2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungi Mikoriza Arbuskula Mikoriza pada hakikatnya adalah struktur yang terbentuk oleh akar dan fungi secara simbiotik. Kedua simbion mendapat manfaat. Umumnya tumbuhan yang memiliki akar yang bersangkutan dapat dibantu dalam penyerapan air dan hara mineral dalam tanah. Hifa fungi bertindak sebagai akar-akar rambut dan berfungsi menyerap air serta hara dalam tanah, kemudian memberikannya kepada tanaman (Fakuara 1988), dan fungi memperoleh bahan-bahan organik dari tumbuhan. Smith dan Read (2008) membagi mikoriza ke dalam dua subdivisi besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza dicirikan dengan mantel dan jaring Hartig hifa interselular di akar pohon, sedangkan endomikoriza memiliki ciri hifa intraselular. Endomikoriza terdiri atas fungi mikoriza arbuskula, ericoid mikoriza, arbutoid mikoriza, monotropoid mikoriza, ektendomikoriza dan orchid mikoriza. FMA termasuk ke dalam kelas Zygomycetes, dengan ordo Glomales yang mempunyai 2 sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae. Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus, yaitu Gigaspora dan Scutellospora. Glomaceae mempunyai empat famili, yaitu famili Glomaceae dengan genus Glomus dan Sclerocystis, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, Paraglomaceae dengan genus Paraglomus, dan Archaeosporaceae dengan genus Archaeospora (INVAM 2008) seperti tampak pada Gambar 1. FMA adalah fungi obligat yang paling banyak bersimbiosis dengan jenis tanaman inang. Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA antara lain angiospermae, gimnospermae, pterodopita, dan semua tanaman yang memiliki akar (Read et al. 2000). FMA dicirikan dengan adanya intraradikal hifa, arbuskula, ekstraradikal miselium (hifa yang menghubungkan akar dengan tanah), dan spora yang terbentuk di ekstraradikal miselium. Beberapa jenis fungi membentuk intraradikal struktur yang disebut sebagai vesikel (hifa yang membesar yang berisikan lemak).
3
Gambar 1 Klasifikasi mikoriza (INVAM 2008) Arbuskula adalah struktur yang berfungsi sebagai tempat pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Adanya arbuskula sangat penting untuk mengidentifikasi bahwa telah terjadi infeksi pada akar tanaman. Vesikula berbentuk globose dan berasal dari menggelembungnya hifa internal FMA. Vesikula berfungsi sebagai organ reproduktif atau organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan makanan yang kemudian diangkut ke dalam sel, tempat pencernaan oleh sel berlangsung. Sampai saat ini ada 6 genus fungi yang termasuk ke dalam FMA. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai berikut: 1. Glomus Spora berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Jumlah dinding spora berlapis-lapis terdiri dari empat lapisan, tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tidak memiliki ornamen. Ada dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder. Warna sporanya bening, hialin (transparan), putih, kuning, atau coklat. Ukuran spora rata-rata 259 μm (INVAM 2008).
4
2. Paraglomus Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan, dan bening. Jumlah dinding spora terdiri dari tiga lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk silinder. Ukuran spora rata-rata 85μm (INVAM 2008). 3. Gigaspora Sporanya bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh, tidak memiliki ornamen. Hifa membentuk suspensor bulbous atau dudukan hifa yang membulat. Memiliki sel auksilari yang merupakan perwujudan vesikula eksternal. Warna sporanya kuning cerah. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 321μm. Spora dinding terdiri dari tiga lapisan (INVAM 2008). 4. Scutellospora Proses perkembangan Scutellospora sama dengan Gigaspora, untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan kecambah. Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer. Ukuran sporanya rata-rata 165 μm (INVAM 2008). 5. Acaulospora Proses perkembangan spora Acaulospora seolah-olah dari hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang ujungnya membesar seperti spora yang dibuat hifa terminal. Di antara hifa terminal dan dudukan hifa akan timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar. Lapisan luar tidak bereaksi dengan larutan Melzer, tetapi lapisan dalam bereaksi dengan larutan Melzer (warna lebih gelap–merah keunguan). Sporanya memiliki beraneka bagian, bergantung kepada jenisnya, misalnya bentuk duri pada A. spinosa dan berbentuk tabung pada A. tuberculata. Warna sporanya dominan merah. Dinding spora terdiri dari tiga lapisan. Ukuran sporanya rata-rata 279 μm (INVAM 2008). 6. Entrophospora Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses perkembangan spora Acaulospora, yaitu di antara hifa terminal dengan dudukan hifa. Warna sporanya kuning coklat. Jika spora belum matang, warnaya tampak
