II. TINJAUAN PUSTAKA Ektomikoriza Mikoriza merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualistik antara fungi dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, tanaman inang memperoleh hara nutrisi sedangkan fungi memperoleh senyawa karbon hasil fotosintesis (Smith dan Read 2008). Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Frank pada tahun 1877 di Jerman (Brundrett 2004). Saat ini diketahui terdapat 7 tipe mikoriza yaitu (1) arbuskular mikoriza, (2) ektomikoriza, (3) ektendomikoriza, (4) arbutoid mikoriza, (5) monotropoid mikoriza, (6) ericoid mikoriza, dan (7) orchid mikoriza.
Pembagian ini didasarkan pada karakter-karakter (1) ada/tidaknya
septa; (2) intraseluler kolonisasi (3) keberadaan mantel dan Hartig net serta (4) acrophyl (Smith dan Read 2008). Fungi
ektomikoriza
umumnya
dari
golongan
Basidiomisetes
dan
Askomisetes. Beberapa genera fungi Basidiomisetes pembentuk ektomikoriza di antaranya adalah Amanita, Boletellus, Boletinus, Boletus, Pisolithus, Scleroderma, Suillus, Russula, dan Laccaria (Brundrett et al. 1996; Rinaldi et al. 2008). Beberapa manfaat mikoriza bagi pertumbuhan tanaman antara lain: (1) meningkatkan penyerapan unsur hara tanaman dari dalam tanah. Hal ini disebabkan mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Eksplorasi hifa pada media tumbuh juga lebih luas dibandingkan dengan akar tanaman (Satomura et al. 2006; Santoso et al. 2007);
(2) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan.
Pada akar
bermikoriza kerusakan jaringan kortek tidak akan bersifat permanen.
Akar
bermikoriza akan cepat pulih, karena hifanya masih mampu menyerap air pada pori tanah, dan penyebaran hifa yang luas akan dapat menyerap air lebih banyak (Querejeta et al. 2003); (3) meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen. Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi
8 patogen akar, perlindungan ini terjadi karena adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik dan antibiotika yang dikeluarkan oleh mikoriza (Whipps 2004; Martin-Pinto et al. 2006; Zadworny et al. 2007); dan (4) menghasilkan beberapa zat pengatur tumbuh.
Fungi mikoriza dapat menghasilkan hormon auksin,
sitokinin, gibberelin, dan vitamin yang bermanfaat untuk inangnya (Allen et al. 2003; Dell 2002). Auksin dapat berfungsi untuk mencegah atau menghambat proses penuaan dan suberinasi akar sehingga umur dan diperpanjang.
fungsi akar dapat
Manfaat lainnya ialah (5) beberapa fungi ektomikoriza
menghasilkan tubuh buah yang dapat dimakan/dikonsumsi oleh manusia, sehingga memberikan hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomi dan gizi yang tinggi (Hall et al. 2003; Yamada et al. 2001; 2007). Interaksi antara fungi dan inang dalam medium pertumbuhan sangatlah kompleks dan dipengaruhi oleh sejumlah interaksi biokimia, fisiologi dan proses lingkungan. Simbiosis ektomikoriza pada tanaman disajikan pada Gambar 2.
Scleroderma Scleroderma termasuk dalam divisi Basidiomycota, ditemukan oleh Persoon (1801) dengan spesies S. verrucosum.
Karakter utama Scleroderma ialah: (1)
peridium padat; (2) gleba berwarna kehitaman; (3) dan spora globose, kadangkadang subglobes, ada/tidak adanya retikulata (Watling 2006). Terdapat empat tipe morfotipe spora Scleroderma (Gambar 3) dan berdasarkan bentuk spora Scleroderma dibagi menjadi empat kelompok: (1) Aculcatispora (2) Caloderma, (3) Sclerangium, dan (4) Scleroderma (Tabel 1) (Dickinson dan Hutchison 1997; Chen 2006).
9 A
Tanaman Inang
Pohon dewasa
semai Tubuh Buah (reproduktif)
Miselia (hifa & rizomorf)
Akar berektomikoriza
B Irisan melintang akar
Mantel Kortek Hartig net Hifa Rizomorf
Gambar 2 Simbiosis ektomikoriza pada tanaman (Anonim 2006) A: Gambaran simbiosis yang terbentuk pada akar tanaman dengan miselia fungi ektomikoriza, miselia fungi ektomikoriza dapat menghubungkan dua tanaman yang berbeda. B: Komponen fungi ektomikoriza yang terbentuk pada akar tanaman, yang terdiri dari mantel pada lapisan luar akar tanaman, Hartig net yang terbentuk di sela-sela epidermis dan/atau hingga kortek, serta hifa eksternal.
10 .
