6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelapa Sawit Kebutuhan masyarakat dunia yang terus meningkat akan minyak kelapa sawit menjadikan pembangunan industri kelapa sawit di Indonesia semakin pesat. Pada tahun 2012 perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 9.572.715 ha, yang mayoritas dimiliki perkebunan swasta dan pemerintah. Pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dipengaruhi banyak faktor, seperti lingkungan, genetis dan teknis agronomi. Ketiga faktor tersebut saling terkait didalam menunjang pertumbuhan tanaman. Untuk mengharapkan produksi kelapa sawit melalui CPO yang maksimal, maka ketiga faktor tersebut harus selalu dalam kondisi optimal. Faktor teknis (budidaya) merupakan salah satu faktor yang biasanya menjadi titik lemah dari pencapaian produksi CPO. Hal ini disebabkan pola tanam, pemupukan yang tidak berimbang dan adanya serangan hama penyakit. Pesatnya penambahan luas perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara penambahan areal melalui program ekstensifikasi maupun intensifikasi. Program intensifikasi dilakukan melalui pergantian tanaman dan peremajaan tanaman tua yang menyebabkan adanya gangguan hama (khususnya kumbang tanduk) akan semakin meningkat seiring dengan tersedianya bahan organik sebagai media hidup dari kumbang (Turner dan Gillbanks, 2003).
2.2. Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) O. rhinocerosmerupakan salah satu hama utama pada perkebunan kelapa sawit. Hal ini disebabkan oleh adanya peremajaan tanaman (khususnya dengan sistem under planting), pohon mati akibat serangan penyakit busuk pangkal
batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense dan adanya aplikasi jankos pada areal tanaman kelapa sawit baik di TBM maupun di TM (Dongoran et al., 2010). Serangan O. rhinoceros dapat terjadi pada areal tanaman belum menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM) dan serangan berat dapat menyebabkan tanaman menjadi rusak atau menimbulkan kematian (Cahyasiwi et al., 2010 ; Dongoran et al., 2010). Kumbang Oryctes aktif mulai senja sampai malam hari guna mencari makan(sampai dengan pukul 21.00). Tanaman yang banyak mengalami serangan ialah tanaman yang baru dipindah tanam, terutama pada areal yang dekat perkampungan dan bersemak atau banyak tanaman kelapa (Sudharto et al.,2006). Kumbang hinggap pada pelepah daun yang agak muda, kemudian mulai menyerang bakal daun muda dan titik tumbuhmelalui pelepah. Kumbang menggerek ke dalam kumpulan daun yang akan tumbuh yang menyebabkan daunmenjadi rusak (Cahyasiwi et al., 2010). O. rhinoceros utamanya menyerang atau memakan titik tumbuh tanaman dan dapat menimbulkan kematian tanaman dengan gejala serangan sebagai berikut : 1. Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman. 2. Tunas tanaman di pembibitan menjadi kering karena gerekan dibagian pangkalnya. 3. Pelepah terlihat terpuntir sehingga posisinya tampak tidak beraturan. 4. Pelepah muda yang baru tumbuh daunnya terlihat seperti kipas. 5. Pada tanaman belum menghasilkan (TBM), pelepah muda mengering diantara daun tua yang menghijau.
7
Serangan O. rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun 1 mencapai 60% dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25% (Buana et al., 2006).Serangan pada tanaman muda sangat berbahaya jika serangan mencapai titik tumbuh. Areal tanaman yang banyak terserang dapat mengurangi produksi sebesar 0,2-0,3 ton/ha selama 18 bulan panen tahun pertama (Sudharto et al.,2006). Pengendalian
O.
rhinoceros
berpusat
pada
tindakan
preventif
denganmenghilangkan tempat breeding site,mengumpulkan larva dan pupa serta mengeluarkan kumbang dari lubang gerekan (Cahyasiwi et al., 2010 ; Susanto et al., 2010).
