TINJAUAN PUSTAKA Kabupaten Kaur, Bengkulu
(Sumber : Suharyanto, 2007)
Gambar 1. Peta Kabupaten Kaur Kabupaten Kaur adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Luas wilayah administrasinya mencapai 2.369,05 km2 atau 11,8% dari luas Provinsi Bengkulu. Kabupaten Kaur ditinjau dari keadaan geografisnya, terletak antara 103°03'BT - 103°48'BT dan 4°18'LS - 4°56'LS. Kabupaten Kaur di sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kedurang, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Lahat, dan Provinsi Sumatera Selatan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kaur, 2010). Topografi di kabupaten ini rata-rata berbukit-bukit, beriklim sejuk dengan suhu udara berkisar antara 22°C - 30° C, kelembaban udara berkisar antara 84,73% – 89,09%, dan curah hujan 3000-4000 mm/tahun. Wilayah administratifnya terbagi menjadi 15 kecamatan, 153 desa dan 3 kelurahan. Berdasarkan ketinggian wilayah dapat dibagi 2 jenis yaitu ketinggian wilayah kawasan budidaya dan ketinggian wilayah kawasan non budidaya. Ketinggian wilayah terluas pada kawasan budidaya terletak pada 4
ketinggian 0 – 100 m dpl seluas 41.374,05 Ha, sedangkan untuk kawasan non budidaya terletak pada ketinggian 500 – 1000 m dpl seluas 58.479,44 kawasan non budidaya terletak pada ketinggian
500 – 1000 m dpl seluas 58.479,44 Ha (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Kaur, 2009). Kondisi Kabupaten Kaur berpotensi untuk pengembangkan usaha peternakan. Hal ini didasarkan pada pernyataan Williamson dan Payne (1993) bahwa suatu daerah yang memiliki suhu ±27oC, dengan jumlah curah hujan rata-rata 2032 – 3048 mm/tahun sangat cocok untuk usaha peternakan. Penduduk kabupaten ini tersebar di beberapa jenis pekerjaan, diantaranya adalah sektor pertanian sebesar 70,91%, jasa 11,20%, perdagangan 10,4%, konstruksi/bangunan 2,61%, sektor industri 2,49% dan sektor lainnya sebesar di bawah 2,39%. Data ini menunjukkan bahwa pada umumnya penduduk Kaur bekerja di sektor pertanian dimana ternak menjadi bagian dari sistem usaha taninya. Umumnya sistem usaha tani ini merupakan usaha sambilan dan bersifat ekstensif dan semi intensif. Jenis ternak ruminansia (kambing, domba, kerbau dan sapi potong) memiliki kesamaan sistem usaha tani dan persebarannya. Ternak lebih banyak bersifat sebagai tabungan dan beberapa digunakan sebagai tenaga kerja. Skala usahanya antara 1 – 10 ekor per KK dan terintegrasi dengan usahatani lainnya (Suharyanto, 2007). Apabila dilihat dari segi sistem pemeliharaannya maka terdapat 2 sistem berdasarkan kultur masyarakat. Masyarakat transmigran asal Pulau Jawa dan Bali serta masyarakat yang berdomisili di kawasan perbukitan (untuk ternak kerbau) (500 – 1000 m dpl) memelihara ternak-ternak tersebut secara dikandangkan dan diangon. Pemberian pakannya dengan sistem cut and carry. Jenis pakan yang biasa diberikan adalah rumput dan legum alam atau limbah pertanian. Beberapa petani memberikan pakan penguat pada ternaknya, sedangkan pada masyarakat asli Kaur memelihara ternak secara dilepas pada pagi hari dan dikandangkan pada sore menjelang malam hari. Pakan tidak pernah diberikan oleh petani. Ternak merumput sendiri di alam bebas (Suharyanto, 2007). Kambing Ensminger dan Parker (1986) mengklasifikasikan kambing dalam kingdom Animalia,
filum
Chordata,
sub-filum
Vertebrata,
kelas
Mammalia,
ordo
Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, famili Bovidae, genus Capra dan spesies Capra 5
hircus. Kambing dapat beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim, dibandingkan ternak ruminansia lain sehingga penyebarannya cukup luas, mulai daerah tropis yang basah dan lembab sampai daerah tandus. Populasi kambing yang terdapat di Kabupaten Kaur pada tahun 2009 sekitar 25.259 ekor atau 17,03% dari populasi ternak kambing yang terdapat di Provinsi Bengkulu. Data populasinya terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Populasi Kambing di Kabupaten Kaur Tahun
Populasi Kambing (ekor)
2006
22.535
2007
23.035
2008
24.559
2009
25.259
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten kaur, 2010
Data populasi pada Tabel 1. menunjukkan bahwa populasi kambing di Kabupaten Kaur meningkat sekitar 4,33% dari tahun ke tahun (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten kaur, 2010). Kambing Kacang Kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia. Bangsa kambing ini merupakan bangsa kambing yang terpenting ditinjau dari segi jumlah dibandingkan dengan bangsa kambing lain (Devendra dan Burns, 1994). Ternak ini mempunyai sifat tahan derita, lincah, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap pakan berkualitas rendah dan lingkungan yang ekstrim dan tersebar luas di wilayah Indonesia (Devendra dan Burns, 1994; Sarwono, 2002). Kegunaan utamanya adalah sebagai penghasil daging (Devendra dan Burns, 1994).
