PENDUGAAN KERAPATAN POPULASI HAMA KUTU KEBUL PADA TANAMAN SAYURAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI WATERSHED
ARDIANSYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul pada Tanaman Sayuran Menggunakan Segmentasi Watershed adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Ardiansyah NIM G651110261
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.
RINGKASAN ARDIANSYAH. Pendugaan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul (whitefly) pada Tanaman Sayuran Menggunakan Watershed Segmentation. Dibimbing oleh YENI HERDIYENI dan AUNU RAUF. Kutu kebul Bemisia tabaci dan Trialeurodes vaporariorum merupakan hama penting pada tanaman sayuran. Penelitian ini mengusulkan metode baru untuk menduga kerapatan populasi kutu kebul menggunakan algoritme watershed. Kerapatan populasi kutu kebul diperoleh dengan menghitung jumlah hama yang terdapat pada daun. Algoritme watershed sangat tepat digunakan untuk mensegmentasi kutu kebul, karena algoritme ini bekerja dengan baik pada objek yang memiliki variasi tingkat keabuan rendah dan area yang saling tumpang tindih (overlap). Metode penelitian ini terdiri atas beberapa proses yaitu pengambilan data, praproses, segmentasi, penghitungan area serangan, penentuan kerapatan populasi kutu, dan evaluasi pendugaan tingkat kerapatan. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra tanaman sayuran yang terserang hama kutu kebul. Praproses bertujuan untuk mengurangi kesalahan yang terjadi pada proses segmentasi menggunakan algoritme watershed. Perbaikan citra menggunakan filter median, bertujuan untuk mengurangi noise pada citra. Citra hasil segmentasi selanjutnya digunakan untuk menghitung area serangan hama pada daun. Area serangan hama dihitung menggunakan penarikan contoh beberapa area daun. Tujuannya untuk memisahkan area yang bukan objek agar tidak ikut dalam proses perhitungan. Hasil perhitungan kemudian diekstraksi dan digunakan untuk menentukan tingkat kerapatan populasi kutu kebul. Kerapatan populasi kutu kebul dihitung menggunakan dua pendekatan metode, yaitu area sampling dan segmentasi daun. Metode area sampling digunakan apabila citra yang diamati memiliki latar belakang yang sulit dibedakan/dipisahkan dengan objek daun, serta kondisi daun yang tidak sempurna (seperti terlipat, terpotong, atau blur). Metode segmentasi daun, digunakan apabila citra daun yang diambil dalam keadaan sempurna (tidak terlipat atau tidak ada blur) dan latar belakang yang mudah untuk dipisahkan. Proses pengujian dilakukan dengan menggunakan citra yang telah dikelompokan menjadi tiga tingkatan yaitu sedikit, sedang, dan banyak. Hasil pengujian kedua metode tersebut kemudian dibandingkan dengan pendugaan populasi kutu kebul berdasarkan pakar. Hasil percobaan pendugaan kerapatan populasi kutu kebul pada daun tanaman memiliki rata-rata nilai kesalahan sebesar 12,5%. Metode area sampling, dipilih sebagai model pendugaan populasi hama yang paling sesuai dengan penilaian pakar. Dengan menggunakan metode ini, tingkat kerapatan populasi kutu kebul dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: ringan, sedang, dan berat. Sistem pendugaan kerapatan populasi hama kutu kebul yang dikembangkan disini diharapkan dapat membantu petugas POPT dalam melaksanakan pemantauan hama. Kata Kunci: pengolahan citra, pendugaan kerapatan hama, segmentasi watershed.
SUMMARY ARDIANSYAH. Estimation of Whitefly Population Density on Vegetables Using Watershed Segmentation. Supervised by YENI HERDIYENI and AUNU RAUF. Witheflies Bemisia tabaci and Trialeurodes vaporariorum are two important pests on vegetables. This research proposed a new method of estimating population density of whiteflies using watershed algorithm. Estimate of population density was obtained by counting the number of pests found on leaves. Watershed algorithm is highly appropriate for segmentation of whitefly, because this algorithm works properly on objects which has low gray level variation and overlapping areas. The research methodology consisted of image acquisition, image preprocess, image enhancement segmentation, calculation of whitely, calculation of infested leaf area, calculation of whitefly population density, and evaluation of infestation level estimates. Data used in this research were digital images of vegetable leaves infested by the whiteflies. Image pre-processing was used to reduce errors that might occur in the process of segmentation with watershed algorithm. Image enhancement with was aimed to reduce noises. Whitefly calculation was done after image segmentation. Infestation area was calculated by sampling leaf areas. The goal was to separate the non object areas so not to be included in the calculation process. The calculation results used to determine the level of pest population density. Whitefly densities were calculated using two methods: sampling area and leaf segmentation. The sampling area method was used when the observed images had a background difficult to separate from leaf objects, and the leaves were not in perfect condition such as folded, truncated, or blured. Whereas, the leaf segmentation method were used when the leaves images were in perfect condition, not bent or not blured, and the background was easy to separate. The process of testing was done using images grouped into three levels: low, moderate, and severe. Results of both methods then were with the estimates by expert. Our research showed that estimation of whitefly population density had an error of 12,5%. The sampling area method was chosen to estimate whitefly density because of its closeness to the expert estimates. Based on this method, the pest population infetations were grouped into three levels: low (≤ 10%), moderate (> 10% until ≤ 30%), and severe (> 30%). The system of estimating whitefly density developed through this research is expected to help pest observers in executing pest population monitoring. Keyword: image processing, estimation of pest density, watershed segmentation.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENDUGAAN KERAPATAN POPULASI HAMA KUTU KEBUL PADA TANAMAN SAYURAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI WATERSHED
ARDIANSYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Komputer pada Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji diluar komisi pembimbing: Dr Ir Agus Buono, MSi MKom
Judul Tesis : Pendugaan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul pada Tanaman Sayuran menggunakan Segrnentasi Watershed : Ardiansyah Nama NIM : G651110261
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
~!:i' SSi MKmn
Prof Dr Ir Aunu RauL MSc Anggota
Ketua
Diketabui oleh
Ketua Program Studi IImu Komputer
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
3 0 SEP 2013
Judul Tesis Nama NIM
: Pendugaan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul pada Tanaman Sayuran menggunakan Segmentasi Watershed : Ardiansyah : G651110261
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom Ketua
Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Komputer
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Yani Nurhadryani, SSi MT
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah pendekatan image processing untuk memantau kerapatan hama, dengan judul Pendugaan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul pada Tanaman Sayuran Menggunakan Segmentasi Watershed. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom dan Bapak Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, kepada Bapak Dr Ir Agus Buono, MSi MKom selaku penguji. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua dosen dan staf Departemen Ilmu Komputer IPB, dosen Jurusan Ilmu Komputer Universitas Lampung yang telah membantu selama proses penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, adik-adik, istri Resti Gustianingsih serta seluruh keluarga atas do’a, dukungan, dan kasih sayangnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Bang Indra Laksmana, Bang Franki, Mbak Ismi, Rizki, Ngakan, Yunda, Doddy, serta seluruh bimbingan Ibu Yeni, keluarga besar Pasca Ilmu Komputer angkatan 13 yang tidak dapat penulis tulis satu per satu, yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini. Besar harapan penulis agar karya ilmiah ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dengan lebih baik lagi.
