3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spirulina platensis Spirulina platensis merupakan cyanobakter (alga hijau-biru) yang sudah banyak digunakan sebagai bahan pangan. Spirulina platensis kaya akan protein, lemak, karbohidrat, dan elemen penting lainnya. Alvarenga et al. (2011) melaporkan bahwa Spirulina platensis dalam keadaan kering mengandung protein yang terdiri dari asam amino seperti serine, glycine, arginine, threonine, alanine, tyrosine, valine, methionine, cystine, isoleucine, leucine, phenylalanine yang lebih banyak jika dibandingkan dengan protein yang berasal dari tepung kedelai. Mikroalga ini banyak digunakan sebagai bahan untuk nutraceutical karena memiliki fitonutrien (fikosianin, karoten, xanthophylls), gamma linolenic acid (GLA), galactolipids, sulfolipids, klorofil, dan mineral (Thomas 2010). Spirulina memperlihatkan aktivitas biologi seperti anti-hipertensi dan antihiperlipemic (Torres-Duran et al. 2007), pencegahan terhadap kanker pada hewan tikus (Ismail et al. 2009) dan hepatoprotektif terhadap toksisitas kadmium (Karadeniz et al. 2008). Mikroalga ini juga memiliki aktivitas antioksidan (Estrada et al. 2001). Spirulina platensis telah dibuktikan dapat dijadikan suplemen untuk penderita malnutrisi dan HIV di Afrika, yang dapat meningkatkan berat badan dan sistem imun karena gizi tinggi yang dimiliki Spirulina (Kenfack et al. 2011). Spirulina platensis dapat dimanfaatkan sebagai suplemen bahan pakan, makanan, dan pengobatan. Mikroalga ini mengandung semua nutrien makanan dalam konsentrasi yang tinggi, dan telah diterima sebagai makanan yang mempunyai banyak fungsi, sebagai suplemen, atau sebagai makanan pelengkap. Spirulina telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi manusia. Hal tersebut juga didukung oleh bukti digunakannya Spirulina sebagai sumber pakan sejak dahulu oleh penduduk Afrika dan Mexico (Kenfack et al. 2011). Spirulina platensis telah digunakan sebagai suplemen makanan di Amerika Utara. Di Afrika, Spirulina digunakan sebagai sumber makanan tradisional. Spirulina membantu sistem imun dalam melawan infeksi (Susanna et al. 2007). Antioksidan merupakan salah satu komponen yang dapat menjaga sistem imun tubuh karena dapat menangkal
4
radikal bebas. Antioksidan pada S. platensis salah satunya dapat diketahui dengan banyaknya komponen fenol yang terkandung. Colla et al. (2007) melaporkan komponen fenol tertinggi pada S. platensis yaitu 4,997±0,373 µg per gram S. platensis yang dikultivasi pada suhu 35°C dalam media yang ditambah sodium nitrat 1,875 g/L. Kandungan gizi S. platensis disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Kandungan gizi Spirulina platensis Kandungan Komposisi umum Protein Karbohidrat Lemak Mineral
60%-69% 16%-20% 5%-7% 6%-9%
Fitopigmen Total karotenoid Beta karoten Xanthopylls Zeaxanthin Chlorophyll Phycocyanin
mg/100 g 400-650 150-250 250–470 125–200 1300–1700 15000–19000
Asam lemak Myristic acid Palmitic acid Stearic acid Oleic acid Linoleic acid Gamma-linolenic acid
g/100 g 0,01–0,03 2,00–2,50 0,01–0,05 0,10–0,20 0,75–1,20
Vitamin Vitamin B1 (Thiamine) Vitamin B2 (Riboflavin) Vitamin B3 (Niacin) Vitamin B6 (Pyridoxine) Vitamin B12 (Analogue) Folic acid Inositol Vitamin K
