TINJAUAN PUSTAKA SIMBIOSIS DAN SIMEbION
Simbiosis
Istilah simbiosis pada awalnya digunakan secara terbatas untuk menjelaskan mengenai keadaan "hidup bersaman antara dua organisme, dalam ha1 ini cendawan dan inangnya, de Barry (1887) (dalam Cooke, 1977). Pengertian simbiosis ini kemudian berkembang, yang pada dasarnya dikaitkan dengan gradasi interaksi antara cendawan dan inangnya.
Cooke (1977) memberikan arti bahwa simbiosis
mencakup pengertian yang berkenaan dengan seluruh asosiasi yang memungkinkan cendawan bersentuhan dengan inangnya, untuk memperoleh hara makro maupun mikro dengan berbagai cara. Berdasarkan derajat ketergantungan dan
pe-
ngaruh terhadap inangnya, cendawan simbiotik dibagi menjadi 6 kelompok simbion. lah
: (1)
Kelompok simbion tersebut ada-
fakultatif antagonistik,
(2) obligat antago-
nistik, (3) fakultatif netral, (4) obligat netral, (5) fakultatif mutualistik, dan
(6) obligat mutualistik.
Asosiasi cendawan mikoriza dengan tumbuhan termasuk ke dalam kelompok ( 5 ) dan (6). Mikoriza adalah asosiasi simbiosis antara cendawan non patogen atau patogenik lemah dengan sel-sel hidup akar suatu tumbuhan.
Harley dan Smith (1983) menyatakan
bahwa mikoriza adalah suatu asosiasi yang sepenuhnya sim-
biosis dan menghasilkan suatu sifat morfologi yang baru dan konsisten dalam proses asosiasinya serta mendatangkan keuntungan untuk kedua organisme tersebut, pernyataan ini mendukung pembagian dari Cooke (1977).
Pada umumnya mi-
koriza terbentuk bila cendawan melakukan penetrasi terhadap sel akar yang hidup, terutama pada bagian korteks dan epidermis. Slankis (1963) (dalam Harley dan Smith, 1983) mengamati bahwa pembentukan mikoriza akan tergantung pada keadaan fisiologis spesifik akar tumbuhan.
Berbagai pe-
nelitian menunjukkan bahwa zona infeksi mikoriza tidak bersifat statis tetapi bergerak dengan penyebaran ke arah puncak (akropetal) yaitu dari ujung akar ke dasar batang. Proses pergerakan tersebut terjadi bersamaan dengan pertumbuhan akar. Umumnya, hanya akar muda yang 'dapatdiinfeksi oleh cendawan. Dikenal tiga tipe mikoriza yaitu endomikoriza, ektomikoriza dan ektendomikoriza. Ektomikoriza dapat diamati secara visual karena akar-akar yang "terinfeksim umumnya akan membesar atau menggembung. tidak menjadi lebih besar.
Pada endomikoriza akar
Hawksworth et al. (1983) me-
nyatakan bahwa ektomikoriza dicirikan oleh adanya cendawan di permukaan akar dan membentuk jala Hartig.
Pada
ektomikoriza, hifa cendawan membentuk suatu mantel baik di luar akar maupun di dalam akar yaitu pada daerah interselular epidermis dan
korteks. Sedangkan penetrasi
intraselular ke dalam sel-sel epidermis dan korteks tidak
terjadi. Jala Hartig umumnya terbentuk di antara sel-sel tersebut. Cendawan yang mampu membentuk riza menurut Alexopoulus dan
simbiosis miko-
Mims (1979) adalah
:
(1)
endomikoriza biasanya fungi tingkat rendah, sering termasuk ke dalam ordo Endogonales dari kelas Zygomycetes dan beberapa termasuk Basidiomycetes seperti R h i z o c t o n i a dan A r m i l l a r i e l l a m e l l e a dan ( 2) ektomikoriza paling banyak ditemukan pada Basidiomycetes dan beberapa dari Ascomycetes.
Dari Basidiomycotina umumnya berasal dari
ordo Agaricales dan dari kelas Gasteromycetes. Cruz (1981) menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh dari proses simbiosis tersebut adalah
:
(1) mening-
katkan absorpsi hara mineral, (2) meningkatkan resistensi tanaman inang terhadap kekeringan,
(3) meningkatkan ke-
tahanan biologis terhadap infeksi akar oleh patogen, produksi hormon tumbuh tanaman, dan
(4)
(5) interaksi siner-
gistik antara mikoriza dengan organisme lain yang menguntungkan yang terdapat di permukaan akar. Tipe mikoriza yang terbentuk akan mempengaruhi manfaat tersebut di atas terhadap tanaman inang. Ektomikoriza secara umum dijumpai pada pohon-pohon hutan seperti berbagai spesies Pinus, Eucalyptus, dan Dipterocarpaceae. Tujuh genus dari Basidiomycetes, yaitu R u s s u l a , Lact a r i u s , Scleroderma, Amanita, B o l e t u s , P a x i l l u s dan Cant h a r e l l u s dapat ditemukan di bawah tegakan hutan Dipterocarpaceae di Filipina
(Pampolina e t a l .
1994) .
Sedangkan Yasman (1993) menyatakan bahwa terdapat 172 spesies fungi ektomikoriza dari 32 genus yang dapat diamati selama 7 tahun pengamatan, yang terdapat pada 2 hektar plot perma- nen Dipterocarpaceae di hutan Kalimantan Timur. Terdapat 3 spesies dominan yang berasosiasi dengan Dipterocarpaceae yaitu Amani ta spp., Boletus spp., dan Russula spp . , sedangkan Sclerodema spp . terdapat di antara genus yang sering dijumpai.
S. columnare dan S.
d i c t y o s p o r u m merupakan cendawan penting untuk digunakan
pada hutan hujan tropis. Berbagai sistem inokulasi telah dicoba dimodifikasi seperti dalam bentuk kapsul, dan bubuk spora larso, 1990
;
tablet
serta suspensi miselia (Fakuara dan WiSupriyanto, 1992) (dalam Supriyanto et
al., 1994). Simbion ydng digunakan pada penelitian ini adalah S h o r e a selanica B1. dan S. col umnare Berk
&
Br .
A1
Rasyid et al. (1991) menyatakan bahwa S. selanica adalah salah satu spesies dari kelompok Meranti Merah yang termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae yang dapat hidup pada iklim kering dengan jumlah bulan kering 3-5 bulan/tahun.
Kebutuhan cahaya tanaman muda berkisar dari
50-75% dari cahaya total.
Pada umumnya Dipterocarpaceae
turnbuh baik pada tanah kering bereaksi masam, tanah bersolum tebal dan banyak mengandung liat.
Masano et al.
