TINJAUAN PUSTAKA Makanan Bayi Air Susu Ibu (ASI) Air Susu Ibu (ASI) merupakan gizi terbaik bagi bayi karena komposisi zat gizi di dalamnya secara optimal mampu menjamin pertumbuhan tubuh bayi, selain itu juga mudah diserap dan dicerna oleh usus bayi. Kandungan protein ASI yang lebih rendah dari susu sapi memiliki kualitas yang sangat tinggi karena kandungan asam-asam amino essensial yang dibutuhkan oleh bayi dan sesuai dengan daya cerna usus bayi (Widjaya 2002). Tahun pertama khususnya enam bulan pertama, adalah masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Bukan hanya pertumbuhan fisik yang berlangsung sangat cepat, tetapi juga pembentukan psikomotorik dan juga akulturasi terjadi dengan cepat sehingga ASI harus merupakan makanan utama pada usia dini (Muchtadi 2002). ASI dihasilkan oleh setiap ibu setiap ibu setelah melahirkan. Kemampuan produksi ASI sangat dipengaruhi oleh refleks isapan bayi. Refleks isapan bayi akan mencapai puncaknya pada 20 – 30 menit pertama setelah bayi lahir. Volume ASI mencapai 100 ml pada hari kedua setelah melahirkan dan jumlah tersebut akan meningkat sampai kira – kira 500 ml pada minggu kedua (Roesli 2001). Konsep ASI eksklusif, yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu – ibu. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Di samping itu ada pula ibu – ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Anak Universitas Limpopo di Afrika Selatan (2005) menunjukkan hanya terdapat 4.6 % dari subjek penelitiannya yang benar – benar menerapkan konsep ASI eksklusif sedangkan sisanya adalah sebanyak 88 % bayi diberikan tambahan berupa air putih, 43 % diberikan susu formula dan sebanyak 37 % sudah diberikan makanan tambahan. Definisi yang diberikan oleh WHO pemberian ASI secara predominan memiliki arti pemberian ASI yang didampingi dengan pemberian cairan semacam air putih, jus, teh, suplemen seperti vitamin dan mineral serta obat. Hellen Keller (2002) dalam penelitian yang berbeda menyatakan bahwa lama pemberian ASI tidak hanya dipengaruhi dari produksi ASI yang dihasilkan tetapi juga faktor luar
yang dapat mempengaruhi keputusan ibu dalam memberikan ASI seperti dukungan yang diberikan keluarga, kondisi sosial lingkungan tempat tinggal, serta persepsi ibu terhadap makanan pendamping ASI. Eckhardt et al. (2001) menyebutkan bahwa perbedaan pola serta lama pemberian ASI akan mempengaruhi
perkembangan
dan
pertumbuhan
anak.
Penelitian
yang
dilakukan Griffiths et al. (2008) menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI mengalami pertambahan yang sangat cepat dan cenderung kelebihan berat badan. Makanan Tambahan Makanan tambahan (MP ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi atau anak disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP ASI diberikan mulai umur 6 – 24 bulan dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP ASI (Depkes RI 2004). Makanan tambahan adalah makanan untuk bayi selain ASI atau susu botol sebagai penambah kekurangan ASI atau susu pengganti (PASI) (Husaini 2001). Pemberian makanan tambahan adalah memberi makanan selain ASI untuk megisi kesenjangan antara kebutuhan nutrisi dengan jumlah yang didapat dari ASI (Rosidah 2004). Makanan tambahan berarti memberi makanan lain selain ASI dimana selama periode pemberian makanan tambahan seorang bayi terbiasa memakan makanan keluarga. MP ASI merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan yang semi padat. Proses ini membutuhkan ketrampilan motorik oral. Ketrampilan motorik oral berkembang dari reflex menghisap menjadi menelan makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah bagian depan ke lidah bagian belakang. Pengenalan dan pemberian MP ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi atau anak. Pemberian MP ASI yang cukup dalam hal kualitas dan kuantitas penting untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan anak yang bertambah pesat pada periode ini (Ariani 2008). Menurut Murniningsih et al. (2007) manfaat pemberian makanan tambahan pada bayi sebagai berikut :
