TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol Kata Ultisol berasal dari bahasa latin “ultimus” yang berarti terakhir atau pada kasus-kasus Ultisol, tanah yang mengalami pelapukan terbanyak dan hal tersebut memperlihatkan pengaruh pencucian paling akhir. Terdapat kejenuhan aluminium yang tinggi (Foth, 1995). Menurut Soil Survey Staff (2014) menyebutkan bahwa tanah Ultisol mempunyai horizon argilik atau horizon kandik, dengan kejenuhan basa (jumlah kation) kurang dari 35 % pada horizon tanah yang lebih rendah. Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah temprate sampai tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal. Dalam legend of soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian tanah laterik serta sebagian besar tanah podsolik, terutama tanah podsolik merah kuning (Munir, 1996). Ultisol dapat berkembang dari bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya pada tingkat grup berdasarkan batuan pembentuk tanah yaitu Hapludults mempunyai sebaran terluas. Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basabasa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Dari lima sub ordo dalam kelompok Ultisol, yang termasuk tanah-tanah pertanian utama adalah Udults yaitu Ultisol yang terbentuk diwilayah basah, dengan rezim kelembaban tanah udik atau perudik; Humults yaitu Ultisol didaerah
pegunungan dengan iklim lembab sampai agak kering, dengan kandungan humus tinggi; Ustults yaitu Ultisol yang terdapat diwilayah agak kering sampai kering yang miskin humus dengan rezim kelembaban tanah ustik; dan Aquults yaitu Ultisol di tempat yang rendah dan basah, dimana air tanah dekat permukaan tanah, dalam waktu yang lama dalam setahun (Subagyo, dkk., 2004). Menurut Adiwiganda, dkk (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sistem klasifikasi USDA, telah ditemukan 15 famili tanah pada areal kelapa sawit di Indonesia, untuk tanah Ultisol terdapat 6 famili tanah yaitu Typic Hapludults, Typic Paleudults, Psammentic Paleudults, Typic Plinthudults, Typic Ochraquults, dan Typic Paleaquults. Typic Hapludults merupakan sub grup tanah Ultisol yang diperoleh dari kunci sub ordo yaitu Udults, dengan kunci grup hapludults yang artinya sesuai pada pilihan terakhir dari jenis grup sebelumnya. Typic Paleudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults dengan kunci grup Paleudults yang mempunyai distribusi liat yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Psammentic Paleudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults yang merupakan Paleudults lain yang mempunyai tekstur pasir halus berlempung atau lebih kasar di seluruh horizon argilik atau horizon argilik yang mempunyai lamela dalam sebagian atau seluruh 100 cm bagian atas (Soil Survey Staff, 2014) Typic Plinthudults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Udults dengan grup plinthudults yang berarti Udults yang mempunyai plintit yang membentuk fase kontinyu atau menyusun lebih dari setengah matriks dari
sub horizon didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Typic Ochraquults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults dengan kunci grup Ochraquults yang mempunyai epipedon okrik. Typic Paleaquults adalah sub grup tanah Ultisol yang mempunyai sub ordo Aquults mempunyai distribusi liat yang persentasenya tidak menurun sebanyak 20 persen dari jumlah maksimum didalam kedalaman 150 cm dari permukaan tanah. Tanah Ultisol yang termasuk kedalam grup Plinthudults artinya Ultisol yang berada didaerah dengan regim kelembaban tanah udic, yang mana pada satu atau lebih horizon tanahnya pada antara 0-150 cm terdapat plinthite. Plinthite jika teroksidasi akan membentuk konkresi besi bahkan batu besi (ironstone) yang dapat menganggu sistem perakaran tanaman. Faktor-faktor pembentuk tanah yang paling dominan pada pembentukan Ultisol adalah iklim dengan rata-rata curah hujan dari 2.500 – 3.500 mm per tahun, terdapat lebih dari tiga bulan kering Af-Am (koppen) serta A, B, dan C. bahan induk umumnya berupa tuff masam, batu pasir serta bahan-bahan endapan dari pasir masam. Topografi atau bentuk permukaan tanahnya bervariasi dari bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian diatas muka laut lebih dari 3 m. Dan vegetasi utama umumnya berupa hutan tropika basah, padang alang-alang, melastoma dan paku-pakuan (Munir, 1995). Sifat Fisik dan Kimia Tanah Ultisol Tekstur tanah Tekstur tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir, sedangkan tanah Ultisol dari
batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus. Ultisol mempunyai struktur sedang hingga kuat, dengan bentuk gumpal bersudut. Komposisi mineral pada bahan induk tanah mempengaruhi tekstur Ultisol. Bahan induk yang didominasi mineral tahan lapuk kuarsa, seperti pada batuan granit dan batu pasir, cenderung mempunyai tekstur yang kasar. Bahan induk yang kaya akan mineral mudah lapuk seperti batuan andesit, napal, dan batu kapur cenderung menghasilkan tanah dengan tekstur yang halus (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Tanah-tanah yang bertekstur pasir, karena butir-butirnya berukuran lebih besar, maka setiap satuan berat (misalnya setiap gram) mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah-tanah bertekstur liat, karena lebih halus maka setiap satuan berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hardjowigeno, 2003). Tekstur atau ukuran besar butir, bukan saja berpengaruh terhadap penetapan klasifikasi tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Tanah-tanah yang terbentuk dari batuan sedimen masam dicirikan oleh tekstur yang bervariasi dari pasir hingga liat. Suharta (2007) mengatakan bahwa batuan sedimen masam di provinsi Kalimantan Barat terdiri atas batu pasir, batu lanau, dan batu liat. Batu pasir dicirikan oleh kandungan pasir yang tinggi, batu liat dengan kandungan liat yang tinggi, dan batu lanau dengan kandungan debu yang tinggi. Fraksi pasir, debu dan liat mempunyai keeratan
hubungan, bahwa dengan meningkatnya kandungan liat dan atau debu, maka akan diikuti oleh penurunan kandungan pasir dan atau sebaliknya. Tanah merah dapat mempunyai tekstur liat, dan tergolong pada liat berat dengan kandungan fraksi liat >60%, hingga lempung berpasir dengan kandungan fraksi pasir <60%. Bahan induk tanah memegang peran penting pada tekstur tanah merah. Tanah merah yang terbentuk dari bahan volkan andesitik-basaltik dan bahan batu kapur akan cenderung mempunyai kandungan fraksi liat yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh komposisi awal mineral dari bahan induk tersebut yang kaya akan mineral mudah lapuk. Sebaliknya, tanah merah yang mempunyai bahan induk bersifat masam seperti batuan sedimen pasir, batuan beku granit ataupun batuan tufa, akan cenderung mempunyai kandungan fraksi pasir yang tinggi, karena batuan tersebut didominasi oleh mineral yang tahan terhadap pelapukan seperti kuarsa dan opak, sehingga bila pelapukan berlanjut mineral tahan lapuk kuarsa dan opak yang tersisa pada fraksi pasirnya (Prasetyo, 2009). Tekstur tanah selain berpengaruh langsung terhadap sifat fisik tanah, juga berpengaruh terhadap sifat kimia tanah. Kandungan pasir berkorelasi negatif sangat nyata dengan C, N, P, dan K potensial, dan Al-dd. Hal ini dijelaskan bahwa pada tanah yang bertekstur kasar, kemampuan tanah mengikat bahan organik dan juga basa-basa dapat tukar tergolong rendah. Selain itu hara pada tanah bertekstur kasar terjadi intensif dibandingkan tanah bertekstur halus. Berbeda dengan fraksi pasir, maka fraksi liat mempunyai kemampuan mengikat basa-basa dapat tukar lebih tinggi seperti di tunjukkan oleh adanya korelasi positif sangat nyata antara fraksi liat dengan P dan K potensial, Mg-dd, K-dd, KTK tanah, kejenuhan basa, dan Al-dd. Keeratan hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi fraksi liat,
baik pada horizon atas maupun pada horizon bawah, maka semakin baik sifat kimianya, kecualii kejenuhan aluminium yang meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan fraksi liat (Suharta, 2007). Suharta dan Prasetyo (2008) mengatakan bahwa tekstur tanah untuk pedon dari batu liat adalah liat, dan dari batu pasir adalah lempung liat berpasir (liat hingga lempung berpasir). Kandungan pasir dari pedon berbahan induk batu pasir berkisar antara 54 hingga 76%, sedangkan kandungan pasir dari pedon berbahan induk batu liat berkisar antara 10 hingga 39%. Sebaliknya kandungan liat dari pedon berbahan induk batu pasir berkisar dari 8 hingga 35%, dan yang berbahan induk batu liat berkisar antara 38 hingga 63%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekstur tanah sangat dipengaruhi oleh jenis bahan induk tanah. Bahan induk batu liat menghasilkan tanah dengan kandungan liat tinggi, sedangkan batu pasir menghasilkan tanah dengan kandungan pasir tinggi. pH (potensial hidrogen) tanah pH tanah merupakan suatu ukuran intensitas kemasaman, bukan ukuran total asam yang ada ditanah tersebut. Pada tanah-tanah tertentu seperti tanah liat berat, gambut yang mampu menahan perubahan pH atau kemasaman yang lebih besar dibandingkan dengan tanah yang berpasir. Tanah yang mampu menahan kemasaman