(1979) menyatakan bahwa untuk memperoleh suplai yang kontinu bagi industri perkayuan diperlukan penanaman famili
Dipterocarpaceae di luar habitat aslinya. Dari percobaan di Haur Bentes, Bogor, ternyata S. s e l a n i c a merupakan salah satu dari empat spesies yang menunjukkan potensi pertumbuhan tertinggi. S . s e l a n i c a pada umur 6 bulan mencapai persentase tanaman hidup sebanyak 97.3% dan tinggi tanaman mencapai 69 cm. Rifai (1979) menyatakan bahwa S c l e r o d e r m a adalah suatu marga (genus) Gasteromycetes yang secara pasti terdapat di kawasan Malesia.
Terdapat sedikitnya 7 S c l e r o -
d e m a spp . yang ternyata berbeda dengan jenis-jenis yang ada di daerah beriklim sedang.
S . columnare merupakan
salah satu jenis yang dapat ditemukan dengan pertelaan cirinya, ialah permukaan basidiospora berduri-duri, tubuh buah jelas bertangkai dan spora berwarna coklat pucat . Jenis ini berasosiasi dengan pohon-pohon Dipterocarpaceae di Jawa, Singapura, Semenanjung Malaya dan Srilanka.
Transfer letabolit Antar Simbion
Eksudasi atau kehilangan molekul organik dari sel akar merupakan proses yang normal.
Senyawa yang hilang
meliputi gula terlarut, asam amino, asam organik dan senyawa-senyawa lain dalam keragaman yang cukup besar. Musigel dapat membentuk lapisan sampai ketebalan 50 um di permukaan akar (Waisel e t al. 1991). Mikroorganisme yang ada di daerah rizosfer dan sel-sel di permukaan akar akan selalu siap pada posisi untuk mengabsorpsi hara yang ber-
asal dari eksudat yang dapat larut yang merupakan bagian dari musigel. Jumlah bahan organik yang dikeluarkan akan tergantung kepada aktivitas mikroorganisme, keadaan tanah dan tingkat fisiologi tanaman.
Interaksi inang dan cen-
dawan diduga dapat memproduksi salah satu faktor yang akan meningkatkan proses eksudasi. Sebagai contoh, Olsen (1971) (dalam Harley dan Smith, 1983)
menunjukkan bahwa
glikosida triterpena seperti avenasin dan aesin dapat menghambat pengambilan hara ,'K
M ~ ~ *dan , fosfat anorga-
nik, dan memperlancar pengeluaran ion-ion lain dari miselia berbagai cendawan, misalnya Ophiobolus graminis. Terdapat berbagai macam toksin cendawan yang mengubah permeabilitas plasmalemma inang.
Mekanisme transfer ba-
han secara aktif dimungkinkan karena secara umum permeabilitas membran simbion relatif tidak meningkat. Akhir-akhir ini enzim ATP-ase yang terikat pada membran telah dipelajari secara sitokimia pada mikoriza vesikular-arbuskular dan pada asosiasi Erysiphe dengan inangnya.
ATP-ase mengalami redistribusi selama pemben-
tukan arbuskular, sehingga aktivitasnya terkonsentrasi pada membran yang bersebelahan dengan arbuscula dewasa. Plasmalema yang mengelilingi arbuskula muda atau bagian yang memunculkan cabang-cabang arbuskula tidak menunjukkan aktivitas ATP-ase.
Infeksi akar oleh cendawan miko-
riza juga berhubungan dengan perkembangan enzim fosfatase alkalin.
Aktivitas enzim tersebut berkaitan sangat erat
13
baik dengan fase perkembangan arbuskular maupun dengan keberadaan stimulasi pertumbuhan cendawan mikoriza pada tanaman inang. Perubahan karbohidrat larut yang ada di dalam sel tanaman sering berkaitan dengan infeksi cendawan. runan kandungan pati terinfeksi atau yang dapat
Penu-
sering teramati di dalam sel yang
di dalam jala Hartig.
Perubahan utama
terdeteksi adalah meningkatnya konsentrasi
heksosa yang sering berkaitan dengan peningkatan aktivitas enzim invertase dan pengurangan sukrosa. Pada proses infeksi mikoriza
telah dapat diamati adanya peningkatan
konsentrasi heksosa yang diimbangi oleh penurunan konsentrasi sukrosa, tetapi tidak merupakan fenomena umum pada sistem mikoriza.
Transpor
fotosintat ke arah lapisan
cendawan ektomikoriza sering dapat dijelaskan oleh adanya bahan-bahan hormonal yang dilepaskan oleh cendawan yang bekerja terhadap sel inang. .Pengaruh ini secara teoretis dimungkinkan, tetapi bukti secara percobaan sulit dilakukan. Kesulitan pembuktian adanya bahan hormonal terutama disebabkan oleh rendahnya konsentrasi bahan hormonal, sehingga diperlukan teknik pengukuran yang mempunyai sensitivitas tinggi.
Selain itu pembuktian bahan hormonal
juga harus dilakukan melalui
uji hayati (bioesai).
Skema kemungkinan mekanisme transfer karbohidrat terdapat pada Gambar 2.1.
Dalam proses transfer, seluruh sistem
akar akan mengeluarkan eksudat karbohidrat. Konsentrasi
atau aktivitas manitol dapat meningkatkan eksudasi secara kuantitatif tanpa mengubah permeabilitas membran secara berarti . Harley (1969) menyarankan bahwa pada ektomikoriza, infeksi cendawan
dapat terganggu dengan adanya.sintesis
dinding sel normal di ujung akar dan di daerah jala Hartig . Proses ini
menyebabkan terjadinya perubahan arah
prazat karbohidrat ke dalam hifa.
Protein
di permukaan
hifa dapat melakukan kopolimerisasi dengan dinding sell mengkondensasikan enzim pada akar, sehingga pembentukan polimer dinding sel akan terhambat atau terganggu. gai akibatnya, karbohidrat dapat larut
Seba-
lalu dilepaskan
melalui membran sel akar, dan dapat menjadi tersedia untuk cendawan. Mekanisme lain adalah kemungkinan'terdapatnya glikoprotein pada zona winterfacialn, karena senyawa ini telah dibuktikan mempunyai kemampuan spesifik dalam proses pengikatan.
I Apoplas
Sel inang
(1) Kebocoran
Pasif Karbo hidrat
I
"INTERFACIAL"
I Sel Cendawan
Pengaruh cendawan terhadap Permeabilitas -
I-
- - --. - --
---. -
*
Pengaruh Cendawan I Pada Konsentrasi Jaringan
I Akumulasi Prazat
I
I
(2)
Transport Selektif
Organisasi Perbaikan Dinding
Sintesis Normal Dan Transfer Dinding
Produksi Enzim Hidrolitik Hidrolisis Dinding Dan Akumulasi Produk
,Trasport Selektif
Cambar 2.1. Skema Kemungkinan Mekanisme Transfer Karbohidrat Dari Inang Autotrof ke Cendaw a n Pada Sistem Mikoriza, (Harley dan Smith, 1983)
Duddridge et a1 .
