SEGMENTASI CITRA MENGGUNAKAN METODE SEGITIGA UNTUK PENGUKURAN TINGKAT KERAPATAN HAMA KUTU KEBUL
DODDY TRI HUTOMO
DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Segmentasi Citra Menggunakan Metode Segitiga untuk Pengukuran Tingkat Kerapatan Hama Kutu Kebul adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013
Doddy Tri Hutomo NIM G64090027
ABSTRAK DODDY TRI HUTOMO. Segmentasi Citra Menggunakan Metode Segitiga untuk Pengukuran Tingkat Kerapatan Hama Kutu Kebul. Dibimbing oleh YENI HERDIYENI dan AUNU RAUF. Kutu kebul, Bemisia tabaci (Gennadius) (Homoptera: Aleyrodidae), merupakan salah satu hama penting pada tanaman sayuran. Ukuran kutu yang kecil dan jumlah Pengamat Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) yang terbatas menyebabkan kelambatan dalam kegiatan pengamatan hama. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah pemrosesan citra digital. Melalui teknik pemrosesan citra digital, kerapatan hama dapat dihitung dengan tepat. Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode segitiga. Metode segitiga digunakan untuk mendapatkan nilai ambang batas secara dinamis untuk digunakan pada proses segmentasi. Citra tanaman sayuran yang digunakan pada penelitian ini adalah 23 citra daun tanaman terung. Citra tersebut akan melewati beberapa tahapan, diantaranya praproses, segmentasi citra dan perhitungan kerapatan. Hasil segmentasi untuk 23 citra dengan menggunakan metode segitiga memiliki akurasi 75.36%. Hal ini menunjukkan bahwa metode segitiga dapat digunakan untuk proses segmentasi hama kutu kebul pada citra daun tanaman sayuran. Dengan menggunakan metode ini, perhitungan kerapatan hama dapat dilakukan dengan optimal. Kata Kunci: Bemisia tabaci, kutu kebul, metode segitiga
ABSTRACT DODDY TRI HUTOMO. Image Segmentation using Triangle Method for Measuring Whitefly Density. Supervised by YENI HERDIYENI and AUNU RAUF. Whitefly, Bemisia tabaci (Gennadius) (Homoptera: Aleyrodidae), is one of the major important pests of vegetables. Its small size and the insufficient number of pest observers have cause difficulties in monitoring the pests. One solution to overcome this problem is by using digital image processing. With digital image processing techniques, pest density can be measured accurately. In this study, triangle method is used to get the dynamic threshold value to be used in the segmentation process. The Images of vegetable used in this study are 23 images of eggplant leaves. The image will pass through several stages, including preprocessing, image segmentation and density calculations. The result of Image segmentation for 23 images using the triangle method has an accuracy of 75.36%. This suggests that the triangle method can be used for the segmentation process of whitefly pests in vegetable crops leaf image. By using this method, pest density calculation can be done optimally. Keywords: Bemisia tabaci, triangle method, whitefly
SEGMENTASI CITRA MENGGUNAKAN METODE SEGITIGA UNTUK PENGUKURAN TINGKAT KERAPATAN HAMA KUTU KEBUL
DODDY TRI HUTOMO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komputer pada Departemen Ilmu Komputer
DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji: Mushthofa, SKom MSc
Judul Skripsi : Segmentasi Citra Menggunakan Metode Segitiga untuk Pengukuran Tingkat Kerapatan Hama Kutu Kebul Nama : Doddy Tri Hutomo : G64090027 NIM
Disetujui oleh
( 1" Y eni
Herdi veni , SSi MKom Pembimbing I
Tanggal Lulus:
0
9 AUG 2013
Prof Dr Aunu Rauf, MSc Pembimbing II
Judul Skripsi : Segmentasi Citra Menggunakan Metode Segitiga untuk Pengukuran Tingkat Kerapatan Hama Kutu Kebul Nama : Doddy Tri Hutomo NIM : G64090027
Disetujui oleh
Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom Pembimbing I
Prof Dr Aunu Rauf, MSc Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Buono, MSi MKom Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2012 ini adalah pendekatan image processing untuk menghitung kerapatan hama, dengan judul Segmentasi Citra Menggunakan Metode Segitiga untuk Pengukuran Tingkat Kerapatan Hama Kutu Kebul. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Yeni Herdiyeni, SSi MKom dan Prof Dr Aunu Rauf, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada ibu, kakak serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya kepada Dwi Ashri Prihandini dan keluarga. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kak Ardiansyah, Kak Yunda, Kak Mega, Kak Rahmat, Kak Kholis, Haqqi, Fara, Nurul, Piput, Aries serta seluruh keluarga besar Ilkomerz 46 dan kakak angkatan Ilkomerz 45 dan Ilkomerz 44 yang tidak dapat penulis tuliskan satu demi satu yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penulis dalam melakukan penelitian ini. Besar harapan penulis agar laporan penelitian ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan dengan lebih baik lagi.
Bogor, Agustus 2013 Doddy Tri Hutomo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
3
Produksi Sayuran di Indonesia
3
Kutu Kebul
4
Pengelolaan Hama Terpadu
5
Pemrosesan Citra (Image Processing)
6
Segmentasi Citra (Image Segmentation)
7
Peningkatan Mutu Citra (Image Enhancement)
7
Median Filtering
8
Operasi Morfologi
9
Intensity Adjustment
10
Metode Segitiga (Triangle Method)
11
METODE
12
Akuisisi Data
13
Praproses
13
Image Segmentation
16
Image Extraction
17
Evaluasi Sistem
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Hasil
18
Pembahasan
31
SIMPULAN DAN SARAN
32
Simpulan
32
Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
32
RIWAYAT HIDUP
31
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Nilai PDB hortikultura di Indonesia Tahun 2007 sampai 2010 Bobot penilaian kualitas citra Perbandingan hasil segmentasi Akurasi hasil segmentasi citra
4 21 22 28
DAFTAR GAMBAR 1 Grafik produksi sayuran dari tahun 1997 sampai 2012 2 Daun tanaman terung yang terserang hama kutu kebul 3 Tahapan kegiatan PHT (Sumber: Rauf 2013) 4 Ilustrasi citra sebagai fungsi 2 dimensi 5 Matriks untuk median filter 6 Matriks setelah diurutkan 7 contoh structuring element 8 Ilustrasi morfologi 9 Ilustrasi intensity adjusment 10 Ilustrasi metode segitiga 11 Skema tahapan penelitian 12 Beberapa contoh citra yang digunakan 13 Contoh citra hasil dari proses konversi citra 14 Hasil citra setelah dilakukan proses perataan cahaya 15 Contoh kondisi intensitas cahaya 16 Citra hasil intensity adjustment 17 Citra hasil segmentasi citra 18 Citra hasil proses morfologi opening 19 Citra setelah proses pengurangan 20 Hasil dari proses peningkatan kontras 21 Hasil dari proses image segmentation 22 Citra hasil penentuan area penarikan contoh 23 Perbandingan citra asli dengan hasil segmentasi 24 Tampilan antar muka dari sistem berbasis website 25 Tampilan antara muka sistem berbasis android 26 Skema aliran data sistem 27 Contoh citra dengan background lebih banyak
