TINJAUAN PUSTAKA Pemberian Makanan pada Bayi dan Balita Air Susu Ibu (ASI) ASI adalah makanan dan minuman yang paling utama bagi bayi. Selain karena tidak akan pernah ada manusia yang sanggup memproduksi susu buatan sekualitas dengan ASI, juga ASI merupakan pemberian Allah SWT kepada seluruh anak manusia, untuk menjamin kesehatan ibu dan anak, serta menjamin kelangsungan hidup anak manusia itu kelak di kemudian hari (Suhendar 2002). ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garamgaram organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayi atau anak. Keunggulan ASI sebagai makanan bayi tidak diragukan lagi karena ASI mempunyai nilai gizi yang tinggi, mengandung zat-zat kekebalan yang dapat mencegah berbagai penyakit infeksi, terutama di negara-negara sedang berkembang (Winarno 1995). ASI dapat diberikan langsung kepada bayi dalam keadaan segar, hangat dan terjamin kebersihannya, selain itu penyiapannya sangat sederhana dan praktis tidak perlu dilarutkan terlebih dahulu seperti susu botol. ASI juga sangat ekonomis tidak perlu mengeluarkan uang untuk membelinya, memberikan ASI berarti membina hubungan yang erat dan penuh kasih sayang antara ibu dan anak (Depkes 1994). Menurut Roesli (2000), kolostrum adalah ASI yang keluar pada hari-hari pertama sampai hari ke empat setelah melahirkan. Kolostrum merupakan
cairan pelindung yang kaya zat anti infeksi dan berprotein. Komposisi dari kolostrum ini dari hari ke hari selalu berubah, merupakan cairan kental dengan warna kekuning-kuningan, lebih kuning dibandingkan dengan susu yang matang. Kolostrum mengandung protein, vitamin A yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Komposisi ASI Pada bulan-bulan terakhir kehamilan sudah mulai terjadi sekresi kolostrum pada payudara ibu hamil. Dalam kondisi normal ASI diproduksi sebanyak 100 cc pada hari ke 2 kemudian meningkat sampai 500 cc pada
6
minggu kedua dan menjadi konstan setelah hari ke 10 sampai hari ke 14 (Hardinsyah & Martianto 1992). ASI mengandung energi sedikit lebih banyak dibanding dengan susu sapi, namun demikian komposis ASI tersebut sangat sesuai dan mudah dicerna serta diserap oleh usus bayi bila dibandingkan susu sapi atau susu formula (Muchtadi 2002). ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi atau anak, terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Pudjiadi 2000). Perbandingan komposisi kolostrum, ASI dan susu sapi untuk setiap 100 ml terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan komposisi ASI, susu formula dan susu sapi (100ml) Komposisi (g/100 ml) Lemak (g) Protein - Whey - Kasein Karbohidrat - (kkal) Mineral - Na (mg) - K (mg) - Ca (mg) - P (mg) - Cl (mg) - Mg (mg) - Fe (mg) - Cu (µg) - Zn (mg) - Mn (µg) Vitamin - A (SI) - D (SI) - B1 (mg) - B2 (mg) - C (mg) - B6 (mg) - B12 (µg) - Niasin - Pantotenat A (µg) - Asam folat (µg) - Biotin (mg)
ASI (g/100 ml) 3,0-5,5 1,1-1,4 0,7-0,9 0,4-0,5 6,6-7,1 65-70 0,2 10 40 30 10 30 4 0,2 -
Susu Formula (g/100 ml) 1,3-3,6 1,76-2,4
7,32-9,6 51-74 0,3-0,6 24-33 61-112 41-102 36-90 41-71 4-7 0,7-1,0 3,5-5,0 0,1-0,3 4-6,9
Susu Sapi (g/100 ml) 3,2 3,1 0,6 2,5 4,4 61 0,8 50 150 114 90 102 12 0,1 -
150-270 6 0,017 0,03 4,4 0,02 0,04 0,17 0,24 0,2 0,2
222-300 47,6-75 0,3-0,7 0,06-0,08 0,09-0,14 5,4-120 0,00-0,15 0,27-0,6 0,6-0,89 1-3 -
60 2 0,03 0,17 1 0,07 0,3 0,1 0,34 0,2 3,0
(Sumber : Suplemen Brosur Industri Makanan dalam Krisnatuti & Yenrina 2000).