( 19 88)
menunjukkan bahwa cendawan pada
tanaman Pinus bermikoriza dapat
melunakkan dinding epi-
dermis dan korteks untuk memproduksi "lapisan kontakv
atau "lapisan yang terlibatw di daerah tempat jala Hartig berada.
Bukti gangguan terhadap deposisi dinding diper-
lihatkan oleh hasil percobaan elektron mikroskopi pada endomikoriza. Sintesis aktif dan deposisi bahan dinding sel primer terjadi bila plasmalema berada dalam tekanan. Informasi rinci
mengenai
bagaimana
transfer hara
yang diperoleh dari tanah oleh cendawan ke inang masih belum banyak dilaporkan.
Pada mikoriza Fogus, telah da-
pat ditunjukkan bahwa ortofosfat anorganik bergerak dari cendawan ke arah inang.
Gerakan ion ini melalui sel-sel
pada jaringan yang berinteraksi langsung dengan butiran tanah ke jaringan inang melalui simplas
(Finlay, 1992) .
Sintesis polifosfat dan degradasinya berperan penting dalam mengbntrol tingkat fosfat anorganik di dalam sitoplasma cendawan.
Polifosfat yang terdapat pada vakuola,
dapat melakukan keseimbangan secara osmotik, dengan polifosfat dapat larut yang terdapat di sitoplasma.
Konsen-
trasi ortofosfat anorganik sitoplasma dapat dipertahankan tetap tinggi karena hidrolisis polifosfat yang berlangsung terus-menerus dan terjadinya transfer ortofosfat di sepanjang tonoplas yang bersebelahan dengan interfase. Keadaan ini akan mempermudah transfer fosfat ke dalam apoplas.
Skema transfer fosfat dan heksosa antara sel
cendawan dan sel inang tertera pada Gambar 2.2. Berbagai alternatif mekanisme telah dikemukakan untuk menjelaskan transfer fosfat secara rinci.
.
Sel Inang
Apoplas "INTERFACIALu
Transport
Kebocoran Pasifc-
-
Sel Cendawan Pool Fosfat
Polifosfatase Polifosfat
KebocoranPasif
Dengan mediator
Heksosa
Heksosa-P
--->
Fosforilasi Disakarida Polisakarida Gambar 2.2. Skema Transfer Fosfat dan Heksosa Antara Sel Cendawan dan Sel Inang (Harley dan Smith, 1983)
Mekanisme yang umum adalah berasal dari keseimbangan ADP dan ATP.
Dari ATP dengan adanya
enzim heksokinase dapat
I
terbentuk heksosa fosfat. Heksosa fosfat juga dapat timbul sebagai hasil kerja enzim polifosfat heksokinase dengan adanya heksosa sebagai substrat.
Heksosa yang ter-
fosforilasi dapat digunakan dalam metabolisme atau pembentukan disakarida, polisakarida atau bahan-bahan simpanan cendawan, sedangkan fosfat akan dibebaskan.
Kedua
I
I
enzim kinase tersebut telah dideteksi pada endomikoriza, yaitu pada arbuskula dan vesikularnya dan juga pada hifanya (Callow, 1982) (dalam Harley dan Smith, 1983).
I
Dari berbagai telaah dapat dibuktikan, bahwa transfer fosfat dan heksosa bersifat resiprokal, dan secara kuantitatif akan saling berhubungan.
Mekanisme dan Alur Seluler Translokasi
Translokasi hara melalui miselia cendawan dan pergerakan hara antara simbion telah ditelaah dengan menggunakan isotop stabil.
Pada dasarnya translokasi unsur pada
miselia berbeda-beda kecepatannya yang dipengaruhi juga oleh sistem mikoriza yang terbentuk.
Skinner dan Bowen
(1974) (dalam Finlay, 1992) menyatakan bahwa translokasi 3 2 pada ~ miselia
di lapangan dapat mencapai jarak 12.0
cm, sedangkan di laboratorium hanya mencapai
2
12 mm.
Hasil percobaan ~ i n i a(1992) ~ menunjukkan bahwa translokasi 3 2 pada ~ sistem ektomikoriza Fagus sylvatica yang di infeksi oleh Paxillus involutus, sama besar dengan translokasi 3 2 pada ~ sistem endomikoriza .
Perhitungan pada
sistem endomikoriza tersebut didasarkan aliran sitoplasmik.
pada mekanisme
Mekanisme dan alur seluler translo-
kasi hara pada sistem ektomikoriza
diduga terdiri dari
difusi, aliran sitoplasmik atau siklosis, dan aliran badan larutan sepanjang gradien turgor. Gradien turgor dapat dipercepat oleh tekanan pada sumber atau tekanan yang disebabkan oleh evaporasi pada "sink". Mekanisme di atas dapat dibuktikan pada translokasi senyawa 14c dari tanaman inang ke cendawan.
Soderstorm et al. (1988) (da-
lam Finlay, 1992) menyatakan bahwa bentuk utama drat yang dapat
karbohi-
ditranslokasikan adalah manitol dan ara-
bit01 yang kemudian disimpan sebagai trehalosa pada jaringan cendawan. Pengukuran yang dilakukan oleh Finlay dan Read (1986) (dalam Finlay, 1992) menunjukkan kecepatan translokasi akropetal senyawa
'*c
berlabel melalui mi-
selium Suillus bovinus lebih besar 20 cm jam-'.
Kelebih-
an ini mirip dengan laju transport yang diukur oleh Brownlee dan Jenning (1982) (dalam Finlay, 1992) pada Serpula lacrymans.
Dari pengamatan di atas diduga perge-
rakan karbohidrat melalui miselia ektomikoriza terjadi akibat tekanan yang dipercepat oleh aliran badan cairan dan oleh adanya gradien tekanan hidrostatis yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi z a t terlarut internal. Duddridge et al. (1988) menyatakan bahwa gerakan air
ke
arah tanaman mungkin berlangsung secara apoplastik melalui pembuluh
kosong hifa utama.
Hal ini dapat diamati
melalui translokasi air bertitrium ( 3 ~ 2 pada ~ ) sistem miselia Suillus bovinus. Mekanisme dan alur karbohidrat dan pergerakan air pada hifa ektomikoriza sangat analog dengan transpor melalui sistem vaskular pada tanaman. Asimilat bergerak dengan arah yang berlawanan melalui sitoplasma pada hifa yang sangat padat dikelilingi oleh pembuluh dan karenanya dapat dianalogkan dengan pernbuluh floem.
Nitrogen yang diasimilasi oleh cendawan akan ditimbun terutama dalam bentuk glutamin (Finlay et 1989) (dalam Finlay, 1992).
dl.,
1988,
Sedangkan asam amino lain
yang juga dapat berperan sebagai tempat penimbunan nitrogen adalah alanin, arginin dan asam aspartat (Martin dan Botton, 1991) (dalam Finlay, 1992) .
