BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikoriza Mikoriza merupakan asosiasi mutualistik antara jamur dengan akar tumbuhan tingkat tinggi (Smith dan Read, 1997). Mikoriza banyak mendapat perhatian karena kemampuannya berasosiasi membentuk simbiosis mutualistik dengan hampir 80% spesies tanaman (Steussy, 1992) Pertumbuhan dan aktivitas mikoriza berbeda sesuai spesies dan lingkungan mikoriza (Hetrick, 1984). Sejalan dengan itu Abbott dan Robson (1984) menyatakan setiap spesies mikoriza mempunyai innate effectiveness atau kemampuan spesifik dari setiap spesies mikoriza untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Faktor kemampuan spesifik dimaksud adalah kemampuan membentuk hifa yang ekstensif di dalam tanah, membentuk infeksi hifa yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang berkembang dari suatu tanaman, menyerap fosfor dari larutan tanah oleh hifa dan lamanya mekanisme transpor sepanjang hifa ke dalam akar tanaman. Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Rao, 1994). Endomikoriza tergolong ke dalam fungi mikoriza arbuskula (FMA) karena mempunyai arbuskula dan pada beberapa genus mempunyai vesikula (Smith dan Read, 1997). Arbuskula yaitu menyerupai struktur pohon kecil dari percabangan hifa berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara jamur dan tanaman. Vesikula berbentuk globose berasal dari
Universitas Sumatera Utara
menggelembungnya hifa jamur mikoriza fungsinya sebagai organ penyimpan makanan (Bonfante dan Fasolo, 1984). Untuk lebih jelasnya bentuk dari arbuskula dan vesikula berikut ditampilkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Penampang membujur akar terinfeksi FMA (Brundrett dkk., 1996)
Universitas Sumatera Utara
Fungi mikoriza arbuskula merupakan endomikoriza tergolong ke dalam ordo Glomeromycota yang kemudian dibedakan menjadi 2 sub ordo yaitu Gigasporineae dan Glominae. Sub ordo Gigasporineae memiliki 1 famili yaitu Gigasporaceae dengan 2 genus yaitu genus Gigaspora dan Scutelospora. Sub ordo Glominae memiliki 4 famili yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, famili Paraglomaceae dengan genus Paraglomus dan famili Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM, 2009). Untuk memperjelas klasifikasi ordo Glomeromycota berikut ditampilkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Phylogeny perkembangan dan taksonomi ordo Glomeromycota (sumber: INVAM, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Manfaat Mikoriza Bagi Tanaman Keuntungan yang didapat dari simbiosis mutualistik antara jamur dan tanaman adalah tanaman memberi karbon untuk jamur dan jamur memberi peningkatan kemampuan penyerapan fosfat, mineral dan nutrisi lainnya bagi tumbuhan (Anonimus, 2006). Peningkatan pengambilan nutrisi oleh akar tanaman bermikoriza terjadi karena perakaran menjadi tambah panjang, diameter tambah besar, sehingga permukaan absorbsi akar semakin luas (Abbott dan Robson, 1984). Mikoriza membantu pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan penyerapan fosfat. Fosfat merupakan unsur essensial yang diperlukan tanaman dalam jumlah banyak. Sementara pada tanah asam, fosfat dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman. Mikoriza pada akar tanaman mampu mengubah fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman menjadi tersedia (Powell dan Bagyaraj, 1984). Akar tanaman yang bermikoriza mampu menghambat infeksi patogen melalui mekanisme mikoriza menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan buat pertumbuhan patogen dengan jalan menggunakan karbohidrat dan eksudat akar yang lebih. Dengan cara lain mikoriza juga mengeluarkan zat yang dapat mematikan patogen (Abbott dan Robson, 1984). Imas dkk. (1989) menyatakan mikoriza juga dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan giberelin bagi tanaman inangnya. Auksin berfungsi memperlambat proses penuaan akar sehingga fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Perkecambahan Spora Mikoriza 1. Pengaruh suhu Perkecambahan spora Gigaspora coralloidea (Schenck dan Schroder, 1975) terjadi pada suhu optimum 34oC, Gigaspora margarita (Clark, 1978) dan Gigaspora gigantea (Koske, 1981) kedua spora tidak berkecambah pada suhu 15oC dan berkecambah pada suhu optimum 31oC, Glomus epigaeum (Daniel dan Trappe, 1980) berkecambah pada suhu 18-25oC, Glomus mosseae (Schenck dan Schroder, 1975) berkecambah pada suhu optimum 20oC, Glomus caledonium (Tommerup dan Kidby, 1980) spora mati pada suhu 60oC untuk waktu 1-5 menit. Suhu berpengaruh pada perkecambahan spora mikoriza. Hal itu dimungkinkan lebih disebabkan oleh secara genetis ada perbedaan ketahanan enzim masing-masing spesies mikoriza terhadap suhu. 2. Pengaruh kelembaban Percobaan Daniel dan Trappe (1980) pada perkecambahan Glomus epigaeum menggunakan lempung berdebu dengan berbagai kandungan air, menunjukkan bahwa perkecambahan paling baik pada kandungan air mulai air jenuh sampai dengan kapasitas lapang (0-1/3 bar). Perkecambahan menurun drastis mulai di atas kapasitas lapang sampai dengan titik layu permanen (di atas 1/3-15 bar) dan perkecambahan tidak ada sama sekali mulai di atas titik layu permanen sampai dengan koefisien higroskopis (di atas 15-31 bar). Kelebihan air akan mendesak oksigen keluar dari dalam spora, yang kemudian oksigen yang merupakan unsur penting diperlukan dalam perkecambahan menjadi tidak tersedia, yang mengakibatkan spora tidak berkecambah. Sebaliknya kekurangan air mengakibatkan tidak berlangsung proses perkecambahan karena
