IDENTIFIKASI PARASITOID DAN PREDATOR KUTU KEBUL PADA TANAMAN MURBEI (Morus sp)
LINCAH ANDADARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Identifikasi Parasitoid dan Predator Kutu Kebul pada Tanaman Murbei (Morus sp) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2009 Lincah Andadari NIM E451070124
ABSTRACT
LINCAH ANDADARI. Study on The Identification of Parasitoids and Predators of White fly on Mulberry Plant (Morus sp). Under direction of BAMBANG HERO SAHARJO and KASNO Study on The Identification of Parasitoids and Predators of White Fly on Mulberry Plant was conducted at Bogor, Sukabumi and Tasikmalaya as well as Pati and Candiroto on sericulture developing centers of West Java and Central Java, respectively. The main objectives of the study were to confirm the species of white fly and also to confirm whether there is any parasitoid as well as predator attacking the pest in all the study sites. To achieve the targeted output of the study the following methods were conducted. The collected whiteflies from all study sites were send to entomological laboratory of Bogor Agriculture University, while the collected parasitoids and predator were send to National Entomological Museum at Bogor. To proof an insect to be parasitoid of the whitefly, in captive method was practiced. While to proof an insect to be predator of the fly, the bait method was practiced. The result of the study showed that white attacking mulberry plant at study sites is Trialeurodes vaporarium Martin. There are four species parasitoids namely Ceraphronid, Scelionid, Eucoilid and Eulophid and four species of predacious Coccinelid namely Serangium spp and Micraspis sp. Keywords: Morus plant, parasitoid, predator, whitefly
RINGKASAN LINCAH ANDADARI. Identifikasi Parasitoid dan Predator Kutu Kebul pada Tanaman Murbei (Morus sp). Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO and KASNO. Persuteraan alam merupakan kegiatan agroindustri dengan rangkaian kegiatan yang meliputi pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pengolahan kokon, pemintalan dan pertenunan. Keberhasilan usaha persuteraan alam, utamanya sangat ditentukan oleh usaha penyediaan daun murbei sebagai pakan ulat sutera (Bombyx mori L.) dalam jumlah dengan mutu yang baik Kualitas dan kuantitas daun murbei berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat dan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan. Pada kenyataannya di lapangan, tanaman murbei (Morus sp.) tidak bebas dari serangan beberapa macam hama, antara lain hama yang menyerang daun. Konsekuensinya, produksi dan mutu daun menurun dan akan mempengaruhi kesehatan ulat sutera, sehingga dampaknya akan berpengaruh terhadap mutu kokon yang dihasilkan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi benang sutera yang dihasilkan. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan di lapangan, salah satu jenis hama yang selama ini dinilai penting adalah kutu kebul. Serangan kutu kebul pada tanaman murbei terjadi secara fluktuatif merata hampir di semua daerah pengembangan sutera di Jawa dan Sumatera Barat. Serangan kutu kebul biasanya terjadi dalam musim hujan sampai dengan pertengahan musim kemarau. Inventarisasi parasitoid dan predator kutu kebul dilaksanakan pada awal bulan Agustus tahun 2008 sampai April tahun 2009 pada tanaman murbei di Pati, Candiroto, Kabandungan Sukabumi, Tasikmalaya dan di kebun Dramaga, Pusat Penelitian dan Pengembanagn Hutan dan Konsevasi Alam, Bogor. Pengamatan dengan menggunakan mikroskop dilaksanakan di Laboratorium Sutera alam Ciomas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konsevasi Alam, Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik Sampling Acak Berlapis (SAB) yang sampelnya diperoleh dengan cara sebagai berikut: Populasi dibagi menjadi populasi yang lebih kecil yang disebut stratum. Stratum pertama batas luar murbei (non murbei), stratum kedua blok murbei, stratum ketiga pertengahan blok murbei yang berarti terdapat tiga stratum. Setiap stratum kemudian diambil sampel secara acak tapi presentatif sama di setiap daerah percobaan dan dibuat perkiraan untuk mewakili stratum yang bersangkutan (dapat diketahui rata-rata dan keragaman kutu kebul, parasitoid dan predator dari masingmasing stratum). Inventarisasi parasitoid dan predator kutu kebul dilaksanakan di lahan murbei petani di daerah Pati, Candiroto, kabandungan (Sukabumi), Tasikmalaya, dan dua lokasi di Bogor yaitu Sukamantri serta Dramaga. Waktu pengamatan untuk daerah Pati dan Candiroto dilakukan pada bulan Agustus dan September tahun 2008, sedangkan lokasi lain dilaksanakan pada bulan Maret dan April Tahun 2009. Pengamatan parasitoid, pada setiap blok pengamatan dilakukan pengambilan
sejumlah daun yang menampakkan gejala nimfa terparasit. Pengambilan sampel pada daun murbei dilakukan secara acak. Tiap tanaman yang terpilih diambil 10 daun yang menampakkan gejala nimfa terparasit dan setiap blok pengamatan dipilih sepuluh tanaman sehingga terdapat 120 daun yang berisi kelompok nimfa kutu kebul yang terparasit. Pengamatan dilakukan dilakuan dengan interval satu minggu setelah pemasangan sungkup. Daun yang disungkup dipotong dan dibawa ke laboratorium untuk diamati dibawah mikroskop, parasitoid yang diketemukan kemudian diidentifikasi sampai tingkat familia. Tingkat parasitisasi ditentukan dengan menghitung jumlah nimfa yang menunjukkan gejala terpasit dibagi jumlah populasi kutu kebul yang terdapat di daun ( jumlah keseluruhan dari telur, nimfa normal dan nimfa terparasit dan pupa). Pengambilan predator dan pengamatan populasi kutu kebul dilakukan dengan menggunakan jaring serangga pada tanaman murbei. Penjaringan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 sampai 10.00 yang merupakan waktu aktif kutu kebul. Pada setiap lokasi, pengamatan dilakukan dengan 10 kali ayunan jaring ke kiri dan ke kanan, pada sepuluh titik dalam setiap stratum yang berarti melakukan 100 ayunan pada setiap stratum. Uji pemangsaan dilakukan dengan cara memasukkan seekor serangga yang dianggap predator ke dalam wadah plastik berkasa yang berukuran diameter 11,6 cm dan tinggi 6,7 cm yang telah berisi lima ekor nimfa kutu kebul instar 2 atau 3. Sebelum perlakuan, serangga yang dianggap predator dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam. Pengamatan dilakukan 24 jam kemudian dengan mengamati jumlah nimfa yang dimakan. Uji pemangsaan ini dilakukan dengan 10 ulangan. Inventarisasi kutu kebul pada tanaman murbei dan sekitarnya hanya menemukan satu spesies kutu kebul yaitu Trialeurodes vaporariorum. Hasil tersebut tidak menunjukkan adanya populasi campuran (mix population) antara beberapa spesies kutu kebul. Pengambilan contoh pada setiap lokasi (Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Candiroto dan Pati) hanya menemukan satu spesies kutu kebul. Parasitoid yang muncul pada populasi T. vaporariorum, setelah diidentifikasi termasuk ordo Hymenoptera famili Ceraphronidae, Eucoilidae, Scelionidae dan Eulophidae. Ke tiga lokasi (Kabandungan, Tasikmalaya dan Sukamantri) tingkat parasitasi sangat rendah karena keadaan kebun murbei dalam kondisi yang bersih sehingga ketersediaan nektar sebagai pakan parasitoid tidak ada. Selain itu petani rutin melakukan pencegahan serangan hama yaitu dengan melakukan penyemprotan insektisida. Tingkat parasitasi yang relatif rendah di masing-masing lokasi kemungkinan dipengaruhi oleh cara budidaya tersebut. Tampaknya tingkat parasitisasi ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan bagi imago parasitoid. Uji pemangsaan di laboratorium selama 24 jam menunjukkan bahwa ke tiga spesies Coccinellidae yaitu Serangium sp1, Serangium sp2 dan Serangium sp3 dapat memangsa nimfa T. vaporariorum rata-rata 4,33 individu nimfa, sedangkan Micraspis sp dapat memangsa rata-rata 14,6 individu nimfa. Cara pemangsaan
Kata kunci : kutu kebul, murbei, parasitoid, predator, sutera alam
IDENTIFIKASI PARASITOID DAN PREDATOR KUTU KEBUL PADA TANAMAN MURBEI (Morus sp)
LINCAH ANDADARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSc
PRAKATA Pertama-tama, penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan kegiatan belajar di Program Pascasarjana IPB, serta dapat melaksanakan penelitian dan penulisan karya kecil berupa tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof.Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. Kasno, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan pengarahan sejak rencana penelitian, persiapan penelitian dan pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSc, selaku dosen penguji luar yang telah hadir pada ujian sidang dan telah banyak memberikan masukan selama penelitian. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf, Fakultas Kehutanan, khususnya Departemen Silvikultur beserta staf pengajar yang telah memberikan pelayanan akademik selama penulis belajar di IPB. Kepada Kepala Badan Penelitian Kehutanan yang telah memberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam yang telah memberikan beasiswa selama penulis mengikuti pendidikan, penulis sampaikan terimakasih yang sebanyakbanyaknya. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Mien Kaomini dan semua staf Laboratorium Disiplin Persuteraan Alam Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam, yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian dan Dr. Sih Kahono dari LIPI Cibinong serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, semoga Allah SWT membalas budi baik tersebut. Penghargaan dan hormat yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua keluarga atas do’a restu dan dorongan moril selama pendidikan berlangsung.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Akhirnya, kepada Yang Maha Kuasalah penulis berserah diri dan bertawakkal untuk mendapat ridho-Nya
Bogor, Juli 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Tawangmangu, 13 April 1963, dari ayah Ir. Rafiudin Achlil dan Ibu Yhan Suhermin. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Tahun 1983 penulis lulus SMA PGRI I Bogor dan pada tahun yang sama penulis masuk ke Universitas Pakuan Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi dan lulus tahun 1989. Pada akhir tahun 1989 sampai sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Sejak tahun 2006 penulis sebagai peneliti madya pada bidang Hasil Hutan Bukan Kayu. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Silvikultur, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan biaya dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
…………………………………………….
vi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….
vii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………..