7
Manfaat ASI Menurut Depkes (1997) ASI memilki manfaat baik untuk bayi maupun ibunya. Manfaat ASI untuk bayi antara lain ASI adalah makanan terbaik untuk bayi karena mudah dicerna oleh sistem pencernaan bayi, mengandung zat gizi berkualitas tinggi, mengandung asam amino essensial yang sangat penting untuk meningkatkan jumlah sel otak bayi terutama usia bayi 6 bulan. Kandungan antibodi dalam ASI dapat melindungi bayi dari penyakit dan membantunya meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Menurut Rahmaniah (2006) ASI memiliki banyak keuntungan bagi bayi, karena didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. ASI membantu pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit. Keunggulan ASI tidak hanya dapat dirasakan bayi, tetapi ibu juga dapat merasakan keunggulan ASI. Oksitosin, hormon yang dihasilkan selama menyusui, merangsang kontraksi uterus dan membantu uterus kembali pada ukuran normal, selain itu dapat menurunkan kemungkinan terjadinya pendarahan pasca melahirkan, beberapa bukti menerangkan bahwa pemberian ASI memberikan keuntungan psikologi karena dapat meningkatkan ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi (Jellife & Jellife 1979; Perkins & Vannais 2004). Selain itu, manfaat ASI juga dapat dirasakan ibu yang menyusui bayinya yaitu, mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim, berat badan lebih cepat normal kembali, mengurangi kemungkinan menderita kanker (kanker payudara dan kanker indung telur), mengurangi resiko keropos tulang, diabetes maternal, stress dan gelisah, pengeluaran lebih ekonomis atau murah, tidak merepotkan, hemat waktu dan dapat dibawa kemana-mana (portable) dan praktis serta memberi kepuasan bagi ibu yang memberikan ASI eksklusif (Perkins & Vannais 2004; Roesli 2000). Diungkapkan juga pada penelitian Tackett dan Kendall (2007) bahwa ibu yang menyusui bayinya akan terhindar dari resiko stres tinggi setelah melahirkan. Hal ini karena menyusui dapat menurunkan proinflammatory cytokines pada ibu yang merupakan pemicu stres atau depresi setelah melahirkan.
8
Menurut penelitian Jakobsen et al (2003) pada bayi usia 9-35 bulan di Guinea-Bissau, menunjukkan bahwa bayi yang telah disapih mengalami enam kali lebih tinggi angka kematiannya selama tiga bulan pertama perang disana daripada bayi yang masih disusui. Hal ini membuktikan bahwa efek perlindungan ASI merupakan hal yang utama melawan infeksi dalam keadaan darurat. Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan keunggulan ASI dibandingkan makanan lain, terutama sebagai makanan di awal kehidupan bayi. Hasil riset epidemiologi menunjukkan bahwa pemberian ASI berdampak positif pada kondisi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi serta secara signifikan menurunkan angka morbiditas bayi, terutama penyakit yang akut dan kronik (Putri 2003). ASI Eksklusif Menurut Roesli (2009), ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur nol sampai enam bulan. Lebih tepatnya pemberian ASI secara Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 6 bulan, dan setelah 6 bulan bayi mulai diperkenalkan dengan makanan padat. ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun. Menurut Muchtadi (2002), ASI eksklusif terutama diberikan selama enam bulan pertama karena pada masa-masa ini bayi dalam kondisi kritis. Pertumbuhan dan pembentukan psikomotor terjadi sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat mendukung. Menurut WHO (2000), Setiap tahunnya terdapat 1-1,5 juta bayi di dunia yang meniggal karena tidak diberi ASI eksklusif. Lebih lanjut kira-kira 30.000 kematian balita Indonesia dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif (UNICEF 2006). Bayi yang disusui secara eksklusif 6 bulan dan tetap diberi ASI hingga 11 bulan saja dapat menurunkan kematian balita sebanyak 13%. Selain itu, ibu yang berhasil memberikan ASI secara eksklusif pada bayi akan merasakan kepuasan, kebanggaan, dan kebahagiaan yang mendalam (Roesli 2000).
