23
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Ciri-ciri Sektor Informal Sektor pekerjaan formal dan informal menurut Jayadinata (1999), dapat dibedakan dari bentuk usaha, cara kerja serta sumber biaya/modal. Sektor formal adalah kegiatan usaha yang bentuknya terorganisasi, cara kerjanya teratur dan pembiayaannya dari sumber resmi, menggunakan buruh dengan tingkat upah tertentu. Sedangkan sektor informal bentuknya tidak terorganisasi (kebanyakan usaha sendiri), cara kerjanya tidak teratur, modal kerja dibiayai sendiri atau sumber tak resmi, serta dikerjakan oleh anggota keluarga. Istilah “sektor informal” pertama kali dikembangkan oleh Hart (1971), bermula dari penggambaran kehidupan angkatan kerja perkotaan yang berada di luar pasar tenaga kerja yang terorganisir. Pengertian dari sektor pekerjaan yang kurang terorganisir itu mencakup pengertian yang seringkali diistilahkan secara umum dengan “usaha sendiri”. Suatu jenis pekerjaan yang sulit dicacah, karena itu sering dilupakan dalam sensus resmi, serta akhirnya merupakan kesempatan kerja yang persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum. Berbagai jenis pekerjaan sektor informal terutama yang berkembang di kota-kota negara Dunia Ketiga menurut Bremen (1980), adalah; pedagang kaki lima, penjual koran, anak-anak penyemir sepatu, penjaga kios, pelacur, pengemis, penjaja barang, pengemudi becak dan seterusnya. Pekerja sektor informal ini merupakan kumpulan pedagang kecil; pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil 6
Universitas Sumatera Utara
24
serta golongan-golongan lain dengan pendapatan rendah serta tidak tetap; hidup mereka serba kesusahan dan semi-kriminal pada batas-batas perekonomian kota. Hart (1971), merangkum beberapa ciri sektor informal yakni; bersifat padat karya, kekeluargaan, pendidikan formal rendah, skala kegiatan kecil, tidak ada proteksi pemerintah, keahlian dan keterampilan rendah, mudah dimasuki, tidak stabil, dan tingkat penghasilan rendah. Sedangkan Todaro (1998), mencirikan pekerjaan sektor informal melalui; kegiatan produksinya berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, padat karya, menggunakan teknologi yang sederhana, dan biasanya tidak memiliki pendidikan formal. Di samping itu, mereka tidak memiliki keterampilan khusus dan sangat kekurangan modal kerja. Produktivitas dan pendapatan mereka relatif rendah, tidak memiliki jaminan keselamatan kerja maupun fasilitas-fasilitas kesejahteraan. Menurut Wirosardjono (1985), sektor informal dicirikan sebagai berikut; pola kegiatannya tidak teratur dalam artian baik waktu, permodalan maupun penerimaannya tidak tersentuh oleh peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah; modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian; umumnya tidak mempunyai tempat usaha lain yang besar; dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah; tiap-tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama; serta tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
25
Sektor informal dapat dibedakan menjadi beberapa kategori. Sjahrir (1985), membuat garis besar kegiatan sektor informal ke dalam enam kategori yakni; (a) sektor perdagangan, (b) sektor jasa, (c) sektor industri pengolahan, (d) sektor angkutan, (e) sektor bangunan, dan (f) sektor perbankan. Setiap bagian tersebut dibedakan lagi atas sub-sub kegiatan, misalnya di sektor perdagangan terdiri dari penjual makanan, penjual barang bekas, tukang goni botot, penjual obat-obat tradisional, penjual air, dan broker. Sektor jasa terdiri dari pembantu rumah tangga, pelayan toko dan rumah makan. Sektor industri pengolahan terdiri dari pengrajin dan buruh kasar. Sektor angkutan terdiri dari pengemudi becak, pengemudi taksi, dan tukang ojek. Sektor bangunan terdiri dari kuli bangunan, sedangkan sektor perbankan misalnya rentenir. Umumnya pekerja sektor informal ini adalah pendatang baru dari daerah pedesaan yang gagal memperoleh tempat di sektor formal. Motivasi kerja mereka semata-mata terbatas untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan bukan untuk menumpuk keuntungan atau meraih kekayaan. Satu-satunya yang harus dan dapat mereka andalkan hanyalah tenaga atau diri mereka sendiri.