1
Rumusan Masalah Penelitian …………………………….
2
Tujuan Penelitian …………………………………………
2
Hipotesis ………………………………………………….
2
Kegunaan Penelitian ………………………………………
2
TINJAUAN PUSTAKA Pakan ulat sutera (Morus sp) ……………………………..
3
Taksonomi kutu kebul …………………………………….
4
Gejala serangan kutu kebul ……………………………….
4
Musuh alami kutu kebul dan peranannya sebagai komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) …………..
5
METODE PENELITIAN Kerangka pemikiran ………………………………………
8
Lokasi dan waktu .............................................................
9
Prosedur Penelitian ……………………………………….
9
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ………………………………………………………
14
Pembahasan …………………………………...................
25
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..
31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….
32
LAMPIRAN ………………………………………………………
35
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Kondisi umum lokasi pengamatan ……………………………….
2.
Rata-rata tingkat parasitisasi tanaman murbei pada empat daerah pengamatan ………………………………………………………
3.
21
Ciri umum predator T. vaporariorum yang tampak secara langsung …………………………………………………………..
5.
21
Penyebaran parasitoid di empat lokasi pengembangan sutera selama pengamatan ………………………………………………
4.
14
Penyebaran dan jumlah
23
predator T. vaporariorum yang
tertangkap di enam lokasi pengamatan ……………………………
24
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran inventarisasi parasitoid dan predator kutu
8
kebul pada tanaman murbei ……………………………………. 2.
Denah plot percobaan ………………………………………….
10
3.
Tahapan stadia Trialeurodes vaporariorum …………………..
16
4.
Gejala serangan T. vaporariorum pada tanaman murbei ………
16
5.
Perkembangan populasi T. vaporariorum …………………….
17
6.
Ceraphronidae …………………………………………………..
18
7.
Scelionidae………………………………………………………
19
8.
Eucoilidae ………………………………………………………
19
9.
Eulophidae ……………………………………………………….
20
10.
Morfologi nimfa (yang normal dan yang terparasit) ……………
21
11.
Empat predator T. vaporariorum ……………………………….
22
12.
Kemampuan
makan
Coccinellidae
terhadap
nimfa
T.
vaporariorum ……………………………………………………………
24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Kegiatan penelitian: A) Pengamatan nimfa; B) Sungkup nimfa yang terparasit; C) Penjaringan serangga; D) Uji pemangsaan...
35
PENDAHULUAN Latar Belakang Persuteraan alam merupakan kegiatan agroindustri dengan rangkaian kegiatan yang meliputi pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pengolahan kokon, pemintalan dan pertenunan. Sutera alam yang berupa kokon atau benang bisa dikategorikan sebagai salah satu komoditi hasil hutan non kayu, jika sumber pakannya berasal dari tanaman murbei yang ditanam dalam kawasan hutan, dan tanaman murbei terbukti bisa digunakan sebagai sarana rehabilitasi lahan. Budidaya ulat sutera, memungkinkan masyarakat pelakunya dapat meningkatkan pendapatan karena kokon atau benang sutera mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Keberhasilan usaha persuteraan alam, utamanya sangat ditentukan oleh usaha penyediaan daun murbei sebagai pakan ulat sutera (Bombyx mori L.) dalam jumlah dengan mutu yang baik (Shimizu dan Tajima, 1972). Kualitas dan kuantitas daun murbei berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat dan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan (Kaomini, 2003). Menurut Ryu (1998) agar tercapai hasil produksi yang baik, maka ada beberapa macam faktor yang berpengaruh, yaitu : daun murbei dan tanahnya 38,2%, iklim 37,0%, cara pemeliharaan ulat 9,3%, jenis telur ulat sutera 4,2%, kualitas telur ulat sutera 3,1% dan faktor lain yang mempengaruhinya 8,2%. Pada kenyataannya di lapangan, tanaman murbei (Morus sp.) tidak bebas dari serangan beberapa macam hama, antara lain hama yang menyerang daun. Konsekuensinya, produksi dan mutu daun menurun dan akan mempengaruhi kesehatan ulat sutera, sehingga dampaknya akan berpengaruh terhadap mutu kokon yang dihasilkan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi benang sutera yang dihasilkan (Andadari, 2005). Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan, salah satu jenis hama yang selama ini dinilai penting adalah kutu kebul. Pengamatan sepintas di laboratorium dapat mengetahui jenis kutu kebul, yaitu Bemicia tabaci, famili Aleyrodidae yang
merupakan salah satu famili dari ordo Hemiptera yang umumnya dikenal dengan nama whitefly (Holmer and Gollsby, 2002) atau di Indonesia disebut sebagai “ kutu kebul”, hal ini disebabkan sayap dan tubuh imago serangga ini tertutup oleh tepung putih. Serangga ini menghasilkan embun madu seperti halnya kutu putih (Hemiptera: Pseudococcidae) atau kutu tempurung (Hemiptera: Coccidae), tetapi tidak pernah didatangi semut. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya duri atau lilin yang menutupinya (Kalshoven, 1981). Pada umumnya kerugian yang ditimbulkan berkisar antara 30 dan 100%. Serangan kutu kebul pada tanaman murbei terjadi secara fluktuatif merata hampir di semua daerah pengembangan sutera di Jawa dan Sumatera Barat. Serangan kutu kebul biasanya terjadi dalam musim hujan sampai dengan pertengahan musim kemarau.
Rumusan Masalah Penelitian Masalah yang ingin dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah: 1) Apa spesies kutu kebul pada tanaman murbei di daerah pengembangan sutera di Jawa Barat dan Jawa Tengah 2) Apa spesies parasitoid dan predator kutu kebul pada tanaman murbei Tujuan Penelitian Mengidentifikasi kutu kebul dan mengidentifikasi musuh alami (parasitoid dan predatornya) yang ditemukan pada tanaman murbei serta mengenali karakter habitat parasitoid dan predatornya.
Hipotesis 1. Terdapat beberapa spesies kutu kebul pada tanaman murbei 2. Terdapat parasitoid dan predator kutu kebul pada tanaman murbei
Kegunaan Penelitian Menyediakan informasi (data) dasar untuk pengembangan strategi pengendalian kutu kebul secara hayati.
TINJAUAN PUSTAKA Pakan ulat sutera (Morus spp.)
Pakan alami ulat sutera (Bombyx mori L.) yaitu daun murbei (Morus spp.), penyebarannya sangat luas, dapat tumbuh mulai dari sub tropis sampai dengan daerah tropis, di dataran rendah ataupun dataran tinggi (Shimizu and Tajima, 1972). Murbei digolongkan ke dalam: Divisi: Spermatophyta, Subdivisi : Angiospermae, Klas: Dicotyledonae, Ordo : Urticalis, Family : Moraceae, Genus: Morus, Spesies: Morus sp. (Atmosoedarjo et al., 2000) Daun murbei mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan larva ulat sutera, seperti: air, protein, asam-asam amino, senyawa N bukan protein, karbohidrat, lemak, mineral serta vitamin. Komponen protein daun murbei meliputi globulin, prolamin dan albumin; sedangkan asam-asam aminonya meliputi alanin, valin, leusin, lisin, asam aspartat, glisina, arginina, asam glutamat, fenilalanina, prolina, oksiprolina, tirosina, sisteina serta sistina. Komponen karbohidrat seperti glukosa, fruktosa, sukrosa, dekstrin, pati, maltose dan pektin (Katsumata, 1975) Karbohidrat dalam daun murbei merupakan sumber energi, sedangkan protein terutama dibutuhkan dalam proses sintesa dalam tubuh ulat sutera (Chapman, 1982). Selain itu protein juga sangat penting dalam pembentukan fibroin yang menyusun serat sutera (Katsumata, 1975). Ada berbagai jenis murbei yang dikenal di Indonesia : M. alba, M. nigra, M. australis, M. cathayana, M. multicaulis. Jenis BNK-1, BNK-2 (persilangan antara M.
nigra dengan Kokuso) terus dikembangkan untuk daerah Sulawesi Selatan
(Darsidi, 1993). Di daerah Bogor M. muticaulis var. Kokuso dan M. alba var. Kanva-2 memberikan pertumbuhan yang baik dan produksi tinggi serta tahan terhadap kondisi kering terlihat dari kecilnya penurunan produksi pada musim kemarau (Andadari, 2003), di daerah Sukabumi: M. multicaulis, M. cathayana, dan M. alba (Samsijah, 1992).
