TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit
Tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan jika dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Di lingkungan dengan iklim yang memiliki bulan-bulan kering nyata, tanah ini memiliki sifat vertik (verto = membalik), yaitu tanah yang dapat mengembang (swelling) pada saat basah dan mengkerut (shrinking) saat kering. Proses mengembang dan mengkerut erat kaitannya dengan kandungan mineral liat tipe 2:1 (smektit) yang tinggi di dalam tanah (Borchardt, 1989). Sejumlah kation, seperti K+, NH4+, Na+, Ca2+, Mg2+, dan lain-lain dapat masuk ke dalam ruang antar lapisan liat tipe 2:1 saat kadar air tinggi (tanah mengembang). Sebaliknya bila kadar air turun maka air yang terdapat di dalam ruang antar lapisan akan keluar sehingga ruangan yang sebelumnya terisi air digantikan oleh udara, akibatnya tanah mengkerut dan terjadi retakan-retakan.
Dengan demikian ciri utama untuk menduga keberadaan smektit di
lapangan secara visual adalah adanya retakan-retakan tanah yang lebar di saat tanah kering atau pada musim kemarau. Tanah yang mengandung mineral liat smektit umumnya terdapat pada order Vertisol dan order lain bersubgrup vertik. Tanah-tanah tersebut memiliki sifat vertik, yaitu diantaranya mempunyai bidang kilir atau ped berbentuk baji, kadar liat > 30% dalam fraksi tanah halusnya, dan terdapat rekahan terbuka dan tertutup secara periodik. Tanah dengan mineral liat smektit dominan tetapi berada di bawah iklim yang selalu lembab (musim kering tidak nyata) tidak selalu menunjukkan sifat vertik tersebut kecuali kadar liat. Di Indonesia, penyebaran tanah-tanah tersebut cukup luas, yaitu diperkirakan lebih dari 2.12 juta ha (Vertisol sekitar 2.12 juta ditambah sebagaian Inceptisol dan Alfisol)
8
yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah ini termasuk tanah pertanian utama di Indonesia dan umumnya dimanfaatkan untuk padi sawah irigasi dan tadah hujan, palawija, kebun campuran, tebu, tembakau, kapas, kelapa dan hortikultura lainnya seperti mangga (Subagyo et al., 2000). Karakteristik lain dari tanah tersebut diantaranya adalah reaksi tanah netral hingga alkalin (pH = 6,5 – 8,0). Karena kemasaman tanah rendah maka ketersediaan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, dan Mn) umumnya rendah. Kadar bahan organik rendah hingga sedang, kadar K potensial, basa-basa (Ca dan Mg), dan kapasitas tukar kation umumnya tinggi (Subagyo et al., 2000). Kadar K potensial tanah ini umumnya tinggi tapi K aktualnya sering rendah sehingga tanaman mengalami kekahatan. Hal ini disebabkan karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Ghousikar dan Kendre (1987) mengemukakan bahwa tanah-tanah tersebut mempunyai kapasitas fiksasi K (K-fixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK) yang sangat tinggi. Dengan demikian maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga bentuk K cepat tersedia meningkat bagi tanaman. Jumlah dan jenis mineral liat memegang peranan yang sangat penting dalam mengendalikan perilaku K di dalam tanah. Selain bahan organik tanah, mineral liat smektit tentu saja berperan dalam mengontrol ketersediaan K di tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit. Bahkan bila kadar smektit dalam tanah tinggi maka pengaruh smektit terhadap perilaku K jauh lebih besar dibandingkan bahan organik. Selain terhadap K, smektit juga berpengaruh terhadap ciri tanah lainnya, baik karakteristik kimia maupun fisika tanah.
9
Mineral Liat Smektit
Smektit adalah mineral liat tanah yang umum dijumpai di daerah temperate, iklim dingin, dan dijumpai pula di daerah tropik. Smektit terbentuk di tempat yang berdrainase buruk atau di area dengan tingkat pencucian terbatas karena rendahnya curah hujan, adanya lapisan kedap di dalam profil tanah, atau permukaan air tanah yang tinggi. Termasuk dalam grup smektit yang banyak dijumpai dalam tanah adalah montmorilonit, beidelit, dan nontronit (Allen dan Hajek, 1989). Di Indonesia mineral ini sangat dominan di tanah-tanah Vertisol dan Mollisol serta banyak pula dijumpai di tanah Inceptisol dan Alfisol. Sementara itu hektorit (kaya Li), saponit (Mg), saukonit (Zn) jarang dijumpai di dalam tanah. Sifat mengembang-mengkerut dan muatan negatif yang tinggi menyebabkan mineral ini reaktif dalam lingkungan tanah. Di daerah dengan perbedaan iklim basah dan kering yang signifikan, proses mengembang dan mengkerut tanah terjadi sangat kentara. Selain dapat menjerap K+, Ca2+, Mg2+, dan kation lainnya yang diperlukan tanaman, smektit juga dapat menjerap senyawa organik, herbisida, dan pestisida (Borchardt, 1989). Struktur smektit pertama kali dikemukakan oleh Hofmann et al., (1933) dalam Borchardt (1989). Smektit mirip dengan struktur mika dan vermikulit dimana satu unit kristal smektit terdiri dari satu lempeng Al-oktahedral yang diapit oleh 2 lempeng Sitetrahedral. Substitusi isomorfik dapat terjadi di kedua lempeng tersebut dan hal ini dapat berdampak terhadap karakteristik dan komposisi kimia sehingga dapat dijadikan dasar dalam klasifikasi mineral tersebut. Dioktahedral smektit (beidelit, montmorilonit, dan nantronit) terbentuk sebagai hasil hancuran dari mineral mika sedangkan trioktahedral smektit (hektorit, saponit, dan saukonit) muncul sebagai turunan (inheretance) dari bahan induk tanah (Allen dan Hajek, 1989).