3 4 6 7 8 8 9 10 11 12 13 13 14 15 16 17 17 19 19 20 20 21 29 29 30 31 31
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sayuran merupakan komoditas strategis dalam mendukung ketahanan pangan Indonesia. Komoditas ini memiliki keragaman yang luas dan sangat diperlukan oleh tubuh manusia sebagai sumber karbohidrat, protein nabati, vitamin, dan mineral yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut data Direktorat Jenderal Hortikultura (2012), nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dari komoditas sayuran cenderung mengalami peningkatan sejak tahun 2007 hingga 2010. PDB merupakan salah satu indikator dalam menentukan kontribusi komoditas sayuran terhadap pendapatan negara. Pada tahun 2010, komoditas sayuran memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara sebesar Rp 31.244 milyar. Sehingga dengan adanya peningkatan produksi sayuran di Indonesia, maka secara langsung akan meningkatkan pendapatan negara. Namun pada kenyataannya, produksi sayuran di Indonesia dalam 10 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan yang signifikan (BPS 2012). Bahkan terdapat beberapa komoditas, seperti cabai, tomat, wortel, kacang panjang, kacang merah, dan ketimun yang mengalami penurunan diakhir tahun 2012 (BPS 2012). Hal ini menjadi perhatian bagi peneliti untuk mengkaji faktor apa yang menjadi penghambat produksi tanaman sayuran. Berdasarkan pengamatan, salah satu faktor yang menjadi penghambat produksi tanaman sayuran adalah hama. Hama adalah organisme yang merugikan bagi para petani. Peningkatan populasi hama yang cepat dapat mempengaruhi produksi tanaman sayuran. Peningkatan ini disebabkan oleh pengendalian hama yang kurang terpadu dan terbatasnya jumlah jumlah tenaga bantu Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan - Pengamat Hama dan Penyakit (POPT-PHP). Terbatasnya jumlah POPT-PHP di setiap kecamatan dapat mengakibatkan lambatnya akuisisi informasi serangan hama. Jumlah POPT-PHP pada 6543 kecamatan di setiap daerah di Indonesia berjumlah 3183 orang. Idealnya, minimal terdapat 1 orang POPT untuk 1 kecamatan (Dirjen Tanaman Pangan 2010). Kutu kebul, Bemisia tabaci (Gennadius) (Homoptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu hama yang menyerang berbagai tanaman budidaya yang ada di Indonesia. Kutu kebul menyerang tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis, buncis, selada, ubi jalar, singkong, kedelai, tembakau, dan lada. Kutu kebul berukuran kecil, berwarna putih, hidup berkoloni dan bersayap. Dengan jumlah yang banyak, kutu kebul dapat merusak daun dari tanaman sayuran, sehingga akan menyebabkan kehilangan hasil produksi yang besar. Salah satu solusi yang tepat dan sedang berkembang saat ini adalah Melalui penerapan pengelolaan hama terpadu (PHT). Di dalam konsep PHT, penggunaan pestisida dilakukan hanya bila populasi hama melebihi tingkat yang merugikan. Untuk keperluan tersebut, perkembangan kerapatan populasi hama perlu dipantau secara teratur melalui pengamatan di pertanaman. Pengamatan dan penghitungan kerapatan hama ini dilakukan secara manual dengan bantuan mata. Namun, hasil yang didapatkan umumnya masih bersifat subjektif dan akurasi yang dihasilkan masih tergolong rendah (Patil dan Bodhe 2011). Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan suatu perangkat lunak yang dapat menghitung kerapatan hama pada tanaman sayuran secara akurat.
2 Pada perangkat lunak penghitung kerapatan hama, proses yang menjadi perhatian utama adalah segmentasi. Proses ini digunakan untuk memisahkan area yang tertutupi hama dan tidak tertutupi hama. Dengan dilakukannya segmentasi yang baik, perhitungan nilai kerapatan hama akan memperoleh hasil yang akurat. Saat ini, telah berkembang berbagai macam teknik segmentasi. Dari semua teknik tersebut, keakuratan yang dihasilkan masih belum optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan teknik segmentasi yang sesuai agar diperoleh nilai kerapatan yang akurat. Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian terkait. Boissard et al. (2007) melakukan penelitian untuk pendeteksian dini hama kutu kebul pada tanaman di rumah kaca. Mereka menggunakan teknik penarikan contoh, 2 sistem berbasis pengetahuan dan 1 set algoritme pemrosesan citra. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa perpaduan algoritme pada perhitungan kerapatan hama mungkin dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Patil dan Bodhe (2011) telah melakukan penelitian untuk menghitung tingkat keparahan penyakit brown spot pada daun tanaman tebu. Pada penelitian tersebut, mereka menggunakan metode segitiga untuk menentukan nilai ambang batas (threshold) yang digunakan untuk segmentasi daerah yang berpenyakit. Akurasi hasil yang didapatkan adalah 98%. Jaware et al (2012), melakukan penelitian untuk mendeteksi penyakit yang menyerang tanaman hasil panen menggunakan segmentasi citra. Teknik segmentasi yang digunakan adalah K-Means clustering, teknik ini cukup baik diimplementasikan untuk melakukan segmentasi sederhana pada citra. Hasil penelitian ini membuktikan algoritme segmentasi yang diajukan efesien dan memiliki akurasi klustering yang tinggi. Powbunthorn et al. (2012) telah mengembangkan teknik analisis citra untuk menilai tingkatan dari penyakit brown spot pada daun singkong. Teknik yang dilakukan yaitu dengan mentransformasi citra RGB menjadi HSI. Citra HSI ini kemudian disegmentasi dan dilakukan ekstrasi ciri untuk menentukan total area daun dan area yang terserang. Berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini dikembangkan sistem yang dapat menghitung nilai kerapatan hama kutu kebul pada tanaman sayuran dengan menggunakan metode segitiga. Selain itu, penelitian ini membandingkan akurasi hasil segmentasi yang didapatkan dengan metode segitiga dan hasil segmentasi yang didapatkan tanpa menggunakan metode segitiga. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah pengukuran kinerja metode segitiga dalam proses segmentasi kutu kebul (B. tabaci) untuk perhitungan kerapatan hama pada tanaman sayuran.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah: 1 Melakukan analisis segmentasi kutu kebul pada daun menggunakan metode segitiga. 2 Membangun aplikasi berbasis mobile untuk sistem monitoring kerapatan hama kutu kebul berbasis android.
3
Manfaat Penelitian Dengan mengetahui tingkat kerapatan hama pada tanaman sayuran di suatu daerah, petani dapat memilih tindakan yang tepat untuk pengendalian dari hama tersebut. Selain itu, dengan mengetahui kinerja dari metode segitiga ini perhitungan kerapatan hama dapat dilakukan dengan optimal.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah: Hama yang diukur tingkat kerapatannya adalah hama kutu kebul (B. tabaci). Hama kutu kebul yang diamati adalah hama pada fase imago (dewasa, memiliki sayap).