Menurut Atmosoedarjo et al., (2000) seperti tanaman pertanian lainnya, tanaman murbei tidak luput dari serangan hama, antara lain hama yang menyerang daun terutama hama pucuk yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar air dan nutrisi pada daun murbei yang berpengaruh negatif terhadap pemeliharaan ulat sutera, menyebabkan pertumbuhan ulat menjadi lemah karena kurang daya tahannya terhadap penyakit. Taksonomi Kutu Kebul
Kutu kebul adalah serangga yang termasuk dalam family Aleyrodidae, termasuk sub ordo Sternorryhyncha, ordo Hemiptera. Family Aleyrodidae terdiri dari dua sub Family yaitu Aleurodicinae dan Aleyrodinae (Martin, 1987). Spesies-spesies dari family Aleyrodidae dapat merupakan hama yang serius dan menyebabkan penyakit virus pada lebih dari 20 spesies tanaman antara lain kacang panjang, kacang kedelai, mawar, kapas, kentang dan tomat (Anonimous, 2008). Menurut Kalshoven (1981) identifikasi kutu kebul dilakukan dengan menggunakan kantong pupa dari kutu kebul tersebut. Selanjutnya Kalshoven (1981) melaporkan terdapat beberapa spesies kutu kebul yang menjadi hama tanaman di Indonesia diantaranya Aleurolobus barodensis (Mask), A. citripedus Q & B., A. woglumi
Ashb.,
Neomaskellia
andropogonis
Corbett.,
Aleurocanthus
spp.,
Dialeurodes spp., Trialeurodes sp., Bemicia tabaci (Genn) dan Aleurodicus destructor Mark. Gejala serangan kutu kebul
Gejala yang ditimbulkan pada tanaman yang terserang adalah adanya bercakbercak nekrotik kecil yang terjadi karena luka akibat tusukan stilet. Hal ini akibat imago dan nimfa merusak sel dan jaringan daun dalam upayanya mengisap cairan tanaman dan jaringan floem. Pada keadaan populasi tinggi pertumbuhan tanaman akan terhambat. Ekskresi kutu kebul yang berbentuk embun madu yang melekat pada
permukaan atas daun merangsang tumbuhnya cendawan embun jelaga yang berwarna hitam, sehingga daun-daun itu semakin hitam dan menghambat proses pernafasan asimilasi. Pada keadaan populasi tinggi pertumbuhan tanaman akan terhambat (Pracaya, 2002). Di Indonesia kutu kebul pertama kali diketahui menyerang tanaman tembakau di Bojonegoro dan mengakibatkan kerusakan sebesar 30%. Serangga tersebut tersebar luas di seluruh dunia dan bersifat polyfag. Kebanyakan tanaman inang kutu kebul termasuk ke dalam family Compositae, Cucurbitae, Crusciferae, dan Solanaceae. Beberapa jenis gulma, seperti Ageratum (Babadotan), Synedrella, Eupatorium odoratum, dan Stachytarpheta (jarong) juga merupakan inang dari kutu kebul yang bisa menjadi reservoir penyakit virus di lahan pertanaman. Di Sumatera dan Jawa, kutu kebul menularkan penyakit mosaik dan krupuk (Leaf curl) dari gulma dan tumbuhan liar lainnya ke tanaman tembakau sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar (Kalshoven, 1981). Yuliani (2002) melaporkan empat spesies kutu kebul yang ditemukan pada tanaman tomat, cabai dan kedelai di beberapa lokasi di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yakni Aleurodicus destructor, Bemicia tabaci, Dialeurodes spp dan Trialeurodes vaporariorium. Namun konfirmasi dan informasi mengenai kutu kebul pada tanaman murbei di Indonesia belum ada.
Musuh alami kutu kebul dan peranannya sebagai komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan yang diambil selalu bertujuan meminimalisasi serangan OPT, sekaligus mengurangi bahaya yang ditimbulkannya terhadap manusia, tanaman, dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode yang cocok (termasuk biologi, genetis, mekanis, fisik, dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, guna mempertahankan populasi hama berada dalam suatu tingkat di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomis (Anonimous, 2008).
Musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) mempunyai potensi besar dalam menekan populasi hama. Namun keefektifannya di lapangan tergantung pada jenis hama sasaran dan kondisi habitat, karena masing-masing kelompok musuh alami itu memiliki kelebihan dan kekurangan (Untung, 2006) Untung (2006) mengemukakan predator merupakan hewan yang dapat memangsa hewan lain yang mengakibatkan kematian langsung pada mangsanya. Selain itu, predator mampu memangsa lebih dari satu individu mangsa (hama) dan biasanya dapat memangsa berbagai fase perkembangan hama, serta umumnya bersifat polifag. Parasitoid merupakan serangga
yang hidup pada atau di dalam tubuh
serangga lain yang merupakan inangnya. Fase perkembangan hidup yang berupa telur, larva dan pupa berada pada atau di dalam tubuh inang sedangkan imagonya hidup bebas di luar tubuh serangga inang, memakan nektar dan embun madu. Serangan parasitoid dapat melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau menghisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat menyelesaikan satu siklus kehidupan suatu parasitoid hanya memerlukan satu serangga inang (Pracaya, 2002). Parasitoid kutu kebul pada tanaman tomat yang ditemukan di Amerika Selatan dan di Indonesia, antara lain : Eretmocerus sp., Encarsia formosa, dan E. versicolor (Hymenoptera : Aphelinidae). Imago betina parasitoid Encarsia sp. meletakkan satu telur ke dalam tubuh pradewasa kutu kebul. Larva parasitoid merusak bagian dalam tubuh pradewasa kutu kebul sehingga yang tersisa adalah ekoskeleton inangnya (Berndt and Rainer, 2008). Serangga pradewasa kutu kebul yang terparasit akan berubah menjadi berwarna hitam (Naranjo, 2007). Selain parasitoid, predator Serangium parcesetom (Coleoptera: Coccinellidae) dan cendawan Paecilomyces farinosus juga diketahui dapat berperan sebagai musuh alami kutu kebul (Pracaya, 2002). Pada awal perkembangannya, PHT banyak diartikan terbatas sebagai teknologi pengendali hama yang berusaha memadukan berbagai teknik pengendalian
hama. Setelah itu, konsep PHT terus berkembang karena didorong oleh semakin meningkatnya kesadaran manusia akan kualitas lingkungan hidup dan pengembangan konsep pembangunan yang berkelanjutan (Untung, 2006). Pada saat ini, PHT lebih diarahkan sebagai teknik pengelolaan ekosistim yaitu pengambilan keputusan pengendalian tidak hanya didasarkan pada kepadatan populasi hama dan perkembangan tanaman, tetapi juga pada kepadatan populasi musuh alami. Dalam hal ini jenis dan populasi musuh alami yang dapat mengekang perkembangan populasi hama perlu diketahui terlebih dahulu sebelum digunakan untuk pengendalian hama (Sudarmo, 1990) Dalam aplikasinya, teknik pengendalian hayati harus sesuai dengan teknik pengendalian yang lain seperti teknik bercocok tanam dan penggunaan varietas yang tahan, atau bila memungkinkan teknik bercocok tanam itu perlu dimodifikasi supaya musuh alami yang digunakan dapat bertahan dan bekerja dengan baik. Disamping itu, bila pengendalian dengan cara seperti penggunaan senyawa kimia masih diperlukan maka harus dirubah atau disesuaikan sehingga tidak mengganggu keberadaan musuh alami (Tarumingkeng, 1992).
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran
Usaha pengendalian yang telah dilakukan selama ini belum mampu mengatasi serangan hama tersebut, antara lain karena masih kurangnya informasi mengenai status jenis dan bioekologi kutu kebul pada tanaman murbei. Dengan terbatasnya informasi terkadang usaha pengendalian belum dapat ditentukan. Selama ini upaya pengendalian hama tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemangkasan dan penggunaan insektisida. Penggunaan insektisida yang tidak tepat malah menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain residu insektisida pada tanaman murbei berpengaruh terhadap ulat sutera yang memakannya. Dengan adanya kepastian jenis kutu kebul, jenis dan karakter habitat parasitoid dan predatornya akan menyediakan data yang sangat diperlukan untuk pengembangan strategi pengendalian secara hayati.
PERMASALAHAN
Tanaman murbei terserang hama Produksi dan kualitas daun menurun
Ulat sutera lemah karena kurang daya tahan terhadap penyakit
Solusi untuk peningkatan produksi daun murbei
Penurunan produksi dan kualitas kokon ulat sutera
Untuk bisa memilih strategi pengendalian yang tepat, kita harus tahu hama yang menyerang tanaman murbei
Identifikasi hama, parasitoid dan predatornya
Identifikasi karakter habitat (faktor pendukung dan penghambat)
Gambar 1 Kerangka pemikiran inventarisasi parasitoid dan predator kutu kebul pada tanaman murbei.