Gambar 3 Empat tipe morfotipe spora Scleroderma dilengkapi dengan ornamentornamennya (a) Echinulate, (b) Verrucose, (c) Subreticulate, dan (d) Reticulate (Chen 2006) Pada tahun 1970 Guzman mendeskripsikan 20 spesies Scleroderma, dan kini ada 31 spesies yang telah dideskripsikan (Tabel 1) (Rinaldi et al. 2008). Menurut Watling (2006) tampaknya seluruh genus Scleroderma adalah ektomikoriza. Scleroderma diketahui memiliki kemampuan bersimbiosis dengan banyak tanaman kehutanan, ada sekitar 28 genus tanaman yang terdapat dalam 11 famili yang dilaporkan dapat bersimbiosis dengan Scleroderma (Chen et al. 2007). Antara lain ialah Cistaceae (Moreau et al. 2006)., Dipterocarpaceae (Lee et al. 2008, Peay et al. 2009), Myrtaceae (Pescova 2005), Pinaceae (Kasuya et al. 2002; Niemi et al. 2002a, 2002b), dan Fagacae (Giomaro et al. 2002; Giachini et al. 2004)
11 Tabel 1 Nama spesies Scleroderma, yang dikelompokkan berdasarkan bentuk spora dan keberadaan clamp-connection (Rinaldi et al. 2008). No. Nama Spesies Kelompok Aculcatispora – echinulate atau verrucose, tidak reticulate; tanpa clampconnection 1 S. albidum Pat. Et Trab. 2 S. areolatum Ehrenb. 3 S. cepa Pers. 4 S. columnare Berk. & Broome 5 S. cyaneoperidiatum Watling & Sims 6 S. laeve Lloyd 7 S. leptopodium (Durieu & Mont.) De Toni 8 S. mayama Grgurinovic 9 S. texense Berk. 10 S. uruguayense (Guzmán) Guzmán 11 S. verrucosum Pers. Kelompok Caloderma – sedikit reticulate dengan duri sangat ramping dan pendek; dengan clamp-connection 12 S. stellatum Berk. Kelompok Sclerangium – Subreticulate ; dengan clamp-connection 13 S. bermudense Coker. 14 S. chevalieri Guzmán 15 S. citrinum Pers. 16 S. floridanum Guzmán 17 S. paradoxum Beaton 18 S. polyrhizum Pers. 19 S. reae Guzmán Kelompok Scleroderma – reticulate sempurna; dengan clamp-connection 20 S. bougheri Trappe, Castellano & Giachini 21 S. bovista Fr. 22 S. congolense Demoulin & Dring 23 S. dictyosporum Pat. 24 S. fuscum (Corda) E. Fisch. 25 S. hypogeum Zeller 26 S. meridionale Dem. & Mal. 27 S. michiganense (Guzmán) Guzmán 28 S. schmitzii Demoulin & Dring 29 S. septentrionale Jeppson 30 S. sinnamariense Mont. 31 S. xanthochroum Watling & Sims
12 Scleroderma columnare , S. dictyosporum, dan S. sinnamariense Species S. columnare, S. dictyosporum dan S. sinnamariense dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Brundrett et al. 1996; The National Science Museum 1998): Divisi
: Basidiomycota
Kelas
: Holobasidiomycetes
Anak kelas : Gasteromycetes Bangsa
: Sclerodermatales
Famili
: Sclerodermataceae
Genus
: Scleroderma
Species
: Scleroderma columnare Scleroderma dictyosporum Scleroderma sinnamariense
Menurut Zeller (1948) S. columnare telah ditemukan sejak tahun 1888 oleh Berkeley dan Broome, mempunyai tubuh buah yang tertutup, peridium relatif tebal dan keras, himenium tidak jelas.
Tubuh buah S. columnare berbentuk
hampir bundar atau tidak beraturan dengan diameter 2—12 cm, berwarna coklat tua dan tangkai.
Sporanya berwarna coklat muda hingga coklat tua dan
mempunyai diameter 1—12 µm, bentuk spora echinulate atau verrucose, tidak reticulate (Chen 2006). Hifanya berwarna kuning pucat, berdinding tebal, bercabang dan bersepta sederhana (Smits 1994). Chen (2006) menemukan bahwa fungi ini tidak memiliki clamp-connection, namun Wulandari (2002), Tata (2001) dan Santoso (1997) menemukan clamp-connection pada hifa S. columnare yang diteliti. S. dictyosporum memiliki tubuh buah yang berbentuk setengah bulat atau tidak beraturan, berdiameter 2—4 cm, berwarna coklat kehitaman dan tidak memiliki batang.
Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki
diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna (Chen 2006).
Pertumbuhan S. dictyosporum relatif lambat.
13 Anyaman hifa yang terbentuk
seperti woll dan sulit dilepaskan dari tanah yang menempel, serta berwarna putih kekuningan (Sannon et al. 2009), bersepta dan memiliki clamp-connection (Chen 2006, Wulandari 2002). Tubuh buah S. sinnamariense dapat ditandai dengan warna kuning yang khas, baik pada gleba hingga hifa yang terbentuk.
Bentuk dan ukurannya
sangatlah bervariasi, mulai berbentuk sangat bulat hingga berbentuk tidak beraturan. Spora berwarna coklat tua hingga kehitaman dan memiliki diameter 7—12 µm, bentuk spora reticulate sempurna dan hifa memiliki septa dan clamp connection (Chen 2006). Ciri khas lain fungi ini ialah ketika masak akan pecah dengan pola menyerupai bunga yang mekar.
Pada umumnya ditemukan
bersimbiosis dengan melinjo, dan di berbagai daerah di Indonesia tubuh buahnya yang masih muda (warna glebanya masih putih) dikonsumsi sebagai bahan sayuran (Watling et al. 2002: Wulandari 2002).
Menurut Watling (2006)
S. sinnmariense adalah species Scleroderma yang paling banyak sinonimnya, yaitu: S. aureum, Mass, 1889, dari New Guinea, S. chyrsasrum Mart, 1954 dari Panama, S. endosatrum Petch, 1919, dari Srilangka, S. flavocrocattum Sacc & de toni, 1887, dari Malaysia, S. lutuem Llyod, 1914, Sewarang, S. pantherinum Matt, 1931 dari Indonesia, S. pisiforme P. Henn, 1859, Camerun.
Tanaman Inang Shorea pinanga Nama daerah dari S. pinanga ialah Brunai: kawang, meranti langgai bukit; Indonesia: awang boi (Kalimantan Selatan bagian timur), tengkawang biasa, tengkawang rambai (Kalimantan Barat); Malaysia: kawang pinang (Sabah), meranti langgai bukit (Serawak).