5
jauh lebih buram. Spora berbentuk bulat dengan ukuran rata-rata 121 μm. Dinding spora terdiri dari dua lapisan (INVAM 2008). 2.2. Ekologi Fungi Mikoriza Arbuskula Lebih dari 80% tanaman dapat bersimbiosis dengan FMA. FMA telah diidentifikasi di berbagai jenis tanaman, termasuk beberapa jenis tanaman gimnospermae dan mayoritas angiospermae (Peterson et al. 2004). Beberapa angiospermae yang tidak bersimbiosis dengan FMA, di antaranya yaitu Brassicaceae (kanola, sawi, kubis, dan lain-lain) dan Chenopodiaceae (bayam dan genus Chenopodium) (Peterson et al. 2004). Beberapa famili tanaman air mungkin memiliki tingkat kolonisasi yang rendah dengan FMA. FMA telah dipelajari dengan sangat intensif di banyak ekosistem di dunia dan ditemukan di banyak jenis tegakan yang penting antara lain: gandum, kedelai, padi, jagung, anggur, pohon buah-buahan, dan kapas (Peterson et al. 2004). FMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan Glomus. Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan jenisnya sangat mendukung pertumbuhan FMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah FMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktik pertanian seperti pengolahan tanah, perbaikan bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan FMA (Joner 2000). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi FMA. Sistem tumpang sari atau pengiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi FMA (McGonigle et al. 1999). 2.3. Manfaat Mikoriza Manfaat asosiasi FMA dengan tanaman antara lain: meningkatkan pengangkutan nutrisi, meningkatkan penyerapan mikronutrisi, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, dan memperbaiki struktur tanah. Kontribusi FMA terhadap pengangkutan nutrisi untuk tanaman terutama ialah penyerapan nutrisi (khususnya P) dari dalam tanah melalui hifa ekstraradikal (Peterson et al. 2004). Mayoritas mikoriza mendapatkan
6
karbohidrat dari tanaman inang yang merupakan hasil fotosintesis dari tanaman inang. Mekanisme translokasi nutrisi oleh fungi ke tanaman inang memberikan pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan tanaman (Springer dan Heidelberg 2008). Hifa fungi memiliki fungsi yang sama seperti rambut akar yaitu sebagai organ penyerapan nutrisi. Ukuran diameter rambut akar yaitu 5–20 μm (Wulfshon dan Nyengaard 1999), sedangkan diameter hifa FMA yaitu 3–7 μm (Dodd et al. 2000), sehingga jangkauan hifa FMA lebih jauh dibandingkan dengan rambut akar (Dodd et al. 2000). Selain itu, FMA memiliki enzim posfatase yang dapat merubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Joner et al. 2000). Mikronutrisi sangat diperlukan oleh tanaman walaupun dalam jumlah yang sedikit. Mikronutrisi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Elemen mikronutrisi antara lain yaitu besi, zink, magnesium, mangan, dan kobalt. FMA membantu tanaman melalui dua cara, yang pertama FMA membantu dalam penyerapan elemen mikronutrisi yang relatif immobile, dan yang kedua FMA menyerap elemen mikronutrisi dan menyimpannya untuk mencegah elemen tersebut mencapai tingkat beracun (Springer dan Heidelberg 2008). Asosiasi mikoriza dapat meningkatkan penyerapan nutrisi dan produksi biomasa total (Jia et al. 2004). Kolonisasi FMA terbanyak dijumpai pada tanah dengan kandungan N yang rendah (Jia et al. 2004), oleh karena itu keberadaan FMA akan meningkatkan mikroorganisme lain yang dapat memfiksasi N dari udara, seperti Rhizobium. Adanya Rhizobium pada tanah ditandai dengan adanya nodul pada akar yang akan meningkatkan penyerapan N tanaman. Banyak penelitian melaporkan bahwa tanaman bermikoriza lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (Musfal 2010). Mekanisme translokasi dan penyerapan langsung air melalui jaringan hifa sama dengan cara penyerapan nutrisi. Kemungkinan pengaruh kolonisasi mikoriza pada tanaman tahan kekeringan, terkait dengan penyerapan nutrisi (Smith dan Read 2008). Pada tanah kering, ketersedian nutrisi menjadi berkurang karena adanya peningkatan proses difusi (Peterson et al. 2004). Struktur
