan hasilnya Pereaksi + Oksigen
Aldehid, Asam karboksilat
+ Basa cair
Asam karboksilat
+ Basa
Alkohol dimerik
+ Proton
Eter, Olefin
+ Alkina
Vinil eter
+ Asam karboksilat
Ester
+ Hidrogen halida
Alkil Halida
+ Ammonia
Amina
+ Aldehid / Keton
Asetal
+ Sulfat
Thiol
+ Alkoholat / H2S
Xanthat
+ Metals
Metal Alkoksida
Alkohol lemak
Sumber: (Presents, 2000) Pada Tabel 5 dapat dilihat beberapa karakteristik Alkohol lemak dengan berbagai panjang rantai. Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/ dodecyl alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 2590C, tidak berwarna dan tidak larut dalam air
10 Tabel 5 Karakteristik Alkohol lemak dengan bebagai panjang rantai Nama umum
IUPAC
Rumus molekul
Berat Molekul
Titik Lebur °C
Titik Didih (°C)
1-Hexanol
Alkohol kaproat
C6H14O
102,2
-52
157
1-Heptanol
Alkohol enanthat
C7H16O
116,2
-30
176
1-Octanol
Alkohol kaprilat
C8H18O
130,2
-16
195
1-Nonanol
Alkohol elargonat
C9H20O
144,3
-4
213
1-Decanol
Alkohol kaprat
C10H22O
158,3
7
230
C11H24O
172,3
16
245
C12H26O
186,6
23
260
C13H28O
200,4
30
276
C14H30O
214,4
38
172
C15H32O
228,4
44
1-Undecanol 1-Dodekanol
Alkohol lauril
1-Tridecanol 1-Tetradecanol
Alkohol miristil
1-Pentadecanol 1-Hexadecanol
Alkohol setil
C16H34O
242,5
49
1-Heptadecanol
Alkohol margaril
C17H36O
256,5
54
1-Octadecanol
Alkohol stearil
C18H38O
270,5
58
C19H40O
284,5
62
C20H42O
298,6
64
C21H44O
312,6
68
C22H46O
326,6
71
C23H48O
340,6
74
C24H50O
354,7
77
C25H52O
368,7
78
1-Nonadecanol 1-Eicosanol
Alkohol arakidat
1-Heneicosanol 1-Docosanol
Alkohol behenil
1-Tricosanol 1-Tetracosanol
Alkohol lignoceril
1-Pentacosanol Sumber: (Presents, 2000)
194
214
215
241
11 Pati Sagu Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari. Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, makanan, kertas, dan plastik (Limbongan, 2007) Potensi sagu yang masih dapat digarap di Indonesia sangat tinggi, karena masih terdapat hutan sagu seluas 1,25 juta ha di Papua dan Maluku, serta 148 ribu ha lahan sagu semibudidaya di Kepulauan Riau, Mentawai, Sumatera, kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan sagu ini merupakan lahan terluas di dunia (Humas, 2006) Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84 % sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha. Indonesia termasuk satu dari dua negara yang memiliki areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentukbentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Menurut Samad (2002),
sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik
dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7-10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang dan Ahmad, 2000). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 6.
12 Tabel 6 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g Komponen
Sagu
Jagung
Tapioka
Kalori (cal)
357,0
349,0
98,0
Protein (g)
1,4
9,1
0,7
Lemak (g)
0,2
4,2
0,1
Karbohidrat (g)
85,9
71,7
23,7
Air (g)
15,0
14,0
19,0
Fe (g)
1,4
2,8
0,6
Sumber : www. pustaka bogor.net 2007 Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 72 74oC. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati Sumber Pati
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
Sagu
27
73
Jagung
28
72
Beras
17
83
Kentang
21
79
Gandum
28
72
Ubikayu
17
83
Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005).
Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik sehingga menyebabkan surfaktan cenderung berada pada
antar muka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen
13 seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985). Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik.
Klasifikasi tersebut berdasarkan
keberadaan gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Metheson, 1996). Sedangkan Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut: •
Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina.
•
Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif.
•
Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol.
•
Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH. Menurut Sadi (1994), Surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak
nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak.
Proses-proses yang
diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi.
Jenis surfaktan
yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan. Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu : •
Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.
•
Berbasis karbohidrat seperti alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.
•
Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin.
•
Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan sophorolipid.
