4
TINJAUAN PUSTAKA Penyelenggaraan Makanan Penyelenggaraan makanan merupakan salah satu kegiatan pokok yang ada di rumah sakit. Kegiatan ini meliputi kegiatan pengadaan makanan hingga penyalurannya kepada pasien dengan mutu, jenis, dan jumlah yang sesuai dengan rencana kebutuhan. Unit yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan tersebut adalah instalasi gizi (Depkes 2003). Kegiatan pelayanan gizi memiliki tujuan yaitu untuk memberi terapi diet yang sesuai dengan perubahan sikap dan untuk mencegah kambuhnya penyakit pasien (Depkes 2003). Pengaturan makanan bagi orang sakit bukan merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan terpisah dari perawatan dan pengobatan. Pengobatan, perawatan dan pengaturan makanan merupakan suatu kesatuan dalam penyembuhan penyakit seperti juga dengan obat harus sesuai dengan ketentuan yang diberikan (Moehyi 1999). Makanan Enteral Makanan enteral merupakan salah satu teknik pemberian makanan di rumah sakit untuk pasien dengan
sakit berat seperti pasien pasca bedah,
penderita kanker, malnutrisi, anoreksia, depresi berat, luka bakar, yang tidak dapat makan secara oral dengan keadaan saluran gastrointestinal yang berfungsi dengan baik. Pemberiannya dengan cara menggunakan sonde (Hill 2000). Pemberian makanan enteral dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respon katabolik, mengurangi komplikasi infeksi, memperbaiki toleransi pasien, mempertahankan respon imunologik, lebih fisiologis dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus pada waktu sakit (Hartono 2000). Menurut Tanra (1998), makanan enteral memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Memiliki kepadatan kalori tinggi. Kepadatan kalori yang ideal adalah 1kkal/ml cairan. 2. Kandungan makanannya seimbang. Makanan enteral harus mengandung semua komponen zat gizi esensial seperti protein, asam amino, lemak, vitamin, mineral, dan trace elements lain yang memenuhi jumlah kebutuhan.
5
3. Memiliki osmolalitas yang sama
dengan
osmolalitas
cairan tubuh.
Osmolalitas yang ideal untuk makanan enteral adalah 350-400 m Osmol sesuai dengan osmolalitas cairan tubuh ekstraseluler. 4. Mudah diresorbsi. Bahan baku pembuat makanan enteral sebaiknya terdiri dari komponen-komponen yang siap diabsorpsi atau paling tidak hanya sedikit memerlukan kegiatan pencernaan untuk dapat diabsorpsi. 5. Tanpa atau kurang mengandung laktosa. Untuk menghindari intoleransi laktosa sering terjadi pada penderita malnutrisi sebaiknya suatu makanan enteral kurang atau tanpa mengandung laktosa atau paling tinggi kandungan laktosanya hanya 0,5% dari total hidrat arangnya. 6. Bebas dari bahan-bahan yang dapat mengembang purin dan kolesterol. Makanan enteral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu makanan enteral formula rumah sakit (hospital made) dan makanan enteral formula komersial (commercial made). Rumah sakit yang membuat sendiri makanan enteral harus memperhatikan faktor higiene dan cara penyiapan serta cara penyajian harus menurut standar yang baku (Tanra 1998). Makanan enteral yang dibuat sendiri oleh rumah sakit umumnya hanya bisa disimpan selama empat jam dalam lemari es sehingga makanan tersebut harus segera diberikan setelah dibuat (Hartono 2000). Makanan enteral formula komersial terbuat dari bahan baku yang diformulasikan seimbang, telah distandarisasi dan dikontrol serta kandungan makanan yang seimbang antara protein, lemak, hidrat arang, vitamin dan mineral sesuai dengan standar tertentu. Makanan enteral formula komersial dapat disajikan setiap saat (Kurnia 2005). Menurut Depkes (2002), ruangan tempat diproduksinya makanan enteral hendaknya dalam ruangan khusus (ruangan berdinding kaca) yang bebas dari mikroorganisme patogen, dan tidak dipakai untuk kegiatan lain. Semua peralatan dan perlengkapan harus steril, dan tenaga penjamah makanan harus mempunyai baju dan atribut khusus yang steril (tutup kepala, masker dan sarung tangan). Keamanan Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (UU RI No.7 1996).