tanah
menentukan
karakteristik
laju
penyerapan,
siklus
biogeokimia, ketahanan erosi, dan penyimpanan C (Rilig 2004). Bahan organik
7
tanah memiliki peranan utama dalam agregasi tanah. Akumulasi bahan organik berfungsi untuk aktivitas biotik (Six et al. 2000). Hifa FMA melibatkan partikel tanah untuk membentuk tanah menjadi agregat, dengan agregat yang lebih kecil dan kuat dibandingkan dengan agregat yang lebih besar (Musfal 2010). 2.4. Famili Dipterocarpaceae Menurut Appanah dan Turnbull (1998), famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili, yaitu Dipterocarpoidae, Pakaraimoideae, dan Monotoideae. Di antara ketiga sub famili tersebut, Dipterocarpoidae merupakan sub famili yang terpenting karena memiliki jumlah jenis yang banyak dan bernilai komersil. Sub famili Dipterocarpaceae
ini memiliki 13 genus dan 470 jenis. Famili
Dipterocarpaceae yang terdapat di Indonesia adalah Anisoptera (Mersawa), Cotylelobium, Dipterocarpus (Keruing), Dryobalanops (Kapur), Hopea (Giam), Parashorea, Shorea (Meranti), Vatica (Resak) dan Upuna. Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sifat umum dari famili Dipterocarpaceae antara lain pohon berukuran besar atau kecil, berdamar dan selalu menghijau. Pada umumnya batang berbanir, dan biasanya kulit luar bersisik atau beralur dan seringkali mengelupas. Daun tunggal dengan kedudukan berselang-seling (alternate), bertepi rata atau beringgit, bertulang sirip, seringkali berdaging, daun penumpu (stipula) besar atau kecil dan seringkali mudah rontok. Lebih lanjut Appanah dan Turnbull (1998) mengemukakan bahwa bunga berkelamin dua, terletak di ujung ranting atau di ketiak daun dalam bentuk malai atau tandan. Daun kelopak berjumlah 5 helai, seringkali menyerupai sayap. Daun mahkota berjumlah 5 helai, berpilin dalam kuncup dan dasar lepas atau berlekatan. Benang sari berjumlah 5–110 dan melebar dalam satu atau beberapa baris. Tangkai sari umumnya bebas, pendek, seringkali pangkalnya melebar dan beberapa di antaranya sukar rontok. Bakal buah beruang 3 (jarang 2) atau beruang 1 tidak sempurna. Bakal biji berjumlah 2–3 pada setiap ruang, menempel pada dinding. Buah kebanyakan tidak memecah, berbiji satu, kulit buah mengeras (mengayu). Kebanyakan dari jenis-jenis Dipterocarpaceae bersifat toleran terhadap intensitas cahaya pada saat semai dan intoleran setelah mencapai tahap pancang dan tiang (Appanah dan Turnbull 1998). Sebagian dari jenis Dipterocarpaceae
8
yang toleran terutama yang memiliki kayu dengan berat jenis yang tinggi (tenggelam) contohnya Dipterocarpus spp. dan sebagian lagi tergolong semi toleran, yaitu jenis-jenis yang memiliki kayu dengan berat jenis rendah (terapung) contohnya Shorea spp., Hopea spp.
Kebutuhan cahaya untuk keperluan
pertumbuhan waktu muda (tingkat anakan) berkisar antara 50–75 % dari cahaya total. Untuk jenis semi toleran, anakan membutuhkan naungan 3–4 tahun atau sampai tanaman mencapai tinggi 1–3 meter. Sedangkan jenis yang toleran lebih lama lagi, yaitu sampai 5–8 tahun. Menurut Appanah dan Turnbull (1998), sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban yang tinggi di bawah ketinggian 1.000 m dpl, dengan rata-rata curah hujan tahunan mencapai 2.000 mm dan musim kemarau yang pendek. Jenis-jenis Dipterocarpaceae sebagian besar menghendaki tanah kering yang bereaksi sedikit masam, bersolum dalam, dan banyak mengandung liat. Pada tanah berkapur ditemukan H. aptera, S. guiso dan S. harilandii. Pada hutan kerangas biasanya ditemukan C. burckii, D. fusca, H. karanganensis, S. coriacea, S. ratusa, V. coriacea, dan D. bornensis. Pada tanah berpasir biasanya ditemukan S. falcifera, H. beccariana, dan U. borneensis. Pada tanah bergambut banyak ditemukan D. rappa, A. marginata, S. albida dan D. coriaceus. Famili Dipterocarpaceae menyebar mulai dari Afrika, Seychelles, Ceylon hingga Semenanjung India, selanjutnya di India Timur, Bangladesh, Burma, Tahiland, Indocina, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Philipina
(Appanah
dan
Turnbull
1998).
Secara
alami
jenis-jenis
Dipterocarpaceae merupakan hutan alam campuran yang tersebar luas pada berbagai topografi dan jarang ditemukan hutan-hutan Dipterocarpaceae murni atau berkelompok.