1 2
TINJAUAN PUSTAKA Produksi Sayuran di Indonesia Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2012, produksi sayuran seperti buncis, ketimun, terung dan tomat di Indonesia selama periode 1997 hingga 2012 bergerak fluktuatif. Gambar 1 menunjukkan grafik produksi sayuran dari tahun 1997 hingga 2012. 1 200 000
Jumlah produksi (ton)
1 000 000 800 000 600 000
Tomat Terung Buncis Ketimun
400 000 200 000 0
Tahun
Gambar 1 Grafik produksi sayuran dari tahun 1997 sampai 2012 Berdasarkan data tersebut, jumlah produksi untuk sayuran buncis, ketimun, dan tomat mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir. Selain sebagai bahan pangan bagi manusia, sayuran juga memiliki kontribusi terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian khususnya sayuran berperan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia, sehingga sektor ini dapat berkontribusi terhadap PDB nasional. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Hortikultura (2012), nilai PDB dari subsektor hortikultura komoditas sayuran
4 mengalami peningkatan dari Tahun 2007 hingga 2010 setiap tahunnya. Tabel 1 menunjukkan peningkatan nilai PDB holtikultura. Tabel 1 Nilai PDB hortikultura di Indonesia Tahun 2007 sampai 2010 Komoditas Buah-buahan Sayuran Tanaman Hias Biofarmaka Total
2007 42.362 25.587 4.741 4.105 76.795
Nilai PDB (Milyar Rp) 2008 2009 47.060 48.437 28.205 30.506 5.085 5.494 3.853 3.897 84.203 88.334
2010 45.482 31.244 3.665 6.174 86.565
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa komoditas sayuran merupakan salah satu indikator penting dalam meningkatkan pendapatan negara. Tahun 2010 komoditas sayuran memberikan kontribusi sebesar 36.09% dari total PDB hortikultura tahun tersebut. Selain sebagai penyumbang PDB pertanian, subsektor hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan memiliki peranan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi masyarakat Indonesia. Kutu Kebul Kutu kebul (B. tabaci) – hidup menempel pada permukaan bawah daun, berwarna putih, dan sayapnya jernih ditutupi lapisan lilin yang bertepung. Kutu kebul merupakan hama polifag yang menyerang berbagai jenis tanaman, antara lain tanaman hias, sayuran, buah-buahan, maupun tumbuhan liar atau gulma. Pada tanaman budidaya, hama ini menyerang berbagai macam tanaman antara lain tomat, cabai, kentang, mentimun, terung, kubis, buncis, selada, ubi jalar, singkong, kedelai, dan tembakau. Gejala serangan hama ini mengakibatkan kerusakan langsung pada sel-sel dan jaringan daun tanaman disebabkan oleh imago (hama dewasa) dan nimfa yang menghisap cairan daun. Hal ini menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung normal. Selain kerusakan langsung, kutu kebul sangat berbahaya karena dapat bertindak sebagai perantara virus, yang dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi sekitar 20 – 100 % (Ditjen Hortikultura 2012). Contoh daun yang terserang hama kutu kebul ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Daun tanaman terung yang terserang hama kutu kebul
5 Pengelolaan Hama Terpadu Perkembangan populasi berbagai jenis hama yang cukup pesat, mengakibatkan penanggulangan dini harus dilakukan untuk mengurangi kegagalan panen. Sejak tahun 1950, telah dilakukan sistem pengelolaan hama yang menggabungkan berbagai teknis biologis, kimiawi, fisik, dan budaya secara ekonomis, sehat, dan ramah lingkungan (Departemen Pertanian 2010). Sistem ini berupaya untuk meminimumkan populasi hama dengan strategi kendali alamiah. Kendali alamiah ini yang nantinya melakukan pemberantasan hama menggunakan kekuatan lingkungan secara fisik maupun faktor biologi (seperti predator, parasit, dan patogen) untuk mengelola hama. Musuh alami tersebut sangat banyak ditemukan didalam ekosistem. Secara umum tujuan dilakukannya pengelolaan hama adalah untuk mengurangi kehilangan hasil panen. Untuk mendukung keberhasilan usaha pengendalian, diperlukan peran aktif para petani dan POPTPHP dalam mengamati (memantau) perkembangan populasi hama. Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) adalah strategi pengelolaan hama yang berfokus pada pencegahan jangka panjang atau penekanan masalah hama dengan meminumumkan dampak buruk terhadap kesehatan manusia, lingkungan, dan organisme bukan sasaran (Flint et al 2003). Flint et al (2003) memaparkan langkah-langkah untuk mengembangkan program PHT, antara lain: 1 Mengidentifikasi semua hama potensial (termasuk semua tahap kehidupan) ke dalam sistem. Menetapkan pedoman (aturan) pemantauan untuk setiap jenis hama. 2 3 Menetapkan tingkatan kerusakan dan ambang tindakan untuk setiap spesies hama. 4 Membangun sistem pencatatan (basis data). Mengembangkan daftar strategi manajemen yang tepat untuk setiap hama. 5 6 Mengembangkan kriteria khusus untuk pemilihan metode manajemen hama. Mengembangkan panduan yang harus diikuti setiap kali pestisida akan 7 digunakan. 8 Menunjuk seseorang untuk bertanggung jawab untuk setiap langkahlangkah. 9 Mengembangkan daftar sumber daya. 10 Mempertimbangkan aturan IPM yang telah dikembangkan untuk menjadi “living document” yang dapat berubah sesuai pengalaman dan informasi baru. Dalam pelaksanaannya, tindakan PHT berbeda-beda sesuai permasalahan setempat yang dihadapai. Namun secara umum, PHT tersusun dari empat tahapan kegiatan yaitu (1) penangkalan, (2) pencegahan, (3) pemantauan, dan (4) penanggulangan (Rauf 2013). Pelaksanaan PHT harus diawali dengan penangkalan, yaitu upaya agar pertanaman yang kita usahakan terbebas dari hama dari sejak awal, misalnya dengan menggunakan bibit yang bebas hama dan penyakit. Tahap kedua adalah pencegahan, yaitu kegiatan budidaya tanaman untuk mencegah atau mengekang perkembangan hama agar tetap di bawah tingkat yang merugikan. Yang ketiga adalah pemantauan, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara terjadwal, misalnya seminggu sekali, dengan tujuan untuk memantau kecenderungan perkembangan populasi atau tingkat serangan hama.
6 Bila hasil pemantauan menunjukkan bahwa populasi hama telah melampaui batas yang merugikan (ambang tindakan/AT), maka perlu dilakukan tindakan penanggulangan (Gambar 3). Penelitian yang dilakukan di sini difokuskan pada tahapan pemantauan, dengan perhatian utama pada hama kutu kebul.
Penanggulangan
AT Pencegahan
Penangkalan
Sumber Hama
Pemantauan
Waktu
Gambar 3 Tahapan kegiatan PHT (Sumber: Rauf 2013) Pemrosesan Citra (Image Processing) Pengolahan citra adalah suatu teknik untuk menganalisis dan memanipulasi suatu citra dengan menggunakan komputer. Komputer dapat digunakan sebagai media penyimpanan dan pengolahan citra digital. Citra digital adalah representasi objek fisik nyata tiga dimensi ke dalam bentuk dua dimensi. Citra ini kemudian dapat diolah untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Saat ini, pengolahan citra telah diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Pengolahan citra terdiri atas berbagai bentuk proses sinyal dimana inputnya berupa citra. Sedangkan outputnya berupa citra atau serangkaian karakter/parameter yang berkaitan dengan citra. Citra didefiniskan sebuah gambar yang tersusun atas array atau matrix dari pixels (elemen gambar) dalam bentuk baris dan kolom (Gonzalez dan Woods 2003). Citra ini berupa fungsi dua dimensi , dimana x dan y adalah koordinat spasial, dan amplitudo dari f di berbagai pasangan dari koordinat (x, y) disebut intensitas atau derajat keabuan citra pada titik tersebut. Suatu citra dikatakan citra digital ketika nilai x, y, dan amplitudo f semuanya terbatas dan jumlahnya diskrit. Gambar 4 menunjukkan ilustrasi tersebut.