6
Mengingat definisi pangan menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 yang mempunyai cakupan yang luas, maka upaya untuk mencegah pangan dari kemungkinan tercemar baik dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia merupakan suatu keharusan. FAO (1997) menjelaskan pengertian keamanan pangan sebagai jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki. Menurut Hariyadi (2007), keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan yang bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa dan nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman dikonsumsi. Cemaran mikrobiologis sering terjadi pada makanan yang dibuat secara massal, dan setiap tahapan dalam proses tersebut memungkinkan mikroba berkembang biak dan memperbanyak diri. Cemaran mikrobiologis dapat terjadi akibat pemakaian alat untuk mengolah bahan pangan yang kurang bersih dan lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya (Hartono & Palupi 2006). Terdapat kelompok yang lebih berisiko untuk terjangkit infeksi dan intoksikasi bawaan makanan, yaitu orang yang rentan dengan alasan fisiologis atau alasan lainnya lebih mudah terkena infeksi bawaan makanan. Kelompok tersebut mencakup bayi dan anak-anak, lansia, ibu hamil, pasien malnutrisi, pasien dengan penyakit utama (misalnya penyakit hati dan diabetes), dan pasien gangguan kekebalan akibat mengalami infeksi atau pasien yang sedang menjalani pengobatan (kanker) (Hartono & Palupi 2006). Beberapa ketentuan
perlu diperhatikan untuk memenuhi syarat mutu
keamanan pangan mulai dari penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, penyimpanan, pengangkutan/pendistribusian sampai makanan tersebut siap disajikan, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan menekan atau menghilangkan setiap mikroba yang tidak diharapkan kehadirannya dalam bahan makanan (Supardi & Sukamto 1998). Manajemen Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Penyelenggaraan makanan merupakan suatu sistem mencakup kegiatan atau sub sistem penyusunan anggaran belanja makanan, perencanaan menu, pembuatan taksiran bahan makanan, penyediaan atau pembelian bahan makanan, penerimaan dan penyaluran bahan makanan, persiapan, pemasakan
7
makanan, penilaian dan distribusi makanan, pencatatan laporan dan evaluasi yang dilaksanakan dalam rangka penyediaan makanan bagi kelompok masyarakat di institusi (Depkes 2003). Manajemen makanan institusi adalah penyediaan makanan bagi konsumen dalam jumlah banyak, yang berada dalam kelompok masyarakat yang terorganisir di institusi seperti perkantoran, perusahaan, pabrik industri, asrama, rumah sakit, panti sosial, lembaga permasyarakatan (Depkes 2003). Tujuan penyelenggaraan makanan institusi yaitu untuk : 1) Menghasilkan makanan yang berkualitas baik, dipersiapkan dan dimasak dengan layak, 2) Pelayanan yang cepat dan menyenangkan, 3) Menu seimbang dan bervariasi, 4) Harga layak, serasi dengan pelayanan yang diberikan, 5) Standar kebersihan dan sanitasi yang tinggi (Mukrie et al 1990). Pengadaan Bahan Makanan. Pengadaan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara membeli sendiri atau melalui pemasok bahan makanan. Pembelian bahan makanan adalah proses penyediaan bahan makanan melalui prosedur dan ketentuan yang berlaku,
dalam
upaya
memenuhi
kebutuhan
bahan
makanan
untuk
penyelenggaraan makanan bagi banyak orang (Subandriyo 1993). Produksi makanan yang berkualitas tergantung pada bahan baku yang digunakan.