2.2.1. Biologi O. rhinoceros O. rhinoceros meletakkan telurnya pada batang kelapa sawit, pupuk kandang, kompos, dan bahan organik yang sedang membusuk atau melapuk.Telur yang baru diletakkan berbentuk lonjong dan berubah menjadi bentuk oval, saat telur berumur satu minggu memiliki ukuran panjang 4,75-5,80 mm dan lebar 2,95-3,25 mm serta berdiameter 3-4 mm. Telur berwarna putih dan menjelang menetas berubah menjadi keabu-abuan, periode telur berlangsung selama 11-13 hari (Bedford, 1976 dalam Marheni, 2012). Larva berupa uret yang baru menetas berwarna putih kemudian berubah menjadi kuning dan menjelang pergantian kulit menjadi kuning kecoklatan. Larva instar satu (L1) berukuran panjang 7-8 mm dan larva instar tiga (L3) memiliki panjang mencapai 60-105 mm dengan lebar 25 mm. Pada pakan tankos stadia L1 berumur rata-rata 16,0±3,37 hari, L2 20,67±2,97 hari dan L3 65,95±2,76 hari.Sedangkan pada pakan batang kelapa sawit L1 berumur rata-rata 23,43±2,62
8
hari, L2 33,60±3,70 hari dan L3 94,10±4,33 hari (Marheni, 2012). Lamanya fase larva sangat bervariasi tergantung pada kualitas makanan, namun secara umum stadia larva pada batang kelapa sawit berkisar 82-207 hari (Norman et al., 2004). Pupa berwarna kuning coklat dengan panjang ± 5 cm dan lebar ± 2.5 cm. Pada pupa sudah tampak bakal kepala, sayap, pronotune, abdomen dan tungkai dengan lama stadia pupa antara 20-25 hari (Sudharto et al.,2006). Kumbang O. rhinoceros yang baru keluar dari pupa tidak segera aktif tetapi masih tetap tinggal di dalam kokon selama 15-21 hari tanpa makan. Kumbang yang masih belum aktif ini disebut praimago. Kumbang berwarna coklat hitam dengan permukaan sayap depan kasar dan tidak mengkilap. Panjang tubuh kumbang 3-5 cm dan lebar ± 2 cm. Setelah kumbang keluar dari rumah kepompong, langsung terbang menuju pucuk kelapa sawit untuk mencari pakan. Kumbang jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ujung abdomennya. Kumbang jantan mempunyai ujung abdomen yang relatif halus,sedangkan kumbang betina ujung abdomennya mempunyai rambut yang lebih banyak dan lebih panjang dibandingkan dengan jantan(Norman et al., 2004) serta kumbang betina memiliki antena lebih panjang dari jantan, yakni 8.962±1.642 sensillum/mm2 dan 8.665±1.254 sensillum/mm2 untuk kumbang jantan (Renou et al. 1998 dalam Marheni, 2012). Fase siklus hidup O. rhinoceros dapat dilihat pada Gambar 1.
2.2.2. Kerusakan akibat serangan O. rhinoceros Produktivitas kelapa sawit selain ditentukan oleh bahan tanaman yang unggul, kesesuaian lahan, iklim dan tindakan kultur teknis khususnya
9
pemupukan,serta adanya serangan hama dan penyakit. Serangan O. rhinoceros semakin berat karena media berkembangbiak yang sangat melimpah yaitu batang kelapa sawit hasil peremajaan yang telah membusuk pada ribuan hektar lahan peremajaan kelapa sawit dan jutaan ton tandan kelapa sawit di setiap tahunnya. Serangan O. rhinoceros pada kelapa sawit tidak hanya menyerang pada tanaman belum menghasilkan (TBM) tetapi dapat juga menyerang tanaman menghasilkan (TM) (Hutauruk, 2002), yang secara langsung akan berpengaruh terhadap produksi kelapa sawit. Intensitas serangan bervariasi dari ringan sampai berat yang dapat menyebabkan kematian pada tanaman kelapa sawit menghasilkan sebesar 13% (Sudharto et al., 2006). Kerusakan O. rhinoceros pada tahap TBM dapat menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 40-92% pada panen di tahun pertama (Chung et al., 1999).