mg/100 g
Sumber : Thomas (2010)
Jumlah
1,00–1,50
0,15–0,30 4,00–7,00 10,0–25,0 0,50–1,50 0,10–0,30 0,05–0,30 70,0–90,0 0,90–1,05
Kandungan Mineral Kalsium Fosfor Magnesium Besi Sodium Potassium Seng Tembaga Mangan Chromium Selenium
Jumlah mg/100 g 60–110 700–1000 200–300 25–40 700–1000 1000–1500 1,0–3,0 0,2–0,4 1,0–3,0 0,1–0,3 0,003–0,010
Asam amino Alanine Arginine Aspartic acid Cystine Glutamic acid Glycine Histidine Isoleucine Leucine Lysine Methionine Phenyl alanine Proline Serine Threonine Tryptophane Tyrosine Valine
g/100 g 4,0–5,0 3,0–5,0 1,5–3,0 0,5–0,75 6,0–9,0 2,0–4,0 0,5–1,5 3,0–4,0 3,0–5,0 3,0–6,0 1,0–6,0 2,5–3,5 2,0–3,0 3,0–4,5 1,5–3,0 1,0–2,0 1,0–3,0 1,0–3,5
5
Spirulina adalah kelompok alga biru hijau yang merupakan salah satu sumber pangan dan pakan potensial dengan kandungan pigmen fikosianin yang tinggi dan mencapai 20% dari total protein selnya, yaitu 15–19 gram (Thomas 2010). Kandungan pigmen fikosianin yang tinggi menjadi daya tarik bagi pengembangan dan dianggap memiliki pasar yang potensial dalam industri pangan dan kesehatan karena fikosianin memiliki karakteristik antioksidan dan dapat berfungsi inflamatori, menghambat tumor nekrosis, dan melindungi sel-sel syaraf (Chrismandha et al. 2006). Nagaraj et al. (2011) melaporkan bahwa perlakuan dengan C-fikosianin dari S. platensis (75 mg/kg berat badan) menunjukkan aktivitas antioksidan dan mengurangi stress oksidatif yang dihasilkan selama CCl4 (karbon tetraklorida) diinduksi pada tikus. Morfologi S. platensis disajikan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1 Morfologi Spirulina platensis (a) FAO (2008) (b) Koleksi pribadi. 2.2 Biskuit Biskuit merupakan produk makanan yang dibuat dari bahan dasar terigu yang dipanggang hingga kadar air kurang dari 5%. Biskuit adalah produk bakeri kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau subtitusinya, minyak atau lemak, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan (BSN 2011a). Komponen terbesar dalam pembuatan biskuit yaitu tepung terigu (Manley 2000). Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 2011 disajikan pada Tabel 2.
6
Tabel 2 Persyaratan mutu biskuit (SNI 2973-2011) Kriteria Uji Keadaan - Bau - Rasa - Warna Kadar air (b/b) Protein (b/b) Asam lemak bebas (sebagai asam oleat) (b/b) Cemaran logam - Timbal (Pb) - Cadmium (Cd) - Timah (Sn) - Merkuri (Hg) - Arsen (As) Cemaran mikroba - Angka Lempeng Total (ALT) - Coliform - Eschericia coli - Salmonella sp. - Staphylococcus aureus - Bacillus cereus - Kapang dan khamir
Persyaratan Normal Normal Normal Maksimal 5% Minimal 5% Maksimal 1,0
Maksimal 0,5 Maksimal 0,2 Maksimal 40 Maksimal 0,05 Maksimal 0,5 Maksimal 1x104 20 <3 Negatif Maksimal 1x102 Maksimal 1x102 Maksimal 2x102
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2011)
Penggolongan biskuit dilakukan berdasarkan beberapa hal, antara lain berdasarkan nama dan metode pembentukan adonan. Beberapa nama biskuit yang diketahui berdasarkan tekstur dan kekerasan yaitu biskuit, crackers, dan cookies, sedangkan metode pembentukan adonan antara lain fermentasi dan laminasi (lapisan) (Manley 2000).