2.2. Paradigma Baru Sektor Informal Mengukuti alur teori dualisme dalam ekonomi, munculnya sektor informal disebabkan karena kehadiran industri dalam sektor modern ternyata tidak mampu menyerap angkatan kerja yang kian lama tumbuh berkembang. Dengan kata lain, kehadiran industri modern yang diharapkan mampu menyerap pertumbuhan angkatan
Universitas Sumatera Utara
26
kerja yang sebagian besar dialihkan dari sektor subsisten desa agar terlibat dalam sistem perkonomian non-pertanian, ternyata tidak mampu mengimbangi kelebihan angkatan kerja dimaksud. Tingkat industrialisasi yang rendah dan terjadinya kelebihan tenaga kerja menjadi sebab utama timbulnya sistem dualistis ekonomi di perkotaan. Dengan demikian menurut Gordon (1972), sektor informal dalam konteks dualisme ekonomi muncul dari massa pekerja kaum miskin yang produktifitasnya rendah bila dibandingkan dengan pekerja di sektor formal, sehingga menutup kesempatan bagi mereka untuk dapat bekerja pada sektor tersebut. Sektor informal menurut International Labour Organization (1976), menjadi penampung “sisa” penduduk kota. Definisi ini sangat menyudutkan pekerja sektor informal yang menempatkannya pada posisi subordinat, karena pekerja sektor informal dianggap sebagai parasit yang dapat memperburuk suasana kota. Munculnya pandangan seperti ini, akibat dari kurangnya pengetahuan tentang aspek sosial budaya orang miskin, sehingga sektor informal sering dianalogikan sebagai sektor tradisional, antitesis dari sektor modern. Sering terjadi kontribusi sektor informal terhadap pembangunan kota menjadi terlupakan. Untuk merumuskan kerangka yang tepat, analisis sektor informal dapat dilihat dari aspek latar belakang usaha, besar usaha, dan komposisi usaha. Sehingga dengan memahami ruang lingkup determinan-determinan sosialnya, seperti pendapatan yang rendah; pekerjaan yang tidak tetap; pendidikan yang tidak memadai; tingkat
Universitas Sumatera Utara
27
organisasi yang rendah; serta unsur-unsur lain yang dapat menjadi sumber ketidakpastian, dapat menghindari salah tafsir terhadap sektor informal. Pandangan sebelah mata terhadap eksistensi sektor ini segera berubah, manakala ditemukan fakta bahwa sektor informal memberi nilai manfaat ekonomis yang sangat efisien dan menguntungkan terutama terhadap kesempatan kerja (Miraza, 1989). Dalam perspektif ekonomi, sektor informal dipandang sebagai suatu sistem produksi (mode of production) yang lebih menekankan pada aspek lingkungan tempat bekerja dan bukan pada jenis pekerjaannya. Namun di sisi lain, sektor informal tidak dapat dibatasi hanya pada suasana ekonomi semata, banyak variabel yang mesti dipertimbangkan. Penelitian-penelitian dalam bidang ini menunjukkan bahwa menggunakan berbagai pendekatan, seperti sosiologi, geografi, antropologi dalam merumuskan kebijakan masalah sektor informal sangat memberi arti bagi upaya penetapan konsep yang tepat (Wirosardjono, 1985). Menggunakan pendekatan antardisiplin ilmu dalam pengkajian sektor informal dapat membantu penelusuran ilmiah, sehingga kerangka konsep tentang sektor informal dapat tersusun secara sistematis. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, misalnya Miraza (1989); Zahrah (2003); Tohar (2003); menyimpulkan bahwa pekerjaan sektor informal telah berhasil menurunkan tingkat urbanisasi dan para pekerjanya dilahirkan di daerah kota atau setidaknya telah lama tinggal di kota. Dengan demikian pekerja sektor informal tidak melulu kaum migran yang berasal dari desa. Sehingga masalah sektor informal erat kaitannya dengan masalah kemiskinan dan kesempatan kerja yang tersedia
Universitas Sumatera Utara
28
di perkotaan. Sektor informal tidak lain merupakan bagian dari kota, jalinan paling istimewa antara sektor informal dengan lingkungan adalah menyangkut pertukaran timbal balik antara kota dan desa serta cara produksinya masing-masing. Untuk merubah pandangan subordinat terhadap pekerjaan sektor informal, maka antara sektor formal dan informal perlu dilihat secara objektif dan seharusnya tidak perlu dipertentangkan. Dalam kenyataannya, selama ini terjadi ketimpangan struktural dalam menafsirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan sektor informal. Padahal sektor ini dalam berbagai bentuk kegiatan perekonomian kota, dapat menampung angkatan kerja yang masih menganggur. Peran yang dimainkannya begitu signifikan sebagai penyangga (buffer zone) dalam proses pembangunan. Banyak kegiatan perekonomian sektor informal yang memberikan pekerjaan kepada penduduk, meningkatkan pendapatan (walaupun sedikit dan tidak tetap), namun mereka bisa mempertahankan kehidupan yang subsisten. Munculnya paradigma baru yang menepis pertentangan antara sektor formal dan informal serta ketimpangan struktural, ditandai dengan pencabutan peraturanperaturan diskriminatif dan tindakan-tindakan yang merintangi upaya berkembangnya sektor informal. Melalui paradigma baru ini, telah mendorong lahirnya pemikiran yang apresiatif terhadap sektor informal, dan kedudukannya dengan sektor formal berada pada posisi yang sejajar. Bahkan dalam kedudukannya masing-masing keduanya berperan dalam pembangunan dan pengembangan wilayah. Bremen (1980), sebagai penggagas paradigma baru ini menggunakan berbagai sudut pandang dalam melihat peran sektor informal yang memberikan andil yang
Universitas Sumatera Utara
29
cukup besar dalam peningkatan produk nasional. Mengingat perannya yang signifikan dalam pembangunan, strategi pembinaan sektor informal masih terus berlanjut, terutama dalam hal pemberian program bantuan terencana oleh pemerintah. Pemerintah perlu membantu dalam pemberian fasilitas kredit. Begitu juga kepedulian kaum profesional (pengusaha, pemilik modal) sangat dituntut dalam pemberian penyuluhan manajemen; penataran keterampilan; promosi pemasaran; penyediaan bahan baku; kepada pekerja sektor informal yang muaranya adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi pelaku-pelaku usaha kecil (mikro). Bahwa masalah utama yang dihadapi pekerja sektor informal menurut Todaro (1998), adalah menyangkut keterbatasan modal kerja. Oleh karenanya, pemberian kredit lunak akan sangat membantu unit-unit yang lebih banyak, sehingga pada akhirnya akan menciptakan pendapatan dan lapangan kerja yang lebih banyak lagi. Untuk dapat meningkatkan modal, pekerja sektor informal memperoleh kemudahan memperoleh skim kredit lunak dari lembaga-lembaga keuangan/ perbankan.