tersebut
dikenal
sebagai
tanah
yang
berpenyangga
baik
(Mukhlis, 2014). Nilai pH tanah sangat mempengaruhi kelarutan unsur yang cenderung berseimbang dengan fase padat. Kelarutan oksida-oksida atau hidroksida Fe dan Al secara langsung bergantung pada konsentrasi ion hidroksil (OH) dan kelarutannya menurun jika pH meningkat. Kelarutan Fe-fosfat, Al-fosfat, dan Ca-
fosfat amat bergantung pada pH, demikian juga kelarutan anion-anion molibat (MoO4) dan SO4 yang terjerap (Damanik, dkk., 2011). Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa reaksi tanah pada tanah Ultisol pada umumnya sangat masam hingga masam (pH 3,10-5), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping
yang mempunyai reaksi netral hingga agak
masam (pH 6,80-6,50). pH tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanah dan bisa menjadi faktor yang berhubungan dengan kualitas tanah. pH tanah sangat penting dalam menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme tanah yang berhubungan dengan proses-proses yang sangat erat kaitannya dengan siklus hara, dekomposisi dan sintesa senyawa kimia organik (Sudaryono, 2009). Tingkat kemasaman setiap tanah berbeda dan nilainya sangat dinamis. Nilai pH tanah selalu berubah sesuai perubahan-perubahan reaksi kimiawi yang terjadi didalam tanah. Perubahan reaksi kimia didalam tanah dapat disebabkan oleh pengaruh tindakan budidaya pertanian, pengelolaan tanah dan atau di pacu oleh faktor tanah dan faktor iklim. Meningkatnya kemasaman pada lahan pertanian dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: 1) pegunaan pupuk komersial khususnya pupuk NH4+ yang menghasilkan H+ selama nitrifikasi, 2) pengambilan kation-kation oleh tanaman melalui pertukaran dengan H+, 3) pencucian kation-kation yang digantikan oleh H+ dan Al3+, 4) dekomposisi residu organik (Damanik, dkk., 2011). Reaksi tanah sangat mempengaruhi ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Pada reaksi tanah yang netral, yaitu pH 6,5-7,5, maka unsur hara tersedia dalam jumlah yang cukup banyak (optimal). Pada pH tanah kurang dari 6,0 maka ketersediaan unsur-unsur fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan molibdenum
menurun dengan cepat. Sedangkan pH tanah lebih besar dari 8,0 akan menyebabkan unsur-unsur nitrogen, besi, mangan, borium, tembaga, dan seng ketersediaannya relatif menjadi sedikit (Sarief, 1986). Menurut Hardjowigeno (2003) pentingnya pH tanah untuk diketahui adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah masam unsur hara P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (difiksasi) oleh Al, sedang pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap tanaman karena difiksasi oleh Ca. Nilai pH tanah tidak sekedar menunjukkan suatu tanah asam atau alkali, tetapi juga memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah yang lain, seperti ketersediaan fosfor, status kation-kation basa, status kation atau unsur racun. Kebanyakan tanah-tanah pertanian memiliki pH 4 hingga 8. Tanah yang lebih asam biasanya ditemukan pada jenis tanah gambut dan tanah yang tinggi kandungan aluminium atau belerang. Sementara tanah yang basa ditemukan pada tanah yang tinggi kapur dan tanah yang berada didaerah arid dan dikawasan pantai (Mukhlis, 2014). Kemasaman tanah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain bahan induk tanah, reaksi oksidasi terhadap mineral tertentu, bahan organik, dan pencucian basa-basa. Tanah yang diteliti berasal dar bahan induk yang bersifat intermedier, tidak terdapat mineral yang bila teroksidasi bahan organik rendah. Dalam hal ini pencucian basa-basa merupakan penyebab utama kemasaman tanah (Prasetyo dkk, 2005).
Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd) dalam tanah Tingkat aluminium didalam larutan tanah itu tergantung pula pada kandungan bahan organik tanah dan kandungan garamnya. Aluminium dalam larutan tanah itu menurun apabila bahan organik meningkat, karena bahan organik membentuk kompleks yang sangat kuat dengan aluminium. Aluminium didalam larutan tanah itu meningkat dengan naiknya kandungan garam, karena kation lainlainnya
menggusur
aluminium
dapat
tukar
dengan
gerakan
massa
(Sanchez, 1992). Masalah kejenuhan aluminium (Al) umumnya terjadi pada tanah Ultisol dari bahan sedimen. Bahan sedimen merupakan hasil dari proses pelapukan (weathering) dan pencucian (leaching) baik pelapukan dari bahan volkan, batuan beku, batuan metamorf maupun campuran dari berbagai jenis batuan sehingga mineral penyusunnya sangat bergantung pada asal bahan yang melapuk. Tanah Ultisol dari bahan sedimen sudah mengalami dua kali pelapukan, yang pertama pada waktu pembentukan batuan sedimen dan yang kedua pada waktu pembentukan tanah. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kandungan Al pada batuan sedimen sudah sangat tinggi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Beberapa Ultisol mempunyai pula kejenuhan aluminium yang tinggi terutama pada daerah bawahnya. Beberapa contoh dari Rimba Amazona menunjukkan
nilai pH yang sangat rendah, mungkin karena kandungan
aluminiumnya yang tinggi. Tingkat aluminium dapat ditukar yang sangat tiinggi pada tanah bawah Tropaquult dihubungkan dengan lapisan bermontmorllonit berbintik-bintik yang membebaskan sejumlah besar aluminium (Sanchez, 1992).
Nilai kejenuhan aluminium yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (>60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping. Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan aluminium yang rendah pada lapisan atas (5-8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37-78%). Tampaknya kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Disamping kejenuhan basa ada pula nilai saingan lain yaitu kejenuhan Al dan H. Nilai ini menunjukkan suatu kondisi dimana kompleks jerapan tanah dipenuhi oleh Al atau oleh basa-basa dapat ditukar. Bila tanah dipenuhi oleh basabasa terlarut, maka kompleks jerapan tanah akan mampu memberikan unsur hara yang cukup bagi pertumbuhan tanaman, tetapi sebaliknya bila kompleks jerapan tanah dipenuhi oleh Al dan H, maka tanah akan bersifat masam dan nilai Fe dan Mn akan tinggi dan tanaman tidak dapat mampu tumbuh karena keracunan Al dan Fe serta Mn, sehingga tanaman tumbuh tidak normal dan kerdil. Jadi nilai kejenuhan Al dan H selalu berlawanan dengan nilai kejenuhan basa. Nilai kejenuhan asam di Sangatta berkisar antara 2 – 35 persen, dan nilainya selalu terbalik dengan nilai kejenuhan basa (Sudaryono, 2009). Kejenuhan aluminium pada tanah Ultisol menunjukkan nilai sangat tinggi baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat. Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan kedalaman tanah. Perbedaan antara batuan pasir dan batuan liat, terletak pada jumlah aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd) yang lebih tinggi pada tanah dari batuan liat dibandingkan dengan tanah dari batuan pasir (Suharta dan Prasetyo, 2008).
Salah satu ciri dari tanah-tanah yang terbentuk dari batuan masam adalah tingginya Aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd). Kandungan Al yang tinggi dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman. Untuk mengetahui dominasi kation Al didalam tanah ditunjukkan dengan nilai kejenuhan aluminium (Suharta, 2007). Bahan organik didalam tanah Bahan organik merupakan limbah tumbuhan, hewan, dan manusia. Bahan organik berperan penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air, meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan mikroba tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi bahan organik berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman (Kasno, 2009). Bahan organik merupakan bagian penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik maupun dari segi biologi tanah. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation berasal dari bahan organik. Bahan organik merupakan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi dari sebagian besar organisme tanah. Dalam memainkan peranannya bahan organik sangat ditentukan oleh sumber dan susunannya, oleh kelancaran dekomposisinya, serta hasil dekomposisi itu sendiri (Hakim dkk, 1986).