9
Berdasarkan
Roesli
(2008)
hasil
penelitian
di
Jakarta-Indonesia
menunjukkan bayi yang diberi kesempatan untuk menyusu dini, hasilnya delapan kali lebih berhasil ASI eksklusif. Selain itu, inisiasi dini atau menyusu dini dapat menurunkan risiko kematian bayi. Penelitian Chantry, Howard dan Auinger (2006) menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang diberi ASI kurang dari enam bulan. Menurut Rahmaniah (2006), menyusui secara eksklusif adalah pemberian ASI saja tanpa tambahan makanan atau minuman apapun termasuk empeng, dan telah dianjurkan oleh pemerintah untuk dilakukan selama enam bulan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004 (Kurniadi 2006). Menurut Sensus Dasar Kesehatan Indonesia (SDKI), pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pada tahun 1997 sebesar 42% turun menjadi 39,5% pada tahun 2003. Sementara pemakaian susu botol meningkat dari 10,8% tahun 1997 menjadi 32,4% pada tahun 2003 (Departemen Kesehatan 2006). Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (1997), diacu dalam Abdullah et al (2004), diketahui hampir semua ibu di Indonesia (96,5%) yang mempunyai bayi pernah memberikan ASI. Hasil survey tersebut juga menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya hanya 23, 9 persen. Di Kota Bogor berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim jurusan GMSK IPB tahun 2001 diketahui bahwa pemberian ASI eksklusif hanya 22,8 persen (Abdullah et al 2004). Hasil SDKI tahun 2002-2003 menunjukkan pemberian ASI eksklusif sebesar 55 persen (BPS 2003). Perkembangan pemberian ASI eksklusif dari tahun ke tahun dinilai masih rendah dibandingkan target tahun 2010 sebesar 80 persen (Briawan & Suciarni 2007). Hambatan Menyusui Menurut Putri (2003), menyusui adalah cara alami memberi makan bayi, tetapi banyak ibu yang menghadapi kendala ketika melakukan. Sebenarnya hampir semua hambatan menyusui dapat diatasi dan dicarikan solusinya. Hambatan menyusui yang dialami oleh ibu dan bayinya dapat disebabkan oleh adanya hambatan secara fisik, psikis atau pun teknis. Kendala dalam pemberian ASI dapat diketahui antara lain yaitu ASI sedikit, kelelahan ibu diawal menyusui, sakit pada putting dan payudara ibu, anjuran yang keliru dari petugas kesehatan, kurangnya pengetahuan ibu, pelayanan kesehatan pasca melahirkan yang
10
menghambat menyusui secara dini dan eksklusif, ibu bekerja dan promosi PASI dalam bentuk susu formula di berbagai media. Menurut Arifin (2002) ada berbagai faktor yang mempengaruhi kegagalan pemberian ASI eksklusif. Faktor tersebut bisa dari pihak ibu, bayi maupun dari faktor lingkungan. Faktor yang berasal dari pihak ibu disebabkan antara lain karena karakteristik sosial dan ekonomi ibu (pendapatan, tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu), pengetahuan ibu tentang ASI dan kondisi kesehatan ibu yang semua itu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Faktor yang berasal dari pihak bayi mungkin karena preferensi bayi terhadap ASI, sedangkan dari faktor lingkungan sendiri ini disebabkan karena sumber informasi pemberian makanan atau minuman selain ASI. Menurut International Lactation Consultant Association (ILCA 2000), beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kesulitan menyusui dapat ditangani tanpa perlu menggunakan perangkat medis yang berteknologi canggih dan mahal. Pengetahuan Ibu tentang ASI Menurut Grant (1989), pengetahuan ibu sangat erat kaitannya dengan kesehatan anak yang dapat diukur dari status gizi anak maupun dari kematian bayi dan anak. Selanjutnya dinyatakan bahwa kebiasaan yang salah dalam pemberian makanan pada bayi disebabkan karena kurangnya pengetahuan orangtua tentang pentingnya pemberian ASI kepada anak. Ibu yang mengetahui dan mengerti tentang pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan anak akan memberikan ASI kepada anaknya karena hal tersebut dianggapnya baik. Pujiyanti (2008) mengemukakan bahwa pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan status gizi keluarga karena apabila
pengetahuan
gizi
kurang
maka
akan
menyebabkan
timbulnya
kekurangan gizi bagi anak. Menurut Menkesos RI (2000) dalam Arifin (2002), masih rendahnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya pemberian ASI pada bayi selama empat bulan pertama, makanan pendamping ASI, kebersihan, perawatan serta deteksi kelainan tumbuh kembang dan stimulasi dini yang memadai mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan yang berakibat gizi buruk pada bayi di bawah usia enam bulan dan meningkatnya beberapa penyakit infeksi pada anak. Menurut Moreland dan Coombs (2000) meskipun penyapihan dini dan kesulitan menyusui terjadi pada anak sebelumnya, namun adanya peningkatan
11