2.3. Dampak Eliminasi Sektor Informal Upaya memaksimalisasi peran sektor informal dalam pembangunan, sering dihadapkan pada dilema, pada satu sisi pemerintah ingin memberi kemudahan fasilitas bagi rakyat kecil perkotaan untuk mencari nafkah melalui berbagai sumberdaya yang tersedia, namun di sisi lain pemerintah juga ingin menciptakan suasana kehidupan kota yang bersih, rapi dan asri. Sikap ambivalen pemerintah itu terlihat melalui slogan-slogan dukungannya terhadap pembinaan usaha rakyat kecil
Universitas Sumatera Utara
30
(notabene pekerja sektor informal), sehingga perlu didorong dan dikembangkan. Pada saat yang sama, pemerintah tidak henti-hentinya melakukan upaya penggusuran demi memperindah kota sehingga mempersempit ruang gerak pekerja sektor informal. Komplek pemukiman kumuh (slum) yang umumnya dihuni pekerja sektor informal selalu menjadi incaran penggusuran karena disinyalir dapat menimbulkan masalah bagi pengembangan wilayah kota, seperti kemacetan lalu lintas dan sebagai tempat penampungan penghuni liar. Pemukiman kumuh biasanya terjadi karena empat hal yang saling berkaitan dan saling meneguhkan, yaitu kepadatan penduduk, pekerjaan dan penghasilan penghuni yang tidak tetap, tidak mendapat layanan publik, dan gaya hidup pedesaan yang tak lagi cocok dengan kehidupan kota (Surbakti dalam Suyanto, ed., 1995). Dalam perspektif perencana kota, selain dicap liar dan menjadi sumber penyebab munculnya segala gangguan, sektor ini seakan-akan dipandang sama sekali tidak memberi sumbangan apapun bagi masyarakat sekitar maupun perkembangan kota pada umumnya. Secara fisik upaya-upaya penggusuran dan meminggirkan segala sesuatu yang berbau informal memang dapat membuat suasana kota tampak indah dan bersih. Tetapi konsep pengembangan wilayah, bukan hanya berorientasi fisik, lebih dari itu peningkatan kualitas hidup yang menciptakan harga diri pada masyarakat, merupakan aspek-aspek
yang
menjadi
bahan
pertimbangan
dalam
melakukan
proses
pembangunan dan pengembangan wilayah. Sebagaimana Todaro (1998), mengatakan kecukupan (sustenance); jati diri (self-esteem); serta kebebasan (freedom); adalah tiga serangkai yang menjadi hakekat pembangunan. Ketiga hal ini merupakan tujuan
Universitas Sumatera Utara
31
pokok yang harus dicapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Ketiganya berkaitan secara langsung dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling mendasar, yang terwujud dalam berbagai macam bentuk di hampir semua masyarakat dan budaya sepanjang zaman. Usaha penggusuran bagi masyarakat pekerja sektor informal, selain memperkecil peluang untuk memiliki rumah sendiri, sesungguhnya dapat berpontesi mematikan atau mengeleminir ruang gerak rakyat miskin perkotaan untuk tetap survive. Penggusuran bukan hanya sekedar menggusur tempat tinggal, tetapi juga menggusur sebagian penyangga ekonomi rakyat miskin. Bagi golongan masyarakat miskin perkotaan, rumah memang bukan hanya sekedar tempat tidur atau berteduh saja, tetapi rumah merupakan tempat bekerja dan sekaligus tempat untuk mengayam jaringan sosial ekonomi yang menunjang mekanisme survival penghuninya. Sektor informal yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat miskin (golongan marginal kota), mulai tidak berdaya karena dijejali dengan berbagai kebijakan pembangunan kota yang sangat berkiblat ke Barat. Plaza, supermarket maupun hipermarket dibiarkan banyak bermunculan; di sisi lain daerah operasi becak dibatasi atau bahkan dilarang sama sekali; pedagang asongan digusur; dan berbagai usaha memoles kota menjadi gemerlap umumnya cenderung semakin mempersempit ruang gerak pekerja sektor informal untuk berkembang. Ada kesan, segala hal yang berbau tradisional dan terklasifikasi informal adalah sesuatu yang dianggap jelek dan memalukan, sehingga perlu dimarginalisasi dan dieliminasi eksistensinya. Soemardjan (dalam Suyanto, 1995), mengatakan;
Universitas Sumatera Utara
32
di mata perencana kota, acapkali muncul keyakinan bahwa jaringan dan pranata sosial sektor informal tidak saja kurang mendukung tumbuhnya etik wiraswasta yang kompetibel,
tetapi
juga
diyakini
jaringan
dan
pranata
sosial
itu
harus
