FACTSHEETSAWITWATCH
“PERBUDAKAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALTIM”
Daftar isi
Perbudakan di perkebunan kelapa sawit di Berau (2) Kabur dari Perbudakan (8) Analisis Hukum (11) Profil perusahaan (13)
PERBUDAKAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI BERAU Awal investasi PT. Hutan Hijau Mas dan PT Satu Sembilan Delapan di Kabupaten Berau Menurut kesaksian masyarakat desa Gunung Sari, kecamatan Segah, Kabupaten Berau, PT Hutan Hijau Mas pertama kali melakukan pem bersihan lahan pada tahun 2004. Kata Lalu Abdul Malik (30 tahun),” Saat itu perusahaan berjanji kepada penduduk tempatan untuk dijadikan petani plasma. Juga akan dipekerjakan di kebun. Tapi sudah enam tahu menunggu, kebun plasma tetap hanya sebuah janji”. Penuturan itu juga diamini oleh Ranti (56 tahun), penduduk asli Gunung Sari. “Waktu mulai beroperasi perusahaan bilang akan mempekerjakan penduduk tempatan dengan gaji yang tinggi dan memberikan fasilitas perumahan dan kesehatan. Mendengar itu saya dan keluarga mendaftar sebagai buruh harian lepas. Tapi kenyataannya tidak begitu. Kami pun melakukan protes agar perusahaan memenuhi janjinya. Akibat protes itu pimpinan perusahaan malah memecat dan melaporkan kami ke polisi. Saya beserta keluarga sempat ditahan 17 hari di MaPolRes Berau. Sekarang kasusnya sedang banding di Pengadilan Tinggi Kaltim,” ujar Ibu kandung Malik itu. Sejak pemecatan pekerja-pekerja tempatan itu, pihak manajemen perusahaan mencari banyak buruh dari pelbagai daerah di Indonesia melalui perusahaanperusahaan penyalur tenaga kerja. Sebut saja CV. Sinar Kalimantan. Perusahaan yang dipimpin Handayo, asal kota Medan, mencari pekerja dari Pulau Nias dengan memberikan janji gaji tinggi dan fasilitas kerja yang memadai. Namun kenyataan pahit justru dialami para buruh dari Nias ini, ketika mulai bekerja di PT. Satu Sembilan Delapan, yang terdapat di desa Tasul, Kecamatan Gunung Tabur, Berau. Penganiayaan fisik dan psikis serta gaji tak pernah dibayarkan pihak perusahaan dialami oleh buruh asal niar tersebut.
Perjalanan dari Nias ke Berau
Pada Januari 2009, Ariel Dia (31 tahun) bersama istri dan 8 orang temannya diajak oleh Atisama Zandrato, mandor di CV. Sinar Kalimantan, bekerja di kebun sawit PT Satu Sembilan Delapan, yang beroperasi di desa Tasuk, Gunung Tabur, Berau. “Waktu itu, kami disodorkan surat perjanjian kerja yang isinya, menurut kami, menguntungkan dan menjamin kehidupan pekerja,”kata Ariel memulai pembicaraan. Setelah mempersiapkan perlengkapan, Ariel cs berangkat
“Waktu itu, kami disodorkan surat perjanjian kerja yang isinya, menurut kami, menguntungkan dan menjamin kehidupan pekerja,” kata Ariel. menggunakan kapal laut dari pelabuhan Gunung Sitoli menuju Sibolga. Tanpa sempat beristirahat, Zandrato, pimpinan perjalanan, langsung membelikan tiket bus jurusan Pekanbaru. Setelah menempuh perjalanan darat sekitar 10 jam, rombongan pekerja ini tiba di bandara Sultan Syarif Kasim II dan langsung diterbangkan ke Balikpapan lewat Jakarta. di Bandara Sepinggan ternyata sudah menunggu dua mobil carteran untuk membawa sepuluh buruh ini ke perkebunan sawit di site Sambarata, nama lain lokasi perkebunan PT Satu Sembilan Delapan. Menurut keterangan Faogonasekhi Halawa yang ikut rombongan ini, setibanya di lokasi perkebunan pimpinan CV. Sinar Kalimantan, M.Handoyo, langsung meminta tanda tangan seluruh rombongan di atas surat perjanjian kerja. “Kami langsung mendantangani surat perjanjian kerja itu,” kata pria asal desa Lelewa’u, Nias Selatan. Setelah mengumpulkan semua surat perjanjian kerja, Handoyo juga meminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Jalan dari desa yang dimiliki rombongan asal Nias itu diberikan padanya. “Sebagai jaminan dan pegangan pihak perusahaan untuk kelengkapan administrasi dan pembayaran gaji karyawan,” tiru Ariel.
Namun di saat yang bersamaan,masih menurut Ariel dan diamini oleh Faogonasekhi, Handoyo mengatakan bahwa gaji karyawan akan diberikan setelah kontrak kerja selesai selama 2 tahun. Untuk kebutuhan hidup buruh, pihak perusahaan akan memberikan pinjaman uang sebesar Rp 150.000,00 per bulan. Peraturan lain perusahaan sesuai dengan surat perjanjian kerja. Mendengar itu semua anggota rombongan hanya bisa tertunduk diam dan sedih.
kami juga dipaksa tetap kerja. Selama di sini, kami belum pernah diberi gaji. Kata orang perusahaan nanti pas habis kontraknya selama 2 tahun,” tambah Semariam yang telah 17 bulan bekerja sambil menghapus air matanya. Yani Waruku (28 tahun) berasal dari desa Lahewa. “ Saya sudah 10 bulan bekerja di sini. Tidak hanya laki-laki, perempuan juga sering dipukul oleh mandor Zandrato,” tutur Yani dalam bahasa Nias yang diterjemahkan oleh Yusni Lase (19 Tahun), perempuan asal desa Bawa Desele yang baru 2 bulan bekerja di PT Satu Sembilan Delapan.
Penganiayaan Fisik dan Psikis
Tili Mani (18thn), tukang masak para buruh, menangis saat bercerita tentang kekerasan yang dialaminya. “Saya pernah disiram pake air seember pendingin mesin diesel hanya karena saya masih tidur ketika mandor memanggil,“ lanjutnya. “Padahal saya tertidur karena badan terasa sakit dan kepala pusing,” ujarnya.
