2
TINJAUAN PUSTAKA Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan nama umum dari dua spesies Cyanobacteria (alga biruhijau/blue green algae). Klasifikasi Spirulina sp. dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan menurut Bold & Wynne 1985 adalah sebagai berikut: kingdom divisi kelas ordo famili genus spesies
: : : : : : :
Protista Cyanophyta Cyanophyceae Nostocales Oscilatoriaceae Spirulina Spirulina fusiformis
Alga biru-hijau prokariotik (Cyanobacteria) termasuk dalam kelompok mikroalga. Mikroalga adalah mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang bervariasi, baik uni-selular maupun multiselular (membentuk koloni kecil). Sebagian besar mikroalga tumbuh secara fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang mampu tumbuh secara heterotrofik (Kurniawan & Gunarto 1999). Spirulina sp. merupakan mikroorganisme autotrof berwarna hijau-kebiruan, dengan sel berkoloni membentuk filamen terpilin menyerupai spiral (helix), sehingga disebut alga biru-hijau berfilamen (Cyanobacterium). Bentuk tubuhnya yang menyerupai benang merupakan rangkaian sel (trichome) yang berbentuk silindris dengan dinding sel yang tipis, berdiameter 1-12 ยตm. Filamen Spirulina sp. hidup berdiri sendiri dan dapat bergerak bebas (Borowitzka 1988).
kondisi yang luas di permukaan bumi. Spirulina sp. biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau lahan yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Spirulina sp. dapat hidup di semua tempat yang memiliki cukup sinar matahari, air, dan CO2. Spirulina sp. yang terdapat di dunia sekitar ยฑ 2000 jenis (Dio 2008). Manfaat dan nilai komersial Spirulina sp. bagi kepentingan industri telah cukup lama dikenal. Penelitian dan pengembangan secara intensif telah dilakukan di beberapa negara, baik dalam skala laboratorium maupun industri. Mikroorganisme fotosintetik ini telah dimanfaatkan dalam produksi biomassa, produksi energi, produksi berbagai produk bermanfaat, bioakumulasi senyawa tertentu, berbagai proses biotransformasi, serta dapat juga dimanfaatkan menjadi biodiesel dari minyak nabati yang dihasilkan. Spirulina sp. juga mampu menyerap karbondioksida dan mengkonversikannya menjadi oksigen sehingga dapat mengurangi polusi CO2 dan dapat mengurangi dampak pemanasan global. Pertumbuhan mikroalga berlangsung dalam 5 fase seperti pada Gambar 2.
3
5
Jumlah Sel
2
1 Usia Kultur mikroalga Gambar 2. Kurva pertumbuhan (Fogg & Thake 1987) Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5.
Gambar 1. Sel Spirulina sp. (Borowitzka 1988) Spirulina sp. telah ada sejak 3,5 milyar tahun yang lalu dan telah dikonsumsi oleh suku Aztec kuno di Mexico sejak 5 abad yang lalu. Spirulina sp. dapat tumbuh pada rentang
4
Fase lag Fase logaritmik Fase penurunan laju Fase stasioner Fase kematian
Fase lag merupakan fase berpindahnya populasi ke media yang baru, sehingga Spirulina sp. harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Fase logaritmik merupakan fase perkembangbiakan sel Spirulina sp. Fase penurunan laju pertumbuhan merupakan fase dimana kematian sel mulai terjadi, tetapi masih sedikit dibandingkan pertumbuhan selnya. Fase stasioner merupakan fase keseimbangan
3
pertumbuhan sel dengan kematian sel. Fase kematian merupakan fase dimana kematian sel lebih besar dibandingkan pertumbuhan sel (Fogg & Thake 1987). Klorofil Klorofil adalah pigmen hijau yang terdapat pada tumbuhan hijau, alga, dan bakteri fotosintesis. Klorofil merupakan kompleks antara porfin dengan magnesium. Porfin adalah struktur makrosiklik tak jenuh yang terdiri dari empat cincin pirol yang digabungkan oleh suatu jembatan karbon. Porfin tersubstitusi dinamai porfirin yang dianggap sebagai inti dari semua klorofil. Porfirin adalah pigmen makrosiklik tetrapirol dimana cincin pirol digabungkan oleh jembatan metana dan sistem