TINJAUAN PUSTAKA Paphiopedilum glaucophyllum J.J. Smith Paphiopedilum glaucophyllum pertama kali ditemukan oleh B.J.C. Verhey pada tahun 1897 disekitar pegunungan dekat Turen di wilayah Jawa Timur, pada ketinggian 200 sampai 300 meter diatas permukaan laut. Paphiopedilum glaucophyllum merupakan anggrek tropis yang hanya ditemukan di pulau Jawa, tersebar disekitar pegunungan wilayah barat sampai timur. Habitat dari anggrek ini bervariasi pada setiap daerah, tetapi secara umum merupakan anggrek litofit yang habitatnya pada lereng gunung yang curam dan terbuka, tidak ternaungi oleh pepohonan besar. Sebagian besar spesies Paphiopedilum glaucophyllum ditemukan tumbuh pada batuan kapur lapuk yang dilapisi lumut dan humus dibagian permukaannya (Cribb, 1998). Ukuran tanaman Paphiopedilum glaucophyllum sedang, bentuk daun sedikit oblong-elliptic sampai loriform dengan ujung tumpul membulat, dengan panjang 20 – 28.5 cm dan lebar 4.5 – 5.3 cm. Warna daun hijau dan memiliki pola yang cukup jelas saat masih muda, kemudian memudar saat daun telah dewasa. Jumlah daun sekitar empat sampai enam pada setiap tanaman. Panjang tangkai bunga 15 – 20 cm dengan warna dasar hijau serta motif ungu yang jelas dan bulu yang halus. Satu tangkai bunga dapat membentuk bunga sampai dua puluh kali atau lebih, dengan menghasilkan satu bunga secara berulang dari tangkai yang sama (sequential), bunga selanjutnya akan berkembang setelah bunga pertama gugur. Bunganya memiliki stamen dan pistill, serta alat perhiasan bunga yang terdiri dari dorsal sepal, synsepal, labellum, dan sepal, seperti disajikan pada Gambar 1. Sebagian besar spesies Paphiopedilum umumnya secara alami menyerbuk silang dengan bantuan serangga (Cribb, 1998).
5
Gambar 1. Morfologi Bunga Paphiopedilum glaucophyllum J.J. Smith Reproduksi secara alami dapat melalui biji (secara generatif) ataupun tunas anakan yang muncul dari bagian pangkal batang (secara vegetatif). Biji dalam buah mencapai fase kematangan antara sembilan sampai dua belas bulan setelah terjadi fertilisasi. Buah yang matang dan cukup kering akan pecah dan biji akan tersebar dengan bantuan angin. Perkecambahan akan terjadi segera setelah biji tersebar pada tanah yang tertutup humus dan gelap atau pada media tumbuh yang sesuai. Protocorm yang terbentuk setelah perkecambahan menghasilkan rizoid yang bersimbiosis dengan mikoriza. Secara vegetatif, tanaman dewasa dapat menghasilkan tunas pada pangkal batang yang akan berkembang sebelum tanaman
induk
selesai
berbunga
(Cribb,
1997).