A
B
D
C
Gambar1. Oryctes rhinoceros (A) Telur, (B) Larva, (C) Pupa dan (D) Imago
Serangan O. rhinoceros umumnya akan menimbulkan kerugian pada areal peremajaan walaupun kematian jarang ditemukan, akan tetapi akibat serangan tersebutmenyebabkan tanaman menjadi sangat terhambat pertumbuhannya 10
sehingga dapat menunda masa panen (Cahyasiwi et al., 2010). Kemunduran masa produksi ini berkorelasi dengan tingkat serangan, pada serangan ringan produksi mundur 5-6 bulan, serangan sedang mundur 1 tahun dan serangan berat mundur 2,5 tahun (Sudharto et al.,2006). Tanaman dapat sembuh dari serangan pertama kali, akan tetapi setelah tiga kali serangan secara berturut-turut menyebabkan tanaman menjadi rusak dan akan menyebabkan kehilangan daun tombak dan biasanya tanaman tersebut harus diganti. Kerusakan seperti ini mengakibatkan saat berproduksi menjadi terlambat (Susanto et al., 2010). Hutauruk (2002) mengatakan bahwa pada batang sawit yang sudah mengalami pembusukan terdapat 542-935 larva O. rhinocerospada areal tanpa penutup tanah dan 117-193 ekor/batang dengan penutup tanah. Jumlah larva yang begitu besar pada akhirnya merupakan sumber hama yang sangat besar terhadap tanaman disekitarnya. Penanaman kacangan penutup tanah dilakukan untuk mengurangi perkembangan O. rhinoceros pada batang kelapa sawit tua yang belum membusuk.
2.2.3. Pengendalian O. rhinoceros Serangan O. rhinoceros dapat dikendalikan dengan menerapkan berbagai teknik pengendalian, seperti pengendalian secara fisik atau manual, perangkap, hayati dan kimia (Susanto et al., 2010 ; Cahyasiwi, 2010).
11
2.2.3.1. Pengendalian secara fisik Pengendalian secara fisik biasanya dilakukan dengan melakukan pengutipan larva dan imago O. rhinoceros. Pengutipan dilakukan dengan membongkar tumpukan batang kelapa sawit atau janjangan kosong tempat breedingsite sedangkan pengutipan imago dilakukan dengan mengambil kumbang yang lengket pada daun tanaman menggunakan pengait yang dibengkokkan ujungnya (Susanto
et
al.,
2010).
Pembongkaran
tempat
perkembangbiakan
O.
rhinocerosdilakukan dengan pembelahan batang kelapa sawit yang sedang membusuk, pembongkaran sisa batang kelapa sawit yang telah dicincang bertujuan untuk mengumpulkan larva, pupa dan praimago. Pengendalian secara fisik menggunakan tenaga kerja yang sangat banyak sehingga membutuhkan biaya yang sangat besar.
2.2.3.2. Pengendalian dengan perangkap Pengendalian
menggunakan
perangkap
biasanya
dilakukan
dengan
menggunakan feromon dan cahaya. Feromon yang digunakan merupakan senyawa kimia dari ethyl-4-methyl oktanoat dan senyawa ini dapat bertahan hingga 3 bulan dilapangan (Susanto et al., 2007). Feromon ditempatkan diwadah perangkap yang terbuat dari seng, kemudian wadah tersebut ditempatkan di areal penanaman baru (TBM 1-3) dengan jarak 1 perangkap feromon/2 ha dan feromon dapat diganti setelah 3 bulan (Prasetyo et al., 2009). Pengendalian dengan perangkap cahaya dilakukan pada malam hariagar kumbang O. rhinoceros mendatangi lampu dan akhirnya tertangkap oleh jaring. Aplikasi perangkap cahaya dan jaring biasanya dilakukan pada saat populasi O. rhinoceros tinggi (Rozziansha et al., 2014).