Bogor, Agustus 2013 Ardiansyah
x
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sayuran di Indonesia Hama Kutu Kebul Pengelolaan Hama Terpadu Computer Vision Pengolahan Citra (Image Processing) Segmentasi Citra (Image Segmentation) Peningkatan Mutu Citra (Image Enhancement) Mask processing Median filtering Penghilangan Latar Belakang (Background Eliminated ) Operasi Morfologi (Morphological Operation) Transformasi Watershed 3 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Tahap Penelitian Perangkat Keras dan Perangkat Lunak 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data Citra Praposes (Resize dan Grayscale) Image Enhancement Penghilangan Latar Belakang Thresholding Segmentasi Citra Evaluasi Penentuan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
x xi xii 1 1 2 3 3 4 4 5 5 7 9 9 10 10 11 12 12 14 17 17 18 22 23 23 23 24 24 24 25 27 40 40 40 41 44
xi
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Jumlah produksi sayuran buncis, ketimun, terung, dan tomat ........................ 4 Hama kutu kebul pada permukaan bawah daun ............................................. 5 Proses pelaksanaan PHT (Sumber: Rauf 2013) .............................................. 7 Proses computer vision .................................................................................. 8 Aplikasi computer vision (Szeliski 2010) ...................................................... 8 Representasi citra digital ............................................................................... 9 Subimage berukuran 3x3 dengan pusat ( x, y) pada citra ............................. 10 Contoh jendela ketetanggaan ....................................................................... 10 Mask berukuran 3x3 (a), contoh piksel citra (b) ........................................... 11 Matriks untuk median filter ......................................................................... 12 Matriks setelah diurutkan ............................................................................ 12 Contoh struktur elemen ............................................................................... 13 Ilustrasi morfologi....................................................................................... 13 Citra gray level (a), permukaan topografi (b) dari citra (a) ........................... 14 Ilustrasi proses segmentasi watershed .......................................................... 16 Skema sistem yang dikembangkan .............................................................. 17 Metode penelitian........................................................................................ 18 Pemilihan daun yang diamati ...................................................................... 19 Langkah-langkah pada algoritme watershed, (a) citra asli, (b) citra transformasi gradient, (c) citra komplemen (b), dan (d) citra watershed ....... 20 Area sampling (kotak) dan hasil segmentasi citra (oval) .............................. 22 Citra tanaman yang terserang hama kutu kebul............................................ 23 Hasil praproses reduksi citra dan grayscale ................................................. 23 Citra hasil smoothing .................................................................................. 24 Proses penghapusan background citra asli ................................................... 24 Citra hasil thresholding dari citra biner ........................................................ 25 Citra hasil segmentasi ................................................................................. 25 Rancangan pengujian sistem ....................................................................... 28 Bagan penetapan tanaman contoh secara acak diagonal ............................... 28 Pengelompokan citra menjadi tiga kelompok .............................................. 29 Diagram batang koordinat spasial ................................................................ 30 Contoh sampling pada citra daun................................................................. 30 Perubahan background citra ........................................................................ 31 Segmentasi luas area daun ........................................................................... 32 Kesalahan segmentasi ................................................................................. 37 Tampilan antar muka sistem ........................................................................ 39 Tampilan hasil pengolahan citra pada sistem ............................................... 39
xii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Nilai PDB hortikultura di Indonesia Tahun 2007 sampai 2010 Perbandingan perhitungan jumlah hama Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok sedikit Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok sedang Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok banyak Perbandingan persentase rata-rata kerapatan hama kedua model Persentase kerapatan hama
4 26 32 34 35 37 38
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sayuran merupakan komoditas strategis dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Komoditas ini memiliki keragaman yang luas dan sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut data Direktorat Jenderal Hortikultura (2012), nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari komoditas sayuran cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga 2010. PDB merupakan salah satu indikator dalam menentukan kontribusi komuditas sayuran terhadap pendapatan negara. Pada tahun 2010, komoditas sayuran memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara sebesar Rp 31.244 milyar. Sehingga dengan adanya peningkatan produksi sayuran di Indonesia, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan negara. Namun pada kenyataannya, produksi sayuran di Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan yang signifikan (BPS 2012). Bahkan terdapat beberapa komoditas, seperti cabai, tomat, wortel, kacang panjang, kacang merah, dan ketimun yang mengalami penurunan (BPS 2012). Salah satu kendala dalam budidaya sayuran adalah gangguan organisme pengganggu tumbuhan yaitu hama, penyakit dan gulma. Di antara hama yang banyak menimbulkan kerusakan pada sayuran adalah kutu kebul Bemisia tabaci (Gennadius) dan Trialeurodes vaporariorum (Westwood) (Homoptera: Aleyrodidae) yang bentuk, warna, dan ukurannya hampir sama (Kalshoven 1981). Kutu kebul dapat menimbulkan kerusakan secara langsung dan tidak langsung. Kerusakan langsung terjadi akibat aktivitas makannya, yaitu penutupan stomata, pembentukan bintik klorotik pada daun, pembentukan pigmen antosianin, dan daun berguguran (de Barro 1995, Hoddle 2003). Kerusakan secara tidak langsung, B. tabaci merupakan vektor virus kuning (Byrne dan Bellows 1990). Kerusakan karena serangan penyakit virus kuning sangat berat dengan kerugian ekonomi yang tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani sayuran, kehilangan hasil akibat serangan B. tabaci dan virus kuning berkisar 20% - 100% (Setiawati et al 2007). Kerugian yang terjadi akibat adanya serangan hama berupa kehilangan hasil panen (kuantitas) dan penurunan mutu panen (kualitas). Upaya pengendalian kutu kebul perlu dilakukan dengan mengacu pada konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) seperti diamanatkan oleh Undangundang No. 12 Tahun 1992. Berdasarkan konsep PHT, aplikasi pestisida hanya dilakukan bila hasil pengamatan menunjukkan kerapatan hama telah melampaui batas yang dapat menimbulkan kerugian. Salah satu kendala dalam pemantauan hama adalah kurangnya jumlah petugas pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT), sehingga akusisi informasi hama dapat terlambat. Tahun 2010 jumlah POPT yang tersedia di Indonesia hanya 3.183 orang untuk 6.543 kecamatan. Dengan demikian 1 orang POPT bertanggung jawab terhadap 2 kecamatan, padahal idealnya minimal 1 orang POPT untuk setiap kecamatan (DJTP 2010). Pada saat ini pemantauan dilakukan secara manual dengan menghitung jumlah kutu kebul yang terdapat pada daun. Hasil perhitungan yang didapatkan
2 secara manual bersifat subjektif dengan akurasi yang rendah (Patil dan Bodhe 2011). Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu sistem yang dapat menduga jumlah hama kutu kebul secara otomatis. Salah satu teknologi yang saat ini dapat diaplikasikan pada bidang pertanian adalah computer vision. Teknologi ini memungkinkan komputer dapat bertindak selayaknya manusia seperti melihat, mengamati, merekam, dan menganalisis. Beberapa teknik pengolahan citra telah dikembangkan peneliti untuk mendeteksi atau memisahkan objek gambar. Wang dan Weng (2008) telah melalukan penelitian untuk memantau kerapatan hama. Mereka menggabungkan beberapa teknik penyaringan tepi gambar (edge-enhancing diffusion filtering) dan pengolahan citra antara lain top-hat transform, bwareaopen operation, distant transform, watershed segmentation dan edge detection. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui banyaknya serangga yang terdapat pada daun tanaman berdasarkan citra daun tanaman yang telah disegmentasi. Gulhane dan Gurjar (2011) melakukan penelitian untuk mendeteksi dan mendiagnosis penyakit pada daun kapas. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengekstrasi jenis penyakit yang menyerang menggunakan teknik segmentasi warna. Hasil penelitian tersebut telah membuktikan bahwa teknik segmentasi dapat digunakan untuk menentukan pola penyakit pada daun kapas dengan efektif. Jaware et al (2012), melakukan penelitian untuk mendeteksi penyakit tanaman dengan menggunakan segmentasi citra. Teknik segmentasi yang digunakan adalah K-Means clustering, teknik ini cukup baik diimplementasikan untuk mensegmentasi citra tingkat rendah. Hasil penelitian ini membuktikan algoritme segmentasi yang diajukan efesien dan memiliki akurasi klustering yang tinggi. Powbunthorn et al (2012) telah mengembangkan teknik analisis citra untuk menilai tingkatan dari penyakit brown leaf spot pada daun singkong. Teknik yang dilakukan yaitu dengan mentransformasi citra bebasis red green blue (RGB) menjadi berbasis hue saturation intensity (HSI). Citra HSI ini kemudian disegmentasi dan dilakukan ekstrasi ciri untuk menentukan total area daun dan area yang terserang. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dikembangkan sistem yang dapat menduga tingkat kerapatan hama kutu kebul pada daun tanaman sayuran menggunakan teknik segmentasi citra dan pengenalan pola. Penelitian ini menggunakan algoritme watershed sebagai teknik segmentasi. Algoritme watershed bekerja dengan baik jika objek yang akan disegmentasi memiliki variasi tingkat keabuan rendah dan area yang saling tumpang tindih (overlap) tidak besar. Hama kutu kebul memiliki variasi tingkat keabuan yang rendah dan menginfestasi tanaman secara berkoloni. Sehingga algoritme watershed sangat tepat digunakan untuk mensegmentasi hama kutu kebul. Informasi hasil segmentasi digunakan untuk menghitung tingkat kerapatan hama pada tanaman. Sistem ini nantinya dapat digunakan oleh petugas POPT, peneliti, dan petani secara umum untuk menduga tingkat kerapatan hama kutu kebul.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan algoritme watershed pada
3 segmentasi citra daun tanaman sayuran. Hasil segmentasi kemudian diekstrasi untuk menduga tingkat kerapatan populasi hama kutu kebul.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu menyediakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi peneliti dan petugas POPT dalam menentukan tingkat kerapatan populasi hama kutu kebul di pertanaman sayuran. Dengan demikian, proses penanggulangan hama dapat dilakukan secara lebih dini.
Ruang Lingkup Penelitian
1. 2. 3. 4. 5.
Penelitian ini memiliki ruang lingkup sebagai berikut: Menggunakan data citra daun tanaman sayuran seperti tomat, terung, buncis, dan ketimun. Citra daun diperoleh dengan menggunakan kamera digital yang diambil dari pertanaman sayuran di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pendugaan populasi kutu kebul didasarkan pada pengamatan terhadap imago atau fase dewasa. Teknik pengolahan citra pada tahap praproses menggunakan pendekatan morfologi. Masukan (input) dari sistem adalah citra daun tanaman sayuran yang terserang kutu kebul. Keluaran (output) yang dihasilkan adalah citra yang telah tersegmentasi dan tingkat kerapatan populasi serta estimasi banyaknya hama.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sayuran di Indonesia Tahun 2012 Deptan telah mendata, bahwa produksi sayuran seperti buncis, ketimun, terung dan tomat di Indonesia selama periode 1997 hingga 2012 bergerak fluktuatif. Berdasarkan data pada Gambar 1, jenis sayuran buncis, ketimun, dan tomat mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir. Produksi sayuran (buncis, ketimun, terung , dan tomat) di Indonesia Tahun 1997 - 2012 1.200.000
Jumlah produksi (ton)
1.000.000 800.000 Tomat
600.000
Terung
400.000
Buncis
200.000
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0 Tahun
Gambar 1 Jumlah produksi sayuran buncis, ketimun, terung, dan tomat
Selain sebagai bahan pangan bagi manusia, sayuran juga memiliki kontribusi terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian khususnya komoditas sayuran berperan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia. Sehingga sektor ini dapat berkontribusi terhadap PDB nasional. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura (2012), nilai PDB dari subsektor hortikultura komoditas sayuran mengalami peningkatan dari Tahun 2007 hingga 2010 setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Nilai PDB hortikultura di Indonesia Tahun 2007 sampai 2010 Komoditas Buah-buahan Sayuran Tanaman Hias Biofarmaka Total
2007 42.362 25.587 4.741 4.105 76.795
Sumber: Ditjen Hortikultura (2012)
Nilai PDB (Milyar Rp) 2008 2009 47.060 48.437 28.205 30.506 5.085 5.494 3.853 3.897 84.203 88.334
2010 45.482 31.244 3.665 6.174 86.565
5 Berdasarkan informasi Tabel 1, dapat diketahui bahwa komoditas sayuran merupakan salah satu indikator penting dalam meningkatkan pendapatan negara. Tahun 2010 komoditas sayuran memberikan kontribusi sebesar 36,09% dari total PDB hortikultura tahun tersebut. Selain sebagai penyumbang PDB pertanian, subsektor hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan memiliki peranan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi masyarakta Indonesia.