Gambar 2. Kambing Kacang 6
Kambing kacang memiliki ciri khas yaitu telinganya pendek dan tegak. Bentuk badan kecil dan relatif pendek. Warnanya beragam, dengan berbagai warna yaitu hitam, putih, atau coklat, atau kombinasi warna tersebut. Kambing ini mempunyai kulit yang relatif tipis dengan bulu kasar, dan jantan mempunyai bulu surai yang panjang dan kasar. Tanduknya berbentuk pedang lengkung, melengkung ke atas dan ke belakang dan tumbuh dengan baik pada kedua jenis kelamin. Janggut selalu terdapat pada hewan jantan, tetapi lebih jarang terdapat pada yang betina. Lehernya pendek, dan punggungnya melengkung sedikit lebih tinggi daripada bahunya. Kambing ini memiliki rata-rata jumlah anak lahir seperindukan 2,2 ekor. Tinggi gumba kambing jantan rata-rata 60-65 cm, dan yang betina 56 cm. Jantan dan betina dewasa masing-masing berbobot kurang lebih 25 dan 20 kg (Devendra dan Burns, 1994; Herman et al., 1983; Mulyono, 2003). Rataan bobot badan kambing kacang baik jantan maupun betina pada umur 0 – 12 bulan adalah 3,7 – 11,8 kg (Lukman et al., 1987), 3,77 – 12, 83 kg (Sabrani et al., 1982), rataan bobot badan kambing kacang baik jantan maupun betina pada umur 2 bulah adalah 3,8 kg dan dewasa 24,8 kg (Basuki et al., 1980). Kambing betina pertama kali beranak pada umur 12-13 bulan. Kemungkinan induk beranak twin sekitar 52,2%, triplet 2,6%, dan tunggal 44,9% (Herman et al., 1983; Sarwono, 2002). Persentase karkasnya 44-51% (Sarwono, 2002). Rata-rata bobot lahir kambing kacang sekitar 3,28 kg. Total bobot sapih (umur 90 hari) adalah 10,12 kg. Kemampuan hidup saat lahir adalah 100% dan kemampuan hidup dari lahir sampai disapih sekitar 79,4%. Kambing kacang jantan muda mencapai dewasa kelamin mulai umur 20-23 minggu atau 135-173 hari. Kambing betina mulai dewasa kelamin pada umur 153-454 hari atau rata-rata pada umur 307,72 hari. Angka pemotongan kambing kacang tergolong tinggi di Indonesia terutama untuk produksi daging (Sarwono, 2002). Hubungan Bobot Hidup dengan Ukuran Linier Tubuh Ukuran tubuh sudah lama digunakan untuk menduga bobot berbagai ternak dengan ketelitian cukup tinggi. Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lain. Korelasi disebut positif apabila peningkatan satu sifat menyebabkan peningkatan pada sifat lain. Apabila satu sifat meningkat sedangkan sifat lain berkurang maka korelasinya disebut negatif (Laidding, 1996). Ukuran linear tubuh 7
yang berhubungan erat dengan bobot hidup adalah lingkar dada dan panjang badan (Diwyanto, 1982). Panjang badan diukur dari tulang duduk sampai bahu. Lingkar dada diukur melingkar di belakang sendi siku (Winters, 1948). Lingkar dada, tinggi pundak, dalam dada dan panjang badan berkorelasi positif dengan bobot hidup (Jamal, 2007; Hamayun et al., 2006; Utami, 2008;). Bertambahnya besar hewan ke arah samping akibat pertambahan bobot hidup adalah nyata. Lingkar dada adalah bagian tubuh yang mengalami perbesaran ke arah samping. Pertambahan bobot badan hewan menyebabkan hewan tambah besar dan diikuti dengan pertambahan dan perkembangan otot yang ada di daerah dada sehingga ukuran lingkar dada semakin meningkat (Doho, 1994). Otot yang menghubungkan
kaki
depan
dengan
dada
antara
lain
adalah
musculus
trapeziusthoracis, musculus pectoralis siperficialis, musculus latissimus dorsi, musculus rhomboideus, dan musculus pectoralis profundus (Herman, 2004). Penelitian Lukman et al. (1987), terhadap 120 ekor kambing kacang jantan dan betina yang berumur satu minggu sampai satu tahun menunjukkan bahwa ukuran tubuh ternak (lingkar dada, panjang badan, dalam dada, lebar dada, dan tinggi pundak) secara umum mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan bobot badan kambing kacang (P < 0,01). Panjang badan dan lingkar dada merupakan penduga bobot badan yang terbaik untuk kambing kacang jantan dan betina umur 0 - 3 bulan, sedangkan kambing kacang kelompok umur 3 – 6, 6 – 9, 9 - 12 bulan baik jantan maupun betina
penduga bobot
badan terbaik adalah lingkar dada.
