BUPATI KAUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR : 04 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KAUR TAHUN 2012 – 2032 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAUR, Menimbang
:
a.
bahwa untuk menentukan arah pembangunan di Kabupaten Kaur dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan, perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah;
b.
bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha;
c.
bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang Wilayah Nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah;
d.
bahwa Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kaur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, sehingga perlu diganti;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c dan, huruf d, perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kaur Tahun 2012-2032;
1
Mengingat
:
1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387);
4.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Propinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1967 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2828);
5.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
6.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
7.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
8.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
9.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
10.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
11.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
12.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Muko muko, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur di Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4266); 2
13.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
14.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4327);
15.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
16.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
17.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
18.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
19.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
20.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444);
21.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
22.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
3
23.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);
24.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
25.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
26.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
27.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
28.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
29.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
30.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
31.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
32.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
33.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280);
4
34.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3034);
35.
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
36.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
37.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4539);
38.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
39.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
40.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);
41.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
42.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
43.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070);
44.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097);
5
45.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5098);
46.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111 );
47.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);
48.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111);
49.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112);
50.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
51.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5217);
52.
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang RTRW Pulau Sumatera;
53.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
54.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
55.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota Beserta Rencana Rincinya;
56.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
6
57.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
58.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.55/Menhut-II/2011 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman Industri;
59.
Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 02 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu Tahun 2012-2032; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KAUR dan BUPATI KAUR MEMUTUSKAN: Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN KAUR TAHUN 2012-2032.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Provinsi adalah Provinsi Bengkulu. 2. Kabupaten adalah Kabupaten Kaur. 3. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4. Bupati adalah Bupati Kaur. 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD Kabupaten Kaur. 6. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, satuan kerja perangkat daerah, kecamatan, dan kelurahan. 7. Kepala adalah kepala satuan kerja perangkat daerah yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang wilayah Kabupaten Kaur. 8. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasukruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 9. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 10. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. 7
11. Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 12. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 13. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang 14. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten adalah hasil perencanaan tata ruang sebagai arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kaur. 15. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 16. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. 17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 18. Tujuan penataan ruang adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 19. Kebijakan penataan ruang adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten guna mencapai tujuan penataan ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun. 20. Strategi penataan ruang wilayah adalah penjabaran kebijakan penataan ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih nyata yang menjadi dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah kabupaten. 21. Rencana struktur ruang wilayah adalah rencana yang mencakup sistem perkotaan wilayah kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem jaringan prasarana lainnya. 22. Rencana sistem jaringan prasarana wilayah Kabupaten adalah rencana jaringan prasarana wilayah yang dikembangkan untuk mengintegrasikan wilayah kabupaten dan untuk melayani kegiatan yang memiliki cakupan wilayah layanan prasarana skala Kabupaten. 23. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Provinsi atau beberapa Kabupaten/Kota. 24. Pusat Kegiatan Lokal, selanjutnya disingkat PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa kecamatan. 8
25. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. 26. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. 27. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang wilayah Kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW Kabupaten yang memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten hingga 20 (dua puluh) tahun mendatang. 28. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan RTRW Kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program penataan/pengembangan kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima tahunan kabupaten yang berisi rencana program utama, sumber pembiayaan, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan. 29. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. 30. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 31. Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu melindungi kelestarian kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah yang dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 32. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 33. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri-ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 34. Kawasan Hutan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri-ciri tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagi wilayah sistem penyangga kehidupan. 35. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi fokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 36. Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang berguna sebagai sumber air. 37. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. 38. Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian danau/waduk. 9
39. Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk kelestarian fungsi mata air. 40. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam. 41. Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan pendidikan. 42. Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. 43. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas. 44. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. 45. Zona adalah bagian dari kawasan dengan peruntukan khusus yang memiliki batasan ukuran atau standar tertentu 46. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan masyarakat (manusia) dapat bertahan. 47. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup. 48. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasigenerasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan). 49. Kawasan budidaya Kabupaten adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 50. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 51. Kawasan pedesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 52. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 53. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
10
54. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. 55. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau didirikan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. 56. Kawasan Peruntukan Pertambangan yang selanjutnya disebut KPP adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan galian yang berwujud padat, cair dan gas berdasarkan peta atau data geologi dan merupakan tempat dilaksanakan seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penyelidikan umum; eksplorasi; operasi produksi; dan pasca tambang baik diwilayah darat maupun perairan serta tidak dibatasi oleh wilayah administrasi. 57. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. 58. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 59. Kawasan strategis Kabupaten adalah kawasan yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, serta pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi. 60. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten yang berbentuk ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentifdan disinsentif, serta arahan arahan sanksi untuk wilayah kabupaten. 61. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum yang mengatur pemanfaatan ruang/penataan kabupaten dan unsurunsurpengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW kabupaten. 62. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum melakukan kegiatan pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun dan ditetapkan. 63. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 64. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikanimbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang. 11
65. Arahan arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan arahan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tataruang yang berlaku. 66. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. 67. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 68. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 69. Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi. 70. Jalan adalah seluruh bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau air serta diatas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel. 71. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. 72. Fungsi Jalan adalah Berdasarkan sifat dan pergerakan pada lalu lintas dan angkutan jalan, fungsi jalan dibedakan atas arteri, kolektor, lokal dan lingkungan. 73. Pondok Pusaka adalah Pondok Pembangunan untuk Kesejahteraan Kabupaten Kaur. 74. Taman Bineka adalah Taman Budaya Industri Ekonomi Kaur. BAB II RUANG LINGKUP, MUATAN, TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG KABUPATEN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Wilayah Perencanaan Kabupaten Pasal 2 (1) Lingkup wilayah perencanaan Kabupaten terdiri atas 15 (lima belas) Kecamatan dengan luas wilayah kurang lebih 255.600 (dua ratus lima puluh lima ribu enam ratus) hektar. (2) Batas wilayah Kabupaten, meliputi : a. sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan serta Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan; b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKU Selatan) Provinsi Sumatera Selatan; c. sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung dan Samudera Hindia; dan d. sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. (3) Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Kecamatan Luas; b. Kecamatan Semidang Gumai; 12
c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan
Padang Guci Hilir; Lukang Kule; Muara Sahung; Kelam Tengah; Tetap; Padang Guci Hulu; Tanjung Kemuning; Kaur Utara; Kinal; Kaur Tengah; Kaur Selatan; Maje; dan Nasal. Bagian Kedua Muatan RTRW Kabupaten Pasal 3
Muatan RTRW kabupaten meliputi: a. tujuan, kebijakan dan strategi tata ruang wilayah; b. rencana struktur ruang wilayah; c. rencana pola ruang wilayah; d. penetapan kawasan strategis; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah; f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah; dan g. hak, kewajiban dan peran masyarakat. Bagian Ketiga Tujuan Pasal 4 Tujuan Penataan ruang wilayah Kabupaten adalah untuk terwujudnya Kabupaten Kaur yang mandiri dan sejahtera melalui pemerataan pembangunan yang berbasiskan pertanian dan perikanan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan mitigasi bencana. Bagian Keempat Kebijakan Pasal 5 Kebijakan penataan ruang Kabupaten, meliputi : a. penguatan dan pemeliharaan fungsi kawasan lindung meliputi TNBBS, Hutan Lindung, Kawasan Lindung dan Cagar Alam Laut; b. pengembangan sistem perkotaan yang merata dan berhirarki untuk meningkatkan peran dan fungsi wilayah; c. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana wilayah yang fungsional dan terintegrasi; d. pengembangan kawasan pertanian yang berbasis agropolitan sebagai pendorong pengembangan wilayah; e. pengembangan kawasan perikanan yang berbasis minapolitan sebagai pendorong pengembangan wilayah; 13
f. g. h. i.
pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan budidaya; pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup; pengembangan sistem mitigasi bencana; dan peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara. Bagian Kelima Strategi Pasal 6
(1) Pengembangan sistem perkotaan yang merata dan berhirarki untuk meningkatkan peran dan fungsi wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b,terdiri atas: a. meningkatkan fungsi Perkotaan Bintuhan sebagai wilayah kegiatan regional dan lokal; b. menetapkan pusat pertumbuhan baru dengan skala pelayanan lokal; c. meningkatkan sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang pengembangan pusat-pusat kegiatan;dan d. menjaga keterkaitan dan keterpaduan antar pusat kegiatan. (2) Pengembangan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana wilayah yang fungsional dan terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c, terdiri atas: a. Membuka akses dan meningkatkan aksesbilitas antar wilayah melalui pengembngan dan pembangunan jaringan transportasi; b. mengembangkan sistem prasarana sumber daya air untuk menunjang kegiatan sektor pertanian dan permukiman; c. meningkatkan dan mengembangkan pelayanan sistem jaringan listrik melalui pemerataan distribusi jaringan dan pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber alternatif pembangkit; d. meningkatkan prasarana telekomunikasi untuk menunjang pengembangan potensi ekonomi lokal; dan e. mengembangkan fasilitas sosial ekonomi diarahkan pada setiap pusat permukiman. (3) Pengembangan kawasan pertanian yang berbasis agropolitan sebagai pendorong pengembangan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d ,terdiri atas: a. mempertahankan keberadaan lahan pertanian pangan dengan mengendalikan alih fungsi ke peruntukan lain; b. menetapkan kawasan sentra agropolitan berdasar potensi pertanian; c. mengembangkan industri pengolahan hasil kegiatan di kawasan agropolitan sesuai komoditas unggulan kawasan dan kebutuhan pasar;dan d. menyediakan prasarana dan sarana pendukung kegiatan agropolitan. (4) Pengembangan kawasan perikanan yang berbasis minapolitan sebagai pendorong pengembangan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf e, terdiri atas: a. menyediakan prasarana dan sarana pendukung kegiatan minapolitan; dan b. mengembangkan kawasan pesisir di wilayah bagian barat. (5) Pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf f, terdiri atas: a. memanfatkan ruang berdasarkan pada daya dukung dan daya tampung wilayah;
14
b. mengembangan sektor-sektor lain di luar pertanian dan perikanan secara optimal; c. mengembangkan kawasan pertambangan melalui pemanfaatan potensi bahan galian yang ramah lingkungan; dan d. mengembangkan kawasan permukiman yang diarahkan untuk mendukung pengembangan pusat kegiatan dan pusat pelayanan. (6) Pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g, terdiri atas: a. mempertahankan kawasan berfungsi lindung sesuai dengan kondisi ekosistemnya; b. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah; dan c. mengendalikan kegiatan-kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi kawasan lindung. (7) Pengembangan sistem mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h,terdiri atas: a. memetakan kawasan rawan bencana alam secara detil di seluruh wilayah kabupaten; b. menetapkan jalur dan ruang evakuasi bencana wilayah; c. meningkatan pengelolaan penanggulangan bencana alam; dan d. menyusunan sistem penanganan bencana secara terpadu. (8) Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf i, terdiri atas: a. mendukung penetapan kawasan peruntukan pertahanan dan kemanan; b. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan disekitar kawasan pertahanan dan keamanan untuk menjaga fungsi dan peruntukannya; c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar kawasan pertahanan dan kemanan negara sebagai zona penyangga; dan d. turut serta memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan dan keamanan.
BAB III RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN KAUR Bagian Kesatu Umum Pasal 7 (1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Kaur meliputi: a. sistem Perkotaan Kabupaten; b. sistem jaringan transportasi Kabupaten; c. sistem jaringan energi Kabupaten; d. sistem jaringan telekomunikasi Kabupaten; e. sistem jaringan sumberdaya air Kabupaten; dan f. sistem prasarana lainnya. (2) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
15
Bagian Kedua Sistem Perkotaan Kabupaten Pasal 8 (1) Sistem perkotaan Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a terdiri atas : a. PKWp; b. PKL dan PKLp; c. PPK; dan d. PPL. (2) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di Perkotaan Bintuhan Kecamatan Kaur Selatan dan Kecamatan Tetap. (3) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PKLp sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlokasi di Perkotaan Linau Kecamatan Maje dan PKLp Tanjung Kemuning. (4) Pusat kegiatan yang ditetapkan sebagai PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlokasi di: a. Kelurahan Simpang Tiga Kecamatan Kaur Utara; b. Desa Ulak Lebar Kecamatan Muara Sahung; dan c. Desa Merpas Kecamatan Nasal. (5) Pusat kegiatan sebagai PPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berlokasi di: a. Gunung Kaya Kecamatan Padang Guci Hilir; b. Rigangan I Kecamatan Kelam Tengah; c. Gedung Wani Kecamatan Kinal; d. Bungin Tumbun II Kecamatan Padang Guci Hulu; e. Suka Nanti Kecamatan Lungkang Kule; f. Mentiring Kec. Semidang Gumai; g. Tanjung Iman Kecamatan Kaur Tengah; h. Benua Batu Kecamatan Luas;dan i. Muara Tetap Kecamatan Tetap. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Transportasi Kabupaten Kaur Pasal 9 Sistem jaringan transportasi Kabupaten Kaur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b meliputi: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi perkeretaapian; dan c. sistem jaringan transportasi laut. Pasal 10 (1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a terdiri atas : a. jaringan jalan; b. jaringan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ); dan c. jaringan Pelayanan Lalu Lintas Angkutan Jalan. (2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. jaringan jalan kolektor primer 1 (K1) meliputi: 16
b. c.
d. e.
1. ruas jalan Tanjung Kemuning – Linau; dan 2. ruas jalan Linau – Batas Provinsi Lampung. jaringan jalan kolektor primer 2 ( K2) meliputi ruas jalan Tanjung Iman Muara Sahung - Air Tembok; jaringan jalan kolektor primer 3 (K3) meliputi: 1. ruas Tanjung Kemuning - Datar Lebar; 2. ruas Datar Lebar – Mentiring; dan 3. Padang Leban- Air Kering -Simpang Tiga Kaur Utara. jaringan jalan lokal primer tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. rencana pembangunan jalan baru, meliputi: 1. ruas jalan Datar Lebar –Muara Sahung – Muara Dua (batas Lampung); 2. ruas jalan Nasal – Linau – Tanjung Agung – Muara Sahung – Bungin Tambun II; 3. ruas jalan Bungin Tambun – Kec. Kedurang, Bengkulu Selatan; 4. pembangunan jalan lokal tersebar di seluruh kecamatan; 5. pembangunan jalan usaha tani tersebar diseluruh kecamatan; dan 6. pembangunan jalan lingkungan tersebar diseluruh kecamatan.
(3) Peta Rencana Jaringan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (4) Jaringan prasarana lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b , meliputi: a. terminal penumpang,terdiri atas: 1. terminal penumpang tipe B Bintuhan di Kecamatan Kaur Selatan; 2. terminal penumpang tipe C Muara Saung di Kecamatan Muara Saung; 3. terminal terminal penumpang tipe C Tanjung Kemuning di Kecamatan Tanjung Kemuning; 4. terminal penumpang tipe C Simpang Tiga di Kecamatan Kaur Utara; 5. terminal penumpang tipe C Merpas di Kecamatan Nasal;dan 6. terminal penumpang tipe C Tanjung Iman di Kecamatan Kaur Tengah. b. terminal barang terdapat di Linau Kecamatan Maje. (5) Rencana Jaringan Trayek Kabupaten Kaur sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 11 (1) Sistem transportasi perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam huruf b meliputi pengembangan jaringan jalur kereta api.