Hama Kutu Kebul Hama kutu kebul Bemisia tabaci (Gennadius) dan Trialeurodes vaporariorum (Westwood) (Homoptera: Aleyrodidae) adalah jenis serangga yang hidup menempel pada permukaan bawah daun, berwarna putih, dan sayapnya jernih ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Kutu kebul merupakan hama yang sangat polifag (Frohlich et al 1999) menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tumbuhan liar atau gulma (DPTH 2008). Contohnya pada jenis tanaman budidaya seperti tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis, buncis, selada, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, lada. Gejala serangan hama ini mengakibatkan kerusakan langsung pada sel-sel dan jaringan daun tanaman disebabkan oleh imago (hama dewasa) dan nimfa (hama kecil) yang mengisap cairan daun. Hal ini menyebabkan proses fotosintesa tidak berlangsung normal. Selain kerusakan langsung, kutu kebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus, yang dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20 – 100 % (DPTH 2008). Gambar 2 berikut adalah contoh daun tanaman yang teserang hama kutu kebul.
Gambar 2 Hama kutu kebul pada permukaan bawah daun
Pengelolaan Hama Terpadu Perkembangan populasi berbagai jenis hama yang cukup pesat, mengakibatkan penanggulangan dini harus dilakukan untuk mengurangi kegagalan panen. Sejak tahun 1950 telah dilakukan sistem pengelolaan hama yang menggabungkan berbagai teknik biologi, kimiawi, fisik, dan budidaya secara ekonomis, sehat, dan ramah lingkungan (Kogan 1998). Sistem ini berupaya untuk
6 meminimumkan populasi hama dengan strategi kendali alamiah. Kendali alamiah ini yang nantinya akan melakukan pemberantasan hama menggunakan kekuatan lingkungan secara fisik maupun faktor biologi (seperti predator, parasit, dan patogen) untuk mengelola hama. Musuh alami tersebut sangat banyak ditemukan di dalam ekosistem. Secara umum tujuan dilakukannya pengelolaan hama untuk mengurangi kehilangan hasil panen. Untuk mendukung keberhasilan usaha pengendalian, diperlukan peran aktif para petani dan petugas POPT dalam mengamati (memantau) perkembangan populasi hama. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) adalah strategi pengelolaan hama yang berfokus pada pencegahan jangka panjang atau penekanan masalah hama dengan meminimumkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia, lingkungan, dan organisme bukan sasaran (Flint et al 2003). Menurut Flint et al (2003) langkahlangkah untuk mengembangkan program PHT meliputi: 1. Mengidentifikasi semua hama potensial (termasuk semua tahap kehidupan) ke dalam sistem. 2. Menetapkan pedoman (aturan) pemantauan setiap jenis hama. 3. Menetapkan tingkatan kerusakan dan ambang tindakan untuk setiap jenis hama. 4. Membangun sistem pencatatan (basis data). 5. Mengembangkan daftar strategi pengelolaan yang tepat untuk setiap hama. 6. Mengembangkan kriteria khusus untuk pemilihan metode pengelolaan hama. 7. Mengembangkan panduan yang harus diikuti setiap kali pestisida akan digunakan. 8. Menunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk setiap langkah pengelolaan. 9. Mengembangkan daftar sumber daya. 10. Mempertimbangkan aturan PHT yang telah dikembangkan untuk menjadi “living document” yang dapat berubah sesuai pengalaman dan informasi baru. Dalam pelaksanaannya, tindakan PHT berbeda-beda sesuai permasalahan setempat yang dihadapai. Namun secara umum, PHT tersusun dari empat proses kegiatan yaitu (1) penangkalan, (2) pencegahan, (3) pemantauan, dan (4) penanggulangan (Rauf 2013). Pelaksanaan PHT harus diawali dengan penangkalan, yaitu upaya agar pertanaman yang kita usahakan terbebas dari hama dari sejak awal, misalnya dengan menggunakan bibit yang bebas hama dan penyakit. Tahap kedua adalah pencegahan, yaitu kegiatan budidaya tanaman untuk mencegah atau mengekang perkembangan hama agar tetap di bawah tingkat yang merugikan. Yang ketiga adalah pemantauan, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara terjadwal, misalnya seminggu sekali, dengan tujuan untuk memantau kecenderungan perkembangan populasi atau tingkat serangan hama. Bila hasil pemantauan menunjukkan bahwa populasi hama telah melampaui batas yang merugikan (ambang tindakan/AT), maka perlu dilakukan tindakan penanggulangan (Gambar 3). Penelitian yang dilakukan di sini difokuskan pada tahapan pemantauan, yaitu menduga tingkat kerapatan populasi hama kutu kebul pada tanaman sayuran. Proses pendugaan ini menghasilkan model prediksi yang didasarkan pada pengolahan citra daun.
7
Penanggulangan
AT Pencegahan
Penangkalan Sumber Hama
Pemantauan
Waktu
Gambar 3 Proses pelaksanaan PHT (Sumber: Rauf 2013)
Computer Vision Computer vision adalah teknologi pengolahan gambar atau video yang dihasilkan kamera untuk diolah dan dianalisis oleh komputer, sehingga komputer memiliki kemampuan yang sama dengan visual manusia, seperti melihat, berfikir, dan merespon. Secara teknis computer vision bertujuan untuk membuat komputer dapat mengerti apa makna dari gambar atau video (scene) yang diambil dari dunia nyata ke dalam bentuk angka-angka atau simbol-simbol. Ballard dan Brown (1982) menjelaskan bahwa computer vision adalah otomatisasi dan integrasi suatu range yang luas yang terdiri dari proses-proses dan representasi-representasi terhadap persepsi visual. Tahun 2001, Shapiro dan Stockman juga mendefiniskan computer vision sebagai bidang ilmu yang bertujuan untuk membuat suatu kesimpulan yang berguna mengenai objek fisik nyata dan adegan (scene) berdasarkan sebuah citra. Computer vision merupakan bidang ilmu yang dikembangkan dengan mengkombinasikan antara teknik pengolahan citra dan pengenalan pola untuk dapat mengekstrak informasi dari gambar atau video. Informasi tersebut dapat berupa data-data seperti urutan alur video, intensias cahaya, atau perspektif dari sudut gambar yang berbeda-beda. Computer vision apabila digabungkan dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), akan menghasilkan sistem cerdas (intelligent system) yang saat ini banyak diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Proses dari computer vision dapat dilihat pada Gambar 4.
8
Citra Input device (digital camera, scanner)
Scene
Image description
Preprocessing
Pattern recognition
Intermediate processing Pola
Gambar 4 Proses computer vision
Beberapa peneliti telah menggunakan computer vision dalam penelitiannya, salah satunya ialah Pokhakar dan Thool (2012), mereka memanfaatkan teknik computer vision untuk melakukan pengawasan penyakit dan hama tanaman. Selain itu penerapan computer vision banyak dimanfaatkan pada berbagai aplikasi industri seperti pada Gambar 5, antara lain: (a) pengenalan karakter optik (optical character recognition); (b) inspeksi mekanik (mechanical inspection); (c) perdagangan (retail); (d) citra kesehatan (medical imaging); (e) keselamatan otomotif; dan (f) pengawasan dan pemantauan lalu lintas (surveillance and traffic monitoring).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 5 Aplikasi computer vision (Szeliski 2010)
9 Pengolahan Citra (Image Processing) Pengolahan citra adalah suatu teknik untuk menganalisis dan memanipulasi suatu citra dengan menggunakan komputer. Komputer dapat digunakan sebagai media penyimpanan dan pengolahan citra digital. Citra digital adalah representasi objek fisik nyata tiga dimensi ke dalam bentuk dua dimensi. Citra ini kemudian dapat diolah untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Saat ini, pengolahan citra telah diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Pengolahan citra terdiri dari berbagai bentuk proses sinyal dimana input-nya berupa citra. Sedangkan output-nya berupa citra atau serangkaian karakter (parameter) yang berkaitan dengan citra. Menurut Gonzalez dan Woods (2003), citra didefiniskan sebuah gambar yang tersusun atas array atau matrix dari piksel (elemen gambar) dalam bentuk baris dan kolom, seperti ilustrasi berikut.
f (0,0) f (1,0) f ( x, y ) ... f ( N 1,0)
f (0,1) ...
... ...
... ... f ( N 1,1) ...
f (0, M 1) f (1, M 1) ... f ( N 1, M 1)
Gambar 6 Representasi citra digital
Segmentasi Citra (Image Segmentation) Salah satu teknik pengolahan citra yang banyak digunakan adalah segmentasi citra. Segmentasi citra adalah proses pemisahan citra menjadi beberapa bagian yang homogen dan mengekstrak bagian-bagian tersebut menjadi beberapa object yang akan diamati (Gonzales dan Woods 2003). Segmentasi merupakan bagian dari computer vision yang digunakan dalam analisis citra secara otomatis. Objek yang diinginkan dari proses segmentasi akan diolah unuk proses selanjutnya, misalnya pada pengenalan pola. Kualitas segmentasi yang baik akan mempengaruhi kualitas pengenal pola. Beberapa aplikasi yang menggunakan teknik segmentasi citra antara lain medical imaging, penentuan benda dari citra satelit (jalan, gunung, dsb), pengenalan wajah, pengenalan tandatangan, sistem lampu lalu lintas, sistem informasi geografis, dan masih banyak lagi.