Morfologi
tanaman
Paphiopedilum glaucophyllum disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Morfologi Tanaman Paphiopedilum glaucophyllum J.J. Smith
6 Tanaman dalam famili anggrek memiliki keragaman yang sangat luas. Klasifikasi anggrek dapat dilakukan berdasarkan banyak faktor seperti morfologi (terutama bunga), karakteristik pertumbuhan vegetatif, ekologi, penyerbukan (mekanisme dan vektor), sitologi dan sitogenetik, evolusi, biokimia, fitokimia, dan anatomi (Arditti, 1998). Taksonomi Paphiopedilum glaucophyllum adalah sebagai berikut (Cribb, 1998) : Famili
: Orcidaceae
Sub famili
: Cypripedioideae
Genus
: Paphiopedilum
Spesies
:P. glaucophyllum
Perbanyakan Paphiopedilum Secara In Vitro Perbanyakan Paphiopedilum melalui perkecambahan biji secara in vitro sangat baik untuk diterapkan. Usaha untuk mengecambahkan biji anggrek dilakukan secara simbiotik, sebelum ditemukannya metode perbanyakan tanaman secara in vitro. Metode simbiotik dilakukan dengan menebarkan biji anggrek pada permukaan media atau kompos dari tanaman induk. Keberhasilan biji untuk dapat berkecambah melalui metode tersebut sangat kecil, hanya sekitar 10 persen. Metode in vitro dapat mengecambahkan biji anggrek dengan persentase biji berkecambah sampai dengan 100 %. Perbanyakan Paphiopedilum secara konvensional sangat lambat, metode pengecambahan biji anggrek secara in vitro dapat mempercepat perbanyakannya (Bennet, 1985). Anggrek tertentu memiliki kriteria yang lebih khusus agar mampu berkecambah dengan baik pada media in vitro. Paphiopedilum merupakan salah satu anggrek yang membutuhkan media khusus untuk perkecambahan bijinya. Media RE merupakan formulasi media yang sangat baik untuk perkecambahan Paphiopedilum secara in vitro (Arditti, 1992). Komposisi media RE disajikan pada Lampiran 1. Regenerasi tanaman secara in vitro dapat dilakukan secara tidak langsung melalui pembentukan kalus yang memiliki sifat totipotensi. Kalus totipotensi dapat diinduksi dari biji, seperti yang dilakukan pada biji Paphiopedilum hibrida hasil
persilangan
antara
Paphiopedilum
callosum
dan
Paphiopedilum
lawrenceanum. Pembentukan dan proliferasi kalus dari biji hasil persilangan
7 kedua spesies tersebut diperoleh pada media yang ditambahkan kombinasi Thidiazuron (TDZ) dan 2.4-D. Penambahan kombinasi TDZ dan 2.4-D ke media pada konsentrasi 1 mg/l dan 5 mg/l memberikan hasil yang baik dalam memelihara kalus tetap pada kondisi proliferasi. Kalus yang dihasilkan kemudian menunjukkan kemampuan regenerasinya saat dilakukan pemindahan pada media baru yang diformulasikan untuk regenerasi planlet. Penginduksian kalus pada media dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang sama dari eksplan batang, ujung akar, dan daun Paphiopedilum hibrida tersebut menghasilkan kalus yang perkembangannya sangat lambat (Yung-Haw et al, 2000). Perbanyakan Paphiopedilum philippinense hibrida (hibrida PH59 dan PH60) dapat dilakukan dengan cara multiplikasi tunas dan regenerasi tanaman dari eksplan batang berbuku tanaman in vitro. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah Thidiazuron (TDZ) dan 2.4-D (Ting-Yu et al, 2002). Tunas adventif dapat terbentuk dari eksplan daun pada hibrida PH59 tanpa menggunakan ZPT dalam kondisi gelap selama satu bulan, pada modifikasi media MS. Eksplan daun pada Hibrida PH60 tidak membentuk tunas pada kondisi yang sama (TingYu et al, 2004). Jumlah tunas per eksplan dapat meningkat atau terhambat dengan penambahan TDZ dan 2.4-D. Konsentrasi 1 mg/l TDZ dapat meningkatkan jumlah tunas per eksplan pada Hibrida PH59. Perlakuan 1 mg/l 2.4-D ditambah 0.12 mg/l TDZ dapat mendorong pembentukan tunas pada Hibrida PH60. Paphiopedilum philippinense hibrida menunjukkan respon yang berbeda terhadap masing-masing perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan regenerasi tanaman dipengaruhi oleh faktor genotipe (Ting-Yu et al, 2004).