pengetahuan ibu tentang ASI dan dukungan yang ibu peroleh pada kehamilan yang sekarang maka pemberian ASI yang sekarang akan lebih berhasil dari sebelumnya. Selain itu Pudjiadi (2000) juga berpendapat bahwa pengetahuan orang tua tentang usia yang tepat untuk memulai penyapihan dapat menghindari anak dari penyimpangan pertumbuhan. Pada keluarga dengan pendapatan rendah penyapihan dini akan menyebabkan kerugian karena makanan yang diberikan kurang bergizi dan kurangnya pengetahuan tentang makanan anak. Hasil penelitian Handayani (2006), menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang berpengetahuan menyusui baik ada pada kategori ibu yang bekerja (45,5%), sedangkan sebagian kecil yang berpengetahuan baik berada pada kategori ibu yang tidak bekerja (19,2%). Hal ini disebabkan ibu yang bekerja mempunyai lingkungan yang lebih luas sehingga informasi tentang ASI yang didapat lebih banyak, sedangkan bagi ibu yang tidak bekerja apabila informasi dari lingkungannya kurang maka pengetahuannya kurang, apalagi bila ibu tersebut tidak aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan kesehatan maka informasi yang diterimanya akan lebih sedikit. ASI dan Kesehatan Anak Beberapa tahun belakangan ini terdapat berbagai informasi ilmiah baru khususnya dalam bidang kesehatan yaitu adanya kekebalan dan penyakit menular. Pada makhluk dewasa cara badan mempertahankan diri terhadap infeksi telah diketahui dan dikenal dengan baik. Namun bayi yang baru dilahirkan dianugerahi kemampuan kekebalan yang sangat terbatas. Melalui ASI bayi dapat mempertahankan sistem kekebalan tubuhnya. Hal ini terjadi karena di dalam ASI memiliki sifat anti infeksi terutama diare, dalam lingkungan yang kurang tepat. Selain itu kolostrum mengandung berbagai jenis sel dalam jumlah yang sangat tinggi yaitu sebanyak delapan juta sel per mil. Sel-sel tersebut terdiri dari limfosit, neutrofil, makrofag dan sel-sel epitel (Winarno 1995). ASI mengandung faktor-faktor positif, yakni kekebalan dalam bentuk seluler dan cairan (humoral). Kandungan senyawa atau faktor-faktor kekebalan dalam ASI banyak terdapat dalam bagian humoralnya, termasuk pengeluaran Immunogglobulin A (IgA), laktoferin, lysozyme (3000 sampai 4000 kali lebih besar dari yang terdapat dalam susu sapi). Daya kekebalan ASI pada umumnya ditujukan terhadap kuman pathogen bagi bayi yang berusia muda seperti misalnya E.coli dan Enterovirus, keduanya dapat menyebabkan mencret (diare).
12
Selain itu virus respiratory syncytial (RS) merupakan penyebab utama penyakit pernafasan bawah selama umur enam bulan pertama. Antibodi IgA yang dapat melawan virus RS biasanya terdapat dalam ASI, dan karena alasan tersebut maka bayi-bayi yang mendapat ASI jarang sekali terserang infeksi Rotavirus dan virus RS secara serius (Winarno 1995). Bayi yang diberi susu formula sangat rentan terhadap penyakit. Hal ini diperkuat dalam Roesli (2008) yaitu beberapa penyakit yang mengintai bayi yang diberi susu formula adalah infeksi saluran pencernaan, saluran pernafasan dan infeksi telinga tengah, meningkatnya risiko alergi, serangan asma, kegemukan, meningkatnya risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, diabetes, kanker dan risiko penyakit menahun, menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif, serta meningkatnya risiko kurang gizi dan risiko kematian bayi. Menurut penelitian Chen (1994) dalam Riordan dan Auerbach (2005), pada bayi di China menemukan bahwa jumlah bayi yang diberi susu formula terkena infeksi saluran pernafasan sebanyak dua kali lebih banyak daripada bayibayi yang mendapat ASI. Bayi yang di beri susu formula sepertiga lebih banyak menderita infeksi gastroenteritis dan jenis penyakit infeksi lainnya ketimbang bayi yang diberi ASI. Demikian halnya penelitian yang menemukan bahwa pada bayi yang menderita diare akan lebih cepat sembuh bila ASI diberikan, sehingga dapat dikatakan pemberian ASI tetap dilanjutkan pada bayi yang menderita diare (ILCA 2000). Selain itu dari beberapa penelitian lainnya diketahui bahwa bayi yang diberi susu buatan selain ASI mempunyai resiko 17 kali lebih besar mengalami diare dan 3-4 kali lebih besar kemungkinan terkena ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI (WHO 2000). MP-ASI Menurut Handy (2010), makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sebaiknya dimulai ketika ASI tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan gizi bayi. Hal ini dimulai pada usia sekitar 6 bulan yaitu berupa makanan dan cairan lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bayi. Namun bayi pada usia dibawah 24 bulan, tetap perlu menyusui dan mendapatkan ASI. Menurut Prabantini (2010), MP-ASI diberikan setelah bayi berusia 6 bulan, karena bayi mulai membutuhkan makanan padat dengan beberapa nutrisi, seperti zat besi, vitamin C, protein, karbohidrat, seng, air dan kalori. Oleh karena itu penting juga untuk tidak menunda hingga bayi berumur lebih dari 6 bulan karena menunda dapat
13
menyebabkan gangguan pertumbuhan. Adapun tanda-tanda bayi yang siap diberi makanan pendamping ASI adalah: 1. Bayi mulai memasukkan tangan ke mulut dan mengunyahnya 2. Berat badan sudah mencapai dua kali lipat berat lahir 3. Bayi merespon dan membuka mulutnya saat disuapi makanan 4. Hilangnya refleks menjulurkan lidah 5. Bayi sudah dapat duduk dan mengontrol kepalanya pada posisi tegak dengan baik 6. Keingintahuan terhadap makanan yang dimakan oleh orang lain semakin besar Bayi lahir mempunyai kemampuan menghisap dan menelan. Saat bayi mulai fase makan maka bayi akan mulai mempelajari keahlian baru yaitu belajar untuk mendorong makanan di rongga mulut dengan lidahnya hingga masuk ke bagian belakang mulut dan kemudian menelannya. Sebelum bayi diperkenalkan makanan padat maka sebaiknya diperkenalkan dulu makanan yang halus. Setelah bayi mampu mengatasi makanan halus atau lumat, selanjutnya adalah mulai belajar mengunyah. Panduan makanan padat untuk bayi terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Panduan makanan padat untuk bayi Sifat makanan