Rendahnya kandungan bahan organik tanah Ultisol disebabkan oleh tingginya curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Pada skala iklim mikro, curah hujan merupakan faktor iklim yang paling berkuasa yang mempengaruhi jenis tanah di alam tropika. Pengaruh utama curah hujan pada tanah adalah pelapukan, perlindian dan pengembangan tanah (Utomo, 2008). Menurut Nita, dkk (2014) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya persen bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh sumber bahan organik yang berupa jaringan tanaman dan biota tanah. Kandungan bahan organik pada tanah Ultisol diwilayah Sangatta umumnya rendah (0,67-1,57)% akibat dari pencucian basa berlangsung intensif, dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alami hanya ditentukan pada bahan organik di lapisan atas, sehingga kapasitas pertukaran kation hanya tergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat (Sudaryono, 2009). Karbon adalah komponen utama dari bahan organik. Pengukuran Corganik secara tidak langsung dapat menentukan bahan organik melalui penggunaan faktor koreksi tertentu. Faktor yang selama beberapa tahun ini digunakan adalah faktor Van Bemmelen yaitu 1,724 dan di dasarkan pada asumsi bahwa bahan organik mengandung 58% karbon. Beberapa studi menunjukkan bahwa kadar C-organik dalam bahan organik cukup bervariasi didalam tanah. Suatu penelitian menemukan bahwa lapisan tanah bawah (subsoil) memilki faktor yang lebih besar dari permukaan tanah. Permukaan tanah biasanya memiliki faktor 1,8 hingga 2,0. Lapisan tanah bawah sekitar 2,5 (Mukhlis, 2014).
C-organik tanah merupakan akumulasi dari sisa tanaman maupun hewan yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali, umumnya pada tanah yang subur kandungan C-organik sebesar 4-5% dari total berat tanah. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa C-organik tanah sangat mempengaruhi tinggi rendahnya kapasitas tukar kation. Sekitar setengah nilai KTK tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation dua sampai tiga puluh kali lebih besar daripada koloid mineral yang meliputi 30-90 % dari tenaga jerap suatu tanah mineral. Bahan organik akan menghasilkan humus (koloid organik) yang mempunyai permukaan yang dapat menahan unsur hara dan air sehingga kemampuan tanah untuk mengikat unsur-unsur hara meningkat (Nugroho dan Istianto, 2009). Keeratan hubungan antara C-organik dengan sifat kimia tanah lainnya menunjukkan korelasi positif sangat nyata dengan KTK tanah. Kandungan Corganik juga berkorelasi positif sangat nyata dengan kandungan liat, N, P, dan K potensial, Mg-tukar, K-tukar serta Al-dd. Sedangkan dengan kejenuhan basa berkorelasi negatif sangat nyata (Suharta, 2007). Nitrogen tanah Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial, menyusun sekitar 1,5 % bobot tanaman dan berfungsi terutama dalam pembentukan protein. Unsur ini bersifat labil karena mudah berubah bentuk dan mudah hilang baik lewat volatilisasi (gas N2) maupun lewat pencucian (NO3-). Di atmosfer unsur N merupakan unsur dominan karena merupakan 80 % dari gas yang ada, tetapi bentuk gas ini tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pemanfaatannya hanya dapat dilakukan lewat bantuan mikrobia pengikatnya
(fiksasi), yang mengubah bentuk N2 menjadi ammonium (NH4+) yang tersedia bagi tanaman, baik lewat mekanisme simbiotik maupun non simbiotik (Hanafiah, 2005). Bersama unsur fosfor (P) dan kalium (K), nitogen (N) merupakan unsur hara yang mutlak dibutuhkan oleh tanaman. Bahan tanaman kering mengandung sekitar 2 sampai 4 % N, jauh lebih rendah dari kandungan C yang berkisar 40 %. Namun hara N merupakan komponen protein (asam amino) dan khlorofil. Bentuk ion yang diserap oleh tanaman umumnya dalam bentuk NO3- dan NH4+ bagi tanaman padi sawah. Begitu besarnya peranan N bagi tanaman, maka penyediaannya sangat diperhatikan sekali oleh para petani. Surnber N utama tanah adalah dari bahan organik melalui proses mineralisasi NH4+ dan NO3¯. Selain itu N dapat juga bersumber dan atmosfir (78 % N) melalui curah hujan (8 -10 % N tanah), penambatan (fiksasi) oleh mikroorganisme tanah baik secara sembiosis dengan tanaman maupun hidup bebas. Walaupun sumber ini cukup banyak secara alami, namun untuk memenuhi kebutuhan tanaman maka diberikan secara sengaja dalam bentuk pupuk, seperti Urea, ZA, dan sebagainya maupun dalam bentuk pupuk kandang ataupun pupuk hijau (Mukhlis dan Fauzi, 2003). Winarso (2005) menyatakan bahwa kadar N anorganik pada tanah yang ditambahkan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan adanya proses atau reaksi mineralisasi atau adanya penambahan N anorganik hasil pelapukan bahan organik. Sebaliknya apabila tanah yang ditambah bahan organik terjadi penurunan N organik apabila dibandingkan dengan tanah tanpa penambahan bahan organik menunjukan
terjadinya immobilisasi atau pengambilan N anorganik oleh mikroorganisme tanah. Bahan organik adalah merupakan sumber N utama di dalam tanah dan berperan cukup besar dalam proses perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Kadar N tanah biasanya dikategorikan sebagai indikator untuk menentukan dosis pemupukan Urea. Fungsi nitrogen dalam tanah adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman. Tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N, berwarna lebih hijau. Gejala kekurangan N, tanaman tumbuh kecil atau kerdil, pertumbuhan akar terbatas dan daunnya kuning. Namun khusus untuk tanah yang masih asli, N total tanah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang sudah digarap atau terbuka (Sudaryono, 2009). Tinggi rendahnya kandungan nitrogen total tanah ini dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan organik yang diberikan terutama tingkat dekomposisinya. Dengan semakin lanjut dekomposisi suatu bahan organik maka semakin banyak pula nitrogen yang mengalami mineralisasi sehingga akumulasi nitrogen di dalam tanah semakin besar jumlahnya (Yulnafatmawita dkk, 2007). Kehilangan nitrogen dalam bentuk gas lebih besar daripada kehilangan yang disebabkan oleh pencucian. Kehilangan lain dapat juga berupa panen, tercuci bersama air drainase dan terfiksasi oleh mineral. Kehilangan N juga akan diperbesar lagi bila jumlah pupuk N yang diberikan ke dalam tanah cukup besar dengan keadaan tanah yang reduksi. Kehilangan N dari urea yang diberikan pada sawah yang keadaan airnya macak-macak akan lebih besar. Hilangnya N dari tanah juga disebabkan karena digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO3mudah dicuci oleh air hujan, banyak hujan sehingga N menjadi rendah dan tanah
yang memiliki tekstur pasir mudah melepaskan air sehingga N menjadi rendah daripada tanah liat (Hakim dkk, 1986). Fosfor tanah Fosfor (P) merupakan unsur hara esensial bagi tanaman. Tidak ada unsur lain yang dapat menggantikan fungsinya di dalam tanaman, sehingga tanaman harus mendapatkan unsur hara P secara cukup untuk pertumbuhannya. Fungsi penting fosfor didalam tanaman yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi, transfer dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel serta proses-proses yang lainnya (Sudaryono, 2009). Pada umumnya fosfor di dalam tanah kebanyakan terdapat dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap hara fosfor dalam bentuk ion orthofosfat yakni H2PO4-, HPO42-, dan PO43-, dimana jumlah masing-masing bentuk sangat tergantung pada pH tanah. Pada tanah-tanah yang bereaksi masam lebih banyak dijumpai bentuk H2PO4- dan pada tanah alkalis adalah bentuk PO43-. Berdasarkan kelarutannya dan ketersediaannya didalam tanah bentuk fosfor tanah dapat dibedakan menjadi 1) fosfor yang larut di dalam air, yaitu bentuk yang larut dan tersedia bagi tanaman, 2) bentuk Al-P, 3) bentuk Fe-P dan 4) bentuk Ca-P (Damanik, dkk., 2011). Ketersediaan fosfor yang terbaik adalah dalam kisaran dari 6 sampai 7. Kalsium fosfat mulai mengendap pada sekitar pH 6,0. Diatas pH 7,0 kecenderungan untuk pembentukan apatit, lagi pula mengurangi kelarutan fosfor atau ketersediaannya. Peningkatan pH diatas 7 juga menimbulkan OH- yang cukup untuk bereaksi dengan HPO42- sehingga kurang cepat diambil oleh tanaman dari H2PO4- (Foth, 1995).