Pasal 9
(2) Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lintasan jalur Linau – Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Pasal 12 (1) Sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c terdiri atas: a. tatanan kepelabuhan; dan b. alur pelayaran. (2) Tatanan kepelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pelabuhan Pengumpan Regional Linau di Kecamatan Maje. (3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Pelabuhan Linau - Pelabuhan Pulau Baai – Pelabuhan di wilayah bagian barat Sumatera; dan b. Pelabuhan Linau - Pelabuhan Pulau Baai – Pelabuhan Malakoni. 17
Bagian Keempat Sistem Jaringan Energi Kabupaten Kaur Pasal 13 (1) Sistem jaringan energi Kabupaten Kaur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c meliputi: a. pembangkit tenaga listrik; dan b. jaringan prasarana listrik. (2) Pembangkit listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) meliputi: PLTD Bintuhan di Kecamatan Kaur Selatan. b. pembangkit listrik tenaga surya yang berlokasi di: 1. Desa Sumber Harapan Kecamatan Nasal; 2. Desa Pengubain Kecamatan Kaur Selatan; 3. Desa Gunung Megang Kecamatan Kinal; 4. Desa Ulak Bandung Kecamatan Muara Sahung; 5. Dusun Pematang Panjang Desa Air Batang Kecamatan Nasal; 6. Desa Sinar Banten Kecamatan Nasal; 7. Desa Pasar Jumat Kecamatan Nasal; 8. Desa Air Bacang Kecamatan Maje; 9. Desa Batu Lungun Kecamatan Nasal; 10. Desa Trijaya Kecamatan Nasal; 11. Desa Serdang Indah Kecamatan Luas; 12. Desa Muara Sahung Kecamatan Muara Sahung; 13. Desa Tanjung Agung Kecamatan Tetap; dan 14. Dusun Pematang Salimi Desa Ulak Pandan Kecamatan Nasal. c. pembangkit listrik tenaga mikro hidro yang berlokasi di: 1. Desa Muara Dua Kecamatan Nasal; 2. Desa Bukit Indah Kecamatan Nasal; 3. Desa Ulak Lebar Kecamatan Muara Sahung; 4. Desa Suka Jaya Kecamatan Muara Sahung; dan 5. Desa Tri Tunggal Bakti Kecamatan Muara Sahung. (3) Jaringan prasarana listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah jaringan sistem interkoneksi Sumatera melalui jaringan extra tegangan tinggi melalui Kabupaten Bengkulu Selatan, dengan gardu tambahan Bintuhan Kecamatan Kaur selatan. (4) Bagi desa-desa yang belum terjangkau oleh pelayanan jaringan listrik yang ada akan dikembangkan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTMH. Bagian Kelima Sistem Jaringan Telekomunikasi Kabupaten Kaur Pasal 14 (1) Sistem jaringan telekomunikasi Kabupaten Kaur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d terdiri atas: a. jaringan kabel; dan b. jaringan nirkabel. (2) Jaringan kabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di seluruh kecamatan. 18
(3) Jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pengembangan menara Base Transceiver Station (BTS) di seluruh kecamatan. (4) Stasiun Televisi Digital dan Radio Daerah di Nasal, Muara Sahung, Tanjung Kemuning, dan Kaur Utara. Bagian Keenam Sistem Jaringan Sumberdaya Air Kabupaten Pasal 15 (1) Sistem Sumber Daya Air Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e terdiri atas: a. sistem wilayah DAS; b. sistem jaringan air baku untuk air bersih; dan c. sistem jaringan irigasi. (2) Sistem wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi DAS terdiri atas: a. DAS Kedurang; b. DAS Bengkenang; c. DAS Mertam Ds; d. DAS Sulau; e. DAS Padang Guci; f. DAS Seranjangan; g. DAS Kinal; h. DAS Luas; i. DAS Tetap; j. DAS Sambat; k. DAS Sawang; l. DAS Nasal; m. DAS Kolek; dan n. DAS Manula. (3) Sistem jaringan air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. konservasi daerah resapan air; b. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air secara aktif; dan c. pemanfaatan sumber air tanah yang dengan prioritas penggunaan didasarkan pada urutan air minum, air rumah tangga, air industri, air peternakan dan pertanian irigasi, dan air untuk kepentingan lainnya. (4) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan untuk melayani Daerah Irigasi (DI) yang tercantum dalam lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Ketujuh Sistem Prasarana Lainnya Pasal 16 (1) Sistem prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf f terdiri atas: a. sistem penyediaan air minum (SPAM); b. sistem pengelolaan persampahan; c. sistem pengelolaan limbah; 19
d. sistem jaringan drainase; e. jalur evakuasi bencana; dan f. prasarana perikanan. (2) Sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. PDAM Bintuhan di Kecamatan Kaur Selatan; b. Sistem perpipaan di Kecamatan Kaur Utara; c. Sistem perpipaan Tanjung Iman di Kecamatan Kaur Tengah; dan d. Sistem perpipaan Merpas di Kecamatan Nasal. (3) Sistem pengelolaan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pengembangan tempat pemrosesan akhir (TPA) Latihan di Kecamatan Kaur Selatan, Luang Bukit Teriang Desa Pancur Negara Kecamatan Kaur Utara dan pembangunan serta pengembangan tempat penampungan sementara (TPS) di setiap kecamatan. (4) Sistem pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. peningkatan pengawasan instalasi pengolahan air limbah untuk rumah sakit umum daerah; b. pengharusan pengolahan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dan non B3 untuk kegiatan industri; c. pembangunan mandi cuci kakus (MCK) umum untuk wilayah perdesaan; d. peningkatan penyuluhan masyarakat untuk membangun MCK pribadi; e. peningkatan sistem saluran pembuangan air kotor wilayah dan pipa-pipa penyalur serta pembangunan sistem baru pada wilayah-wilayah yang baru berkembang; f. pembangunan kawasan perumahan baru, yang harus disertai dengan saluran pembuangan air limbah; dan g. penerapan peraturan mengenai pembuangan limbah ke badan air oleh industri secara intensif. (5) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikembangkan dengan arahan: a. pembagian sistem yang jelas dan keseragaman penamaan sistem, saluran dan bangunan -bangunan drainase lainnya (nomenklatur); b. sungai-sungai besar sebagai saluran primer menggunakan alur pematusan alami, sedangkan saluran sekunder dan tersier mengikuti pola tata ruang dan jaringan jalan; c. perhitungan debit aliran didasarkan pada rencana penggunaan lahan di masa yang akan datang; d. perlu ditetapkan batasan tinggi genangan yang dapat diterima dalam perencanaan, baik untuk pemukiman, jalan, area industri/bisnis maupun area yang penting lainnya. hal ini sangat penting mengingat bahwa penanganan drainase sangat sulit untuk membebaskan area dari genangan sehingga harus ada batasan tinggi genangan yang masih bisa ditolerir; e. air hujan secepatnya dialirkan ke badan air terdekat untuk memperpendek panjang saluran; f. saluran maupun infrastruktur drinase lainnya direncanakan secara ekonomis dalam pembangunan, operasional dan pemeliharaannya; g. saluran drainase dipusat–pusat permukiman perkotaan harus difungsikan sebagai saluran kolektor dan long storage; h. optimalisasi dan normalisasi sungai yang ada untuk meningkatkan daya tampung dan kemampuan alirnya; dan
20
i. meningkatkan peresapan air hujan ke dalam tanah untuk mengurangi volume limpasan permukaan. (6) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Untuk kawasan permukiman perkotaan Bintuhan dapat menggunakan jalur evakuasi jalan Muara Baru–Perkantoran, Sambat–Perkantoran Padang Kempas, Jembatan Dua-Padang Petron-Perkantoran dengan melting point di kawasan Pondok Pusaka; b. Untuk kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Kaur Tengah dapat menggunakan jalur Tanjung Iman (K2) – Perbatasan Luas; c. Untuk kawasan permukiman Kecamatan Tetap dapat menggunakan Muara Tetap –Tanjung Dalam – Kepahyang – Babat –Tanjung Agung—trans Tanjung Agung; d. Untuk kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Semidang Gumai dapat menggunakan jalur Suka Merindu (K3) – Bunga Melur (K3); e. Untuk kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Tanjung Kemuning dapat menggunakan jalur Tinggi Ari (K3) – Padang Guci; f. Untuk kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Nasal menggunakan jalur Jalan Tanjung Beringin – Air Palawan (Kec. Nasal) dan Jalan Pertigaan Air Palawan – Sumber Harapan Kec. Nasal); dan g. Untuk kawasan permukiman yang berada di Kecamatan Maje Jalan Kedataran – Penyandingan dan Jalan Penyandingan – Tanjung. (7) Prasarana perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi: a. Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Merpas di Desa Merpas Kecamatan Nasal; b. Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Linau di Desa Linau Kecamatan Maje; c. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Way Hawang di Desa Way Hawang Kecamatan Maje; d. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Sulau Wangi di Kecamatan Tanjung Kemuning; e. Pengembangan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Sambat di Desa Tajung Besar Kecamatan Kaur selatan ; f. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Suka Maju di Desa Pasar Lama Kecamatan Kaur Selatan; g. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Sekunyit di Kecamatan di desa Sekunyit Kecamatan Tetap ; h. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tanjung Pandan di Desa Tanjung Pandan Kecamatan Kaur Tengah; i. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Pantai Hili di Desa Cahaya Batin dan Desa Mentiring Kecamatan Semidang Gumai; j. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tanjung Bulan Kecamatan Tanjung Kemuning; k. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tebing Rambutan Kecamatan Nasal; l. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Mentiring Semidang Gumai; m.Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Nusuk Kecamatan Semidang Gumai; dan n. Pengembangan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Tanjung Harapan Kecamatan Semidang Gumai.