Penyebarannya meliputi seluruh Borneo.
Kayunya digunakan sebagai meranti merah ringan tetapi mempunyai nilai
14 ekonomi yang rendah. Buahnya digunakan sebagai tengkawang (Mindawati dan Rustaman 2004). Pohon S. pinanga berukuran sedang hingga besar, tinggi 50 m, diameter 1,25 m, banir kecil dengan tinggi 1,5 m; daun jorong hingga bulat telur menyempit, berkulit tipis, 11-24 cm x 4-9 cm dengan 10-20 pasang tulang daun sekunder, daun penumpu 6 cm; benang sari 15, kepala sari seperti bola memanjang; stolopodium panjang dan pipih (Sumarhani 2007). Pada umumnya ditemukan pada tanah lempung dan khususnya pada dataran yang luas hingga ketinggian 200 m dpl. Kerapatannya kayu 305-630 kg/m3 pada kadar air 15%. Species tengkawang menghasilkan lemak yang dikenal dengan green butter, yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan coklat, margarine, malam, sabun dan kosmetik.
Biji tengkawang dikenal dengan nama borneo
tallow, illipe nuts, dan tengkawang kernels.
Produksi biji tengkawang dapat
mencapai ± 1,25 ton biji kering/ha/panen (Mindawati dan Rustaman 2004). Pinus merkusii (Pinus) P. merkusii termasuk famili Pinaceae (Earle 2008a). Species ini merupakan salah satu species pohon industri yang penting di Indonesia. Di Sumatera dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti di Aceh disebut damar atau sala, di Gayo disebut uyam, di Tapanuli disebut tusam, di Kerinci sugi, di daerah Alas dikenal dengan nama Sulu, sedangkan di Sumatera Barat disebut susugi (Hendi 2000). Pohon P. merkusii berukuran sedang sampai besar, dapat mencapai ketinggian 70 m dan diameter 140 cm. Pada pohon yang masih muda tajuk berbentuk piramida, kemudian tersebar berbentuk payung pada pohon yang sudah tua. P. merkusii termasuk kayu daun jarum. Jumlah jarum dalam berkas daun ialah dua. Tanaman ini berbuah sepanjang tahun dan buahnya berbentuk kerucut (Earle 2008b).
15 Species kayu pinus dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas, batang dan kotak korek api, dan kayu pertukangan.
Sifat kayu
tanaman ini ialah (1) kayunya berwarna kuning kecoklatan; (2) gubalnya berwarna putih; (3) berat species antara 0,42—0,59; dan (4) panjang serat rata-rata 4 mm. Vinir dan getah pinus banyak digunakan untuk bahan terpentin (sebagai bahan pelarut atau minyak pengering, semir sepatu dan logam) dan gondorukem (untuk campuran bahan batik; campuran sabun, cat, vernis kertas dan pestisida) (Kalima 2005). P. merkusii merupakan salah satu species pinus di daerah tropik yang unik, karena penyebarannya secara alami melintasi khatulistiwa ke arah belahan bumi bagian selatan pada ketinggian 150—900 mdpl, curah hujan lebih dari 1900 mm per tahun dan pada tanah sarang serta baik drainasenya. Tanaman ini secara alami tersebar di Aceh, Tapanuli dan Jambi (Gunung Kerinci) (Yafid dan Jafarsidik 2005). Di luar negeri terdapat di Philipina, Laos, Khmer, Thailand dan Birma. P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian mulai dari beberapa meter dari permukaan laut hingga 1800 m dpl dan pada bermacam-macam jenis tanah dengan bahan induk yang berlainan. Gnetum gnemon (Melinjo) Tanaman ini berasal dari Malaysia, kemudian menyebar sampai ke India, Indonesia dan kepulauan Fiji. Genus melinjo terdiri dari 33 species yang tersebar di beberapa wilayah, di Amerika Utara ada tujuh species, Afrika Tropik ada dua species, dan sisanya di Asia Tropik termasuk di Indonesia. Di Indonesia terdapat 14 species. Di Indonesia tanaman ini dapat ditemukan di seluruh propinsi (Sentra Informasi IPTEK 2005). Syarat tumbuh melinjo tidak terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di lingkungan yang kurang menguntungkan. Melinjo dapat tumbuh di semua jenis tanah; tanah liat, berpasir ataupun lempung, dengan kisaran pH yang cukup luas,
16 sedikit asam hingga netral (4—6). Walaupun demikian tanaman ini tampaknya tidak tahan pada lahan-lahan yang tergenang. Di Indonesia melinjo terdapat pada daerah pantai yang berhawa panas sampai pegunungan dengan ketinggian 1200 m dpl. Pohon melinjo memiliki batang yang ramping dan ditutupi oleh cabang yang banyak. Ketinggiannya dapat mencapai 15 m dengan diameter batang 25 cm. Pertumbuhan cabang tidak pernah melampaui batang pokok sehingga selalu tampak lebih jelas. Sistem percabangan yang demikian ini membuat perawakan pohon melinjo tampak seperti kerucut (Anonim 2007). Daun melinjo berbentuk elips meruncing pada ujungnya dan bertepi rata dengan panjang antara 7,2 —20 cm dan lebarnya antara 2—10 cm. Daun melinjo berjenis tunggal dengan duduk daun berhadapan.