a. Melengkapi zat-zat gizi yang kurang, karena kebutuhan bayi yang semakin meningkat. b. Mengembangkan kemampuan bayi untuk menerima bermacam-macam makanan dengan beragam rasa dan bentuk. c. Mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan. d. Melakukan penyesuaian terhadap makanan yang mengandung kadar energi yang tinggi. Membantu menanamkan kebiasaan makan yang baik. Penyapihan Penyapihan digunakan untuk menyebut proses dimana seorang bayi perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya diberi ASI menjadi campuran antara ASI dan makanan yang berbentuk padat. Penyapihan adalah masa berbahaya bagi bayi dan anak kecil. Telah diketahui bahwa terdapat resiko infeksi yang lebih tinggi, terutama penyakit diare, selam proses ini dibandingkan dengan masa sebelumnya dalam kehidupan bayi (Muchtadi 2002). Menurut Lewis (2004) menyapih merupakan proses peralihan pemberian makan bayi dari susu ke bubur yang sangat halus, kemudian ke bubur yang lebih kasar, sampai bayi berumur sekitar 12 bulan dan sudah sepenuhnya mampu menyantap makanan keluarga. Penyapihan dimulai pada umur yang berbeda dalam masyarakat yang berbeda. Pada segolongan masyarakat, hal ini tidak dilakukan sebelum bayi menginjak usia enam bulan, dan dapat berlangsung sampai anak berumur lebih dari dua tahun, atau kadang – kadang sampai empat tahun. Pada golongan masyarakat lain, hal ini seringkali dilakukan lebih awal. Penelitian yang dilakukan oleh Mushaphi et al. (2008) menunjukkan hasil hanya sebesar 7.6 % ibu balita yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, sedangkan sebanyak 43.2 % telah diberikan makanan padat pada usia tiga bulan dan 15 % sebelum usia dua bulan. Makanan tambahan diberikan sewaktu bayi masih berumur beberapa minggu. Bila makanan tersebut bernilai gizi rendah dan disiapkan dengan cara yang tidak higienis, seringkali membawa akibat terjadinya infeksi, kurang gizi atau marasmus pada bayi. Pada masyarakat pedesaan umumnya penyapihan jarang dilakukan terhadap bayi sebelum umur satu tahun, bahkan berlangsung sampai umur lebih dari dua tahun, sedangkan pada masyarakat perkotaan terdapat kecenderungan yang jelas bahwa penyapihan anak dilakukan pada umur yang lebih dini, bahkan adapula yang menyapihkan anaknya pada umur
minggu (Muchtadi 2002). Penelitan yang dilakukan Mushaphi et al. (2008) juga menyebutkan sebanyak 45 % ibu bayi mengatakan bahwa mereka memberikan makanan padat kepada bayinya karena mendapat saran dari kerabat atau teman, 35 % karena merasa bayinya lapar dan 3.5 % lainnya karena bayinya susah tidur. Pemberian MP – ASI Pemberian MP ASI pertama kali diberikan kepada bayi merupakan suatu proses dimana bayi mulai secara perlahan – lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Selama masa tersebut makanan anak berubah secara perlahan dari hanya ASI menjadi campuran antara ASI dengan makanan lain yang berbentuk padat (Muchtadi 2002). Waktu yang baik dalam memulai pemberian makanan tambahan pada bayi adalah saat umur 6 bulan. Pemberian makanan tambahan pada bayi sebelum umur tersebut akan menimbulkan resiko seperti produksi ASI yang berkurang sehingga akan sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak, kejadian infeksi meningkat, dan ibu mempunyai resiko lebih tinggi untuk hamil kembali (Ariani 2008). Hanya sedikit ibu yang sadar dan memberikan anaknya makanan pendamping ASI setelah usia anaknya diatas 6 bulan. Hal ni terbukti dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2006) di Malaysia menunjukkan bahwa sebanyak 117 anak (21.3%) dari 551 anak di sana telah diberikan makanan pendamping sebelum berusia 4 bulan dan hanya 12.8% yang diberikan makanan pendamping setelah berusia 6 bulan. Jenis dan Pola Pemberian MP – ASI Bentuk dan frekuensi makanan bayi (0-12 bulan) disesuaikan dengan bertambahnya umur, perkembangan dan kemampuan menerima makanan. Cara memberikan makanan tambahan bagi bayi adalah dari makanan itu berbentuk cairan dan kental lalu menjadi keras, seiring dengan proses dan umur juga perkembangan bayi, sehingga usus bayi pun terlatih dengan sendirinya terhadap makanan yang diterimanya. Pola pemberian makanan bayi merupakan cara pemberian makanan pada bayi dimana jenis, frekuensi dan jadwal pemberiannya telah ditetapkan. ASI yang merupakan makanan terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan setelah 6 bulan ASI tidak mampu mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi bagi bayi sehingga diperlukan MP-ASI.