12
Pengendalian denganmenggunakan perangkap jaring membutuhkan biaya yang sangat mahal, untuk biaya pembelian bahan dan tenaga kerja.
2.2.3.3. Pengendalian secara kimia Pengendalian secara kimia dilakukan dengan cara menyemprot dan menaburkan insektisida pada daun atau pupus tanaman. Pengendalian ini selain membutuhkan biaya yang sangat besar juga dapat menyebabkan matinya serangga penyerbuk kelapa sawit (Elaeidobius kamerunicus) dan serangga bermanfaat lainnya. Penggunaan insektisida kimia berbahan aktif diazinon, cypermetrin, karbofuran diketahui dapat mengendalikan O. rhinoceros(Dongoranet al., 2010), namun penggunaan insektisida berbahan aktif karbofuran maupun karbaril untuk mengendalikan O. rhinoceros dapat mengakibatkan tercemarnya lingkungan. Chong et al. (2007) mengatakan aplikasi insektisida cypermetrin secara berturut turut selama 3 bulan dapat menurunkan serangan baru O. rhinoceros dari 8,9% menjadi 4,4%. Negrisoli et al. (2010) mengatakan bahwa penggunaan insektisida berbahan
aktif
deltametrin,
cypermetrin,
klorpirifos,
triazofos
dapat
mengakibatkan menurunnya keefektifan nematoda entomopatogen S. carpocapsae dan S. glaseri.
2.2.3.4. Pengendalian hayati Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami dari O. rhinoceros, seperti predator,parasitoid dan patogen. Mikroorganisme alami (entomopatogen) yang dapat menyerang O. rhinocerosdiantaranya adalah jamur Metarhizium anisopliae,virus Baculovirus oryctes dan nematoda (Moslim, 2007 ;
13
Dongoran et al., 2010 ; Abidin et al., 2014). Baculovirus yang digunakan menyebabkan terjadinya pengurangan atau perpendekan umur kumbang O. rhinoceros serta terjadinya penurunan populasi larva O. rhinoceros sebesar 24,3% setelah 12 bulan diaplikasi (Prasad et al., 2008). Novilih, (2010) mengatakan di antara organisme menguntungkan tersebut yang banyak dipergunakan dalam pengendalian hayati adalah nematoda entomopatogens (NEP) dan NEP sudah dipergunakan untuk pengendalian serangga, tungau dan moluska pada tanaman pertanian, kehutanan dan kesehatan (Yeates, 2004) dan S. carpocapsae memiliki potensi yang besar sebagai entomopatogen untuk banyak serangga hama (Shahina dan Tabassum, 2010). Interaksi dan kompetisi antara nematoda entomopatogen dengan agens hayati lainnya (virus, bakteri, jamur) berlangsung secara langsung dan tidak langsung dalam hal berkompetisi di dalam mencari inang (Kaya, 2002).