Setiap buah melinjo
mengandung satu biji melinjo berbentuk elips, ujung meruncing pendek dengan panjang 1—3,5 cm (Cheng dan Cheng 2007). Biji melinjo membutuhkan waktu beberapa bulan hingga satu tahun untuk berkecambah, hal ini disebabkan embrio yang terbentuk ketika biji gugur belum sempurna (dormansi embrio), perkembangan embrio disempurnakan ketika biji disemaikan. Kulit batang pohon melinjo dapat dijadikan tali untuk jala atau tali panjat, karena mengandung banyak serat. Kayunya dapat digunakan untuk perkakas dapur, bahkan dapat diproses menjadi kertas yang berkualitas baik. Di Malaysia, kayu melinjo digunakan sebagai bahan bangunan (untuk pembuatan rumah) dan papan kayunya dapat dibuat peti kemas. Manfaat lainnya adalah tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman pelindung di sekitar rumah, tanaman sela di pinggir tegakan hutan, atau tanaman penghijauan di tanah-tanah terbuka dan sebagai tanaman untuk konservasi tanah. Bagian dalam bijinya umum digunakan sebagai sayuran atau dibuat emping. Bahkan saat ini juga banyak dibuat keripik dari kulit buah melinjo.
17 Perkembangan Penelitian Scleroderma Pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae Menurut Alexander dan Selosse (2009) penelitian mengenai mikoriza pada hutan tropis masih sangat sedikit, hal ini didasarkan pada hasil penelusuran pada jurnal ilmiah sejak tahun 2000 hingga 2008, dari sekitar 5600 artikel ilmiah yang diterbitkan hanya sekitar 170 artikel yang membahas tentang mikoriza pada hutan tropis (Gambar 4).
Tahun Gambar 4 Jumlah makalah jurnal dari tahun 2000 – 2008 yang berhubungan dengan mikoriza di hutan tropis (kata kunci pencarian: mycorrhiza & tropical & forest), dibandingkan dengan total literatur tentang mikoriza (kata kunci pencarian: mycorrhiza) (Alexander dan Selosse 2009). Perkembangan
penelitian
fungi
ektomikoriza
Scleroderma
Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae disarikan pada Tabel 2.
pada
Sebagian
besar penelitian yang dilakukan pada Dipterocarpaceae pada genus Shorea. Belum banyak artikel yang membahas tentang P. merkusii dan sangat sedikit tentang G. gnemon.
18 Tabel 2 Daftar penelitian fungi ektomikoriza Scleroderma spp. pada berbagai tanaman inang dari Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae Famili Gnetaceae
Tanaman inang G. gnemon G. gnemon
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae H. odorata S. leprosula H. odorata, V. sumatrana S. stenoptera S. pinanga S. compressa S. affinis S. congestifora S. corfolia S. gardneli S. zaelanica S. javanica
Pinaceae
S. johorensis S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. leprosula S. mecistopteryx S. pinanga S. selanica S. stenopter S. pinanga S. palembanica S. selanica S. selanica S. leprosula S. selanica S. seminis S. seminis S. seminis S. mecistopteryx S. pinanga P merkusii
P. merkusii
Scleroderma S. sinnamariense S. columnare S. dictyosporum S. sinnamariense S. dictyosporum S. verrucusom Scleroderma sp.
Sumber pustaka Suhardi 1997 Wulandari 2002
S. columnare
Santoso 1988; Santoso 1991
Scleroderma sp.
Tenakoon et al. 2005
S. columnare S. dictyosporum S. columnare
Prameswari 2004
S. columnare S. columnare Scleroderma spp. Scleroderma sp. Scleroderma sp. S. columnare Scleroderma sp.
Sannon et al. 2009 Lee et al. 2008
Omon 2006 Omon 2008 Omon 2003 Norvana 1997 Lee et al. 1997 Supriyanto et al. 1993 Turjaman et al. 2005 Santoso dan Turjaman 2003
S. columnare S. dictyosporum
Darusman 1995 Supriyanto 1996
S. columnare S. columnare S. columnare S. columnare
Prameswari 2005 Tata dan Prameswari 2004 Turjaman et al. 2006 Riniarti 2002
S. citrinum
Sugiarti et al. 2007 Darwo dan Sugiarti 2008a Darwo dan Sugiarti 2008b Darwo dan Sugiarti 2008
Scleroderma sp.
19 Tabel 2 (Lanjutan) Famili Pinaceae
Tanaman inang P. patula P. pinaster
Scleroderma S. citrinum Scleroderma sp.
P. pinaster P. pinea P. pinea P. radiate P. radiata P. ellioti P. taedae
S. citrinum Scleroderma sp. S. verrucosum S. citrinum Scleroderma spp.
Sumber pustaka Mohan et al. 1993 Nieto & Carbone 2009 Pera & Alvarez 1995 Parlade et al. 1996 Rincon et al. 1999 Rincon et al. 2001 Dunabeitia et al. 2004 Chen et al. 2006
Scleroderma sp.
Giachini et al. 2004
Penelitian yang terbanyak bertujuan untuk melihat kompatibilitas dan pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza pada tanaman inang dengan berbagai macam inokulum yang digunakan, seperti inokulum suspensi spora (Santoso 1988; Santoso 1991 ; Chen et al. 2006; Tata dan Prameswari 2004; Turjaman et al. 2005; Turjaman et al. 2006; Prameswari 2005; Prameswari 2004;Norvana 1997; Sugiarti et al. 2007), Tablet spora (Omon 2006; Omon 2008; Riniarti 2002), miselium (Supriyanto et al. 1993; Darusman 1995; Lee et al. 2008; Wulandari 2002; Rincon et al. 1999, 2001). Hasil penelitian secara umum menunjukkan kesesuaian antara tanaman inang yang diujicobakan dengan fungi ektomikoriza Scleroderma spp. Hasil lainnya adalah kemampuan fungi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman inang dan juga membantu penyerapan unsur hara bagi tanaman inang. Sebagian
lainnya
adalah
hasil
eksplorasi
di
bawah
tegakan
Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Santoso dan Turjaman 2003, Suhardi 1997, Sugiarti et al. 2007, Darwo dan Sugiarti 2008a, 2008b; Tata et al. 2010; Tennakoon et al. 2005; Duñabeitia et al. 2004; Parlade et al. 1996; Pera dan Alvarez 1995; Mohan et al. 1993). Hasil yang diperoleh umumnya menunjukkan bahwa satu species tanaman inang dapat bersimbiosis dengan berbagai species fungi ektomikoriza dari berbagai genus dan salah satunya ialah Scleroderma.