ganda tertutup. Oleh karena itu, klorofil diklasifikasikan sebagai porfirin (Aryetti diacu dalam Mariyana 2003). Struktur dari klorofil memiliki kesamaan dengan hemoglobin. Perbedaannya hanyalah terletak pada atom pusat dari molekul. Atom pusat klorofil adalah magnesium (Mg), sedangkan atom pusat hemoglobin adalah besi (Fe). Jika hemoglobin diidentikkan sebagai darah merah manusia, maka klorofil dapat diidentikkan sebagai darah hijau manusia. Oleh karena kemiripan struktur ini, maka klorofil adalah satu-satunya molekul di dunia yang secara alamiah dapat diterima oleh tubuh dan menjadi nutrisi vital bagi tubuh manusia (Campbell et al 2000). Klorofil yang biasanya berikatan dengan protein, dapat diekstraksi dari daun tumbuhan dengan alkohol atau aseton dan dimurnikan dengan cara kromatografi. Tumbuhan umumnya mengandung 2 macam klorofil, yaitu klorofil-a dan klorofil-b (Gambar 3). Klorofil-a adalah suatu senyawa kompleks antara magnesium dan porfirin yang mengandung cincin siklopentanon. Keempat atom nitrogennya dihubungkan secara ikatan koordinasi dengan ion Mg2+ membentuk senyawa kompleks planar yang mantap. Pada porfirin melekat ekor hidrokarbon yang berinteraksi dengan daerah hidrofobik protein. Klorofil-b adalah klorofil kedua yang terdapat dalam tumbuhan hijau, sedangkan klorofil-c terdapat dalam ganggang coklat, diatom, dan dinoflagelata (Wirahadikusumah 1985).
Gambar 3. Struktur klorofil (Campbell et al 2000) Daerah absorpsi klorofil dapat dilihat pada Gambar 4. Klorofil-a menyerap daerah dengan panjang gelombang 430 nm dan 660 nm, sedangkan klorofil-b menyerap daerah dengan panjang gelombang 460 nm dan 650 nm (Campbell et al 2000).
Gambar 4. Spektra absorpsi (Campbell et al 2000) Klorofil berpotensi sebagai photosensitizer (obat pemicu yang aktif oleh rangsangan cahaya) untuk terapi tumor dan kanker. Pemanfaatan terapi fotodinamika (TFD) ini didasarkan pada asumsi bahwa photosensitizer (klorofil) akan dapat membunuh sel-sel kanker, ketika senyawa tersebut diekspos dengan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu (630-800 nm) dan dengan intensitas tertentu. Mekanisme kerja klorofil
4
sebagai sensitizer adalah ketika photosensitizer mengabsorpsi cahaya, maka photosensitizer akan tereksitasi pada keadaan singlet. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena photosensitizer akan berubah ke keadaan triplet. Photosensitizer pada keadaan triplet ini akan bereaksi dengan oksigen yang tentunya ada dalam jaringan tubuh manusia, termasuk dalam jaringan kanker. Oksigen dalam keadaan dasar akan tereksitasi menjadi singlet oksigen yang bersifat sangat reaktif dan selanjutnya akan menghancurkan sel-sel kanker. Pada akhirnya, photosensitizer akan kembali ke keadaan normal (Putra & Bahri 2007). Porfirin Porfirin merupakan senyawa organik makrosiklik yang memiliki kedekatan struktural dengan senyawa klorofil dan bakteriklorofil. Klorofil dan bakterioklorofil yang menghijaukan dedaunan dan segenap biota hijau lainnya di bumi merupakan turunan dari protoporfirin. Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa terdapat jalur evolusi yang menghubungkan antara keberadaan porfirin, klorofil, dan bakterioklorofil sebagai pigmen fotosintesis dominan. Selain itu, porfirin juga memiliki kedekatan struktural dengan senyawa hemin pada darah manusia dan hewan, yaitu sama-sama sebagai senyawa tetrapirol. Porfirin menyerap cahaya yang membawa warna hijau pada klorofil dan berperan sebagai pusat dalam fotosintesis. Keunikan porfirin jumlahnya sangat banyak dan sebagai perantara kondisi elektronik ketika diiradiasi cahaya tampak. Hal ini menyebabkan porfirin tereksitasi, lalu terjadi proses transfer elektron dalam ruang grana kloroplas. Proses alami transfer elektron ini diikuti dalam bentuk acceptor/donor elektron (D/A) (Hecht et al 2006).