Jumlah
Frekuensi
6 bulan Lembut, tak perlu dikunyah dan cair hingga agak padat 1 sendok teh, secara bertahap diperbanyak
1-2 kali sehari: 1 kali cemilan (buah halus)
Umur 7-9 bulan Makanan lunak, secara berangsur-angsur disajikan makanan kasar Porsi kecil: bahan dasar ¼ genggaman, roti ½ potong, sayur 1/3 genggaman, protein:1-2 sdm 2-3 kali sehari makan besar: 1 kali camilan (air buah, roti sayuran)
9-13 bulan Sebagian makanan yang disajikan di meja makan keluarga Porsi kecil: bahan dasar ¼ genggaman, 1potong roti, sayur ½ genggam, protein: 2-3 sdm 3-4 kali sehari makan besar: 2 kali camilan (air buah, roti sayuran, keju)
(Sumber : Pujiarto 2008). Makanan setelah Priode Menyusui Menurut Atmasier (2002), pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Menurut Prabantini (2010), setelah bayi mampu mengatasi makanan halus atau lumat, langkah berikutnya adalah
14
mulai belajar mengunyah. Pada umur 8-12 bulan, kemampuan motorik bayi meningkat. Kemampuannya untuk menelan semakin baik dan terkoordinasi karena itulah, bayi siap menerima makanan yang teksturnya lebih kasar. Makanan yang dikonsumsi anak-anak haruslah merupakan sumber zat gizi yang baik dan yang diperlukan. Asupan energi yang diperoleh dari makanan harus seimbang dengan pengeluaran energi untuk mempertahankan berat badan (de Castro 2004). Makanan yang anak-anak konsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar. Ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makanan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasoetion & Riyadi 1994). Metode Pengukuran Pemberian Makanan pada Bayi dan Balita Metode pengukuran pemberian makanan pada bayi dan balita dilakukan melalui metode recall 2x24 jam yaitu recall 1x24 jam pada hari sekolah dan recall 1x24 jam pada hari libur. Prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yangdikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumahtangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring atau alat lain yang biasa digunakan di rumahtangga. Selanjutnya dikonversikan ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka
perlu
dilatih
sebelumnya
mengenai
penggunaan
URT
dan
mengkonversikannya ke satuan berat. Metode ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitian karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namun kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survey (lebih dari 1x24 jam). Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sedehana. Metode ini bisa digunakan untuk individu dan keluarga (Hardinsyah et al 2002). Menurut Suhardjo (1989), metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah makanan serta minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam yang lalu. Metode ini bisa digunakan untuk survei konsumsi keluarga, biasanya respondennya adalah ibu rumah tangga. Menurut Supariasa et al (2001), hal yang penting perlu diketahui adalah dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka
15
jumlah
konsumsi
makanan
individu
ditanyakan
secara
teliti
dengan
menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Status Gizi Balita Metode Pengukuran Menurut Suhardjo (1989), berat badan anak merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizi, khususnya untuk mereka yang berumur di bawah lima tahun. Hal ini memerlukan kemampuan yang baik untuk mendeteksi dan menentukan apakah anak mengalami gangguan pertumbuhan atau tidak dengan menggunakan satu ukuran berat badan. Meskipun berat badan dari berbagai kelompok anak sangat bervariasi, namun telah banyak diketahui bahwa hal ini terjadi karena perbedaan dalam satus gizi dan status kesehatan. Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang sebagai dampak dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi makanan. Variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur status gizi misalnya tinggi badan, berat badan dan usia. Penggunaan variabel-variabel tersebut dikombinasikan menjadi pengukuran tinggi badan menurut usia (TB/U), berat badan menurut usia (BB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks antropometri yang sering digunakan untuk menilai status gizi anak adalah berat badan menurut usia (BB/U). Selanjutnya disebutkan pula oleh Riyadi (2001) bahwa BB/U digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang karena berat badan sangat labil terhadap perubahan keadaan mendadak (sakit atau kurang nafsu makan). Kategori status gizi berdasarkan antropometri pada balita terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Kategori status gizi berdasarkan ukuran antropometri untuk balita BB/U Gizi lebih (z-score >2.0) Gizi baik (z-score >-2.0 s/d ≤ 2.0) Gizi kurang (z-score >-3 s/d <-2.0) Gizi buruk (z-score <-3.0)
(Sumber : Riskesdas 2010).