Adapun jenis – jenis makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) terbagi atas (Chintia 2008) : a. Makanan lunak yaitu semua makanan termasuk yang disajikan dalam bentuk halus dan diberikan pada bayi pertama kali, misalnya bubur susu dan sari buah. b. Makanan lembik yaitu makanan peralihan dari makanan lunak menuju makanan biasa seperti nasi tim. c. Makanan biasa yaitu makanan seperti yang disajikan untuk orang dewasa seperti nasi. Makanan pertama yang baik untuk bayi adalah biji-bijian, sereal bayi yang diperkaya zat besi, biasanya sereal beras (nasi bubur). Makanan tambahan harus mudah dicerna oleh bayi dan mengandung zat-zat gizi dalam keseimbangan yang baik. Karena lambung bayi masih kecil makanan yang diberikan harus cepat meninggalkan lambung. Makanan baru berupa nasi yang bersama-sama ditim dengan sayuran (misalnya bayam, wortel, tomat) dan ati ayam seyogyanya tidak diberikan sebelum umur 6 atau 7 bulan (Pudjiadi 2001). Tabel 1 Pola pemberian makanan anak balita Umur
Jumlah
Pemberian Dalam Sehari (kali)
0 – 6 bulan
ASI
Sekehendak
6 – 8 bulan
ASI Bubur Susu Nasi Tim Saring
Sekehendak 1 1
8 – 10 bulan
ASI Buah Bubur Susu Nasi Tim dihaluskan
Sekehendak 1 1 2
ASI Buah Nasi Tim ASI Nasi Tim atau Makanan Makanan Kecil
Sekehendak 1 3 Sekehendak 3 1
10 – 12 bulan 12 – 24 tahun
Sumber : Depkes 2000 Menurut Depkes (2000) pola pemberian makanan kepada anak dibawah umur dua tahun dibagi dalam lima tahap sedangkan untuk anak di atas dua tahun pola makannya sudah menyerupai makanan orang dewasa. Frekuensi pemberian makan pada anak umur lebih dari 6 bulan adalah 4 – 6 kali sebagai
tambahan untuk ASI, sedangkan untuk anak umur 2 – 3 tahun dapat dikurangi menjadi 3 kali sehari. Pemberian makan kepada anak dengan frekuensi yang sering tetapi dengan porsi kecil. Hal ini dikarenakan anak umur 1 – 3 tahun hanya bisa mengkonsumsi 200 – 300 ml makanan (Muchtadi 2002). Berikut merupakan tabel pola pemberian makanan pada anak balita Karakteristik Keluarga Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat meningkatan mutu modal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan
seseorang,
maka
akan
semakin
banyak
pengetahuan
dan
kemampuan yang dimiliki. Orangtua dengan pendidikan yang lebih tinggi umumnya akan memberikan stimulasi lingkungan baik dari segi fisik, sosial, emosional dan psikologis bagi anak – anaknya dibanding dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah (Hartoyo & Hastuti 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2007) menyatakan bahwa sebanyak 62 % ibu dalam kategori pendidikan rendah memiliki pengetahuan dalam pola penyapihan yang rendah juga. Penelitian yang dilakukan Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa ibu yang berasal dalam kategori pendidikan rendah cenderung memiliki anak yang bergizi kurang bahkan bergizi buruk. Pekerjaan Faktor yang memiliki peranan penting dalam kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga tersebut. Ibu yang bekerja cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk bersama anaknya. Hal ini menyebabkan mereka cenderung memberikan makanan tambahan bagi anaknya terlalu dini. Penelitian yang dilakukan oleh Senorita dan Laukau (2005) menyatakan bahwa balita yang orangtuanya khususnya ibu bekerja sebanyak 67 % memberikan makanan tambahan pada anaknya pada umur tiga bulan. Pengetahuan Kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam memberikan makanan kepada bayi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan para orang tua Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta adanya
kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada umur dibawah 5 tahun (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI 2000). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 2003). Selanjutnya,
Sediaoetama
(2006)
menyatakan
bahwa
semakin
tinggi
pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini dapat
meningkatkan
kesejahteraan
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Menurut Khomsan et al. (2007) tingkat pengetahuan gizi seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan. Tingginya tingkat pengetahuan gizi seseorang maka diharapkan lebih baik juga keadaan gizinya Besar Keluarga Besar keluarga mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga. Semakin besar jumlah keluarga yang tidak ditunjang oleh tingkat pendapatan yang baik maka pangan bagi setiap anak akan berkurang. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang kurang mampu sangat rawan terhadap masalah gizi kurang. Anak paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989). Pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian anak, juga kebutuhan makanan, sandang dan perumahanpun tidak terpenuhi oleh karena itu keluarga berencana tetap diperlukan (Soetjiningsih 1999). Pendapatan Keluarga Pola makanan keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga. Semakin kecil pendapatan, maka semakin besar persentase pengeluaran untuk makanan. Sebaliknya semakin besar pendapatan maka persentase pengeluaran