Lokasi dan Waktu Penelitian Inventarisasi parasitoid dan predator kutu kebul dilaksanakan di lahan murbei petani di daerah Pati, Candiroto, Kabandungan (Sukabumi), Tasikmalaya, dan dua lokasi di Bogor yaitu Sukamantri serta Dramaga. Pengamatan perkembangan populasi kutu kebul dilaksanakan pada tanaman murbei di kebun Dramaga, Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Pengamatan dengan menggunakan mikroskop dilaksanakan di Laboratorium Sutera Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman murbei jenis Morus alba var Kanva-2, M. cathayana dan M. multicaulis, alkohol 90%, kantung plastik, kaca pembesar (kaca loup), jaring serangga, kurungan serangga dan stoples kecil, petri dish, gelas objek, gelas penutup, mikroskop monokuler, jarum bertangkai, pinset, tabung reaksi, label, lampu neon dan lain-lain.
Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel Prosedur pengambilan sampel di lapangan adalah sebagai berikut : Penelitian menggunakan teknik Sampling Acak Berlapis (SAB) yang sampelnya diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1. Populasi dibagi menjadi populasi yang lebih kecil yang disebut stratum. Stratum pertama batas luar murbei (non murbei), stratum kedua
blok
murbei, stratum ketiga pertengahan blok murbei yang berarti terdapat tiga stratum. 2. Setiap stratum kemudian diambil sampel secara acak tapi representatif sama di setiap daerah percobaan dan dibuat perkiraan untuk mewakili
stratum yang bersangkutan (dapat diketahui rata-rata dan keragaman kutu kebul, parasitoid dan predator dari masing-masing stratum).
PETAK PERCOBAAN
*
*
#
#
*
*
*
#
#
*
*
*
# : Tanaman murbei *: Tanaman non murbei
Gambar 2 Denah plot percobaan.
Inventarisasi kutu kebul dan musuh alaminya parasitoid dan predator pada tanaman murbei Inventarisasi kutu kebul dan parasitoid, predatornya dilaksanakan di lahan murbei petani di daerah Pati, Candiroto, Kabandungan (Sukabumi), Tasikmalaya, dan dua lokasi di Bogor yaitu Sukamantri serta Dramaga. Waktu pengamatan untuk daerah Pati dan Candiroto dilakukan pada bulan Agustus dan September Tahun 2008, sedangkan lokasi lain dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei Tahun 2009. Penentuan tanaman yang akan diamati dilakukan pada dua baris tanaman dari
baris pengamatan yang dipilih secara acak dengan sistem undian untuk baris pertama dan selang lima baris dari baris pertama untuk baris kedua pengamatan. Pengamatan dilakukan terhadap semua tanaman pada baris pengamatan. Daun tanaman yang diduga mengandung telur, nimfa, atau pupa kutu kebul dipotong untuk selanjutnya diidentifikasi dan dihitung di laboratorium.
Perkembangan populasi kutu kebul Pengamatan kepadatan populasi dilakukan untuk mengetahui jumlah telur, nimfa, pupa dan imago kutu kebul dan dilaksanakan di Dramaga (Bogor). Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah telur, nimfa, pupa dan imago kutu kebul pada tanaman contoh. Pengamatan telur, nimfa, pupa dan kantong pupa dilakukan terhadap 60 daun murbei dari 5 tanaman contoh untuk setiap blok pengamatan. Pengambilan populasi dilakukan pada tanaman yang dipilih secara acak. Jumlah tanaman contoh untuk setiap blok pengamatan ditentukan sebanyak lima tanaman yang mengandung telur, nimfa dan pupa kutu kebul. Satu tanaman contoh diambil 12 daun yaitu bagian atas, tengah dan bawah serta masing-masing bagian diambil 4 helai daun arah mata angin, sehingga dalam satu waktu pengamatan diperoleh 15 tanaman contoh atau 180 helai daun. Daun yang akan diambil untuk pengamatan dipotong kemudian dimasukkan ke dalam plastik transparan. Penghitungan populasi telur, nimfa, dan pupa dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan alat hitung tangan dan kaca loup. Menurut Gould dan Naranjo (1999), pengambilan contoh sebanyak 50 daun per lahan pengamatan adalah memadai untuk memperoleh ketelitian 0,20 – 0,25 untuk setiap tingkat perkembangan hidup serangga. Pengamatan dilakukan setiap 15 hari dimulai saat tanaman murbei 15 hari setelah pangkas sampai tanaman berumur 75 hari. Pengamatan kepadatan populasi dilakukan untuk mengetahui jumlah telur, nimfa, pupa dan imago kutu kebul. Pengamatan parasitoid kutu kebul. Pengamatan parasitoid meliputi dua parameter yaitu tingkat parasitisasi total pada tanaman murbei dan penyebaran parasitoid pada empat daerah pengamatan yaitu Kabandungan (Sukabumi), Tasikmalaya, Sukamantri (Bogor) dan Dramaga (Bogor) Tingkat parasitisasi total dilakukan dengan cara pengambilan 36 daun yang menampakkan gejala nimfa terparasit secara acak, kemudian dihitung jumlah telur,
kulit nimfa, nimfa normal dan nimfa terparasit selanjutnya dijumlah dan masingmasing dibuat dalam bentuk persentase. Penyebaran parasitoid dilakukan dengan dua cara yaitu metode sungkup dan metoda jaring. Pengamatan dengan metoda jaring dilakukan bersamaan dengan penjaringan predator. Pada metode sungkup, pengamatan parasitoid dilakukan dengan pengambilan sampel dari tanaman murbei. Pada setiap lokasi pengamatan dilakukan pengambilan sejumlah daun murbei yang menampakkan gejala nimfa terparasit (lampiran gambar 3). Pengambilan sampel pada daun-daun murbei dilakukan secara acak. Setiap lokasi pengamatan dilakukan pengambilan sampel sebanyak 20 kelompok nimfa yang berarti 20 sungkup. Setiap daun murbei yang menampakkan gejala nimfa terparasit kemudian dibersihkan dari organisme lain dengan cara permukaan daun bagian bawah disapu dengan kuas kemudian disemprot sehingga yang tertinggal hanya nimfa kutu kebul, kemudian daun disungkup dengan kain yang halus ( Lampiran 1B) sehingga parasitoid tidak sempat terbang, seminggu kemudian daun murbei yang disungkup dipotong, dibawa ke laboratorium untuk diperiksa apabila ditemukan parasitoid langkah selanjutnya dilakukan identifikasi, dengan kunci yang disusun oleh McAlpine et al. (1977). Konfirmasi lebih lanjut parasitoid akan diidentifikasi kembali oleh ahli taksonomi serangga di labaratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fahutan IPB. Pengamatan predator kutu kebul Pengamatan predator meliputi dua parameter yaitu jumlah predator yang tertangkap selama pengamatan pada setiap lokasi dan uji pemangsaan. Pengambilan predator dilakukan dengan menggunakan jaring serangga pada tanaman murbei. Penjaringan dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 sampai 10.00 yang merupakan waktu aktif kutu kebul. Pada setiap lokasi, pengamatan
dilakukan dengan 10 kali ayunan jaring ke kiri dan ke kanan, pada sepuluh titik dalam setiap stratum yang berarti melakukan 100 ayunan pada setiap stratum. Semua serangga yang tertangkap saat penjaringan dimasukkan ke dalam kurungan serangga berkasa berukuran 32 cm x 32 cm x 32 cm kemudian dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, serangga tersebut dipisah-pisahkan berdasarkan peranannya. Jika dari hasil penangkapan ditemukan serangga yang dianggap berperan sebagai predator, maka dilakukan pengujian lanjut berupa uji pemangsaan terhadap kutu kebul. Uji pemangsaan dilakukan dengan cara memasukkan seekor serangga yang dianggap predator ke dalam petri dish yang telah berisi lima ekor nimfa kutu kebul instar dua atau instar tiga. Sebelum perlakuan, serangga yang dianggap predator dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam. Pengamatan dilakukan 24 jam kemudian dengan mengamati jumlah nimfa yang dimakan, apabila nimfa yang dimakan habis 5 maka dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menambah jumlah nimfa, sampai akhirnya kita dapatkan kemampuan makan yang maksimal. Uji pemangsaan ini dilakukan dengan 10 ulangan. Penyebaran dan jumlah predator pada setiap lokasi pengamatan dilakukan dengan cara penjaringan dalam areal murbei dan luar areal murbei. Kemudian dibawa ke Laboratorium Sutera, serangga yang sudah diketahui peranannya sebagai predator dipisah-pisah berdasarkan spesiesnya kemudian dihitung. Konfirmasi lebih lanjut predator diidentifikasi kembali oleh ahli taksonomi Systematic Entomology, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Japan.
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Kondisi Umum Lahan Tanaman murbei yang terdapat di lahan pengamatan umumnya menggunakan pola penanaman secara monokultur dan jenis murbei yang ditanam adalah M. alba var Kanva 2, M. cathayana dan M. multicaulis. Pada saat pengamatan umumnya umur murbei 45 hari setelah pangkas kecuali di Dramaga, Bogor, yang tanaman murbeinya terbagi ke dalam beberapa blok pemangkasan. Kondisi lahan di enam lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kondisi umum ke enam lokasi pengamatan Karakter lokasi
Pati
Candiroto
Kabandungan, Sukabumi
Tasikmalaya
Sukamantri, Bogor
Dramaga, Bogor.