2.3 Formula Biskuit Pembuatan biskuit dilakukan dengan pencampuran bahan-bahan tertentu. Beberapa bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit yaitu tepung terigu, gula, baking powder, vanili, garam, ragi, tepung beras, lemak, dan air. 2.3.1 Tepung terigu Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan biskuit. Tepung ini tidak berkontribusi terhadap flavor dari biskuit, tetapi berkontribusi terhadap tekstur, kekerasan, serta bentuk atau potongan biskuit. Prinsip penentuan
7
penggunaan tepung terigu dalam pembuatan biskuit yaitu berdasarkan kualitas dan kuantitas protein, yang menentukan gluten yang akan terbentuk ketika tepung dicampur dengan air. Kebanyakan biskuit dapat dibuat dengan tepung terigu yang rendah protein dan memiliki gluten yang kurang baik. Tepung terigu yang memiliki kandungan protein kurang dari 9% baik untuk pembuatan biskuit, sedangkan untuk pembuatan adonan crackers fermentasi sebaiknya menggunakan tepung dengan kadar protein 10,5% atau lebih (Manley 2000). 2.3.2 Gula Fungsi gula dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pemberi rasa manis, pembentuk tekstur, dan pemberi warna pada permukaan biskuit. Gula (sukrosa) dalam adonan biskuit yang ditambahkan ragi, membantu terbentuknya gas dalam adonan. Gula dalam adonan biskuit akan terlarut dan menyebar, tergantung dari kandungan air, dan kemudian akan mengkristal kembali setelah pemanasan (baking). Hal tersebut akan berimbas terhadap tekstur biskuit. Konsentrasi gula yang ditambahkan akan mempengaruhi aktivitas air dan pertumbuhan mikroba dalam biskuit. Gula juga berperan dalam memperpanjang masa simpan biskuit, karena sifatnya yang higroskopis (menahan air). Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa, yaitu pemanis yang mengandung kalori atau memberikan sumbangan energi pada bahan pangan (Manley 2000). 2.3.3 Baking powder Baking powder atau soda kue merupakan senyawa natrium bikarbonat (NaHCO3) yang memiliki sifat sebagai bahan pengembang. Bahan pengembang adalah senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan (Winarno 2008). Kelebihan baking soda dalam pembuatan biskuit dapat mengakibatkan biskuit terasa asam (rasa menyerupai rasa baking soda), tekstur yang remah, dan warna yang kurang menarik. Normalnya, pH biskuit adalah 7,0±0,5 dan untuk mencapai nilai pH tersebut dapat dengan menggunakan jumlah tertentu baking soda (Manley 2000). 2.3.4 Vanili Vanili adalah senyawa organik dengan rumus C8H8O3 (4-hidroksi-3metoksi benzaldehid). Vanili merupakan komponen utama dari sekitar 200 jenis senyawa beraroma yang terdapat dalam buah vanila (Vanillia spp.). Berat vanili
8
adalah sekitar 2-2,75% dari berat
kering buah vanila
yang terawat
(Suwarso et al. 2002). Vanili memiliki bau yang harum sehingga senyawa ini banyak digunakan untuk memberi aroma pada berbagai jenis makanan dan minuman seperti es krim, coklat, kue, biskuit, dan lain-lain (Yuliani 2008). Vanili berfungsi untuk pemberi flavor. Flavor merupakan komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menimbulkan efek sensoris. Flavor dirasakan terutama oleh indera perasa dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber alami (Kaya 2008). 2.3.5 Garam Garam digunakan sebagai pemberi rasa atau untuk meningkatkan rasa, efektif pada konsentrasi penambahan 1–1,5% dari banyaknya terigu. Garam yang ditambahkan ke dalam adonan juga menguatkan gluten dan adonan menjadi tidak terlalu lengket. Apabila tidak ditambahkan garam ke dalam adonan, maka adonan akan menjadi lebih lengket (Visireddy 2011). 2.3.6 Ragi Terdapat beberapa jenis ragi, tetapi umumnya ragi yang digunakan untuk fermentasi adonan yaitu Saccharomyces cerevisiae. Fungsi utama ragi adalah mengembangkan adonan. Pengembangan adonan terjadi karena ragi menghasilkan gas karbondioksida (CO2) dan alkohol dari gula selama fermentasi. Gas ini kemudian terperangkap dalam jaringan gluten yang menyebabkan adonan bisa mengembang (Manley 2000). Komponen lain yang terbentuk selama proses fermentasi adalah asam dan alkohol yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma roti, namun alkohol akan menguap dalam proses pemanggangan roti (Rahayu 2012). 