21
BAB IV RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN KAUR Bagian Kesatu Umum Pasal 17 (1) Rencana pola ruang Wilayah Kabupaten Kaur terdiri atas: a. kawasan lindung; dan b. kawasan budidaya. (2) Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Pasal 18 Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; e. kawasan rawan bencana alam; f. kawasan lindung geologi; dan g. kawasan lindung lainnya. Pasal 19 Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a berupa Hutan Lindung (HL) Raja Mandara dengan luas kurang lebih 42.567 (empat puluh dua ribu lima ratusenam puluh tujuh) hektar yang terdapat di: a. Kecamatan Padang Guci Hulu; b. Kecamatan Muara Sahung; c. Kecamatan Kinal; d. Kecamatan Kaur Utara; dan e. Kecamatan Lungkang Kule. Pasal 20 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b berupa kawasan resapan air. (2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS);dan b. kawasan hutan lindung Bukit Raja Mandara.
22
Pasal 21 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam 18 huruf c terdiri atas: a. kawasan sempadan pantai; b. kawasan sempadan sungai; dan c. kawasan sekitar mata air. (2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa kawasan daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah daratan meliputi: a. Kecamatan Tanjung Kemuning; b. Kecamatan Semidang Gumai; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Tetap; e. Kecamatan Kaur Selatan; f. Kecamatan Maje; dan g. Kecamatan Nasal. (3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi sungai kabupaten, dengan ketentuan: a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar; b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. (4) Kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dengan ketentuan penetapan sempadan mata air berupa daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 200 (seratus) meter mengelilingi mata air. Pasal 22 (1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam 18 huruf d terdiri atas: a. taman nasional; b. taman wisata alam; c. kawasan konservasi laut daerah; dan d. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. (2) Taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan luas 64.711 (enam puluh empat ribu tujuh ratus sebelas) hektar, meliputi : a. Kecamatan Nasal; b. Kecamatan Maje; c. Kecamatan Kaur selatan; dan d. Kecamatan tetap. (3) Taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi taman wisata alam Way Hawang di Kecamatan Maje dengan luas kurang lebih 64 (enam puluh empat) hektar. (4) Kawasan konservasi laut daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Linau Kecamatan Maje, Merpas Kecamatan Nasal dan Sekunyit Kecamatan Kaur Selatan. 23
(5) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Jil/Penjara Desa; b. Situs Rumah AK Gani; c. Pangeran Chalifah Balien; d. Situs Pesanggarahan; e. Masjid Tua Bandar; f. Pusat Kerajaan Sriwijaya di Bukit Kumbang Muara Sahung; g. Benteng Linau di Kecamatan Maje; dan h. Situs Rumah Pangeran Cungkai di Kedataran Kec. Maje. Pasal 23 (1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e terdiri atas : a. kawasan rawan tanah longsor; b. kawasan rawan banjir; dan c. kawasan rawan kebakaran. (2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Tanjung Kemuning; b. Kecamatan Kelam Tengah; c. Kecamatan Kaur Utara; d. Kecamatan Padang Guci Hulu; e. Kecamatan Padang Guci Hilir; f. Kecamatan Lungkang Kule; g. Kecamatan Semidang Gumai; h. Kecamatan Kinal; i. Kecamatan Kaur Tengah; j. Kecamatan Luas; k. Kecamatan Muara Sahung; l. Kecamatan Tetap; m. Kecamatan Kaur Selatan; n. Kecamatan Maje; dan o. Kecamatan Nasal. (3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan sekitar Air Padang Guci, Air Kelam, Air Kinal, Air Luas, Air Bintuhan dan Air Nasal. (4) Kawasan rawan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Kawasan Hutan di TNBBS ; dan b. Kawasan HL Bukit Raja Mandara. (5) Peta Kawasan Rawan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 24 (1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam 18 huruf f terdiri atas : a. kawasan rawan gempa bumi; dan b. kawasan rawan tsunami.
24
(2) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Tanjung Kemuning; b. Kecamatan Kelam Tengah; c. Kecamatan Kaur Utara; d. Kecamatan Padang Guci Hulu; e. Kecamatan Padang Guci Hilir; f. Kecamatan Lungkang Kule; g. Kecamatan Semidang Gumai; h. Kecamatan Kinal; i. Kecamatan Kaur Tengah; j. Kecamatan Luas; k. Kecamatan Muara Sahung; l. Kecamatan Tetap m. Kecamatan Kaur Selatan. n. Kecamatan Maje; dan o. Kecamatan Nasal. (3) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Tanjung Kemuning; b. Kecamatan Semidang Gumai; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Kaur Selatan; e. Kecamatan Tetap; f. Kecamatan Kaur Selatan; g. Kecamatan Maje; dan h. Kecamatan Nasal. Pasal 25 (1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf g berupa terumbu karang/cagar alam laut. (2) Kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Terumbu Karang Pantai Tanjung Raya; b. Terumbu Karang Bintuhan; c. Terumbu Karang Linau; d. Terumbu Karang Merpas; dan e. Terumbu Karang Tebing Rambutan. Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Pasal 26 Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b terdiri atas : a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan hutan rakyat; c. kawasan peruntukan pertanian; d. kawasan peruntukan perikanan; e. kawasan peruntukan pertambangan; f. kawasan peruntukan industri; g. kawasan peruntukan pariwisata; h. kawasan peruntukan permukiman; dan i. kawasan peruntukan lainnya. 25
Pasal 27 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a meliputi : a. kawasan peruntukan hutan produksi terbatas (HPT); dan b. kawasan peruntukan hutan produksi tetap (HP). (2) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas (HPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. HPT Air Kedurang dengan luas 4.055,32 (empat ribu lima puluh lima koma tiga dua) hektar; b. HPT Air Kinal dengan luas 5.567,77 (lima ribu lima ratus enam puluh tujuh koma tujuh tujuh) hektar; c. HPT Kaur Tengah 13.668,06 ( tiga belas ribu enam ratus enam puluh delapan koma enol enam) hektar; dan d. HPT Bukit Kumbang 9.972,759 (sembilan ribu sembilan ratus tujuh puluh dua koma tujuh lima sembilan) hektar. (3) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap (HP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi HP Air Sambat dengan luas 1.938 (seribu sembilan ratus tiga puluh delapan) Ha. Pasal 28 Kawasan peruntukan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b dengan luas kurang lebih 1.219 (seribu dua ratus sembilan belas) hektar berada di Kecamatan Padang Guci Hulu. Pasal 29 (1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c meliputi: a. budidaya tanaman pangan; b. budidaya hortikultura; dan c. budidaya perkebunan. (2) Kawasan peruntukan pertanian budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang total lebih 7.868 (tujuh ribu delapan ratus enam puluh delapan) hektar. (3) Kawasan peruntukan pertanian budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 9.772 (Sembilan ribu tujuh ratus tujuh puluh dua) hektar. (4) Kawasan peruntukan pertanian budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di seluruh kecamatan dengan luas kurang lebih 90.000 Ha, dimana kawasan untuk perkebunan besar diploting kurang lebih 45.000 Hektar, dan perkebunan rakyat diploting 33.000 hektar, dan peruntukan lainnya 12.000 Hektar. Pasal 30 (1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d terdiri atas: a. perikanan tangkap; b. perikanan budidaya; dan c. pengolahan ikan. (2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikembangkan di wilayah pesisr meliputi: a. Kecamatan Nasal; 26
b. c. d. e. f. g. h.