10
Sifat mengembang dari smektit dipengaruhi oleh jerapan ion dan molekul di ruang antar lapisan smektit. Analisis dengan metode X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa puncak difraksi smektit muncul pada 1.5 nm pada perlakuan penjenuhan dengan Mg. Puncak difraksi meningkat menjadi 1.8 nm setelah perlakuan dengan Mg+gliserol. Puncak difraksi menurun hingga 1.25 nm setelah perlakuan penjenuhan dengan K dan menurun lagi hingga 1.0 nm setelah preparat dipanaskan hingga 110 oC. Kondisi smektit seperti yang dijelaskan di atas berpengaruh terhadap karakteristik kimia dan fisikanya yang akhirnya berpengaruh pula terhadap karakteristik tanah. Berikut ini karakteristik kimia dan fisika smektit dibahas seperti yang diuraikan oleh Borchardt (1989).
Karakteristik Kimia
Selain tanah yang banyak mengandung bahan organik, tanah yang banyak mengandung smektit juga memiliki kapasitas tukar kation yang cukup tinggi, yaitu sekitar 110 Cmol/kg atau berkisar antara 47 – 162 Cmol/kg (Alexiades dan Jackson, 1966). Sumber muatan negatif smektit berasal dari substitusi isomormik Al3+ terhadap Si4+ pada lempeng tetrahedral atau Mg2+ dan Fe2+ terhadap Al3+ atau Fe3+ pada lempeng oktahedral. Posisi-e (edge) dari struktur smektit juga dapat memberikan kontribusi muatan negatif walaupun dalam jumlah sedikit, yaitu hanya berkisar 1 – 5 Cmol/kg. Substitusi isomorfik pada posisi-i (interlayer) merupakan sumber muatan permanen (permanent charge), sedangkan muatan dari posisi-e termasuk muatan tergantung pH, yaitu muatan negatif meningkat seiiring dengan meningkatnya pH (pH dependent charge) (Borchardt, 1989). Fiksasi K pada tanah-tanah yang mengandung mineral smektit termasuk tinggi (Ghousikar dan Kendre, 1987). Selain itu, fiksasi tanah ini terhadap kation lain juga tinggi, misal terhadap Al3+, Mg2+, dan Fe3+ yang dapat membentuk formasi hidroksi interlayer. Tingkat fiksasi smektit terhadap kation tergantung valensi dan radius atom kation tersebut.
11
Semakin tinggi valensi kation dan semakin kecil radius atom maka fiksasi smektit terhadap kation semakin tinggi. Pertukaran anion pada smektit sangat rendah, yaitu < 5 Cmol/kg (Bingham et al., 1965). Anion yang memiliki ukuran yang sesuai dapat menggantikan ion OH- hanya pada posisi-e di struktur mineral. Hal inilah yang menyebabkan kapasitas tukar anion (KTA) smektit sangat rendah sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap jerapan anion. Tanahtanah dengan kapasitas tukar anion tinggi umumnya memiliki polimer hidroksi-Al pada permukaan mineral, seperti mineral besi atau alumunium oksida. Kedua mineral tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap KTA yang signifikan. Reaksi kinetik sangat penting dalam mengontrol hancuran terutama pada reaksi yang melibatkan smektit. Tingkat reaksi pertukaran antara H3O+ terjerap dengan kationkation yang berada pada lempeng oktahedral dipengaruhi oleh jumlah Al3+ tetrahedral. Reaksi kinetik dari konversi Na montmorilonit ke arah Mg2+ dan Al3+ pada perlakuan pencucian dengan air bebas ion termasuk pertukaran yang cepat. Penggantion H3O+ oleh Mg2+ dan Al3+ dapat lepas dari lempeng oktahedral melalui hancuran montmorilonit yang berlangsung perlahan-lahan. Reaksi kinetik ini tergantung temperatur, dimana pada suhu 35 oC, kecepatan reaksi 3 – 5 kali lipat daripada suhu 25 oC (Borchardt, 1989). Jerapan molekul pada smektit dapat bersifat kimia dan atau fisika. Muatan negatif smektit dapat berinteraksi secara polar dengan muatan positif dari molekul netral seperti senyawa hidro karbon. Luas permukaan internal smektit yang lebih dari 8 X 105 m2 kg-1 menyediakan permukaan jerapan dalam tanah (Borchardt, 1989). Selain itu jumlah luas permukaan eksternal smektit umumnya lebih tinggi dibandingkan mineral lain karena ukuran partikel yang lebih kecil.
12
Karakteristik Fisika
Meskipun mineral lain juga mempunyai sifat mengembang dan mengkerut dengan berubahnya kadar air, namun perubahan ini tidak seberapa dibandingkan dengan smektit. Smektit dapat menjerap H2O dalam jumlah yang banyak, yaitu beberapa kali bobotnya sendiri. Hal ini disebabkan karena smektit mempunyai ukuran partikel kecil, luas permukaan jerapan tinggi, dan struktur lapisan muatan negatif tinggi (Borchardt, 1989). Sifat mengembang dan mengkerut ini berimbas terhadap karakteristik fisika tanah lainnya, seperti: hidrasi dan dehidrasi, expansi pada tanah-tanah berbahan smektit, dan stabilitas tanah. Jerapan air diantara lapisan smektit berkaitan erat dengan jarak basal smektit yang dapat diukur dengan metode XRD. Hidrasi H2O oleh kation yang dapat dipertukarkan membentuk lapisan pertama dengan energi ikatan yang tinggi. Lapisan berikutnya dijerap dengan energi yang lebih rendah.
Hendricks et al. (1940) dalam
Borchardt (1989) menyatakan bahwa H2O yang diikat pada permukaan komplek jerapan smektit berbentuk heksagonal. Sifat kohesi dan adhesi smektit juga berbeda dengan mineral tanah lainnya. Sifat ini berkaitan erat dengan peristiwa longsor (landslide), pergerakan tanah (soil creep), dan erosi. Tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi berpotensi untuk terjadinya longsor karena smektit dapat menjerap air dalam jumlah banyak (Borchardt, 1977). Smektit juga hampir selalu identik dengan peristiwa pergerakan tanah yang disebabkan oleh adanya ekspansi dan kontraksi akibat perubahan kadar air tanah. Selain itu erodibilitas tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi dipengaruhi oleh kekuatan keregangan tanah. Kekuatan keregangan tanah tergantung dari kejenuhan kation dimana kekuatannya menurun menurut urutan: Fe3+ > K+ > Na+ > Al3+ > Ca2+.