Penggunaan
bahan
baku
yang
berkualitas
rendah
akan
menghasilkan produk makanan yang berkualitas rendah pula, sedangkan makanan yang berkualitas tinggi berasal dari bahan baku yang berkualitas tinggi (Wirakusumah 1999). Cara untuk mendapatkan bahan baku yang berkualitas tinggi perlu memperhatikan mengenai jenis, jumlah, dan spesifikasinya (kualitas) bahan baku yang dibeli. Selain itu, perlu diketahui pula mengenai karakteristik pemasok, tempat pembelian, dan fungsi atau kegunaan bahan baku tersebut dalam proses produksi (Keister 1990). Standar kualitas bahan makanan merupakan daftar informasi mengenai deskripsi bahan makanan yang meliputi penampilan, kualitas atau mutu organoleptik, dan komposisi bahan makanan. Penentuan kualitas dapat berupa grade atau kelas mutu, penampakan luar, varietas, bentuk/ukuran, dan kemasan (Sambas 1991). Subandriyo (1993) menyatakan bahwa cara pembelian bahan makanan yang tepat akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana yang tersedia. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman standar yang
8
dapat mengontrol proses pembelian sehingga mendapatkan kualitas bahan seperti yang diharapkan. Penerimaan. Penerimaan bahan makanan adalah suatu proses kegiatan yang meliputi pemeriksaan, penelitian, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan spesifikasi bahan makanan menurut permintaan (Subandriyo 1993). Metode pembelanjaan yang efisien membutuhkan prosedur penerimaan yang baik. Penerimaan makanan pada penyelenggaraan makanan di institusi dipusatkan pada suatu ruangan yang cukup besar dengan peralatan seperti timbangan dan peti kemas (container untuk menampung bahan makanan). Bahan makanan yang diterima ada yang segera digunakan tetapi ada juga yang disimpan terlebih dahulu. Penerimaan
bahan
makanan
menurut
Subandriyo
(1993)
harus
memperhatikan beberapa prinsip, yaitu : 1. Jumlah bahan makanan yang diterima harus sama dengan jumlah bahan makanan yang tertulis dalam daftar permintaan dan fraktur pembelian. 2. Mutu bahan makanan harus sesuai dengan spesifikasi bahan makanan yang ada dalam pedoman standar pembelian. 3. Harga bahan makanan yang tercantum pada fraktur pembelian harus sama dengan harga yang tercantum pada saat penawaran. Penanganan
bahan
makanan
saat
kegiatan
penerimaan
harus
memperharikan tindakan sanitasi dengan baik sehingga terjadinya kontaminasi dapat dihindari. Petugas harus melakukan pemeriksaan dengan teliti terhadap spesifikasi mutu, deskripsi bahan makanan, penimbangan dan pengukuran bahan makanan (Sambas 1991). Penyimpanan. Penyimpanan bahan makanan adalah proses kegiatan yang menyangkut pemasukan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan serta penyaluran bahan makanan sesuai dengan permintaan untuk persiapan pemasukan bahan makanan. Menurut Subandriyo (1993), tujuan penyimpanan bahan makanan yaitu untuk : 1) Menjaga agar persediaan stok tidak kurang, 2) Dapat digunakan sewaktu-waktu bila dipelukan, 3) Menjaga agar kondisi bahan makanan tidak rusak atau hilang, dan 4) Menjaga kondisi bahan makanan tetap baik, tidak ada perubahan tekstur, bau, warna, maupun rasa, dan terhindar dari hewan perusak.