Multiplikasi Tunas Secara In Vitro Multiplikasi tunas merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Multiplikasi tunas dapat diinduksi dari mata tunas aksilar ataupun dari benih yang ditanam pada media yang mengandung sitokinin. Tunas aksilar atau tunas adventif akan tumbuh dan selanjutnya di subkultur. Tahapan dalam perbanyakan melalui multiplikasi tunas secara langsung diawali dengan tahap inisiasi yang dilanjutkan dengan tahap multiplikasi tunas. Pada kedua tahap tersebut dapat terjadi pada media yang sama
8 tanpa melalui pemindahan ke media baru. Tahap selanjutnya adalah pengakaran tunas adventif yang telah dihasilkan untuk mendapatkan planlet. Perbanyakan melalui multiplikasi tunas merupakan metode yang banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro karena selain cepat juga memiliki peluang yang kecil untuk terjadinya penyimpangan secara genetik (Wiendi et al, 1991). Perbanyakan tanaman secara in vitro terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman, diantaranya adalah : 1. Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan 2. Fisiologi jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan 3. Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan 4. Lingkungan tumbuh, yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan. Keempat faktor tersebut saling berinteraksi dan harus bersinergis satu dengan lainnya sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan optimal dan diperoleh tanaman lengkap (Wiendi et al, 1991). Terdapat lima tipe dasar dalam regenerasi tanaman secara vegetatif pada perbanyakan tanaman secara in vitro, yaitu pemanjangan pucuk meristem (meristem-tip
elongation),
pembentukan
tunas
samping
(axyllary
shoot
production), inisiasi tunas adventif (adventitious shoot initiation), organogenesis, dan embriogenesis. Pembentukan tunas samping adalah titik tumbuh samping dari eksplan pada bagian atas dari buku dan bawah meristem apikal yang terstimulasi untuk tumbuh. Pertumbuhan dari tunas samping tersebut menghasilkan multiplikasi yang cepat dimana jumlah tanaman yang diperoleh meningkat secara eksponensial melalui subkultur berulang (Hartmann dan Kester, 1983). Induksi tunas adventif secara langsung dari akar, daun, dan organ lain dari tanaman merupakan metode yang umum digunakan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan hasil pemotongan bagian tanaman mampu diinduksi membentuk tunas adventif. Tunas adventif dapat berkembang secara langsung dari eksplan itu sendiri atau secara tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Pembentukan tunas adventif secara umum mampu menghasilkan rataan multiplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dari tunas samping. Pada organogenesis, terjadi inisiasi tunas adventif dan akar secara bersamaan dari
9 kalus. Organogenesis diawali dari peningkatan jumlah vakuola dan sebagian besar sel parenkima pada kalus mampu berkembang menjadi meristemoid, kemudian mengalami inisiasi menjadi organ pada kondisi kultur in vitro yang sesuai. Proses tersebut sama dengan inisiasi tunas adventif dari eksplan, yang berbeda adalah periode proliferasi kalus (Hartmann dan Kester, 1983). Multiplikasi merupakan suatu tahap dalam perbanyakan tanaman secara in vitro yang bertujuan meningkatkan jumlah propagula tanaman yang kemudian diakarkan sehingga menghasilkan tanaman lengkap. Multiplikasi tunas vegetatif bergantung pada pembentukan tunas samping atau inisiasi tunas adventif dari jaringan dibagian dasar tunas yang membentuk kalus. Multiplikasi akan terus terjadi dengan interval yang tetap dan pada tahap yang berurutan. Kemampuan untuk multiplikasi tunas dipengaruhi spesies tanaman dan metode perbanyakan yang digunakan. Kondisi kultur yang ideal dapat meningkatkan multiplikasi tunas. Keberhasilan multiplikasi dapat dilihat dari planlet yang dihasilkan, yaitu memiliki ukuran seragam dan dapat segera tumbuh pada media baru (Hartmann dan Kester, 1983). Massa dari propagula tanaman yang telah membentuk banyak tunas harus diketahui batas kritisnya, jika terlalu banyak harus dilakukan pemisahan dan dipindahkan pada media baru (subkultur). Pemanjangan pada satu tunas saja dapat menghambat sejumlah besar tunas lainnya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan meletakan massa dari propagula tanaman secara horizontal pada media untuk multiplikasi selanjutnya, atau dilakukan pemisahan dahulu sebelum dipindahkan ke media baru. Frekuensi subkultur sangat penting, jika terlambat dapat menyebabkan deteriorasi dan lambat untuk memperbaiki pertumbuhannya. Subkultur mungkin diperlukan setelah dua sampai empat minggu dan kondisi kultur in vitro harus disesuaikan dengan pertumbuhan yang semakin memanjang (Hartmann dan Kester, 1983). Pemilihan ZPT yang sesuai dan konsentrasi yang optimum dalam media kultur in vitro sangat penting untuk dapat menghasilkan planlet yang seragam (Hartmann dan Kester, 1983). Penggunaan auksin rendah dan sitokinin tinggi secara umum dapat menginduksi pembentukan tunas dari kalus. Sitokinin yang tinggi digunakan untuk menghasilkan proliferasi tunas samping (axillary shoot),
10 konsentrasi yang biasa digunakan adalah 1 mg/l sampai 5.63 mg/l. Auksin tidak mendorong pembentukan tunas samping, tetapi penambahan auksin rendah membantu dalam mengendalikan pengaruh konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi pada pemanjangan tunas samping dan memperbaiki pertumbuhan tunas secara normal (Chawla, 2002).