Hara fosfor (P) merupakan masalah utama pada tanah-tanah yang bersifat masam seperti Ultisol. Menurut hasil penelitian Nugroho dan Istianto (2009) bahwa kandungan P-total pada kedalaman 0-20 cm dan 20-40 cm pada setiap satuan lahan relatif tinggi berkisar 0,07 – 0,12%. Kondisi tersebut berkebalikan dengan kandungan P-tersedia. Kandungan P-tersedia dalam tanah hanya 8,52 ppm pada kedalaman 0-20 cm dan 7,11 ppm pada kedalaman 20-40 cm. Rendahnya jumlah P-tersedia dalam tanah dikarenakan P terikat kuat oleh mineral Al dan Fe membentuk ikatan Al-P dan Fe-P sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Rendahnya status hara tanah disebabkan karena tingginya tingkat pencucian hara yang terjadi sehingga unsur-unsur yang sifatnya basa (seperti Ca dan Mg) hilang dan menyisakan unsur-unsur yang bersifat masam seperti Al dan Fe. Kandungan P pada tanah Ultisol sangat rendah, baik tanah yang berasal dari batuan pasir maupun dari batuan liat. Akan tetapi kandungan K menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara tanah dari batuan pasir di bandingkan dengan tanah yang berasal dari batuan liat. Tanah dari batuan pasir dicirikan oleh kandungan K sangat rendah sedangkan tanah dari batuan liat menunjukkan kandungan K yang tinggi (Suharta dan Prasetyo, 2008). Menurut penelitian Tambunan (2008) bahwa karakteristik tanah Ultisol di Kebun Kwala Sawit menurut kedalaman yaitu pH sangat rendah sampai rendah (4,20-5,50) dengan nilai relatif semakin besar menurut kedalaman, C/N sangat rendah sampai sedang (0,17-9,42) dengan nilai relatif semakin kecil menurut kedalaman, P tersedia sedang sampai tinggi (18,25-56,68 ppm) dengan nilai relatif semakin besar menurut kedalaman, KTK termasuk sedang (12,50-23,60 me/100 g), kejenuhan basa sangat rendah sampai rendah.
Kekurangan fosfat pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan fosfat dari bahan induk tanah memang sudah rendah, atau kandungan fosfat sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena di serap oleh unsur lain seperti Al dan Fe. Ketersediaan P dalam tanah bagi tanaman di pengaruhi oleh kemasaman tanah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Kalium tanah Kalium diserap tanaman biasanya dalam bentuk K larut atau soluble K (K+) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (Ktukar) atau exchangeable K dan K tidak dapat dipertukarkan (K-tdd) atau nonexchangeable K. Bentuk kalium yang pertama biasanya disebut sebagai bentuk K cepat tersedia karena bisa langsung diserap oleh akar tanaman, bentuk K yang kedua merupakan K agak lambat tersedia, sedangkan bentuk K yang terakhir merupakan K lambat dan tidak tersedia. Ketersediaan kalium bagi tanaman tergantung aspek tanah, tanaman, dan variabel iklim. Aspek tanah antara lain meliputi: jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation (KTK), daya sangga tanah terhadap K, kelembaban, suhu, aerasi dan pH tanah (Nursyamsi dkk, 2007). Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organik yang terlarut dalam larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0,5-0,6% dari total K tanah. K larutan tanah ditambah K-tukar merupakan K yang tersedia dalam tanah. Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada pH dan kejenuhan basa yang rendah berarti ketersediaan K juga rendah. Nilai kritis K adalah 0,10 me/100 g tanah (setara 3,9 mg/100 g) atau sekitar 2-3% jumlah basa tertukar (Hanafiah, 2005).
Ketersediaan K didalam tanah tergantung kepada proses dan dinamika kalium dalam tanah terutama proses jerapan dan pelepasan. Bila konsentrasi hara dalam larutan tanah meningkat (misal karena pupuk) maka hara segera dijerap oleh tanah menjadi bentuk tidak tersedia (sementara waktu), proses ini disebut sebagai jerapan (sorption). Sebaliknya bila konsentrasinya dalam larutan tanah turun (misal karena diserap tanaman atau tercuci) maka hara terjerap segera lepas (release) ke dalam larutan sehingga bisa diserap oleh tanaman, proses ini disebut sebagai pelepasan (desorption). Apabila proses pelepasan lebih lambat daripada proses jerapan maka ketersediaan kalium akan berkurang sehingga pertumbuhan tanaman terganggu (Nursyamsi dkk, 2007). Kapasitas tukar kation (KTK) Kapasitas Tukar Kation (KTK) didefinisikan sebagai jumlah total adsorbsi kation yang dapat ditukar, yang dinyatakan dalam miligram dalam 100 gram tanah kering oven. Kapasitas tukar kation total tanah adalah jumlah total daerah tempat penukaran baik koloid organik maupun koloid mineral. Kapasitas tukar kation horizon tanah berkisar kurang dari 5 sampai lebih dari 200, tergantung pada jumlah dan macam liat dan bahan organik (Foth, 1995). Kapasitas tukar kation (KTK) adalah kemampuan suatu koloid untuk mengadsorpsi kation dan mempertukarkannya. Besarnya KTK suatu tanah ditentukan oleh faktor-faktor berikut antara lain 1) tekstur tanah, tanah bertekstur liat akan memilki nilai KTK lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir. Hal ini karena liat merupakan koloid tanah, 2) kadar bahan organik, oleh karena sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah, maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar KTK tanah, 3) jenis