9
Tempat penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih, terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya, serangga dan hewan lain (Depkes 2002). Menurut Sambas (1991) prinsip pengaturan penyimpanan adalah setiap jenis makanan harus disimpan secara terpisah satu dengan yang lainnya. Moehyi (1992) menambahkan bahwa bahan makanan yang disimpan sebaiknya disusun dengan teratur, tidak bertumpuk-tumpuk agar suhu penyimpanan tersebar merata pada seluruh bagian makanan. Semakin luas permukaan bahan makanan, semakin merata temperature. Suhu
gudang
penyimpanan
harus
dijaga
tetap
stabil
untuk
mempertahankan kualitas bahan makanan. Sistematika penyimpanan dan penyusunan bahan makanan menggunakan prinsip first in first out (FIFO), artinya bahan makanan yang terlebih dahulu masuk harus keluar lebih dulu dengan penyusunan menurut jenis dan frekuensi pemakaian (Fardiaz 1999). Gudang penyimpanan harus memiliki konstruksi yang baik dan kokoh untuk mencegah masuknya hama perusak, kering, dan mempunyai ventilasi yang baik untuk menjaga sirkulasi udara. Sirkulasi udara yang cukup dapat mengurangi kelembaban, menurunkan temperatur, dan mengurangi bau yang tidak sedap. Penempatan wadah seperti kantong dan karton makanan dalam ruang penyimpanan disusun bertumpuk di rak. Tinggi rak sebaiknya minimal 15 cm dari atas lantai dan berjarak lebih dari 5 cm dari dinding sehingga sirkulasi udara dapat berjalan baik (Moehyi 1992). Persiapan. Persiapan merupakan kegiatan mempersiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu sebelum dilakukan kegiatan pemasakan (Sambas 1991). Menurut Subandriyo (1993), tujuan persiapan yaitu tersedianya bahan makanan serta bumbu-bumbu yang sesuai dengan teknik persiapan bahan makanan dan standar resep. Sebelum persiapan, bahan makanan dicuci bersih dengan air mengalir. Pencucian dapat melarutkan kotoran yang mungkin masih ada. Pengolahan. Pengolahan makanan adalah proses membentuk dari bahan bahan mentah menjadi makanan siap saji. Tujuan pengolahan adalah mengurangi atau menghilangkan bahaya sampai ke titik aman, mencegah pertumbuhan mikroba patogen, dan pembentukan bahan kimia beracun serta menjaga agar tidak terjadi kontaminasi silang (Marriot 1999). Menurut Subandriyo (1993), tujuan dari pengolahan makanan adalah untuk mempertahankan nilai gizi, meningkatkan
10
nilai cerna, meningkatkan dan mempertahankan warna, bau, rasa, keempukan, dan penampakan makanan, serta bebas dari organisme yang berbahaya bagi kesehatan. Dalam pengolahan termasuk proses penyiapan bahan makanan dan alat yang akan digunakan. Penyiapan makanan merupakan prosedur yang melibatkan berbagai aktifitas dan diantaranya dipengaruhi oleh kebiasaan kultural. Bukan hanya aktifitas itu sendiri yang mungkin membahayakan, seperti memasak makanan setengah matang, memegang makanan pada suhu kamar dan memegang makanan dengan tangan yang terkontaminasi tetapi urutan penyiapan juga dapat menjadi faktor risiko yang dapat menyebabkan masuknya kembali patogen ke dalam makanan (Hartono & Palupi 2006). Permenkes (2011) menetapkan bahwa semua peralatan yang digunakan untuk penanganan dan pengolahan produk pangan harus selalu diperhatikan kebersihannya. Selain itu harus selalu berada pada keadaan bersih, bebas dari karat, jamur, minyak/oli, cat yang terkelupas dan kotoran-kotoran yang lain (sisasisa pengolahan sebelumnya). Penyajian dan Pengemasan. Pengemasan
bahan pangan
memegang
peranan
penting
dalam
pengendalian dari kemungkinan kerusakan dan infeksi mikroorganisme terhadap produk pangan. Bahaya terbesar dalam makanan masak adalah adanya mikroorganisme patogen dalam makanan akibat terkontaminasi silang melalui wadah maupun penjamah makanan. Setiap makanan masak harus mempunyai wadah dan tempat yang terpisah untuk menekan kontaminasi silang. Pemisahan didasarkan pada saat makanan diolah dan sesuai jenis makanan, selain itu setiap wadah mempunyai tutup berventilasi yang dapat mengeluarkan uap (Depkes 1996). Kondisi pengemasan harus sedemikian rupa sehingga dapat menekan kemungkinan
kontaminasi
bahaya
mikroorganisme
Pengemasan yang baik dapat mencegah
serendah
mungkin.
penularan bahan pangan oleh
mikroorganisme yang berbahaya bagi kesehatan konsumen (Supardi 1998). Distribusi atau Pengangkutan. Pengangkutan makanan merupakan salah satu titik rawan terhadap kontaminasi sehingga diperlukan pengangkutan dan perlakuan yang hati-hati. Prinsip makanan siap santap yang perlu diperhatikan adalah setiap makanan mempunyai wadah yang berbeda dan harus mempunyai tutup serta ventilasi.