ditransformasikan atau sama sekali dihilangkan demi pembangunan ekonomi. Kebijakan pembangunan kota dengan cara membatasi ruang gerak pekerja sektor informal, justru tidak membuat kota menjadi gemerlap dan maju, tetapi wajah kota semakin tercoreng oleh berbagai masalah sosial yang terjadi seiring dengan menyempitnya peluang kerja di berbagai sektor. Tak dapat dielakkan bila kondisi ini terus berlangsung, maka orang-orang yang terlibat dalam sektor informal menjadi berpola rasional, kontraktual, dan individualis seperti layaknya ciri masyarakat kapitalis. Mekanisme involutif sektor informal menjadi mandul dan daya serap sektor tersebut menjadi tidak fleksibel lagi. Bagi kota sendiri, menyempitnya daya serap sektor informal dan tidak tertampungnya para migran dalam kegiatan perekonomian kota sudah tentu akan berarti masalah. Jumlah masyarakat miskin tidak saja akan semakin bertambah di kota, tetapi akibat semakin terpolarisasinya sektor fomal dan informal dapat menimbulkan berbagai kecemburuan sosial yang menjurus pada munculnya disorganisasi sosial. Bukan tidak mungkin akibat banyaknya kaum migran yang tidak beroleh pekerjaan, maka angka kejahatan semakin meningkat, pemukiman kumuh (slum) semakin menjamur, dampak negatif lain juga bermunculan, sehingga membuat suasana kota menjadi kacau. Barangkali akibat-akibat negatif seperti ini, sejak dini perlu segera diantisipasi. Jangan sampai demi sekedar mengejar keindahan kota, sektor informal
Universitas Sumatera Utara
33
yang sesungguhnya besar jasanya, lalu dijadikan kambing hitam dan terpaksa menjadi korban obsesi kemajuan yang belum jelas kemana arahnya.
2.4. Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah pada dasarnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial wilayah tersebut dengan menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Sandy (1982), kata wilayah sehubungan dengan pembangunan wilayah mempunyai makna objektif dan subjektif. Wilayah secara objektif dimaksudkan apabila suatu kawasan dijadikan sebagai tujuan akhir pembangunan. Artinya, suatu wilayah oleh perencana dibagi habis ke dalam beberapa wilayah pembangunan dan kemudian tiap wilayah tersebut dibangun sesuai dengan yang dikehendaki. Wilayah secara subjektif dimaksudkan apabila perwilayahan dimaksudkan sebagai cara untuk mengenal masalah. Hal ini tidak lain adalah usaha penggolongan atau pengklasifikasian dengan menetapkan masalah-masalah yang ada pada suatu wilayah. Wilayah subjektif ini dibagi lagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, daerah formal atau homogen yaitu bagian muka bumi yang mempunyai sifat-sifat yang sama atas dasar kriteria tertentu (fisik, sosial atau lainnya). Kedua, wilayah fungsional atau modal adalah wilayah yang dibuat atas dasar adanya hubungan fungsional antar unsur-unsur. Pembangunan wilayah merupakan penggunaan dana yang dialokasikan pada suatu wilayah oleh pemerintah maupun swasta untuk kegiatan-kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
34
langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat ataupun memperluas lapangan kerja (Tambun, 1992). Pengembangan wilayah dengan demikian bertujuan melakukan perubahan yang bersifat positif pada suatu wilayah, yaitu meningkatkan pertumbuhan, berkelanjutan dan pemerataan. Oleh karenanya perencanaan wilayah menjadi suatu keniscayaan untuk menyusun skenario masa depan yang diharapkan, sehingga perencanaan tersebut dapat menstimuli tahapantahapan proses pembangunan dan pengembangan wilayah. Menurut Wibowo, dkk., (1999), pengembangan wilayah merupakan usaha mengembangkan dan meningkatkan hubungan saling ketergantungan dan interaksi antarsistem ekonomi (economic system), manusia atau masyarakat (social system) lingkungan hidup dan sumberdaya alam (ecosystem). Kondisi ini dapat diterjemahkan ke dalam bentuk pembangunan ekonomi, sosial, politik, budaya maupun pertahanan keamanan yang seharusnya berada dalam konteks keseimbangan, keselarasan dan kesesuaian. Menurut Purboyo (dalam Akil, 2001), teori-teori pengembangan wilayah, menganut berbagai azas atau dasar berdasarkan tujuan penerapan masing-masing teori. Berbagai paradigma teori pengembangan wilayah dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Teori yang memberi penekanan kepada kemakmuran wilayah (local prosperity). 2. Teori yang menekankan pada sumberdaya lingkungan dan faktor alam yang dinilai dapat mempengaruhi keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah (sustainable production activity). Kelompok penganut teori ini sering
Universitas Sumatera Utara
35
disebut
sangat
peduli