Media MS (Murashige dan Skoog) dan KC (Knudson C) Pada Perbanyakan Anggrek secara In Vitro Media KC (Knudson C) dan VW (Vacin dan Went) merupakan media yang paling umum digunakan dalam perbanyakan anggrek secara in vitro, baik untuk perkecambahan biji ataupun perbanyakan klonal menggunakan jaringan meristem (mericlone) (George dan Sherrington, 1984). Dua media tersebut didisain secara khusus untuk perkecambahan biji anggrek. Komposisi hara mineralnya lebih sederhana dibandingkan dengan media yang digunakan untuk kultur jaringan tanaman lain, salah satunya media MS (Murashige dan Skoog) (Goh,
1990).
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkecambahan biji anggrek secara in vitro, salah satunya adalah hara mineral dalam media. Kebutuhan hara mineral pada anggrek, khususnya untuk perkecambahan biji, secara umum membutuhkan media yang memiliki unsur hara sederhana dan konsentrasi rendah. Media KC dan VW sangat baik digunakan untuk perkecambahan biji anggrek (Chawla, 2002). Media KC banyak digunakan dalam perbanyakan anggrek secara in vitro, terutama untuk pengecambahan biji (Suryowinoto, 1996). Media MS telah digunakan secara luas untuk berbagai keperluan perbanyakan tanaman secara in vitro. Dalam perkembangannya, media MS menunjukkan komposisi nutrisi yang penting serta konsentrasinya yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Chawla, 2002). Media MS digunakan dalam perbanyakan klonal beberapa anggrek simpodial (Cattleya, Brassavola, Dendrobium, Miltonia, dan Brassia) dan monopodial (Phalaenopsis, Ascocentrum, Aerides, dan Neofinetia) sebagai media inisiasi, proliferasi, dan perakaran (Jones dan Tisserat, 1990). Media dasar MS dan modifikasinya digunakan dalam perbanyakan in vitro anggrek Cymbidium aloifolium dan
11 Dendrobium nobile, dengan eksplan yang digunakan adalah potongan melintang batang (thin cross section) dari ruas batang planlet in vitro (Nayak et al, 2002). Induksi kalus dari eksplan tunas planlet in vitro Dendrobium fimbriatum var. Oculatum menggunakan modifikasi media KC (Roy dan Banerjee, 2003). Pada perbanyakan anggrek Satyrium nepalense melalui pengecambahan biji secara in vitro, biji yang ditanam pada media MS menunjukan persentase berkecambah tertinggi, yaitu 60.5 %. Pada media KC, persentase biji berkecambah 40 %. Embrio pada media MS mengalami pembesaran dan berkembang mengarah pada pembentukan protocorm. Pada media KC, embrio tetap dalam kondisi pembesaran. Protocorm menunjukan perkembangannya menghasilkan primordia daun dan rizoid setelah 12 minggu (Mahendran dan Bai, 2009).