11
Menurut Anwar et al (1986), syarat-syarat pengangkutan makanan adalah yang memenuhi aturan sanitasi sebagai berikut : 1) alat atau tempat pengangkut harus bersih, 2) cara pengangkutan makanan harus benar dan tidak terjadi pengotoran saat di angkut, 3) pengangkutan makanan yang langsung dapat dimakan harus ditempatkan dalam suatu wadah yang tertutup, 4) pengangkutan makanan yang yang melewati daerah atau tempat yang mudah terkontaminasi harus dihindari, dan 5) cara pengangkutan makanan harus dilakukan dengan mengambil jalan paling singkat. HACCP Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menurut Food and Drug Administration (1997), merupakan sistem manajemen untuk mengurangi risiko bahaya pada makanan pada setiap prosesnya sejak tahap produksi, distribusi, pengolahan, penyajian, hingga konsumsi. Fardiaz (1994) mengemukakan bahwa HACCP adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk atau proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat untuk menjamin bahwa produk pangan yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Menurut Thaheer (2008), HACCP dapat diterapkan pada rantai produksi makanan yang dapat dilakukan mulai dari pemilihan bahan makanan, penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, pengolahan, sampai penyajian. Selain itu, HACCP dapat memberikan komponen penting dalam sistem manajemen keamanan pangan maupun Good Manufacturing Practices (GMP) dengan cara yang sistematis dan mudah diterapkan sehingga HACCP dapat diterapkan dalam berbagai industri pangan dan seluruh rantai produksi. Terdapat tujuh prinsip dalam sistem HACCP yang diungkapkan oleh Winarno dan Surono (2002) yaitu : Prinsip 1
:Analisis bahaya dan penetapan risiko yang berhubungan dengan produk bahan mentah, pengolahan, distribusi, penjualan, persiapan, dan konsumsi.
Prinsip 2
:Penetapan Critical Control Point (CCP) untuk mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi.
Prinsip 3
:Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa setiap CCP terjamin.
Prinsip 4
:Penetapan prosedur untuk memantau CCP dengan cara pengujian dan pengamatan.
12
Prinsip 5
:Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama pemantauan.
Prinsip 6
:Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil.
Prinsip 7
:Pengembangan dokumentasi mengenai semua prosedur dan pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya.
Tahapan keenam dan ketujuh dalam prinsip sistem HACCP tidak perlu dilakukan bagi penyelenggaraan makanan berskala kecil atau menengah, sedangkan tahap pertama sampai tahap kelima dapat dilakukan dengan cara sederhana dan mudah dilakukan (Fardiaz 1994). Higiene dan Sanitasi Penjamah Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang berpengaruh buruk terhadap kesehatan jasmani, rohani, dan sosial termasuk pengawasan terhadap makanan (Purnawijayanti 2001). Proses produksi makanan dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi persiapan, pengolahan dan penyajian makanan. Sanitasi meliputi pengawasan mutu bahan makanan mentah, penyimpanan bahan, suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan dari lingkungan, peralatan dan pekerja pada semua tahapan proses (Purnawijayanti 2001). Pegawai yang terlibat dalam penyelenggaraan makanan menjadi salah satu penyebab terjadinya kontaminasi silang pada makanan. Selain itu, pegawai dapat terjangkit penyakit melalui bagian tubuhnya, seperti kulit, mulut, rambut, kuku dan lainnya. Bagian-bagian tersebut jika tidak terawat dengan baik dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba. Mikroba