Ketinggian tempat (m dpl)
80
600
720
550
540
245
Kisaran (oC)
19-31
21-29
19-26
25-30
25-30
21-29
Kisaran kelembaban (%)
80-90
80-90
87-92
79-90
80-90
80-90
Curah hujan (mm/tahun)
1600-2000
2500-3000
2500-3000
2500-2700
2500-3000
2500-3000
Type iklim (menurut Schmidt & Ferguson)
E
A
A
A
A
A
Pola tanam
monokultur
monokultur
monokultur
monokultur
monokultur
monokultur
Gulma
Kurang bergulma
Kurang bergulma
Kurang bergulma
Kurang bergulma
Kurang bergulma
Gulma lebat
Pemupukan
Pupuk kandang dan NPK
Pupuk kandang dan NPK
Pupuk kandang NPK
Pupuk kandang, mikoriza dan pupuk lambat larut
NPK
Pupuk NPK
Insektisida kontak dan sistemik
Insektisida kontak dan sistemik
Insektisida kontak dan sistemik
Insektisida kontak dan sistemik
Insektisida kontak dan sistemik
Tidak dilakukan penyemprotan pestisida
Jati (Tectona grandis), Randu, mangga
Jati (T. grandis), Randu, mangga (M.
jukut pait (Paspalum conjugatum), babadotan
Jukut pait (P. conjugatum),b abadotan
Jukut pait (P. conjugatum), badotan (A.
Jukut pait (P. conjugatum),babadotan (A.conyzoides) calincing (Oxalis
suhu
Pengendalian hama
Tanaman sekitarnya
di
dan
kandang
dan
(Mangifera indica)
indica)
(Ageratum conyzoides
(A. conyzoides
conyzoides)
sepium), babadotan laki-laki (Synedrella nudiflora)
Inventarisasi kutu kebul Inventarisasi kutu kebul pada tanaman murbei dan sekitarnya hanya menemukan satu spesies kutu kebul yaitu Trialeurodes vaporariorum yang disajikan pada Gambar 3 dengan ciri-ciri sebagai berikut : Telur Pada saat baru diletakkan, telur berwarna hijau pucat kekuningan agak ungu, ungu gelap atau hitam. Telur tersebut memiliki tungkai yang pendek dan imago kutu kebul meletakkan telur pada permukaan daun bagian bawah, biasanya dalam bentuk melingkar atau semi melingkar dan sering ditemukan secara menyebar pada daundaun yang memiliki banyak rambut-rambut daun pada permukaannya. Menurut Kessing & Mau (1991) Stadium telur bervariasi tergantung pada suhu dan kelembaban, umumnya 6 – 7 hari. Nimfa Nimfa T. vaporariorum terdiri atas tiga sampai empat instar (Kessing & Mau. 1991). Nimfa instar satu disebut crawler karena memiliki tungkai yang fungsional dan aktif bergerak mencari tempat untuk makan. Nimfa berwarna hijau terang. Setelah menemukan tempat makan yang tepat maka nimfa akan menyelesaikan tahap perkembangan hidup selanjutnya sampai menjadi imago. Pupa Nimfa instar akhir (instar empat) sering disebut sebagai pupa karena imago kutu kebul muncul dari fase ini (Kessing & Mau. 1991). Tubuh nimfa tersebut lebih tebal dibandingkan yang lainnya dan memiliki karakteristik filamen lilin yang panjang pada pinggir luar tubuhnya. Lama stadium pupa berkisar antara 3 dan 7 hari.
Kantong pupa (puparium) dari stadium pupa yang sudah kosong tetap berada pada tanaman inangnya. Identifikasi
jenis kutu kebul berdasarkan
struktur dari
pupariumnya. Ciri khas T. vaporariorum sub margin umumnya ada deret papilla yang jelas.
Imago Imago T. vaporariorum berwarna kuning pucat, dan memiliki dua pasang sayap yang tertutup oleh lilin tepung putih.
A
C
B
D
Gambar 3 Tahapan stadia T. vaporariorum: A) telur; B) nimfa; C) pupa; D) imago. Gejala serangan T. vaporariorum pada tanaman murbei Populasi kutu kebul yang tinggi dapat mempengaruhi kondisi tanaman dan mengganggu pertumbuhannya, tanaman murbei yang terserang kutu kebul menampakkan gejala berupa lubang-lubang gigitan kecil dan menyebar pada helai daun yaitu bagian pucuk, tengah dan pangkal. Kutu kebul mulai menyerang tanaman dari mulai tingkat persemaian namun gejala kerusakan belum nampak, gejala kerusakan nampak dengan bertambahnya umur tanaman dan populasi kutu kebul. Hasil pengamatan di lapangan, satu lembar daun dengan lebar 8 cm dan panjang 12 cm terdapat rata-rata 750 telur, 500 nimfa, 300 pupa dan 250 kantong pupa.
A
B
Gambar 4 Gejala serangan T. vaporariorum pada tanaman murbei: A) Daun murbei
yang banyak serangannya.
imago
T.
vaporariorum;
B)
Dampak
gejala
Perkembangan Populasi T. vaporariorum Perkembangan populasi T. vaporariorum disajikan pada Gambar 5 pengamatan dilakukan di daerah Dramaga Bogor, kondisi lahan selama pengamatan tidak dilakukan penyemprotan insektisida dan juga tidak dilakukan penyiangan sehingga gulma dibiarkan tumbuh. Pengamatan kelimpahan dimulai dari umur 15 hari sampai umur 75 hari setelah pangkas.
Gambar 5 Perkembangan populasi Trialeurodes vaporariorum.
Pengamatan parasitoid kutu kebul (T. vaporariorum) Menurut Onstad (2008), dalam suatu perilaku hidup parasitoid, imago parasitoid hidup bebas di alam sedang pradewasa tinggal pada individu serangga lain. Selama penelitian berlangsung parasitoid yang muncul pada populasi T. vaporariorum, hanya ditemukan pada metode sungkup dengan interval waktu 8 hari setelah pemasangan sungkup. Hasil identifikasi parasitoid yang ditemukan termasuk dalam kelompok ordo Hymenoptera yang terdiri dari famili Ceraphronidae,
Eucoilidae, Scelionidae dan Eulophidae yang masing-masing mempunyai ciri sebagai berikut :
A B Gambar 6 Ceraphronidae: A) imago; B) patahan sayap pada stigma Ceraphronidae ciri khasnya tibia depan 2 taji ujung; tidak ada sel-sel tertutup pada sayap depan; rangka sayap stigma jelas melengkung ke batas kosta; rangka sayap marginal meluas dari dasar sayap; tidak ada rangka sayap sub marginal (jarang tidak ada rangka sayap seluruhnya). Tibia tengah dengan 1 taji ujung; taji tibia depan besar tidak bercabang di bagian ujung; sungut-sungut yang betina 9 atau 10 ruas, sungut-sungut jantan 10 atau 11 ruas, stigma sayap depan lurus, kelihatan mirip dengan rangka sayap marginal, tetapi terpisah dengannya oleh satu pemutusan yang jelas stigma dan rangka stigma jarang tidak ada. Dominan ditemukan di setiap lokasi hal ini mungkin disebabkan kondisi yang mendukung habitatnya yang disajikan pada gambar 6, tubuhnya berwarna hitam, Parasitoid pada kelompok Diptera, Thysanoptera, Lepidoptera, Neuroptera dan Aphids (Anonim, 2009) Scelionidae pada Gambar 7 memiliki abdomen yang pipih
memanjang
terdapat garis pada tepi abdomen samping dan ruas-ruas metasoma yang terbagi menjadi sebuah skerit median yang besar serta laterotergit atau laterosternit yang sempit. Struktur-struktur ini akhirnya saling bertemu membentuk satu batas sudut
yang sangat tajam pada metasoma, terdapat penebalan pada sayap depan tapi tidak setebal sayap belakang, sayapnya lebih panjang daripada abdomennya (Borror et al., 1996)
A
B
Gambar 7 Scelionidae (perbesaran 20 kali): A) Imago; B) penebalan sayap pada sub marginal.
A
B
Gambar 8 Eucoilidae (perbesaran 20 kali): a) imago; b) penebalan sayap secara merata dari sub marginal sampai marginal, sel costa dan sel median. Gambar 8 menunjukkan bahwa Eucoilidae ciri khasnya sayap belakang menyempit, bagian pinggir sayap atas berambut, terdapat penebalan venasi sayap di tepi sayap depan, anthena panjang dasar-dasar sungut secara lebar terpisah, terselip
lebih dekat dengan mata daripada dengan masing-masing lainnya; frons dengan satu lekuk transversal yang jelas di atas penyelipan sungut, dan dengan sepasang lekuk longitudinal sepanjang batas bagian tengah. Pinggang tampak jelas, mesosoma dan metasoma hampir sama besar. Merupakan jenis yang lembut sampai kecil, biasanya kurang dari 1 mm.