Kecamatan Maje; Kecamatan Kaur Selatan; Kecamatan Tetap; Kecamatan Kaur Tengah; Kecamatan Semidang Gumai; Kecamatan Kelam Tengah; dan Kecamatan Tanjung Kemuning.
(3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikembangkan di: a. Kecamatan Nasal; b. Kecamatan Muara Sahung; dan c. Kecamatan Kelam Tengah. (4) Kawasan peruntukan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikembangkan di: a. Kecamatan Nasal; b. Kecamatan Muara Sahung; dan c. Kecamatan Kelam Tengah. Pasal 31 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e berupa pertambangan mineral logam, non logam, minyak bumi, batuan dan batu bara. (2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam, non logam, minyak bumi, batuan dan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pasir besi dan biji besi di Kecamatan Semidang Gumai, Muara Sahung, Luas, Kaur Tengah, Tetap, Kaur Selatan, Maje dan Nasal; b. Minyak Bumi di Lepas Pantai Kecamatan Kinal dan Lepas Pantai Kecamatan Tanjung Kemuning, Lepas Pantai Semidang Gumai, Lepas Pantai Kaur Tengah dan Lepas Pantai Tetap; c. Emas, Perak, Tembaga di Kecamatan Muara Sahung, Kinal, Padang Guci Hulu dan Lungkang Kule; dan d. Sirtu tersebar di seluruh kecamatan. Pasal 32 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f terdiri atas: a. Kawasan Industri; dan b. Kawasan peruntukan industri mikro, kecil dan menengah. (2) Kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berada di Linau Kecamatan Maje. (3) Kawasan peruntukan industri mikro, kecil dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berada di seluruh kecamatan. Pasal 33 (1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf g terdiri atas: a. wisata alam; dan b. wisata budaya. (2) Kawasan peruntukan wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. Arung Jeram di Desa Air Kering Kecamatan Padang Guci Hilir; 27
b. Air Terjun Tiga Panggung di Desa Ulak Bandung Kecamatan Muara Sahung; c. Air Terjun Satu Panggung di Desa Tri Tunggal Bakti, Kecamatan Muara Sahung; d. Arung Jeram di Desa Ulak Bandung, Kecamatan Muara Sahung; e. Air Terjun di Desa Bungin Tambun Kecamatan Padang Guci Hulu; f. Air Panas di Desa Manau Sembilan Kecamatan Padang Guci Hulu; g. Wisata Gua Alam (Goa Sahung) Desa Pelajaran Kec. Tanjung Kemuning; h. Wisata Danau Kuning di Kecamatan Kaur Utara; i. Wisata Pantai Way Hawang di Desa Way Hawang, Kecamatan Maje; j. Wisata Pantai Linau di Desa Linau, Kecamatan Maje; k. Wiasata Pantai Muara Sambat, Dayang Pandan dan Sekunyit di Kecamatan Kaur Selatan; l. Wisata Pantai Hili di Desa Cahaya Batin dan Desa Mentiring Kecamatan Semidang Gumai; dan m. Wisata Pantai Bajau, Teluk Beringin dan Pantai Sulau di Kecamatan Tanjung Kemuning. (3) Kawasan peruntukan wisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. Situs Megalitik Pagar Dewa di Desa Pagar Dewa, Situs Megalitik Sukarami di Desa Sukarami Kecamatan Kelam Tengah; b. Situs Rumah AK. Gani , Situs Jil / Penjara dan Situs Pesanggrahan di Desa Muara Sahung Kecamatan Muara Sahung; c. Rumah Pangeran Chalifa Balien di Desa Benua Ratu, Kecamatan Luas; d. Karang Penyabungan di Desa Tetap, Situs Makam Said Al-Jufri di Desa Suka Banjar, Kecamatan Tetap; e. Masjid Tua Bandar Bintuhan di Desa Bandar Bintuhan dan Situs Makam Keramat Pinang Tawar di Desa Pengubaian Kecamatan Kaur Selatan; f. Batu Jung di Desa Way Hawang Kecamatan Maje; g. Makam Raden Alit Bajau di Desa Tanjung Iman Kecamatan Tanjung Kemuning; h. Keramat Cokoh Kemalo di Kemalung di Desa Padang Kedondong Kecamatan Tanjung Kemuning; i. Keramat Tapak Panjang Desa Ulak Agung Kecamatan Padang Guci Hilir; dan j. Keramat Pinang Tawar di Kecamatan Kaur Selatan. Pasal 34 (1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf h terdiri atas : a. permukiman perkotaan; dan b. permukiman perdesaan. (2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 1.987 (seribu sembilan ratus delapan tujuh) hektar meliputi: a. Kecamatan Tanjung Kemuning; b. Kecamatan Semidang Gumai; c. Kecamatan Kaur Tengah; d. Kecamatan Kaur Utara; e. Kecamatan Kaur Selatan; f. Kecamatan Maje; g. Kecamatan Nasal; h. Kecamatan Muara Sahung; dan i. Kecamatan Tetap. 28
(3) Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang lebih 2.466 (dua ribu empat ratus enam puluh enam) hektar meliputi seluruh kecamatan. Pasal 35 Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf i melipiti: a. kawasan Perkantoran Kabupaten; b. kawasan Pondok Pusaka; c. taman Bineka; dan d. hutan Kota. Pasal 36 (1) Kawasan perkantoran kabupaten sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 huruf a dengan luas kurang lebih 100 (seratus) hektar di Kecamatan Kaur Selatan dan Kecamatan Tetap. (2) Kawasan Pondok Pusaka sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 huruf b dengan luas kurang lebih 700 (tujuh ratus) hektar di Kecamatan Kaur Selatan dan Kecamatan Tetap. (3) Taman Bineka sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 huruf c kurang lebih 4,4181 (empat koma empat satu delapan satu) hektar yang terdapat di Kecamatan Kaur Selatan. (4) Hutan Kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 huruf d kurang lebih 15 (lima belas) hektar yang terdapat di Kecamatan Kaur Selatan. BAB V PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN KAUR Pasal 37 (1) Kawasan Strategis Kabupaten Kaur terdiri atas : a. kawasan strategis kabupaten aspek ekonomi; dan b. kawasan strategis kabupaten aspek lingkungan hidup. (2) Pengembangan kawasan strategis kabupaten aspek ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Kawasan Perkotaan Bintuhan; b. Kawasan Minapolitan Nasal; c. Kawasan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Muara Sahung; dan d. Kawasan Agropolitan Kaur Selatan – Maje. (3) Pengembangan kawasan strategis kabupaten aspek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. Hutan Lindung Raja Mandara; dan b. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
lingkungan
hidup
(4) Kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam Peta Kawasan Strategis dengan tingkat ketelitian1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
29
BAB VI ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN KAUR Pasal 38 (1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kaur disusun berdasarkan struktur ruang dan pola ruang.