20 Beberapa penelitian tentang upaya pengembangan Scleroderma spp. secara in vitro juga telah dilakukan. Media yang digunakan adalah MMN (Modified Melin Norkrans) padat dan cair (Supriyanto dan Irawan 1997; Tata 2003; Ba et al. 1999; Sannon et al. 2009; Diedhiou et al. 2004; Ray et al. 2005; Zeng et al. 2003; Zadworny et al. 2007) Selain dengan Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae, Scleroderma juga ditemukan banyak bersimbiosis dengan tanaman dari famili Fagaceae, seperti pada Eucalypyus globulus dan E. urophylla (Brundrett et al. 2005; Chen et al. 2007), E. tereticornis (Reddy dan Satyanarayana 1998), Quercus garryana (Valentine et al. 2004), Caesalpiniaceae, yaitu pada Afzelia africana (Bâ et al. 1999; Diedhiou et al. 2004), Uapaca bojeri L. (Ramanankierana et al. 2007), Betulaceae yaitu pada Alnus (Moreau et al. 2006), yang berada di hutan subtropis. Dari hasil-hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Scleroderma merupakan fungi ektomikoriza yang potensial untuk diaplikasikan, berkaitan dengan kemudahan dalam memperoleh inokulum spora dan cukup banyaknya informasi tentang pembiakan miseliumnya pada media kultur. Scleroderma juga telah dibuktikan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan pada Dipterocarpaceae, Pinaceae dan Gnetaceae (Tabel 2). Namun demikian, masih terdapat berbagai bidang yang membutuhkan penelitian lebih lanjut, seperti interaksi antar fungi ektomikoriza pada tanaman inang yang sama, yang berkaitan dengan fungsi dan peranan masing-masing fungi ektomikoriza sehubungan dengan upaya peningkatan pertumbuhan dan ketahanan hidup tanaman inangnya. Spesifisitas fungi ektomikoriza terhadap tanaman inang dari famili yang berbeda juga belum banyak diteliti. Pengetahuan tentang kompatibilitas dan kesesuaian antara fungi ektomikoriza dengan tanaman inang tertentu akan memberikan pengetahuan tentang metode aplikasi inokulum yang tepat untuk diaplikasikan
21 pada hutan tanaman ataupun pada kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh pemerintah. Pengetahuan tentang hubungan species-species fungi ektomikoriza dengan tanaman inang akan memberikan informasi penting untuk penelitian-penelitian di bidang silvikultur dan ekologi, serta dalam pengambilan keputusan manajemen ekosistem hutan, informasi-informasi ini dibutuhkan untuk memahami peranan dan fungsi fungi ektomikoriza bagi tanaman inang.
DAFTAR PUSTAKA Alexander I, Selosse M-A. 2009. Mycorrhizas in tropical forests: a neglected research imperative. New Phytol 182:14–16. Allen MF, Swenson W, Querejeta JJ, Warburton LME, Treseder KK. 2003. Ecology of mycorrhizae: A conceptual framework for complex interactions among plants and fungi. Annu Rev Phytopathol 41:271–303. Anonim. 2006. Mushroom in Asia. www.edinburgh.ceh.ac.uk/tropica/ vietmushManintro.pdf. [4 April 2006]. Anonim. 2007. Gnetum gnemon. www.wordagroforestrycentre.org/sea/ PRODUCT/FDbases/AF/asp/Spesciesinfo.asp?SPID=1751 [4 November 2007]. Bâ AM, Sanon KB, Duponnois R, Dexheimer J. 1999. Growth response of Afzeli africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrientdeficient soil. Mycorrhiza 9:91–95. Brundrett M, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhiza in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Brundrett M, Malajczuk N, Mingqin G, Daping Xu, Snelling S, Dell B. 2005. Nursery inoculation of Eucalyptus seedlings in Western Australia and Southern China using spore and mycelia inoculum of diverse ectomycorrhizal fungi from different climatic regions. For Ecol Man 209:163–205. Brunner I. 2001. Ectomycorrhizas: Their role in forest ecosystem under the impact of acidifying pollutants. Persp Plant Ecol Evol System 4:13–27.