13
Bentuk-bentuk K Tanah
Kalium di dalam tanah berada dalam empat bentuk dimana satu sama lain berada dalam keseimbangan yang dinamik, seperti yang tertera di Gambar 2. Berdasarkan tingkat ketersediaannya untuk tanaman dari yang paling sukar ke paling mudah tersedia berturutturut adalah bentuk K-struktural, K-terfiksasi, K-dapat dipertukarkan, dan K-larut (Sparks, 1987). Bentuk K pertama dan kedua sering disebut sebagai K-tidak dapat dipertukarkan sehingga sukar tersedia, sedangkan bentuk K lainnya disebut sebagai K mudah tersedia bagi tanaman. Berbagai teknik analisis kimia untuk memisahkan bentuk-bentuk K tersebut telah berkembang dengan baik, tapi di lapangan batas antara bentuk satu dengan yang lainnya tidak ada (Sharpley, 1990). Jumlah K yang berada dalam masing-masing bentuk tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah, antara lain: jenis dan jumlah mineral liat, serapan hara tanaman, penggunaan pupuk, pencucian, dan efektivitas proses fiksasipelepasan yang berlangsung di dalam tanah.
Gambar 2. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah (Kirkman et al., 1994) 14
K-Struktural
K-struktural dikenal sebagai K mineral, K tidak hancur, K alamiah, K matrix, atau K inert. Bentuk K ini mendekati jumlah K total dalam tanah dimana jumlahnya tergantung komposisi bahan induk dan tingkat perkembangan tanah (Sparks dan Huang, 1985). K struktural umumnya terselimuti struktur kristal dari mineral yang mengandung K tinggi seperti mika (biotit dan muskovit), feldspar (ortoklas dan mikroklin), dan gelas volkan baik yang masam maupun alkalin (Metson, 1968). Mineral-mineral tersebut umumnya ditemukan dalam fraksi kasar dalam tanah dan mempunyai tingkat hancuran yang terbatas selama perkembangan tanah, dimana tingkat hancuran meningkat dengan menurunnya ukuran partikel. Hancuran umumnya menghasilkan formasi dari liat silikat sekunder yang mungkin masih mengandung K-struktural. Tingkat ketersediaan K relatif untuk tanaman dari tinggi ke rendah adalah biotit > muskovit > ortoklas dan mikroklin. Sementara itu gelas volkan alkalin lebih cepat hancur dibandingkan gelas volkan masam (Metson, 1968). Mineral primer yang memiliki cadangan K tinggi akan hancur menghasilkan sejumlah K tersedia bagi tanaman. Fase hancuran bukan hanya tergantung lingkungan, melainkan juga tergantung komposisi dan struktur mineral primer tersebut. Biotit dan gelas volkan alkalin melapuk lebih mudah, sedangkan feldspar dan gelas volkan masam melapuk lebih lambat. Tahapan hancuran mineral yang mengandung K dapat digambarkan seperti pada Gambar 3. Hancuran mika ditandai oleh pergantian posisi K+ di ruang antar lapisan (interlayer space) oleh kation lain seperti Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+, dan lain-lain yang menghasilkan formasi ilit, vermikulit, smektit, dan mineral interstratifikasi. Saat hancuran berlangsung ukuran partikel menurun, kadar K berkurang dari sekitar 10% (mika) menjadi < 1% (smektit), dan jarak basal meningkat dari 1 (mika) menjadi 1.8 (smektit).
15
Gambar 3. Hancuran Dinamik dari Mineral Primer (Kirkman et al., 1994)
Formasi mineral liat tidak selalu mengikuti tahapan seperti yang disajikan di Gambar 3, tergantung kondisi tanah dimana mineral primer tersebut berada. Bila Ca2+ dan Mg2+ menggantikan posisi kation K dalam mika maka smektit sangat mungkin terbentuk. Sebaliknya bila kondisi reaksi tanah masam maka vermikulit memiliki peluang paling besar untuk terbentuk.
K-Terfiksasi
K terfiksasi berada diantara lapisan mineral liat mika dimana posisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya pertukaran dengan kation lain yang berada dalam larutan tanah. Beberapa jenis tapak jerapan K+ pada mineral liat silikat 2:1 disajikan pada Gambar 4. Posisi planar (posisi-p) mempunyai selektivitas terhadap K+ rendah, edge (posisi-e) dan wedge (posisi-w) medium, sedangkan interlayer (posisi-i), crack (posisi-c), dan step
16
(posisi-s) tinggi. Pada mineral liat tipe 2:1, K+ yang berada di posisi-w, e, s, dan c dapat disebut sebagai K-terfiksasi. Sementara itu pada mineral primer, K+ yang berada di posisii disebut sebagai K-struktural dimana bentuk K ini terikat sangat kuat karena K berada di bagian dalam struktur mineral. K-struktural tersebut dapat bergerak ke pool K-terfiksasi dengan berlangsungnya proses hancuran, sehingga pada mineral sekunder seperti ilit, vermikulit, dan smektit, K+ tersebut disebut sebagai K-terfiksasi.
Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi: planar (p), edge (e), interlayer (i), wedge (w), crack (c), dan step (s) (Goulding, 1987).