14 Menurut Porter (1991), sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya kelompok yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi, yaitu kelompok hidroksil (ROH) dan kelompok eter (R-O-R’). Daya kelarutan dalam air kelompok hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan kelompok sulfat atau sulfonat. Micelle Pada konsentrasi rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air. Jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorpsi pada permukaan
hingga mencapai kejenuhan dan tegangan
permukaan menjadi konstan. Jika surfaktan terus ditambahkan ke dalam larutan tersebut, maka molekul surfaktan berada dalam larutan namun bagian hidrofobik dari surfaktan tetap menolak air sehingga molekul-molekul surfaktan membentuk bulatan yang dikenal micelles (Gambar 2.a) dan
pembentukan micelles dapat dilihat pada
Gambar 2.b. Keterangan : Micelles surfaktan Molekul air Molekul surfaktan Gambar 2a. Micelles
Gambar 2b. Pembentukan micelles Gambar 2 Micelles dan pembentukannya
Pembasah Jika setetes air dijatuhkan di atas suatu permukaan maka tetesan air tersebut dapat saja menyebar pada permukaan (membasahi) atau membentuk suatu tetesan stabil di atas permukaan tersebut (tidak membasahi). Penurunan tegangan permukaan pada air oleh surfaktan dapat membuat sebuah larutan sukar basah menjadi larutan mudah basah. Semakin pendek rantai hidrokarbon pada struktur kimia suatu surfaktan semakin baik daya basahnya. Karakteristik daya basah yang optimum dimiliki surfaktan dengan rantai sekitar C12 (Porter, 1991).
15 Pembentukan buih Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk buih, baik diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Buih cair adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan buih diperoleh dari adanya zat pembuih (surfaktan). Zat pembuih ini teradsorpsi ke daerah antar - fase dan mengikat gelembung -gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan. Struktur buih cair tidak ditentukan oleh komposisi kimia atau ukuran buih ratarata, melainkan kandungan zat cairnya. Jika fraksi zat cair lebih dari 5%, maka gelembung gas akan mempunyai bentuk hampir seperti bola. Sebaliknya, jika kurang dari 5% maka bentuk gelembung gas adalah polihedral. Struktur buih cair dapat berubah jika diberi gaya dari luar. Apabila aya tersebut kecil, maka struktur buih akan kembali ke bentuk awal setelah gaya tersebut ditiadakan. Namun, jika gaya yang diberikan cukup besar, maka akan terjadi deformasi. Pengujian
surfaktan
meliputi
kemampuan
untuk
kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan dan
menstabilkan
emulsi,
tegangan antar muka,
mengontrol jenis formasi emulsi dengan hidrophilic lipophilic balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red Spectroscopy).
Kestabilan Emulsi Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan (Kamel, 1991). Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et al., 2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya untuk ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus lebih tinggi viskositasnya dibandingkan dengan emulsi yang globulanya tidak seragam (Muchtadi, 1990).
Tegangan Permukaan Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarikmenarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikelpartikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani et al. 2000).
16 Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan disebabkan oleh adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan diukur menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter (dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m). Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul-molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan, sehingga menyebabkan cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin. Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989). Air merupakan cairan yang umumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu yang memiliki tegangan permukaan.
Setiap molekul dalam struktur molekul air,
dikelilingi dan ditarik oleh molekul air yang lainnya. Tegangan permukaan tersebut pada saat molekul air yang terdapat pada permukaan air ditarik ke tubuh air. Tegangan ini mengakibatkan air membentuk butiran-butiran pada permukaan gelas atau kain yang lambat
laun
akan
membasahi
bagian
permukaan
dan
menghambat
proses
pembersihan.
Tegangan antarmuka Tegangan antarmuka adalah gaya per satuan panjang yang terjadi pada antarmuka antara dua fase cair yang tidak dapat tercampur.
Tegangan antarmuka
sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama (Moecthar, 1989).
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) Menurut Suryani et al. (2000), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui hubungan antara gugus
hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB
digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu : a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah.
17 b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air Memerlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi. Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air, makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan pada tabel dibawah ini. Tabel 8 Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin Nilai HLB
Aplikasi
3–6
Pengemulsi W/O
7–9
Wetting agent
8 – 14
Pengemulsi O/W
9 – 13
Detergen
10 -13
Solubilizer
12 -14
Dispersant
Sumber : Holmberg et al. (2003)
Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) Fourier Transform Infra Red Spectroscopy merupakan pencirian unsur dan gugus fungsi dalam suatu polimer. Analisis ini diperlukan karena dalam suatu polimer terkandung aneka unsur kimia baik logam maupun bukan logam. Spektrum inframerah dari senyawa organik mempunyai sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang sama adalah kecil sekali (Randall
et al.,
dalam Indrawanto, 2007).