Skeleton karbon yang
terbentuk dari inkorporasi amonium yang diperoleh dari trehalosa dan manitol, diduga akan membentuk asam-asam amino yang dilepaskan ke arah akar tanaman.
Mekanisme
ini diharapkan dapat menyediakan suatu translokasi balik unsur karbon dari arah cendawan ke inang.
METABOLIT SEKUNDER YANG BERKAITAN DENGAN PROSES SImIOSIS MIKORIZA
Biosintesis Hetabolit Sekunder
Metabolit (senyawaan) sekunder didefinisikan sebagai suatu bahan alam hayati,
biasanya berasal dari tanaman,
dan tidak mempunyai fungsi langsung dalam aktivitas biokimia primer, untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi suatu organisme (Conn, 1981). Secara umum, Gunawan (1991) mengemukakan bahwa sifat-sifat utama senyawaan sekunder pada tanaman adalah
:
(1) merupakan ha-
sil proses yang kompleks dan diatur dalam jaringan tertentu, pada tingkat perkembangan tertentu,
(2) produknya
dapat berbeda antar spesies, bahkan di antara organ yang
berbeda, ( 3 ) sangat spesifik, dan ( 4 ) tidak selalu merupakan produk akhir ("end productw) yang lembam, tetapi sering dapat digunakan pada proses metabolismenya. Dari segi biosintesis, Manitto (1981) memberikan skema keterkaitan antara metabolisme primer dan sekunder seperti tertera pada Gambar 2.3.
Metabolisme Primer
Metabolisme Sekunder
Polisakarida -Glukosa
Glikosida
Polisakarida 4
I
Pentosa Tetrosa
Asam amino Aromatik-
propanoid Flavonoid
Protein Triosa
Lemak
-
Asam asetat
-
Asam Nukleat
Siklus Kreb (asam sitrat)
3
Asam amino
Poliketida
Asam&mevalonat
Terpena, Karotenoid
,Tetrapirol
Gambar 2.3. Skema Hubungan Metaboliame Primer dan Sekunder (Manitto, 1981)
Pada dasarnya jalur biosintesis primer terdapat pada seluruh sistem organisme, sedangkan keberadaan jalur metabolisme sekunder akan tergantung kepada organismenya, kondisi biokimiawi serta tingkat fisiologis pertumbuhannya.
Proses biosintesis tersebut bila dilihat dari asal
senyawa metabolit primer akan terbagi menjadi dua kelompok yaitu
:
(1) kelompok senyawa asetil CoA, asam mevalo-
nat dan gula-gula tertentu yang dibentuk dalam metabolisme primer dan
(2)
kelompok senyawa yang berasal dari asam
amino aromatik seperti fenilalanin, tirosin dan triptofan Moeljohardjo (1990). Vickery dan Vickery (1981) menyatakan dengan tidak memasukkan proses primer biosintesis protein dan gula pada tanaman terdapat tiga jalur biosintesis utama untuk metabolit sekunder
yaitu jalur
mevalonat dan asam sikimat.
asetat-malonat; asetat-
Skema Interelasi dari jalur
tersebut secara umum tertera pada Gambar 2.4. Jalur asam sikimat berasal dari jalur pentosa fosfat (gula), yang akan menurunkan asam-asam amino aromatik, fenolik dan alkaloid. - Senyawa asetil CoA merupakan senyawa pemula untuk jalur asetat-malonat dan jalur asetat-mevalonat. Jalur asetat-mevalonat'juga dapat menurunkan senyawa aromatik melalui jalur poliketida.
Sedangkan jalur asetat-
mevalonat akan menurunkan senyawaan terpenoid.
KARBOHIDRAT Jalur pentosa fosfat COZ+HZO
glikolisis
senyawa aromatik asam sikimat
asam piruvat jalur asetat mevalonat
tr5nsamlnasi ammonia '
1
siklus asam asam-asam asetil Co-A protein alkaloid I
I
poliketida
I
terpenoid
senyawa aromatik
I
steroid
asam nukleat
Gambar 2.4. Skema Jalur Biosintesis Utama Pada Tanaman (Vickery Ban Vickery, 1981)
Senyawaan metabolit sekunder yang umum terdapat pada cendawan menurut Garraway dan Evans terpena dan sterol,
(2)
(1984)
adalah (1)
metabolit yang diperoleh dari ja-
lur poliketida, (3) metabolit yang disintesis oleh jalur sikimat-korismat dan
(4)
jalur lain misalnya dari senya-
waan gula. Terpena pada cendawan dapat disintesis melalui jalur asam mevalonat dengan asetil CoA sebagai senyawa pemula, juga dapat disintesis melalui pembentukan senyawa isopentinilpirofosfat dengan prekursor leusin.
Peran
leusin, suatu asam amino, pada sintesis senyawaan terpena dapat dilihat pada Gambar 2.5. CH\
!-SIM
"2
Asetil-CoA
F".
4
I
PY
/C--s-cnA
.
0
~setoasetil-CoA
=5
NADPH . =*3
P" t
HGC-CY
I
P4 C-SQA
I
"O--C-CH3
-1
-
CHJ\
"20
Cu;
0 C--COOH '1
/ &+w
Asam Mevalonat
k"-"" F;; k:; k z m =+:z+~'. 0 ll
/ 'CU-C\-C-SM
G A S H 4CADE'
I
I""" CHz
%\CH-CHz-
C=O
ZNADPM
ZrJAQP
leusin
ccr, .
-
L
I4I
CH:
a
J
7%
CH-CY-C-COOH
0
0
II
C-G-C-SGr4
It
C-C-C-SCoA
CHI
a
CHs
/
C
CH~COOH
o/' Isopentinilpirofosfat Gambar 2.5. Skema Pembentukan Isopentinil Pirofosfat Pada Jalur Asam Mevalonat (Memperlihatkan peran leusin). Garraway dan Evan (1984).
Metabolit sekunder pada cendawan pada umumnya disintesis melalui jalur poliketida,
sehingga jalur ini meru-
pakan ciri bagi cendawan, terutama pada Deuteromycetes. Jalur sikimat-korismat merupakan rute yang umum terjadi baik pada cendawan, tanaman maupun hewan yang akan menghasilkan berbagai senyawaan aromatik.
Kesamaan jenis me-
tabolit pada cendawan dan tanaman dimungkinkan, tetapi
sistem enzimatik
akan tetap menentukan jenis metabolit
yang ada. Asam amino aromatik pada cendawan sering dapat berfungsi sebagai prazat untuk sintesis senyawaan yang lebih kompleks. kondensasi
Berbagai alkaloid dibentuk dengan cara
triptofan dengan rantai terpenoid, sebagai
contoh terjadi pada alkaloid ergot seperti ergosterina dan asam amida lisirgat, yang diproduksi oleh sklerotia C l a v i c e p s purpurea.