TB/U Pendek/ stunted (z-score ≥-3.0 s/d < -2) Normal (z-score > - 2.0)
BB/TB Gemuk (z-score >2.0) Normal (z-score ≥-2.0 s/d ≤ 2.0) Kurus/ Wasted (z-score ≥-3.0 s/d >-2) Sangat kurus (z-score <-3.0)
16
Dampak Status Gizi terhadap Kesehatan Balita Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia prasekolah yaitu tiga sampai enam tahun, termasuk golongan masyarakat yang disebut masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat dan membutuhkan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Maka kesehatan yang baik ditunjang oleh keadaan gizi yang baik, merupakan hal yang utama untuk tumbuh kembang yang optimal bagi seorang anak (Santoso & Ranti 2004). Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tumbuh dan berkembang dengan baik pula, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah. Melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan anak secara teratur merupakan langkah yang tepat dalam rangka kewaspadaan terhadap perubahan zat gizi (Winarno 1995). Menurut Alvarado et all (2005) pemberian ASI dan kesehatan pada bayi mempengaruhi pertumbuhannya (pertambahan berat dan tinggi) yang merupakan bagian dari pengukuran status gizi. Disebutkan bahwa anak yang diberikan ASI, memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi daripada yang tidak diberikan ASI. Tingginya angka berat badan berhubungan positif dengan pemberian ASI dan jumlah hari sehat pada anak dan berhubungan negatif dengan kejadian demam dan batuk pada anak. Bayi yang tidak diberikan ASI akan tetapi diberikan makanan yang lengkap dan beraneka ragam memiliki efek positif juga pada kenaikan berat badan walaupun kenaikannya lebih rendah daripada yang diberikan ASI. Diungkapkan pula oleh Piwoz et all (1994) bahwa kenaikan berat badan yang rendah bisa terjadi pada anak yang diberikan non ASI sebelum empat bulan dan kurang nafsu makan pada usia tiga sampai dua belas bulan, sehingga akibatnya anak
pada usia satu
tahun mengalami status gizi
kurang
(underweight). Menurut Santoso dan Ranti (2004), kekurangan zat makanan disebut defisiensi dan akan mengakibatkan penyakit begitu pula jika kelebihan. Kekurangan zat gizi pada umumnya mencangkup protein dan karbohidrat, sedangkan kelebihan pada umumnya berkaitan dengan konsumsi lemak, protein dan gula. Angka kecukupan energi, protein berdasarkan umur dan berat badan anak yang dianjurkan disajikan pada Tabel 4.
17
Tabel 4. Angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) No
Umur Anak
Berat (kg)
Tinggi (cm)
AKE (Kal)
AKP (gr)
1
0-6 bulan
6
60
550
10
2
7-11 bulan
8.5
71
650
16
3
1-3 tahun
12
90
1000
25
4
4-6 tahun
18
110
1550
39
5
7-9 tahun
25
120
1800
45
(Sumber: Widyakarya Pangan dan Gizi VIII 2004). Status Kesehatan Balita Status kesehatan adalah situasi kesehatan yang dialami oleh seseorang, biasanya penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Herlina 2001). Menurut Henrik Blum, status kesehatan dipengaruhi oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu sama lain. Keempat faktor penentu tersebut adalah: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan (genetik) (Depkes RI 2002). Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, cacingan, dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, maka penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang yang kekurangan zat gizi akan mudah terserang penyakit, dan pertumbuhan akan terganggu (Supariasa et al 2002). Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan, mental, dan sosial, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit cacat dan kelemahan (Sukarni 1989). Soemanto (1990) menyatakan bahwa jenis penyakit yang paling sering diderita anak balita adalah batuk, pilek dan panas badan. Salah satu usaha yang berperan dalam masalah kesehatan adalah pemberian ASI. Menurut Brinch (1986) menyusui sangat baik untuk bayi karena salah satunya dapat menyempurnakan pertumbuhan bayi sehingga menjadikan bayi lebih sehat dan cerdas. Disamping itu ASI memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi. ASI mengandung beberapa zat anti terhadap berbagai penyakit yang keberadaannya tidak dapat diberikan melalui makanan pengganti manapun (Suriani 1996).