2.3. Nematoda Entomopatogen (NEP) Nematoda entomopatogen (NEP) adalah agens hayati dalam famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Adam dan Nguyen, 2002 ; Nguyen dan Smart, 2004)yang memiliki virulensi sangat kuat terhadap berbagai serangga (Subagiya, 2005). NEP dapat diproduksi secara massal baik dengan cara in vivo maupun in vitro dan perbanyakan in vivo biasanya dilakukan pada larva Tenebrio molitor, Galerria mellonella (Ehlers dan Shapiro, 2005). Saat juvenil infektif (ji) menginfeksi serangga inang kemungkinan di dalam tubuh inang tersebut terdapat bakteri yang mematikan (Kaya, 2002). NEP membunuh serangga inang dengan bantuan bakteri simbiotik (Prabowo dan Indrayani, 2009) yang dibawa dalam saluran pencernaan (intestine) dan nematoda Steinernema berasosiasi dengan
14
bakteri Xenorhabdus (Kaya, 2002 ; Adam dan Nguyen, 2002 ; Boemare, 2002). Tanpa bakteri simbion di dalam serangga inang nematoda tidak akan dapat bereproduksi karena bakteri simbion berfungsi sebagai makanan yang sangat diperlukan oleh nematoda (Ehlers, 2001). Bakteri Xenorhabdus menghasilkan enzim lechitinase, protease dan entomotoksin yang mempengaruhi proses kematian serangga (Boemare, 2002), dan ini berguna untuk pertumbuhan dan reproduksi Steinernema spp. sampai ketersediaan makanan berkurang dan saat itu nematoda menjadi juvenil infektif (Forst dan Clarke, 2002). Juvenil infektif yang hidup bebas (free living), masuk ke dalam tubuh inang melalui lubang alami, seperti mulut anus, spirakel dan kutikula (Dowds dan Arne, 2002 ; Tanada dan Kaya, 1993). Stadia juvenil infektif (ji) menyimpan cadangan makan di dalam tubuhnya untuk melakukan mobilitas dan aktivitasnya serta menginfeksi inang. Selama belum menemukan inang, daya tahan tubuh nematoda tergantung kepada ketersediaan cadangan makanan yang dimilikinya. Penipisan cadangan makanan ini selain menyebabkan penurunan viabilitas juga dapat menurunkan efektivitas nematoda (Sulistyanto, 2010). Bakteri berkembang biak dengan cepat di dalam hemolimfa serangga inang dan membunuh inang dalam waktu 24-48 jam dengan septicaemia. Nematoda berubah menjadi JI3 kemudian JI4 dan menjadi nematoda jantan atau betina dari generasi pertama. Nematoda betina meletakkan telur di dalam tubuh induknya dan telur menetas serta berubah menjadi JI2 sampai JI4 pada generasi kedua. Reproduksi nematoda pada serangga inang biasanya dalam 2-3 generasi dan bila pasokan makanan terbatas maka telur yang dihasilkan langsung menjadi juvenil infektif dan dapat bertahan hidup beberapa bulan tanpa
15
ada makan (Adam dan Nguyen, 2002). Kumar et al. (2011) mengatakan ada 3 fungsi bakteri Xenorhabdus pada nematoda Steinernema, yaitu : membunuh serangga inang dengan cepat, memproduksi nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan nematoda dan kolonisasi pertumbuhan juvenil infektif nematoda Strategi nematoda dalam mencari inang (foraging behaviour) berbeda beda, S. carpocapsae selalu berada di atas permukaan tanah dan menggunakan taktik sit and wait (ambusher) dan akan menginfeksi serangga inang yang umumnya aktif bergerak (Sulistyanto, 2010). Gaugler (2002) mengatakan kemampuan S. carpocapsae yang secara aktif mencari serangga inang, memiliki potensi reproduksi yang tinggi serta dapat diproduksi secara massal, membuat nematoda sangat cocok untuk dikembangkan sebagai alternatif agens hayati yang ramah lingkungan. Sulistyanto dan Ehlers (1998) menyatakan bahwa patogenisitas nematoda dengan bakteri simbion seperti permainan musik instrumen dimana patogenisitas dimulai saat nematoda menemukan inang dan menaklukan pertahanan inang kemudian dilanjutkan pada penetrasi bakteri, namun banyak ji yang mencapai T. molitor gagal dalam menginfeksi inang. Salah satu hal yang paling penting di dalam pengendalian hayati adalah
keakuratan mengidentifikasi hama dan menguntungkan bagi manusia serta tidak mematikan organisme yang ada. Hal ini memiliki dampak langsung terhadap penentuan rentang geografis serta perizinan penggunaan agenshayati (Schauff danLaSalle, 1998). Penggunaan S. carpocapsae dengan dosis 800 ji/larva dapat mematikan L1 dan L2O.rhinoceros sebanyak 86.7% dan L3 sebanyak 100%setelah 144 jam diaplikasi (Novilih, 2010).