Secara umum alkaloid dihasilkan me-
lalui jalur asam sikimat yang terdapat baik pada tanaman maupun pada
cendawan. Sedangkan. pembentukan sklerotia
dapat dikaitkan dengan gejala mempertahankan diri dari sesuatu keadaan lingkungan yang
tidak menguntungkan.
Moore (1979) dan Wattimena (1987) memberikan gambaran keterkaitan
fitohormon berdasarkan biosintesisnya.
Auksin akan dihasilkan melalui pembentukan senyawa indol dari jalur pentosa fosfat, yang dapat dihasilkan melalui pembentukan serin atau melalui senyawa indol asetaldehida.
Serin dapat melakukan transformasi menjadi triptofan
yang selanjutnya dapat membentuk IAA.
Senyawa isopenti-
nilpirofosfat yang dibentuk melalui jalur asam mevalonat akan dapat menghasilkan rantai samping sitokinin, giberelin dan absisat. Cincin adenosin dari kelompok sitokinin dapat dihasilkan melalui jalur pentosa fosfat. Jalur pembentukan fitohormon dari segi biosintesis juga pat pada cendawan.
terda-
Terbentuk tidaknya senyawa tersebut
dalam kuantitas yang dapat diukur akan tergantung kepada
kondisi biokimiawi cendawan tersebut.
Skema keterkaitan
biosintesis fitohormon tertera pada Gambar 2.6.
Fenolik Asam Sinamat Asam kumarat
Fosfoenol piruvat Eritrosa fosfat
Asam indol-
Indol Etanol
Triptofan
Indol Asetaldehida
IAA
Sitokinin (rantai samping)
(b) Giberelin Asetil KoA -Asam
-.
Serin
-,Isopentinil Mevalonat
-
\
GA
/=Ofosfat
Karotenoida
\ santosin (c) Sitokinin Oksidatif PPP Cincin Glukosa Ribosa-P -~Adenosin -&itokinin dari Sitokinin
+
I
Isopentenilpirofosfat (rantai samping)
Gambar 2.6. Skema Keterkaitan Biosintesi Fitohormon Pa- Tan-. Moore (1979) dan Wattimena (1987)
Penggunaan cendawan ektomikoriza saat ini juga banyak dikaitkan dengan sifatnya yang mungkin dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen dan memacu pertumbuhan tanaman dengan diproduksinya fitohormon (Duchesne dan Peterson, 1987).
Berbagai laporan telah menyebutkan ada-
nya akumulasi senyawaan fenolik dan terpena pada akar tanaman sebagai respon terhadap kolonisasi cendawan ektomikoriza. Beberapa peneliti mempostulatkan senyawaan yang terakumulasi, sebagai respon simbiosis ini, analog dengan akumulasi fitoaleksin dalam kaitan interaksi patogeninang. Pembuktian mekanisme ini pada berbagai sistem mikoriza masih terus dipelajari. Menurut Duchesne dan Peterson (1987), adalah
istilah untuk senyawa antimikroba
ini
vPlant-vroduced antimicrobial com~ounds~.Terda-
patnya akumulasi senyawaan sekunder akibat proses asosiasi ini akan dapat mengganggu atau memodifikasi arah dari jalur-jalur biosintesis yang ada pada tingkat tertentu.
Keadaan Dinamik Senyawaan Kimia Di Daerah Rizosfer
Keadaan dinamik daerah rizosfer pada dasarnya akan ditentukan oleh tiga sistem yaitu
:
mikroorganisme, akar
tanaman dan tanah. Setiap sistem mempunyai karakteristik tertentu yang dibangun oleh landasan-landasan teoretis pada sistemnya.
Dengan menganggap sistem tanah sebagai
suatu konstanta, maka keseimbangan rizosfer dapat hat sebagai keseimbangan
dili-
dinamik antara proses eksudasi
dan peran mikroorganisme rizosfer. Berbagai telaah telah membuktikan bahwa
daerah penyebaran mikroorganisme dan
lepasnya eksudat akar ke tanah berada dalam suatu pola tertentu. Secara skematik digambarkan pada Gambar 2.7. AKAR
EKSUDAT AKAR
Gambar 2.7. Skema Pemisahan Letak Eksudat Akar dan Aktivitas Mikroba Di Daerah Rizosfer (Marschener, 1992)
Penyebaran mikroorganisme bergerak makin sempit ke arah pergerakan tumbuh akar, sedangkan eksudat akar lebih berjalan mendatar dan mengikuti vitas
pergerakan akar. Akti-
mikroba biasanya rendah pada zona apikal dan akan
meningkat dengan tajam mendekati zona basal. Marschner (1992) juga memberikan gambaran kemungkinan peran molekul dengan berat molekul rendah hasil proses eksudasi baik yang meliputi hara maupun metabolit sekun-
dernya.
Eksudat tersebut dapat berperan sebagai prazat
produksi hormon oleh mikrooganisme ,
atau sebagai signal
untuk suatu kerjasama antara akar dan mikroorganisme. Senyawaan
flavonoid seperti biokanin yang ditemukan oleh
Nair e t dl. (1991) diduga berperan sebagai signal untuk simbiosis akar dengan R h i z o b i u m sp. Sedangkan flavonoid, luteolin, yang ditemukan oleh Banner dan Anolles (1990) (dalam Marschner, 1992) berperan sebagai suatu faktor yang dapat menstimulasi pertumbuhan hifa pada cendawan mikoriza arbuskular-vesikular. Eksudat asam amino triptofan dapat berfungsi sebagai prazat untuk produksi auksin (IAA) pada cendawan ektomikoriza antara lain P i s o l i thus t i n c t o r i u s .
Sedangkan asam amino metion'in dapat
berfungsi sebagai prazat untuk produksi etilen seperti pada cendawan A c r e m o n i q fa1 cifome .
InterakSi dari ek-
sudat akar dan mikroorganisme rizosfer dapat dilihat pada Gambar 2.8. Kraigher et dl. (1991) dan Duchesne (1993), menyatakan produksi senyawaan dari kelompok sitokinin dan kelompok giberelin oleh
cendawan ektomikoriza, akan menam-
bah kuatnya peran mikroorganisme rizosfer.
Senyawa iso-
pentinilpirofosfat merupakan prazat dari senyawaan kelompok sitokinin dan giberelin.
Senyawa tersebut berasal
dari jalur asam mevalonat, yang diduga dapat disintesis oleh cendawan atau dilepaskan oleh cendawan dan akar tanaman. Dari hasil percobaan Abuzinadah dan Read (1989)
yang berasal dari L-alanin dan peptida (2-6 unit L- alanin) pada inokulasi berbagai cendawan
ektornikoriza ter-
hadap Betula pendula L. Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem mikoriza terdapat kemungkinan transfer molekul yang lebih kompleks.