A B Gambar 9 Eulophidae (Perbesaran 20 kali): a) imago; b) penebalan sayap merata dari sub marginal sampai marginal dan penebalan pada sel kosta Eulophidae merupakan internal parasitoid larva pernah ditemukan di Pacific (Hawaii, Guam) dan Florida juga sudah ditemukan di Indonesia. Parasitoid Eulophidae umum di Asia Tenggara dan mempunyai peluang potensial sebagai agen kontrol (musuh alami). Mempunyai ciri khas pinggang tampak jelas, yang disajikan pada Gambar 9 selain itu nampak pada vena terdapat patahan bersambung, mata agak merah, abdomen hampir sama dengan Scelio tapi agak cembung. Sayap berwarna metalik cemerlang. Perbedaan nimfa normal dan nimfa terparasit Morfologi nimfa T. vaporariorum yang sehat terlihat pada Gambar 10a berbentuk datar pada permukaan daun, dan cukup sulit dilihat karena warna tubuhnya yang hijau transparant. Nimfa instar akhir berwarna kuning kehijauan dengan bakal mata berwarna coklat.
Bila nimfa T. vaporariorum terparasit pada Gambar 10b nampak bagian dalam nimfa tampak berwarna hitam, karena parasitoid menghisap dan merusak jaringan inang menyebabkan nimfa mengalami gangguan dalam pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada nimfa tersebut.
A
B
Gambar 10 Morfologi nimfa (perbesaran 20 kali): A) Nimfa yang normal ; B) Nimfa yang terparasit Berdasarkan indikator gejala yang terparasit didapatkan data tingkat parasitisasi total disajikan pada Tabel 2, yang menunjukkan keempat lokasi pengamatan tingkat parasitasi relatif rendah. Kondisi lokasi Dramaga berbeda dengan yang lain dimana pada saat pengamatan tidak dilakukan pengolahan tanah dan penyemprotan insektisida. Keadaan pertanaman di sekitar tanaman murbei inilah yang kemungkinan menjadi pendukung bagi tersedianya makanan berupa nektar bagi parasitoid. Tabel 2 Rata-rata tingkat parasitisasi tanaman murbei pada empat daerah pengamatan Lokasi Kabandungan (Sukabumi) Tasikmalaya Sukamantri (Bogor) Dramaga (Bogor)
Telur Jumlah % 450 42,45
Kulit pupa Jumlah % 250 23,58
Nimfa normal Jumlah % 100 9,43
Nimfa terparasit Jumlah % 10 0,94
0
0
89,04
68,43
6.30
8,21
2,11
2,7
0 1500
0 54,54
15 500
42,86 18,18
20 600
57,14 21,82
0 150
0 5,45
Pengamatan selanjutnya untuk mengetahui tingkat penyebaran parasitoid di tiap lokasi pengamatan
maka dilaksanakan melalui penjaringan parasitoid pada
lokasi pengamatan yang dilakukan bersamaan dengan penyebaran predator Tabel 3 Penyebaran parasitoid di empat lokasi pengembangan sutera alam selama pengamatan Lokasi Kabandungan (Sukabumi) Tasikmalaya Sukamantri (Bogor) Dramaga
Ceraphronidae sungkup jaring
Parasitoid Scelionidae Eucoilidae sungkup jaring sungkup
jaring
Eulophidae sungkup
jaring
1
8
1
8
0
3
0
3
1
2
1
10
0
5
0
5
0
0
0
3
0
0
0
5
9
30
10
30
5
10
5
15
(Bogor)
Pengamatan predator kutu kebul (T. vaporariorum) Predator dari kelompok serangga yang tertangkap saat penjaringan adalah dari kelompok ordo Coleoptera, Family Coccinellidae. Dari hasil penjaringan ditemukan 3 spesies serangium dan satu spesies micraspis . Serangium sp 1. ditemukan dominan di semua lokasi pengamatan (Tabel 4) Uji pemangsaan di laboratorium selama 24 jam menunjukkan bahwa ke tiga spesies Coccinellidae yaitu Serangium sp 1, Serangium sp 2 dan Serangium sp 3 dapat memangsa nimfa T. vaporariorum ratarata 4,33 individu nimfa, sedangkan Micraspis sp dapat memangsa rata-rata 14,6 individu nimfa. Cara pemangsaan keempat predator tersebut bersifat aktif, dimulai dari menindih mangsanya, sasaran pertama adalah mata kemudian menggigit (menarik) mangsanya dimulai dari bagian pinggir tubuh mangsa.
Gambar 11 Empat predator T. vaporariorum dengan perbesaran 20 kali: A) Serangium sp 1; B) Serangium sp 2; C) Serangium sp 3; D) Micraspis sp. Tabel 4 Ciri-ciri umum predator T. vaporariorum yang tampak secara langsung Ciri-ciri
Serangium sp 3
Serangium sp 3
Serangium sp3
Micraspis sp
Ukuran tubuh
2,0 – 2,7 mm
2,0 – 2,7 mm
1,8 – 2,2 mm
3,7 – 4,5 mm
Warna elytra
Coklat mengkilap
Orange mengkilap
Hitam pekat
Hitam mengkilap
Corak elytra
Bagian terdapat hitam sempit
Bagian tengah terdapat garis orange yang lebih tebal.
Tidak bercorak
Tidak bercorak
Rambut abdomen
Sedikit
Berambut halus terutama pada bagian thorak
Penuh dengan rambut halus, daerah sekitar thorak rambutnya nampak lebih jelas.
Tidak berambut
Warna abdomen
coklat
orange
hitam
hitam
tua tengah celah yang
Kemampuan Coccinellidae terhadap mangsanya dapat ditunjukkan oleh besarnya proporsi mangsa yang dimakan dan terbunuh dari sejumlah individu mangsa yang tersedia. Data percobaan kemampuan makan Coccinellidae disajikan pada Gambar 12 Berdasarkan kemampuan
makan
Coccinellidae
memangsa
nimfa T.
vaporariorum yang disajikan pada Gambar 16, hasilnya menunjukkan bahwa ke tiga spesies Coccinellidae yaitu Serangium sp 1, Serangium sp 2 dan Serangium sp 3 dapat memangsa nimfa T. vaporariorum rata-rata 4,33 individu nimfa, sedangkan Micraspis sp dapat memangsa rata-rata 14,6 individu nimfa. Cara pemangsaan keempat predator tersebut bersifat aktif, dimulai dari menindih mangsanya, sasaran pertama adalah mata kemudian menggigit (menarik) mangsanya dimulai dari bagian pinggir tubuh mangsa.
Gambar 12 Rata-rata kemampuan makan Coccinellidae terhadap nimfa T. vaporariorum. Untuk mengetahui penyebaran predator dilakukan penjaringan predator pada semua lokasi pengamatan hasilnya disajikan lapangan menunjukkan bahwa
pada Tabel 4 hasil penjaringan di
ke empat predator tersebut ditemukan di semua
lokasi. Hal ini menunjukkan ke empat predator memiliki daerah penyebaran yang luas. Willemse (2001) melaporkan bahwa Serangium sp di India berperan sebagai predator nimfa T. vaporariorum. Tabel 5 Penyebaran dan jumlah predator T. vaporariorum yang tertangkap di enam lokasi pengamatan Predator Serangium sp 1
Serangium sp 2
Serangium sp 3
Microspis sp
Lokasi Dalam areal murbei
Luar areal murbei
Dalam areal murbei
Luar areal murbei
Dalam areal murbei
Luar areal murbei
Dalam areal murbei
Luar areal murbei
Pati
15
0
0
0
10
0
2
0
Candiroto
50
10
0
0
25
7
10
5
Kabandungan (Sukabumi)
20
3
1
1
10
5
3
1
Tasikmalaya
20
1
1
1
15
5
3
2
10
10
0
0
10
5
2
0
Sukamantri
(Bogor) Dramaga (Bogor)
100
89
50
62
25
85
25
34
Pembahasan Inventarisasi kutu kebul Pengambilan contoh pengamatan
kutu kebul pada tanaman murbei di setiap
lokasi
(Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Candiroto dan Pati) hanya
menemukan satu spesies kutu kebul yaitu T. vaporariorum. Hasil tersebut tidak menunjukkan adanya populasi campuran (mix population) antara beberapa spesies kutu kebul. Hal ini diduga terjadi karena adanya kompetisi interspesifik antara spesies kutu kebul yang berlainan pada tanaman murbei di lokasi yang sama. Onstad (2008) mendefinisikan kompetisi sebagai suatu kebutuhan yang kurang aktif dalam hal berlimpahnya suplai langsung dari materi dan atau suatu kondisi untuk dimanfaatkan bersama-sama oleh dua atau lebih organisme. Adanya kompetisi kerapkali menyebabkan organisme-organisme yang mempunyai hubungan pertalian yang erat dan kebiasaan atau corak hidup yang sama, tidak berada pada suatu tempat yang sama. Kalaupun didapatkan pada tempat yang sama, maka masing-masing akan menggunakan jenis makanan yang berlainan, atau sekurang-kurangnya aktif pada waktu-waktu yang berbeda ataupun menempati nich yang agak berlainan (Onstad, 2008). Rata-rata populasi T. vaporariorum bervariasi untuk setiap tingkat perkembangan hidup, tetapi umumnya menunjukkan pertambahan populasi menurut waktu pertumbuhan tanaman (Gambar 5). Setiap tingkat perkembangan hidup kutu kebul dapat ditemukan pada saat pengambilan tanaman contoh, kecuali pupa yang belum ditemukan pada saat pengambilan contoh pertama (umur 15 hari setelah pangkas).