7
Gambar 4 Ilustrasi citra sebagai fungsi 2 dimensi Segmentasi Citra (Image Segmentation) Salah satu teknik dari pengolahan citra yang banyak digunakan adalah segmentasi citra. Segmentasi citra adalah proses pemisahan citra menjadi beberapa bagian yang homogen dan mengekstrak bagian-bagian tersebut menjadi beberapa objek yang akan diamati (Gonzales dan Woods 2003). Segmentasi merupakan bagian dari computer vision yang digunakan dalam analisis citra secara otomatis. Objek yang diinginkan dari proses segmentasi diolah untuk proses selanjutnya, misalnya pada pengenalan pola. Kualitas segmentasi yang baik mempengaruhi kualitas pengenal pola. Beberapa aplikasi yang menggunakan teknik segmentasi citra antara lain medical imaging, penentuan benda dari citra satelit (jalan, gunung, dan lain-lain), pengenalan wajah, pengenalan tandatangan, sistem lampu lalu lintas, sistem informasi geografis, dan lain-lain. Peningkatan Mutu Citra (Image Enhancement) Image enchancement adalah proses peningkatan kualitas citra. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghasilkan citra yang lebih baik dari citra asli sehingga memudahkan dalam proses pengolahan citra lebih lanjut (Gonzales dan Woods 2003). Kriteria baik atau tidaknya suatu citra tergantung pada aplikasi dan problem secara visual maupun secara otomatis. Salah satu teknik enhancement adalah teknik spatial domain. Proses yang dilakukan dengan memanipulasi setiap piksel citra secara langsung, dengan menggunakan persamaan berikut. g (1) dengan f adalah citra input, g adalah citra yang diproses, dan adalah operator untuk . Prinsip pendekatannya adalah menggunakan subimage, yaitu area persegi yang berpusat pada Pusat subimage dipindahkan secara
8 berurutan dari satu piksel ke piksel lainnya. Proses ini dimulai dari sudut kiri atas, dan operator digunakan pada setiap lokasi sehingga dihasilkan citra output. Median Filtering Median filtering adalah salah satu teknik image smoothing yang digunakan untuk menghilangkan noise dengan memanfaatkan fungsi median. Median adalah nilai tengah dari kumpulan data. Untuk mencari lokasi median dari kumpulan data ganjil maka: n Penjelasan: n : jumlah data x : lokasi nilai median Untuk median filtering ini, data yang digunakan untuk menghitung median terdiri dari kumpulan data ganjil. Hal ini disebabkan dengan jumlah data yang ganjil maka piksel yang akan diproses dapat berada di tengah. Pada median filtering digunakan matriks berdimensi n x n. Dari matrik tersebut, kemudian data yang ada diurutkan dan dimasukkan dalam sebuah matrik berukuran 1 x (n x n). Hal ini berguna untuk mempermudah menemukan median dari kumpulan data yang telah urut tersebut. Sebagai contoh, Gambar 5 menunjukkan suatu matriks berdimesi 3 x 3 yang berisi piksel utama dan piksel-piksel di sekitarnya. Dari gambar tersebut, matriks tersebut harus diurutkan terlebih dahulu dan dimasukkan dalam sebuah matriks berukuran 1 x (3 x 3) atau 1 x 9. Gambar 6 menunjukkan matriks setelah diurutkan. Dari matriks tersebut, dapat dicari nilai piksel yang baru dengan menggunakan perhitungan median, maka nilai mediannya adalah x = 5. Nilai ini akan menggantikan nilai 8, sehingga piksel utamanya akan memiliki warna yang berbeda dengan sebelumnya. 9
5
5
3
8
5
2
1
4
Gambar 5 Matriks untuk median filter 1 2 3 4 5 5 5 8 9 Gambar 6 Matriks setelah diurutkan Selanjutnya, matriks ini akan bergeser ke kanan sebesar 1 piksel dan diterapkan perhitungan yang sama. Proses ini terus dilakukan secara iteratif sampai bagian kanan bawah citra, sehingga semua nilai piksel akan digantikan dengan nilai piksel median. Proses pergesaran ini dinamakan konvolusi (Gonzales dan Woods 2003).
9 Operasi Morfologi Morfologi adalah teknik yang berdasarkan pada teori himpunan dan dapat digunakan untuk pengolahan citra biner dan pengolahan citra abu-abu. Operasi dasar morfologi secara matematika terdiri dari dilasi (dilation), erosi (erotion), opening dan closing. Operator dasar matematika morfologi adalah dilasi dan erosi. Diberikan fungsi A yang merepresentasikan citra, dimana A , dan fungsi B menunjukkan structuring element. Gambar 7 menunjukkan contoh dari structuring element. Dilasi citra oleh structuring element dinyatakan dalam persamaan berikut: { | [ (̂ )
]
}
(3)
Dilasi dari suatu himpunan A dengan B adalah suatu himpunan dari semua elemen A dan B dengan pergeseran sebanyak z, dengan syarat A bertumpah tindih dengan B setidaknya 1 elemen. Erosi citra oleh structuring element dinyatakan sebagai: { | (̂ )
}
(4)
Erosi dari suatu himpunan A dengan B adalah suatu himpunan dari semua elemen A dan B dengan pergeseran sebanyak z, dengan syarat B berada pada A. Pada dasarnya teknik erosi mengurangi nilai grayscale citra dengan menerapkan transformasi penyusutan, sedangkan dilasi meningkatkan nilai grayscale citra dengan menerapkan transformasi perluasan. Operasi morfologi lainnya, yaitu opening dan closing merupakan sintesis dari erosi dan dilasi. Proses opening merupakan proses yang diawali erosi dan dilanjutkan dilasi, sedangkan closing merupakan proses yang diawali dilasi dan dilanjutkan erosi (Gonzales dan Woods 2003). Gambar 8 menunjukkan ilustrasi dari dilasi, erosi, opening, dan closing.
Gambar 7 contoh structuring element
10
a) Ilustrasi dilasi
b) Ilustrasi erosi
c) Ilustrasi opening
d) Ilustrasi closing Gambar 8 Ilustrasi morfologi
Intensity Adjustment Intensity adjustment adalah salah satu teknik yang digunakan pada proses image enhancement yang bertujuan untuk meningkatkan kontras dan pencahayaan pada citra dengan memetakan intensitas citra ke suatu range intensitas baru (MathWorks 2013). Teknik ini memanfaatkan pemetaan tingkat keabuan melalui pemodelan histogram, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu suatu citra melalui perbaikan kontras dan kecerahan. Cara kerja proses ini dengan melakukan pemetaan linear terhadap nilai intensitas pada histogram awal menjadi nilai intensitas pada histogram yang baru. Gambar 9 menunjukkan ilustrasi intensity adjustment. Parameter yang ada pada intensity adjustment antara lain low, high, bottom dan top. low merupakan nilai batas pertama pada range awal, high merupakan nilai batas kedua pada range awal, bottom merupakan nilai batas pertama pada range baru, top merupakan nilai batas kedua pada range baru.
11
Gambar 9 Ilustrasi intensity adjusment Metode Segitiga (Triangle Method) Pada proses akuisisi data, citra yang dihasilkan memiliki kondisi yang beraneka ragam. Faktor yang menyebabkan beragamnya kondisi citra antara lain pencahayaan, sudut akuisisi, noise, dan lain-lain. Dengan beragamnya kondisi citra, proses segmentasi yang dilakukan harus dinamis agar menghasilkan hasil yang akurat. Proses segmentasi dinamis terkait erat dengan penentuan nilai threshold. Threshold adalah nilai yang digunakan sebagai batas dalam proses segmentasi. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, nilai ini ditentukan secara dinamis untuk semua kondisi citra tersebut. Metode segitiga adalah salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan nilai threshold optimal berdasarkan histogram citra (Patil dan Bodhe 2011). Ada 7 tahapan yang dilakukan pada metode ini. Pertama, dari histogram citra dicari nilai frekuensi histogram maksimum (Bmax). Nilai frekuensi ini digunakan sebagai acuan utama pada perhitungan selanjutnya. Kedua, dicari nilai piksel tidak nol pertama (Bmin) pada bagian kiri dan kanan dari nilai frekuensi histogram maksimum. Ketiga, dihitung jarak dari frekuensi maksimum titik tidak nol sebelah kiri dan kanan (d). Keempat, dipilih lokasi histogram dengan jarak
12 yang lebih besar. Lokasi ini menandakan bagian yang memiliki frekuensi nilai piksel yang paling banyak. Kelima, ditarik garis dari titik maksimum ke titik tidak nol pada lokasi tersebut. Keenam, untuk setiap piksel pada lokasi histogram tersebut dicari jarak dari nilai frekuensi piksel ke garis tersebut dengan menggunakan persamaan 5. [ m ] [√
m]
Penjelasan: d : jarak ke garis x : nilai piksel y : nilai frekuensi histogram piksel m : gradien garis : nilai titik yang memotong sumbu y b Bm : nilai frekuensi tertinggi pada histogram. Ketujuh, dari semua jarak tersebut dicari jarak maksimum. Nilai piksel yang memiliki jarak maksimum dijadikan sebagai nilai threshold. Gambar 10 menunjukkan ilustrasi dari metode segitiga. Dengan menggunakan metode segitiga, nilai threshold yang didapatkan menghasilkan nilai yang dinamis.