Kenyataan ini mendorong berbagai
penelitian mengenai kemampuan cendawan ektomikoriza dalam memproduksi senyawaan sitokinin atau giberelin pada keadaan berasosiasi.
I
Asam Amino
IM J ~ i s o l i t h u s
tlnctori us
C2H4 /Acremoni
um
falciforme
MO = Mikroorganisme EM = Endomikoriza
Gambar 2.8. Peran Senyawa Eksudat Aka.r Yang Berberat Molekul Rendah ganisme (Marschner, 1992)
Metabolit Sekunder Sebagai Pengendali Hayati
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa cendawan ektomikoriza dapat membantu mengendalikan berbagai penyakit akar pada Conifer dan spesies berdaun lebar, yang disebabkan oleh
sejumlah patogen baik
in vitro maupun in
situ. Saat ini penggunaan ektomikoriza di lapangan sebagai pengendali hayati masih belum dimungkinkan, karena pengaruhnya masih sulit diduga.
Keberhasilan dari usaha
ini akan tergantung kepada kemajuan pengetahuan yang mengatur proses penekanan (wsuppresionw)penyakit oleh cendawan ektomikoriza. Berdasarkan (Duchesne (1992); Duchesne et al. (1989d); Marx (1973); Strobe1 dan Sinclair (1992
(dalam Duchesne, 1993) menyatakan bahwa terdapat
berbagai mekanisme yang ditunjukkan oleh cendawan ektomikoriza dalam proses penekanan penyakit. Mekanisme tersebut telah ditelaah pada dan atau
isolat cendawan ektomikoriza.
+ 20 spesies
Mekanisme yang
mungkin adalah (1) sintesis bahan-bahan toksik dengan cara yang analog dengan sintesis fitoaleksin pada interaksi inang-patogen; (2) antibiosis;
(3) pembentukan suatu
penghalang protektif yang bersifat fisik dalam bentuk mantel di sekitar akar ("feeder rootsw) dan (4) kompetisi hara di daerah rizosfer lebih baik
dibandingkan dengan
terdapatnya patogen tanah. Sampai saat ini, bukti secara eksperimental telah banyak mendukung postuiat 1 s/d 3. Bukti untuk postulat (1) sangat beragam hasilnya baik ka-
rena perbedaan spesies atau karena perbedaan antara isolat dalam suatu spesies yang sama.
Ekspresi dari meka-
nisme ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tapak (Itsiten), spesies tanaman, waktu inokulasi dan isolat patogeniknya. Keseluruhan faktor-faktor tersebut dan kemungkinan interaksinya mempersulit penggunaan cendawan ektomikoriza sebagai pengendali hayati di lapangan.
Sebagai konsekuen-
sinya penggunaan cendawan ektomikoriza sebagai pengendali hayati harus didasarkan pada suatu pengertian yang mendalam terhadap mekanisme penekanan penyakit dan regulasinya pada keadaan edafis, fisiologis dan genetis. Sebagai model percobaan untuk meneliti peranan cendawan ektomikoriza dalam proses penekanan penyakit digunakan P a x i l l u s i n v o l u t u s sebagai antagonis terhadap'patogen F u s a r i urn oxysporum dengan menggunakaan Pinus r e s i n o s a sebagai inang.
Dari berbagai percobaan Duchesne e t a l .
(1988) dan Duchesne (1993) menyirnpulkan bahwa keberhasilan inokulasi cendawan ektomikoriza dalam penekanan penyakit akan ditentukan oleh waktu terjadinya penyakit
dan
tingkat kecepatan serangan penyakit. Penyakit dapat ditekan dengan baik bila
inokulasi
cendawan ektomikoriza
dilakukan lebih dulu dari infeksi patogen.
Dari hasil
percobaan menunjukkan bahwa waktu inokulasi merupakan ha1 yang kritis dalam penggunaan cendawan ektomikoriza sebagai pengendali hayati.
Chakravarty e t a l .
(1991)
dalam Duchesne (1993) melaporkan bahwa P . i n v o l u t u s juga
efektif dalam menekan penyakit akar putih yang disebabkan oleh F. moniliforme tetapi tidak terhadap cendawan Cylindrocarpon dectructans.
Penemuan ini menimbulkan dugaan
bahwa penekanan penyakit oleh P. involutus bersifat
spe-
sifik dan mirip dengan penemuan pada spesies cendawan ektomikoriza lainnya. Mekanisme antibiosis biasanya didekati dengan kemungkinan disintesisnya bahan fungitoksik yang dapat menghambat suatu patogen.
Duchesne et al. (1988a) dalam
Duchesne (1993) melakukan percobaan dengan mengekstrak daerah rizosfer dan jaringan kecambah. Hasil percobaan menunjukkan adanya aktivitas fungitoksik pada daerah zosfer tanaman bermikoriza
ri-
tetapi aktivitas fungitoksik
tidak dijumpai pada akar, batang maupun daun dan kecambah P. resinosa.
Dari hasil percobaan ini diduga bahwa anti-
biosis yang terjadi distimulasi oleh eksudat akar dan bersifat spesifik.
Hal ini dimungkinkan bila dikaitkan
dengan hasil percobaan Hilbert dan Martin (1988), yang menyatakan bahwa pembentukan akar bermikoriza dapat mengganggu fungsi gen dalam meregulasi sintesis polipeptida, baik pada cendawan maupun pada inangnya.
Penemuan anti-
biotik antifungal oleh Tsantrizos et al. (1991) dari sekresi cendawan Pisolithus tinctorius memperkuat kemungkinan terjadinya mekanisme antibiosis.
PERTJBAHAN PROTEIN DAN ENZIM PADA ASOSIASI MIKORIZA
Proses simbiosis mencapai kemantapan setelah mengalami berbagai tahap pengembangan yang kompleks. Simbiosis memerlukan adanya perubahan dari segi morfogenetik, biokimiawi, fisiologis dan perubahan-perubahan molekuler yang dapat terjadi baik pada cendawan maupun pada inangnya.
Perubahan biokimiawi yang telah dilaporkan dapat
terjadi setelah adanya inokulasi adalah terjadinya endapan senyawaan fenolik, modif ikasi transpor, serapan
artin in
bon, nitrogen dan fosfat et
dl.