Rata-rata populasi telur T. vaporariorum per tanaman murbei meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman tapi sedikit menurun pada umur 75 hari setelah pangkas. Populasi tertinggi terjadi pada umur 60 hari setelah pangkas. Rata-rata populasi nimfa dan pupa T. vaporariorum per tanaman murbei terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman hingga akhir pengamatan. Populasi tertinggi terjadi waktu pengamatan ke tiga (60 hari setelah pangkas). Secara kumulatif, kurva perkembangan populasi T. vaporariorum
pada
tanaman murbei menunjukkan pola perkembangan populasi yang sigmoid (Gambar 5). Pada permulaan pertumbuhan terjadi peningkatan yang wajar kemudian meningkat dengan cepat sampai pada suatu saat pertumbuhan menjadi stabil dan kurva menjadi datar. Keadaan seperti ini kemampuan lingkungan untuk menunjang pertumbuhan sudah mencapai titik maksimum (Resosoedarmo et al., 1993). Kurva sigmoid menurut Storer & Usinger (1957 dalam Sunjaya, 1970) terjadi dalam keadaan lingkungan yang serba konstan. Suatu populasi dapat bertambah atau berkurang menurut waktu dan keadaan lingkungan (Onstad, 2008). Pertumbuhan kutu kebul cenderung untuk melaju terus dengan cepat karena ruang dan bahan-bahan makanan berlimpah. Kemudian populasi akan menurun bila kedua faktor tersebut berkurang dan mendatar bila kedua faktor tersebut menjadi pembatas (Resosoedarmo et al., 1993). Perkembangan populasi telur menunjukkan peningkatan yang cepat terjadi pada umur 60 hari setelah pangkas. Peningkatan ini terjadi diduga karena pertambahan populasi imago yang memang sudah ada pada tanaman tersebut dan kedatangan imago dari tanaman yang lain. Menurut Kessing & Mau (1991) satu imago betina serangga ini mampu meletakkan telur rata-rata lebih dari 100 telur selama masa hidupnya, sehingga dengan bertambahnya populasi imago akan meningkatkan populasi telur dengan cepat. Tumbuhnya tunas-tunas baru pada tanaman murbei juga mempengaruhi peningkatan populasi telur. Imago kutu kebul ini
menunjukkan pemilihan yang sangat tinggi untuk makan dan bertelur pada daun muda (daun pucuk), sedikit lebih rendah dari permukaan atas daun. Secara umum perkembangan populasi T. vaporariorum pada tanaman murbei di Dramaga Bogor juga didukung oleh kondisi agroekosistem yang kondusif. Lahan pengamatan merupakan lokasi budidaya ulat sutera yang telah diusahakan selama beberapa tahun. Pola pangkas yang tidak serempak, sistem monokultur dan tidak dilakukan penyemprotan insektisida selama pengamatan menyebabkan di lokasi tersebut selalu tersedia sumber makanan kutu kebul dalam jumlah berlimpah. Beberapa tumbuhan lain yang ada di dalam lahan pengamatan adalah gulma (Digitaria adsendens, Amaranthus dubius, Borreria laevis
dan Ageratum
conyzoides). Tumbuhan yang terdapat di pinggir lahan pengamatan antara lain tumbuhan bambu. Tumbuhan tersebut baik yang berada di dalam lahan maupun di pinggir lahan kemungkinan turut mempengaruhi perkembangan populasi kutu kebul sebagai inang alternatif maupun sebagai tempat berlindung dari radiasi matahari. Pengamatan parasitoid kutu kebul (T. vaporariorum) Tabel 2 tingkat parasitisasi di Dramaga adalah 5,45%, walaupun tertinggi dibanding daerah lain tingkat parasitisasi tersebut dikatakan rendah dibandingkan dengan populasi T. vaporariorum karena di sekitar tanaman murbei tersebut banyak ditumbuhi gulma dan sedikit tumbuhan yang menghasilkan polen atau nektar. Menurut Flint dan Dreistadt (1998), tanaman penutup tanah atau gulma lebih menguntungkan predator generalis dibandingkan parasitoid spesialis. Tingkat parasitisasi di daerah ini berarti masih relatif rendah. Ke tiga lokasi yang lain tingkat parasitisasi sangat rendah karena keadaan kebun murbei dalam kondisi yang bersih sehingga ketersediaan nektar sebagai pakan parasitoid tidak ada. Selain itu petani rutin melakukan pencegahan serangan hama yaitu dengan melakukan penyemprotan insektisida. Tingkat parasitisasi yang relatif rendah di masing-masing lokasi kemungkinan dipengaruhi oleh cara budidaya tersebut. Tampaknya tingkat parasitisasi ini dipengaruhi oleh ketersediaan sumber
makanan bagi imago parasitoid. Menurut Hoelmer and Goolsby (2002) sebagian besar tanaman monokultur tidak menyediakan makanan yang cukup bagi parasitoid sehingga parasitoid lebih banyak pada tanaman tumpangsari dibandingkan tanaman monokultur. Di daerah Sukamantri (Bogor) tidak ditemukan nimfa yang terparasit. Kemungkinan kondisi lingkungan di daerah ini kurang menguntungkan bagi perkembangan hidup parasitoid karena murbei ditanam secara monokultur dan kondisi lahan bersih. Tanah yang berbatu secara tidak langsung mempengaruhi keberadaan parasitoid. Menurut Litsinger (1991) dalam Speight et al. (1999), parasitoid membutuhkan suhu rendah, kelembaban tinggi dan naungan pada habitat yang komplek dibandingkan dengan habitat yang sederhana. Jenis parasitoid yang ditemukan tersebar di semua lokasi pengamatan, walaupun ada spesies tertentu yang ditemukan hanya pada satu lokasi. Tingginya keanekaragaman parasitoid di Dramaga mungkin disebabkan oleh kondisi umum lahan dan bersebelahan dengan hutan bambu dengan beranekaragam tumbuhan bawah, sehingga akan meningkatkan keanekaragaman parasitoid. Selain itu dengan tidak dilakukan pembersihan lahan pada kebun murbei menyebabkan parasitoid dapat memperoleh makanan tambahan sehingga kelangsungan hidup terjaga. Penggunaan pestisida dapat berpengaruh negatif terhadap keberadaan dan keanekaragam parasitoid. Jenis
gangguan yang sering terjadi pada agroekosistem adalah praktek
budidaya misalnya pengolahan tanah, penyiangan, pemakaian insektisida dan pemanenan. Praktek budidaya tersebut secara ekologi sering tidak mendukung kehidupan musuh alami. Aplikasi insektisida menyebabkan musuh alami terbunuh, dan praktek budidaya bersih menyebabkan inang dan sumber daya tambahan berkurang ketersediaannya. Keadaan tersebut pada akhirnya berdampak terhadap agroekosistem (Harwanto, 2002) Pengamatan predator kutu kebul (T. vaporariorum)
Predator sebagai spesies serangga yang mempunyai ciri-ciri : (1) memangsa serangga spesies lain; (2) menyerang langsung dan menyebabkan kematian mangsanya secara cepat; (3) dalam menyelesaikan perkembangan hidupnya memerlukan lebih dari satu individu mangsa; (4) larva dan imago predator mempunyai jenis mangsa yang sama; (5) hidupnya bebas; dan (6) mempunyai tubuh lebih besar daripada mangsanya (Onstad, 2008). Kemampuan Coccinellidae terhadap mangsanya dapat ditunjukkan oleh besarnya proporsi mangsa yang dimakan dan terbunuh dari sejumlah individu mangsa yang tersedia. Uji pemangsaan di laboratorium selama 24 jam menunjukkan bahwa ke tiga spesies Coccinellidae yaitu Serangium sp1, Serangium sp2 dan Serangium sp3 dapat memangsa nimfa T. vaporariorum rata-rata 4,33 individu nimfa, sedangkan Micraspis sp dapat memangsa rata-rata 14,6 individu nimfa. Serangium merupakan kumbang predator yang efektif sebagai musuh alami T. vaporariorum seperti dalam yang pernah dikemukakan oleh Al-Zyoud (2006). Micraspis sp merupakan predator aktif memangsa kutu daun pada tanaman cabe, Kemampuan memangsa nimfa T. vaporariorum paling banyak dibanding ketiga jenis kumbang lainnya, namun populasinya relatif lebih sedikit dibanding yang lain. Hasil penjaringan di lapangan menunjukkan bahwa
ke empat predator
tersebut ditemukan di semua lokasi. Hal ini menunjukkan ke empat predator memiliki daerah penyebaran yang luas mulai dari dataran rendah (80 m dpl) sampai dataran tinggi (750 m dpl). Willemse (2001) melaporkan bahwa Serangium sp di India berperan sebagai predator nimfa T. vaporariorum. Berdasarkan data pada Tabel 5 ternyata ke empat predator ditemukan di semua lokasi yang berarti memiliki daerah penyebaran yang luas mulai dari dataran rendah (80 m dpl) sampai ke dataran tinggi (750 m dpl). Serangium sp1 merupakan jenis yang dominan didapatkan pada semua lokasi hal ini menunjukkan jenis tersebut memiliki daya adaptasi yang lebih baik dibandingkan jenis yang lainnya.