Bmax
d
Bmin
sumbu Y – nilai piksel, sumbu X - kecerahan
Gambar 10 Ilustrasi metode segitiga
METODE Penelitian ini akan dikembangkan dengan 2 perlakuan. Perlakuan pertama dilakukan dengan menggunakan metode segitiga dan perlakuan kedua dilakukan tanpa menggunakan metode segitiga. Untuk kedua perlakuan tersebut, tahapan yang akan dilaksanakan secara umum meliputi tahap akuisisi data, praproses, image segmentation, perhitungan kerapatan hama (image extraction), dan evaluasi. Perbedaan untuk kedua perlakukan tersebut adalah pada tahap praproses dan image segmentation. skema tahapan penelitian ini ditampilkan pada Gambar 11.
13
Gambar 11 Skema tahapan penelitian Akuisisi Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra daun tanaman yang terserang hama kutu kebul. Akuisisi citra dilakukan di daerah Cipanas, Puncak dengan menggunakan kamera digital. Teknik akuisisi citra yang dilakukan adalah memfoto daun secara keseluruhan secara tegak lurus. Citra yang diakusisi pada tahap ini berukuran 3888 x 2592 piksel. Jumlah citra yang dipilih berjumlah 23 citra dan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pengambilan citra dilakukan pada tanaman dengan fase hama imago (dewasa), karena pada fase ini hama lebih mudah untuk dideteksi. Gambar 12 menunjukkan beberapa contoh citra yang digunakan.
Gambar 12 Beberapa contoh citra yang digunakan Praproses Tahap ini merupakan tahap awal untuk mempersiapkan citra sebelum dilakukan proses segmentasi. Untuk perlakuan pertama, secara berurutan dilakukan proses antara lain proses konversi citra, penskalaan citra, dan image enhancement dengan metode segitiga. Untuk perlakuan kedua, secara berurutan dilakukan proses antara lain proses konversi citra, penskalaan citra, dan image enhancement tanpa metode segitiga.
14 Konversi Citra Pada tahap ini, format citra awal, yaitu RGB diubah ke dalam bentuk format grayscale (keabuan). Secara garis besar perubahan format citra ini menggunakan persamaan 6 (OpenCV Dev Team 2013). s=
g
(6)
dengan r adalah nilai piksel berwarna merah, g adalah nilai piksel berwarna hijau, b adalah nilai piksel berwarna biru, dan s adalah nilai keabuan dari suatu piksel. Selanjutnya, semua piksel citra diubah ke piksel keabuan menggunakan rumus tersebut secara iteratif. Gambar 13 menunjukkan citra sebelum dan setelah dikonversi.
a) Sebelum konversi
b) Setelah konversi
Gambar 13 Contoh citra hasil dari proses konversi citra Penskalaan Citra Pada tahap penskalaan citra, citra awal dengan ukuran 3888 x 2592 piksel diubah kedalam ukuran 853 x 592 piksel. Hal ini bertujuan untuk mempermudah proses perhitungan pada tahap selanjutnya. Selain itu, proses ini bertujuan untuk menyamakan dimensi citra yang berbeda-beda. Image Enhancement Pada tahap image enhancement, dilakukan beberapa proses diantaranya smoothing, morfologi opening dan peningkatan kontras. Proses smoothing digunakan untuk penghilangan noise. Selain itu, proses ini juga digunakan untuk menghilangkan tekstur bintik-bintik pada daun tanaman sayuran. Setelah melalui tahap smoothing, citra diterapkan proses perataan cahaya dengan memanfaatkan morfologi opening. Structuring element yang digunakan berupa disk atau lingkaran berdiameter 20. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan bagian citra yang bukan merupakan daun. Selain itu, proses ini bertujuan untuk meratakan pencahayaan pada citra dikarenakan kondisi akuisisi yang berbeda-beda untuk masing-masing citra. Selanjutnya, citra hasil tahap smoothing dikurangi dengan citra yang telah diterapkan morfologi opening. Gambar 14 menunjukkan citra setelah dilakukan proses morfologi opening dan setelah pengurangan.
15
a) Setelah dilakukan opening b) Setelah proses pengurangan Gambar 14 Hasil citra setelah dilakukan proses perataan cahaya Setelah melalui proses perataan cahaya, citra diterapkan proses peningkatan kontras. Teknik yang digunakan pada proses ini adalah teknik intensity adjustment. Intensity adjustment adalah teknik memetakan range intensitas piksel pada histogram citra ke range intensitas piksel baru agar menghasilkan citra yang lebih kontras. Parameter yang digunakan pada proses ini, antara lain low, high, bottom, dan top. Parameter low digunakan sebagai batas bawah nilai piksel citra yang akan ditransformasi. Parameter high digunakan sebagai batas atas nilai piksel citra yang akan ditransformasi. Parameter bottom digunakan sebagai nilai pemetaan piksel bawah. Parameter top digunakan sebagai nilai pemetaan piksel atas. Jika diperhatikan, kondisi pencahayaan pada masing-masing citra berbedabeda pada proses akuisisi. Oleh karena itu, diperlukan suatu teknik adjustment yang dinamis, sehingga keempat parameter tersebut dipilih yang paling sesuai dengan kondisi citra. Kelas-kelas kondisi intensitas cahaya citra dipilih agar teknik adjustment dapat diterapkan secara optimal. Kelas kondisi intensitas cahaya citra daun dibagi menjadi 3, antara lain kondisi 1, kondisi 2 dan kondisi 3. Kondisi 1 menggambarkan kondisi citra dengan tingkat kecerahan tinggi. Kondisi 2 menggambarkan kondisi citra dengan tingkat kecerahan sedang. Kondisi 3 menggambarkan kondisi citra dengan tingkat kecerahan rendah. Gambar 15 memperlihatkan contoh citra untuk masing-masing kondisi. Masing-masing kondisi dijelaskan sebagai berikut: { elainn a Dengan I adalah intensitas cahaya dan x adalah jumlah piksel. Untuk mengklasifikasikan citra ke dalam tingkat intensitas tersebut, digunakan parameter jumlah piksel yang berada di atas nilai ambang batas (threshold). Jumlah piksel merupakan nilai yang didapat dari histogram citra yang menggambarkan tingkat kecerahan pada citra tersebut. Threshold adalah suatu nilai piksel yang didapatkan dari histogram warna untuk digunakan sebagai batas. Untuk perlakuan pertama, Nilai threshold didapatkan secara dinamis dengan menggunakan metode segitiga. Hal ini dilakukan agar hasil yang didapatkan optimal. Untuk perlakuan kedua, Nilai threshold didapatkan tanpa menggunakan metode segitiga. Nilai ini statis untuk semua citra Nilai ini didapatkan secara acak.
frekuensi
16
a) Kondisi 1
nilai piksel
b) Kondisi 2
nilai piksel
c) Kondisi 3
frekuensi
frekuensi
nilai piksel
Gambar 15 Contoh kondisi intensitas cahaya Setelah ditentukan kondisi-kondisi intensitas cahaya tersebut, citra kemudian diterapkan proses intensity adjustment dengan parameter-parameter yang telah ditentukan untuk masing-masing kondisi. Gambar 16 menunjukkan contoh citra hasil intensity adjustment. Image Segmentation Pada tahap ini, yang dilakukan adalah memisahkan area kutu kebul dengan area yang bukan merupakan kutu kebul. Proses ini memanfaatkan histogram citra yang telah melalui proses enhancement. Histogram citra yang didapatkan kemudian dipisah menjadi dua area dengan menggunakan nilai threshold. Untuk perlakuan pertama, nilai ini didapatkan secara dinamis dengan menggunakan metode segitiga. Untuk perlakuan kedua, nilai ini didapatkan secara acak dan statis untuk semua citra. Hasil dari proses ini merupakan citra biner (hitam-putih). Gambar 17 menunjukkan contoh hasil dari image segmentation.