1987;
Horan et
dl.
et
dl.
kar-
1986, Dexheiner
1988; Khalid 1988) dalam
Hilbert dan Martin (1988). Hilbert dan Martin (19881
melakukan percobaan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi gen spesifik yang berkaitan dengan proses simbiosis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh infeksi mikoriza terhadap perubahan polipeptida
akan
terbagi ke dalam
yang berbeda sebagai berikut
:
tiga kategori
(1) sejumlah besar poli-
peptida akan berkurang, (2) secara komparatif terdapat peningkatan akumulasi beberapa polipeptida, dan
(3) mun-
culnya polipeptida yang M a s yang disebut ektomikorizin. Hasil penelitiannya juga menunjukan bahwa dari 520 polipeptida yang dapat dipisahkan
dengan SDS-PAGE, hanya 10
polipeptida yang dapat dikategorikan sebagai ektomikorizin. Dari berbagai penelitian dikemukakan bahwa sintesis
protein secara drastis dapat terganggu sebagai respons terhadap adanya perubahan fisiologis dan morfologis pada asosiasi mikoriza. Leake dan Read (1989) dari penelitiannya dapat menentukan adanya sekresi protein yang diperkirakan mempunyai berat molekul
+
35.000 yang secara
struktural dan fungsional dibuktikan mirip dengan pepsin hewan.
Protein tersebut ternyata mempunyai aktivitas
proteinase yang aktivitas optimumnya tercapai pada pH 2.2.
Duchesne (1989) menyatakan bahwa terjadinya perubahan pada profil polipeptida baik pada tanaman maupun cendawan hanya dapat diamati setelah terjadinya kontak fisik antar simbion.
Walaupun demikian dari penelitiannya
Duchesne (1989) menduga bahwa regulasi gen pada proses asosiasi mikoriza terjadi sebelum terbentuknya akar bermikoriza. Arines et al. (1993) memperoleh perbedaan kadar protein dari penelitiannya. Akar yang diinokulasi oleh endomikoriza lebih tinggi kadar proteinnya.
Selain itu
terdapat juga penambahan polipeptida baru pada ekstrak akar bermikoriza.
Simoneau et al. (1993) mengamati
perubahan polipeptida pada berbagai tahap perkembangan asosiasi mikoriza pada B. pendula Roth.
Hasil peneliti-
annya menunjukan bahwa polipeptida yang berkaitan dengan proses simbiosis
( "Symbiosis-related polypeptides")
akan
terakumulasi pada akar bermikoriza jauh sebelum terdapatnya perubahan morfologi yang mencirikan terbentuknya ke-
adaan simbiosis. Enzim sebagai katalis biologis, merupakan unit yang paling sederhana dari suatu aktivitas metabolik. Masingmasing enzim mengkatalisis suatu reaksi kimia yang sifatnya spesifik. Di dalam suatu rantai metabolisme sering ditemui sistem multienzinbertahap, dimana masing-masing melakukan tahap katalitik tertentu pada'suatu lintas metabolik tertentu.
Berbagai perubahan sifat enzim telah
diamati dalam proses simbiosis mikoriza, dikaitkan dengan perubahan morfologi, fisiologi dan peran-peran khusus dalam serapan hara dan proses metabolisme lainnya. Enzim ATP-ase diketahui mengalami redistribusi selama proses simbiosis, sedangkan enzim fosfatase yang mempunyai pH optimum alkalin banyak'dikaitkan dengan perkembangan infeksi akar. Kecepatan reaksi enzimatis dipengaruhi oleh konsentrasi, faktor dalam dan faktor luar. Pengaruh konsentrasi terdiri atas konsentrasi substrat, enzim, inhibitor, aktivator dan produk.
Pengaruh faktor luar terdiri atas
suhu, pH dan konstanta dielektrik, sedangkan pengaruh faktor dalam berkaitan dengan struktur substrat, enzim, produk dan efektor. Mekanisme reaksi suatu enzim dapat dipelajari dengan cara menelaah pengaruh berbagai tingkat konsent'rasi substrat terhadap laju pembentukan produk dengan atau tanpa penambahan suatu inhibitor.
Peubah yang dapat digunakan untuk menelaah reaksi enzim adalah
aktivitas, aktivitas spesifik, konstanta
:
Michaelis (Km) dan laju maksimum (Vmaks).
Aktivitas
spesifik dan K, merupakan ciri tetap suatu enzim sedangkan aktivitas dan Vmaks bukan merupakan sifat tetap suatu enzim.
Ketepatan telaah mekanisme reaksi enzim terutama
ditentukan oleh ketepatan pendugaan struktur molekuler suatu enzim.
Fersht (1984) mengemukakan terdapat tiga
mekanisme molekuler penggunaan energi pengikatan suatu enzim, meliputi
:
(a) strain, yaitu enzim mempunyai sisi
aktif yang komplementer terhadap struktur keadaan transisi substrat; (b) induce fit, yaitu enzim mempunyai struktur yang tidak kaku (lunak, fleksibel) sedangkan substrat memiliki struktur yang kaku; dan (c) pengikatan nonproduktif, yaitu terdapat pengikatan pada sisi aktif untuk substrat yang lebih besar sedangkan substrat lebih kecil akan berikatan pada sisi aktif lain tetapi tidak bereaksi. Eivazi dan Tabatabatai (1977) menyatakan bahwa fosfaase secara umum telah digunakan untuk menerangkan sejumlah besar golongan enzim yang mengkatalisis bentuk ester dan anhidrida dari asam fosfat.
Klasifikasi enzirn
tersebut terbagi kedalam lima grup utama yaitu
:
monoes-
ter fosfat hidrolase (EC 3.1.3), diester-fosfat hidrolase (EC 3.1.4), monoester-trifosfat hidrolase (EC 3.1.5),
enzim yang bekerja pada anhidrida yang berisi gugus
fosfor (EC 3.1.6) dan enzim-enzim yang bekerja pada ikatan P-N (EC 3.91, seperti fosfoamidase (EC 3.9.1.1). Dari berbagai fosfatase di atas enzim fosfatase-asam (EC 3.1.3 - 2 ) dan fosfatase-basa (EC 3 -1.3.1) yang banyak dipelajari pada sistem tanah. Enzim fosfatase-asam lebih banyak ditelaah dibandingkan enzim fosfatase-basa. Dari hasil penelitian Eivazi dan Tabatabatai (1977) menunjukkan bahwa fosfatase-asam akan dominan pada tanah-tanah masam dan fosfatase-basa akan dominan pada tanah-tanah basa.
Metode analisis dengan menggunakan substrat 8 -
naftol-fosfat, fenilfosfat dan p-nitrofenolfosfat dinilai akurat pada
percobaan tersebut.
Kropp (1990) menyatakan
bahwa hasil percobaan yang menunjukkan kemaquan cendawan ektomikoriza untuk membantu nutrisi fosfor pada tanaman, telah mendorong berbagai penelitian untuk menyeleksi penggunaan cendawan ektomikoriza berdasarkan aktivitas enzim fosfatase-asam. Akhir-akhir ini manipulasi genetik untuk memperbaiki kemampuan aktivitas enzim fosfataseasam banyak ditelaah. Bowen (1973) dan Dighton (1991) dalam Mc Elhinney dan Mitchell (1993) menyatakan bahwa enzim fosfatase-asam yang berasal dari cendawan mikoriza mempunyai spesifisitas yang lebar dan mendorong terjadinya pemecahan
fosfat organik tanah ke dalam bentuk yang
dapat digunakan. vitas enzim
Selain itu diketahui juga bahwa akti-
fosfatase-asam akar bermikoriza lebih tinggi
dari aktivitas akar tanpa mikoriza.