10 Peningkatan Mutu Citra (Image Enhancement) Image enchanmenet adalah proses peningkatan kualitas citra, tujuannya untuk menghasilkan citra yang lebih baik dari citra asli sehingga memudahkan dalam proses pengolahan citra lebih lanjut (Gonzales dan Woods 2003). Salah satu teknik enhancement adalah teknik spatial domain. Proses yang dilakukan dengan memanipulasi setiap piksel citra secara langsung, dengan menggunakan persamaan berikut.
g ( x, y) T [ f ( x, y)]
(1)
dengan f ( x, y) ialah citra input, g ( x, y) adalah citra yang diproses, dan T adalah operator untuk f ( x, y) . Prinsip pendekatannya adalah menggunakan subimage, yaitu area persegi yang berpusat pada ( x, y) . Pusat subimage dipindahkan secara berurutan dari satu piksel ke piksel lainnya, lihat Gambar 7. Proses ini dimulai dari sudut kiri atas, dan operator T digunakan pada setiap lokasi ( x, y) sehingga dihasilkan citra output (g ) .
Gambar 7 Subimage berukuran 3x3 dengan pusat ( x, y) pada citra
Mask processing Mask processing adalah operasi yang melibatkan piksel-piksel tetangganya dengan menggunakan jendela ketetanggaan. Operasi yang dilakukan adalah dengan mengoperasikan suatu mask (filter) terhadap jendela tersebut (konvolusi). Isitilah ini biasa disebut juga dengan filter. Gambar 8 berikut adalah contoh jendela ketetanggaan dengan ukuran 3x3. Nilai piksel pada posisi X dipengaruhi oleh 8 nilai piksel tetangganya. 1 2 3 4 X 5 6 7 8
Gambar 8 Contoh jendela ketetanggaan
11 Ilustrasi dari konvolusi citra menggunakan sebuah filter berukuran 3x3 pada sebuah citra dapat dilihat pada Gambar 9. G11 G21 G31 G41 G51
W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8 W9 (a)
G12 G22 G32 G42 G52
G13 G23 G33 G43 G53 (b)
G14 G24 G34 G44 G54
G15 G25 G35 G45 G55
Gambar 9 Mask berukuran 3x3 (a), contoh piksel citra (b)
Gambar 9 menggunakan filter berukuran 3x3, dimana nilai piksel pada posisi G22 dipengaruhi oleh 8 nilai tetangganya. Filter ini akan diterapkan (dikonvolusikan) pada setiap jendela ketetanggaan 3x3 pada citra (b). Proses ini dilakukan berulang-ulang pada seluruh piksel citra. Untuk mendapatkan nilai piksel yang baru pada posisi G22 hasil konvolusi menggunakan persamaan berikut. ' G22 w1G11 w2G12 w3G13 w4G21 w5G22 w6G23 w7G31 w8G32 w9G33
(2)
Median filtering Median filtering adalah salah satu teknik image smoothing yang digunakan untuk menghilangkan noise dengan memanfaatkan fungsi median (Gonzales dan Woods 2003). Median adalah nilai tengah dari kumpulan data. Untuk mencari lokasi median dari kumpulan data ganjil digunakan persamaan berikut, n dengan n adalah jumlah data dan x adalah lokasi/indeks nilai median. Untuk median filtering, data yang digunakan terdiri dari kumpulan data ganjil. Hal ini disebabkan dengan jumlah data yang ganjil maka piksel yang akan diproses dapat berada ditengah. Pada median filtering digunakan matriks berdimensi n x n. Dari matrik tersebut kemudian data diurutkan dan dimasukkan dalam sebuah matrik berukuran 1 x (n x n). Hal ini berguna untuk mempermudah menemukan median dari kumpulan data yang telah diurutkan. Sebagai ilustrasi, Gambar 10 menunjukkan suatu matriks berdimesi 3x3 yang berisi piksel utama dan piksel-piksel disekitarnya. Matriks tersebut harus diurutkan terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam sebuah matriks berukuran 1 x (3 x 3) atau 1 x 9. Gambar 11 menunjukkan matriks yang telah diurutkan. Dari matriks tersebut, dapat dicari nilai piksel yang baru dengan menggunakan perhitungan median, maka nilai mediannya adalah x = 5. Nilai ini akan menggantikan nilai 8, sehingga piksel utamanya akan memiliki warna yang berbeda dengan sebelumnya.
12 9
5
5
3
8
5
2
1
4
Gambar 10 Matriks untuk median filter
1 2 3 4 5 5 5 8 9
Gambar 11 Matriks setelah diurutkan
Matriks ini akan bergeser ke kanan sebesar 1 piksel dan diterapkan perhitungan yang sama. Proses ini terus dilakukan secara iteratif sampai bagian kanan bawah citra, sehingga semua nilai piksel digantikan dengan nilai median.
Penghilangan Latar Belakang (Background Eliminated ) Latar belakang citra, merupakan bagian (objek) dari citra asli yang tidak diamati, sehingga bagian ini perlu dihilangkan untuk mengurangi kesalahan pada pengolahan citra lebih lanjut. Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menghilangkan latar belakang antara lain smoothing dan denoising. Li et al (2012) menggunakan metode subtraction untuk menghilangkan latar belakang pada citra asli. Metode tersebut didefinisikan sebagai berikut,
gi ( x, y) fi ( x, y) h( x, y) k
(4)
dengan gi ( x, y) ialah citra setelah diproses, f i ( x, y) adalah citra asli, h( x, y) adalah latar belakang dan k nilai koreksi.
Operasi Morfologi (Morphological Operation) Morfologi adalah teknik yang berdasarkan pada teori himpunan dan dapat digunakan untuk pengolahan citra biner dan pengolahan citra abu-abu (Gui dan Wei 2003). Dalam pengolahan citra teknik morfologi dapat digunakan untuk membagi citra menjadi morfologi biner, morfologi keabuan, dan morfologi warna (Li et al 2012). Peneliti ini juga menggunakan morfologi ektstrasi ciri untuk menentukan area citra medis yang diamati. Operator dasar matematika morfologi adalah dilation dan erotion. Operasi morfologi lainnya opening dan closing merupakan sintesis dari dua operasi dasar ini (Bhadauria dan Dewal 2010; Basha dan Prasad 2008). Diberikan fungsi A yang merepresentasikan citra, dimana , dan fungsi B menunjukkan struktur elemen (structuring element). Contoh dari struktur elemen dapat dilihat pada Gambar 12. Dilation citra oleh struktur elemen dinyatakan dalam persamaan berikut,
13 (5) dengan adalah refleksi fungsi B, dan z adalah jumlah pergeseran. Dilation dari suatu himpunan A dengan struktur elemen B adalah himpunan keseluruhan pemindahan z, sehingga dan A saling melewati (overlap) minimal satu elemen. Erosi citra oleh struktur elemen dinyatakan sebagai, (6) dengan adalah refleksi fungsi B, dan z adalah jumlah pergeseran. Erotion dari suatu himpunan A dengan struktur elemen B adalah suatu himpunan dari semua elemen A dan B dengan pemindahan sebanyak z, dimana B berada pada A.
Gambar 12 Contoh struktur elemen
a) Ilustrasi dilation
b) Ilustrasi erotion
c) Ilustrasi opening
d) Ilustrasi closing Gambar 13 Ilustrasi morfologi
14 Teknik erotion mengurangi nilai gray scale citra dengan menerapkan transformasi penyusutan. Sedangkan dilation meningkatkan nilai gray scale citra dengan menerapkan transformasi perluasan. Keduanya sensitif terhadap image border yang memiliki perubahan nilai gray scale (Bai 2010). Operasi morfologi lainnya, yaitu opening dan closing merupakan sintesis dari erotion dan dilation. Proses opening merupakan proses yang diawali erotion dan dilanjutkan dilation, sedangkan closing merupakan proses yang diawali dilation dan dilanjutkan erotion (Gonzales dan Woods 2003). Gambar 13 menunjukkan ilustrasi dari dilation, erotion, opening, dan closing.