jika sudah berkembang biak di dalam tubuh akan mengancam kesehatan tubuh. Tubuh yang tidak kuat memerangi mikroba, akan menjadi lemah dan akhirnya menjadi sakit. Para pegawai yang terinfeksi mikroba dapat mengkontaminasi makanan. Kontaminasi ini dapat dihindari bila pegawai dilatih untuk menjaga higiene dan sanitasi personalia dengan baik (Jenie 2000). Penggunaan Sarung Tangan. Makanan dapat terkontaminasi oleh pekerja yang terinfeksi mikroba patogen dengan cara memegangnya. Tangan pegawai yang telah tercemar mikroorganisme patogen akan memindahkan mikroba tersebut ke pakaian atau
13
serbet yang bersentuhan dengan makanan atau tangan tersebut (Jennie 2000). Sarung tangan dapat melindungi kontak makanan dengan bakteri pada tangan, tetapi bakteri akan terakumulasi ketika tangan berkeringat dan berkembang biak di tangan tertutup oleh sarung tangan untuk periode yang lama. Penggunaan sarung tangan tidaklah penting dan tidak dianjurkan karena mudah robek, mahal, dan mudah kotor. Sarung tangan yang robek menyebabkan risiko kontaminasi yang lebih besar. Cara yang mudah untuk menghindari kontaminasi dari tangan pegawai adalah dengan tidak memegang makanan langsung dengan tangan, tetapi menggunakan sendok garpu atau alat pengambil makanan lainnya (Moehyi 1992). Kebiasaan Mencuci Tangan. Mencuci
tangan
adalah
salah
satu
tindakan
sanitasi
dengan
membersihkan tangan dan jari jemari dengan menggunakan air ataupun cairan lainnya oleh penjamah dengan tujuan untuk menjadi bersih. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan setelah bekerja, setelah melepas sarung tangan, sesudah menangani bahan makanan mentah/kotor atau terkontaminasi, setelah dari kamar kecil, setelah tangan digunakan untuk menggaruk, batuk atau bersin dan setelah makan atau merokok. Karyawan yang menangani bahan makanan harus mencuci tangan sebelum menangani makanan masak, sehingga tidak ada organisme patogen atau toksin yang dapat hidup didalamnya. Menurut Jenie (2000), metode mencuci tangan yang baik adalah menggunakan air hangat yang mengalir, diberi sabun dan digosok selama 15 detik. Selanjutnya dibilas dan dikeringkan dengan handuk kertas. Efektivitas pencucian tangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan antiseptik yang tepat setelah pencucian. Penutup Kepala. Pegawai yang terlibat dalam tahap pengolahan harus menggunakan penutup kepala. Rambut yang berasal dari kepala kadang-kadang terkontaminasi oleh bakteri, tetapi bukan merupakan sumber kontaminasi utama mikroba pada makanan. Kontaminasi dapat terjadi akibat kebiasaan pegawai yang menyisir dan memegang rambut saat bekerja, sehingga mikroba pada rambut berpindah ke tangan dan ke makanan yang sedang diolah (Jenie 2000). Penutup Muka (Masker). Penutup muka efektif dalam menahan kontaminasi yang berasal dari udara, namun tidak nyaman dipakai. Mulut dan hidung yang terlalu lama ditutup
14
akan mengakumulasi mikroba pada keringat sekitar mulut dan hidung, sehingga risiko kontaminasi makanan lebih besar pada pemakaian masker (Jenie 2000). Apron dan Perhiasan. Menurut Jenie (2000), pakaian khusus (apron) pegawai sebaiknya terbuat dari bahan yang bersifat tidak mudah menyerap keringat. Pakaian yang bersifat menyerap seperti kain wol dapat menimbun mikroorganisme dan bahan makanan. Penggantian dan pencucian pakaian secara periodik akan mengurangi risiko kontaminasi. Pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan makanan, karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat mencemari makanan (Moehyi 1992). Sebelum memasuki