Gambar 5. Senyawa porfirin (Hecht et al 2006)
Fotosintesis dan Fluoresensi Klorofil Pada hakekatnya, semua kehidupan di bumi ini tergantung langsung dari adanya proses asimilasi CO2 menjadi senyawa kimia organik dengan energi yang didapat dari sinar matahari. Dalam proses ini energi sinar matahari (energi foton) ditangkap dan diubah menjadi energi kimia dengan proses yang disebut fotosintesis (Wirahadikusumah, 1985). Fotosintesis menyediakan makanan bagi hampir seluruh kehidupan di dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Organisme memperoleh senyawa organik yang digunakannya untuk energi (Campbell et al 2000). Fotosintesis merupakan suatu proses biokimia yang dilakukan oleh tumbuhan, alga, dan beberapa jenis bakteri untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Fotosintesis juga berjasa menghasilkan sebagian besar oksigen yang terdapat di atmosfer bumi. Organisme yang menghasilkan energi melalui fotosintesis (photos berarti cahaya) disebut sebagai fototrof. Fotosintesis merupakan salah satu cara asimilasi karbon karena dalam fotosintesis karbon bebas dari CO2 diikat (difiksasi) menjadi gula sebagai molekul penyimpan energi (Danang H 2008). Tumbuhan menggunakan karbondioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen yang diperlukan sebagai makanannya. Energi untuk menjalankan proses ini berasal dari fotosintesis. Keseluruhan proses fotosintesis yang menghasilkan glukosa dituliskan dengan persaman reaksi: (Wirahadikusumah 1985) 6H2O + 6CO2 + cahaya โ C6H12O6 + 6O2 Dari semua radiasi matahari yang dipancarkan, hanya panjang gelombang tertentu yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis, yaitu panjang gelombang yang berada pada kisaran cahaya tampak (380-700 nm). Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah (610-700 nm), hijaukuning (510-600 nm), biru (410-500 nm), dan violet (< 400 nm). Masing-masing jenis cahaya berbeda pengaruhnya terhadap fotosintesis. Hal ini terkait pada sifat pigmen penangkap cahaya yang bekerja dalam fotosintesis. Pigmen yang terdapat pada membran grana menyerap cahaya yang memiliki panjang gelombang tertentu. Pigmen yang berbeda menyerap cahaya pada panjang gelombang yang berbeda. Kloroplast mengandung beberapa pigmen, sebagai contoh klorofil-a terutama menyerap cahaya
5
biru-violet dan merah. Klorofil-b menyerap cahaya biru dan orange dan memantulkan cahaya kuning-hijau. Klorofil-a berperan langsung dalam reaksi terang, sedangkan klorofil-b tidak secara langsung berperan dalam reaksi terang. Ketika klorofil dan pigmen lain menyerap foton, warna yang bersesuaian dengan panjang gelombang yang diserap akan menghilang dari spektrum cahaya yang diteruskan dan dipantulkan, tetapi energinya tidak hilang. Ketika molekul menyerap suatu foton, salah satu elektron molekul dinaikkan ke suatu orbital di mana elektron tersebut memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Ketika elektron berada pada orbital normalnya, molekul pigmen dikatakan berada dalam keadaan dasarnya. Setelah penyerapan foton mendorong elektron ke orbital yang energinya lebih tinggi, molekul pigmen dikatakan dalam keadaan tereksitasi (Campbell et al 2000).
Gambar 6. Fotoeksitasi klorofil (Campbell et al 2000)
LUMO
Eksitasi
Resonansi Fluoresensi
HOMO Gambar 7. Transisi muatan klorofil (Skoog et al 1998) Penyerapan suatu foton menyebabkan perpindahan molekul klorofil dari keadaan dasar yang disebut HOMO (Highest Occupied Molecular Orbitals) ke keadaan tereksitasi yang disebut LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbitals). Foton mendorong
elektron ke orbital di mana elektron itu memiliki energi potensial yang lebih tinggi. Jika larutan klorofil diterangi, elektron yang tereksitasi mengalami relaksasi dan segera turun kembali ke orbital keadaan dasarnya dengan melepaskan energi berlebih dan juga panas serta berfluoresensi (berpendar) dalam bagian spektrum merah (Campbell et al 2000). Absorbansi Absorpsi disebabkan oleh ketidakmurnian pada suatu materi dan mengacu pada perubahan energi optik menjadi optoelektronik atau getaran molekul. Jumlah absorpsi dari ketidakmurnian bergantung pada konsentrasi dan panjang gelombang cahaya. Pada daerah infrared dan far infrared, berkas absorpsi juga terjadi, ekor dari spectrum absorpsi mendekati daerah infrared yang disebabkan oleh getaran molekul dalam materi (Tricker 2002). Absorpsi mengakibatkan transisi dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi, yakni tingkat