Transformasi Watershed Transformasi watershed adalah salah satu teknik matematika yang sangat baik untuk segmentasi citra (Meyer dan Beucher 1990; Vincent dan Soille 1991; Beucher dan Meyer 1992; Nguyen et al 2003; dan Jaafar dan Mourou 2009). Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Beucher dan Lantuéjoul (1979), penelitian ini menggunakan watershed untuk mendeteksi garis bentuk. Dalam konsep transformasi watershed sebuah citra direpresentasikan kedalam bentuk tiga dimensi yaitu posisi spasial (x dan y) dan tingkat warna piksel (gray level) yang dimiliki. Posisi x dan y adalah bidang dasar gambar, sedangkan gray level akan bernilai semakin tinggi untuk nilai piksel yang mendekati warna putih. Berdasarkan contoh Gambar 14 (a), jika diasumsikan gambar tersebut dalam bentuk topografi seperti Gambar 14 (b), maka terdapat tiga macam titik (Gonzales dan Wood 2003), yaitu: a. Titik minimum regional (minima), memiliki nilai minimum yang berbedabeda untuk setiap wilayah (regional). b. Titik yang membentuk wilayah gradien (catchment basins). c. Titik yang akan membentuk garis (watershed lines) yang membagi catchment basins yang berbeda. Watershed line
(a)
Catchment basins
minima (b)
Gambar 14 Citra gray level (a), permukaan topografi (b) dari citra (a)
15 Penelitian yang dilakukan Jaafar dan Mourou (2009) menjelaskan bagaimana operator morfologi matematika sangat membantu dalam segementasi citra. Penelitian tersebut memaparkan bagaimana transformasi watershed membantu meningkatkan hasil perhitungan pada permasalahan segmentasi citra. Sebuah citra I dapat dimisalkan ke dalam fungsi skalar A(x,y) dengan . Gradien morfologis dari citra I dapat dihitung menggunakan persamaan berikut (Beucher et al 1993). dimana
(7)
adalah nilai gradien dari fungsi skalar A, sedangkan dan berturut-turut adalah dilasi dan erosi dasar dari A dengan elemen struktur B. Untuk nilai morfologis Laplacian dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. u
-
(8)
dengan adalah nilai laplacian dari fungsi skalar A. Berdasarkan Persamaan 6 untuk membedakan pengaruh zona dari minima dan suprema, yaitu daerah dengan dianggap sebagai zona , sedangkan dianggap sebagai zona minima. Kemudian jika , maka dapat diprediksi daerah tersebut adalah lokasi tepi, sehingga memudahkan untuk pembentukan filter morfologi. Untuk menentukan operasi dilasi atau erosi yang dilakukan pada citra I, bergantung pada lokasi nilai piksel yang berada pada zona minimum atau maksimum (Serra 1988). Catchment basin C(M) yang terkait dengan minimum M adalah himpunan piksel p dari . Sehingga apabila air diteteskan dan jatuh pada p lalu mengalir disepanjang relief, mengikuti aliran tertentu hingga mencapai M. Catchment basin dari gambar I kemudian disesuaikan dengan zona minima-nya, dan watershed akan ditentukan oleh garis terpisah yang berdekatan dengan catchment basin. Algoritme yang paling sering digunakan untuk menghitung watershed adalah algortime yang berdasarkan pada analogi proses perendaman. Menurut Soille (1992) algortima proses perendaman dijelaskan sebagai berikut. Misalkan min dan ma adalah nilai terkecil dan nilai terbesar yang diambil oleh A. Kemudian , ≤ adalah nilai ambang batas (threshold) yang ditetapkan dari A pada tingkat h. Derajat keabuan h didefinisikan secara rekursif mulai dari min hingga ma , dimana cekungan yang saling terkait dengan nilai minimum dari A berturut-turut diperluas. Asumsikan sebagai kumpulan dari beberapa cekungan yang dihitung pada tingkat h. Selanjutnya, komponen batas ambang (threshold) yang saling berhubungan diatur menjadi pada tingkat sehingga dapat menghasilkan nilai minumum baru atau perluasan cekungan pada . Pada tahap akhir, rangkaian dari seluruh nilai minimal lokal pada tingkat h, dinotasikan sebagai min . Prosedur rekursif yang mendefinisikan watershed dihitung dengan menggunakan persamaan berikut. X hmin Thmin h h , h 1 min min max h 1 IZTh1 X h
dengan
(9)
16 k
IZTh1 izTh1 X hi i 1
(10) diformulasikan sebagai
dimana k adalah jumlah minimum dari I, dan i
i
,
i, d
,
i
≤d
,
(11)
Kumpulan catchment basins dari derajat keabuan citra I nilainya akan sama dengan kumpulan . Diakhir proses, watershed dari citra I adalah complement dari yang terdapat pada . Ilustrasi proses segmentasi watershed dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15, (a) adalah objek dari citra grayscale. Dimana setiap nilai grayscale minimum dari citra I dianggap sebagai permukaan yang memiliki lubang yang dapat terendam air. Kemudian gambar (b) dan (c), air akan mengisi dalam setiap cekungan yang berbeda pada citra I mulai dari minima (nilai intensitas terendah). Pada gambar (d), secara konseptual algoritme watershed akan membangun bendungan (dams), untuk menghindari dua atau lebih cekungan yang berbeda tergabung dalam satu rendaman air. Gambar (e) adalah akhir proses perendaman, setiap minimum lokal akan benar-benar tertutup oleh bendungan. Bendungan ini membentuk garis (line) yang merupakan representasi garis watershed pada citra I.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 15 Ilustrasi proses segmentasi watershed
Segmentasi watershed merupakan metode yang menghasilkan segmentasi objek berdasarkan pada daerah objek tersebut (segmentasi wilayah). Metode ini sangat tepat diaplikasikan untuk memisahkan objek yang berbentuk cell dan saling overlap. Kutu kebul merupakan jenis hama yang hidupnya berkoloni, sehingga teknik segmentasi watershed ini dapat diterapkan untuk mensegmentasi objek hama.
17
3 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Pendugaan populasi hama kutu kebul pada area tanam sayuran tidak dilakukan pada semua populasi tanaman yang ada. Hal ini disebabkan jumlah tenaga, waktu, dan biaya yang terbatas. Sehingga proses pendugaan dilakukan dengan memilih tanaman contoh secara acak (Warduna et al., 2011). Pendugaan dilakukan dengan mensegmentasi daun tanaman yang terserang hama kutu kebul. Hasil segmentasi citra tersebut akan digunakan untuk menentukan tingkat kerapatan hama. Tingkat kerapatan ini akan dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu intensitas ringan, sedang, dan banyak.
Gambar 16 Skema sistem yang dikembangkan
Penelitian ini akan mengembangkan sistem pendugaan populasi hama kutu kebul pada ekosistem pertanian berdasarkan citra daun. Citra daun ini diperoleh dari daerah yang dicurigai terserang hama kutu kebul. Hasil pengambilan (akuisisi) citra tanaman ini selanjutnya akan diolah di server, untuk diamati tingkat kerapatan populasi hama tersebut. Tingkat kerapatan populasi hama kutu kebul pada suatu ekosistem pertanian ditentukan berdasarkan rata-rata kerapatan hama dari contoh tanaman yang diamati. Sistem yang akan dikembangkan pada penelitian ini akan diimplementasikan pada sisi server. Gambar 16 adalah ilustrasi sistem yang dikembangkan.
18 Tahap Penelitian Untuk menentukan kerapatan populasi hama pada ekosistem pertanian, terlebih dahulu perlu mengetahui kerapatan populasi hama per individu tanaman yang diamati. Daun tanaman yang terserang hama akan disegmentasi kemudian dianlisa untuk mengetahui jumlah area hama. Jumlah area hama ini kemudian akan dibandingkan dengan luas area daun sehingga didapatkan kerapatan hama perdaun tanaman. Tingkat kerapatan perdaun ini yang kemudian diolah untuk mendapatkan tingkat kerapatan hama perindividu tanaman. Tahap penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 17. Data citra tanaman
Praproses
Segmentasi Watershed
Hitung jumlah catchment basin awal
Hitung selisih jumlah the first minimum catchmen basin flood dengan minimum flood lainnya
Hitung jumlah catchment basin akhir
Cari minimum flood terbaik dengan nilai threshold tertentu
Hitung gradient selisih jumlah catchment basin
Penggabungan catchment basin
Hitung area infeksi serangan
Penentuan kerapatan populasi hama
Tingkat kerapatan
Gambar 17 Metode penelitian
Data penelitian Data yang digunakan adalah citra tanaman sayuran buncis, ketimun, terong, dan tomat yang terserang hama kutu kebul. Citra didapatkan dari pengambilan
19 menggunakan kamera digital di daerah Cipanas, Bogor. Pengambilan citra dilakukan pada tanaman yang terserang hama kutu kebul dengan fase imago (dewasa), karena pada fase ini hama mudah lebih mudah untuk dideteksi. Citra daun yang diambil pada sepertiga bagian atas tanaman sebanyak 4 helai daun. Karena hama kutu kebul pada umumnya menyerang daun tanaman pada wilayah tersebut. Sedangkan untuk ke-4 helai daun yang diambil, masingmasing mewakili arah utara, selatan, barat, dan timur. Contoh pemilihan daun yang akan diamati dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Pemilihan daun yang diamati
Praproses Tahap ini merupakan tahap awal untuk mempersiapkan citra sebelum dilakukan proses segmentasi. Pada tahap ini dilakukan beberapa teknik pengolahan citra seperti transformasi warna citra dan operasi morfologi (dilation, erotion, opening, dan closing). Transformasi warna citra dari RGB (red-greenblue) menjadi grayscale bertujuan untuk menyederhanakan matrik warna yang semula 3 layers yaitu R-layer, G-layer, dan B-layer menjadi 1 layer matrik. Sedangkan operasi morfologi dilakukan untuk menghaluskan citra, menghilangkan tonjolan tipis, ataupun menghilangkan lubang kecil pada citra. Untuk mengubah citra RGB dengan masing-masing nilai matrik r, g, dan b menjadi citra grayscale dengan nilai matrik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Singh et al. 2010).
s 0,299 R 0,587 G 0,114 B
(12)
Kemudian citra hasil grayscale pada tahap sebelumnya dikonversi menjadi citra biner. Citra biner hanya terdiri dari dua nilai keabuan 0 (hitam) dan 1 (putih) pada setiap elemen matriksnya. Untuk membuat citra biner dengan cara melakukan thresholding terhadap citra grayscale menggunakan Persamaan 13. Piksel yang memiliki nilai keabuan diatas nilai threshold (T) akan dikonversi menjadi 1 sedangkan dibawahnya akan diberi nilai 0.