Jumlah K-terfiksasi di dalam tanah tergantung kepada distribusi ukuran partikel, jenis dan jumlah mineral liat, dan penambahan atau pengurangan K dari mineral tersebut. Sementara itu penambahan K kedalam tanah yang banyak mengandung tapak antar lapisan K (vermikulit) menghasilkan jerapan K yang tinggi. Sebaliknya pengurangan K di dalam larutan tanah karena diserap oleh tanaman dan mikroba atau pencucian dapat menyebabkan K-terfiksasi lepas menjadi K-dapat dipertukarkan atau K-larut. Bentuk Kterfiksasi bersama-sama dengan K-struktural merupakan cadangan K utama di dalam
17
pedosphere atau sering disebut sebagai bentuk K-tidak dapat dipertukarkan. Bentuk lainnya adalah K-dapat dipertukarkan dan K-larut yang biasa disebut sebagai K-tersedia bagi tanaman. Perbedaan antara K-terfiksasi dengan K-struktural adalah pelepasan K dari K-terfiksasi dapat balik (reversible) sedangkan dari K-struktural tidak dapat balik (irreversible). Pelepasan K dari pool K-tidak dapat dipertukarkan terjadi bila K-dapat dipertukarkan dan K-larut berkurang karena diserap tanaman atau tercuci (Sparks et al., 1980). Selain kemampuan tanaman yang berbeda dalam menyerap K dari larutan, karakteristik tanah seperti tekstur, struktur, dan pemadatan tanah juga berpengaruh terhadap pencucian K. Semua faktor yang berpengaruh terhadap kadar K dalam larutan tanah akan berpengaruh pula terhadap K-tidak dapat dipertukarkan. Aktivitas bilologi tanah seperti cacing juga berpengaruh terhadap pelepasan Ktidak dapat dipertukarkan. Penelitian Basker et al. (1992) menunjukkan bahwa kadar Kdapat dipertukarkan meningkat akibat perlakuan cacing tanah. Hal ini berkaitan erat dengan proses ingesti (ingestion) tanah oleh cacing pada tanah yang diberi perlakuan cacing (Basker et al., 1994). Pelepasan K-tidak dapat dipertukarkan juga tergantung intensitas hancuran tanah. Menurut Metson (1960) laju maksimum pelepasan K terjadi saat fase terbentuknya ilit dimana saat itu jumlah K-terfiksasi tinggi sedangkan K-struktural rendah. Sebaliknya tanah-tanah yang mengandung feldspar dan gelas volkan tinggi dimana K terselimuti struktur mineral akan menyumbang K untuk tanaman hanya sedikit. K-Dapat Dipertukarkan
Kalium dapat dipertukarkan didefinisikan sebagai K yang dijerap pada kompleks permukaan koloid tanah. Bentuk Kdd ini dipegang oleh kekuatan ikatan yang berbeda pada tapak jerapan non-spesifik di posisi planar dan edge dari mineral liat. Selain itu K ini juga dijerap oleh muatan negatif grup karboksilat dan fenolat dari koloid humus yang
18
merupakan sumber muatan tergantung pH (Kirkman et al., 1994). Meskipun jumlah tapak pertukaran yang disebabkan oleh substitusi isomorfik relatif konstan, tapi muatan negatif pada koloid humus dan posisi edge pada mineral liat amorf meningkat dengan meningkatnya pH karena disosiasi H+ dari grup asam lemah. Jumlah K+ yang dijerap oleh mineral liat pada tapak pertukaran tergantung faktor kinetik dan termodinamik tanah. Selain itu juga tergantung afinitas tapak pertukaran terhadap K (kompleks permukaan koloid tanah) dan konsentrasi kation lain (terutama kation bervalensi dua seperti Ca2+) (Barber, 1984). Pertukaran K oleh Ca sering terjadi terutama pada tanah-tanah yang dipupuk Ca tinggi baik dengan kapur maupun TSP/SP-36. Umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari K total tanah atau berkisar antara 10-400 ppm (Schroeder, 1974). Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari total K tanah. Kadar K-struktural dan terfiksasi sangat tergantung kepada tingkat hancuran mineral liat primer dan sekunder, sedangkan Kdd berkaitan erat dengan jenis mineral liat dan jumlah muatan negatif. Sebagai contoh, tingkat Kdd pada tanah-tanah yang banyak mengandung alofan relatif rendah, sedangkan pada tanah-tanah yang banyak mengandung vermikulit atau mika relatif tinggi (Parfitt, 1992). Hancuran mika menghasilkan partikel berukuran kecil, peningkatan luas permukaan pertukaran, dan peningkatan muatan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah-tanah yang mengandung lebih banyak mineral liat smektit mempunyai Kdd lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung mineral liat interstratifikasi.
K-Larut Tanaman menyerap hara dalam bentuk K+ yang terdapat dalam larutan tanah (Klarut). Kadar K dalam larutan berada dalam keseimbangan dengan Kdd. Jika konsentrasi K dalam larutan tanah menurun maka Kdd akan dibebaskan ke dalam larutan tanah. Jumlah K
19
dalam larutan relatif sangat kecil dibandingkan K-total tanah dan besarnya tergantung daya sangga K dalam tanah. Kalium yang dijerap tanah berbahan induk alofan yang memiliki daya sangga rendah tidak segera dapat mengganti K larut. Sebaliknya tanah berbahan induk mika dan vermikulit dapat mempertahankan level K dalam larutan tanah dalam waktu yang relatif lama (Parfitt, 1992).
Ketersediaan dan Fiksasi K Tanah
Ketersediaan K Tanah
Diantara bentuk-bentuk K tanah, K-larut dan K-dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia, sedangkan K-tidak dapat dipertukarkan sangat lambat tersedia bagi tanaman. Laju konversi bentuk K-struktural menjadi bentuk larut sangat lambat, bentuk K-terfiksasi memerlukan sekitar beberapa minggu, sedangkan K-dapat dipertukarkan berlangsung cepat atau hanya beberapa jam saja (Haby et al., 1990). Bila batasan K tersedia adalah K yang dapat dimanfaatkan tanaman, maka sesungguhnya seluruh bentuk K dapat tersedia untuk tanaman. Ketersediaan K menggambarkan situasi yang komplek dan kondisinya tergantung faktor-faktor tanah dan karakteristik tanaman (Grimme, 1985). Kemampuan tanah untuk melepaskan K merupakan suatu indeks potensi K tersedia di dalam tanah dan hal ini dapat diukur oleh prosedur analisis kimia yang tepat. Analisis tersebut dapat mengukur bukan hanya perubahan dari K-dapat dipertukarkan menjadi Klarut, melainkan juga pelepasan K dari K-tidak dapat dipertukarkan
dan K-dapat
dipertukarkan menjadi K-larut. Tergantung metode analisis dan pengekstrak yang digunakan, jumlah K yang lepas dari tapak tidak dapat dipertukarkan mungkin bervariasi. K yang dilepaskan mencerminkan total ketersediaan K yang terekstrak oleh pengekstrak
20
tertentu. Namun demikian K terekstrak mungkin berbeda dengan yang diserap tanaman karena ada faktor daya sangga tanah yang tidak tercerminkan dalam K yang terekstrak tersebut. Dengan memperhatikan performan tanaman, hal yang penting adalah bukan hanya jumlah total K yang dapat diserap tanaman, melainkan juga pelepasan K yang dapat mempertahankan konsentrasi K dalam larutan tanah. Pelepasan K ke dalam larutan dan pergerakan K+ ke zone perakaran harus mempunyai kecepatan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah gejala kekahatan tanaman terhadap K (Kirkman et al., 1994). Tingkat pelepasan K ke dalam larutan tanah dipengaruhi oleh perubahan proses antara bentuk padat (mineral yang mengandung K) dan larut (fase larutan tanah). Difusi K+ tergantung kepada gradien konsentrasi K dalam larutan sehingga ketersediaan K merupakan fungsi dari flux K+ (aliran masa dan difusi) dimana larutan tanah dapat mempertahankan K untuk tanaman. Tingkat flux yang cukup tinggi dapat dicapai dan dipertahankan oleh kecukupan konsentrasi K dalam larutan yang berasal dari tingginya Kdapat dipertukarkan dan atau K-tidak dapat dipertukarkan atau oleh penambahan K dari pupuk. Tingkat pergantian K dalam larutan tergantung kepada jenis dan jumlah mineral liat. Tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K rendah seperti kaolinit hanya dapat melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah sedikit. Sebaliknya tanah yang kaya akan mineral yang mengandung K tinggi (micaceous K-bearing minerals), tergantung tingkat hancurannya, dapat melepaskan K ke dalam larutan dalam jumlah banyak sehingga dapat mencukupi kebutuhan tanaman.