dengan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). 3. Teori yang memberi penekanan kepada kelembagaan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal, sehingga kajian teori ini terfokus kepada good governance yang bisa bertanggungjawab (responsible) dan berkinerja bagus. 4. Teori yang perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan masyarakat yang tinggal di suatu lokasi (people prosperity). Beragam paradigma teori pengembangan wilayah di atas, bukan saling bertentangan, namun dalam penggunaannya dapat bersinergi. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar yang terkandung dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Nasional (UUPR), yang mengandung muatan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, serta pengendaliannya. Konsep dasar penataan ruang wilayah dan kota dengan pendekatan pengembangan wilayah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan memperhatikan comparative advantage di suatu wilayah, serta mengeleminir kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh dan tertinggal. 2.5. Revitalisasi Peran Sektor Informal dalam Pengembangan Wilayah Purnomosidi (dalam Hermansyur, 1996), mengatakan bahwa pengembangan wilayah secara realistis cenderung memperhatikan tuntutan angkatan kerja yang seimbang antara sektor-sektor formal maupun informal, sehingga mendorong aktivitas perekonomian dapat berjalan dengan baik, akibatnya kesejahteraan
Universitas Sumatera Utara
36
masyarakat akan semakin meningkat. Strategi pengembangan wilayah mempunyai prinsip dasar; bahwa pembangunan berasal dari masyarakat untuk masyarakat dan oleh masyarakat. Untuk merealisir target dan tujuan pengembangan wilayah, prosesnya harus berakar pada kemampuan sumberdaya dan kreativitas seluruh pelaku pembangunan. Maka seluruh usaha yang menjurus pada perbaikan kesejahteraan hidup masyarakat, dapat dipandang sebagai penyebab berlangsungnya proses berkembangnya wilayah. Siagian (1982), mengatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan suatu rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana, dilaksanakan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka pembinaan masyarakat. Oleh karenanya konsepsi peningkatan jaringan struktur ekonomi, sosial dan budaya pekerja sektor informal dapat dipahami sebagai upaya pengembangan
wilayah,
dengan
tujuan
meningkatkan
kesejahteraan
hidup
masyarakat. Salah satu kegiatan pengembangan wilayah dapat tercipta, bilamana seluruh elemen masyarakat termasuk pekerja sektor informal didorong memiliki aksesibilitas yang sama dalam penggunaan faktor-faktor produksi, pengolahan dan pemasaran. Selanjutnya dengan sumberdaya yang ada, pengetahuan dan keterampilan masyarakat perlu ditingkatkan. Pekerja sektor informal, pemerintah serta seluruh elemen masyarakat, melalui kinerjanya masing-masing bersimbiosis mengoptimalisasi perannya dalam rangka mendorong percepatan pengembangan wilayah.
Universitas Sumatera Utara
37
Umumnya ahli sepakat menyimpulkan bahwa keberadaan sektor informal sangat besar jasanya dalam menyerap arus migran yang setiap saat terus bertambah di wilayah kota (Manning dan Effendi, 1985). Sektor ini memberikan andil cukup besar di sektor ketenagakerjaan karena mampu menyerap tenaga kerja yang cukup banyak yang tidak tertampung di sektor formal, sekaligus meningkatkan pendapatan rata-rata penduduk. Hasil penelitian Geertz (1976), menunjukkan adanya perekonomian bazaar (sektor informal), yang sebetulnya dapat membuat kota memiliki kapasitas luar biasa untuk menyerap tiap migran baru. Benar, mungkin dari segi pendapatan yang diperoleh tidak terlampau besar akibat harus dibagi banyak orang (shared poverty). Tetapi, dengan adanya jaringan kerja bertingkat-tingkat dan mekanisme involutif yang renik membuat sektor informal menjadi begitu lentur dan fleksibel dalam menyerap tenaga kerja dari kualifikasi dan kalangan manapun. Tidak peduli apakah tenaga kerja baru yang masuk kurang berpendidikan atau tidak memiliki keahlian khusus, asal mau berbagi kemiskinan (shared poverty), umumnya mereka dengan mudah segera akan tertampung dan terlibat dalam perekonomian sektor informal. Bahwa kelebihan sektor informal memang bukan pada perolehan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi yang terpenting adalah sekedar diperolehnya pendapatan untuk hidup dan kesempatan bekerja yang sangat fleksibel. Untuk mewujudkan pengembangan kota bukan bararti meminggirkan pekerja sektor informal. Kebijakan dan penyelesaian masalah harus dilakukan dengan berbagai macam pendekatan, terutama dari sisi affordability atau pendekatan yang
Universitas Sumatera Utara
38
mengandalkan kemampuan rakyat sendiri. Berbeda dengan pendekatan yang selama ini digunakan yang terlalu berorientasi pada produk dan target, pendekatan affordabiltiy lebih memusatkan bagaimana merangsang munculnya kemandirian masyarakat pekerja sektor informal untuk keluar dari garis kemiskinan menuju kepada kehidupan yang lebih layak dan mumpuni. Peran pemerintah dalam hal ini tidak lebih sebagai motivator dan fasilitator saja. Sumodiningrat (1985), mengemukakan bahwa kerangka pembangunan perlu memberdayakan masyarakat melalui; Pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan
masyarakat
berkembang.