Koefisien
korelasi bobot badan dengan lingkar dada kambing kacang pada masing-masing tingkat umur tidak
nyata dipengaruhi oleh jenis kelamin (P > 0.05). Pengaruh
pengelompokkan umur pada koefisien korelasi bobot badan dengan lingkar dada kambing kacang secara umum tidak nyata (P > 0,05). Penelitian Hamayun et al. (2006), terhadap 86 ekor kambing Beetal baik jantan maupun betina yang berumur 0 – 36 bulan menunjukkan bahwa ukuran linier tubuh memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan bobot hidup, sehingga dapat digunakan sebakai parameter penduga bobot hidup. Koefisien korelasi bobot badan dengan ukuran linier tubuh pada kambing Beetal pada masing-masing tingkat umur tidak nyata dipengaruhi oleh janis kelamin.
8
Penelitian Herman et al. (1985) terhadap 295 ekor kambing Peranakan Etawah dari lepas sapih hingga dewasa menunjukkan bahwa semua koefisien pertumbuhan ukuran tubuh relatif (panjang badan, lingkar dada, tinggi pundak, dalam dada, lebar dada) terhadap bobot tubuhnya mempunyai nilai nyata lebih rendah dari 1,0. Nilai-nilai ini menunjukkan bahwa ukuran tubuh tumbuh lebih dini karena ditentukan oleh ukuran tulang kerangka. Tulang tumbuh lebih dini dibandingkan komponen tubuh utama lainnya. Berdasarkan bobotnya, tulang karkas mempunyai koefisien pertumbuhan relatif terhadap bobot tubuh kosong sebesar 0,442, sedangkan otot dan lemak masing-masing sebesar 1,042 dan 1,572 pada kambing kacang jantan (Herman et al., 1983). Pengaruh jenis kelamin terhadap koefisien pertumbuhan dan intersep tidak nyata
kecuali
terhadap
koefisien
pertumbuhan
panjang
badan.
