TINJAUAN PUSTAKA Sapi Peranakan Ongole ( PO ) Sapi peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu bangsa sapi yang banyak dipelihara peternak kecil di pulau Jawa. Sapi ini berasal dari persilangan antara bangsa sapi Jawa maupun Madura (sapi lokal) dengan bangsa sapi Ongole (India). Persilangan tersebut merupakan suatu grading up, yaitu keturunan hasil perkawinan itu kembali dikawinkan kembali dengan sapi ongole (Soeprapto, 2006). Sapi Peranakan Ongole (PO) pada tahun 1991 populasinya mencapai 4.600 .000 ekor, mendominasi jumlah sapi potong di Indonesia dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Akan tetapi telah terjadi penurunan yang drastis dan pada tahun 2001 populasi dilaporkan sebesar 874.000 ekor dan konsentrasi tetap di Pulau Jawa (Astuti, 2004). Sapi Peranakan Ongole (PO) mempunyai postur tubuh maupun bobot badan lebih kecil dibandingkan dengan sapi ongole. Warna bulu putih, abu – abu, kipas ekor (bulu cambuk ekor) dan bulu sekitar mata berwarna hitam, berbadan besar, gelambir longgar bergantung, punuk besar dan leher pendek, dan bertanduk pendek. Pertambahan bobot badan harian sangat tergantung dari jenis sapi. Angka nilai rata-rata yang pernah dilaporkan untuk pertambahan bobot badan harian prasapih sapi PO adalah 0,62 kg dan pascasapih 0,24 kg, untuk umur 4-12 bulan berkisar 0,34-0,37 kg, umur 13-24 bulan berkisar 0,31-0,40 kg, umur 2 tahun berkisar 0,44-0,91 kg, Sapi Bali sebesar 0,35 – 0,5 kg dan sapi Brahman sebesar 0,91 – 1,36 kg (Astuti, 2004). Data tersebut menunjukkan bahwa sapi PO mempunyai laju pertumbuhan yang cukup tinggi dibandingkan ternak sapi lokal lainnya. Secara komersial, sapi PO dapat dimanfaatkan sebagai ternak pedaging karena memiliki laju pertumbuhan yang cukup baik dan mempunyai kemampuan konsumsi yang cukup tinggi terhadap hijauan serta mudah pemeliharaannya. Berdasarkan hal tersebut maka sapi PO sangat cocok untuk dikembangbiakan sebagai ternak pedaging lokal guna memenuhi kebutuhan daging di Indonesia.
Murbei (Morus sp.) Menurut Sunanto (1997), murbei dikenal dengan nama umum sebagai besaran (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali), kertu (Sumatera Utara), gertu (Sulawesi), kitaoc (Sumatera Selatan), kitau (Lampung), moerbei (Belanda), 11
mulberry (Inggris), gelsa (Italia) dan murles (Perancis). Berdasarkan morfologi bunga genus Morus dipilah-pilah menjadi 24 jenis yang kemudian ditambah dengan lima jenis lagi. Murbei pada dasarnya mempunyai bunga kelamin tunggal, meskipun kadang-kadang juga berkelamin rangkap (Atmosoedarjo et al., 2000).
Gambar 1. Daun murbei (Morus sp.) http://www.fruitcity.co.uk/mulberry-morus/ Berdasarkan sistematika tanaman
murbei (Morus spp.)