16
2.3.1. Biologi nematoda Steinernema sp. Nematoda Steinernema sp. adalah agens hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengendalian hama. Teknik pengendalian hama ini berpotensi mengurangi ketergantungan pada insektisida kimia, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida karena memiliki inang yang luas serta mudah dikembangbiakkan dan memiliki kemampuan menginfeksi yang tinggi. Nguyen dan Smart (2004) mengatakan bahwa Steinernema sp. dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies serangga yang berasal dari 75 famili. Nematoda Steinernema sp. mempunyai siklus hidup yang sangat sederhana yakni dari telur, juvenil, dewasa. Juvenil instar pertama keluar dari telur dan menjadi ji yang dapat menginfeksi inangnya. Stadia juvenil terdiri dari tiga instar yaitu JI1, JI2dan JI3. Stadia infektif nematoda adalah pada JI3 yang secara morfologis dan fisiologis dapat hidup untuk waktu yang lama sebelum mendapat inang (Nguyen dan Smart, 2004).
2.3.2. Morfologi nematoda Steinernema sp. Karakteristik dari NEP Steinernema sp. dapat dilihat pada kepala yang berbentuk sedikit bulat, memiliki 6 bibir (labial) dan setiap papilla labial tersebut memiliki perbedaan satu sama lainnya, memiliki 4 cephalic papila dan ukuran amphids kecil.Stoma berkurang,pendek dan lebardengan dinding sclerotic mencolok, oesophagus berada di usus. Saraf cincin biasanya berada di sekitar isthimus atau di bagian anteriorbasal. Ekskretoris pori pori terbuka dengan waktu yang berbeda (Boemare, 2002).
17
Steinernemasp. betina memiliki panjang tubuh 3.020-3.972 µm, lebar 153192 µm, panjang stomata 7-12 µm, lebar stomata 5,0-8,5 µm, panjang ekor 30-47 µm, lebar vulva 49-54 µm. Untuk stadia juvenil infentif, panjang tubuh 500-570 µm, lebar 15-25 µm, panjang ekor 47-54 µm (Stock, 1993). Steinernemasp. betina memiliki ovari bertipe amphidelphic yang tumbuh dari arah anterior ke posterior, vulva terletak pada bagian tengah panjang tubuhnya. Dewasa betina dengan ovarium terbuka, vaginapendek, berotot. Vulva terletak didekattengah tubuh, dengan atau tanpa bibir menonjolbibir dan epiptyma bisa ada bisa tidak (Gambar 2).
Gambar 2. SEM Steinernemasp. betina. (A) muka (B) daerah vulva (C) daerah vulva menunjukkan epiptygma. (D) ekor. (Dimodifikasi dari Nguyen dan Smart, 1996.) Sumber : Nguyen dan Smart, (2004).
Dewasa jantan monorchic dengan testis melipat spikula berbentuk simetris dan terdapat gubernakulum dengan midventral tunggal dan 10-14 pasang genital
18
papilla dan 7-10 precloacal serta ekor bulat atau digital mucronat (Gambar 3). JI3dengan stoma terbuka, kutikula annual dengan 6-8 gundukan di punggungnya. oesophagus berada di usus.
Gambar 3.SEM Steinernemasp. jantan (A) Kepala menunjukkan papila labial dan cephalic.(B) spikula. (C) Gubemaculum menunjukkan Y berbentuk cuneus. (D) Ventral pandanganekor jantan menunjukkan papila dan tips spikula. (E), (F) ekor jantan dengan tujuh dan sepuluhpreanal papila. (Dimodifikasi dari Nguyen dan Smart, 1996). Sumber : Nguyen dan Smart, (2004).