tereksitasi. Pengidentifikasian dan analisa bahan dapat dilakukan dengan menelaah frekuensi absorpsi bahan yang tereksitasi. Bahan semikonduktor mempunyai kemampuan dalam menyerap energi foton untuk mengeksitasi elektron. Kemampuan dalam menyerap energi foton pada bahan semikonduktor disebut juga absorpsivitas semikonduktor (Kopkhar 1990). Jika suatu radiasi elektromagnetik dipancarkan ke suatu materi dan pada materi tersebut terjadi absorpsi selektif, maka materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula. Perubahan tingkat serapan sebagai fungsi panjang gelombang disebut sebagai spektrum absorpsi. Spektrum absorpsi merupakan karakteristik kualitas suatu bahan. Tingkat absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dapat digunakan untuk menentukan jumlah konsentrasi suatu sampel. Dasar penentuan kuantitatifnya dengan menggunakan Hukum Beer Lambert: (Kurniawan & Gunarto 1999) ๐ผ = ๐ผ0 ๐๐ฅ๐ โ ๐ ๐ ๐ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ....... (1) dan ๐ผ0 ๐ด = ๐๐๐ = โ๐ ๐ ๐ โฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆโฆ.... (2) ๐ผ
Keterangan: A = serapan cahaya (absorbansi) sampel I0 = intensitas datang I = intensitas cahaya yang keluar lewat larutan sampel (transmisi)
6
๐ = ketebalan lapisan larutan sampel (jarak tempuh cahaya dalam substansi sampel) ๐ = koefisien absorpsi molekul (dengan konsentrasi molaritas) c = konsentrasi analat Fotokonduktivitas Bahan Semikonduktor Konduktivitas listrik merupakan ukuran dari kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Fenomena fotokonduktivitas muncul ketika seberkas sinar dikenakan pada bahan semikonduktor dan menyebabkan bahan semikonduktor tersebut bertambah konduktivitas listriknya. Hal ini dikarenakan eksitasi elektron melintasi celah energi semikonduktor. Eksitasi elektron ini juga menimbulkan bertambahnya jumlah pembawa muatan bebas (hole dan elektron). Eksitasi muncul apabila energi foton yang diberikan pada bahan semikonduktor lebih besar atau sama dengan lebar celah dua keadaan, yaitu valensi dan konduksi (hv โฅ pita energi antara ๐ธg ) bahan tersebut. Konduktivitas pembawa muatan dalam bahan semikonduktor mempengaruhi sifat konduksi bahan tersebut. Konduktivitas ideal bahan semikonduktor dipengaruhi oleh lebar celah pita energi, pembawa muatan bebas, dan temperatur. Rumusan konduktivitas bahan semikonduktor sebagai berikut: (Tjakrawadi 2002) ๐ = ๐0 exp โ
๐ธg 2๐๐
.................................... (3)
Keterangan: ๐0 = konduktivitas bahan semikonduktor sebelum disinari ๐ธg = lebar celah pita energi pada bahan semikonduktor k = konstanta Boltzmann T = temperatur mutlak Konduktivitas bahan semikonduktor dapat diperoleh dengan mengukur resistansi yang diperoleh dari hasil pengukuran arus dan tegangan (I-V) pada sampel. Hubungan antara konduktivitas dengan resistivitas dapat dilihat dari perumusan (4): 1
๐ = .......................................................... (4) ๐
Keterangan: ฯ = resistivitas bahan semikonduktor yang diukur (โฆm) ฯ = konduktivitas listrik (Sm-1)
Resistivitas bahan semikonduktor dapat ditentukan dengan perumusan (5): ๐ด
๐ = ๐
....................................................... (5) ๐ฟ
Keterangan: A = luas penampang sampel yang akan diukur (m2) L = lebar sampel R = resistansi yang diperoleh dari hasil pengukuran I-V (โฆ) Konsep fotokonduktivitas diilustrasikan pada Gambar 8. Arus mengalir pada potongan bahan semikonduktor. Seberkas sinar dikenakan pada bahan tersebut pada arah normal bidang permukaan. Sebelum sinar dikenakan pada potongan bahan semikonduktor tersebut, hubungan antara konduktivitas dengan pembawa muatan bebas dapat dirumuskan seperti persamaan (6): ๐0 = ๐ ๐0 ๐๐ + ๐0 ๐๐ ................................ (6) Keterangan: no = konsentrasi muatan elektron po = konsentrasi muatan hole kesetimbangan ฯo = konduktivitas pada keadaan gelap (tidak diberi sinar) ยตe = mobilitas muatan elektron ยตh = mobilitas hole Ketika seberkas sinar dikenakan pada potongan bahan semikonduktor, konsentrasi pembawa muatan bebas bertambah sebesar ฮn dan ฮp dan arus juga meningkat dengan cepat (Tjakrawadi 2002). hv I
+
-
Gambar 8. Prinsip pengukuran fotokonduktivitas Karena elektron dan hole selalu berpasangan, sehingga berlaku ฮn = ฮp. Persamaan hubungan antara konduktivitas bahan semikonduktor dengan pembawa muatan bebas adalah: ๐ = ๐0 + ๐ โ๐ ๐๐ + ๐๐ ........................... (7) ๐ = ๐0 + ๐ โ๐ ๐๐ 1 + ๐ .......................... (8) dengan ๐ =
๐๐
๐๐ , rasio mobilitas.