21
Faktor-faktor Tanah yang Mempengaruhi Ketersediaan K
Secara garis besar Havlin et al. (1999) mengemukakan bahwa faktor-faktor tanah yang mempengaruhi ketersediaan K adalah: jenis dan jumlah mineral liat, kapasitas tukar kation, jumlah K dapat dipertukarkan, kapasitas fiksasi K, kadar air tanah, temperatur tanah, aerasi tanah, dan pH tanah. Tanah-tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K tinggi mempunyai potensi menyediakan K tinggi pula. Bahan tanah yang mengandung mineral liat vermikulit, monmorilonit, atau ilit dapat menyediakan K lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung kaolinit. Selain itu Haby et al. (1990) juga mengemukakan bahwa faktor pengendali difusi K+ (suhu, kadar air, tortuosity, dan konsentrasi K larut) dan Kdd (jumlah dan proporsi K terhadap kation lain, daya sangga K tanah, dan tingkat pelepasan K dari fase padatan ke dalam larutan) juga berpengaruh terhadap ketersediaan K. Demikian pula parameter larutan tanah dan penggunaan air tanaman yang berkaitan dengan aliran masa mempengaruhi ketersediaan K untuk tanaman. Tanah-tanah yang bertekstur halus umumnya mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang K tinggi. Namun demikian tingginya Kdd di dalam tanah tidak selalu dapat mempertahankan K dalam larutan. Kenyataannya kadar K-larut dalam tanah yang bertekstur halus bisa lebih rendah dibandingkan dengan dalam tanah yang bertekstur lebih kasar (Kirkman et al., 1994). Kalium dapat dipertukarkan dapat menjadi ukuran ketersediaan K tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara uji K tanah dengan respons tanaman. Aplikasi pemupukan K dapat diduga berdasarkan tingkat kadar Kdd tanah (Kirkman et al., 1994). Semakin tinggi kadar Kdd tanah maka semakin sedikit jumlah pupuk yang perlu ditambahkan dan sebaliknya.
22
Secara umum jumlah K yang diperlukan untuk meningkatkan K-dapat dipertukarkan 1 ppm berkisar antara 45-2025 kg/ha tergantung jenis tanah (Havlin et al., 1999). Perbedaan yang cukup signifikan berkaitan dengan variasi kapasitas fiksasi K diantara tanah. Tentu saja sebagain K yang terfiksasi ini dapat lepas untuk tanaman, namun demikian pelepasannya terlalu lambat untuk mendukung produksi tanaman yang tinggi. Dengan kadar air tanah rendah maka selimut air di sekeliling partikel tanah tipis dan tidak kontinyu. Hal ini menyebabkan terhambatnya proses difusi K menuju akar tanaman. Peningkatan kadar air tanah akan mempercepat proses difusi K tersebut. Kadar air tanah berpengaruh signifikan terhadap transpor K di dalam tanah. Peningkatan kadar air tanah dari 10 menjadi 28% meningkatkan total transpor K lebih dari 175% (Havlin et al., 1999). Pengaruh temperatur tanah terhadap serapan K menyebabkan perubahan dalam ketersediaan K tanah dan aktivitas akar. Penurunan temperatur tanah menurunkan prosesproses tanaman seperti pertumbuhan dan serapan K tanaman. Misalnya influx K menuju akar jagung pada suhu 15 oC hanya sekitar setengah dari influx K pada suhu 29 oC. Pada saat yang sama, panjang akar meningkat 8 kali lebih tinggi pada suhu 29 oC dibandingkan pada suhu 15 oC selama 6 hari pertumbuhan. Sementara itu konsentrasi K di bagian atas tanaman 8.1% pada suhu 29 oC dan hanya 3.7% pada suhu 15 oC (Kirkman et al., 1994). Respirasi akar tanaman sangat tergantung kecukupan suplai oksigen di dalam tanah. Pada tanah yang jenuh air atau tanah padat, pertumbuhan akar terhambat karena suplai O2 rendah sehingga serapan K dan hara lain juga lambat. Penurunan aktivitas serapan hara terutama K sangat kentara pada tanah-tanah yang mempunyai aerasi buruk (Havlin et al., 1999).
23
Pada tanah masam jumlah unsur beracun seperti Al dan Mn tinggi sehingga mengakibatkan serapan K dan hara lainnya oleh akar tanaman terhambat. Pengapuran dapat mengurangi sifat racun Al karena Al3+ mengendap menjadi Al(OH)3. Akibatnya komplek jerapan yang tadinya ditempati oleh Al3+ dapat ditempati oleh K+. Namun demikian bila pengapuran berlebihan maka komplek jerapan akan dipenuhi oleh Ca2+ dan Mg2+ akibatnya K+ terdepak sehingga pencucian K meningkat. Dengan demikian maka kondisi reaksi tanah terlalu rendah (masam) dan terlalu tinggi (alkalin) tidak menguntungkan bagi ketersediaan K untuk tanaman (Brady, 1984).