2.3.7 Tepung beras Tepung beras dibuat dari beras yang digiling. Tepung beras mempunyai sifat fisik dan sensori yang khas sehingga mempunyai potensi sebagai ingredient pangan. Satu sifat penting dari tepung beras adalah nonallergenic sehingga secara khusus dapat dimanfaatkan untuk mensubstiutsi tepung lain, khususnya tepung terigu (Hariyadi 2005). Ukuran partikel tepung beras juga berpengaruh terhadap sifat-sifat fungsionalnya. Tepung yang mempunyai ukuran lebih halus mempunyai
9
penyerapan air yang lebih tinggi. Kerusakan pati pada tepung yang berukuran kasar lebih rendah daripada tepung halus. Tepung jenis ini lebih banyak digunakan untuk pembuatan roti yang menggunakan bahan 100% tepung beras, sedangkan tepung halus yang mengalami kerusakan pati yang lebih tinggi lebih disukai untuk tepung campuran yang mengandung 36% tepung beras (Hutabarat 2001). Tepung beras sangat lunak. Tepung ini biasanya digunakan dalam skala kecil untuk mensubtitusi tepung terigu, sehingga dapat memberikan tekstur yang lebih lembut (Manley 2000). 2.3.8 Minyak/Lemak Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberi flavor. Lemak berfungsi memperbaiki kualitas penerimaan, melembutkan, membantu pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung serta memutuskan ikatannya, dan membatasi daya serap air (Manley 2000). 2.3.9 Air Air berperan sebagai katalis dalam melarutkan bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Air yang ditambahkan kedalam adonan biskuit akan hilang selama proses pemanasan (pemanggangan), akan tetapi kualitas air dapat mempengaruhi adonan biskuit. Air yang digunakan harus memenuhi syarat air minum sehingga terhindar dari mikroorganisme yang merugikan (Manley 2000).
2.4 Kerusakan Mikrobiologis Kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan mentah, tetapi juga pada bahan setengah jadi maupun pada bahan hasil olahan. Kerusakan mirobiologis yang disebabkan pertumbuhan mikroba pada produk dapat menyebabkan perubahan organoleptik, penurunan nilai gizi, serta dapat menyebabkan penyakit dan keracunan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kerusakan pada produk pangan, yaitu massa oksigen, uap air, cahaya, mikroorganisme, kompresi atau bantingan, dan bahan kimia toksik atau off flavor. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penurunan mutu
10
lebih lanjut, seperti oksidasi lipida, kerusakan vitamin, kerusakan protein, perubahan bau, reaksi pencoklatan, perubahan unsur organoleptik, dan kemungkinan terbentuknya racun (Herawati 2008). Kerusakan mikrobiologis pada bahan pangan dapat dilihat salah satunya dengan menghitung total mikroba. Angka Lempeng Total (ALT) atau Total Plate Count (TPC) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengetahui pendugaan jumlah bakteri. Pertumbuhan mikroba berhubungan dengan adanya air. Air dalam bahan pangan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba disebut dengan aktivitas air (aw) atau water activity. 2.4.1 Total mikroba Mikroba mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2007). Media Plate Count Agar (PCA) umumnya digunakan pada metode TPC, yang ditujukan untuk seluruh mikroorganisme yang ada pada produk. Media PCA digunakan untuk menghitung jumlah bakteri aerobik (Amran dan Abbas 2011). Pada metode TPC, hanya bakteri hidup yang dapat dihitung sehingga hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah bakteri yang sesungguhnya karena beberapa
bakteri
yang
berdekatan
mungkin
membentuk
satu
koloni
(Sugihartuti at al. 2010). 2.4.2 Aktivitas air (water activity) Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan aktivitas air (aw). Aktivitas air (water activity) adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba
untuk
pertumbuhannya.