Yanuari Zai (22 tahun) tidak ingat pasti tanggal kedatangannya di kebun sawit PT Satu Sembilan Delapan. “Saya hanya ingat itu bulan Mei tahun 2009. Nasib saya sama seperti orang-orang Nias yang terlebih dahulu datang datang ke sini. Sebagai tenaga penyemprot, kami harus mulai bekerja mulai pukul 07.00-16.00 Wita. Terkadang bisa sampai jam 18.00 apabila target kerja belum terpenuhi. Dalam seminggu kami mesti bekerja selama 7 hari. Tidak ada hari libur atau alasan istirahat meski sedang sakit.” Teman serombongan Yanuari, Toloni (53 tahun), menambahkan,” Buruh penyemprot dibagi perkelompok. Satu kelompok terdiri dari 10 orang dan diawasi oleh satu orang mandor. Setiap hari seorang penyemprot mesti menghasilkan 20 tangki pestisida yang telah dicampur air. Berat satu tangki penyemprot bila telah siap digunakan bisa mencapai 20 liter. Itulah yang mesti kami habiskan. Kalau tidak tercapai, maka jam kerja kami akan ditambahkan sampai hari gelap.” Penderitaan yang sama juga dialami buruh perempuan. Semariam (28 tahun) berasaL dari desa Tumari, Kecamatan Lelematua, Nias Selatan. “Dalam satu hari, saya harus menaburkan 20 sak pupuk. Satu sak beratnya 50kg. setiap pohon sawit mesti dikasih pupuk seberat 2,5 kg”, katanya lirih. “Kalau dalam sehari tidak habis 20 sak, misalnya sisa 3 sak, besoknya beban kerja kami akan ditambahkan jadi 23 sak. Kalau tidak juga, lusanya lagi akan ditambah dengan sisa yang sebelumnya. Demikian seterusnya. Kami tidak pernah libur, mesti bekerja terus. Bila masa haid datang,
Philipus baru berusia 14 tahun. Bocah lugu yang mudah tersenyum ini sudah bekerja selama 10 bulan di kebun sawit PT Satu Sembilan Delapan. “Pekerjaan saya sama seperti yang lain. Terkadang disuruh mandor memupuk, kadangkadang menyemprot. Kami sering dibentak dan dimaki kalau lamban menjalan perintah. Atau bila sedang capek beristirahat di pas jam kerja. Beberapa kali saya ditendang Pak Zandrato. Pernah juga kepalaku dan kelapa Oferius (14 tahun) dipegang dan diadunya sekuat tenaganya. Sakit Sekali. Tapi saya tak berani melawannya.” Oferius yang duduk di sebelah Philipus hanya menganggukkan kepalanya yang tertunduk. Cerita yang sama juga dituturkan ferdy. Bocah berusia 14 tahun yang berasal dari desa Batom Babo, kecamatan Hiliserangke ini mengatakan, “Banyak seumur saya bekerja di sini. Tapi sebelumnya tidak saling kenal karena kami berasal dari desa yang berbeda. Selan sering dibentak dan dimaki kalau menyuruh sesuatu, mandor juga suka mengangkat kerah baju kami sambil marah. Saya takut.” Bowo Gamuata Halawa (42 thn) asal dari Desa Tetezou Kecamatan Lahusa dia baru dua bulan “Selama bekerja di sini kami sering mendapatkan perlakuan dan ucapan kasar dari pimpro. Tapi kami tak berani melawan dan tak berani kabur karena tak ada uang dan tak tahu juga mau pergi kemana.”
Fasilitas yang Diberikan Perusahaan
“Saya lulusan D3 Ekonomi dijanjikan kerja kantoran dikebun sawit tapi nyatanya saya dikerjakan sebagai tukang semprot pohon sawit” ujar Joel Ofneil. Selain itu Joel juga mengeluh tentang janji fasilitas kerja yang diberikan sebelum berangkat dari Nias. Katanya, “Dulu pihak perusahaan berjanji akan memberikan penginapan yang layak tapi di sini kami hanya diberi barak yang dibagi per kamar. Ukuran kamar yang hanya 1,5 x 2 m harus dihuni 4 sampai 5 orang. Bahkan terkadang bisa lebih dari jumlah itu.” “Setiap harinya saya bekerja sebagai penyemprot. Kalau makan memang kami dikasih 3 kali sehari dari dapur umum. Tapi hanya nasi putih dan ikan asin tanpa sayur. Terkadang nasi itu penuh kutu. Terkadang ikan asin itu sudah berulat,” kata Genu (23 tahun). ”Air untuk minum dan mandi, kami ambil dari parit” kata Semariam. “Sesekali memang ada truk air perusahaan datang mengantarkan air minum, tapi paling hanya satu kali sebulan,” lanjutnya dengan nada datar. “Kalau untuk alat kerja menyemprot memang disediakan perusahaan. Misalnya tangki. Tapi selama bekerja di sini, saya hanya sekali mendapat masker dan belum pernah diberikan sarung tangan.”, kata Yusni Lase (19 Tahun) Yanuar Zai mengatakan fasilitas kesehatan yang diberikan perusahaan kepada buruh juga sangat minim dan janggal. “Saya pernah merasa tubuh sangat lemah dan tidak bisa berdiri. Mandor menyuruh saya berobat kepada mantri perusahaan. Tanpa pernah diperiksa, saya hanya diberikan obat tanpa mengetahui nama dan kegunaan obat. Anehnya setiap orang berobat menemui mantra tadi, obat yang sama juga diberikan meski keluhan kesehatannya berbeda.”
Buruh Meninggal Dunia
Sangononi Zebua (41 tahun) yang mengajak istinya, Boru Harianja, ikut bekerja di PT Satu Sembilan Delapan bahkan dengan lantang berkata,” Di sini sudah ada dua orang pekerja dari Nias meninggal dunia. Tepatnya bulan Juli tahun ini. Satu orang yang sedang sakit parah dan sudah tidak bisa bergerak lagi dipulang ke Nias dan meninggal di perjalanan. Tak sampai hitungan seminggu, satu pekerja lagi meninggal karena kecelakaan kerja, jatuh dari truk. Dia langsung meninggal di tempat.” “Keduanya memang dipulangkan oleh perusahaan ke kampung halamannya. Tapi pesangon yang diberikan hanya Rp 3 juta. Sudah hidup menderita, matipun hanya dihargai seperti itu,” lanjut Zebua.
Tak Ada Gaji, Buruh Terlilit Hutang
Kondisi fisik Saradede Zega (69thn) sangat memprihatinkan. Selain pendengaran yang kurang, kaki kakek renta ini juga penuh koreng. Zega berasal dari Desa Gawogawo Bause, kecamatan Muara Indah. Karena tidak bisa berbahasa Indonesia,Zega, meminta kepada Toloni untuk menerjemahkan perkataannya. “Sudah 10 bulan saya bekerja di sini tanpa pernah digaji. Kata Pak Handoyo, gaji kami akan diberikan setelah kontrak kerja kami selesai, yaitu dua tahun.” Sambil menggendong putrinya, keterangan Kakek Zega ditambahkan oleh Ariel Zia, “Selama dua puluh satu bulan bekerja di sini, saya hanya diberikan Rp 150.000 per bulan.
“Keduanya memang dipulangkan oleh perusahaan ke kampung halamannya. Tapi pesangon yang diberikan hanya Rp 3 juta. Sudah hidup menderita, matipun hanya dihargai seperti itu,” lanjut Zebua. Kata Pak Handoyo, itu utang sesuai dengan kemampuan perusahaan. Uang itu kami gunakan untuk membeli makanan tambahan karena sudah ada 2 anak saya yang lahir di sini. Mereka butuh gizi lebih dari makanan yang diberikan perusahaan berupa nasi putih dan ikan asin”. “Meski hanya makan nasi putih dan ikan asin, setiap bulan gaji kami didopotong Rp 10.000. Jadi dalam satu bulan kami punya hutang 300.000 ” kata Genu lirih. Yusni Lase menyebutkan,”Kalau karyawan yang baru dua bulan berada di sini seperti saya, kami hanya diberikan kasbon sebesar Rp 100.000 setiap bulannya.” “Bila kami hutang barang yang dibutuhkan di warung perusahaan yang dikelola Pak Zandrato, biasanya pihak perusahaan hanya mencatatnya sebagai hutang. Tapi harga barang yang dibeli tadi tidak pernah dikasih tahu penjaga warung. Pastinya hutang kami sangat banyak. Kalaupun nanti gaji kami dibayar setelah kontrak berakhir, saya tidak yakin masih punya sisa uang,” kata Semariam.