Fiksasi K Tanah Apabila konsentrasi K+ dalam larutan tanah meningkat akibat penambahan pupuk K, maka keseimbangan reaksi akan mengarah ke proses fiksasi K pada tapak spesifik dari mineral liat. Fiksasi K pada tapak spesifik ini dimungkinkan karena faktor geometris dan ukuran ion K+. Kalium terjebak di dalam lubang ditrigonal antar lapisan oksigen pada unit sel mineral liat silikat tipe 2:1 (Arifin et al., 1973) atau pada tapak jerapan spesifik yang berada diantara saluran gels. Fiksasi K ini dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya posisi-w pada mineral kelompok mika yang hancur. Fiksasi ini akan lebih efektif bila posisi w berada di bagian dalam dari partikel liat dibandingkan dengan posisi-e. Namun demikian fiksasi ini tidak selalu berada di bagian dalam mineral tapi ada sebagian K+ yang bisa diendapkan sebagai senyawa tidak larut seperti potassium aluminosilikat (Shaviv et al., 1985). Fiksasi K dapat menyebabkan kekahatan K bagi tanaman, namun demikian secara umum fiksasi ini juga berguna karena ia membantu proses retensi dan siklus K melalui sistem organik dan inorganik (Metson, 1980). Dengan demikian maka dapat dikatakan
24
bahwa fiksasi K merugikan dalam jangka pendek tapi bermanfaat dalam jangka panjang karena K-terfiksasi merupakan K cadangan bagi tanaman. Jenis mineral liat merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap fiksasi K. Umumnya tanah-tanah yang mengandung mika, hidrous mika, vermikulit, dan smektit mempunyai fiksasi K tinggi sedangkan tanah yang mengandung kaolinit kapasitas fiksasinya rendah (Arifin et al., 1973). Tanah-tanah Vertisol di Indonesia mengandung mineral smektit yang tinggi sehingga berpeluang untuk mempunyai fiksasi K tinggi pula. Sementara itu tanah Ultisol, Oxisol, dan Andisol yang banyak mengandung mineral kaolinit, oksida, dan alofan umumnya memiliki kapasitas fiksasi rendah.
Sumber dan Pengelolaan K Tanah
Sumber K Tanah
Sumber K tanah dapat berasal dari bahan organik ataupun bahan inorganik. Bahan organik umumnya memiliki kadar K rendah, sedangkan bahan inorganik berkadar K tinggi. K yang berasal dari hasil pelapukan bahan organik (pupuk kandang, sisa tanaman, kotoran lumpur, dan lain-lain) umumnya juga menyumbangkan K+ inorganik yang tersedia bagi tanaman. Kadar K dalam kotoran hewan berkisar antara 0.2-2% atau 2-20 kg/t sedangkan dalam sampah sekitar 4.5 kg/t dari bahan kering (Havlin et al., 1999). Oleh karena itu bahan organik dapat mensuplai sejumlah K tersedia bagi tanaman tergantung tingkat aplikasinya di lapang. Pada umumnya aplikasi bahan organik disesuaikan dengan kebutuhan tanaman terhadap hara N dan P. Selain itu dipertimbangkan juga dampak negatif penggunaannya terhadap lingkungan tanah dan air. Jika bahan organik diberikan pada tanah-tanah yang kahat K maka penambahan K-inorganik masih tetap diperlukan.
25
Deposit garam K mudah larut banyak ditemukan di permukaan bumi dan juga di sungai mati dan laut. Deposit ini mempunyai kemurnian tinggi dan ditambang untuk keperluan K pertanian dan industri yang disebut sebagai potash. Cadangan potash terbesar di dunia terdapat di Canada, yaitu sepanjang 450 mil, lebar 150 mil, dan kedalaman 3000 – 7000 kaki. Keperluan K untuk pertanian biasanya berada dalam bentuk pupuk yang berasal dari deposit K tersebut di atas. Sumber K dalam bahan inorganik antara lain terdapat di pupuk KCl (60% K2O), K2SO4 (50% K2O), KNO3 (37% K2O), K fosfat (2050% K2O), K2CO3 (68% K2O), dan lain-lain (Havlin et al., 1999).
Siklus K Tanah
Sebagian besar K tanah berada dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman, yaitu berkisar antara 90 – 98% dari total K tanah. Sementara itu bentuk K lambat tersedia sekitar 1 – 10%, sedangkan yang cepat tersedia sekitar 0.1 – 2%. Hubungan dan transformasi berbagai bentuk K di dalam tanah disajikan pada Gambar 5. Siklus dan transformasi bentuk-bentuk K tanah sangat dinamik karena kehilangan K oleh serapan tanaman dan pencucian berlangsung terus-menerus. Demikian pula halnya transformasi K dari mineral primer menjadi bentuk dapat dipertukarkan dan larut berjalan terus walaupun dengan kecepatan rendah (Havlin et al., 1999). Apabila laju kehilangan K (serapan hara dan pencucian) lebih cepat daripada suplai K ke dalam sistem Kdd dan Kl maka tanaman akan mengalami defisiensi. Defisiensi K akan menyebabkan sebagian atau seluruh fungsi K untuk pertumbuhan tanaman terhambat yang pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pengelolaan K tanah pada prinsipnya adalah manipulasi tanah yang bertujuan agar K dalam kondisi selalu tersedia atau dapat diserap langsung oleh tanaman sehingga produksi tanaman optimal dan berkelanjutan.
26
Gambar 5. Keseimbangan dan Siklus K di Dalam Tanah (Havlin et al., 1999).
Pengelolaan K Tanah
Terdapat berbagai cara pengelolaan K tanah agar hasil tanaman optimal, antara lain: (1) pemanfaatan K tanah, (2) peningkatan efisiensi pupuk K, (3) pengelolaan hara terpadu, (4) penggunaan varietas tanaman yang toleran. Cara pertama dan keempat masih belum banyak dilakukan karena penelitian ke arah itu masih terbatas. Di lapangan biasanya menggunakan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Berikut ini dibahas beberapa alternatif pengelolaan K tanah.