Kedua,
peningkatan
kemampuan
masyarakat dalam membangun melalui bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana fisik dan sosial serta pengemangan kelembagaan di daerah. Ketiga, perlindungan melalui pemihakan kepada yang lemah untuk mencegah persaingan tidak sehat dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Pihak pemerintah harus segera menyadari bahwa rakyat miskin yang selama ini dilihat dengan nada minor, penganggu ketertiban, bisul pembangunan, dan ungkapan sejenis lainnya, sesungguhnya memiliki potensi swadaya yang sangat berharga jika diarahkan dengan baik. Jika usaha membuat kota menjadi metropolis dengan jalan mengeliminasi ruang gerak masyarakat miskin, bukan saja dapat mematikan potensi kemandirian itu, tetapi pada saat yang sama sesungguhnya hal itu dapat menjadi bumerang yang menghancurkan pengembangan kota itu sendiri. Peran dan eksistensi sektor informal tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa sektor ini dapat menampung pertambahan tenaga kerja yang tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
39
terserap di industri modern atau sektor formal. Bahkan dalam masa-masa ekonomi sulit, sektor ini berperan sebagai katup pengaman sosial. Sektor ini merupakan jembatan bagi sektor modern yang menjadi penampung pertama aliran pekerja dari sektor pertanian. Berdasarkan kenyataan di atas, salah satu pilihan dan kebijakan pemerintah untuk mengatasi permasalahan di bidang ini adalah melakukan pembinaan dan perbaikan kondisi usaha atau tindakan yang mengarah kepada terciptanya iklim usaha yang kondusif dengan memberikan kelonggaran serta meminimumkan pembatasan terhadap sektor informal. Pekerja sektor informal ini perlu dibina dengan baik supaya memberikan manfaat yang wajar bagi mereka sendiri dan tidak menimbulkan kerugian sosial bagi masyarakat.
2.6. Konsep Pendapatan dan Pembelian Untuk mengukur kondisi ekonomi seseorang atau rumah tangga, salah satu konsep yang paling sering digunakan adalah melalui tingkat pendapatan. Menurut Winardi (1977), pendapatan menunjuk pada seluruh uang atau hasil material lainnya yang diterima seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu dalam suatu kegiatan ekonomi. Pengertian pendapatan dan penerimaan menurut Badan Pusat Statistik dibedakan atas: Pertama, pendapatan faktor yang didistribusikan, yang dibagi menurut sumbernya menjadi penghasilan sebagai gaji dan upah, yang dihasilkan dari usaha sendiri dan pekerjaan bebas, dan penghasilan dari pemilihan ini. Kedua,
Universitas Sumatera Utara
40
transfer yang bersifat redistribusi, terutama dari transfer pendapatan yang tidak mengikat dan biasanya bukan merupakan imbalan atas penyerahan atau harta milik pribadi. Pendapatan dan penerimaan anggota-anggota keluarga dibagi lagi dalam pendapatan berupa uang, pendapatan berupa barang, dan lain-lain. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang sifatnya reguler dan diterima biasanya sebagai balas jasa atau kontra prestasi. Sumber-sumber utama adalah gaji dan upah serta lain-lain balas jasa serupa dari majikan; pendapatan bersih dari usaha sendiri dan pekerjaan bebas; pendapatan dari penjual barang yang dipelihara di halaman rumah, hasil investasi seperti bunga modal, tanah, uang pensiunan, jaminan sosial, serta keuntungan sosial (Sumardi dan Evers, 1982:92). Pendapatan berupa barang adalah segala penghasilan yang sifatnya reguler dan biasa, tetapi tidak selalu berbentuk balas jasa dan diterima dalam bentuk barang atau jasa. Barang dan jasa yang diperoleh dinilai dengan harga pasar sekalipun tidak diimbangi atau disertai transaksi uang oleh yang menikmati barang dan jasa tersebut; demikian pula penerimaan barang secara cuma-cuma, pembelian barang dan jasa dengan harga subsidi atau reduksi dari majikan merupakan pendapatan berupa barang. Penerimaan uang dan barang adalah segala penerimaan yang bersifat transfer redistributif dan biasanya membawa perubahan dalam keuangan rumah tangga misalnya penjualan barang-barang yang dipakai, pinjaman uang, hasil undian, warisan, penagihan piutang, kiriman uang (Sumardi dan Evers, 1982:93).