mineral liat yang terkandung di tanah, jenis mineral liat sangat menentukan besarnya KTK tanah (Mukhlis dkk., 2011). Kapasitas tukar kation menunjukkan kemampuan tanah untuk menyerap dan mempertukarkan kation-kation oleh muatan negatif, yang pada tanah terutama berasal dari koloid humus dan mineral liat. Penelitian Tambunan (2008) menyatakan bahwa kapasitas tukar kation tanah Ultisol pada keenam profil adalah sedang dengan pola distribusi cenderung meningkat ke horizon bawah. Kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah Ultisol termasuk dalam kategori rendah yaitu kurang dari 24 me per 100 gram liat (Munir, 1995). Kapasitas tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah. Besarnya kapasitas tukar kation tanah di pengaruhi oleh sifat dan ciri tanh itu sendiri antara lain (a) reaksi tanah, (b) tekstur tanah atau jumlah liat, (c) jenis mineral liat, (d) bahan organik, dan (e) pengapuran dan pemupukan (Hakim dkk, 1986) Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation kurang dari 16 cmol/ kg liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90-7,50 cmol/kg, 6,11-13,68 cmol/kg, 6,10-6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Penelitian Supriyadi (2007) menyatakan bahwa kapasitas tukar kation (KTK) tanah berkorelasi dengan sifat tanah lainnya seperti liat, pasir, kandungan
bahan organik ataupun C-organik dan pH tanah. Biasanya tanah dengan tekstur liat, bahan organik tinggi, pH tanah tinggi, tanah mempunyai KTK tinggi, karena banyaknya muatan negatif tapak jerapan meningkat terutama dari muatan tergantung pH sedangkan tanah dengan tekstur kasar cenderung rendah KTK nya. Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pH rendah, hanya muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H+ dan mungkin hidroksi Al terikat kuat, sehingga sukar dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi Al yang terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahanperubahan itu KTK pun meningkat (Hakim dkk, 1986). Kejenuhan basa (KB) Kejenuhan basa merupakan suatu sifat yang berhubungan dengan KTK. Terdapat korelasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Kejenuhan basa ynag rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya ≥ 80%, berkesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 80 dan 50%, dan tidak subur jika kejenuhan basanya ≤ 50%. Suatu tanah dengan kejenuh an basa sebesar 80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah daripada tanah yang sama dengan kejenuhan basa 50% (Tan, 1991). Kejenuhan basa
merupakan perbandingan antara jumlah basa yang dapat dipertukarkan dengan kapasitas tukar kation tanah yang dinyatakan dalam persen. Basa-basa yang dipertukarkan antara lain K+, Ca2+, Mg2+, dan Na+ (Mukhlis dkk., 2011). Kejenuhan basa pada Typic Paleudults dikabupaten langkat di kebun kwala sawit termasuk sangat rendah sampai rendah (10,70-69,03%), dengan pola distribusi yang bervariasi menurut kedalaman tanah. Kejenuhan basa yang sangat rendah ini diperoleh dari kation-kation tukar yang sedang dan kapasitas tukar kation yang sedang. Kejenuhan basa yang rendah akibat pH yang rendah (Tambunan, 2008). Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy 2014. Beberapa jenis tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation <
16
cmol/kg
liat,
yaitu
Ultisol
yang
mempunyai
horizon
kandik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Kejenuhan basa menggambarkan banyaknya unsur hara basa dalam tapak jerapan tanah. Tingginya kejenuhan basa di tentukan oleh unsur hara basa yang ada dalam tanah terutama Ca. Rendahnya kejenuhan basa kemungkinan disebabkan adanya pencucian kation basa oleh air hujan. Dengan adanya pencucian basa juga akan berpengaruh pada pH tanah yaitu reaksi tanah cenderung asam (Suryadi, 2007). Prasetyo dkk (2005) menyatakan bahwa kandungan basa-basa dapat tukar didominasi oleh Ca dan Mg dalam suatu tanah merupakan salah satu ciri dari tanah-tanah yang berkembang dari bahan volkan. Tanah yang terbentuk dari batuan pasir maupun batuan liat mempunyai kejenuhan basa yang tergolong
sangat rendah yaitu <20 %. Rendahnya nilai kejenuhan basa menunjukkan bahwa selain tanah telah mengalami pencucian intensif, bahan induk tanah dari batuan sedimen masam tergolong miskin basa-basa dapat tukar, kandungan basa-basa dapat tukar pada tanah-tanah dari batuan liat lebih tinggi dibandingkan dengan tanah – tanah yang berasal dari batuan pasir (Suharta dan Prasetyo, 2008).