mempunyai
penggolongan sebagai berikut (Sunanto, 1997) : Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Urticalis
Famili
: Moreceae
Genus
: Morus
Spesies
: Morus sp
Tanaman murbei berbentuk semak (perdu) yang tingginya sekitar 5-6 m, dapat juga berbentuk pohon yang tingginya dapat mencapai 20-25 m. Curah hujan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman murbei antara 635-2500 mm per tahun dengan suhu optimal antara 23,9 0C dan 26,6 0C, tetapi umumnya tanaman murbei dapat tumbuh baik dengan suhu minimum 13 0C dan suhu maksimum 38 0C. Adaptasi tumbuh tanaman murbei relatif baik. Tanaman ini dapat tumbuh pada lokasi dengan variasi suhu, pH tanah, dan ketinggian dari permukaan laut yang sangat 12
besar. Oleh karena itu, tanaman ini mudah dikembangkan untuk kebutuhan lain, seperti sebagai sumber pakan ternak. Tabel 1. Luas Areal Tanaman Murbei di Indonesia (ha) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Propinsi Nangroe Aceh Darusalam Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jawa Barat Banten Jawa Tengah D. I. Yogyakarta Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur DKI Jakarta Dll Jumlah/Total
2000 140,0 868,0 2.029,0 584,0 584,0 530,0 122,0 5.270,0 -
2001 140,0 868,0 2.992,0 941,3 313,6 540,0 122,0 6588,2 25,0 20,0 -
2002 140,0 868,0 2.992,0 941,3 483,5 540,0 122,0 6.037,7 25,0 20,0 -
2003 140,0 868,0 2.992,0 941,3 496,2 540,0 122,0 4.216,3 25,0 20,0 -
2004** 140,0 3,5 2.992,0 941,3 496,2 540,0 122,0 4.184,5 25,0 20,0 -
10.127,0
12.581,5
12.198,4
10.338,7
9.492,5
Sumber: Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (2005) Keterangan: (-)= Tidak Ada Kegiatan; **)= Angka Berdasarkan Laporan s/d Juli 2005
Tabel 1. tersaji data luas areal tanaman murbei beberapa propinsi di Indonesia. Sulawesi Selatan dan Jawa Barat adalah dua wilayah yang memiliki luas areal tanaman murbei di Indonesia, hal ini berkaitan dengan pemeliharaan ulat sutera, dimana murbei merupakan pakan utama dari hewan tersebut (Deptan, 2001). Sampai tahun 2004, areal tanaman murbei di Indonesia baru seluas ±10.000 ha, jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain, misalnya Jepang seluas 14.884 ha (Machii et al. 2002), Brazil seluas 37.745 ha (Almeida & Fonseca 2002), Thailand seluas 35.000 ha, bahkan India dan Cina masing-masing mencapai 280.000 dan 626.000 ha (Sanchez 2002). Martin et al. (2002) melaporkan produksi biomassa murbei dengan interval depoliasi 90 hari akan mencapai 25 ton BK/ha/thn dan produksi daun sebesar 16 ton BK/ha/thn, sedangkan Boschini (2002) melaporkan produksi daun sebesar 19 ton BK/ha/tahun. Potensi produksi tersebut lebih tinggi dibanding dengan leguminosa lain seperti gamal (Gliricidia sepium) dengan potensi produksi sebesar 7-9 ton 13
BK/ha/tahun (Horne et al., 1995) dan lamtoro mini (Desmanthus virgatus) dengan potensi produksi sebesar 7,1 – 7,6 ton BK/ha/tahun (Hopkinson, 2004). Menurut Prawerti (1995) bahwa di Indonesia dikenal beberapa spesies murbei yang potensial untuk pakan ulat sutera atau sumber bahan baku pakan ayam, antara lain Morus cathayana A., Morus multicaulis P., Morus nigra L., Morus australis P., dan Morus alba L. Komposisi kimia dari lima jenis daun murbei dapat dilihat pada Tabel 2. Diantara semua jenis tersebut Morus alba merupakan jenis murbei yang banyak digunakan karena kandungan nutrisinya yang baik. Daun murbei memiliki palatabilitas yang cukup tinggi, dapat digunakan sebagai pakan hewan herbivora dan monogastrik serta bahan obat-obatan. Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Lima Jenis Daun Murbei Komposisi Kimia
Jenis Murbei Morus Morus multicaulis cathayana 77.11 79.55
Air (%)
Morus alba 84.28
Morus Nigra 83.17
Morus australis 83.89
Protein Kasar (%)
20.15
20.06
15.51
18.53
19.44
Serat Kasar (%)
13.27
16.19
12.55
12.89
12.82
Lemak Kasar (%)
3.62
3.63
3.64
3.69
4.10
Abu (%)
10.58
10.77
14.46
14.84
10.63
Karbohidrat (%)
39.20
35.94
42.84
38.43
41.80
Fosfor (%)
0.44
0.31
0.30
0.36
0.45
Sumber : Samsijah (1992)
Tabel 2 memperlihatkan daun murbei memiliki kandungan 15.51 – 20.15% PK, 12.55 – 16.19% SK. Kandungan nutrien daun murbei meliputi 22-23% PK, 1218% mineral, 35% ADF, 45.6% NDF, 10-40% hemiselulosa, 21.8% selulosa (Datta et al. 2002). Sedangkan menurut Machii et al. (2000) kandungan protein kasar daun murbei sebesar 20.4% merupakan salah satu indikator bahwa daun murbei memiliki kualitas yang baik sebagai bahan pakan. Kualitas daun murbei yang tinggi juga ditandai oleh kandungan asam aminonya yang lengkap. Pada daun murbei juga teridentifikasi adanya asam askorbat, karotene, vitamin B1, asam folat dan Pro vitamin D (Singh, 2002).