daerah pengolahan, pegawai harus melepaskan perhiasan, seperti cincin, kalung, jam tangan atau anting. Sisa-sisa makanan dapat menempel pada perhiasan sehingga mikroba dapat tumbuh dan berpindah ke makanan (Sambas 1991). Tangan yang dilengkapi perhiasan akan sulit dicuci sampai bersih karena adanya lekukan perhiasan dan permukaan kulit disekitar perhiasan. Kebiasaan Pegawai. Kebiasaan pegawai seperti makan, merokok dan mengunyah selama penanganan makanan akan memberikan peluang perpindahan organisme dengan tangan dari bibir dan mulut pada makanan. Selain itu, mengunyah tembakau dan merokok akan mendorong keluarnya ludah yang dapat mengkontaminasi makanan (Jenie 2000). Fasilitas Fisik dan Sanitasi Fasilitas fisik merupakan sarana yang dapat membantu kelancaran proses produksi bahan makanan menjadi makanan yang siap disajikan, mencakup bangunan, ruangan, dan perabotan/peralatan yang ada dalam ruangan. Fardiaz (1999) mengungkapkan fasilitas fisik dalam penyelenggaraan makanan harus sesuai dengan fungsinya dan memerlukan desain khusus untuk mencegah kontaminasi makanan, memudahkan pemeliharaan, pembersihan, desinfektan, dan mencegah kontaminasi udara. Konstruksi. Bangunan untuk kegiatan pengolahan makanan harus memenuhi persyaratan teknis konstruksi bangunan yang berlaku (Depkes 2002). Bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan makanan harus berlangsung pada lantai
15
yang sama, sehingga dapat meminimalkan jarak antara tempat produksi hingga tempat penyajian makanan. Desain bangunan berorientasi pada sanitasi, keselamatan kerja, dan memperhatikan alur lalu lintas barang dan manusia, serta harus menyesuaikan dengan fungsi alat yang digunakan (Wirakusumah 1999). Lantai dan dinding. Menurut Depkes (2002), lantai bangunan untuk penyelenggaraan makanan permukaannya harus rapat air, halus, kelandaian cukup, tidak licin, dan mudah dibersihkan. Bahan bangunan yang dianjurkan untuk lantai dapur antara lain bata keras, teraso ataupun tegel (Subandriyo 1993). Dinding dapur hendaknya halus, mudah dibersihkan, tahan terhadap cairan dan dapat memantulkan cahaya yang cukup bagi ruangan (Subandriyo 1993). Dinding sebaiknya terbuat dari bahan yang kuat, kering, tidak menyerap air, dipasang rata tanpa celah atau retak. Permukaan dinding yang sering terkena percikan air hendaknya diberi lapisan porselin agar tidak mudah ditumbuhi jamur atau kapang. Tinggi porselin menurut Depkes (2002) minimal 2 m dari lantai sebagai batas jangkauan tangan dalam posisi berdiri dan berwarna terang. Langit-langit. Langit-langit harus menutup seluruh atap bangunan dan dilengkapi dengan peredam suara untuk bagian-bagian tertentu. Langit-langit dibuat dari bahan asbes, triplek, ataupun bahan kayu lainnya. Warna langit-langit sebaiknya memberikan pantulan cahaya. Tinggi langit-langit sekurang-kurangnya 2,4 m diatas lantai. Kontruksi langit-langit harus dapat mencegah akumulasi debu dan kondensat, tidak mudah terkelupas yang dapat menimbulkan partikel halus (Depkes 2002). Pencahayaan dan ventilasi. Intensitas
pencahayaan
harus
cukup
untuk
dapat
melakukan
pemeriksaan dan pembersihan serta melakukan pekerjaan-pekerjaan secara efektif. Intensitas pencahayaan sedikitnya 200 lux pada bidang kerja. Ventilasi bertujuan untuk menjaga kenyamanan suhu dan kelembaban dalam ruangan, mencegah udara dalam ruangan terlalu panas, mencegah kondensasi uap air atau lemak pada lantai, dinding atau langit-langit, membuang bau, asap dan pencemaran lainnya (Depkes 2002). Tinggi ventilasi sekurang-kurangnya 1 m dari lantai. Ventilasi pada bangunan tidak boleh terakumulasi debu dan dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga (Subandriyo 1993). Kontrol suhu udara