1. Pemanfaatan K Tanah
Meskipun hanya bentuk Kl dan Kdd saja yang cepat tersedia bagi tanaman, namun sesungguhnya bentuk Ktdd yang meliputi K-terfiksasi dan K-struktural berpotensi untuk
27
berubah menjadi tersedia bagi tanaman. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bentuk K tersedia hanya sekitar 2-10% dari total K yang terdapat di dalam tanah. Dengan demikian maka terdapat peluang yang sangat besar untuk memanen K tanah, yaitu sekitar 90-100%. Apabila peluang ini dapat dimanfaatkan maka kita dapat memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan K tanaman dari tanah dan sisanya dari pupuk. Peluang ini terutama ditujukan untuk tanah-tanah yang mengandung total K tinggi, yaitu untuk tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi atau tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Zhu dan Luo (1993) mengemukakan bahwa asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan Ktdd menjadi Kdd dan Kl pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur. Mereka juga menunjukkan bahwa asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat dalam melepaskan Ktdd menjadi Kdd. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Song dan Huang (1988) dimana Ktdd dari posisi dalam (inner position) mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan asam sitrat. Penelitian Sparks (1987) dengan menggunakan tanah-tanah dari Middle Atlantic Costal Region, USA yang bertekstur kasar dan mempunyai K total tinggi menunjukkan bahwa pemberian asam oksalat 0.01 M dapat mengeluarkan K dari struktur mineral feldspar selama inkubasi 30 hari. Asam-asam organik, seperti: oksalat, sitrat, malonat, fumarat, malat, suksinat, benzoat, tartarat dan lain-lain merupakan komponen penting dari eksudat akar tanaman yang dikeluarkan di sekitar rhizosphere. Akar tanaman jagung yang dipelihara dalam larutan hara (solution culture) steril dapat mengeluarkan asam oksalat sekitar 3100, fumarat 4710, dan sitrat 530 µg/g (Bolton et al., 1993). Penelitian Syarif (2005) pada tanaman padi menunjukkan bahwa akar padi genotipe Gadih Ani-2 dapat mengeluarkan
28
eksudat asam oksalat 1.283, asam sitrat 0.533, asam format 0.608, dan asam suksinat 0.273 µmol/tanaman/hari. Akar tanaman kedelai juga dapat mengeluarkan eksudat akar asam oksalat sekitar 116-2278 nmol/g/hari. Selain itu asam-asam organik, terutama asam oksalat, malonat, dan fumarat juga banyak terdapat di dalam akar tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai masing-masing sekitar 2000-12000, 3000-14000, dan 2000-11000 nmol/g (Nursyamsi et al., 2002). Pada tanaman jagung, terdapat korelasi yang erat antara level K dalam medium larutan hara dengan komposisi dan konsentrasi asam organik dalam eksudat akar. Pemberian K yang rendah nyata meningkatkan jumlah eksudat akar jagung, baik gula, asam organik, maupun asam amino. Level K tidak berpengaruh terhadap kadar gula dan asam amino dalam eksudat tapi berpengaruh terhadap kadar asam organik. Pada pemberian K tinggi asam malat dominan, sebaliknya pada K rendah, ternyata asam oksalat dominan (Kraffczyk et al., 1984). Selain asam organik sejumlah kation juga berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara K terutama di tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 atau mineral yang banyak mengandung K. Penelitian yang dilaksanakan di tanah-tanah Punjab di India menunjukkan bahwa posisi K+ di interlayer mineral muskovit digantikan oleh Ca2+ dan Na+ (Sidhu, 1987) akibat hancuran. Ion NH4+ dan K+ dapat berkompetisi dalam menempati kompleks jerapan di posisi inner dari ruang antar lapisan mineral liat tipe 2:1. Kompetisi tersebut sering terjadi terutama di tanah yang didominasi mineral yang mempunyai kapasitas jerapan tinggi terhadap kedua kation tersebut, seperti beidelit dan vermikulit (Bajwa, 1987). Dengan demikian maka penambahan NH4+ dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia. Sebaliknya penambahan K+ dapat mengurangi ikatan jerapan koloid liat terhadap NH4+ (Evangelou dan Lumbanraja, 2002). Kation lain yang berperan dalam meningkatkan ketersedian K adalah Na+. Penelitian Dhillon dan Dhillon (1992)
29
yang dilaksanakan di tanah merah (Alfisol), hitam (Vertisol), dan aluvial (Inceptisol dan Alfisol) menunjukkan bahwa pemberian Na+ dari natrium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia. Penelitian lainnya yang dilaksanakan di tanah Vertisol di lahan perkebunan tebu Jawa Timur menunjukkan bahwa Na+ dari garam dapur (NaCl) dapat mengurangi kebutuhan pupuk K tanaman tebu (Ismail, 1997).
2. Peningkatan Efisiensi Pupuk K
Efisiensi penggunaan pupuk K merupakan faktor penting dalam pengelolaan K tanah. Pengapuran merupakan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (termasuk pemupukan K) terutama pada tanah-tanah yang mengalami pencucian dan hancuran yang tinggi. Tanaman yang diusahakan pada tanah-tanah demikian (misalnya Ultisol dan Oxisol) umumnya mengalami kekahatan K, tapi tanaman tidak respon terhadap pemupukan K. Produksi tanaman nyata meningkat apabila pemupukan K diawali terlebih dahulu dengan pengapuran. Namun demikian pengapuran perlu hati-hati karena adakalanya pengapuran yang berlebihan dapat menurunkan Kl dalam tanah ke tingkat defisien (Geodert et al., 1975). Cara penempatan pupuk juga perlu diperhatikan agar pemupukan lebih efisien. Pemupukan K dengan cara disebar di permukaan tanah akan menyebabkan kehilangan K akibat pencucian sangat tinggi. Pembenaman pupuk K pada larikan di pinggir tanaman atau pada lubang dengan cara ditugal dapat mengurangi kehilangan K karena pencucian. Selain itu cara ini juga membuat K dekat dengan rhizosfer sehingga serapan K melalui proses difusi berlangsung dengan baik. Waktu penempatan pupuk juga perlu diperhatikan dalam upaya meningkatkan efisiensi pupuk K. Sittibusaya et al. (1978) melaporkan bahwa pupuk K yang dibenamkan 2 bulan setelah tanam untuk cassava menghasilkan ubi jauh lebih tinggi dibandingkan
30
aplikasi pupuk sebelum tanam. Selain itu aplikasi pupuk secara bertahap, misalnya ½ bagian saat tanam dan sisanya saat primordia pada tanaman setahun sangat direkomendasikan karena terbukti dapat mengurangi kehilangan K melalui pencucian. Aplikasi pupuk K pada tanah salin, selain dapat mengurangi pencucian K juga dapat menekan efek keracunan garam.