22 Chen YL, Kang LH, Malajczuk N, Dell B. 2006. Selecting ectomycorrhizal fungi for inoculating plantations in south China: effect of Scleroderma on colonization and growth of exotic Eucalyptus globulus, E. urophylla, Pinus elliottii, and P. radiata. Mycorrhiza 16:251–259. Chen YL, Liu S, Dell B. 2007. Mycorrhizal status of Eucalyptus plantations in south China and implication for management. Mycorrhiza 17:527–535. Cheng CY, Cheng WC. 2007. Gnetum, Flora of China. Acta Phytotax Sin 13:88–90. Darusman LK. 1995. Telaah Biokimia Proses Asosiasi Shorea selanica dan Scleroderma columnare [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Darwo, Sugiarti. 2008a. Beberapa jenis cendawan ektomikoriza di kawasan hutan Sipirok, Tongkoh, dan Aek Nauli, Sumatera Utara. J Pen Hut & KA 5:157–173. Darwo, Sugiarti. 2008b. Pengaruh dosis serbuk spora cendawan Scleroderma citrinum Persoon dan komposisi media terhadap pertumbuhan tusam di persemaian. J Pen Hut & KA 5:461-472. Dickinson TA, Hutchison LJ. 1997. Numerical taxonomic methods, cultural characters, and the systematics of ectomycorrhizal agarics, boletes and gasteromycetes. Mycol Res 101:477–492. Diedhiou AG, Verpillot F, Gueye O, Dreyfus B, Duponnois R, Bâ AM. 2004. Do concentrations of glucose and fungal inoculum influence the competitiveness of two early-stage ectomycorrhizal fungi in Afzelia africana seedlings? For Ecol And Man 203:187–194. Diouf D, Diop TA, Ndoye I. 2003. Actinorhizal, mycorrhizal, and rhizobial symbioses: how much do we know? Af J Biotech 2:1–7. Duñabeitia MK, Hormilla S, Garcia-Plazaola JI, Txarterina K, Arteche U, Becerril JM. 2004. Differential responses of three fungal species to environmental factors and their role in the mycorrhization of Pinus radiata D. Don. Mycorrhiza 14:11–18. Earle CJ. 2008a. Pinus, The Gymnosperm Databases. www.conifers.Org/pi/pin/ index.html. [12 November 2008] Earle CJ. 2008b. Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese 1845. www. Conifers. Org/pi/pin/merkusii.htm [12 November 2008]. Giachini AJ, Souza LAB, Oliveira VL. 2004. Species richness and seasonal abundance of ectomycorrhizal fungi in plantations of Eucalyptus dunnii and Pinus taeda in southern Brazil. Mycorrhiza 14:375–381.
23 Giomaro G, Sisti D, Zambonelli A, Amicucci A, Cecchini M, Comandini O, Stocchi V. 2002. Comparative study and molecular characterization of ectomycorrhizas in Tilia americana and Quercus pubescens with Tuber brumale. FEMS Microbiol Letters 216:9–14. Hall IA, Yun W, Amicucci A. 2003. Cultivation of edible ectomycorrhizal mushrooms. Trends in Biotechnol 21:433–438. Hendi.
2000. Kajian Tehnik Konservasi Pinus merkusii Strain Kerinci. www.dephut.go.id/files/Hendi.pdf [12 November 2008]
Kalima T. 2005. Mengenal panorama alam Pinus merkusii Jungh de Vries di Sumatera Utara. Warta Pusat Litbang dan Konservasi Alam 11:6–7. Kasuya T. Guzmán G, Ramirez-Guillèn F, Kato T. 2002. Scleroderma laeve (Gasteromycetes, Sclerodermatales), new to Japan. Mycoscience 43:475– 476. Koide RT, Shumway DL, Xu B, Sharda JN. 2007. On temporal partitioning of a community of ectomycorrhizal fungi. New Phytol 174:420–429. Lee LS, Alexander IJ, Watling R. 1997. Ectomycorrhizas and putative ectomycorrhizal fungi of Shorea leprosula Miq. (Dipterocarpaceae). Mycorrhiza 7:63–81. Lee SS, Patahayah M, Chong WS, Lapeyrie F. 2008. Successful ectomycorrhizal inoculation of two dipterocarp species with a locally isolated fungus in Peninsular Malaysia. J of Trop For Sci 20:237–247. Luo Z-B, Janz D, Jiang X, Göbel C, Wildhagen H, Tan Y, Rennenberg H, Feussner I, Polle A. 2009. Upgrading root physiology for stress tolerance by ectomycorrhizas: Insights from metabolite and transcriptional profiling into reprogramming for stress anticipation. Plant Physiol 151:1902–1917. Martín-Pinto P, Pajares J, Díez J. 2006. In vitro effects of four ectomycorrhizal fungi, Boletus edulis, Rhizopogon roseolus, Laccaria laccata and Lactarius deliciosus on Fusarium damping off in Pinus nigra seedlings. New Forests 32:323–334. Mindawati N, Rustaman B. 2004. Mengenal Tengkawang. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam 1:9–10. Mohan V, Natrajan K, Ingleby K. 1993. Anatomical studies on ectomycorrhizas. III The ectomycorrhizas produced by Rhizopogon luteolus and Scleroderma citrinum on Pinus patula. Mycorrhiza 3:51–56. Moreau P-A, Pintner U, Gardes M. 2006. Phylogeny of the ectomycorrhizal mushroom genus Alnicola (Basidiomycota, Cortinariaceae) based on rDNA sequences with special emphasis on host specificity and morphological characters. Mol Phylogen Evol 38:794–807.