19
2.3.3. Ekologi nematoda Steinernema sp. Lingkungan yang sesuai merupakan faktor utama bagi perkembangbiakan nematoda. Kemampuan nematoda untuk menyebar, mempertahankan diri, menemukan inang dan bereproduksi dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu tanah (Gaugler, 2001). Kelembaban merupakan syarat penting untuk bertahan hidup dalam habitat mikro nematoda, pada kelembaban relatif 26-27%, suhu 22oC, ji hanya bertahan selama 3 jam. Pada kelembaban 70-80%, nematoda dapat bertahan hidup sampai 20 hari (Nguyen dan Smart, 2004).Nematoda yang terdapat di dalam tubuh inang akan beradaptasi secara biologi dan perilaku, Yeates (2004) mengatakan bahwa adaptasi perilaku nematoda berkaitan dengan kondisi lingkungan yang meliputi proses : a. Habitat inang, terdiri dari makanan, air dan suhu. b. Oksigen c. Media hidup d. Perilaku habitat spesifik e. Perilaku biogeografis
2.3.4. Mekanisme menginfeksi nematoda Steinernema sp. Nematoda patogen serangga menginfeksi inang dengan cara memasuki lubang alami seperti spirakel, mulut dan anus serta melakukan penetrasi langsung dengan menembus kutikula. Infeksi nematoda Steinernema sp. sebagian besar melalui serangga inangnya masuk ke dalam saluran pencernaan selanjutnya menuju hemosel. Selanjutnya bakteri (Xenorhabdus) dilepaskan melalui anus yang menyebabkan keracunan dan kematian inang (Subagiya, 2005). Mekanisme patogenisitas nematoda entomopatogen secara umum dilakukan melalui tiga 20
tahap, yaitu invasi, evasi dan toksikogenesis. Invasi merupakan proses terjadinya penetrasi nematoda entomopatogen ke dalam tubuh serangga inang melalui kutikula dan lubang alami, seperti mulut, anus, spirakel dan stigma. Evasi adalah tahap nematoda mengeluarkan baktei simbion di dalam tubuh serangga inang sedangkan toksikogenesis merupakan tahapan bakteri simbion menghasilkan toksin sehingga dapat menyebabkan kematian pada serangga inang (Sulistyanto, 2010). Bakteri Xenorhabdus menghasilkan enzim Lechitinase, Protease dan entomotoksin (hydrocyl dan acetoxyl) yang berfungsi merusak hemocel dan menghambat senyawa Prophenoloxidase yang berfungsi sebagai ketahanan internal serangga (Simoes dan Rosa, 1996). Bakteri juga akan menghasilkan toksin di dalam hemocel serangga yang dapat menyebabkan kematian pada serangga apabila mekanisme pertahanan tubuh serangga tidak berhasil dalam mengatasi kompleksitas simbiose nematoda-bakteri (Boemare, et al. 1996). Nematoda diberi makan oleh bakteri dari jaringan inang dan berkembang dengan cepat hingga dewasa, kemudian nematoda memasuki masa reproduksi dan menghasilkan telur. Semua nutrient (sterol) yang ada dalam tubuh inang akan menjadi sumber makanannya (Bilgrami dan Gaugler, 2004), namun nematoda juga dapat membunuh serangga inang tanpa adanya bakteri meski sanagat lambat dan tidak akan dapat bereproduksi (Sulistyanto, 2010). Selanjutnya nematoda akan berkembang menjadi generasi kedua dan ketiga yang akan keluar lagi dari bangkai inang dan mencari inang baru (Yeates, 2004).Secara umum gejala atau tanda inang yang terinfeksi oleh nematoda entomopatogen adalah serangga akan berhenti bergerak dan makan serta terjadi perubahan warna kutikula.
21