14
Daun murbei merupakan pakan alami bagi ulat sutera (Bombxy mori L) dan sampai saat ini belum ada penggantinya. Daun murbei mengandung suatu zat perangsang, yaitu glukosida. Glukosida adalah sejenis zat yang mampu merangsang ulat sutera untuk mengenali pakannya. Zat perangsang tersebut tidak terdapat pada tumbuhan lain, sehingga menyebabkan ulat sutera akan menolak memakan tumbuhan lain (Ekastuti, 2005). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) daun tanaman murbei mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan ulat sutera, yaitu air, protein, asam amino, senyawa N yang bukan protein, karbohidrat, lemak, mineral serta vitamin. Protein pakan sangat penting dalam pembentukan fiborin yang menyusun serat sutera. Kandungan protein kasar daun murbei (22-23%) lebih tinggi dibandingkan hijauan lainnya seperti rumput raja (8,2%), star grass (8,9%), alfalfa (17%), rumput gajah (9%) (Boschini, 2002). Sedangkan bila dibandingkan dengan legum Leucaena yang mengandung protein kasar sebesar 21,5% (yulistiani, 2008) maka jika dilihat dari kadar protein, murbei dapat digunakan sebagai pengganti legum. Kandungan tanin daun murbei sebesar 0,85% (Datta et al. 2002), nilai yang sangat kecil untuk berpotensi mengikat protein dibandingkan dengan daun kaliandra yang mengandung tanin sebesar 11,3% (Makkar, 1993) dan Leucaena leucocephala sebesar 13,9% (Yulistiani, 2008). Belum dilaporkan adanya dampak senyawa aktif yang terdapat pada daun murbei terhadap produktivitas ternak. Kadar tanin di atas 5% dapat menurunkan degradasi protein, N amonia, dan kecernaan serat (Makkar, 1993). Komposisi nutrien yang lengkap serta produksi daun yang tinggi, menjadikan tanaman murbei potensial dijadikan bahan pakan ternak, menggantikan konsentrat khususnya untuk ternak ruminansia (Doran et al. 2006; Shayo, 2002; Makkar dan Singh, 2002; Boschini, 2002). Jerami Padi Jerami padi merupakan bagian dari batang tumbuhan tanpa akar yang tertinggal setelah dipanen butir buahnya (Shiddieqy, 2005). Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat potensial sebagai sumber energi untuk ternak ruminansia, karena produksi jerami padi sangat banyak dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Deptan (2001), produksi padi tahun 2000 sebanyak 50.866.387 ton, bila diasumsikan jumlah jerami padi adalah 50% dari produksi padi yang dihasilkan pada 15
tahun yang sama sebanyak 25.433.194 ton. Dari jumlah tersebut baru sekitar 7,8% yang sudah dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Jerami padi merupakan bahan pakan herbivora yang tergolong bahan pakan yang berkualitas rendah antara lain karena dinding selnya tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan silika (Budiman, 2007). Penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak mengalami kendala terutama disebabkan adanya faktor pembatas dengan nilai nutrisi yang rendah yaitu kandungan protein rendah, serat kasar tinggi, serta kecernaan rendah. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan baru mencapai 3139%, sedangkan yang dibakar atau dikembalikan ke tanah sebagai pupuk 36-62%, dan sekitar 7-16% digunakan untuk keperluan industri (Syamsu, 2007). Tabel 3. Komposisi Jerami Padi Komponen