Melarikan Diri Dari Kebun
Faogonasekhi Halawa yang telah 21 bulan bekerja di perkebunan sawit milik PT Satu Sembilan Delapan mengatakan,” Dulu rombongan kami berjumlah 10 orang. Tapi yang bertahan sampai saat ini hanya 3 orang, saya, Ariel dan istrinya. Tujuh orang lagi telah melarikan karena tidak tahan lagi mengalami penyiksaan dan tidak pernah mendapatkan gaji. Saya dengar kabar ada dua orang yang kabur ke Tanjung Redeb (ibu kota kabupaten Berau), sedangkan yang lain saya tidak tahu.” Menurut Toloni, jumlah pekerja dari Nias yang sempat ia temui di perkebunan sawit di desa Tasuk, kecamatan Gunung Tabur, mencapai seratusan orang. “Tapi kini seluruhnya hanya tinggal 76 orang, termasuk anak kecil. Sisanya pergi entah kemana.” Keterangan para buruh asal Nias ini diperkuat oleh kesaksian penduduk desa Bujangga yang letaknya hanya berseberangan sungai dengan perkebunan milik KLK Group tersebut. Meski tak ingat pasti tanggalnya, Arman, penduduk desa Bujangga, kecamatan Tanjung, yang malam itu mendapat tugas ronda mengatakan, “Saat melakukan ronda malam di bulan Ramadhan, mungkin seminggu sebelum lebaran, kami melihat ada dua orang mengendap-endap di sekitar pos ronda. Karena menyangka ada maling, kami pun menangkapnya.” Menurut Arman wajah kedua orang itu terlihat lebam dan luka. “Selain lebam, wajah kedua orang itu pucat dan gemetar. Mereka mengaku melarikan diri dari PT.Satu
Sembilan Delapan karena tidak kuat lagi bekerja dan sering dipukuli. “ Cerita Arman juga diamini oleh Apri, sahabat Arman, yang malam itu kebetulan ada di pos Ronda. “Dua orang itu mengaku suami-istri. Tapi si laki-laki hanya diam saja ketika ditanyai. Justru yang perempuan yang selalu menjawab pertanyaan kami dengan terbata-bata,” kata Apri. Setelah memberikan makanan dan minuman, penduduk desa yang malam itu melakukan ronda melaporkan hal itu ke polisi. Tak lama berselang polisi datang ke lokasi kejadian untuk menjemput kedua pekerja yang kabur tersebut. Menurut Arman, yang juga aktifis organisasi mahasiswa KOMPI B (Komite Mahasiswa dan Pemuda/ Pemudi Berau (KOMPI B), pertanyaan polisi ketika pertama kali tiba di pos ronda kepada sepasang suami-istri adalah apakah mereka berasal dari Nias dan bekerja di PT Satu Sembilan Delapan, kedua suami istri tadi langsung menganguk. “Kami berkesimpulan berarti polisi sudah tahu dan sudah menangani kasus ini. Perkembangan selanjutnya dari kasus ini tidak kami ketahui lagi,” lanjut Arman.
Perlawan Ranti Buruh PT Hutan Hijau Mas
Perempuan berjilbab itu terlihat lugas menceritakan persoalan yang dihadapinya. “ Nama saya Ranti. Tidak pernah bersekolah formal tapi bisa baca dan berhitung. Hanya mengalami kesulitan kalau diminta menulis.
Jangankan usia, tanggal lahir saja sendiri saja, saya tidak tahu…tapi setengah bayalah. Mungkin 50 tahun. Tapi rasanya lebih dari itu, Ibu tujuh anak dan nenek dari tujuh cucu ini tinggal di desa Gunung Sari, kecamatan Segah, Kabupaten Bulungan, awalnya begitu bersemangat ketika PT Hutan Hijau Mas (perusahaan Malaysia) membangun kebun sawit di desa leluhurnya itu. Selain menjanjikan penduduk setempat menjadi petani plasma, PT HHM juga menawarkan pekerjaan di kebun sawit kepada penduduk lokal. Ketika seorang mandor bertandang ke rumah Ranti Binti Tinggalan kelahiran 31 Desember 1961 itu, menawarkan pekerjaan, secara sigap perempuan berjilbab ini langsung menyetujuinya. Dengan gaji Rp 32.700 per hari dan lama bekerja 5 hari dalam seminggu, Ranti pun mulai mempersiapkan diri dengan membeli peralatan kerja seperti kaos tangan, sepatu bot,topi dan handuk. Sejak 2006 Ranti mulai bekerja jadi buruh harian lepas (Harian kerja sementara) di PT HHM.
Awal Mulai Bekerja di PT HHM
Ranti bilang, “Saya melakukan banyak pekerjaan selama 3 tahun jadi buruh hari kerja sementara (HKS). Dari mencangkul, merintis, menyemprot dan memupuk. Perusahaan hanya menyediakan alat penyemprot dan satu masker selama masa kerja tadi. Alat-alat kerja lain saya beli sendiri.”
“Tapi anehnya siapapun yang berobat ke sana dengan pelbagai penyakit yang diidap, obat yang diberikan Mantri Bambang hanya ituitu saja...”
Para buruh diinapkan di barak kayu. Satu barak disekat menjadi sepuluh kamar. Satu keluarga yang terdiri dari 34 orang tinggal di kamar berukuran 1,5 x 2 m. bilik bagi yang belum menikah bisa dihuni sampai 5 orang. Apabila dihitung secara keseluruhan, “Satu barak itu bisa dihuni antara 40-50 jiwa. Saya tinggal di barak bersama suami dan seorang anak saya, ”kata Ranti.
Suatu hari Ranti pernah melihat zonder (alat angkut mini) yang dipenuhi pupuk juga diajdika alat angkut buruh. Akibat tak kuat menahan beban, zonder tadi terbalik dan seorang buruh meninggal akibat kecelakaan itu. “Tapi dimana tanggung jawab perusahaan? Saya tidak tahu, ” ucapnya lirih.
Dari pekerjaan tersebut, Ranti bisa mendapat upah setiap bulannya rata-rata Rp 500 – 600 ribu per bulan. “Hampir semua buruh juga mendapat upah yang sama. Jumlah sekecil itu mesti mampu mencukupi kebutuhan hidup dalam sebulan. Bagaimana tidak kecil, kalau dalam seminggu kami hanya bekerja 5 hari. Itupun tidak akan penuh karena kalau hari hujan, kami di liburkan. Tidak pernah mendapat lembur. Dalam sebulan hari kerja maksimal kami hanya 20 hari. Tapi itu juga jarang. Ratarata hanya 17-18 hari kerja dalam sebulan.”
Selain itu, Ranti juga pernah mendapati seorang sahabatnya bernama Acok, mengalami kecelakaan kerja dilindas mesin penyemprot air hingga kakinya patah. Setelah menjalani pengobatan dan diberikan santunan sebesar Rp 6 juta, Acok dipecat dari pekerjaannya. Organisasi buruh SBSI sempat ingin melakukan pembelaan terhadap hak-hak Acok yang tidak dibayarkan perusahaan selama ia bekerja dan mengalami kecelakaan hingga diPHK. Namun proses panjang yang membutuhkan banyak pengorbanan membuat Acok mengambil keputusan menerima pesangon dari perusahaan.