17
Gambar 16 Citra hasil intensity adjustment
Gambar 17 Citra hasil segmentasi citra Image Extraction Pada tahap ini, yang dilakukan adalah perhitungan kerapatan hama. Perhitungan ini dilakukan dengan penarikan contoh. Daerah yang akan dihitung tidak dilakukan di seluruh area daun, tetapi hanya beberapa area daun. Proses ini bertujuan untuk memisahkan area yang bukan daun agar tidak ikut dalam perhitungan. Selain itu, proses ini juga bertujuan untuk mengurangi waktu komputasi yang lebih lama apabila menggunakan seluruh citra. Penarikan contoh dilakukan karena adanya area pada citra yang bukan merupakan daun (background) dan tidak dilakukannya segmentasi area daun. Segmentasi area daun merupakan proses untuk memisahkan area daun dan background. Proses ini tidak dilakukan karena citra daun yang diakuisisi memiliki latar belakang dengan piksel yang tidak seragam. Area penarikan contoh yang digunakan adalah persegi panjang dengan ukuran minimal 195 x 130 pixel dan maksimal 270 x 180 piksel. Persegi panjang dipilih karena selain proses perhitungan lebih mudah, juga menyesuaikan dengan bentuk citra aslinya, yaitu persegi panjang. Dengan iterasi, masing-masing area penarikan contoh dibentuk dengan loncatan ke kanan sejauh 10% lebar kotak penarikan contoh dan loncatan ke bawah sejauh 20% dari tinggi kotak penarikan contoh. Setelah didapatkan kotak-kotak tersebut, masing-masing kotak dihitung jumlah piksel putih dan diurutkan dari yang paling banyak ke yang paling sedikit. Jumlah piksel putih ini menandakan area daun yang tertutupi oleh hama. Dengan jumlah piksel putih paling banyak, maka dapat disimpulkan bahwa pada area
18 tersebut terdapat jumlah hama paling banyak dan area yang bukan merupakan daun relatif sedikit. Jumlah kotak penarikan contoh yang terpilih berbeda-beda untuk masing-masing citra tergantung pada jumlah hama pada daun pada masingmasing citra. Kotak-kotak tersebut akan terus dipilih sampai luas total dari kotakkotak tersebut mendekati 50% dari luas citra keseluruhan dan sampai sudah tidak ada lagi hama pada citra. Setelah itu, masing-masing kotak tersebut dihitung nilai kerapatannya dan dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai kerapatan akhir dengan menggunakan persamaan 8. (∑i
in
i i
in
)
Penjelasan: NK : persentase nilai kerapatan p : jumlah pixel p utih in i : lebar kotak penarikan contoh ke-i in i : tinggi kotak penarikan contoh ke-i k : jumlah kotak penarikan contoh i = 1, 2, 3, … Evaluasi Sistem Evaluasi sistem dilakukan dalam lingkungan pengembangan aplikasi menggunakan website, perangkat mobile android, dan desktop. Website untuk sistem ini sebelumnya telah dikembangkan oleh Ardiansyah (2013). Website ini memiliki fungsi untuk menghitung kerapatan untuk 1 pohon dengan maksimum citra yang dapat dihitung sebanyak 10 citra. Namun, untuk penelitian ini, ditambahkan fungsi web services yang dapat menyambungkan antara platform mobile dan website tersebut dengan bahasa pemrograman PHP. Pada platform mobile, bahasa pemrograman yang digunakan adalah Java Android dengan library tambahan OpenCV untuk android. Fungsi yang dikembangkan antara lain menghitung estimasi jumlah hama, fungsi untuk mengupload beberapa citra untuk dihitung di server, dan menampilkan hasilnya pada layar perangkat mobile tersebut. Pada platform desktop, bahasa pemrograman yang digunakan adalah C++ dengan library tambahan OpenCV. Fungsi yang akan dikembangkan adalah fungsi untuk menghitung kerapatan hama dan fungsi untuk menghitung estimasi jumlah hama. Aplikasi ini digunakan untuk keperluan evaluasi hasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Perataan Cahaya Dengan Morfologi Opening Proses ini dilakukan dengan memanfaatkan teknik morfologi Opening. Morfologi opening digunakan untuk mendeteksi bagian-bagian citra yang memiliki nilai piksel yang tinggi dengan luasan lebih dari luas structuring element berdiameter 20. Penentuan diameter ini didasari oleh ukuran hama yang kecil. Jika
19 diameter diberi nilai rendah, maka hama akan terdeteksi sebagai bagian nilai piksel tinggi. Jika diameter structuring element diberi nilai cukup tinggi, maka hama tidak akan terdeteksi sebagai bagian nilai piksel tinggi dan bagian-bagian umum yang lain, seperti daun yang tidak tertutup hama dan background akan terdeteksi sebagai bagian yang nilai pikselnya tinggi, sehingga untuk proses selanjutnya bagian yang memiliki nilai piksel tinggi dapat dihilangkan. Gambar 18 memperlihatkan hasil citra median setelah diterapkan morfologi opening. Setelah melalui proses morfologi, selanjutnya citra median dikurangi dengan citra hasil morfologi. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan bagian citra yang memiliki nilai piksel tinggi. Gambar 19 menunjukkan hasil citra setelah proses pengurangan.
Gambar 18 Citra hasil proses morfologi opening
Gambar 19 Citra setelah proses pengurangan Peningkatan Kontras dengan Menggunakan Metode Segitiga Tahap peningkatan kontras menggunakan teknik adjustment. Namun, sebelum diterapkan teknik tersebut, dilakukan beberapa proses terlebih dahulu. Pertama, proses perhitungan threshold optimal dengan menggunakan metode segitiga diterapkan pada citra hasil perataan cahaya. Setelah didapatkan threshold, proses perhitungan jumlah piksel dilakukan dengan memanfaatkan threshold tersebut sebagai batas pengukuran. Jumlah piksel didapatkan dengan menghitung jumlah semua piksel yang memiliki nilai piksel lebih dari threshold. Nilai ini digunakan sebagai tolak ukur apakah citra masuk ke dalam kondisi 1, 2 atau 3.
20 Setelah dilakukan beberapa proses tersebut, dapat ditentukan nilai dari parameter low, high, bottom, dan top untuk proses adjustment. Untuk kondisi 1, parameter low sebesar 0.35, high sebesar 0.45, bottom sebesar 0.20, dan top sebesar 1.00. Untuk kondisi 2, parameter low sebesar 0.30, high sebesar 0.40, bottom sebesar 0.20, dan top sebesar 1.00. Untuk kondisi 3, parameter low sebesar 0.25, high sebesar 0.35, bottom sebesar 0.20, dan top sebesar 1.00. Untuk masingmasing kondisi, hasil dari proses ini ditunjukkan pada Gambar 20.
a) Kondisi 1
b) Kondisi 2
c) Kondisi 3
Gambar 20 Hasil dari proses peningkatan kontras Segmentasi Dengan Menggunakan Metode Segitiga Pada tahap segmentasi, yang dilakukan adalah mengubah citra grayscale menjadi citra biner. Untuk menghasilkan citra biner tersebut, digunakan teknik thresholding, yaitu membagi citra menjadi dua bagian 1 dan 0. Citra bernilai 1 adalah objek citra yang diinginkan (hama kutu kebul). Sedangkan nilai 0 untuk objek lainnya seperti daun atau latar belakang. Pembagian ini menggunakan nilai threshold. Nilai threshold ditentukan berdasarkan sebaran nilai grayscale pada citra yang merepresentasikan objek hama kutu kebul. Nilai threshold diperoleh berdasarkan bentuk histogram dari citra tersebut dengan menggunakan metode segitiga. Sehingga nilai threshold akan dinamis bergantung sebaran nilai grayscale pada citra. Gambar 21 menunjukkan hasil dari proses ini.