Alkil poliglikosida (APG) APG pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer (Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka dan lain-lain) dengan alkohol lemak berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, biji kapok dan biji karet). Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak sedang kedua berbasis dekstrose dan alkohol lemak. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3. Pada diagram proses Gambar 3 tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara metode pertama dengan kedua. Metode pertama melalui proses butanolisis
18 dan transasetalisasi, sedang metode kedua hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing metode masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan, dan pemucatan. APG mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa. Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG tersusun dari molekul glukosa/pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada Gambar 3. Pati atau sirup dekstrosa
Butanolisis
Transasetalisasi
Glukosa anhidrat atau glukosa monohidrat (dekstrosa) Butanol
Alkohol lemak
Butanol/ Air
Alkohol lemak
Asetalisasi
Air
Netralisasi
Destilasi
Air
Alkohol lemak
Pelarutan
Pemucatan
Alkil poliglikosida Gambar 3 Proses sintesis APG Proses
produksi
APG
melalui
proses
asetalisasi
dilakukan
dengan
mencampurkan alkohol lemak dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25 mmHg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan NaOH 50 % pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak ) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol
19 lemak dilakukan pada suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu 50-100°C kurang lebih selama 2 jam (Indrawanto, 2007).
Gambar 4. Proses reaksi dan struktur alkyl polyglycoside (APG) Gambar 4 Proses reaksi dan struktur APG Menurut Wuest et al. (1992), sintesis surfaktan APG dapat dengan reaksi 2 tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan rantai lebih panjang C
8-22
terutama C
12-18
dari
alkohol lemak bahan baku alami. Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125oC dan dengan tekanan 4-10 bar dalam zone reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur 115-118 oC pada kondisi vakum dengan rasio mol pati dengan alkohol rantai panjang adalah 1: 1,5 sampai 1: 7, 1:2,5 sampai 1:7, dan 1:3 sampai 1: 5.sedangkan rasio mol sakarida : air = 1:5 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:12, 1:6 sampai 1:9, 1:6 sampai 1:8. Pada Gambar 5 dapat dilihat proses reaksi sintesa APG satu tahap dan Gambar 6 sintesis APG dengan dua tahap.
Gambar 5 Proses sintesis APG satu tahap
20
Gambar 6 Proses sintesis APG dua tahap Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar sebagai berikut:
Reaksi butanolisis Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida. Pemilihan katalis pada proses sintesa APG juga sangat menentukan keberhasilan
terbentuknya
ikatan
asetal
serta
memperpendek
proses
sintesa
berlangsung. Katalis-katalis asam yang dapat digunakan pada tahapan proses asetalisasi meliputi: •
Asam anorganik: asam fosfat, asam sulfat, asam klorida, dll.
•
Asam organik: asam triflouroasetat, asam p-toluen sulfonat, asam sulfosuksinat, asam kumena sulfonat, asam lemak tersulfonasi, ester asam lemak tersulfonasi , dll.
•
Asam dari surfaktan: asam alkil benzena sulfonat, alkohol lemak sulfat, alkoksilat alkohol lemak sulfat, alkil sulfonat rantai lurus, alkil ester dari asam sulfosuccinat, alkil naphthalena sulfonat dll. Dari katalis tersebut diatas dipilih katalis organik asam p-toluena sulfonat, karena
katalis cenderung bersifat organik dan dapat terurai serta berupa asam lemah. Jika menggunakan asam kuat, kemungkinan asam akan bereaksi dengan menghidrolisa glukosa. Penggunaan asam lemah juga akan memudahkan dalam proses netralisasi. Selain itu asam p-toluena sulfonat juga bersifat tidak korosif terhadap pipa besi ataupun stainless steel (Hill et al., 1996) Gibson et al. (2001) menentukan katalis asam yang digunakan dalam proses asetalisasi/transasetalisasi menggunakan perhitungan sebagai berikut : • Katalis pertama kira-kira 0,7-1,4% dari berat pati • Katalis kedua kira-kira 25-50% dari berat katalis yang pertama.
21 • Katalis yang digunakan pada tahapan proses asetalisasi adalah penjumlahan dari katalis pertama dan katalis kedua.