Sitokinin Sitokinin sangat efektif dalam mendorong pembentukan tunas baik melalui organogenesis secara langsung atau tidak langsung, dimana kalus terlebih dahulu terbentuk (George dan Sherrington, 1984). Sitokinin memiliki banyak pengaruh pada konsentrasi sekitar 0.13 x 10-4 - 1.30 x 10-4 mg/l, salah satunya adalah menginduksi
pembentukan
tunas
pada
kultur
kalus
in
vitro
dengan
mengkombinasikannya pada nisbah yang tepat dengan auksin. Pemanfaatan sitokinin pada anggrek diantaranya adalah menginisiasi pembelahan sel dalam kultur jaringan, meningkatkan produksi planlet dari kultur kalus in vitro, menghasilkan multiplikasi planlet dari tunas lateral pada kultur tangkai bunga Phalaenopsis, dan menginduksi pembungaan pada jenis anggrek tertentu seperti Dendrobium dan Aranda hibrida. Penggunaan Benzil Adenin (BA) pada konsentrasi 10 - 100 mg/l dengan cara disemprotkan dapat meningkatkan jumlah tunas lateral pada tanaman Paphiopedilum. Pada konsentrasi 1 – 5 mg/l BA dalam bentuk pasta lanolin, dapat digunakan untuk mematahkan dormansi buku tangkai bunga Phalaenopsis (Arditti, 1992). Zeatin efektif dalam menginduksi protocorm like bodies (plb) pada Cymbidium aloifolium. Sekitar 89 % eksplan irisan melintang batang (thin cross section) menghasilkan plb pada media MS yang ditambahkan 3 mg/l Zeatin. Pada
12 Dendrobium nobile, media MS dengan penambahan 2.5 mg/l BA menghasilkan 87 % plb (Nayak et al, 2002). Pada perbanyakan mikro Dendrobium draconis, penggunaan BA lebih berpengaruh terhadap pembentukan plb dari pada Kinetin. Pengaruh tertinggi diperoleh pada konsentrasi 2 mg/l BA, dimana eksplan potongan melintang batang (thin cross section) dari planlet in vitro menghasilkan 58 % plb (Rangsayatorn, 2009). Eksplan potongan plb dari Cymbidium Twilight Moon ’Day Light’ menghasilkan kalus tertinggi pada media VW dengan penambahan 0.1 mg/l NAA yang dikombinasikan dengan 0.01 mg/l Thidiazuron (TDZ). Penggunaan NAA (konsentrasi 0.05 mg/l dan 2 mg/l) atau 2.4-D (konsentrasi 0.005 mg/l, 0.1 mg/l, dan 0.25 mg/l) tanpa dikombinasikan dengan TDZ tidak menghasilkan kalus dari eksplan, kalus terbentuk pada saat TDZ ditambahkan pada kedua jenis auksin tersebut (Huan et al, 2004). Penggunaan TDZ secara tunggal atau kombinasinya dengan 2.4-D efektif dalam menginduksi multiplikasi tunas dari eksplan ruas batang planlet dua jenis Paphiopedilum philippinense hibrida (hibrida PH59 dan PH60). Pada hibrida PH59, 1 mg/l 2.4-D dikombinasikan dengan 0.1 mg/l TDZ menghasilkan persentase eksplan bertunas yang tinggi dibandingkan dengan media tanpa ZPT. Pada hibrida PH60, jumlah eksplan bertunas tertinggi diperoleh dari media dengan penambahan 1 mg/l 2.4-D secara tunggal (Ting-Yu et al, 2002). Sitokinin jenis BA lebih efektif dibandingkan dengan Kinetin dan TDZ dalam menginduksi plb dari dua jenis eksplan, protocorm dan daun Aerides crispum. Eksplan protocorm menghasilkan plb sebanyak 49.1 per eksplan pada media yang ditambahkan 0.2 mg/l BA. Eksplan daun menghasilkan 22.0 plb per eksplan pada media yang ditambah dengan 0.4 mg/l BA (Sheelavanthmath et al, 2005). Kombinasi 1 mg/l TDZ dengan 5 mg/l 2.4-D dapat menginduksi kalus dari biji Paphiopedilum Alma Gavaert. Kalus yang terbentuk dapat menghasilkan tunas ketika dipindahkan pada media baru dengan penambahan 5 mg/l NAA. Penggunaan kinetin menyebabkan multiplikasi dari tunas yang telah dihasilkan sebelumnya. Kinetin pada konsentrasi 1 mg/l dapat menginduksi multiplikasi tunas dari tunas tunggal Paphiopedilum Alma Gavaert (Pou-Leng et al, 2008).