Universitas Sumatera Utara
41
Menurut Friedman (dalam Diulio, 1993:63), pendapatan rumah tangga terdiri dari pendapatan permanen dan pendapatan transitori. Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan akan diterima oleh rumah tangga selama beberapa tahun mendatang, sedangkan pendapatan transitori terdiri dari setiap tambahan atau pengurangan yang tidak terduga terhadap pendapatan permanen. Konsep pendapatan berdasarkan gagasan yang diperkenalkan oleh Fisher dan Hicks (dalam Sumardi dan Evers, 1982), mengatakan bahwa pendapatan adalah sebagai serangkaian kejadian yang berkaitan dengan beberapa tahap yang berbeda, yaitu: (1) kenikmatan pendapatan psikis, (2) pendapatan ril, (3) pendapatan uang. Pendapatan psikis merupakan konsep psikologis yang tidak dapat diukur secara langsung, namun dapat ditaksir oleh pendapatan ril. Sedangkan pendapatan ril adalah ekspansi kejadian yang menimbulkan kenikmatan psikis. Pendapatan ini diukur dengan pengeluaran uang yang dilakukan untuk memperoleh barang dan jasa sebelum dan sesudah konsumsi. Jadi pendapatan psikis, pendapatan ril dan biaya hiudp merupakan tiga tahap yang berbeda bagi pendapatan. Pendapatan uang menunjukkan seluruh uang yang diterima dan dimaksudkan akan dipergunakan untuk konsumsi dalam memenuhi biaya hidup. Dalam teori ekonomi keberadaan budaya dan hubungan sosial dan hubungan sosial dari pembeli–juga penjual–dapat diabaikan. Para ekonom mengasumsikan bahwa aktor ekonomi (pembeli dan penjual) bertindak untuk mencapai kepentingan pribadinya sendiri, dalam isolasi dari setiap faktor-faktor budaya dan hubungan sosial
Universitas Sumatera Utara
42
yang ada. Asumsi ini biasanya diekspresikan dalam frase ceteris paribus–segala sesuatu tetap (Damsar, 1997). 2.6.1. Penjualan Pembeli didefinisikan sebagai orang yang datang ke lokasi tertentu dengan maksud untuk membeli suatu barang atau jasa. Seorang pembeli yang ingin membeli barang perlu mengetahui terlebih dahulu harga setiap barang yang ditawarkan. Pembeli dapat memilih barang yang dibutuhkan sesuai dengan kualitas yang diinginkannya dan dana yang tersedia. Harga dalam hal ini adalah jumlah uang (kemungkinan ditambah beberapa barang) yang dibutuhkan untuk memperoleh beberapa kombinasi sebuah produk dan pelayanan yang menyertainya (Stanton, 1989). Dalam aktivitas perdagangan, pedagang adalah orang atau institusi yang memperjualbelikan produk atau barang, kepada konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Damsar (1997), dalam aktivitas ekonomi pedagang dibedakan menurut jalur distribusi yang dilakukan, yaitu: 1. Pedagang distributor (tunggal) yaitu pedagang yang memegang hak distribusi satu produk dari perusahaan tertentu. 2. Pedagang (partai) besar yaitu pedagang yang membeli suatu produk dalam jumlah besar yang dimaksudkan untuk dijual kepada pedagang lain. 3. Pedagang eceran yaitu pedagang yang menjual produk langsung kepada konsumen.
Universitas Sumatera Utara
43
2.6.2. Lokasi Selain itu hal lain yang mempengaruhi aktivitas penjualan dan pembelian dalam ekonomi pasar adalah pemanfaatan, penggunaan, atau permainan terhadap aspek ruang dan waktu, yang berarti berkaitan dengan dimensi fungsional dari pasar. Sedangkan pemain aspek waktu dan ruang menunjuk pada dimensi persaingan dari pasar. Kedua dimensi tersebut bagaikan mata uang yang punya dua sisi, sisi yang berdimensi fungsional dan sisi yang berdimensi persaingan. Dalam suatu permainan, seseorang bisa sebagai pemain tunggal atau dapat sebagai pemain dalam tim, semua orang mempunyai tujuan untuk memperoleh kemenangan. Untuk memperoleh kemenangan maka setiap pemain (baik tunggal maupun dalam tim) mempunyai strategi bersaing. Suatu strategi bersaing apabila diterapkan dalam permainan maka dalam proses yang sedang berlangsung orang lain dapat memberikan komentar yang positif atau negatif terhadap permainan tersebut. Pemanfaatan ruang dan penggunaan ruang bagi aktor ekonomi terutama ditujukan kepada fungsi ekonominya, di samping juga dapat diselimuti oleh kombinasi dengan aspek lain seperti politik, sosial, budaya dan seterusnya. Pemindahan atau pendistribusian barang dan jasa dari suatu tempat ke tempat lain merupakan inti dari kegiatan perdagangan. Gerakan “memperoleh barang dari tempat lain” ini, istilah yang diajukan Polanyi (1957). Bagaimana menjadikan suatu ruang, sebagai tempat yang strategis atau bagaimana memperoleh ruang yang strategis sehingga posisi yang ditempati menghasilkan sesuatu yang menguntungkan (segi finansial, akses kepada pembeli,
Universitas Sumatera Utara
44
waktu, dan seterusnya). Pertanyaan pertama berkaitan dengan sesuatu (ruang) yang telah ada sedangkan yang kedua berhubungan dengan sesuatu yang belum ada. Ada beberapa strategi yang dilakukan oleh para aktor ekonomi untuk menjadikan suatu ruang sebagai tempat yang strategis, hal yang berkaitan dengan aspek ruang itu sendiri dan yang berhubungan dengan aspek manusia. Strategi yang disebut pertama dimaksudkan untuk memperindah dan mempercantik ruang sehingga menarik orang untuk memperhatikan atau sekedar melirik tempat tersebut. Pasar sebagai arena perdagangan berkembang pada tempat-tempat di mana dilalui oleh lalu lintas. Pentingnya jalur transportasi terhadap tumbuh, berkembang, dan matinya suatu lokasi pasar menciptakan suatu kolusi antara pengusaha dan penguasa untuk mengatur suatu “kebijakan” tentang pengaturan jalur kenderaan umum. Pada beberapa kota besar di Indonesia banyak ditemukan jalan yang macet karena kenderaan harus melewati suatu lokasi tertentu, sementara jalan-jalan yang berdekatan dengannya sepi karena kenderaan dilarang melalui jalur tersebut. Di sisi lain para pembeli tidak harus datang ke tempat di mana barang tersebut ditawarkan dan pedagang tidak harus menyediakan ruang untuk memamerkan barang yang ingindijual, tetapi juga ia memainkan aspek waktu yaitu penggunaan waktu secara efektif dan efisien oleh pedagang dan pembeli. Menurut Damsar (1997), kalau ditelusuri akar dari strategi ini di Indonesia, maka dapat dirujuk kepada kegiatan dagang yang dilakukan oleh pedagang bakul atau pedagang keliling. Mereka berdagang dengan mendatangi beranda rumah calon pembeli. Para calon pembeli dapat memilih barang menurut jenis kualitas dan jumlah barang yang ditawarkan
Universitas Sumatera Utara
45
misalnya hanya membeli dua buah produk dan melakukan tawar-menawar dengan penjual.