3. Pengelolaan Hara Terpadu
Pengelolaan hara terpadu (integrated plant nutrient supply atau disingkat IPNS) bertujuan agar semua hara yang diperlukan tanaman berada dalam kondisi yang favorable untuk pertumbuhan tanaman. Cara tersebut dilakukan melalui kombinasi penggunaan pupuk kimia, bahan organik, dan pupuk hayati. Saat ini IPNS masih diartikan sebagai penggunaan pupuk anorganik dan organik karena penggunaan pupuk hayati belum memberikan hasil yang memuaskan di lapangan. Namun demikian penggunaan mikroba BNF (biological nitrogen fixing microbe) yang dikombinasikan dengan sisa tanaman dan pupuk kandang telah banyak diaplikasikan di sejumlah negara maju untuk meningkatkan produksi tanaman (Roy, 1992). Berbagai penelitian menunjukan bahwa penggunaan IPNS dapat meningkatkan efisiensi pupuk kimia seperti pupuk N, P, dan K.
4. Penggunaan Varietas yang Toleran
Pengunaan varietas yang toleran terhadap stres, misal tahan terhadap kekurangan P, keracunan Al dan Fe, keracunan garam, kekeringan, dan lain-lain telah banyak dilakukan. Namun demikian penggunaan tanaman yang toleran terhadap kekahatan K masih belum banyak diteliti. Penggunaan tanaman yang toleran selain dapat mempertahankan hasil tanaman juga dapat mengurangi biaya input produksi (pemupukan) sehingga keuntungan bertani maksimal.
31
Tanaman secara alamiah sebenarnya mempunyai mekanisme untuk mengantisipasi kondisi stres terhadap situasi yang tidak menguntungkan. Tanaman yang toleran terhadap kekurangan P pada tanah-tanah masam dapat mengeluarkan eksudat senyawa organik (gula, protein, asam organik, dan lain-lain) dari akarnya. Selanjutnya asam organik dari eksudat akar dapat melarutkan P yang terikat oleh Al sehingga tanaman dapat menyerap P untuk kebutuhan hidupnya (Ness dan Vlek, 2000). Secara teoritis hal yang sama sesungguhnya dapat terjadi pada tanah-tanah yang memiliki fiksasi K tinggi seperti tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1. Pada tanah ini eksudat asam organik juga berperan membebaskan K terfiksasi menjadi tersedia bagi tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Song dan Huang (1988) dan Zhu dan Luo (1993) bahwa asam oksalat dan sitrat meningkatkan ketersediaan K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat tipe 2:1 tinggi.
Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman
Kalium adalah kation valensi satu dengan radius ion terhidrasi 0.331 nm dan energi hidrasi 314 j mol-1 (Havlin et al., 1999). Serapan oleh tanaman sangat tinggi untuk menutupi aktivitas metabolisme. Hal ini ditandai dengan tingginya mobilitas di dalam tanaman pada semua level di dalam individu sel, jaringan, dan angkutan jarak panjang melalui xylem dan floem. Kalium adalah kation yang paling banyak berada dalam sitoplasma dan K+
yang diikuti oleh anion memberikan kontribusi utama terhadap
potensial osmotik dari sel dan tisu pada spesies tanaman glikofitik (Marschner, 1997). Berbagai fungsi K untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibahas secara ringkas oleh Havlin et al. (1999), seperti yang diuraikan berikut ini. Enzim terlibat dalam berbagai proses fisiologi tanaman yang penting dimana lebih dari 80% enzim memerlukan K untuk aktivasinya. Aktivasi enzim diduga sebagai fungsi K
32
yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman. Enzim ini berlimpah di jaringan meristem pada titik tumbuh tanaman baik yang berada di bagian atas maupun di bagian bawah tanaman dimana pertumbuhan sel sangat cepat dan jaringan primer terbentuk. Dalam sintesis pati, enzim terlibat dalam konversi gula larut menjadi pati yang merupakan tahap penting dalam proses pengisian biji. Kalium juga berperan dalam transpor karbohidrat ke nodul dalam proses sintesis asam amino. Dalam kaitannya dengan serapan air, K menstimulir tarikan osmotik (osmotic pull) yang menyebabkan air masuk ke dalam akar tanaman. Tanaman yang mengalami kekahatan K biasanya rentan terhadap stres air karena ketidakmampuannya dalam menggunakan air tersedia secara optimal. Perawatan turgor tanaman sangat penting dalam proses-proses metabolik dan fotosintesis. Pembukaan stomata terjadi bila ada peningkatan tekanan turgor pada sel di sekitar stomata yang dikendalikan oleh influx K. Penurunan fungsi stomata yang disebabkan oleh defisiensi K dapat menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan ketidak efisienan penggunaan air. Kalium juga dapat mengendalikan proses transpirasi tanaman dan serapan air yang mengandung hara dengan mengatur bukatutup stomata. Tanaman memerlukan K untuk memproduksi adenosine triphosphate (ATP) yang dihasilkan dalam proses fotosintesis dan respirasi. ATP ini diperlukan tanaman sebagai sumber energi untuk keberlangsungan proses fisiologi tubuhnya. Jumlah CO2 yang terbentuk ke dalam gula selama proses fotosintesis meningkat tajam akibat meningkatnya K dalam jaringan tanaman. Pada saat CO2 terasimilasi ke dalam gula selama fotosintesis, gula tersebut diangkut ke seluruh organ tanaman untuk disimpan atau digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Translokasi gula ini memerlukan energi dari ATP dimana K diperlukan untuk sintesis ATP tersebut. Translokasi gula dari daun menurun drastis akibat tanaman
33
mengalami kekahatan K. Misalnya yang terjadi pada daun tebu, translokasi gula dalam keadaan normal sekitar 2.5 cm/menit tapi laju translokasi menurun menjadi setengahnya bila tanaman defisiensi K. Serapan N total dan sintesis protein berkurang pada tanaman yang mengalami kekahatan K. Hal ini ditandai dengan terbentuknya asam amino. Fenomena ini juga berkaitan dengan kebutuhan energi untuk kedua proses tersebut tidak terpenuhi karena sintesis ATP juga terhambat akibat defisiensi K.
34