18
Penyakit dan Gejala pada Anak Kesehatan anak ditandai oleh terhindarnya dari penyakit, tubuh dalam kondisi baik sehingga dapat melakukan aktivitas secara normal sesuai dengan periode usianya. Keadaan lingkungan fisik menentukan tingkat kesehatan masyarakat yang hidup didalamnya dan dapat diukur dengan angka kematian dan kesakitan penduduk (Septianti 2006). Masa usia prasekolah merupakan masa yang masih rawan, karena pada usia ini bila anak kekurangan makanan yang bergizi, maka akan mudah sekali terserang penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi
pertumbuhan
otak
dan
gangguan
pada
perkembangan
intelegensianya (Winarno 1995). Selain itu pengetahuan tentang kesehatan dan perkembangan anak yang minimal, dapat mempengaruhi tingkat kesehatan anak (Yuliana 2004). Menurut Santoso dan Ranti (2004) ada beberapa penyakit anak yang sering menyerang sehingga perlu dicegah. Penyakit anak itu antara lain: a. Cacar air Penyakit ini pada umumnya dialami anak usia 3-5 tahun, dengan gejala demam ringan, sakit kepala, tubuh terasa lemas, kulit menjadi merah dan panas, terdapat lepuh-lepuh kecil (vescula) kebanyakan dipunggung bagian atas atau dada dan dalam keadaan lanjut atau hebat, muka dan anggota badan terkena semua. b. Demam berdarah Penyakit ini disebabkan virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes, yaitu nyamuk yang pada kaki dan badannya terdapat garis-garis hitam. Gejala demam berdarah adalah mendadak demam tinggi disertai sakit kepala, mual dan muntah-muntah, perut dan kerongkongan terasa sakit, batuk, sesak nafas, terjadi shock, ujung kaki dan tangan terasa dingin, timbul bintik-bintik merah pada kulit, kadang-kadang diikuti buang air besar bercampur darah dan dapat terjadi pendarahan pada hidung. c. Mencret (diare) Seseorang dikatakan mencret atau diare bila ia buang air besar yang encer seperti air dan sehari lebih dari empat kali mencret. Penyakit ini dapat ringan atau serius, datang secara mendadak atau akut. Anak yang terjangkit ini biasanya karena kurang gizi.
19
Anak diare atau mencret, demam dan cacar dapat mengakibatkan kematian. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menjaga kebersihan, tubuh dan lingkungan terutama kebersihan air minum, makanan dari lalat dan kotoran. Tidak terdapat sampah busuk dan terbuka di lingkungan rumah dan sekolah. Menghindari meminum air mentah, sebaiknya meminum air yang dimasak hingga mendidih, karena air yang mentah mengandung bibit penyakit. Agar daya tahan tubuh anak kuat terhadap penyakit, anak perlu diberikan makanan bergizi yang sehat dan seimbang. Bagi seorang ibu dan guru penyelenggaraan Kelompok Bermain, hendaklah memilki kemampuan dalam melakukan pengamatan berbagai gejala dari penyakit yang sering dialami anak (Septianti 2006). Menurut Santoso dan Ranti (2004) beberapa gejala penyakit yang sering muncul pada anak antara lain adalah: a. Pilek Pilek penyebabnya adalah virus, yang bersifat mudah menular terutama pada anak yang masih kecil dan kondisi fisiknya lemah. Bagian yang diserang adalah saluran pernafasan. Gejalanya yaitu pusing, badan agak panas, hidung tersumbat dan dari hidung keluar lendir yang encer. b. Suara serak Jika pilek disertai suara serak berarti infeksi pembengkakan telah terjadi pada pangkal teggorokan. Lebih lanjut akan terjadi penyempitan pada mulut saluran tenggorokan dan akhirnya menimbulkan sumbatan pernafasan. c. Selera makan berkurang Ketika terserang penyakit maka selera makan akan hilang. Seringkali hilangnya selera makan menunjukkan bahwa kesehatan anak terganggu. Biasanya ketika mulai sakit anak menjadi cengeng dan tidak mau makan. Jika anak sudah mulai mau makan, berarti kesehatannya sudah membaik. d. Muntah Infeksi saluran pernafasan pada anak dapat menimbulkan muntah. Anak yang muntah pada umumnya diikuti panas badan. Jika muntah disertai buang air besar, maka harus segera dibawa ke dokter karena jika terlalu banyak cairan tubuh yang hilang dapat mengakibatkan kematian.