Solidaritas Buruh
Selain persoalan hari kerja, Ranti kerap mendapati teman kerjanya mengalami kerja seperti patah tulang tangan dan kaki akibat bekerja di kebun sawit. malangnya para buruh yang cedera itu mesti mengeluarkan uang sendiri untuk berobat. Melihat itu, Ranti merasa PT HHM melepaskan tanggung jawabnya untuk melindungi kesehatan para pekerjanya. Secara perlahan Ranti menggalang solidaritas temanteman kerjanya untuk menuntut tanggung jawab perusahaan. “Memang perusahaan segera memenuhi tuntutan kami. Dipojok barak dibuatkan pos kesehatan dengan mempekerjakan seorang mantri. Tapi anehnya siapapun yang berobat ke sana dengan pelbagai penyakit yang diidap, obat yang diberikan Mantri Bambang hanya itu-itu saja. Pak Mantri juga mesti melayani kesehatan penduduk desa-desa di dekat barak. Jadi butuh waktu untuk bisa menemui pak mantri.”
Memulai Perlawanan
Melihat buruknya kondisi buruh di perkebunan sawit milik PT HHM itu, Ranti memberanikan bertemu DPRD dan pemerintah kabupaten Berau. Ranti secara terbuka menuntut agar jaminan sosial tenaga kerja (JAMSOSTEK) dan pengangangkatan buruh menjadi Harian Kerja Tetap (HKT). Akibat pengaduan Ranti, pihak perusahaan mulai melakukan intimidasi terhadap dirinya. Tapi ada hal baik yang melegakan hatinya ketika bertemu Suyadi,ketua DPC SBSI kabupaten Berau. Bersama Suyadi, Ranti berjuang untuk memperbaiki kondisi buruh PT HHM. “Permintaan kami sederhana, tolong tambahkan hari kerja kami dari 5 hari menjadi 6 hari,” papar Ranti. Selain itu, “tolong juga daftarkan para buruh menjadi peserta jamsostek.” Seperti janji awal perusahaan bahwa kehadirannya akan mensejahterakan penduduk. Tolong buktikanlah itu,” ujar Ranti.
para buruh meminta agar satpam mengijinkan mereka bertemu dengan pihak perusahaan.namun satpam hanya menjawab tidak ada pimpinan yang hadir di kantor hari itu. Selain itu juga satpam tidak membawa kunci gerbang. Tuntutan buruh tadi semakin menguat ketika SBSI ikut melakukan pendampingan terhadap kelompok rentan perkebunan sawit ini. ratusan orang buruh dari 3 anak perusahaan Malaysia tadi melakukan aksi unjuk rasa di kantor pusat perkebunan di Berau. Pihak perusahaan segera mengancam akan mem-PHK-kan buruh yang ikut dalam demo dan mogok kerja tersebut. Ancaman tadi membuat sebagian besar buruh kecut dan memilih kembali masuk barak untuk selanjutnya bekerja seperti biasa. Namun Ranti yang didukung suaminya Ramli, 45 tahun, beserta dua puluhan buruh lainnya tetap melakukan demo dan mogok kerja selama 10 hari. Melihat aksinya, pihak PT HHM segera mengeluarkan surat PHK terhadap Ranti dan suaminya Ramli, juga terhadap peserta aksi lainnya. Mendapati dirinya diPHK, Ranti dan kawan-kawan segera melakukan tuntutan hukum ke Pengadilan Hubungan Industrial di Berau. Mereka dinyatakan bersalah dan tidak berhak mendapat uang pesangon. Selain itu, Ranti dan kawan-kawan juga mengadukan persoalannya ke dinas tenaga kerja Kabupaten berau. Mereka menuntut agar perusahaan membayar upah mogok mereka selama sepuluh hari dan memberikan pesangon apabila mereka memang diPHK. Di depan dinas tenaga kerja dan pihak kepolisian yang hadir dalam pertemuan tersebut, pihak perusahaan menyepakati membayar upah kerja 10 hari sewaktu buruh melakukan demo.
Kriminalisasi Buru
Kertas perjanjian di atas halaman folio tanpa tanda tangan saksi dan di atas kertas resmi itupun ditandatangi kedua belah pihak. Tak lama berselang Ranti beserta temantemanya mendatangi kantor pusat perusahaan untuk menagih upah kerja tersebut. Tentang pesangon PHK, Ranti berucap,” Saya tidak akan menerima karena sedang banding atas putusan PHI Berau. Meski saya tahu ada satu-dua teman saya yang mau menerima pesangon yang besarnya tak lebih dari dua juta rupiah.” Saat menuntut upah 10 hari, pintu gerbang perusahaan tidak dibukakan oleh satpam perusahaan. Berkali-kali
Karena merasa dipermainkan dan letih meyakinkan si satpam, tiba -tiba sebagian buruh mendobrak gerbang hingga roboh. Tak lama berselang, sepasukan polisi telah datang ke kantor pusat PT HHM untuk menangkap ranti dan teman-temannya. Mereka digiring ke polres berau dan ditahan. Dalam surat penahanan, ranti dikenai tuduhan pasal 170 ayat 1 b dan pasal 406. Mendengar berita penangkapan Ranti, suaminya, Ramli Bin Saidop, segera bergegas menuju tempat kejadian perkara. Kemudian dengan setia mendampingi Ranti diperiksa di kantor polisi. “hari itu saya membayar cicilan motor di dealer. Mendengar istri ditangkap, saya langsung bergegas ke kantor pusat PT HHM. Waktu itu sebagian orang sudah dibawa polisi ke kantornya. Sebagai suami saya ikut juga ke kantor polisi. Saya masih sempat duduk menunggu Ranti diperiksa. Bahkan istri saya menyuruh saya pulang, tapi saya tidak tega. Entah kenapa, tiba-tiba polisi memanggil dan memeriksa saya. Apesnya saya kemudian dijadikan tersangka pengrusakan dan ditahan bersama Ranti.” Ujar pria asal Sulawesi Selatan yang merantau ke Kalimantan timur sejak tahun 1990 itu.