Selly (1994)
Laconi (1992)
Sofyan (2004)
Bahan kering (%)
89,41
100
100
Bahan organik (%)
78,96
78,27
-
Abu (%)
-
21,73
-
Serat kasar (%)
-
30,80
35,1
3,35
3,53
6,95
-
-
33
Silika (%)
18,32
18,32
16
Protein kasar (%)
7,72
6,63
4,2
Lignin (%) Selulosa (%)
Daya cerna yang rendah dari jerami padi akibat struktur jaringan penyangga tanaman yang sudah tua. Jaringan tanaman ini sudah mengalami proses lignifikasi, terjadi lignoselulosa dan ligno-hemiselulosa yang sulit dicerna (Shiddieqy, 2005). Menurut Suminar (2005), lignin merupakan faktor yang lebih banyak mempengaruhi rendahnya daya cerna dari jerami tanaman pada umumnya, sedangkan pada jerami padi rendahnya daya cerna disebabkan oleh tingginya kandungan silika. Lignifikasi dan silifikasi bersama-sama mempengaruhi rendahnya daya cerna jerami padi. Kandungan NH3 yang terdapat pada jerami padi sebesar 4.89 mM dan VFA sebesar 49.26 mM. Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) sebesar 20.97% dan KCBO 20.1% (Selly, 1994). Menurut Arinong (2003), kandungan silika pada jerami padi sebesar 13,5 % sedangkan pada jerami lain sebesar 3 – 5 %. Berbeda halnya 16
dengan kandungan lignin, dimana lignin jerami padi sebesar 4,9 %, sedangkan jerami lain sebesar 10 – 12 %. Jerami padi dalam keadaan segar relatif lebih hijau, mempunyai kadar air, palatabilitas dan kecernaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah kering dan bertumpuk (Suminar, 2005). Upaya peningkatan nilai pakan jerami padi sebagai pakan ternak antara lain dengan penambahan pakan konsentrat, penambahan sumber protein yang berupa tanaman leguminosa dan atau dengan perlakuan biologis, fisik maupun kimia (Yulistiani et al., 2003). Daryanti et al. (2002) melaporkan, penggemukan sapi PO yang memperoleh ransum dasar jerami padi teramoniasi dengan tambahan konsentrat 4 kg/ekor/hari, menghasilkan pertambahan berat badan ternak sebesar 717 g/ekor/hari. Senyawa 1-Deoxynojirimycin Senyawa deoxynojirimycins (DNJ) merupakan kumpulan stereokimia dari monosakarida yang memiliki potensi menghambat ceramid glukosyltransferase dan (α, β) glukosidase secara spesifik (Mellor, 2002). Menurut Oku et al. (2006) derivat DNJ berupa D-glukosa mampu menghambat α-glukosidase usus dan α-glukosidase pankreas, sehingga DNJ dapat menghambat hidrolisis oligosakarida. Komponen penghambat tersebut tersebar dalam daun dan akar murbei. Pertama kali deoxynojirimycin diisolasi dari akar tanaman murbei pada tahun 1976 dan diberi nama moroline. Senyawa ini ditemukan terdapat pada tanaman murbei sebanyak 0.24% (Oku et al., 2006) dan diketahui dapat menekan kadar glukosa darah, sehingga dapat mencegah diabetes (Kimura et al., 2004).