20
e. Kejang Kejang terjadi pada anak dengan disertai menggigil, sebelum suhu tubuhnya meninggi. Kejang terjadi pada penyakit malaria, campak, demam dan lainnya. Gejala kejang ini menakutkan, sehingga anak harus ditangani dengan kesabaran dan secara rasional. f. Nyeri Nyeri dapat mempengaruhi perilaku anak. Nyeri yang sering terjadi adalah nyeri kepala, leher, perut dan pegal-pegal. Gejala-gejala ini sering mendahului suatu penyakit. Umumnya orangtua perlu memperhatikan perubahan perangai yang terjadi pada anak. Anak yang biasanya bergembira dan aktif menjadi pendiam dan pasif, maka orangtua harus memperhatikan gejala-gejala penyakit tersebut. Kemungkinan lain perubahan perangai anak disebabkan oleh keadaan psikologis seperti kehilangan perhatian orangtua karena ada adik baru sehingga mengalami kekecewaan dan sebagainya. Upaya Pemeliharaan Kesehatan Menurut Santoso dan Ranti (2004) untuk menjaga agar anak tetap sehat, seorang ibu perlu melakukan kebiasaan dibawah ini kepada anaknya: a. Tidur tujuh hingga delapan jam sehari. b. Makan tiga kali sehari dengan hanya sedikit makan makanan kecil dan sarapan pagi setiap hari. c. Mempertahankan berat badan yang dikehendaki. d. Melakukan latihan jasmani secara teratur. e. Istirahat yang cukup. Masih menurut Santoso dan Ranti (2004) faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang dominan terhadap tingkat kesehatan masyarakat. Penjagaan lingkungan misalnya pada lingkungan bermain, alat permainan diatur secara rapi. Selesai bermain, alat dikembalikan ke tempat semula, dan hal ini dibiasakan kepada anak. Penjagaan lain adalah membiasakan anak menjaga kebersihan diri. Jika kebiasaan bersih sudah ditanam sejak usia dini, maka ketika dewasa akan bertingkah laku sesuai dengan norma kebersihan. Hal ini juga berlaku dalam berpakaian, makan dan semua kegiatan anak sehari-hari.
21
Imunisasi Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila kelak seseorang terpapar dengan penyakit tersebut, maka ia tidak akan sakit atau sakit ringan. Pengendalian penyakit dapat dicegah dengan imunisasi berdasarkan Kepmenkes No.1611/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi (PPPL 2008). Imunisasi bertujuan memasukkan bakteri dan virus yang telah mati atau dilemahkan kedalam tubuh manusia sehingga tubuh manusia menjadi lebih kebal terhadap penyakit tertentu tanpa menderita penyakit itu terlebih dahulu. Pada masa bayi anak diberikan imunisasi BCG untuk cacar, DPT untuk polio. Pada masa sekolah anak masih perlu imunisasi tertentu yaitu cacar, polio dan BCG (Santoso & Ranti 2004). Jenis imunisasi yang dianjurkan pada masa anak-anak terdapat pada Tabel 5. Menurut Roesli (2000) kolostrum adalah imunisasi pertama bayi, karena mengandung antibodi dalam kadar tinggi, vitamin A, dan zat-zat pelindung lainnya. Kolostrum baik diberikan kepada bayi pada awal kelahirannya karena di dalamnya mengandung lebih banyak protein, lebih banyak immunoglobulin A, laktoferin dan juga sel-sel darah putih yang berperan penting dalam mencegah timbulnya infeksi penyakit. Tabel 5. Jenis imunisasi pada anak-anak Penyakit Imunisasi DPT, difteri, batuk rejan (partusis), tetanus Polio
Campak
Tuberkolosa (BCG)
Rubella
Waktu Suntikan pada umur 2, 4, 6, 18 bulan. Dan diulang pada 45 tahun Vaksin diminum pada usia 0, 2, 3, 4, 6, 18 bulan dan ulangi pada umur 5 tahun Suntikan pada usia 9 bulan dan diulang pada usia 6 tahun Suntikan pada usia 0-3 bulan dan diulang pada usia 10-13 tahun, kalau dianggap perlu. Suntikan untuk anak perempuan usia 10-14 tahun
Reaksi Anak bisa demam, tempat suntikan terasa sakit.
Perlindungan Tetanus harus diulang setiap 5 tahun supaya terhindar dari tetanus
Tidak ada
Harus diulang agar selalu terlindung
Demam dan timbul bercak-bercak
Tidak diketahui berapa lama sejak vaksinasi terakhir Seumur hidup
Sakit dan kaku di tempat suntikan
Mungkin nyeri sendi
(Sumber: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2004).
Tidak diketahui berapa lama sejak vaksinasi terakhir