rencana
(2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Kaur dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya. (3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 39 (1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. (2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja sama pendanaan. (3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VII KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN KAUR Bagian Kesatu Umum Pasal 40 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Kaur. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. ketentuan umum peraturan zonasi; b. ketentuan perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; dan d. arahan sanksi. Bagian Kedua Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pasal 41 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan zonasi. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaiman dimaksud pada (1) terdiri atas : a. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung; b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan 30
c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem jaringan prasarana. Paragraf 1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi untuk Kawasan Lindung Pasal 42 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan lain yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung; b. dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, wisata alam tanpa merubah bentang alam; c. dalam hutan lindung tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi; d. dalam kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan adanya kegiatan dan bangunan selain usaha untuk memelihara dan melestarikan fungsi lindung; e. dalam kawasan hutan lindung tidak diijinkan adanya pencetakan sawah baru sebelum mendapatkan persetujuan alih fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; f. kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan ketentuan dilarang yang akan mengakibatkan : 1. turunnya permukaan tanah; 2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah. g. penggunaan kawasan hutan lindung, dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; dan h. pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan : 1. prasarana untuk pencegahan dan penanggulangan bencana alam banjir, tanah longsor, letusan gunung api, lahar dingin, dan potensi bencana lainnya; 2. pembangunan pos keamanan pada titik tertentu sesuai kebutuhan pengamanan lalu lintas dan pencegahan perambahan hutan; 3. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut; dan 4. mengikuti ketentuan paraturan perundang-undangan. Pasal 43 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan sungai ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan sempadan sungai, jenis pemanfaatan ruangnya untuk ruang terbuka hijau; b. dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan terganggunya fungsi sungai; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi terbuka dan fungsi pengamanan sempadan sungai; d. dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan : 1. tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang pinggir sungai dalam wilayah sempadan sungai; dan 2. dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 31
Pasal 44 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air; b. dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan kegiatan budidaya terbangun di dalam kawasan sekitar mata air dalam radius 200 (dua ratus) meter; dan d. dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan melakukan pengeboran air bawah tanah pada radius 200 (dua ratus) meter di sekitar mata air. Pasal 45 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early warning system); b. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional; c. dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan;dan d. jarak sempadan pantai paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tetinggi ke arah darat. Pasal 46 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan suaka alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan tersebut; b. dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, wisata alam dan kegiatan berburu yang tidak mengakibatkan penurunan fungsi kawasan tersebut.; dan c. dalam kawasan suaka alam dan cagar alam masih diperkenankan pembangunan prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan dan bangunan pencegah dan penanggulangan bencana alam. Pasal 47 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan taman nasional ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang menyebabkan menurunnya fungsi kawasan; b. dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan penebangan pohon dan perburuan satwa yang dilindungi undang-undang; c. dalam kawasan taman nasional masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan; dan 32
d. dalam kawasan taman nasional masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah sepanjang tidak merusak atau mengurangi fungsi kawasan atau untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan bencana alam. Pasal 48 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, pendidikan dan pariwisata; dan b. dalam kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dilarang pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan. Pasal 49 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan rawan banjir diperkenankan untuk pemanfaatan ruang terbuka hijau; b. dalam kawasan rawan banjir diperkenankan pendirian bangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana; dan c. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan banjir sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan dengan syarat: 1. sistem drainase yang memadai; 2. pembuatan sumur resapan; dan 3. pembuatan tanggul pada sungai yang berpotensi rawan bencana banjir. Pasal 50 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan longsor ditetapkan sebagai berikut: a. dalam kawasan rawan longsor diperkenankan pendirian bangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana; b. dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan dan kehutanan serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam; dan c. permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan longsor sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan dengan syarat: 1. diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bencana alam; 2. melakukan stabilitas lereng; dan 3. pembuatan sumur resapan. Pasal 51 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan kebakaran hutan ditetapkan sebagai berikut: a. tidak di perkenankan adanya kegiatan apapun yang dapat menimbulkan kebakaran hutan; dan b. jika kawasan rawan bencana kebakaran hutan merupakan kawasan hutan produksi, masih diperkenankan dilakukan untuk kegiatan penelitian, wisata alam tanpa merubah bentang alam.
33
Pasal 52 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan gelombang tsunami ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan rawan gelombang tsunami dapat dilakukan pembangunan bangunan umum dan infrastrutkur yang dibutuhkan dengan ketentuan teknis yang ramah tsunami; b. kawasan rawan gelombang tsunami dilengkapi bangunan/tanaman penahan gelombang tsunami, jalan dan bangunan penyelamat; c. dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sistem peringatan dini; d. perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan sesuai dengan potensi bencana alam serta dilengkapi jalur evakuasi; dan e. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk. Pasal 53 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan gempa bumi ditetapkan sebagai berikut: a. kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan gempa bumi harus mengikuti peraturan bangunan sesuai dengan potensi bencana yang mungkin timbul dan dibangun jalur evakuasi; b. pada kawasan rawan gempa bumi kegiatan budidaya permukiman dibatasi dan bangunan yang ada harus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan rawan gempa bumi; dan c. pada kawasan rawan gempa bumi masih diperkenankan dilakukan budidaya pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan. Paragraf 2 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya Pasal 54 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi yang ditetapkan meliputi : a. kawasan hutan produksi dapat dialih fungsikan dan dirubah peruntukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; b. kawasan hutan produksi, pemanfaatan hasil hutan dibatasi untuk menjaga kesetabilan neraca sumber daya hutan; c. kawasan hutan produksi, pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pengamanan kawasan dan pemanfaatan hasil hutan; d. diperbolehkan dirubah fungsi menjadi hutan berfungsi lindung, sesuai ketentuan berlaku; dan e. diperbolehkan dibangun prasarana untuk kepentingan pemanfaatan hasil hutan dan pencegahan serta penanggulangan bencana. Pasal 55 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian tanaman pangan ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak diperkenankan untuk di alih fungsikan ke penggunaan budidaya lainnya; 34
b. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan kegiatan non pertanian dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan; c. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian tanaman pangan; d. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan diperkenankan pemanfatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; dan e. kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan. Pasal 56 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertanian hortikultura ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan pertanian hortikultura yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak diperkenankan untuk di alih fungsikan ke penggunaan budidaya lainnya; b. kawasan pertanian hortikultura yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan kegiatan non pertanian dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan; c. kawasan pertanian holtikultura diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian holtikultura; d. kawasan pertanian holtikultura diperkenankan pemanfatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; e. kawasan pertanian holtikultura diperkenankan sebagai pemanfaatan kegiatan peternakan dan industri; f. kawasan pertanian holtikultura diperkenankan dikembangkan sarana dan prasarana industri agro; dan g. kawasan pertanian holtikultura diperkenankan dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan rakyat. Pasal 57 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perkebunan ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan perkebunan tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu; b. kawasan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan; c. kawasan perkebunan yang tidak ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan kegiatan non pertanian dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan; d. kawasan perkebunan diperkenankan untuk dimanfaatkan sebagai hutan rakyat; e. kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah untuk kepentingan pemanfaatan hasil perkebunan serta untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan bencana; f. kawasan perkebunan besar harus memiliki jarak dari permukiman minimal 3 (tiga) kilo meter; dan g. diversifikasi pada tanaman perkebunan dapat dilaksanakan sepanjang persyaratan teknis dipenuhi dan sesuai perizinan yang diberikan. 35