Penyebaran Coccinellidae di beberapa lokasi tergantung pada kemampuan untuk mendeteksi isyarat dari lingkungannya. Kemampuan musuh alami untuk menemukan sumber inang atau mangsa ditentukan oleh jarak visual jauh dan dekat, olfactory (penciuman), gustatory (pencicipan), mekanoreseptor dan sinyal audio yang dijalankan pada beberapa skala ruang. Olfactory, visual dan sinyal audio digunakan untuk menemukan habitat inang atau mangsa. Gustatory dan sinyal mekanoreseptor untuk melakukan respon jarak dekat, seperti menemukan inang atau mangsa setelah memasuki habitatnya. (Van Dreische dan Bellows, 1996). Populasi Coccinellidae paling banyak di Dramaga (Bogor), hal ini disebabkan oleh tersedianya mangsa yang cukup melimpah. Populasi T. vaporariorum di daerah Dramaga, Bogor, cukup tinggi karena tanaman murbei di blok pengamatan pemangkasan tidak serentak sehingga tersedia daun murbei muda sebagai pakannya dalam jumlah yang melimpah, serta tidak dilakukan penyemprotan insektisida selama pengamatan. Kondisi ke lima daerah pengamatan hampir homogen, lahan dalam keadaan bersih karena rutin dilakukan penyiangan dan pencegahan serangan hama dengan melakukan penyemprotan insektisida sehingga akan berdampak berkurangnya musuh alami bagi hama sasaran.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hama kutu kebul yang menyerang tanaman murbei adalah Trialeurodes vaporariorum. Musuh alami T. vaporariorum yang ditemukan meliputi kelompok parasitoid dari ordo Hymenoptera, famili Ceraphronidae, Scelionidae, Eulophidae dan Eucoilidae. Kelompok predator yang ditemukan dari ordo Coleoptera famili Coccinellidae yaitu Serangium sp1, Serangium sp2, Serangium sp3 dan Micraspis sp. Scelio sp. merupakan parasitoid yang ditemukan di semua lokasi pengamatan. Serangium sp 1 merupakan predator yang dominan dan selalu ditemukan di setiap lokasi pengamatan. Hasil uji pemangsaan menunjukkan seekor predator Serangium sp rata-rata mampu memangsa 4,5 ekor nimfa T. vaporariorum dan Micraspis sp rata-rata mampu memangsa 14,6 ekor dalam 24 jam.
Saran Dalam pemeliharaan tanaman murbei, fungsi musuh alami T. vaporariorum diantaranya kelompok parasitoid dari ordo
Hymenoptera, famili Ceraphronidae,
Scelionidae, Eulophidae dan Eucoilidae serta kelompok predator yang ditemukan dari ordo Coleoptera famili Coccinellidae yaitu Serangium sp1, Serangium sp2, Serangium sp3 dan Micraspis sp perlu diperhatikan dan kelangsungan hidupnya dipertahankan, dengan jalan menggunakan pestisida secara rasional, selektif, dan seminimal mungkin dan menciptakan kondisi habitat yang nyaman melalui konservasi habitat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Ceraphronidae. http://ceb.csit.fsu.edu/.../Cerahronidae.htm. diakses tanggal 1April 2009. 2008. Aleyrodidae. www.cals.ncsu.edu/.../text18/plantvectors.html. diakses tanggal 30 April
Anonimous. 2008.
Anonimous. 2008. Pedoman Penerapan Usahatani Non Kimia Sintetik pada Tanaman Hortikultura. http://ditlin.hortikultura.go.id/buku/pedoman_non_kimia.htm. Diakses tanggal 30 April 2008. Al-Zyoud, F., P Blaeser and C. Sengonca. 2006. Longevity of the ladybird predator Serangium parcesetosom Sicard (Col., Coccinellidae) on natural and artificial nutritional sources. Institute of Phytopathology, University of Bonn, Germany. MITT.DTSCH. GES. ALLG. ANGEW. ENT. 15. http://www.dgaae.de/html/publi/mitt2006/251.pdf+predator+T.vaporariorum&c d Al-Zyoud, F and C. Sengonca. 2004. Prey consumtion of Serangium parcesetosum Sicard (Col., Coccinelidae) for different prey stages, species and parasitized prey. J Pest Sci 77: 197 – 204 Atmosoedardjo, H.K., J. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Cetakan Pertama. Penerbit Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta. Andadari, L. 2003. Produksi daun beberapa jenis murbei (Morus spp). Bul. P3H & KA No 638. Andadari, L. 2005. Pengaruh residu beberapa insektisida pada daun murbei (Morus cathayana H.) terhadap rendemen pemeliharaan dan mutu kokon ulat sutera (Bombyx mori L.). J.Pen.Htn & KA. II ( 2): 149 - 156. Berndto and R. Meyhofer. 2008. Whitefly control in cut gerbera: is possible to control Trialeurodes vaporariorum with Encarsia Formosa? International for Biological Control. BioControl 53:751-752 Boucek, Z. 1988. Australian Chalcidea (Hymenoptera): a Biosystematic Revision of Genera of Fourteen Families, with a Reclassification of Spesies. United Kingdom: The Cambrian News Ltd. CAB International.
Darsidi, A. 1993. Program pengembangan persuteraan alam Indonesia. Makalah Seminar disajikan pada Simposium Nasional Persuteraan Alam, 8 Pebruari 1993. 10 p Dysart, R. J. 1995. New host records for north American Scelio spp (Hymenoptera:Scelionidae), parasitic in grasshopper eggs (Orthoptera: Acrididae). http:// www agric.wa.gov.au.pdf. Diakses tanggal 5 Februari 2009 Flint, M. L and S. H. Drestadt. 1998. Natural Enemies Handbook: The Illustrated Guide Biological Pest Control. United State of America: University California Press. 154p. Harwanto. 2002. Coenosia humilis Meigen (Diptera: Anthomyiidae) predator lalat penggorok daun di pertanaman kentang: kelimpahan, pemangsaan dan pengaruhnya terhadap budidaya tanaman. Thesis . Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hoelmer, K and J. Goolsby. 2002. Release, Establishment and Monitoring of Bemicia tabaci Natural Enemies in The United States. International Symposium on Biological Control of Arthopods. Honolulu, Hawai, USA: 58-65. Kaomini, M. 2003. Pedoman Teknis Pemeliharaan Ulat Sutera. Samba Project. A CARE UNBAR Collaborative program of USAID funded Project for BDSs and MFLs Development on Silk Industry in West Java. Bandung. 29 p Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised and translated by P.A. van der Laan, with the assistance of G.H.L Rothshild. PT. Ikhtiar Baru – Van Houve. Jakarta, Indonesia. 710 p Kessing, J. M. L and R. F. L. Mau. 1991. Trialeurodes vaporariorum. http://www. Extent. Hawaii.edu/dbase/crop/type/T.vap. htm. Diakses Nopember 2008. Martin, J. H. 1987. An identification guide to common whitefly pest species of the world (Homoptera; Aleyrodidae). Tropical Pest Management. 33 (4) : 298 – 322. Naranjo, S. E. 2007. Intraguild predation on Eretmocerus sp. nr. emiratus, a parasitoid of Bemisia tabaci, by three generalist predators with implications for estimating the level and impact of parasit. http://www.informaworld.com/mpp/faqs/informaword_chinese_fag.pdf. Diakses tanggal 29 April 2008. Onstad, D. W. 2008. Insect Resistance Management: Biology, Economics and Prediction. Departement of Natural Resources and Environmental Sciences, University of Illinois, Urbana: 209-223 Pracaya, 2002. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. 200 p
Ryu, C. H. 1998. Panduan Teknis Persuteraan Alam. Petunjuk Dasar Persuteraan Alam. PT. Indo Jado Sutera Pratama. Jawa Barat. Rangaswami, G., S. M. N. Narasimhanna, S.K. Kasiviswanathan, S.C.R. Sastry, and M.S. Jolly. 1976. Manual on Sericulture. Vol.1. Mulberry Cultivation, FAO, Rome. Resosoedarmo, S. R., K. Kartawinata dan A. Sugiarto. 1993. Pengantar Ekologi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Shimizu and Tajima. 1972. Handbook of Silkworm Rearing. Fuji Publishing Co. Tokyo. Sudarmo, S. 1990. Pengendalian Serangga Hama Sayuran dan Palawija. Kanisius. Yogyakarta. p : 22 – 23. Samsijah. 1992. Pemilihan tanaman murbei (Morus sp) yang sesuai untuk daerah Sindangresmi, Sukabumi, Jawa Barat. Bul. P3H & KA No 574. Supranto. 2007. Teknik Sampling untuk Survey dan Eksperiment. Rineksa Cipta. Jakarta. 336 p. Sudiono, 2008. Pengendalian Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai Melalui Pengendalian Terpadu Vektor Kutu Kebul. http://digilib.unila.ac.id/go.php?id=laptunilapp-gdl-res-2008-sudionoirm1143. Diakses tanggal 30 April 2008. Sunjaya, P.I. 1970. Dasar-Dasar Ekologi Serangga. Bogor: Bagian Ilmu Hama Tanaman Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida, Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunaannya. UKRIDA, Jakarta. Willemse, L. P. M. 2001. Fauna Malensiana Guide to the Pest Orthoptera of the IndoMalayan Region. Netherlands: Backhuys Publishers.
Lampiran :
B
A
C
C
Lampiran 1 Kegiatan penelitian: A) Pengamatan nimfa; B) Sungkup nimfa yang terparasit; D) Penjaringan serangga; D) Uji pemangsaan.