CH2OH
CH3
OH OH
OH
Gambar 2. Struktur Bangun 1-Deoxynojirimycin http://www.biochemj.org/bj/imps_x/pdf/BJ20031822.pdf
17
Senyawa
DNJ
bekerja
secara
spesifik
dalam
menghambat
proses
glikogenesis, dalam memecah oligosakarida (Gross et al., 1983). DNJ berperan sebagai penghambat glukosidase yang kompetitif, yaitu berkompetisi dengan substrat melekat pada sisi aktif enzim glukosidase selama proses katalisis berlangsung oleh enzim (Hettkamp et al., 1984). Struktur bangun senyawa 1-DNJ (C6H13NO4) dapat dilihat pada Gambar 2. Komponen daun murbei seperti DNJ, α-arylbenzofuran alkaloid menghambat aktivitas α-glukosidase dalam usus kecil dan juga mencegah hidrolisis disakarida menjadi monosakarida (Yatsunami et al., 2003; Arai et al., 1998). Hock dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas αglukosidase dalam usus halus secara kompetitif sehingga pemecahan ikatan glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida lebih lambat. Hal ini menyebabkan sel tidak memperoleh energi yang cukup dalam bentuk monosakarida, sehingga terjadi perombakan cadangan glikogen dalam tubuh yang menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan. Konsumsi Protein Protein adalah senyawa organik kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida (lemak), protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein mempunyai kelebihan, yaitu mengandung nitrogen dan sulfur (Tillman et al.,1998). Protein ditemukan di semua makhluk hidup, yang secara dekat berhubungan dengan semua tahap aktivitas yang membantu kehidupan makhluk hidup. Tiap spesies mempunyai jenis protein sendiri dan organisme tunggal mempunyai banyak protein berbeda pada sel dan jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar protein terdapat di alam (McDonald et al., 1995). Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi protein hidup pokok dan produksi (bulu, pertumbuhan, reproduksi dan laktasi) yang memerlukan kualitas protein yang baik dengan jumlah yang cukup. Anggorodi (1995) menambahkan bahwa protein juga berperan dalam perbaikan jaringan tubuh, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme energi, metabolisme ke dalam zat-zat vital dalam fungsi tubuh dan sebagai enzim-enzim yang esensial bagi tubuh. Menurut 18
NRC (1984), kebutuhan protein kasar untuk sapi pedaging jantan dengan BB 200 250 kg dan PBB 0,5 – 1,1 kg adalah sebanyak 554 – 782 gram. Daun murbei dapat digunakan sebagai sumber protein bagi ruminansia karena mengandung protein yang tinggi, serat yang rendah dan palatabilitasnya yang tinggi sehingga konsumsi ternak meningkat (Yulistiani, 2008). Kecernaan Protein Protein adalah senyawa organik kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Seperti halnya karbohidrat dan lipida (lemak), protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi protein mempunyai kelebihan, yaitu mengandung nitrogen dan sulfur (Tillman et al.,1998). Protein ditemukan di semua makhluk hidup, yang secara dekat berhubungan dengan semua tahap aktivitas yang membantu kehidupan makhluk hidup. Tiap spesies mempunyai jenis protein sendiri dan organisme tunggal mempunyai banyak protein berbeda pada sel dan jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar protein terdapat di alam (McDonald et al., 1995). Daya cerna protein kasar akan tertekan dengan meningkatnya kadar serat kasar dalam ransum, tetapi kecernaan protein akan meningkat apabila tingkat protein dalam ransum baik. Sebaliknya koefisien cerna protein juga bisa menurun dengan semakin banyaknya N feses yang dikeluarkan (Nasution, 1984). Kecernaan protein kasar juga dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein kasar dalam ransum (Gracia et al., 1993). Faktor lain mempengaruhi kecernaan yaitu kandungan tanin dan lignin dalam ransum. Tanin dapat berikatan dengan membentuk ikantan kompleks protein-tanin, sehingga protein sulit dicerna oleh mikroba. Efisiensi penggunaan nitrogen meningkat dengan semakin meningkatnya suplai asam amino ke duodenum. Asupan asam amino tersebut berasal dari mikroba rumen dan protein yang tidak didegradasi oleh mikroba. rumen (protein bypass). Mikroba rumen merupakan sumber protein yang berkualitas sangat baik, tetapi jumlahnya tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi. Protein bypass dapat meningkatkan jumlah protein dan ketersediaan asam amino untuk dicerna dan diserap oleh usus untuk mendukung produksi ternak (Henson et al., 1997). Protein pakan sebagian mengalami degradasi di dalam rumen menghasilkan amonia sebagai sumber nitrogen bagi sebagian besar mikroba rumen 19