Mc Elhinney dan
.
Mitchell (1993) dari penelitiannya memperoleh bahwa aktivitas fosfatase optimum untuk enzim yang terikat pada membran dan pada cairan sitoplasmik dari ekstrak P. involutus berkisar dari 5 .O- 7 .O, sedangkan dari ekstrak Basidiomycetes (spesies tidak diidentifikasi) berkisar dari 5.0-6.0. Enzim fenilalanin amonialiase (PAL) yang mengkatalisis eliminasi ammonia dari L-fenilalanin untuk membentuk trans-asam sinamat, juga telah banyak ditelaah.
Reaksi
tersebut merupakan reaksi pertama dari alur biosintesis senyawaan fenilprovanoid pada
tanaman tinggi. Dari ber-
bagai penelitian mengenai patogenisitas, enzim PAL terlibat dalam biosintesis senyawa antimikroba (fitoaleksin).
Enzim PAL juga berfungsi menyediakan prazat sinte-
sis lignin untuk pembentukan dinding sel.
Aktivitas en-
zim PAL akan berubah dengan drastis pada berbagai jaringan tanaman sebagai repons terhadap aktivitas parasit, cahaya dan terdapatnya luka. Ronald dan Soderhall (1985) meneliti aktivitas enzim PAL dan peroksidase pada akar P. sylvestris L. yang diinokulasi dan tidak diinokulasi oleh Lacaria lacata. Hasil percobaannya menunjukkan bahwa aktivitas enzim PAL pada akar bermikoriza lebih tinggi dari akar yang tidak bermikoriza, tetapi perbedaannya tidak nyata, (uji t
=
5%).
Perbedaan aktivitas enzim PAL yang
tidak berbeda nyata juga dikemukakan oleh Duchesne dan Peterson (1987). Keadaan aktivitas enzim PAL ini mele-
mahkan konsep adanya pembentukan senyawa analog fitoaleksin yang terdapat pada proses asosiasi mikoriza. Hal ini mendorong ditelaahnya peranan enzim-enzim yang lain dalam kaitannya dengan sistem pertahanan diri tanaman pada saat berlangsungnya proses simbiosis. Suatu grup protein yang bersifat asam yang disebut dengan protein yang berkaitan dengan patogenisitas (PR
=
pathogenesis-related proteins) dapat diakumulasikan pada daun dari berbagai tanaman.
Grup protein ini dapat ter-
akumulasi sebagai respons terhadap invasi virus, bakteri atau cendawan, atau oleh berbagai perlakuan kimiawi, mencakup etilen dan asam salisilat.
Salah satu dari pro-
tein PR tersebut mempunyai aktivitas kitinase. Enzim kitinase adalah suatu enzim yang dapat mengkatalisis hidrolisis kitin menjadi N-asetil-D-glukosaminbebas yang terjadi oleh suatu sistem kitinolitik, yang terdiri dari dua hidrolase yang kerjanya bersifat konsekutif. Enzim kitinase; poli-15-1,4-(2-asetoamida-2-deoksil-D-glikosidaglikanohidrolase (EN 3 .2.1.14
menghidrolisis polimer N-
asetil-D-glikosamin,termasuk tetramer dan trimer dalam jumlah yang lebih kecil.
Enzim kitobiose (kitobiose
asetomido deoksiglukohidrolase, EN 3.2.1.29)
menghidro-
lisis kitibiose (dimer dari N-asetil-glukosamin) dan kitotriose. Boller et
dl.
(1983) menyimpulkan dari pene-
litiannya bahwa kitinase yang diinduksi oleh etilen dapat berfungsi sebagai enzim pertahanan terhadap serangan
cendawan dan bakteri.
Schlumbaum e t a l . (1986) juga me-
nyatakan bahwa kitinase tanaman tetapi bukan kitin yang terikat pada lektin merupakan protein antifungal yang penting pada tanaman, yang ditunjukkan oleh adanya aktivitas enzim kitinase yang tinggi.
Legrand e t a l . (1987)
memperoleh 4 enzim endokitinase (poli [1,4-(N-asetil-f3-Dglukosamin glikano-hidrolase, EC 3.2.1.14) dari daun
N i c o t i n a tabacum cv Samsun NN yang bereaksi secara hipersensitif tqrhadap virus mosaik pada tembakau. Kitinase tanaman akan menguraikan kitin yang berada pada dinding sel cendawan dan dapat menghambat pertumbuhan cendawan.
Pada berbagai jaringan tanaman, kitinase
sangat kuat diinduksi oleh infeksi patogen atau oleh hormon stres
pada tanaman antara lain etilen (Boller, 1988
dan Meins e t a l . 1992) dalam Vierheilig e t . a l . (1993). Di daerah rizosfer akar tanaman dapat dikolonisasi selain oleh patogen juga oleh cendawan simbiotik. Vierheilig e t
a l . (1993) memperoleh bahwa ekspresi konstitutif dari kitinase vakuola meningkatkan ketahanan terhadap serangan
R h i z o c t o n i a s o l a n i , tetapi t idak mengurangi kemampuan simbiotik tanaman. Vierheilig et a l . (1994) menyatakan bahwa aktivitas kitinase pada tanaman inang maupun non inang untuk cendawan Glomus mosseae akan lebih tinggi pada saat awal inokulasi dibandingkan dengan pada tahap akhir simbiosis. Tetapi aktivitas spesifik enzim kitinase pada akar bermikoriza oleh G. mosseau jauh lebih ren-
dah dibandingkan dengan aktivitas spesifik enzim tersebut pada akar yang diserang oleh cendawan patogen R. solani. Sedangkan Albrecht et al.
(1994) menyatakan bahwa induk-
si kitinase dan peroksidase akan berkaitan erat dengan keagresifan strain cendawan untuk dapat bersimbiosis. Kesimpulan tersebut diperoleh dari penelitian pada Eucalyptus globulus spp. bicostata yang diinokulasi oleh 10 isolat cendawan P. tinctorius. Dengan demikian hanya. cendawan yang mampu mengkolonisasi akar dengan cepat untuk segera membentuk organ-organ mikoriza akan menginduksi respons kitinase yang kuat dari tanaman. Dari telaahan enzim kitinase ini diduga bahwa sistem pertahanan diri hanya teraktifkan pada awal simbiosis, untuk kemudian kedua organisme akan saling mendapatkan keuntungan melalui terbentuknya organ-organ mikoriza.