Reaksi Transasetalisasi Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25-50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida, sedangkan butanol dan air pada suhu proses ini (1200C) akan teruapkan dan ditampung dalam separator. Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8-C22),
sehingga proses pengikatan glukosa
siklik terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (wuest et al, 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesa APG sering pula disebut glycosidation. McCurry et al, (1996) menyatakan bahwa alkohol lemak rantai panjang yang diperkenankan dalam sintesa APG adalah mulai rantai C8-C22, tetapi menurut Hill et al. (1996) rantai panjang alkohol lemak yang dapat digunakan C8–C18 lebih dianjurkan. Alkohol lemak memiliki gugus hidroksil (OH) yang sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang berikatan dengan atom karbon. Dengan bertambah panjangnya rantai karbon, maka pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun dan sifat non polar akan semakin tinggi. Alkohol lemak pada APG diperlukan untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat hidrofobik. Pemilihan alkohol lemak yang tepat juga akan berpengaruh pada suhu transasetalisasi berlangsung sebab semakin panjang rantai maka titik didih alkohol lemak semakin tinggi.
Netralisasi Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu pH sekitar 8-10. Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi alkali metal, alumunium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1996) Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1996).
22 Pada proses netralisasi, rasio mol pati terhadap alkohol lemak akan berpengaruh pada jumlah basa yang digunakan karena alkohol lemak cenderung bersifat asam semakin banyak jumlah alkohol lemak yang digunakan maka semakin banyak pula basa yang dipakai.
Pada tahapan proses destilasi semakin banyak alkohol lemak yang
digunakan maka akan semakin banyak alkohol lemak yang tidak bereaksi sehingga semakin banyak alkohol lemak yang harus didestilasi dan terbuang. Proses netralisasi dilakukan pada suhu 70-1000C dan dilakukan pada tekanan normal. Lama proses netralisasi kurang lebih 30-60 menit sampai dicapai nilai
pH
antara 8-10.
Destilasi Tahapan destilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses destilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar 160 -1800 C dengan tekanan sekitar 0,1-2 mmHg tergantung alkohol lemak yang digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkanalkohol lemak yang tidak bereaksi. Pada tahapan destilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Untuk itu, dilakukan pengecekan setiap saat selama proses destilasi berlangsung untuk memperoleh produk dengan kandungan alkohol lemak serendah mungkin dan terhindar dari kerusakan (kering) jika waktu destilasi terlalu lama atau kandungan alkohol lemak masih terlalu banyak jika waktu reaksi terlalu singkat. Karena kondisi reaktor tertutup dan tidak terlihat dari luar maka pengecekan dilakukan dengan menggunakan batang pengaduk dengan memasukannya ke dalam reaktor untuk mengamati kekentalan/viskositas dari larutan reaksi. Hasil akhir proses destilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat. Pemucatan (Bleaching) Bahan pemucat ramah lingkungan tidak meninggalkan residu yang berbahaya, salah satunya adalah hidrogen peroksida. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas, penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH. Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk
23 dengan pH 8-10 (Hill et al., 1996). Proses bleaching/pemucatan dilakukan pada suhu 80-900C selama 30-120 menit pada tekanan normal. APG dapat diklasifikasikan sebagai surfaktan non ionik. Menurut Matheson (1996) surfaktan non ionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Oleh karena cabang dari surfaktan tersebut adalah rantai dari alkohol lemak dan gugus gula (dekstrosa) yang tidak bermuatan. Sifat hidrofilik yang dimiliki surfaktan non ionik didapatkan karena keberadaan gugus hidroksil dari dekstrosa. Selain itu gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (hidrofobik) juga menentukan kemampuan surfaktan dalam membentuk kestabilan emulsi didalam campuran produk (Swern, 1979).
Herbisida Gulma merupakan salah satu faktor kendala utama dalam usahatani yang berperan sebagai pesaing tanaman dalam pemanfaatan unsur hara, air, dan ruang. Sebagian gulma juga menjadi tempat hidup dan tempat bernaung hama dan penyakit tanaman, serta dapat menyumbat saluran air. Teknik pengendalian gulma dapat di lakukan dengan berbagai cara, antara lain: kultur teknis, cara mekanis, cara hayati, penggunaan racun rumput (herbisida) dan pengendalian gulma secara terpadu (Noor, 1997) Berdasarkan cara kerja herbisida dikelompokkan menjadi dua yaitu: herbisida kontak dan sistemik. Herbisida kontak, hanya mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja, terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis. Kelebihannya adalah
dapat membasmi gulma secara cepat, yaitu 2-3 jam setelah
disemprot gulma akan layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini akan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya adalah gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat. Herbisida sistemik, cara kerjanya ditranslokasikan ke seluruh jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Kelebihannya adalah dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, dan sulfosat. Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu: - Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif - Cuaca cerah ketika aplikasi - Kondisi kering pada areal yang akan diaplikasikan - Air bersih sebagai bahan pelarut.