Universitas Sumatera Utara
air selain merupakan komponen dasar pembentukan zat makanan, air juga berfungsi membantu mengedarkan nutrisi ke bagian jaringan yang aktif membelah dan sebagai media berlangsungnya reaksi enzimatik proses perkecambahan spora. 3. Pengaruh pH Perkecambahan spora fungi mikoriza arbuskula pH optimumnya berbedabeda. Glomus mosseae mengalami perkecambahan dengan baik pada pH 6,0-9,0, Gigaspora coralloidea dan Gigaspora heterogama pada pH 4,0-6,0, Glomus epigaeum pada pH 6,0-8,0 (Daniel dan Trappe, 1980). Powell dan Bagyaraj (1984) mengemukakan antara pH dengan perkecambahan spora fungi mikoriza arbuskula terdapat hubungan yaitu pH berpengaruh
pada
aktivitas
enzim,
aktivitas
enzim
berpengaruh
pada
perkecambahan. Selain itu pH rendah atau asam juga berpengaruh menjadi tidak tersedianya fosfat sebagai unsur penting dalam pembelahan sel pada proses perkecambahan spora mikoriza. 4. Pengaruh mikroba tanah Pengaruh mikroba tanah terhadap perkecambahan Glomus spp. dengan menggunakan rangkaian percobaan media agar ditambahkan tanah non steril dan air secukupnya diperoleh hasil perkecambahan meningkat (Hetrick, 1984). Pada rangkaian percobaan lainnya tentang pengaruh mikroba tanah terhadap perkecambahan pada spora Glomus epigaeum menggunakan tanah steril baik yang disterilkan dengan otoklaf, dipanaskan dengan uap, diberi radiasi sinar gamma diperoleh hasil perkecambahan gagal (Daniel dan Trappe, 1980).
Universitas Sumatera Utara
Kegagalan perkecambahan dikemukakan Daniel dan Trappe (1980) karena pada tanah steril tidak ada kehidupan berbagai mikroba tanah termasuk bakteri endofitik diazotrop yang diharapkan mampu memproduksi zat perangsang perkecambahan spora mikoriza. Hal yang serupa dikemukakan (Hetrick, 1984) bahwa peningkatan perkecambahan terjadi dikarenakan pada tanah nonsteril terdapat mikroba tanah yang memberikan zat perangsang pertumbuhan bagi perkecambahan spora mikoriza. 5. Pengaruh tanaman inang Perkecambahan spora tidak mutlak tergantung pada tanaman inang (Giovannetti dkk., 1993), tetapi proses selanjutnya membutuhkan tanaman inang. Tanaman inang penting dalam melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan spora mikoriza setelah berkecambah, karena tanaman inang memberi ketersediaan karbon bagi mikoriza (Anonimus, 2006). Eksudat akar tanaman inang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan FMA dan pengaruh akan meningkat jika dikombinasi dengan CO2 konsentrasi tinggi (Be’card dan Piche’, 1989). Mikoriza dapat berasosiasi tidak hanya terhadap jenis tanaman inang tertentu saja. Walaupun untuk masing-masing mikoriza ada tanaman inang yang disukainya dan ada pula tanaman inang yang tidak disukainya. Tanaman inang yang tidak disukai ditandai dengan sedikitnya koloni dan produksi spora mikoriza yang terbentuk. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya eksudat yang dikeluarkan oleh tanaman inang bersifat racun bagi mikoriza (Hetrick, 1984).
Universitas Sumatera Utara
6. Pengaruh fungisida Fungisida
benomyl
konsentrasi
relatif
rendah
(0,001-0,1µm/ml)
berpengaruh meningkatkan perkecambahan spora Glomus mosseae. Fungisida benomyl konsentrasi relatif tinggi (1-2,12µm/ml) berpengaruh menghambat perkecambahan spora Glomus mosseae. Fungisida benomyl konsentrasi relatif sangat tinggi (10-21,25µm/ml) berpengaruh menggagalkan perkecambahan spora mikoriza (Chiocchio dkk., 2000). Berkecambahnya spora pada perlakuan yang diberi benomyl konsentrasi relatif rendah (0,001-0,1µm/ml) meningkatkan perkecambahan spora Glomus mosseae, pertama: dikarenakan pemberian fungisida dengan konsentrasi rendah tersebut masih belum menghalangi proses pindahnya air dari larutan fungisida ke larutan sel spora secara osmosis, dan kedua: pemberian fungisida tersebut diduga mengakibatkan terangsangnya tanaman inang menghasilkan eksudat akar. Terangsangnya tanaman inang menghasilkan eksudat akar dapat berpengaruh mempercepat perkecambahan spora Glomus mosseae. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan Melin (1963) dalam Imas dkk. (1989) yaitu eksudat akar yang dikeluarkan tanaman inang dapat merangsang perkecambahan spora FMA. Eksudat yang dapat merangsang perkecambahan spora FMA tersebut kemudian dikenal dengan faktor M. Pemberian benomyl konsentrasi relatif tinggi (1-2,12µm/ml) menghambat perkecambahan spora FMA, dikarenakan pemberian fungisida konsentrasi tinggi tersebut meurunkan laju pindahnya air dari larutan fungisida ke larutan sel spora FMA secara osmosis. Pemberian benomyl konsentrasi relatif sangat tinggi (1021,25µm/ml) bahkan dapat menyetop pindahnya air ke larutan sel spora FMA.
Universitas Sumatera Utara