Pasal 58 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan perikanan ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan budidaya perikanan perkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perikanan; b. kawasa budidaya perikanan diperbolehkan pengembangan sarana dan prasarana perikanan; c. pembatasan pemanfaatan sumber daya perikanan tidak melebihi potensi lestari; d. pada kawasan perikanan yang juga dibebani fungsi wisata, pengembangan perikanannya tidak boleh merusak/mematikan fungsi pariwisata; dan e. pemanfaatan kawasan perikanan tidak boleh mengakibatkan pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan lainnya. Pasal 59 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan pertambangan, kegiatan pertambangan dibatasi agar tidak mengakibatkan dampak lingkungan yang merugikan bagi lingkungan hidup biotik dan abiotik di dalamnya maupun disekitarnya; b. pengharusan penjaminan segi-segi keselamatan pekerja dan keamanan lingkungan dalam penyediaan peralatan dan pelaksanaan kegiatan penambangan; c. pengharusan pemulihan rona bentang alam pasca penambangan, sesuai ketentuan yang berlaku bagi kawasan pertambangan; d. pengembangan kawasan permukiman pendukung kegiatan pertambangan, harus diintegrasikan dengan pengembangan pusat – pusat kegiatan sesuai rencana pengembangan struktur ruang wilayah kabupaten; e. tidak diperkenankan membangun kawasan permukiman eksklusif dalam kawasan pertambangan yang tidak diintegrasikan dengan rencana struktur ruang kabupaten; f. kawasan pertambangan diperkenankan peruntukannya sebagai kawasan pariwisata, selama tidak membahayakan dan tidak mengganggu kegiatan pertambangan; dan g. kawasan pertambangan diperkenankan untuk kegiatan kawasan industri selama memperhatikan faktor pelestarian alam dan ketentuan yang berlaku. Pasal 60 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk peruntukan industri ditetapkan sebagai berikut: a. pemanfaatan kawasan peruntukan industri diprioritaskan untuk mengolah bahan baku lokal menggunakan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia setempat; b. pemanfaatan kawasan peruntukan industri dapat dilakukan untuk menampung kegiatan aneka industri sesuai dengan karakteristik kawasan; c. penyediaan sarana dan prasarana kawasan industri siap bangun diperbolehkan pada kawasan peruntukan industri; d. diperbolehkan pengembangan kawasan permukiman baru pada kawasan peruntukan industri, dengan pembatasan hanya untuk permukiman yang menunjang kegiatan industri dan kegiatan buffer zone yang mampu meminimkan dampak bagi warga di kawasan permukiman dari kecelakaan industri; dan
36
e. diperbolehkan bagi permukiman penduduk yang sudah terlebih dulu bermukim di kawasan peruntukan industri, tetapi dengan pembatasan kegiatan agar tidak mengakibatkan kecelakaan industri. Pasal 61 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pariwisata ditetapkan sebagai berikut: a. pemanfaatan potensi alam dan budaya setempat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tidak menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam; b. harus dilakukan perlindungan situs warisan budaya setempat pada kawasan wisata; c. pembatasan pendirian bangunan non-pariwisata pada kawasan efektif pariwisata; d. diperbolehkan pengembangan sarana dan prasarana penunjang pariwisata; dan e. pengharusan penyediaan fasilitas parkir pada kegiatan penunjang wisata di kawasan wisata. Pasal 62 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan permukiman perkotaan ditetapkan sebagai berikut: a. kawasan permukiman perkotaan dapat dimanfaatkan bagi kegiatan pariwisata, perdagangan, jasa, industri, dan kegiatan pertanian; b. pengharusan penerapan ketentuan tata lingkungan dan tata bangunan; c. pengharusan penyediaan kelengkapan, keselamatan bangunan dan lingkungan; d. pengharusan penetapan jenis dan penerapan syarat-syarat penggunaan bangunan; e. pengharusan penyediaan kolam penampungan air hujan secara merata di setiap bagian daerah yang rawan genangan air dan rawan banjir; f. pengharusan penyediaan utilitas; g. pengharusan penyediaan fasilitas parkir bagi bangunan untuk kegiatan usaha; h. kepadatan penghunian satu unit hunian untuk satu rumah tangga dalam kawasan permukiman setinggi-tingginya sama dengan standar kepadatan layak huni, tidak termasuk bangunan hunian yang terletak di dalam kawasan permukiman tradisional; dan i. dalam kawasan permukiman perkotaan untuk pusat kota dan pemerintahan ditetapkan kdb kurang dari 40 (empat puluh) persen. Pasal 63 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan permukiman perdesaan ditetapkan sebagai berikut: a. diarahkan pengembangan kawasan permukiman perdesaan berbasis pertanian; b. dalam kawasan permukiman dapat dimanfaatkan bagi kegiatan pariwisata pertanian tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kegiatan industri; c. pengharusan penyediaan kolam penampungan air hujan secara merata di setiap bagian daerah yang rawan genangan air dan rawan banjir; dan d. penghurusan penyediaan utilitas. Pasal 64 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya ditetapkan sebagai berikut: a. peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 37
b. diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku; c. alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan perairan laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya dan belum banyak dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang memadai untuk pembangunan infrastruktur; d. dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah peruntukan; e. pembangunan kawasan peruntukan lainnya harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (klb, kdb, sempadan bangunan, dan lain sebagainya); dan f. kegiatan pembangunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung. Pasal 65 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sekitar sistem jaringan transportasi darat ditetapkan sebagai berikut: a. di sepanjang kawasan sekitar sistem jaringan jalan nasional, provinsi dan kabupaten tidak diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional; b. di sepanjang kawasan sekitar sistem jaringan jalan nasional, provinsi dan kabupaten tidak diperkenankan bangunan sesuai ketentuan yang berlaku; c. bangunan di sepanjang kawasan sekitar sistem jaringan jalan nasional, provinsi dan kabupaten harus memilki sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan setengah masing – masing jalan sesuai fungsi dan penetapan sempadannya; d. pada kawasan sekitar sistem prasarana jalan nasional dan provinsi tidak diperbolehkan melakukan kegiatan isidential yang dapat menggangu kelancaran arus lalu lintas regional kecuali untuk kepentingan pembangunan jalan ataupun pembangunan prasarana umum lainnya dengan izin sesuai ketentuan yang berlaku; dan e. pada kawasan sekitar prasarana jalan lokal primer maupun jalan strategis kabupaten tidak diperbolehkan melakukan kegiatan yang dapat menutup sebagian/seluruh jalan atau menghambat kelancaran lalu lintas, kecuali untuk kegiatan kepentingan umum dengan mendapatkan izin sesuai ketentuan berlaku. Pasal 66 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem prasarana energi ditetapkan sebagai berikut: a. dilarang mendirikan bangunan dalam kawasan sempadan jaringan listrik SUTUT, SUTET, dan SUTM yang dapat mengganggu keamanan jaringan listrik maupun orang dalam bangunan tersebut; b. dilarang melakukan kegiatan di sekitar prasarana pembangkit listrik maupun gardu induk distribusi yang dapat membahayakan berfungsinya prasarana energi tersebut; dan c. pada kawasan dibawah jaringan listrik sutut, sutet, dan sutm masih dimungkingkan/diperbolehkan kegiatan yang tidak intensif.
38
Pasal 67 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sistem prasarana telekomunikasi ditetapkan sebagai berikut: a. tidak diperbolehkan adanya bangunan rumah dalam kawasan sekitar sistem prasarana telekomunikasi yang dapat mengganggu keamanan orang dalam bangunan tersebut; b. pada kawasan sekitar sistem prasarana telekomunikasi, diperbolehkan adanya bangunan rumah dengan ketentuan mempunyai radius minimum berjari – jari sama dengan tinggi menara; dan c. dihimbau untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama – sama diantara penyedia layanan komunikasi (provider). Pasal 68 Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sekitar sistem jaringan Sumberdaya Air ditetapkan sebagai berikut: a. pemanfaatan ruang pada daerah aliran sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; b. pemanfaatan ruang daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota, termasuk daerah hulunya, yang dilakukan oleh kabupaten/kota yang berbatasan harus selaras dengan arahan pola ruang wilayah; dan c. dilarang membangun bangunan maupun melakukan kegiatan sekitar prasarana sumber daya air yang dapat mengganggu, mencermarkan, dan merusak fungsi prasarana sumber daya air. Bagian Ketiga Ketentuan Perizinan Pasal 69 (1) Ketentuan perizinan merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini. (2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. (3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 70 (1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2), terdiri atas : a. izin pinsip; b. izin lokasi; c. izin penggunaan pemanfaatan tanah; d. izin mendirikan bangunan; dan e. izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Izin prinsip sebagaimana dimaksud pada huruf a diberikan untuk kegiatan yang dimohonkan secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan. (3) Izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan untuk pemanfaatan ruang lebih dari 1 (satu) hektar untuk kegiatan bukan pertanian dan lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar untuk kegiatan pertanian. 39
(4) Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan berdasarkan izin lokasi. (5) Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan dasar mendirikan bangunan dalam rangka pemanfaatan ruang. (6) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Bagian Keempat Ketentuan Insentif dan Disinsentif Pasal 71 (1) Ketentuan Insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif. (2) Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk: a. meningkatkan upaya pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka mewujudkan tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang; b. memfasilitasi kegiatan pemanfaatan ruang agar sejalan dengan rencana tata ruang; dan c. meningkatkan kemitraan semua pemangku kepentingan dalam rangka pemanfaatan ruang yang sejalan dengan rencana tata ruang. (3) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah dilakukan oleh pemerintah kabupaten kepada tingkat pemerintah yang lebih rendah dan kepada masyarakat. (4) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 72 (1) Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang didorong perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang. (2) Pemberian disinsentif diberlakukan bagi dikendalikan perkembangannya dan/atau kegiatan budidaya.