2.6.3. Waktu Prinsip dagang yang dipakai oleh perusahaan dagang negara maju maupun pedagang keliling mempunyai kesamaan yaitu prinsip “menjemput bola”. Prinsip ini bercirikan pedagang mendatangi, menawarkan, dan menjual langsung ke beranda rumah (calon) pembeli. Pemindahan atau pendistribusian barang dari satu tempat ke tempat lain dilihat dari penggunaan dan pemanfaatan aspek waktu juga mempunyai fungsi ekonomi. Bagaimana mempermainkan waktu sehingga ia menjadi saat yang strategis untuk melakukan transaksi merupakan pertanyaan dimensi permainan dari aspek waktu. Penyimpanan atau penimbunan suatu komoditas merupakan suatu kegiatan untuk mengantisipasi suatu permintaan. Naik turunnya permintaan terhadap suatu barang menyebabkan munculnya kebutuhan aktor pasar untuk menyimpan dan menimbun komoditas tersebut.
2.7. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang pasar tradisional yang telah dilakukan, memberikan gambaran yang hampir bersamaan tentang keberadaan pasar tradisional tersebut, penelitian terdahuku antara lain dilakukan oleh: Siagian dan Sitorus (1996) melakukan studi tentang Pola Penyebaran Pasar Tradisional di Kota Medan. Penelitian ini mencoba untuk melihat bagaimana pola
Universitas Sumatera Utara
46
penyebaran pasar-pasar tradisional menurut lokasi dan kelasnya (faktor fisik) di Kota Medan dan hubungannya dengan faktor non fisik (seperti, kebersihan) yang nantinya dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang memerlukannya. Khususnya pihak perencana kota, sehingga keberadaan pasar tradisional yang masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat dapat lebih diperhatikan. Sudarjat dan Dalimunthe (1992) melakukan penelitian yang berjudul Analis Pemanfaatan Kredit Bank Bagi Usaha kecil (Studi Kasus Pedagang Pengecer di Pusat Pasar Petisah Medan). Penentuan sistem dan cara pedagang pengecer Sembilan bahan pokok memperoleh modal usahanya, melalui kredit yang diperoleh dari para tengkulak, serta sebahagian dengan meminjam dari keluarga dan hanya sebagian kecil yang melalui jasa keuangan perbankan. Haris (2001) melakukan studi tentang peranan pasar tradisional dalam meningkatkan pendapatan pedagang dan kaitannya dengan pengembangan wilayah kota medan (studi kasus pasar tradisional di PD pasar medan). Penelitian ini menghasilkan bahwa pemberian bantuan modal berdagang sangat mebantu pedagang, dan secara umum modal yang diberikan semakin berkembang sehingga semakin banyak pedagang yang mendapatkan bantun modal, pengenaan tarif kontribusi kepada pedagang berdasarkan luas tempat usaha, jenis barang yang didagangkan dan kelas pasar tempat berdagang. Pasar tradisional berperan dalam perekonomian masyarakat khususnya penyediaan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
Universitas Sumatera Utara
47
2.8 Kerangka Berpikir PROFIL PEDAGANG TRADISIONAL DI KECAMATAN DELI TUA
Peran Pedagang Tradisional
Meningkatkan Pendapatan Pedagang
Menciptakan Lapangan Kerja
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Pedagang Tradisional
Modal
Jam Kerja
Lama Kerja
Lokasi
Pendidikan
Pengembangan Ekonomi Wilayah
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir 2.9. Hipotesis Modal, jam kerja, lama berjualan, lokasi usaha, dan tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap pendapatan pedagang tradisional pekerja sektor informal di Kecamatan Deli Tua.
Universitas Sumatera Utara