Perlawan demi Hak dan Keadilan
Selama 17 hari, Ranti, Ramli, Anak mereka dan 4 orang keponakan Ranti ditahan di mapolsek Segah. Pada 4 Juni 2009, kapolsek mengeluarkan surat penangguhan penahanan atas jaminan anak ranti yang lain dan pengeluaran tahanan secara bersamaan. Bertujuh mereka pun segera dibebaskan dengan kewajiban melapor ke kantor polisi. Pihak kejaksanaan tetap melanjutkan kasus ini ke PN Berau. Hingga vonis dikeluarkan dan dinyatakan bersalah oleh PN berau. Mereka bertujuh sepakat untuk menyatakan banding. Hingga kini putusan pengadilan banding belum dikeluarkan. Namun untuk menyambung hidup, Ramli kini bekerja menjadi tukang bangunan dan Ranti sebagai pengantar-jemput anak sekolahan. “Ini semua kami lakukan demi menyambung hidup. Namun sejak tahun 2009, oleh paksuyadi saya diminta menjadi bendara SBSI Berau. Saya mau berjuang untuk kehidupan buruh yang lebih baik. Kehadiran Perusahaan sawit bukan mensejahterakan tapi malah membuat melarat. Perlawanan ini demi hak dan keadilan,“ kata Ranti mantap (jgs)
KABUR DARI PERBUDAKAN
Awal Bekerja di Kebun Sawit
Suroso (42 tahun) dan Triyono (21 Tahun) terlihat letih dan takut ketika ditemui di perumahan Balikpapan Regency pada 3 Oktober 2010 lalu. Penduduk dusun Pesantren, desa Mlaran, kecamatan Gebang, kabupaten Purworejo ini terpaksa melarikan diri dari lokasi perkebunan sawit milik PT Sanjung Makmur yang terdapat di kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Timur. Sambil menahan haru, Suroso menuturkan bahwa ia sampai bisa bekerja di pedalaman kabupaten Bulungan atas ajakan teman lamanya bernama Kaspandi, asal kecamatan Kemiri, Purworejo. “Waktu itu Kaspandi bilang bahwa dia disuruh pimpinan PT Sanjung Makmur untuk mencari pekerja dari Jawa untuk dibawa ke Bulungan. Katanya pekerjaanya enteng, hanya merintis pembukaan kebun sawit. Gaji yang akan dibayarkan untuk melakukan pembersihan lahan tadi sebesar Rp 400.000 per ha. Tak hanya itu, perusahaan juga, katanya, akan memberikan tempat penginapan yang layak buat kami.”
Menurut Triyono, Kaspandi juga menjanjikan kepada mereka akan diterbangkan dengan pesawat ke Bulungan melalui Surabaya. Tergiur dengan janjinya, sebanyak 20 orang lebih memutuskan ikut Kaspansi bekerja di Bulungan. Namun aneh, ketika tiba di kota buaya, Kaspandi hanya membagikan tiket kapal laut untuk Suroso dan kawan-kawan. “Katanya tiket pesawat sudah habis tujuan Tarakan. Jadi semuanya naik kapal laut Kerinci saja,” tiru Triyono ucapan Kaspansi. Dari Tarakan, kelompok pekeja asal Purworejo ini dibawa langsung menyeberang ke lokasi perkebunan. Alangkah kagetnya Suroso dan kawan-kawan ketika tiba di lokasi barak yang menjadi tempat penginapan mereka ternyata hanya gubuk yang beratap terpal tanpa dinding. Tak hanya itu, semua kartu tanda penduduk (KTP) rombongan ini juga disita oleh perusahaan dengan alasan untuk jaminan perusahaan. Meski tak mengerti artinya, semua anggota rombongan menyerahkan KTP mereka kepada pihak perusahaan.
Terlilit Hutang
Saat itulah pihak perusahaan yang diwakili manager operasional PT Sanjung Makmur bernama Sunding Chandra bahwa gaji untuk kerja borongan merintis hanya Rp 200.000 per ha. Sedangkan untuk pekerjaan dengan gaji harian adalam memancang sawit dimana upah per batang Rp 2.500. Selain itu buruh juga mesti berutang untuk alat-alat kerja yang digunakanya, misalnya cangkul, pisau dan alat membabat rumput. Juga untuk makanan yang mereka konsumsi. Dengan terpaksa Suroso dan kawan-kawan mulai merintis perkebunan sawit. “Dulu mereka bilang pohon yang ditebang hanya kecil, sebesar kepalan tangan anak kecil. Ternyata pohonnya sebesar paha orang dewasa ,” keluh Suroso. Kelompok Suroso berjumlah 13 orang (sebelas orang menjadi tenaga perintis dan 2 orang tukang masak) bekerja membersihkan lahan seluas 1 blok (setara 60 ha). Setelah 48 hari bekerja keras, tibalah masanya mereka akan berhitung upah. Alangkah terkejutnya setiap pekerja ketika upah yang seharusnya mereka terima sebesar Rp 12 juta ternyata masih dipotong hutang peralatan kerja, alatalat makan dan makanan sebesar Rp 9.000.000.
“Saya tidak dipukul oleh pihak keamanan. Hanya ditanyain saja dan disuruh bekerja kembali. Saya bilang ingin pindah dari lokasi perintis. Sunding setuju dan menempatkan saya di blok penanaman, dekat tempat pengambilan baru. Di sinilah saya kembali melihat peristiwa-peristiwa aneh,” lanjut Suroso. “Di perusahaan ini banyak pekerja yang datang dari Lombok dan Flores. Sebagian dari Jawa dan Nias . Mereka datang ke Sekatak bersama rombongan dari desanya yang berjumlah 30 orang atas ajakan dari temannya yang sudah terlebih dulu bekerja di PT. Sanjung Makmur. Lokasi kerja ditempuh dengan kurang lebih 2 sampai 3 kilometer. Kami sering melihat orang melarikan diri dari lokasi perkebunan. Pernah satu hari,ada rombongan besar sekitar 70 orang kabur dari lokasi. Sebagian dari mereka lolos dan sebagian lagi tertangkap oleh sekuriti dan pekerja perusahaan maupun pihak aparat kepolisian. Bahkan kabarnya untuk mereka yang tertangkap sampai ada yang mengalami penganiayaan oleh oknum aparat. Yah...pagi itu saya lihat bapak tua yang kabur dibawa kembali ke camp berjalan pincang. Katanya dibogem pihak keamanan perusahaan,” kata Triyono.
“Kami mesti membagi uang sejumlah Rp 3 juta kepada 13 orang. Apesnya teman-teman saya yang merokok dan sesekali membeli mi instan (seharga Rp 4.000 per bungkus) malah tak pernah lepas dari hutang. Saya masih mendapat sisa puluhan ribu rupiah,” cetus Triyono.
“Di dekat kantor managemen kebun ada pos polisi. Hanya anehnya, kalau ada buruh yang mengadu atau melarikan diri, pihak polisi malah menangkap dan menyuruh pekerja itu kembali beaktifitas. Alasannya, buruh harus membayar hutang-hutangnya dulu baru kemudian boleh pergi dari kebun. Tapi bagaimana mungkin hutang-hutang kami bisa lunas kalau sejak awal sudah dibohongi?”, keluh Suroso.
“Apesnya temanteman saya yang merokok dan sesekali membeli mi instan (seharga Rp 4.000 per bungkus) malah tak pernah lepas dari hutang. Saya masih mendapat sisa puluhan ribu rupiah,” cetus Triyono
Suroso juga mengatakan dia pernah melihat buruh asal Lombok ditendang oleh oknum aparat hingga kakinya bengkak karena berusaha melarikan diri. “Saya sendiri sudah dua kali mencoba melarikan diri. Tapi melihat perlakukan aparat keamanan terhadap buruh yang mencoba kabur, saya jadi takut dan lebih memilih pasrah dan berdoa saja. Mungkin sudah nasib dan takdir saya untuk mengalami ini. “ sambung Suroso yang berhasil keluar dari perkebunan setelah dilarikan oleh aktifis Center of Orangutan Protection dan diajak bertemu dengan Sawit Watch.