24 Muchovej RM. 2002. Importance of Mycorrhizae for Agricultural Crops. http:edis.ifas.ufl.edu/BODY_AGI16 [10 Maret 2006]. Niemi K, Häggman H, Sarjala T. 2002a. Effects of exogenous diamines on the interaction between ectomycorrhizal fungi and adventitious root formation in Scots pine in vitro. Tree Physiol 22:373–381. Niemi K, Vuorinen T, Ernstsen A, Häggman H. 2002b. Ectomycorrhizal fungi and exogenous auxins influence root and mycorrhiza formation of Scots pine hypocotyl cuttings in vitro. Tree Physiol 22:1231–1239. Nieto MP, Carbone SS. 2009. Characterization of juvenile maritime pine (Pinus pinaster Ait.) ectomycorrhizal fungal community using morphotyping, direct sequencing and fruitbodies sampling. Mycorrhiza 19:91–98. Norvana UI. 1997. Peranan Sleroderma columnare dan media tumbuh bahan organik terhadap pertumbuhan stek Shorea leprosula Miq [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Omon RM. 2003. Pengaruh tablet mikoriza terhadap persen akar bermikoriza stek Shorea leprosula Miq. di rumah kaca Wanariset Semboja, Kalimantan Timur. Bul Pen Hutan 16: 23—30. Omon RM. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek Shorea johorensis Foxw. Di rumah kaca. J Pen Hut & KA 3:83–93. Omon RM. 2008. Pengaruh dosis tablet mikoriza terhadap pertumbuhan dua jenis meranti merah asal benih dan stek di HPH PT. ITCIKU, Balikpapan. Kalimantan Timur. Info Hutan 5:329–35. Onguene NA, Kuyper TW. 2002. Importance of ectomycorrhiza network for seedling survival and ectomycorrhiza formation in rain forests of South Cameroon. Mycorrhiza 12:13–17. Parladé J, Per J, Alvarez IF. 1996. Inoculation of containerized Pseudotsuga menziesii and Pinus pinaster seedlings with spores of five species of ectomycorrhizal fungi. Mycorhiza 6:237–245. Peay KG, Kennedy PG, Davies SJ, Tan S, Bruns TD. 2009. Potential link between plant and fungal distributions in a dipterocarp rainforest: Community and phylogenetic structure of tropical ectomycorrhizal fungi across a plant and soil ecotone. New Phytol doi: 10.1111/j.14698137.2009.03075.x. Pera J, Alvarez IF. 1995. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinaster. Mycorrhiza 5:193–200. Pešková V. 2005. Dynamics of oak mycorrhizas. J For Sci 51:259–267.
25 Peterson RL, Massicotte HB, Melville LH. 2004. Mycorrhiza: Anatomy and Cell Biology. Ottawa: NRC Research Press. Prameswari D, Tata MHL. 2004. Effect of planting media on the growth of Shorea pinanga Scheff seedlings. J For Res 1:25–30. Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi cendawan ektomikoriza dan media tumbuh terhadap pertumbuhan Shorea javanica K & V. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Prameswari D. 2005. Aplikasi beberapa cendawan ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea selanica. J Hut Trop 1:13–18. Querejeta JI, Egerton-Warburton LM, Allen MF. 2003. Direct nocturnal water transfer from oaks to their mycorrhizal symbionts during severe soil drying. Oecologia 134:55–64. Ramanankierana N, Ducousso M, Rakotoarimanga N, Prin Y, Thioulouse J, Randrianjohany E, Ramaroson L, Kisa M, Galiana A, Duponnois R. 2007. Arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas of Uapaca bojeri L. (Euphorbiaceae): sporophore diversity, patterns of root colonization, and effects on seedling growth and soil microbial catabolic diversity. Mycorrhiza 17:195–208. Ray P, Tiwari R, Reddy UG, Adholeya A. 2005. Detecting the heavy metal tolerance level in ectomycorrhizal fungi in vitro. World J Microbiol Biotech 21:309–315. Reddy MS, Satyanarayana T. 1998. Inoculation of micropropagated plantlets of Eucalyptus tereticornis with ectomycorrhizal fungi. New Forests 16:273– 279. Rinaldi AC, Comandini O, Kuyper TW. 2008. Ectomycorhizal fungal diversity: Separating wheat from the chaff. Fungal Diversity 33:1–45. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 1999. Ectomycorrhizal fungi of Pinus pinea L. in northeastern Spain. Mycorrhiza 8:271–276. Rincón A, Àlvarez IF, Pera J. 2001. Inoculation of containerized Pinus pinea L. seedlings with seven ectomycorrhizal fungi. Mycorrhiza 11:265–271. Riniarti M, Setiadi Y, Sopandie D. 2005. Aplikasi asam organik dan inokulasi ektomikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan semai Shorea pinanga. J Hut Trop 1:25–29. Riniarti M. 2002. Perkembangan kolonisasi ektomikoriza dan pertumbuhan semai Dipterocarpaceae dengan pemberian asam oksalat dan asam humat serta inokulasi ektomikoriza [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
26 Sanon KB, AM Bâ, Delaruelle C, Duponnois R, Martin F. 2009. Morphological and molecular analysis in Scleroderma species associated with some Caesalpinioid legumes, Dipterocarpaceae, and Phylanthaceae trees in southern Burkina Faso. Mycorrhiza 19:571–584. Santoso E, Turjaman M, Irianto RSB. 2007. Aplikasi mikoriza untuk meningkatkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Di dalam: Siran AS, Bismark M, Samsoedin I, Suhaendi H, Pratiwi, Haryono, Mardiah, editor. Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Padang, 20 Sep 2006. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Hlm 71–80. Santoso E. 1988. Pengaruh mikoriza terhadap diameter batang dan bobot kering anakan Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 504:11–21. Santoso E. 1991. Pengaruh beberapa fungi mikoriza terhadap penyerapan unsur hara pada 5 jenis Dipterocarpaceae. Bul Pen Hutan 532:11–18. Santoso E. 1997. Hubungan perkembangan ektomikoriza dengan populasi jasad renik dalam rhizosfer dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan Eucalytus pellita dan Eucalyptus urophylla [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Santoso E. Turjaman M. 2003. Tipe-tipe Struktur Ektomikoriza Pada Shorea selanica, S. stenoptera, S. pinanga, dan S. palembanica (Dipetocarpaceae) di Hutan Penelitian Haurbentes Jawa Barat. Bul Pen Hutan 636:33–37. Satomura T, Hasimoto Y, Kinoshita A, Horikoshi T. 2006. Methods to study the role of ectomycorrhizal fungi in forest carbon cycling: Introduction to the direct methods to qualify the fungal content in ectomycorrhizal fin roots. Root Research 15:119–124. Sentra Informasi IPTEK.2005. Melinjo. www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/ index.php?id=270 - 20k [20 Maret 2006]. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. London: Academic Press. Smits
WTM. 1994. Dipterocarpaceae: Mycorrhizae Wageningen: The Tropenbos Foundation.
and
Regeneration.