Istilah
aktivitas
air
digunakan
untuk
menjabarkan air bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Kandungan air dan aktivitas air mempengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimiawi dan mikrobiologi dalam makanan. Aktivitas air
11
merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan. Aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas simpan sejumlah makanan, dengan demikian diperlukan pengemasan untuk membantu mempertahankan kualitas makanan (Fennema 1996). Aktivitas air menggambarkan status energi air dalam sistem, yang didefinisikan sebagai perbandingan tekanan uap air dalam suatu bahan (P) terhadap tekanan uap air murni (Po) pada temperatur yang sama. Aktivitas air dinyatakan dalam angka antara 0 sampai 1,0 yang secara langsung juga sebanding dengan keadaan kelembaban relatif (relative humidity/RH) 0% sampai 100% (Fennema 1996).
Berikut beberapa hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan. Pertumbuhan bakteri hampir tidak mungkin pada aktivitas air lebih kecil dari 0,90. Jamur dan ragi pertumbuhannya terhambat pada selang aw 0,80-0,88. Kebanyakan enzim seperti amilase, phenoloxidases, dan peroksidase tidak aktif ketika aktivitas air di bawah 0,85 (deMan 1999). Kisaran aw untuk pertumbuhan bakteri adalah 0,9, khamir 0,8–0,9, dan kapang 0,6-0,7 (Winarno 2008).
2.5 Antioksidan Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat menunda atau mencegah oksidasi lemak atau molekul lain dengan cara menghambat terjadinya proses inisiasi atau propagasi reaksi rantai oksidatif. Antioksidan saat ini banyak dimanfaatkan dalam bidang pangan. Makanan yang mengandung lemak dan minyak dapat teroksidasi secara perlahan selama penyimpanan. Proses oksidasi tersebut menyebabkan kemunduran mutu dan sensori dari produk. Autooksidasi lemak dan minyak pada makanan diduga dapat dicegah dengan menggunakan inhibitor (penghambat) oksidasi atau antioksidan. Antioksidan sintesis seperti Butylated Hydroxyl Anisole (BHA) dan Butylated hydroxyl Toluene (BHT) sering digunakan sebagai antioksidan untuk makanan. Kegunaan dari antioksidan sintesis telah
mulai
dibatasi
karena
mengandung
racun.
Antioksidan
sintesis
memberikan efek negatif yang dapat menyebabkan terjadinya kanker dan penyakit
12
hati (Lee et al. 2010). Tumbuhan cukup mendapat perhatian sebagai sumber komponen aktif biologi, termasuk antioksidan, anti-mutagen, dan anti-kanker. Penambahan antioksidan alami dapat meningkatkan umur simpan makanan yang mengandung minyak dan lemak. Selain itu, antioksidan alami aman digunakan serta memberi manfaat bagi kesehatan (Reddy et al. 2005). Beberapa reaksi biokimia dalam tubuh menghasilkan oksigen reaktif (reactive oxygen species) dan dapat menyebabkan penyakit. Bahaya radikal bebas dapat dicegah menggunakan antioksidan dengan cara mengikat radikal bebas dan mendetoksifikasi (Ebrahimzadeh et al. 2009). Penggunaan DPPH (2,2-DiPhenyl1-Picryl-Hydrazyl) sebagai pengujian antioksidan dapat untuk bermacam-macam sampel. Perubahan warna DPPH dari ungu menjadi kuning apabila terjadi reduksi donasi ion H- atau elektron. Beberapa komponen yang diduga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu kelompok fenol, karotenoid, fikobiliprotein, klorofil, dan turunan klorofil (Wang et al. 2007). Berdasarkan mekanisme kerjanya antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Suatu senyawa digolongkan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, contohnya enzim katalase dan glutation peroksidase. Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru, atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif. Antioksidan sekunder (eksogenus atau nonenzimatis) merupakan antioksidan yang bersifat preventif. Terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal atau dirusak pembentukannya. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E dan C, β-karoten, flavonoid, bilirubin, dan albumin. Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNArepair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim tersebut berfungsi dalam perbaikan
biomolekuler
(Winarsi 2011).
yang
rusak
akibat
reaktivitas
radikal
bebas