Koefisien
pertumbuhan panjang badan pada jantan relatif terhadap bobot badan sangat nyata lebih tinggi dibanding pada betina. Kambing jantan dan betina tidak mempunyai perbedaan yang nyata untuk semua ukuran tubuhnya pada bobot tubuh yang sama (17, 93 kg) (Herman et al., 1985). Koefisien pertumbuhan dari gabungan (jantan dan betina), maka urutan pertumbuhan adalah tinggi pundak (0,2664), panjang badan (0,2782), lebar dada (0,2812), dalam dada (0,2921), dan lingkar dada (0,3286). Lingkar dada mempunyai proses pertumbuhan terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai penduga bobot tubuh, lingkar dada masih lebih mengikuti pertambahan bobot badan selama hewan tumbuh dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Herman et al., 1985). Pendugaan Bobot Hidup Pendugaan bobot hidup ternak telah banyak dilakukan (Natasasmita, 1985; Herman et al., 1985; Lukman et al., 1987; Hanibal, 2008; Utami, 2008; Jamal, 2007; Sutardi, 1985; Slippers et al., 2000; Alade et al., 2008; Machebe dan Ezekwe, 2010). Pertambahan bobot hidup hampir bersamaan dengan perubahan bentuk tubuh sehingga ukuran-ukuran tubuh dapat digunakan sebagai penduga bobot hidup. Jenis ternak, fase pertumbuhan, bangsa dan habitat yang berbeda umumnya akan menghasilkan rumus yang berbeda pula. Ukuran tubuh sudah lama digunakan untuk menduga bobot berbagai ternak, dengan ketelitian cukup tinggi (Winters, 1948). Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa lingkar dada dan panjang badan 9
merupakan indikator bobot hidup ternak yang dapat digunakan bila tidak memungkinkan dilakukan penimbangan. Rumus pendugaan menggunakan dua peubah bahkan lebih kurang praktis karena pengukuran sangat dipengaruhi posisi berdiri ternak. Pengukuran lingkar dada akan lebih praktis dibandingkan panjang badan, dalam dada, tinggi pundak, dan ukuran linear tubuh lainnya. Pengukuran lingkar dada lebih mudah karena dapat diukur pada ternak dengan posisi apapun. Ukuran lingkar dada tidak dipengaruhi oleh posisi berdiri (Herman et al., 1985). Penelitian Herman et al. (1985), terhadap 295 ekor kambing Peranakan Etawah dari lepas sapih hingga dewasa menunjukkan persamaan allometris lingkar dada untuk gabungan jantan dan betina adalah log y = 0,2930 + 0,3286 log x. Persamaan ini mempunyai nilai r sama dengan 0,9677 dengan interpretasi sebesar 94 persen. Persamaan garis kuadratis yang dibentuk oleh lingkar dada dan bobot tubuh adalah y = -6,25 + 0,104x + 0,0046x2 dengan nilai r2 sebesar 0,9616. Lingkar dada dan dalam dada mempunyai hubungan erat dengan bobot hidup sehingga dapat digunakan sebagai penduga bobot hidup disamping tinggi pundak, panjang badan, lebar dada pada domba lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) (Utami, 2008). Koefisien regresi antara lingkar dada, panjang badan dan lingkar skrotum dengan bobot hidup bernilai positif dan bersifat nyata sehingga secara langsung mempengaruhi bobot hidup (Hanibal, 2008). Penelitian Dewi (2010), terhadap 101 domba Batur tanpa memperdulikan faktor umur menunjukkan persamaan regresi linear untuk domba Batur jantan adalah y = -93,62 + 1,851x dengan koefisien determinasinya sebesar 96,4%. Persamaan regresi linear untuk domba Batur betina adalah y = -37,50 + 0,9385x dengan koefisien determinasinya sebesar 89,00%. Nilai korelasi antara lingkar dada dan bobot hidup cukup tinggi, pada domba jantan dan betina berturut-turut adalah 0,9817 dan 0,9435. Jantan memiliki nilai koefisien regresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan betina, yang menunjukkan perbedaan pertambahan bobot badan terhadap setiap pertambahan lingkar dada. Kambing Nguni sebanyak 52 ekor diduga bobot hidupnya oleh Slippers et al. (2000) menggunakan korelasi Pearson dan persamaan regresi linear antara bobot hidup dengan lingkar dada, dengan membedakan jantan dan betina. Persamaan 10
regresi linear untuk betina adalah y = -47,6799 + 1,07677x dengan R2 = 94,3%, sedangkan untuk jantan adalah y = -43,0277 + 0,992924x dengan R2
=
88,1%.
Pendugaan bobot hidup menggunakan lingkar dada pada kambing Nguni ini dilakukan karena pengukuran lingkar dada lebih mudah dan akurat dibandingkan ukuran tubuh lainnya. Butswat (1998), meneliti rumus pendugaan bobot hidup domba Tansaka dan kambing Red Sokoto menggunakan persamaan regresi geometrik antara ukuran lingkar dada (x) dan bobot hidup (y). Rumus pendugaan untuk domba Tansaka adalah y = 0,00016 x2,78 dan untuk kambing Red Sokoto adalah y = 0,0000658 x3,038. Snedechor dan Cochran (1967) mengemukakan bahwa bentuk kurva pertumbuhan ternak adalah parabola dan mengikuti persamaan y = axb. Beberapa pendugaan dilakukan menggunakan persamaan allometris. Hal ini dilakukan untuk memudahkan perhitungan data yang sebarannya berbentuk parabola tersebut. Pendugaan bobot hidup selain menggunakan ukuran linear tubuh juga dapat menggunakan komponen penyusun tubuh, misalnya jumlah bulu dan berat hati.
11