Sugiarti, Darwo, Panjaitan DJ. 2007. Efektivitas bentuk inokulum cendawan Scleroderma citrinum Persoon dalam meningkatkan pertumbuhan semai Pinus merkusii Jungh. Et de Vriese. J Pen Hut & KA 4:63–74. Suhardi. 1997. Inventory, exploration, and identification of mycorrhizae on forest plantation. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 17–23.
27 Sumarhani. 2007. Pemanfaatan dan konservasi jenis meranti merah penghasil biji tengkawang (Shorea stenoptera Burk dan Shorea pinanga Scheff). Info Hutan 4:177–185. Supriyanto, Irawan US. 1997. Inoculation techniques of ectomycorrhizal. Prosiding: Seminar on Mycorrhizae. Balikpapan 28 Februari 1992. Hlm 36–40. Supriyanto, Setiawan I, Omon M. 1993. Effect of Scleroderma sp. on the growth of Shorea mecistopteryx Ridl. seedlings. Prosiding: Bio-Refor Proceeding of Yogyakarta Workshop. Yogyakarta 20–23 September 1993. Hlm 186– 188. Tata HL, van Noordwijk M, Summerbell R, Werger MJA. 2010. Limited response to nursery-stage mycorrhiza inoculation of Shorea seedlings planted in rubber agroforest in Jambi, Indonesia. New Forests 39:51–74. Tata MHL, Prameswari D. 2004. Pengaruh inokulasi tablet spora ektomikoriza Scleroderma columnare terhadap pertumbuhan Shorea seminis dan efektivitasnya pada berbagai dosis arang. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM, editor. Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo-Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza; Bandung, 16 Sep 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia – Jawa Barat bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung. Hlm 163-170. Tata MHL. 2001. Pengaruh kebakaran hutan terhadap daya tahan hidup fungi ektomikoriza dipterocarpaceae [Thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tata MHL. 2003. Nutrient acquisition of ectomycorrhizae fungus Scleroderma columnare. Presented at the Open Science Meeting Indonesia and Netherlands: Back to the Future. Jakarta. Indonesia, 1–2 Sep 2003. Tennakoon MMD, Gunatilleke IAUN, Hafeel KM, Seneviratne G, Gunatilleke CVS, Ashton PMS. 2005. Ectomycorrhizal colonization and seedling growth of Shorea (Dipterocarpaceae) species in simulated shade environments of a Sri Lankan rain forest. For Ecol and Man 208:399–405. Turjaman M, Irianto RSB, Santoso E. 2002. Teknik inokulasi dan produksi massal cendawan ektomikoriza. Info Hutan 152:1–16. Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Cha JY, Osaki M, Tawaraya K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improves early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forest 30:67–73.
28 Turjaman M, Tamai Y, Segah H, Limin SH, Osaki M, Tawaraya K. 2006. Increase in early growth and nutrient uptake of Shorea seminis seedlings inoculated with two ectomycorrhizal fungi. J of Trop For Sci 18:243–249. Valentine LL, Fiedler TL, Hart AN, Petersen CA, Berninghausen HK, Southworth D. 2004. Diversity of ectomycorrhizas associated with Quercus garryana in southern Oregon. Can J Bot 82:123–135. Watling R, Lee SS, Turnbull E. 2002. The Occurrence and Distribution of Putative Ectomycorrhizal Basidiomycetes in a Regenerating South East Asian Rain Forest. Di Dalam: Watling R, Frankland JC, Ainsworth AM, Isaac S, Robinson CH, editor. Tropical Mycology Volume 1, Macromycetes. New York: CABI Publishing. Hlm 116—203. Watling R. 2006. The sclerodermatoid fungi. Mycoscience 47:18–24. Whipps JM. 2004. Prospects and limitations for mycorrhizas in biocontrol of root pathogens. Can J Bot 82:1198–1227. Wulandari AS. 2002. Beberapa gatra biologi ektomikoriza Scleroderma pada melinjo [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Yafid B, Jafarsidik YS. 2005. Permudaan Pinus merkusii Jungh et de Vriese galur kerinci, potensi dan komposisi tegakan di kawasan hutan Bukit Tapan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Info Hutan 2:145–152. Yamada A, Kobayashi H, Ogura T, Fukada M. 2007. Sustainable fruit body formation of edible mycorrhizal Tricholoma spesies for 3 years in open pot culture with pine seedling hosts. Mycoscience 48:104–108. Yamada A, Ogura T, Ohmasa M. 2001. Cultivation of mushrooms of ectomycorrhizal fungi associated with Pinus densyflora by in vitro mycorrhizal synthesis. Mycorrhiza 11:67–81. Zadworny M, Smolinski DJ, Idzikowska K, Werner A. 2007. Ultrastructural and cytochemical aspects of the interaction between the ectomycorrhizal fungus Laccaria laccata and the saprotrophic fungi, Trichoderma harzianum and T. virens. Biocontrols Sci and Technol 17:921–932. Zeller SM. 1948. Note on certain Gasteromycetes including two new orders. Mycologia 40:639–668. Zeng RS, Mallik AU, Setliff ED. 2003. Growth stimulation of ectomycorrhizal fungi by root exudates of Brassicaceae plants: Role of degraded compounds of indole glucosinolates. J Chem Ecol 29:1337–1355.