Mencoba Kabur dari Kebun
Merasa teraniaya dan tak pernah mendapatkan upah yang layak, Suroso mencoba melarikan diri. Setelah menempuh perjalanan berjam-jam menuju jalan raya dengan harapan ada sopir yang lewat dan mau memberikan tumpangan, Suroso tiba di jalan raya. Sial baginya, ternyata Sunding dan pihak keamanan perusahaan sudah terlebih dahulu tiba di jalan tersebut dan langsung memergoki Suroso.
Suroso juga menambahkan, “kami selalu disekap di barak mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00. sedih sekali rasanya karena seperti dipenjara saja.”
Kabur dari Kebun Sawit
Ketika banyak karyawan mencoba melarikan diri dari kebun sawit PT Sanjung Makmur, pihak perusahaan semakin memperketat pengawasan. “Kami menjadi merasa semakin tertindas. Kawan kawan yang di camp dalam dan berdekatan dengan hutan sangat merasakan dampaknya. Untuk ke Kantin mereka harus berjalan lebih dari 5 kilometer hanya untuk ngutang sebungkus mie instan. Dalam keadaan seperti ini, mereka akhirnya menjadi gelap mata. Apapun satwa yang ditemui pada saat land clearing pun mereka santap dan dijadikan hidangan makan sehari hari. Dulu ada teman yang menangkap 3 ekor Owa owa. Satu ekor langsung disembelih dan dibakar untuk makan malam 12 orang. Kemudian 2 ekor yang lainnya diserahkan kepada seorang sopir perusahaan untuk dipelihara. Lalu beberapa hari yang lalu sebelum kalian datang kemari, ada lagi yang menangkap Owa owa lagi. Kali ini jumlahnya 2 ekor. Yang satu keesokan harinya mati, karena memang terluka cukup parah, dan satu lagi disembelih pada keesokan harinya. Itulah yang terjadi di sini. “ujar Suroso.
Di tanggal 21 september 2010, ketika jam menunjukkan pukul 20:00 WITA. Amang dan Reza dari Center of Orangutan Protection yang telah dimintai tolong oleh Suroso dan Triyono untuk membawa mereka kabur dari kebun sawit, ketika bertemu dengan Tim Ape Crusade secara tak sengaja di wilayah dalam kebun sawit. Menurut Amang dari COP, “Saat bertemu Suroso dan Triyono di Sekatak, kami segera bergegas mengangkut Pelanggaran Hukum barang barang bawaan mereka ke Berdasarkan fakta – fakta diatas, setidak – tidaknya terdapat 9 (sembilan) dalam mobil yang kami tumpangi. ketentuan hukum yang dilanggar oleh perusahaan. Kesembilan ketentuan Lantas segera meluncur menuju hukum yang dimaksud: Balikpapan saat itu juga. Ada guratan tegang diwajah Suroso No Ketentuan hukum Bagian dan Pasal dan teman temannya ketika saya Deklarasi Universal Hak Asasi perhatikan dengan seksama di 1 Pasal 4 dalam mobil.” Manusia “Mereka ada empat orang yang kami selamatkan, yaitu Suroso, Triyono, Sabhudin dan istrinya. Sempat kami berhenti ditengah hutan didaerah Berau. Sekitar 2 jam kami beristirahat sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Bengalon, Sabhudin dan istrinya turun. Karena didaerah ini mereka akan menemui saudara mereka yang bersedia menampung mereka untuk bekerja di PT Bina Palma. Setelah Sabhudin dan istrinya turun, kami mampir di rumah seorang teman untuk beristirahat sejenak. Setelah beristirahat selama 1 jam kami pun melanjutkan langkah,” lanjut Amang. “Selama dalam perjalanan, handphone Suroso selalu berbunyi, baik sms maupun panggilan masuk dari teman pekerja, bos perusahaan, mandor PT. Sanjung Makmur maupun keluarganya. Bila dari keluarga, Suroso segera mengangkatnya, tetapi ketika dilihat bahwa yang menelepon dia adalah pihak perusahaan, dia hanya mengacuhkannya dengan mimik takut. Sebelum masuk ke kota Samarinda, kami merasa lapar.
2
3 4 5
6
Konvensi Internasional Hak – Hak Sipil dan politik Konvensi Tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Konvensi Anak Konvensi Penghapusan Kerja Paksa Konvensi ketenakerjaan internasional konvensi 182 Mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
7
Undang – Undang Dasar 1945
8
UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
9
UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Kentenaga Kerajaan
Ada warung tempat biasa kami makan bila ada perjalanan melewati kota ini. Kami berencana mampir untuk makan disana. Tapi alangkah kagetnya ketika kami akan turun dari mobil.... ternyata ada beberapa orang yang dikenali Suroso sebagai orang orang dari PT. Sanjung Makmur sedang makan diwarung yang sama. Saya segera mematikan lampu mobil dan memutar balik untuk segera cabut dari warung tersebut. Kami akhirnya memutuskan untuk makan di kota Samarinda. Tepat jam 12 malam kami tiba di Balikpapan. Disinilah kami baru bisa melihat kecerahan wajah Suroso dan Triyono walaupun masih terbalut kelelahan yang sangat. Yah....inilah akhir drama pelarian selama 28 jam yang kami tempuh dari Sengatak menuju Balikpapan,” tutup Amang sambil tersenyum.(jgs)
10
Pasal 5, 7, 8, 23, 24,25
Pasal 16 ayat 1
Bag III, Pasal 6,7,11,12,13 Pasal 24,28,32,36 Pasal1
Pasal 1,2, 3
Pasal 27,28, 28A,B,C,D,E,G,H,I, Pasal 31 Pasal 4,9 ,20,24,25, 33,34,38, 39,40,58,60, 64,66 Pasal Pasal 31, 52, 68, 69, 72, 74, 77, 78, 79, 86,88,99,176, 183, 185, 186,
ANALISIS HUKUM
Fakta-Fakta • •
•
Bahwa para Buruh masing-masing bekerja di PT. Satu Sembilan Delapan dan PT. Sanjung Makmur di Kecamatan Sekatak, Bulungan, Kalimantan Timur Perekrutan para Buruh direktur melalui agen tenaga kerja yang formal maupun tidak formal. Untuk kasus Buruh PT. Satu Sembilan Delapan melalui CV. Sinar Kalimantan, sedangan dalam kasus PT. Sajung Makmur dari sesama rekan Bahwa para Buruh diajak bekerja atau direkrut oleh oleh Atisama Zandrato, mandor di CV. Sinar Kalimantan dengan janji gaji tinggi dan fasilitas seperti rumah dan kesehatan yang lengkap,
•
11
sehingga para Buruh tergiur dan akhirnya mau menerima pekerjaan ditawarkan, walaupun sangat jauh dari pulau Nias. • Bahwa sesampainya di perkebunan, Handoyo pimpinan CV. Sinar Kalimantan, agen tenaga kerja menyatakan bahwa gaji para Buruh akan diberikan setelah kontrak kerja selesai selama 2 tahun. Untuk kebutuhan hidup buruh, pihak perusahaan akan memberikan pinjaman uang sebesar Rp 150.000 per bulan dan itu adalah peraturan perusahaan • Bahwa atas putusan para Buruh tidak dapat berbuat apa- apa tidak berdaya terhadap peraturan perusahaan yang dikenakan kepada buruh • Bahwa Handoyo Pipinan CV Sinar Kalimantan agen tenaga kerja yang merekrut para Buruh yang sebahagian berasal dari desa pedalaman Pulau Nias, Menyita Kartu Tanda Penduduk dan Surat Jalan dari Nias Kekalimantan, alasanya sebagai jaminan dan pegangan pihak perusahaan untuk kelengkapan adminstrasi dan pembayaran gaji karyawan; Namun penahanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Jalan para Buruh ini, mengakibatkan Buruh tidak dapat berbuat apa-apa karena takut tidak bisa pulang karean KTP ditahan • Bahwa dari beberapa kesaksian Buruh mereka kerap mendapat penganiayaan pisik maupun phisikis di dari Atisama Zendrato yang bertugas mengawasi para Buruh saat bekerja di lahan perkebunan. Bai buruh laki-laki maupun perempuan • Bahwa para Buruh mengaku sering diperlakukan tidak manusiawi oleh atasannya, disiram dengan air, itu hanya karena buruh tidak mendengar mandornya memanggil. Para Buruh sering dibentak, dimaki jika atasan menilai para buruh lamban menjalan perintah. Atau bila sedang capek beristirahat di pas jam kerja. Sering ditendang Ditendang. Menganiaya dengan cara mengadukan kepala satu orang buruh dengan buruh lainnya dengan sekuat tenaga hingga buruh merasakan sakit yang luar biasa Bahwa para buruh setiap hari dipekerjakan melampaui batas kemamampuan manusia bekerja yang hanya 7 sampai 8 jam, dimana para buruh ini harus mulai bekerja mulai pukul 07.00-16.00 Wita dan terkadang hingga pukul 18.00, tanpa dihitung