untuk makanan atau pangan semakin kecil (Berg 1986). Faktor kemiskinan keluarga diakui memiliki dampak terhadap penurunan ketahanan pangan dan status gizi anak (Soekirman 2000). Hal ini disebabkan daya beli keluarga yang rendah untuk memperoleh makanan dengan harga terjangkau, sehingga porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin tidak memadai untuk memenuhi kecukupan gizi seluruh anggota keluarga. Padahal anak – anak yang sedang dalam masa pertumbuhan cepat, terutama anak balita, memerlukan protein dan gizi mikro yang sangat penting untuk pertumbuhan otak dan perkembangan kecerdasan individu di kemudian hari (Djalal 2009). Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh. Status gizi adalah kondisi tubuh sebagai akibat penyerapan zat-zat gizi esensial. Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan
tubuh,
yang
diwujudkan
dalam
bentuk
variabel
tertentu.
Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relative lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005). Menurut Supariasa (2002), penentuan status gizi dapat dikelompokkan dalam metode langsung dan metode tidak langsung. Metode penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antropometri, klinik dan biofisik. Sedangkan metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan faktor-faktor ekologi. Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) biasanya disajikan dalam bentuk indeks yang terkait dengan umur (U) atau kombinasi antara keduanya. Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) . Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi yang memiliki karakteristik masing-masing.
Dengan batasan (cut-off point) tertentu, nilai-nilai indeks antropometri dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan status gizi (Jahari 2002). Kegiatan pemantauan status gizi, jarak waktu yang cukup panjang (dua tahun atau lebih) pilihan utama adalah indeks TB/U. Indeks ini cukup sensitif untuk mengukur perubahan status gizi dalam jangka panjang, stabil, tidak terpengaruh oleh fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya musiman. Perubahanperubahan yang disebabkan oleh keadaan secara musiman yang dapat mempengaruhi status gizi dapat ditunjukkan oleh indeks BB/U. Kalau tujuan penilaian status gizi adalah untuk assessment seperti dalam evaluasi suatu kegiatan program gizi, gabungan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB dapat memberikan informasi yang rinci tentang status gizi, baik gambaran masa lalu maupun masa kini atau keduanya (kronis dan akut). Penelitian yang dilakukan oleh Medhi (2004) menunjukkan hasil bahwa anak usia 0-6 bulan yang hanya mendapatkan ASI saja memiliki status gizi yang lebih baik dibandingkan anak yang telah diberikan susu formula dan makanan pendamping. Tabel 2 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,PB/U, BB/TB No Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi 1 BB/U < -3 SD Gizi buruk - 3 s/d <-2 SD Gizi kurang - 2 s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih 2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek - 3 s/d <-2 SD Pendek > +2 SD Normal 3 BB/PB < -3 SD Sangat Kurus - 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Gemuk Sumber : Depkes 2007 Infeksi Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan deplesi otot dan glikogen hati (Thaha 2005).
Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang padahal anak justru memerlukan zat gizi yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti mineral, dan sebagainya (Moehji 2003). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia Dua penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur 12 bulan dan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes 2004). Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap hari selama ISPA berlangsung (Noor 2006). Diperkirakan panas yang menyertai ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan nutrien karena menurunnya nafsu makan anak (Thaha 2005). Hasil penelitian Thamrin (2002) di Kabupaten Maros menyimpulkan bahwa penyakit infeksi merupakan faktor resiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian KEP pada anak balita. Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat (Depkes 2006).