20
1, f b i, j 0,
f g i, j T lainnya
(13)
Segmentasi watershed Citra yang telah didapatkan pada tahap praproses selanjutnya akan disegmentasi menggunakan algoritme watershed. Tahap ini bertujuan mencari garis watershed yang merepresentasikan objek hama yang akan disegmentasi. Proses watershed dimulai dengan menghitung jumlah catchment basin yang bertetangga. Kemudian menghitung gradient perbedaan jumlah cathcment basin yang bertetangga. Tujuannya untuk mencari watershed dengan gradient jumlah cathment basin terbesar. Nilai gradient ini dijadikan bobot untuk edge pada dua catchment basin yang bertetangga. Selanjutnya, bobot ini digunakan untuk menentukan flood minimal yang akan menjadi masukan (input) tahap penggabungan. Proses penggabungan catchment basin berdasarkan nilai flood minimal, apabila bobot lebih kecil dari flood minimal maka catchment basin tersebut dapat digabungkan. Untuk menggabungkan dua atau lebih cathcmetn basin, dengan cara melabeli ulang cathcment basin yang tergabung pada label yang sama. Batas antara daerah penggabungan inilah yang disebut dengan garis watershed. Sebagai ilustrasi langkah-langkah algoritma watershed diperlihatkan Gambar 19.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 19 Langkah-langkah pada algoritme watershed, (a) citra asli, (b) citra transformasi gradient, (c) citra komplemen (b), dan (d) citra watershed
21 Area infeksi serangan Tahap ini bertujuan untuk menghitung kerapatan populasi hama yang menyerang tanaman. Perhitungan ini dilakukan dengan penarikan contoh, dimana daerah yang akan dihitung tidak dilakukan di seluruh area daun, tetapi hanya beberapa area daun. Proses ini bertujuan untuk memisahkan area yang bukan daun agar tidak ikut dalam perhitungan. Selain itu, proses ini juga bertujuan untuk mengurangi waktu komputasi yang lebih lama apabila menggunakan seluruh citra. Penarikan contoh dilakukan karena adanya area pada citra yang bukan merupakan daun (latar belakang) dan tidak dilakukannya segmentasi area daun. Segmentasi area daun merupakan proses untuk memisahkan area daun dan latar belakang. Proses ini tidak dilakukan karena citra daun yang diakuisisi memiliki latar belakang dengan piksel yang tidak seragam. Area penarikan contoh yang digunakan adalah persegi panjang dengan ukuran minimal 195 x 130 pixel dan maksimal 270 x 180 piksel. Persegi panjang dipilih karena selain proses perhitungan lebih mudah, juga menyesuaikan dengan bentuk citra aslinya, yaitu persegi panjang. Dengan iterasi, masing-masing area penarikan contoh dibentuk dengan loncatan ke kanan sejauh 10% lebar kotak penarikan contoh dan loncatan ke bawah sejauh 20% dari tinggi kotak penarikan contoh. Setelah didapatkan kotak-kotak tersebut, masing-masing kotak dihitung jumlah piksel putih dan diurutkan dari yang paling banyak ke yang paling sedikit. Jumlah piksel putih ini menandakan area daun yang tertutupi oleh hama. Dengan jumlah piksel putih paling banyak, maka dapat disimpulkan bahwa pada area tersebut terdapat jumlah hama paling banyak dan area yang bukan merupakan daun relatif sedikit. Jumlah kotak penarikan contoh yang terpilih berbeda-beda untuk masingmasing citra tergantung pada jumlah hama pada daun pada masing-masing citra. Kotak-kotak tersebut akan terus dipilih sampai luas total dari kotak-kotak tersebut mendekati 50% dari luas citra keseluruhan dan sampai sudah tidak ada lagi hama pada citra. Setelah itu, masing-masing kotak tersebut dihitung nilai kerapatannya dan dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai kerapatan akhir dengan menggunakan pesamaan berikut, i
in
i i
in
i
dengan NK : persentase nilai kerapatan p : jumlah piksel putih in i : lebar kotak penarikan contoh ke-i in i : tinggi kotak penarikan contoh ke-i k : jumlah kotak penarikan contoh i , , , …, k Gambar 20 berikut merupakan representasi dalam perhitungan area infeksi serangan.
22
Gambar 20 Area sampling (kotak) dan hasil segmentasi citra (oval)
Perangkat Keras dan Perangkat Lunak Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sistem operasi Windows® 7, Ms. Office Word 2007, Code::Blocks10.05, OpenCV 2.20. Sedangkan untuk perangkat keras yang digunakan adalah Intel® Core™ i processor M . GHz , VDIA® GeForce® , . ” HD LED LCD, memori 2GB.
23
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap ini adalah pengembangan sistem untuk memantau kerapatan populasi hama kutu kebul. Citra digital yang digunakan sebagai input kedalam sistem berformat “jpg” atau “jpeg”. Citra daun tanaman yang terserang hama kutu kebul dikelompokan menjadi 3 tingkatan, yaitu kerapatan sedikit, sedang dan banyak.
Data Citra Penelitian ini menggunakan citra daun dari beberapa individu tanaman. Proses pengambilan daun tiap individu dilakukan secara acak. Penentuan tingkat kerapatan populasi hama diawali dengan menentukan tingkat kerapatan hama perdaun tanaman. Kemudian dihitung kerapatan perindividu tanaman berdasarkan jumlah rata-rata jumlah kerapatan perdaun. Hasil tingkat kerapatan dikelompokan menjadi 3 bagian yaitu sedikit, sedang, dan banyak. Berikut adalah gambar beberapa contoh citra yang digunakan.
Gambar 21 Citra tanaman yang terserang hama kutu kebul
Praposes (Resize dan Grayscale) Praproses bertujuan untuk mengurangi waktu pemroresan data yang disebabkan terlalu besarnya dimensi citra asli. Citra asli yang memiliki dimensi besar diperkecil menjadi ukuran 874 x 583 piksel. Kemudian mode warna citra asli diubah dari mode RGB menjadi grayscale. Hasil praproses tersebut dapat dilihat pada Gambar 22 berikut.
Gambar 22 Hasil praproses reduksi citra dan grayscale
24 Image Enhancement Selanjutnya citra hasil praproses diperbaiki menggunakan filter median. Tahap ini bertujuan untuk mengurangi noise pada citra dengan melakukan teknik penghalusan (smoothing). Gambar 23 adalah citra hasil smoothing.
Gambar 23 Citra hasil smoothing
Penghilangan Latar Belakang Proses ini dilakukan dengan melakukan operasi pengurangan pada citra hasil smoothing dan citra background. Citra background diperoleh dengan melakukan operasi morfologi opening pada citra smoothing. Operasi morfologi opening adalah proses morfologi erotion yang kemudian diikuti dengan morfologi dilation. Proses opening ini bertujuan untuk menghilangkan objek-objek yang kecil dan kurus, memecah objek pada titik-titik yang kurus, dan secara umum menghaluskankan batas dari objek besar tanpa mengubah area objek secara signifikan. Gambar 24 berikut adalah hasil penghapusan background citra.
=
smoothing
opening
non-background
Gambar 24 Proses penghapusan background citra asli
Thresholding Tahap selanjutnya adalah mengubah citra menjadi mode biner. Untuk menghasilkan citra biner menggunakan teknik thresholding, yaitu membagi citra menjadi dua bagian 1 dan 0. Citra bernilai 1 adalah objek citra yang diinginkan (hama kutu kebul) sesuai nilai ambang (threshold). Sedangkan nilai 0 untuk objek lainnya seperti daun atau latar belakang yang memiliki nilai dibawah threshold. Nilai threshold ditentukan berdasarkan sebaran nilai grayscale pada citra yang merepresentasikan kumpulan hama kutu kebul. Teknik threshold yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode triangle yang dikembangkan Patil dan
25 Bodhe (2011). Nilai threshold diperoleh berdasarkan bentuk histogram dari citra tersebut. Sehingga nilai threshold akan dinamis bergantung sebaran nilai grayscale pada citra. Gambar 25 berikut adalah citra biner yang dihasilkan dari proses thresholding.
Gambar 25 Citra hasil thresholding dari citra biner
Segmentasi Citra Citra hasil thresholding selanjutnya menjadi masukan (markers) untuk disegmentasi menggunakan algoritme watershed. Hasil proses ini adalah citra hama kutu kebul yang telah tersegmentasi. Citra hasil segmentasi menggunakan algoritme watershed dapat dilihat pada Gambar 26. Area yang dibatasi oleh garisgaris yang membentuk lintasan tertutup adalah segmetasi dari hama kutu kebul. Citra Asli
Citra Segmentasi
Gambar 26 Citra hasil segmentasi
26 Hasil pengujian terhadap beberapa daun yang terserang hama kutu kebul memiliki ketepatan (akurasi) yang berbeda-beda, hal ini bergantung pada kondisi citra yang diakusisi. Citra yang yang digunakan sebaiknya tidak terdapat blur pada beberapa bagian, karena akan mengurangi akurasi dari proses segmentasi citra tersebut. Hal ini dapat menimbulkan over segmentation, seperti kesalahan segmentasi pada objek yang bukan hama. Perbandingan jumlah hama antara hasil segmentasi dan perhitungan secara manual pada beberapa citra daun yang diamati, dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan perhitungan jumlah hama Citra ke-i
Perhitungan manual 21
Perhitungan komputer 21
52
48
15
13
7
6
39
36
9
9
27 Citra ke-i
Perhitungan manual 27
Perhitungan komputer 23
45
26
Persentase kesalahan segmentasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut, n
error
hm hk
i 1
hm n
100
(15)
dimana hk adalah jumlah hama berdasarkan perhitungan komputer, hm adalah jumlah hama secara manual, dan n adalah jumlah hama. Berdasarkan pengujian data Tabel 2, maka diperoleh nilai kesalahan (error rate) sebesar: 100 21 21 52 48 7 6 15 13 39 36 9 9 27 23 45 26 8 21 52 7 15 39 9 27 45
100 1,00 12,5% 8
Evaluasi Penentuan Kerapatan Populasi Hama Kutu Kebul Untuk mendapatkan metode penentuan tingkat kerapatan hama, tahap awal yang dilakukan adalah mengelompokan hama menjadi tiga kelompok secara manual oleh pakar. Tujuannya untuk memperoleh model yang sesuai dengan keahlian pakar. Sistem pendugaan hama kutu kebul yang dikembangkan mengadopsi kemampuan pakar tersebut, sehingga sistem dapat mendeteksi berapa tingkat kerapatan hama pada daun. Prosedur dalam pengujian sistem dapat dilihat pada Gambar 27.
Teknik pengambilan contoh tanaman Untuk menentukan tanaman mana saja yang dapat diambil contoh, perlu mempertimbangkan banyak faktor agar contoh yang diambil dapat mewakili. Faktor tersebut antara lain jarak antar tanaman, posisi individu tanaman, dan jumlah individu tanaman dalam satu area pertanian. Oleh karena itu diperlukan
28 teknik pengambilan contoh yang tepat. Dengan menggunakan teknik acak diagonal (DPH 2011), pemilihan tanaman contoh yang diamati seperti pada Gambar 28. Tingkat kerapatan populasi hama kutu kebul per individu dapat diamati dari beberapa daun tanaman yang telah dipilih secara acak. Data citra tanaman
Sedikit
Sedang
Banyak
Praproses
Area sampling
Segmentasi daun
Kerapatan hama
Kerapatan hama
Evaluasi
Gambar 27 Rancangan pengujian sistem
Gambar 28 Bagan penetapan tanaman contoh secara acak diagonal
Rancangan percobaan Untuk setiap individu tanaman, jumlah daun yang diamati sebanyak 4 daun. Kemudian daun-daun dari setiap individu tersebut dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu kerapatan sedikit, sedang, dan banyak. Gambar 29 adalah hasil pembagian citra tanaman terung yang telah dikelompokan.