kawasan yang dibatasi, atau dilarang dikembangkan untuk
(3) Pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemberian keringanan pajak yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten; b. penyediaan sarana dan prasarana kawasan; c. pemberian kompensasi; dan d. kemudahan perizinan. (4) Pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (2) meliputi: a. pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, kawasan komersial, daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi; b. penolakan pemberian izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi; c. peniadaan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi; 40
d. penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan dilakukan di dalam kawasan lindung; e. pencabutan izin yang sudah diberikan karena adanya perubahan pemanfaatan ruang budidaya menjadi lindung. (5) Ketentuan mekanisme pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Bagian Kelima Arahan Sanksi Pasal 73 (1) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d diberikan terhadap: a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten; b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung, kawasan budidaya dan sekitar sistem prasarana; c. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang; d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat berwenang; e. pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau f. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar dan/atau tidak sah. (2)
Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
huruf b dapat
Pasal 74 Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan izin; f. pembatalan izin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau i. denda administratif. Pasal 75 (1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf a diberikan oleh pejabat yang berwenang dalam penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang melalui penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali. (2) Penghentian kegiatan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf b dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. apabila peringatan tertulis tidak diindahkan maka ditindaklanjuti dengan penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara; 41
b. penerbitan surat perintah penghentian kegiatan sementara dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; c. apabila pelanggar mengabaikan perintah penghentian kegiatan sementara, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara secara paksa terhadap kegiatan pemanfaatan ruang; d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan segera dilakukan tindakan penertiban oleh aparat penertiban; e. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan penghentian kegiatan pemanfaatan ruang secara paksa; dan f. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban pelanggar untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan/atau ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (3) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf c dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. penerbitan surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang (membuat surat pemberitahuan penghentian sementara pelayanan umum); b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum kepada pelanggar dengan memuat rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penghentian sementara pelayanan umum yang akan segera dilaksanakan, disertai rincian jenis-jenis pelayanan umum yang akan diputus; d. pejabat yang berwenang menyampaikan perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan pelayanan kepada pelanggar, disertai penjelasan secukupnya; e. penyedia jasa pelayanan umum menghentikan pelayanan kepada pelanggar; dan f. pengawasan terhadap penerapan sanksi penghentian sementara pelayanan umum dilakukan untuk memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada pelanggar sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (4) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam 74 huruf d dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. penerbitan surat perintah penutupan lokasi dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila pelanggar mengabaikan surat perintah yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi penutupan lokasi kepada pelanggar; c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi penutupan lokasi yang akan segera dilaksanakan; 42
d. perdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang dengan bantuan aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan e. pengawasan terhadap penerapan sanksi penutupan lokasi, untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai dengan pelanggar memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan pemanfaatan ruangnya dengan rencana tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang yang berlaku. (5) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf e dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. menerbitkan surat pemberitahuan sekaligus pencabutan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pengenaan sanksi pencabutan izin pemanfaatan ruang; c. pejabat yang berwenang memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pencabutan izin; d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban mengajukan permohonan pencabutan izin kepada pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin; e. pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan izin menerbitkan keputusan pencabutan izin; f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dicabut, sekaligus perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang secara permanen yang telah dicabut izinnya; dan g. apabila pelanggar mengabaikan perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan yang telah dicabut izinnya, pejabat yang berwenang melakukan penertiban kegiatan tanpa izin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (6) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf f dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. membuat lembar evaluasi yang berisikan perbedaan antara pemanfaatan ruang menurut dokumen perizinan dengan arahan pola pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang yang berlaku; b. memberitahukan kepada pihak yang memanfaatkan ruang perihal rencana pembatalan izin, agar yang bersangkutan dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi hal-hal akibat pembatalan izin; c. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin oleh pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; d. memberitahukan kepada pemegang izin tentang keputusan pembatalan izin; e. menerbitkan surat keputusan pembatalan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan izin; dan f. memberitahukan kepada pemanfaat ruang mengenai status izin yang telah dibatalkan. (7) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 huruf g dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. menerbitkan surat pemberitahuan perintah pembongkaran bangunan dari pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang; b. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pembongkaran bangunan;
43
c. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pembongkaran bangunan yang akan segera dilaksanakan; dan d. berdasarkan surat keputusan pengenaan sanksi, pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dengan bantuan aparat penertiban melakukan pembongkaran bangunan secara paksa. (8)
Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 74 huruf h dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. menetapkan ketentuan pemulihan fungsi ruang yang berisi bagian-bagian yang harus dipulihkan fungsinya dan cara pemulihannya; b. pejabat yang berwenang melakukan penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang menerbitkan surat pemberitahuan perintah pemulihan fungsi ruang; c. apabila pelanggar mengabaikan surat pemberitahuan yang disampaikan, pejabat yang berwenang melakukan penertiban mengeluarkan surat keputusan pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang; d. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban, memberitahukan kepada pelanggar mengenai pengenaan sanksi pemulihan fungsi ruang yang harus dilaksanakan pelanggar dalam jangka waktu tertentu; e. pejabat yang berwenang melakukan tindakan penertiban dan melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi ruang; f. apabila sampai jangka waktu yang ditentukan pelanggar belum melaksanakan pemulihan fungsi ruang, pejabat yang bertanggung jawab melakukan tindakan penertiban dapat melakukan tindakan paksa untuk melakukan pemulihan fungsi ruang; dan g. apabila pelanggar pada saat itu dinilai tidak mampu membiayai kegiatan pemulihan fungsi ruang, pemerintah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan oleh pemerintah atas beban pelanggar di kemudian hari.
(9)
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 74 huruf i dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif dan besarannya ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah kabupaten.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. Pasal 76 Pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VIII KELEMBAGAAN Pasal 77 (1) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang dan kerjasama antar sektor/antar daerah bidang penataan ruang dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten. (2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. 44
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penataan ruang mengacu pada peraturan perundang- undangan BAB IX HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 78 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk: a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Pasal 79 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 80 Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap: a. Perencanaan tata ruang; b. Pemanfaatan ruang; dan c. Pengendalian pemanfaatan ruang. Pasal 81 Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf a terdiri atas: a. masukan dan saran mengenai: 1. persiapan penyusunan rencana tata ruang; 2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; 3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan; 4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau 5. penetapan rencana tata ruang. b. kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
45
Pasal 82 Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf b terdiri atas: a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang; b. kerja sama dengan pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang; c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. peningkatan efisiensi, efektivitas dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 83 Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 huruf c terdiri atas: a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi; b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; c. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan e. penyediaan sistem informasi dan dokumentasi penataan ruang oleh Pemerintah Daerah agar dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. BAB X KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 84 (1) Penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS). (2) PPNS melaporkan pelanggaran kepada BKPRD Kabupaten (3) Setelah melakukan pelaporan kepada BKPRD, PPNS dapat melaporkan hasil temuan tersebut kepada mitra kerja yaitu Kepolisian Republik Indonesia. BAB XI KETENTUAN PIDANA Pasal 85 Setiap orang/ atau badan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuanketentuan dalam Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
46
BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 86 (1) Jangka waktu RTRW kabupaten berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar, perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, RTRW kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. (3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud ayat (2) juga dapat dilakukan apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal Kabupaten Kaur. (4) Peraturan Daerah tentang RTRW kabupaten dilengkapi dengan Buku Rencana dan Album Peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 87 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kaur dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang daerah yang telah ada dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. (3) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan: 1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; 2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, akan diteliti untuk menetapkan statusnya dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. c. pemanfaatan ruang yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini; dan d. pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat untuk mendapatkan izin yang diperlukan. 47
(4) Dalam rangka menunjang penataan ruang Kabupaten, perlu disusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang meliputi RDTR Kawasan Strategis dan RDTR Kecamatan. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 88 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kaur.
Ditetapkan di Bintuhan pada tanggal 27 September 2012 BUPATI KAUR,
HERMEN MALIK
Diundangkan di Bintuhan pada tanggal 28 September 2012 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KAUR,
Drs. H. MULYADI USMAN, M.Pd Pembina Utama Muda Nip. 19530510 197611 1 001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KAUR TAHUN 2012 NOMOR : 150
48