24 Herbisida selektif hanya membasmi gulma dan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Herbisida sebagai bahan racun aktif (active ingredient) dalam formulasi biasanya dinyatakan dalam berat per volume atau berat per berat . Bahan aktif dalam formulasi herbisida yang bersifat ramah lingkungan seperti glifosat (N-phosponomethyl glycine), sulfosat ataupun agral (N-phenol glycine). Bahan-bahan lain yang tidak aktif sebagai inertnya yang dicampurkan dalam herbisida yang telah diformulasi dapat berupa : •
Pelarut (solvent) adalah bahan cair pelarut misalnya alkohol, minyak tanah, xylene dan air. Biasanya bahan pelarut ini telah diberi deodorant (bahan penghilang bau tidak enak baik yang berasal dari pelarut maupun dari bahan aktif).
•
Sinergis, sejenis bahan yang dapat meningkatkan daya racun, walaupun bahan itu sendiri mungkin tidak beracun, seperti sesamin (berasal dari biji wijen) dan piperonil butoksida.
•
Emulsifier dan surfaktan, merupakan bahan detergen yang akan memudahkan terjadinya emulsi bila bahan minyak diencerkan dalam air dan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka zat yang dicampurkan.
•
Beberapa penambahan bahan-bahan lain
dalam formula seperti pencegah
kebakaran, penghilang bau yang tidak enak (deodorizer) dan pembau yang diinginkan serta pewarna. Bahan aktif dari formulasi herbisida secara langsung menentukan efektivitas herbisida tersebut. Pembuatan dosis herbisida yang tepat dapat mengurangi penggunaan herbisida yang berlebih dan dapat menghemat biaya serta mengurangi kerusakan berlebih pada lingkungan (Tollenean et al.,1994). Penggunaan herbisida melalui penyemprotan membutuhkan jenis surfaktan yang memiliki sifat yang dapat meningkatkan daya penyebaran pembasahan dan dapat meningkatkan efektivitas herbisida tersebut serta tidak mengganggu stabilitas bahan aktif yang digunakan dalam formula herbisida tersebut. Surfaktan bekerja dengan memperluas penyebaran genangan larutan herbisida pada permukaan daun sehingga semprotan herbisida tersebar lebih merata. Dengan penggunaan surfaktan tersebut, permukaan daun yang tertutup larutan herbisida menjadi lebih luas dan menjadikan larutan herbisida bertahan lebih lama di atas permukaan daun. Beberapa surfaktan juga membantu herbisida tertentu untuk meresap ke dalam permukaan daun dan akar dengan lebih cepat dan merata (Tominack, 2000). Salah satu bahan aktif pada herbisida adalah glifosat dan dapat digunakan untuk semua jenis gulma. Pengaruh bahan aktif glifosat agak lambat, yaitu sekitar 2-4 bahkan 10 hari waktu aplikasi.
Menurut Utomo (1995), kelemahan pada aplikasi herbisida
25 berbahan aktif glifosat adalah bila hujan turun kurang dari enam jam setelah aplikasi akan menyebabkan pengendalian gulma kurang berhasil dan glifosat juga memerlukan air bersih untuk aplikasinya. Mekanisme kerja glifosat adalah bahan aktif glifosat diserap oleh daun dan dibawa kebagian lain melalui filum. Selanjutnya glifosat menghambat pembentukan asam amino aromatik, terutama menghambat kerja enzim 5-enolpyruvyl shikimate-3phosphate syntease (EPSPs) dalam lintasan asam shikimat yang akan membentuk asam-asam amino aromatic seperti tryptophan, tyrosin, dan phenylalanine sehingga menghambat sintesis protein yang dibutuhkan tumbuhan (Cremlyn, 1991). Dengan dihambatnya kerja enzim EPSPs, produksi asam amino aromatik berkurang sehinga sel akan mati. Keuntungan penggunaan herbisida antara lain: menghemat waktu, tenaga kerja, dan biaya, pengendalian gulma dapat dipilih saatnya yang disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Areal pertanaman dapat diperluas. Herbisida mengurangi gangguan terhadap struktur tanah, bahkan gulma yang mati berfungsi sebagai mulsa yang bermanfaat
mempertahankan
kelembaban
tanah,
mengurangi
erosi,
menekan
pertumbuhan gulma baru, dan berfungsi sebagai sumber bahan organik dan hara. Sedangkan akibat sampingan, penggunaan herbisida antara lain:
gangguan
kesehatan bagi penyemprot, keracunan karena residu yang termakan, keracunan pada tanaman dan hewan peliharaan dan pencemaran terhadap lingkungan.