Gambar 21 Hasil dari proses image segmentation Perhitungan nilai kerapatan hama Perhitungan nilai kerapatan hama dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain penentuan ukuran dan jumlah kotak yang digunakan untuk penarikan contoh, penentuan area penarikan contoh, dan perhitungan kerapatan. Ukuran kotak yang digunakan minimal 195 x 130 piksel dan maksimal 270 x 180 piksel. Penentuan ukuran kotak dengan selang ini bertujuan agar area kutu yang didapat tidak statis.
21 Jumlah kotak yang akan digunakan pada proses penarikan contoh bergantung pada ukuran masing-masing kotak. Total luas kotak penarikan contoh yang diperbolehkan maksimal 50% dari luas citra asli, yaitu 250401 piksel. Pada tahap penentuan area penarikan contoh, dengan proses iterasi kotak penarikan contoh akan bergeser dari pojok kiri atas sambil menghitung nilai kerapatan hama dan jumlah piksel di dalam kotak penarikan contoh tersebut. Setelah dihitung kerapatan untuk semua kotak, jumlah piksel putih diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil. Setelah itu, sistem akan menentukan kotak mana yang tepat dipakai untuk penarikan contoh beserta lokasinya. Gambar 22 menunjukkan lokasi penarikan contoh pada citra. Setelah ditentukan, perhitungan nilai kerapatan dilakukan secara iteratif untuk semua kotak yang telah ditentukan. Selanjutnya, semua nilai kerapatan yang didapatkan dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai kerapatan akhir.
Gambar 22 Citra hasil penentuan area penarikan contoh Perbandingan hasil segmentasi citra dinamis dan statis Penelitian ini juga menguji performa metode segitiga dalam perhitungan kerapatan hama pada tanaman sayuran. Cara kerja pengujian ini adalah dengan menerapkan 2 perlakuan untuk masing-masing citra daun, yaitu tanpa menggunakan metode segitiga (statis untuk proses peningkatan kontras dan segmentasi) dan dengan menggunakan metode segitiga. Untuk perlakuan statis, nilai threshold yang digunakan pada tahap peningkatan kontras adalah 50 dan nilai threshold pada tahap segmentasi adalah 20. Kedua angka ini diambil secara acak. Setelah itu, hasil citra dari kedua kondisi tersebut dibandingkan secara manual dengan citra asli dan diberi bobot. Bobot ini didapat berdasarkan persentase selisih jumlah kutu pada hasil segmentasi dengan jumlah kutu pada citra asli. Bobot penilaian ini dijelaskan pada Tabel 2. Tabel 2 Bobot penilaian kualitas citra No 1 2 3
Kualitas dibandingkan dengan citra asli Baik Sedang Buruk
Bobot penilaian 3 2 1
Selisih jumlah kutu dengan citra asli x < 25% 25% < x < 50% 50%
22 Berdasarkan tabel tersebut, setiap data citra asli dihitung jumlah kutunya secara manual. Namun, untuk citra hasil perhitungan kerapatan dihitung secara otomatis dengan menggunakan perhitungan otomatis dengan memanfaatkan kontur dari piksel putih. Selanjutnya, bobot penilaian dijumlahkan untuk semua citra untuk mendapatkan akurasi. Tabel 3 memperlihatkan perbandingan hasil segmentasi semua citra daun tanpa metode segitiga dan dengan metode segitiga beserta nilai kerapatan yang didapatkan. Tabel 3 Perbandingan hasil segmentasi Tanpa metode segitiga
Citra
Bobot
Dengan metode segitiga
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
3
36.226
3
18.740
2
35.692
1
19.857
1
4.456
2
6.153
23 Tanpa metode segitiga
Dengan metode segitiga
Citra Bobot
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
1
6.004
2
8.113
3
11.636
3
14.513
3
17.606
3
17.329
2
18.751
3
8.607
24 Tanpa metode segitiga
Citra
Bobot
Dengan metode segitiga
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
1
31.411
1
27.396
1
35.527
1
28.246
1
27.987
2
9.842
1
19.524
3
10.864
25 Tanpa metode segitiga
Dengan metode segitiga
Citra Bobot
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
2
4.844
2
4.964
2
9.011
2
9.130
1
9.746
3
2.183
2
8.090
2
5.407
26 Tanpa metode segitiga
Dengan metode segitiga
Citra Bobot
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
3
11.209
2
6.829
2
3.761
2
3.844
3
20.022
3
12.191
3
6.948
2
2.842
27 Tanpa metode segitiga
Dengan metode segitiga
Citra Bobot
Total bobot
Kerapatan Kerapatan Bobot (%) (%)
1
33.026
3
11.335
2
4.092
1
2.628
2
3.441
3
2.900
3
9.121
3
11.462
45
52
28 Dari tabel tersebut total bobot yang didapatkan tanpa menggunakan metode segitiga sebesar 45 dan dengan menggunakan metode segitiga sebesar 52. Dari kedua nilai tersebut dapat dihitung akurasi dengan menggunakan persamaan 7. Akurasi yang dihasilkan ditunjukkan pada Tabel 3. total o ot
Tabel 4 Akurasi hasil segmentasi citra No
Perlakuan
Akurasi (%)
1
Tanpa metode segitiga
65.22
2
Dengan metode segitiga
75.36
Dilihat dari hasil perhitungan tersebut, segmentasi dengan menggunakan metode segitiga mendapatkan akurasi lebih dari segmentasi tanpa metode segitiga. Dilihat dari bentuk fungsinya, metode segitiga baik digunakan untuk citra yang memiliki kondisi nilai piksel yang berbeda-beda. Salah satu keuntungan menggunakan metode ini terletak pada penggunaan histogram citra. Jika histogram citra memiliki penyebaran nilai-nilai piksel yang merapat ke suatu nilai, metode ini cocok digunakan untuk proses segmentasi, khususnya penentuan threshold. Pada segmentasi yang tidak menggunakan metode segitiga, hasil yang didapatkan kurang baik. Bagian yang bukan merupakan hama ikut terdeteksi sebagai hama. Hal ini disebabkan karena nilai threshold yang digunakan bersifat statis, sehingga hasil segmentasi tidak sama untuk semua citra. Selain itu, nilai piksel daerah yang bukan merupakan hama sama dengan nilai piksel daerah yang merupakan hama sehingga daerah yang bukan merupakan hama ikut terdeteksi sebagai hama. Contoh bagian citra yang bukan merupakan hama ditampilkan pada Gambar 23. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kondisi citra yang berbeda-beda perlu diterapkan penentuan threshold secara dinamis untuk proses segmentasi. Kondisi citra yang berbeda-beda dapat disebabkan oleh jarak akuisi citra, pencahayaan, background citra, tingkat ketajaman citra, dan ukuran citra yang berbeda-beda. Jika hasil perhitungan kerapatan yang dihasilkan dengan menggunakan metode segitiga dibandingkan dengan hasil perhitungan kerapatan tanpa menggunakan metode segitiga, terlihat bahwa nilai kerapatan yang dihasilkan tidak selalu lebih kecil dari hasil tanpa menggunakan metode segitiga. Hal ini disebabkan karena hasil segmentasi yang dihasilkan berbeda. Pada hasil segmentasi tanpa menggunakan metode segitiga ada bagian citra yang merupakan kutu tidak terdeteksi sebagai kutu, namun pada hasil segmentasi dengan menggunakan metode segitiga daerah tersebut terdeteksi sebagai kutu, sehingga hasil perhitungan kerapatan menjadi lebih besar.