29 Pengelompokan dilakukan secara manual berdasarkan banyaknya hama kutu kebul yang dipilih pada satu individu tanaman. Selanjutnya data daun yang telah dikelompokan, diuji menggunakan sistem yang telah dikembangkan. Hasil dari pengujian tersebut dibandingkan dengan teknik manual. Tujuannya adalah untuk membuktikan apakah sistem dapat mengelompokan data citra secara tepat, sesuai dengan pengelompokan secara manual.
Metode Sistem yang dikembangkan untuk mensegmentasi citra hama kutu kebul menggunakan dua pendekatan metode, yaitu menggunakan area sampling dan segmentasi daun: 1. Dengan area sampling, Metode ini digunakan jika citra yang diamati memiliki background yang sulit dibedakan dengan objek daun atau pengambilan citra yang tidak baik. Contoh pengambilan citra yang tidak baik, antara lain kondisi daun terlipat atau beberapa bagian citra terdapat blur. Sehingga citra yang akan disegmentasi tidak menggunakan seluruh bagian daun, tetapi hanya beberapa area sampling yang terdapat hama kutu kebul. Tujuannya adalah untuk mengurangi kesalahan segmentasi, akibat background yang ikut tersegmentasi atau keadaan daun yang terlipat. Sedikit
Sedang
Banyak
Gambar 29 Pengelompokan citra menjadi tiga kelompok
30 Proses penentuan area sampling dengan menggunakan diagram batang informasi spasial. Diagram yang digunakan berdasarkan informasi koordinar spasial hama kutu kebul. Dengan menggunakan informasi koordinat spasial dari citra tersebut, maka dapat ditentukan bagian mana yang merupakan area koloni hama kutu kebul tersebut. Koordinat spasial dengan jumlah piksel paling tinggi menunjukan bahwa pada posisi tersebut jumlah hama paling banyak. Sehingga dengan menggunakan diagram batang dapat dideteksi daerah mana yang memiliki kerapatan paling tinggi. Contoh diagram batang informasi spasial hama kutu kebul dari citra biner ditunjukan pada Gambar 30.
Jumlah (# piksel)
Informasi Spasial
Gambar 30 Diagram batang koordinat spasial
Berdasarkan diagram pada Gambar 30, banyaknya jumlah piksel menunjukan dimana kumpulan hama tersebut berada. Informasi koordinat spasial yang didapatkan ini akan digunakan sebagai batasan untuk menentukan luas area sampling. Contoh daerah sampling yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Contoh sampling pada citra daun
Jumlah area sampling bergantung pada sebaran kutu kebul pada daun. Semakin tersebar hama kutu kebul, maka area sampling yang terbentuk akan semakin banyak jumlahnya. Kerapatan hama dihitung pada setiap area sampling, kemudian hasilnya diakumulasikan sesuai jumlah area sampling yang terbentuk. Hasil perhitungan tersebut adalah kerapatan hama per daun.
31 Untuk satu individu tanaman, prosedur tersebut dilakukan pada setiap daun tanaman contoh. Rata-rata dari nilai yang dihasilkan adalah kerapatan hama untuk satu individu. Selanjutnya nilai ini akan digunakan untuk menghitung kerapatan populasi hama pada ekosistem pertanian. Perhitungan kerapatan hama untuk setiap daun adalah sebagai berikut.
xi i 1 yi hd 100% k k
(16)
dengan hd adalah kerapatan hama per daun tanaman, k adalah jumlah area sampling, sedangkan x dan y berturut-turut adalah jumlah piksel putih (luas area hama) dan jumlah piksel hitam (luas area sampling). Kerapatan hama untuk setiap individu dihitung dengan persamaan berikut, n
hp
hd i
i 1
n
(17)
dengan hp adalah kerapatan hama per individu tanaman dan n adalah banyaknya daun yang diamati. 2. Dengan segmentasi daun, Metode ini digunakan jika citra daun diambil (akuisisi) dengan kondisi daun tidak terlipat, tidak terdapat blur, dan kondisi background yang berbeda (warna) dengan objek daun. Gambar 32 adalah citra yang telah diubah latar belakangnya.
Gambar 32 Perubahan background citra
Citra asli pada Gambar 32 memiliki background yang sama dengan objek daun yang diamati. Jika menggunakan metode (1) tanpa segmentasi daun, tentu saja background daun tidak akan terdeteksi sebagai area yang terdapat hama kutu kebul. Dengan menggunakan metode (2) background tersebut diubah menjadi citra (b) dan (c). Selanjutnya citra tersebut akan dipraproses dan disegmentasi. Perhitungan kerapatan hama kutu kebul untuk setiap daun dihitung dengan persamaan berikut.
x hd 100% z
(18)
32 dengan hd adalah kerapatan hama per daun, x adalah luas area hama dan z adalah luas area daun. Gambar 33 adalah hasil segmentasi citra untuk luas area daun. Perhitungan kerapatan hama untuk setiap individu pada metode ini sama dengan metode (1).
Gambar 33 Segmentasi luas area daun
Perbandingan kedua metode Kedua metode yang telah dikembangkan selanjutnya dievaluasi dan dibandingkan. Perbedaan dari kedua model tersebut terletak pada proses pemilihan area daun yang digunakan untuk menghitung kerapatan hama per daun tanaman. Citra daun yang telah dikelompokan menjadi tiga bagian selanjutnya diujikan terhadap sistem yang telah dikembangkan. Tabel 3 berikut adalah hasil persentase kerapatan populasi hama dan estimasi jumlah hama untuk kelompok sedikit. Tabel 3 Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok sedikit Citra
Metode 1 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 3.71 40
3.82
23
Metode 2 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 0.64 100
0.37
44
33
Rata-rata
1.38
4
0.05
11
8.43
32
0.94
48
9.26
50
1.00
101
5.64
28
0.18
39
2.70
16
0.20
24
4.68
47
0.83
67
4.43
56
0.82
80
4.84
34
0.54
61
34 Tabel 4 Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok sedang Citra
Metode 1 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 13.40 117
Metode 2 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 3.67 208
9.38
62
1.81
102
7.29
160
1.15
234
8.48
50
1.01
109
10.25
154
2.22
248
10.98
73
3.06
120
35
Rata-rata
15.63
126
2.19
171
11.25
98
1.72
191
21.44
124
3.02
178
6.47
37
1.49
68
11.48
101
2.13
163
Tabel 5 Hasil pengujian tingkat kerapatan dan estimasi jumlah hama kelompok banyak Citra
Metode 1 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 26.35 395
25.18
434
Metode 2 Persentase Estimasi kerapatan jumlah hama 5.03 608
6.01
674
36 37.26
523
7.96
808
52.56
597
13.68
858
22.10
377
4.43
497
39.08
643
8.96
1102
23.45
122
3.79
163
16.37
360
2.37
535
15.57
129
2.38
191
37
Rata-rata
10.25
154
2.22
248
26.82
374
5.68
569
Berdasarkan data Tabel 3, 4, dan 5, dengan menggunakan metode (1) diperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode (2). Perbandingan rata-rata persentase kerapatan hama kedua metode dapat dilihat pada Tabel 6. Hal ini disebabkan kerapatan hama pada metode (1) hanya pada beberapa area sampling daun, sedangkan pada metode (2) menggunakan seluruh area daun. Untuk estimasi jumlah hama, metode (1) mendeteksi jumlah hama lebih sedikit dibandingkan metode (2). Hal ini terjadi karena metode (2) menghitung jumlah hama pada seluruh daun. Tabel 6 Perbandingan persentase rata-rata kerapatan hama kedua model Kelompok Hama Sedikit Sedang Banyak
Persentase Kerapatan Metode 1 Metode 2 4.84 0.54 11.48 2.13 26.83 5.68
Berdasarkan hasil analisis tabel di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perhitungan persentase kerapatan hama menggunakan sistem memberikan kesimpulan yang tepat, sesuai dengan pengelompokan secara manual. 2. Kesalahan segmentasi terjadi apabila citra yang diamati memiliki latar belakang yang kompleks, misalnya memiliki latar belakang yang sama dengan objek daun. Kesalahan ini akan mengurangi akurasi proses segmentasi. Untuk itu pada proses akuisisi citra, disarankan menggunakan media kertas buram sebagai latar belakang objek daun. Gambar 34 menunjukan kesalahan segmentasi yang terjadi.
Gambar 34 Kesalahan segmentasi
38 Gambar 34, dapat dilihat beberapa area yang diberi lingkaran merah merupakan kesalahan segmentasi yang terjadi. Objek selain hama kutu kebul seperti daun dan batang tanaman terdeteksi sebagai hama kutu kebul. 3. Untuk menentukan tingkat kerapatan hama kutu kebul, dapat menggunakan nilai batas seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Persentase kerapatan hama Tingkat Kerapatan Hama Sedikit Sedang Banyak
Persentase Kerapatan Hama (%) Metode 1 Metode 2 h ≤ 10 h≤2 10 < h ≤ 30 2
30 h>8
Angka tersebut diperoleh berdasarkan rata-rata kerapatan hama pada masing-masing model ditambah nilai toleransi. Nilai toleransi ini diberikan dengan alasan kesalahan segmentasi yang terjadi. Berdasarkan hasil analisis sistem dan pengetahuan pakar, disepakati bahwa metode untuk menentukan persentase kerapatan hama yang paling sesuai adalah metode (1). Karena nilai persentase yang diperoleh menggunakan metode (1) lebih menggambarkan kerapatan hama pada kondisi nyata, dibandingkan menggunakan metode (2).