7
Kenaikan relatif dalam dirumuskan dari persamaan 8: โ๐ ๐0
= ๐ โ๐ ๐๐
1+๐ ๐0
konduktivitas
...................................... (9)
dengan ฮฯ = ฯ - ฯo, yang artinya kenaikan konduktivitas terinduksi foton relatif terhadap keadaan gelap. Dari persamaan 9, kenaikan relatif nilai konduktivitas sebanding dengan kenaikan jumlah elektron bebas akibat fotogenerasi oleh foton.
4 stoples masing-masing berisi 2 liter media kultur, sedangkan 1 stoples berisi 800 ml. Kelima stoples tersebut diletakkan dekat cahaya lampu TL (tube lamp) dengan intensitas 3000-4000 lux dan berjarak ยฑ 1 cm dari lampu, seperti yang terdapat pada Gambar 9. Pengadukan dilakukan minimal satu kali sehari pada media kultur tersebut agar kandungan nutriennya merata. Lampu
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Fisika dan Laboratorium Biofisika Departemen Fisika, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2 Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah stoples untuk media kultur, batang pengaduk, kain blacu, plastik mika, sendok, mortar dan pestle, aluminium foil, pipet tetes, tabung reaksi, labu erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, corong, kertas saring, tissue, labu takar, neraca digital, evaporator, mikroskop, spektrofotometer, spektrofotometer UV-VIS (Ocean Optics), spektrofluorometer (Ocean Optics), kuvet, multimeter digital, mikrovoltmeter digital, potensiometer, source meter (I-V meter) dari Keithley, dan lampu Halogen. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Spirulina fusiformis yang dikultivasi dengan media Zarouk, aseton, etanol, asetil aseton, aquades, dan substrat TCO (Transparant Conductive Oxide). Metode Penelitian Kultivasi Spirulina fusiformis Proses pengkulturan Spirulina fusiformis dilakukan dalam stoples terbuka dengan media Zarouk (Lampiran 2) yang dilarutkan dalam akuades sebanyak 8 liter. Inokulum Spirulina fusiformis dengan volume 800 ml dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Media kultur tersebut dibagi dalam 5 stoples,
2 liter ยฑ 1 cm Gambar 9. Kultur Spirulina fusiformis Kurva pertumbuhannya ditentukan dengan mengukur kerapatan optik (Optical Density) kultur setiap hari dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 480 nm (Panji & Suharyanto 2001). Kurva pertumbuhan ini diperlukan untuk menentukan fase pertumbuhan dan waktu pemanenan. Proses kultivasi dilakukan mulai 19 Mei 2009. Pengukuran OD mulai dilakukan pada 20 Mei 2009 yang dihitung sebagai hari ke-1 dan selanjutnya dilakukan setiap hari sampai kurva pertumbuhan memasuki fase kematian. Pemanenan dan Pengeringan Proses pemanenan Spirulina fusiformis dilakukan dua kali, yaitu pada fase logaritmik dan fase stasioner. Proses ini dilakukan dengan menyaring biomassa sel tersebut menggunakan nylon mezh. Penyaringan ini berakhir apabila sudah tidak ada lagi air yang menetes dari nylon mezh tersebut. Biomassa sel dicuci dengan aquades untuk membersihkan residu bahan kimia dari media yang masih bercampur dengan biomassa sel. Biomassa yang diperoleh ditimbang berat basahnya, lalu diratakan setipis mungkin pada plastik mika yang telah dilebarkan pada wadah dengan ketebalan 2-3 mm. Setelah itu biomassa sel dikeringkan menggunakan kipas pada suhu ruang. Biomassa sel yang telah mengering dikeruk menggunakan sendok, kemudian dimasukkan dalam plastik, dan diukur berat biomassa kering yang dihasilkan.