29
a) Citra asli b) daerah yang bukan merupakan kutu Gambar 23 Perbandingan citra asli dengan hasil segmentasi Implementasi Sistem Tahap implementasi sistem menghasilkan 3 sistem yang dapat menghitung nilai kerapatan hama dan menampilkan hasil segmentasi hama. Sistem pertama merupakan sebuah website yang dapat menghitung estimasi nilai kerapatan untuk 1 pohon dengan cara mengunggah citra hama. Untuk 1 pohon, jumlah maksimal citra yang dapat diunggah sebanyak 10 citra. Selanjutnya, citra yang telah diunggah akan dikalkulasi untuk mendapatkan nilai kerapatan 1 pohon. Ukuran citra yang dapat diunggah maksimal 1280 x 960 piksel. Gambar 24 menunjukkan tampilan dari website tersebut.
Gambar 24 Tampilan antar muka dari sistem berbasis website Sistem kedua berupa sebuah aplikasi berbasis android. Sistem ini merupakan kelanjutan dari sistem pertama, dimana citra dapat diunggah langsung melalui perangkat mobile ke website. Selanjutnya citra akan diproses di website dan hasilnya dikembalikan ke perangkat mobile. Selain itu, sistem ini juga dapat menghitung estimasi jumlah hama kutu kebul yang ada pada citra. Gambar 25 menunjukkan tampilan dari aplikasi android.
30 Sistem ketiga berupa aplikasi sederhana berbasis desktop. Aplikasi ini berisi algoritme utama pengolah citra untuk perhitungan nilai kerapatan hama. Selanjutnya, aplikasi ini digunakan sebagai inti dari aplikasi website dan mobile. Selain itu, aplikasi ini digunakan sebagai alat pengujian. Gambar 26 menunjukkan skema aliran data dari sistem ini.
a) Antar muka halaman utama
b) Antar muka halaman c) Antar muka halaman perhitungan kerapatan unggah citra
d) Antar muka halaman deskripsi hama
e) Antar muka halaman tentang aplikasi
Gambar 25 Tampilan antara muka sistem berbasis android
31 Offline
Online
Gambar 26 Skema aliran data sistem Pembahasan Untuk keseluruhan citra, hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode segitiga memiliki hasil yang baik. Namun, pada beberapa citra, hasil yang didapatkan memiliki hasil yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh praproses yang masih kurang optimal dan dominannya background pada suatu citra. Metode ini bergantung pada hasil dari tahap praproses. Dengan tidak optimalnya tahap praproses, hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu, dominannya bagian background pada citra dapat menyebabkan hasil segmentasi dengan menggunakan metode ini tidak optimal. Hal ini disebabkan karena metode segitiga bergantung pada penyebaran nilai piksel dari keseluruhan citra. Gambar 27 menunjukkan contoh citra yang memiliki daerah background yang lebih besar dibandingkan daerah daun.
Gambar 27 Contoh citra dengan background lebih banyak
32
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini berhasil membandingkan akurasi hasil dengan dan tanpa menggunakan metode segitiga. Akurasi yang didapatkan dengan metode segitiga memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tidak menggunakan metode segitiga, yaitu sebesar 75.36%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode segitiga memberikan kinerja yang lebih baik untuk proses penentuan threshold dan segmentasi citra. Kesalahan segmentasi yang terjadi, misal background yang terdeteksi sebagai hama, dapat diatasi dengan menggunakan media seperti kertas buram atau kertas putih sebagai background dari citra daun dan hama pada saat akuisisi. Penelitian juga telah berhasil mengimplementasikan sistem penghitung estimasi jumlah hama dan kerapatan hama berbasis mobile dan desktop. Hasil perhitungan ini dapat membantu petugas hama untuk melakukan proses pengendalian dengan lebih cepat. Saran Saran untuk penelitian selanjutnya adalah: 1 Mencoba melakukan akuisisi dengan menggunakan kertas putih sebagai background. 2 Memodifikasi tahap praproses sehingga citra dengan background lebih banyak dapat dihitung nilai ambang batas secara optimal. 3 Mencoba membuat tahap praproses yang dapat digunakan untuk semua kasus yang menggunakan metode segitiga.
DAFTAR PUSTAKA
Belaid LJ, Mourou W. 2009. Image segmentation: a watershed transformation algorithm. Image Anal Stereol. 28:93-102. Beucher S. 1992. The watershed transformation applied to image segmentation. Scanning Microsc. 6:299–314. Boissard P, Martin V, Moisan S. 2007. A cognitive vision approach to early pest detection in greenhouse crops. Computer and Electronics in Agriculture. 62:81-93. doi:10.1016/j.compag.2007.11.009. [BPS] Badan Pusat Statistika (ID). 2012. Produksi sayuran di Indonesia [Internet]. [diunduh 2013 Jul 10]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_suby ek=55¬ab=70. [Deptan DJTP] Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
33 [Ditjen Hortikultura]. Direktorat Jenderal Hortikultura (ID). 2011. Nilai ekspor impor sayuran segar tahun 2011 [Internet]. [diunduh 2012 Des 12]. Tersedia pada: http://hortikultura.deptan.go.id/?q=node/394. [Ditjen Hortikultura]. Direktorat Jenderal Hortikultura (ID). 2012. Kutu kebul (Bemisia tabaci Genn.) [Internet]. [diunduh 2012 Agu 20]. Tersedia pada: http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view =article&id=100&Itemid=228. Flint ML, Daar S, Molinar R. 2003. Establishing Integrated Pest Management Policies and Programs: A Guide for Public Agencies. Oakland(US): University of California. Jaware TH, Badgujar RD, Patil PG. 2012. Crop disease detection using image segmentation. Di dalam: Conference on Advances in Communication and Computing; 2012 Apr; Shirpur, Maharastra, India (IN). MathWorks. 2013. Adjusting pixel intensity values [Internet]. [diunduh 2013 Agu 12]. Tersedia pada: http://www.mathworks.com/help/images/adjustingpixel-intensity-values.html. Opencv Dev Team. 2013. Miscellaneous image transformations [Internet]. [diunduh 2013 Agu 26]. Tersedia pada: http://docs.opencv.org/modules/imgproc/doc/miscellaneous_transformations .html#id3 Patil SB, Bodhe SK. 2011. Leaf disease severity measurement using image processing. International Journal of Engineering and Technology. 3(5):297301. Powbunthorn K, Abudullakasim W, Unartngam J. 2012. Assessment of the severity of brown leaf spot disease in cassava using image analysis. Di dalam: International Conference of the Thai Society of Agricultural Engineering; 2012 Agu; Chiangmai, Thailand (TH). Rauf A. 2013. Pemahaman aspek ekologi PHT berkelanjutan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB.
34
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 1991 dari pasangan Tom Rastomo dan Murwati Redjeki. Penulis adalah putra ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 61 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum Algoritme dan Bahasa Pemrograman pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Basis Data pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Struktur Data pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Bahasa Pemrograman pada tahun ajaran 2011/2012, asisten praktikum Pengembangan Sistem Berorientasi Objek pada tahun ajaran 2012/2013, dan asisten praktikum ekstensi Rekayasa Perangkat Lunak pada tahun ajaran 2012/2013, dan asisten praktikum ekstensi Pengantar Pengolahan Citra Digital pada tahun ajaran 2012/2013. Kegiatan lain penulis adalah sebagai co-founder dari startup yang didirikan pada tahun 2012 bernama Coffee-Dev dan merangkap sebagai Windows Phone Developer. Pada bulan Juli-Agustus 2012 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang di PT. Praisindo Teknologi dan membantu dalam pengembangan user interface framework untuk aplikasi portofolio management.