Implementasi Sistem Sistem yang dikembangkan berbasis web dan terintegrasi pada server, sehingga memudahkan bagi pengguna (pengamat pertanian) untuk mengakses sistem dari berbagai tempat. Sistem ini dapat menghitung jumlah kerapatan hama pada setiap tanaman. Untuk melakukan proses perhitungan, pengguna menggunakan citra hama kutu kebul pada daun tanaman. Tampilan home antar muka sistem dapat dilihat pada Gambar 35. Citra yang telah dikelompokan akan di-upload ke server untuk diolah lebih lanjut, kemudian hasil kerapatan hama kutu kebul akan ditampilkan. Tampilan hasil pengolahan citra hama kutu kebul yang diamati dapat dilihat pada Gambar 36.
39
Gambar 35 Tampilan antar muka sistem
Gambar 36 Tampilan hasil pengolahan citra pada sistem
40
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menganalisis kinerja algoritma watershed pada segmentasi kutu kebul untuk membuat model pendugaan kerapatan populasi pada tanaman sayuran. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa: 1. Teknik akuisisi citra pada pengambilan data dapat mempengaruhi kinerja proses segmentasi. 2. Pemilihan operasi morfologi seperti opening, closing, dan median filter pada tahap pra-proses dapat meningkatkan akurasi segmentasi menggunakan algoritme watershed. 3. Untuk mengurangi kesalahan segmentasi yang terjadi dapat diatasi dengan menggunakan media kertas buram sebagai latar belakang citra daun. 4. Pengujian pada beberapa daun tanaman sayuran yang diamati, memberikan hasil yang memuaskan dengan nilai error sebesar 12,5%. 5. Berdasakan analisis citra, metode yang tepat untuk menduga kerapatan populasi kutu kebul adalah metode area sampling. 6. Tingkat kerapatan hama dikelompokan menjadi tiga bagian, antara lain ≤ 10% untuk kelompok ringan, > 10% - 30% untuk kelompok sedang, dan > 30% untuk kelompok berat.
Saran Saran untuk penelitian selanjutnya antara lain: 1. Penambahan data dengan akuisisi citra yang lebih baik dengan memperhatikan penggunaan kamera digital, pencahayaan, resolusi, dan sudut pengambilan yang sama. 2. Sistem yang dikembangkan hanya dapat mensegmentasi hama dewasa, perlu dilakukan pengembangan agar sistem dapat mensegmetasi telur atau hama kecil.
41
DAFTAR PUSTAKA Bai MR. 2010. A new approach for border extraction using morphological methods. IJEST. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 5]; 2(8):3832-3837. Tersedia pada: http://www.ijest.info/docs/IJEST10-02-08-93.pdf. Ballard DH, Brown CM. 1982. Computer Vision. New Jersey (US): Prentice Hall. Basha SS, Prasad KS. 2008. Automatic detection of hard exudates in diabetic retinopathy using morphological segmentation and fuzzy logic. IJCSNS. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 5]; 8(12):211-218. Tersedia pada: http://paper.ijcsns.org/07_book/200812/20081230.pdf. Beucher, S dan Lantuéjoul, C. 1979. Use of Watershed in Contour Detection. In: Proc Int Worksh Image Process, Real-Time Edge Motion Detection (Estimation). Renes, France. Beucher S, Meyer F. 1992. The Morphological Approach of Segmentation: The Watershed Transformation. Mathematical Morphology in Image Processing, E. Dougherty, Ed., 12:43-481. New York (US): Marcel Dekker. Beucher S, Rivest JF, Soille P. 1993. Morphological Gradients. J. Electron Imaging, 2:326-336. Bhadauria HS, Dewal ML. 2010. Comparison of edge detection techniques on noisy abnormal lung CT image before and after using morphological filter. IJAEA. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 5]; 272-275. Tersedia pada: http://steps-india.com/ijaea/46.pdf. Byrne DN, Bellows TS. 1990. Whitefly Biology. Ann. Rev. Ento. 36:431-457. [DJTP] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementrian Pertanian. 2010. Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2010. [Internet]. [diunduh 2012 Nov 22]; Jakarta. Tersedia pada: http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/PEDOMAN%2520PELAKS ANAAN%2520PROGRAM.pdf. [DPH] Direktorat Perlindungan Hortikultura, Kementrian Pertanian. 2011. Buku Saku Pengamatan Organisme Penggangu Tanaman (OPT) Hortikultura. Jakarta: Deptan. [DPTH] Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2008. Kutukebul (Bemisia tabaci Genn). Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. De Barro PJ. 1995. Bemisia tabaci Biotype B, a Review of its Biology, Distribution and Contro. CSIRO Division Entomology Technical Paper. 36:1-58. Direktorat Jendral Hortikultura. 2012. Produk Domestik Bruto Hortikultura 20072010. Jakarta: Direktorat Jendral Hortikultura. Flint ML, Daar S, Molinar R. 2003. Establishing Integrated Pest Management Policies and Programs: A Guide for Public Agencies. ANR Publication 8093. University of California. Frohlich DR, Torres-Jerez I, Bedford ID, Markham PG, Brown JK. 1999. A phylogeographical analysis of the Bemisia tabaci species complex based on mitochondrial DNA markers. Mol. Ecol. 8:1683-1691. Gonzalez RC, Woods RE. 2003. Digital Image Processing. 2nd Edition. Singapura: Pearson Education Pte. Ltd.
42 Gui F, Wei LQ. 2003. Morphological theory in image feature extraction. Di dalam: Ungar SG, Mao S, Yasuoka Y, editor. Image Processing and Pattern Recognition in Remote Sensing Proceedings of SPIE [Internet]. [Hangzhou, China | October 23, 2002]; 247-251; [diunduh 2 Sept 2012]. Tersedia pada: http://adsabs.harvard.edu/abs/2003SPIE.4898..247G. Gulhane VA, Gurjar AA. 2011. Detection of Diseases on Cotton Leaves and Its Possible Diagnosis. International Journal of Image Processing. 5(5):590598. Hoddle MS. 2003. The Biology and Management of Silverleaf Whitefly, Bemisia argentifolii Bellow and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on Greenhouse Grown Ornamentals. Jaafar BL, Mourou W. 2009. Image Segmentation: A Watershed Transformation Algorithm. Image Anal Stereol. 28:93-102. Jaware TH, Badgujar RD, Patil PG. 2012. Crop Disease Detection Using Image Segmentation. World Journal of Scinece dan Technology. 2(4):190-194. Kalshoven LGE. 1981. Pests of crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru. 701. Kogan M. 1998. Integrated pest management: historical perspectives and contemporary developments. Ann Rev Entomol. 43:243-270. Li Y, Zhang L, Lu H, Kitazono Y, Yang S, Nakashima S, Serikawa S. 2012. A new Type of Using Morphology Methods to Detect Blood Cancer Cells. J. Luo [editorial]: Soft Computing in Information Communication Technology, AISC. 158:17-25. Berlin: Springer-Verlag. Meyer F, Beucher S. 1990. Morphological Segementation. J. Visual Comm. and Image Representation. 1(1):21-46. Nguyen HT, Worring M, Boomgaard RVD. 2003. Watersnakes: Energy-Driven Watershed Segmentation. IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence. 25(3):330-342. Patil SB, Bodhe SK. 2011. Leaf Disease Severity Measurement Using Image Processing. International Journal of Engineering and Technology. 1:297301. Powbunthorn K, Abdullakasim W, Unartngam J. 2012. The International Conference of the Thai Society of Agricultural Engineering. Rauf A. 2013. Pemahaman aspek ekologi PHT berkelanjutan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Serra J. 1988. Image Analysis and Mathematical Morphology, Vol 2: Theoretical Advances. London: Academic Press. Setiawati W, Udiarto BK, Gunaeni N. 2007. Preferensi Beberapa Varietas Tomat dan Pola Infestasi Hama Kutu Kebul serta Pengaruhnya terhadap Intensitas Serangan Virus Kuning. J. Hort. 17(4):374-386. Shapiro LG, Stockman GC. 2001. Computer Vision. Prentice Hall. Singh K, Gupta I, Gupta S. 2010. SVM-BDT PNN and Fourier Moment Technique for Classification of Leaf Shape. IJSIP [Internet]. [diunduh 9 Sept 2013]; 3(4):67-68. Tersedia pada: http://www.sersc.org/journals/IJSIP/vol3_no4/6.pdf Soille P. 1992. Morphologie mathématique: Du relief á la dimensionnalité, Algorithmes et méthodes. Thése de Doctorat, Faculté des Sciences Agronomiques de l’Université Catholique de Louvrain. Szeliski R. 2010. Computer Vision: Algorithm and Applications. Springer.
43 Vincent L, Soille P. 1991. Watersheds in Digital Spaces: An Efficient Algorithm Based on Immersion Simulations. IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 13(6):583-598. Wang Y, Weng G. 2008. The Monitoring Population Density of Pest Based on Edge-Enhancing Diffusion Filtering and Image Processing. IFIP. 259; Computer and Computing Technologies in Agriculture. 2:899-907. Daoliang Li. Boston: Springer. Warduna R, Elvinardewi E, Adam I, Karyatiningsih R, Siantuni DA, Ruhimat M, Hidayat CR, Tyasningsiwi RW. 2011. Buku Saku Pengamatan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Hortikultura (Bawang Merah, Cabal Merah, Kubis, Tomat dan Kentang). Jakarta. Kementerian Pertanian Republik Indonesia Direktorat Perlindungan Hortikultura.
44
RIWAYAT HIDUP Ardiansyah dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 28 Januari 1987 dari pasangan Asrun Zen dan Rumsiah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2009, penulis lulus sarjana dari jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung (Unila). Penulis melanjutkan jenjang magister pada tahun 2011 di jurusan Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama masa studi magister, penulis mendapatkan beasiswa unggulan (BU) DIKTI sejak tahun 2011 – 2013. Penulis pernah bekerja sebagai dosen luar biasa di Diploma Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2012 – 2013.