•
•
• • •
•
•
•
•
•
•
lembur dan dengan masa istirahat yang sangat singkat hanya 1 jam Bahwa setiap hari para buruh bekerja dengan target borong yang juga diluar kemampuan manusia, misalnya setiap hari seorang Buruh penyemprot diharuskan menyemprotkan 20 tangki pestisida yang telah dicampur air. Satu tangki 20 liter air. Untuk menyelesaikan target borong itu buruh mengaku harus bekerja tanpa henti, baju yang dikenakapun lekas basah oleh keringat; Bahwa dengan waktu bekerja yang sangat panjang 9 – 11 jam, dan dengan basis borong yang sangat tinggi, Buruh masih harus dihukum jika target borong tidak selesai, buruh diharuskan menyelesaikan target borong yang tidak selesai kemarin menjadi beban kerja hari ini. Buruh karena itu buruh mati-matian bekerja Bahwa buruh diwajibkan bekerja 7 hari dalam seminggu tanpa hari istirahat. Tidak ada hari libur atau alasan istirahat meski sedang sakit Bahwa jam kerja yang lama, basis borong yang tinggi dan tidak adanya hari untuk istirahat telah mengakibatka buruh merasa tertekan Bahwa para Buruh tidak berani melawan atasan, salah satu sebabnya adalah karena tidak punya uang dan tidak mengetahui wilayah di sekitar perkebunan, sehingga jika ingin lari karena melawan, selain tidak punya biaya untuk melarikan diri para buruh juga tidak mengetahui mau lari ke mana Bahwa para Buruh tinggal dibarak- barak yang terdiri dari kamar-kamar, dimana luas tiap kamar hanya 1,5 x 2 meter, yang didiami 4-5 orang, tanpa fasilitas lain layaknya tempat tinggal untuk manusia. Buruh terpaksa tinggal berdesakan, dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Bahakan di PT. Sanjung Makmur tempat tinggal Buruh hanya terbuat dari tiang yang atapnya terpal tanpa dinding Bahawa para Buruh tidak diberikan makanan; Untuk makan Buruh harus berhutang ke perkebunan, sebesar Rp. 10.000 per hari atau lebih kurang Rp. 300.000 per bulan. Namun makanan para Buruh ini tidak manusiawi, makanan yang diperolah dari dapur umum ini hanya terdiri dari nasi putih dan ikan asin tanpa sayur. Dimana berasnya kadang-kadang penuh kutu dan ikan asinya kadang-kadang sudah berulat Bahwa buruh juga tidak mendapat fasilitas air; Air untuk minum dan mandi, diambil dari parit. Sesekali memang ada truk air perusahaan datang mengantarkan air minum, tapi paling hanya satu kali satu bulan Bahwa para buruh membeli sendiri alat kerja yang tidak disediakan perusahaan, misalnya Buruh harus membeli Babat, pisau dan alat-alat kerja untuk pancang, babat dan tanam. Alat-alat kerja itu dibeli dengan cara hutang dari perusahaan Bahwa para Buruh bekerja tanpa alat pelindung diri; misalanya buruh pemupuk tanpa sarung tangan dan buruh penyemprot tanpa masker, penutup kepala, baju lengan panjang, celana pajang, sepatu boot dan lain-lain. Sehingga saat bekerja buruh rentan dengan kecelakaan kerja dan sangat terbuka untuk resiko pekerjaan yang bersifat akumulatif, salah satunya pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia Bahwa fasilitas yang disediakan untuk para buruh juga sangat minim, dimana jika sakit buruh tidak pernah dipriksa, mantra memberikan obat yang sama
12
• •
•
•
•
•
•
•
•
•
untuk penyakit yang berbeda; adanya buruh yang meninggal dunia akibat sakit menjadi gambaran buruknya fasilitas kesehatan di perkebunan Bahwa Buruh perempuan tidak mendapatkah hak cuti haid Bahwa walaupun telah bekerja berbulan-bulan bahakan ada yang sudah 1 tahun, para buruh belum menerima upah. Buruh hanya diberi Rp. 100.000 s/d Rp. 150.000 setiap bulan oleh perusahaan dan itu dihitung utang yang akan dikurangi apabila menerima upah setelah selesai kontrak 2 tahun. Karena itu belum ada diantara mereka yang peranah mengirimkan uang untuk keluarga dikampung. Karena mereka sendiripun sehari-harinya jarang memegang uang Bahwa jika para buruh membutuhkan keperluan lain, para buruh mengutang dari warung perusahaan yang dikelola oleh Atasima Zendrato agen tenaga kerja yang merekrut mereka. Dalam transaksi itu Buruh tidak mengetahui harga barang Bawa pada kenyataaanya banyak Buruh yang berusaha lari dari perkebunan, oleh kakrena tidak tahan hidup dalam kondisi buruk yang dipraktekan perkebunan, smisalnya Faogonasekhi Halawa, dia datang bersama 10 orang rombonganya namun, yang bertahan hanya 3 orang Bahwa dari kesaksian masyarakat yang menemui 2 orang Buruh yang melarikan diri dengan kondisi memar dan lembam di wajah; adalah bukti buruknya perlakuan perusahan terhadap buruh Bahwa terindikasi polisi sebagai penegak hukum mengetahui hal ini namun tidak melakukan tindkan hukum yang sesuai dengan itu bahkan terindikasi turut mendukung kondisi buruk di perkebunan hal ini terindikasi dari kasus warga desa yang menemukan Buruh perkebunan yang melarikan diri; dimana Buruh tesebut kemudian dijemput oleh polisi dan diserahkan kembali ke perkebunan Bahwa perkebunan mempekerjakan Buruh Anak diantaranya, Philipus baru berusia 14, Oferius (14 tahun), Ferdy 14 Tahun, sementara menurut pengakuan Ferdy banyak buruh sesusianya bekerja di perkebunan dimana dia bekerja Bahwa buruh anak ini juga sering penganiayaan fisik dan phisikis; ditendang, di tampar, diberikan beban kerja sama dengan buruh dewasa, juga tidak diberikan gaji, misalnya Kerah baju buruh anak ditarik keatas sambil membentak, mengakibatkan buruh anak ketakutan Dari fakta-fakta di atas dapat diasumsikan bahwa di perkebunan telah terjadi praktek-praktek perbudakan ala baru; Rekomendasi Pelapor Khusus Komisi HAM PBB yang menerima mandate sesuai pasal 4 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menyatakan Bentuk-bentuk terkini perbudakan diantaranya, Orang yang dijebak dengan hutang sehingga terpaksa bekerja terus menerus terhadap orang tersebut; kuli, kerja paksa, Buruh Anak, kerjakerja yang memanfaatkan tenaga anak kecil, dll Bahwa apa yang terjadi terhadap buruh perkebunan bahkan melampaui apa yang dirumuskan pelapor khusus PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan masa kini
PROFIL PERUSAHAAN
“Kami sebagai masyarakat merasa kecewa atas ulah PT Sanjung Makmur, yang dengan sengaja, tanpa memperhatikan hak-hak kami sebagai pemilik lahan telah melakukan penebangan perkebunan buah masih produktif. Kami sebagai warga yang merasa dirugikan memiliki hak dan menuntut agar pihak perusahaan mengganti rugi semua kerugian yang di derita warga kami,” tegas Junaidi.