untuk sintesis protein tubuhnya. Sementara itu, sebagian lain yang lolos dari degradasi mikroba rumen dapat dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen untuk diserap. Berbagai bahan sumber protein dengan kadar protein berbeda mempunyai karakteristik yang bermacam-macam. Pada ruminansia, kualitas protein lebih ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat diserap. Singh (2002) melaporkan bahwa degradabilitas protein murbei mencapai 95%. Menurut Makkar (1993) kecernaan protein untuk daun murbei berkisar antara 54.9% sampai 93.4%. Retensi Nitrogen Efisiensi penggunaan protein adalah banyaknya protein yang dapat diretensi oleh ternak dan digunakan untuk pertumbuhan atau produksi. Perhitungan nilai retensi protein dilakukan untuk mngetahui nilai kecernaan protein suatu bahan makanan. Dalam perhitungan retensi dapat diduga dari retensi nitrogen suatu bahan pakan. Menurut NRC (1994), retensi nitrogen untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik adalah berbeda. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan menbgakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen dan energi dibanding terjak yang tidak meretensi nitrogen, tingkat retensi nitrogen tergantung pada konsumsi nitrogen dan energi metabolis ransum, namun peningkatan energi metabolis ransum tidak selalu diikuti peningkatan retensi nitrogen (Wahju, 2004). Meningkatnya konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen tetapi tidak selalu disertai dengan peningkatan bobot badan bila energi ransum rendah. Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Retensi nitrogen merupakan selisih dari konsumsi nitrogen dengan ekskresi nitrogen melalui feses dan urin yang dapat digambarkan melalui persamaan : RN = NK – (NF + NU); dimana RN = neraca nitrogen, NK = konsumsi nitrogen, NF = nitrogen feses, NU = nitrogen urin (Maynard dan Loosli, 1969). Neraca nitrogen dapat bernilai positif, negatif, atau seimbang (nol). Neraca nitrogen positif bila jumlah nitrogen yang keluar melalui urin dan feses lebih sedikit 20
dari yang dikonsumsi, dalam hal ini ternak mengalami pertambahan bobot badan karena terjadi penambahan pada tenunan urat dagingnya. Neraca nitrogen negatif bila jumlah nitrogen yang keluar melalui urin dan feses lebih banyak dari yang dikonsumsi, dalam hal ini ternak mengalami penurunan bobot badan karena terjadi suatu kehilangan nitrogen jaringan melalui katabolisme sebagai akibat nitrogen yang dimakan tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak. Neraca nitrogen seimbang (nol) bila jumlah nitrogen yang dikonsumsi sama dengan jumlah nitrogen yang dikeluarkan melalui urin dan feses, jadi nitrogen yang dimakan hanya untuk hidup pokok saja (Crampton dan Harris, 1969; Maynard dan Loosli, 1969). Faktor yang mempengaruhi neraca nitrogen antara lain energi ransum, kualitas protein dan konsumsi protein (nitrogen). Meningkatnya energi ransum akan diikuti oleh meningkatnya retensi nitrogen, tetapi nitrogen, tetapi pengaruh ini akan lebih besar jika ransum tersebut mengandung protein berkualitas baik (Boorman, 1980). Amonia (NH3) Amonia merupakan hasil perombakan protein pakan menjadi peptida dan asam amino oleh mikroba rumen dan hidrolisisurea (Perry et al., 2003). Menurut Sakinah (2005), amonia tersebut digunakan oleh mikroba sebagai sumber nitrogen utama untuk sintesis protein mikroba. Pertumbuhan mikroba rumen dapat mencapai optimum apabila jumlah protein asal pakan yang terdegradasi dalam rumen sekitar 14-15% BK (Rimbawanto, 2001). Produksi NH3 tergantung pada kelarutan protein ransum jumlah protein ransum, lamanya makanan di dalam rumen, dan pH rumen. Arora (1989) menyatakan bahwa produksi amonia dalam rumen sangat tergantung sifat protein pakan untuk didegradasi oleh mikroba rumen. Proporsi protein pakan yang masuk ke dalam tubuh perlu diatur untuk menghindari adanya produksi amonia berlebih. Amonia yang melebihi 5 mg% akan diserap dan disekresikan dalam urine. Menurut McDonald et al. (2002), proporsi protein pakan yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen maupun ternak terdiri atas protein yang mudah didegradasi sebesar 70-80% dan 30-40% berupa protein yang lebih sulit didegradasi. Protein yang mudah larut dapat berasal dari pakan hijauan yang kaya akan protein, pakan bentuk bungkil, dan bijian. 21
Konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba dan menghasilkan konsentrasi amonia masing-masing sebesar 17.8; 21.3 dan 23.0 mg/100 ml. Volatile Fatty Acid (VFA) Volatile Fatty Acid (VFA) yang biasa disebut asam lemak terbang merupakan salah satu produk fermentasi karbohidrat di dalam rumen yang menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia, dan dapat menyumbang 55-60% dari kebutuhan energi. Konsentrasi VFA pada cairan rumen dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukur fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen. Tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa, dan pentosa. Selanjutnya, gula sederhana tersebut dipecah menjadi asam asetat, asam propionat, asam butirat, CO2, dan CH4 (McDonald et al., 2002). Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, dan butirat dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 65% asetat, 20% propionat, dan 5% valerat. VFA kemudian diserap melalui dinding rumen melalui penonjolanpenonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung di retikulo-rumen masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya sekitar 5% diserap di usus halus (McDonald et al., 2002). VFA ini penting untuk pertumbuhan mikroorganisme yang membantu mencerna serat kasar dalam rumen serta sebagai sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sakinah, 2005). VFA total menunjukkan jumlah pakan (terutama karbohidrat yang merupakan prekursor VFA total) yang difermentasikan oleh mikroba rumen. Produksi VFA total yang dihasilkan dalam 22
rumen sangat bervariasi tergantung pada ransum yang dikonsumsi dan lama waktu setelah makan yaitu antara 70-150 mM (McDonald et al., 2002). Kadar VFA yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan optimal rumen adalah 80-160 mM (Sutardi, 1980). Menurut penelitian yang dilakukan Sakinah (2005), semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya. Total VFA yang diperoleh pada penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan urea-dedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi masing-masing sebesar 120.3; 106.6 dan 105.9 mM. Alantoin urin Alantoin, asam urat, xanthin dan hipoxanthin merupakan produk degradasi purin yang dapat dideteksi dalam urin. Alantoin mempunyai rumus kimia C4H6N4O3 dan nama IUPAC (2,5-Dioxo-4-imidazolidinyl) urea. Alantoin dalam urin dapat mengestimasi besarnya penyedia protein mikroba rumen terhadap induk semangnya (Chen et al., 1992). Jika ekskresi alantoin dalam urin tinggi sebagai indikasi bahwa protein banyak yang diserap oleh mikroba rumen dan terjadi proses katabolisme. Meningkatnya pertumbuhan bakteri rumen tercermin pula dari meningkatnya sintesis protein mikroba. Pengukuran parameter alantoin dapat menggambarkan nilai hayati protein pakan untuk ternak ruminansia (Laconi, 1998).
Gambar 3. Struktur kimia alantoin [http://en.wikipedia.org/wiki/Alantoin]
23
Metode yang dapat digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikroba adalah melalui derivat purin yang diekskresikan melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi dikonversikan menjadi derivat purin yaitu berupa asam urat dan alantoin. Purin yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin mikroba yang diabsorbsi. Diasumsikan ratio protein dan purin konstan dalam populasi mikroba, maka ekskresi derivat purin digunakan sebagai index untuk menentukan protein mikroba (Chen et al., 1990; Singh et al., 2007). Menurut Laconi (1998), ekskresi alantoin dalam urin berkisar antara 2.85 – 5.10 g/h, sedangkan menurut Erwanto (1993), ekskresi alantoin urin mempunyai nilai antara 2.41 – 5.81 g/h pada sapi dewasa dengan ransum yang mengalami defaunasi dan suplementasi sulfur. Kadar alantoin yang didapat pada umumnya 2.13 mmol hari-1. Suplai protein meningkat seiring dengan meningkatnya kadar alantoin. Ekskresi alantoin berbanding lurus dengan alantoin mikroba rumen yang diserap, jika diasumsikan perbandingan protein dengan alantoin dalam populasi mikroba rumen adalah tetap. Sintesis protein mikroba rumen dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Y = 1.995 + 3.8799 X (Chen et al., 1992). Ekskresi alantoin urin yang diperoleh pada penelitian Yulistiani (2008) yang menguji ransum T0 (jerami padi dan murbei), T1 (jerami padi, murbei dan ureadedak padi) dan T2 (jerami padi dan urea-dedak padi) pada ternak domba menghasilkan konsentrasi masing-masing sebesar 0.83; 0.82 dan 0.88 g/h.
24