16
juga dapat dilakukan dengan menggunakan sistem aliran udara (exhauster fan). Mekanisme kerja exhauster fan harus diatur sehingga udara tidak mengalir dari tempat kotor ke tempat bersih (Fardiaz 1999). Pintu dan Jendela. Seluruh pintu dan jendela pada bangunan yang dipergunakan untuk pengolahan harus membuka ke arah luar. Pintu ruangan pengolahan harus dapat menutup sendiri. Hal ini untuk memudahkan penyelamatan diri pada waktu keadaan darurat (Depkes 2002). Tempat Pencucian Peralatan dan cuci tangan. Tempat pencucian terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, dan mudah dibersihkan. Bak pencucian peralatan sedikitnya terdiri dari 3 bak pencuci yaitu bak untuk merendam, bak menyabuni, dan bak untuk membilas (Depkes 2002). Tempat cuci tangan terpisah dari tempat cuci peralatan maupun bahan makanan yang dilengkapi dengan kran, saluran pembuangan tertutup, bak penampungan, sabun dan pengering. Jumlah tempat cuci tangan disesuaikan dengan banyaknya karyawan. Sebuah tempat cuci tangan dipergunakan maksimal 10 orang, dan terletak sedekat mungkin dengan tempat kerja (Depkes 2002). Tempat Sampah. Tempat sampah dibbuat dari bahan yang kuat, kedap air, dan tidak mudah berkarat. Mempunyai tutup dan memakai kantong plastik khusus untuk sisa bahan makanan dan makanan jadi yang cepat membusuk. Sampah yang telah penuh segera dibuang dalam waktu 1x24 jam (Depkes 2002). Pengetahuan Higiene Sanitasi Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dimana sebagian besar dari pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui indera mata dan telinga. Pengetahuan sangat penting bagi terbentuknya suatu tindakan. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak disadari
pengetahuan
pengetahuan
(Notoatmodjo
merupakan
kesan
1993).
dalam
Menurut
pikiran
Soekanto
manusia
(1981),
sebagai
hasil
penggunaan panca indera. Tingkat
pengetahuan
berpengaruh
terhadap
sikap
dan
perilaku
seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu. Pengetahuan higiene sanitasi yang memadai dapat
17
menimbulkan kecenderungan untuk menyetujui praktek-praktek yang menunjang keamanan pangan. Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal (Gaston 1999). Pengetahuan higiene sanitasi yang diatur oleh Menteri Kesehatan no. 1096/Menkes/PER/VI/2011 bagi penjamah makanan terdiri dari enam pokok bahasan, yaitu 1) bahan pencemar terhadap makanan yang meliputi rantai perjalanan makanan, perkembangan bakteri pada makanan, cara bakteri menyebabkan penyakit pada manusia, mengenal pencemar lain; 2) penyakit bawaan makanan meliputi penyebab oleh mikroba, bahan kimia, zat toksin dan zat alergi; 3) prinsip higiene sanitasi makanan yang meliputi sumber dan penyebaran
pencemar
makanan,
pemilihan,
penyimpanan,
pengolahan,
pengangkutan, penyajian, dan konsumsi, aspek higiene sanitasi makanan, pegendalian waktu dan suhu makanan; 4) pencucian dan penyimpanan peralatan pengolahan makanan yang meliputi peralatan masak memasak, peralatan makan dan minum, sarana dan cara pencucian, bahan pencuci, penyimpanan peralatan; 5) pemeliharaan kebersihan lingkungan meliputi air bersih, pembuangan limbah dan sampah, pengendalian serangga dan tikus, pemeliharaan dan pembersihan ruangan, fasilitas sanitasi; 6) higiene perorangan yang
meliputi
sumber
pencemar
dari
tubuh,
pengamatan
kesehatan,
pengetahuan, sikap dan perilaku sehat, serta alat pelindung diri/alat pelindung pencemaran.