Dalam Buku Peraturan Perusahaan PT.Hutan Hijau Mas Tahun 2008 dan dibagikan kepada seluruh karyawan disebut bahwa perusahaan itu beralamat di Jalan Pemuda No. 11 RT 06.RW.07 Tanjung Redeb, Berau Kalimantan Timur. Dari data Dinas Perkebunan Kabupaten Berau tahun 2007, didapat informasi yang menyebutkan berdasarkan ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Bupati Berau, PT Hutan Hijau Mas memiliki konsesi perkebunan seluas 7.710 ha. Sedangkan ijin lokasi yang dimiliki PT satu Sembilan Delapan seluas 6.000 ha. Ditinjau dari kepemilikan, PT. Hutan Hijau Mas dan PT. Satu Sembilan Delapan merupakan anak perusahaan dari KLK International ltd. KLK International ltd merupakan perusahaan yang kepemilikannya dikuasai oleh Kuala Lumpur Kepong Berhad yang bermarkas di Wisma Taiko, 1 Jalan S.P.Seenivasagam 3000 Ipoh, Perak Malaysia dan terdaftar di Bursa Efek Malaysia dengan modal kerja sebesar 10,2 Milliar Ringgit. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menyebutkan selain menguasai PT. Hutan Hijau Mas dan PT. Satu Sembilan Delapan, KLK International ltd juga menguasai 2 perusahaan lain di Kalimantan Timur yaitu:
13
• •
PT. Malindomas Perkebunan (di desa Gunung Sari, kecamatan Segah) PT. Jabontara Eka Karsa (desa Batu Putih, kecamatan Batu Putih)
Informasi lain juga menyebutkan bahwa KLK International Ltd juga beroperasi melalui anak perusahaannya di Belitung dan Sumatra. Meski belum berproduksi hingga tahun 2008, data dari Dinas Perkebunan Berau tahun 2008 menuliskan jumlah tenaga kerja di masing-masing perusahaan tercatat sebagai berikut: • PT. Hujan Hijau Mas mampu menyerap 1,800 orang • PT Satu Sembilan Delapan mempekerkerjakan 1.116 orang Setelah mengelola kebun sawitnya selama 6 tahun di kabupaten Berau, pada 8 Februari 2010, peruahaan meresmikan berdirinya pabrik minyak sawit mentah (CPO) berkapasitas 120 ton per jam yang berlokasi di Gunung Sari. Pabrik yang dibangun sejak tahun 2007 itu dinamai “Berau Palm Oil Mill” menelan biaya sampai 100 miliar rupiah. Dengan bangga pihak pemerintah provinsi dan kabupaten mengatakan bahwa Berau Palm Oil Mill merupakan pabrik minyak sawit mentah terbesar di Kalimantan Timur.(JGS) Profile PT Sanjung Makmur Meski tidak didapat dengan pasti awal beroperasinya PT Sanjung Makmur di kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan TImur, namun dari kegiatan invetsigasi diketahui bahwa perusahaan ini sempat mendapat pujian dari Bupati Bulungan karena sudah membangun perkebunan sawit untuk rakyat dengan pola kemitraan tahun 2008. Bahkan perusahaan juga berencana membangun pabrik minyak sawit mentah (CPO) berkapasitas 30 ton per jam pada tahun 2010. Namun pujian serta niat baik tadi patut dipertanyakan ketika perusahaan ini ternyata melakukan perampasan lahan masyarakat adat/ tempatan. Menurut anggota
14
Komisi II DPRD Bulungan, Baim, dia mengaku kecewa terhadap tindakan PT Sanjung Makmur. perusahaan itu, menurutnya, telah membabat lahan perkebuhan buah yang masih produktif. “Pohon buah ini kan menjadi bukti bahwa lahan kebun ini ada pemiliknya dan dipelihara sejak lama. Kalau dibabat tanpa pemberitahuan dan kesepakatan terlebih dahulu, sama artinya perusahaan ini melecehkan hak-hak rakyat lokal” tegas Baim. (www. poskotakaltim.com, 15 – 10-2010) Junaidi, salah satu perwakilan warga Sekatak yang juga menjadi korban pembabatan illegal mengungkapkan kecewaannya. Dan, dengan tegas meminta PT Sanjung Mandiri mempertanggungjawabkan tindakan yang dinilai sepihak, sehingga masyarakat di sekatak dirugikan. “Kami sebagai masyarakat merasa kecewa atas ulah PT Sanjung Makmur, yang dengan sengaja, tanpa memperhatikan hak-hak kami sebagai pemilik lahan telah melakukan penebangan perkebunan buah masih produktif. Kami sebagai warga yang merasa dirugikan memiliki hak dan menuntut agar pihak perusahaan mengganti rugi semua kerugian yang di derita warga kami,” tegas Junaidi. “PT Sanjung Makmur harus mempertanggung jawabkan perbuatannya yang dengan sengaja telah merampas hak milik masyarakat dengan melakukan pembabatan sepihak tanpa melakukan sosialisasi maupun pembicaraan dengan pihak warga sebagai pemilik lahan perkebunan tersebut,” tegas Markus Juk, ketua komisi III DPRD Bulungan “PT Sanjung Mandiri sebenarnya telah memiliki izin kepemilikan lahan. Izin tersebut diterbitkan instansi terkait. Namun kami pun mengakui bahwa dalam pelaksanaan pembebasan lahan telah terjadi kesalahan, terutama yang berkaitan dengan hak dan kepentingan masyarakat setempat. Karena itu, kami meminta maaf kepada masyarakat yang merasa telah dirugikan. Dan secepatnya, kami akan melakukan ganti rugi terhadap perkebunan lahan milik warga tersebut,” jelas Tigor Nainggolan. (www. poskotakaltim.com, 27-10-2010)