TINJAUAN PUSTAKA
Kutu Putih (Hemiptera: Pseudococcidae) Superfamili Coccidea merupakan kelompok serangga yang memiliki beberapa famili diantaranya Magarodidae, Oztheziidae, Coccidae, Dactylopiidae, Diaspididae, dan Pseudococcidae (Borror et al. 1992). Famili Pseudococcidae lebih dikenal dengan sebutan kutu putih karena serangga ini memiliki lapisan lilin yang berwarna putih yang hampir menutupi semua bagian tubuhnya. Famili ini merupakan serangga polifag yang dapat menyerang beberapa jenis tanaman seperti kopi, kakao, jeruk, mangga, tebu, singkong, nanas, palem, kelapa, anggrek dan berbagai tanaman buah serta tanaman hias lainnya (Williams & Granara de Willink 1992). Pseudococcidae memiliki alat mulut jenis menusuk menghisap. Kerusakan yang disebabkan oleh serangga ini antara lain adalah klorosis pada daun, gugur tanaman kerdil, dan serangan berat dapat menyebabkan tanaman mati. Beberapa spesies dari Pseudococcidae dapat menjadi vektor bagi beberapa jenis patogen penyakit tanaman (Williams 1985). Serangga dari famili Pseudococcidae umumnya bereproduksi secara seksual, baik secara ovipar maupun vivipar.
Beberapa spesies kutu putih di
Australia seperti Pseudococcus longispinus dan Ferrisia virgata, memiliki reproduksi vivipar dan ovovivipar (Williams 1985). Selain itu beberapa spesies juga ditemukan bersifat partenogenetik telitoki seperti Phenacoccus solani Ferris (Williams 1985), P. manihoti Matile-Ferrero dan
P. solenopsis
Tinsley
(Williams 1985; Calatayud & Le Ru 2006). Kutu Putih Pepaya Biologi dan Morfologi Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink, termasuk dalam Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Superfamili Coccoidea, dan Famili Pseudococcidae. Serangga ini merupakan hama polifag yang pernah ditemukan di Mexico, Belize, Costa Rica, dan Guatemala pada tahun
4 1992 (Miller et al. 1999). Miller dan Miller (2002) mengemukakan bahwa genus Paracoccus memiliki 79 spesies yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Austro Oriental, Ethiopia, Madagasian, Neartic, Neotropical, Selandia Baru, Pasifik, Palaeartic dan Oriental. P. marginatus merupakan hama penting pada tanaman pepaya dan tanaman ekonomi penting lainnya di sekitar Karibia dan Florida. Kutu putih P. marginatus mengalami tipe perkembangan yang berbeda antara jantan dan betina. Serangga betina berkembang melalui beberapa stadia, yaitu stadia telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk, hanya terjadi pertambahan ukuran tubuh dan fungsi organ. Sedangkan serangga jantan berkembang melalui stadia telur, nimfa instar-1, nimfa instar-2, nimfa instar-3 (prapupa), pupa dan imago.
Serangga jantan memiliki sayap yang
berfungsi untuk membantu saat migrasi sedangkan serangga betina tidak memiliki sayap (Miller & Miller 2002). Kutu putih aktif meningkatkan populasinya pada musim kemarau atau musim panas.
Telur kutu putih berwarna hijau kekuningan yang terbungkus
dalam kantung telur yang memiliki panjang 3-4 kali panjang tubuh imago betina. Kantung telur terbuat dari benang-benang lilin yang lengket, mudah melekat pada permukaan daun dan dapat diterbangkan oleh angin (Miller & Miller 2002). Telur akan menetas menjadi nimfa stelah 10 hari (Walker et al. 2003). Pada suhu 20-30 ºC telur mampu bertahan hingga 80-90%, suhu optimum untuk perkembangan telur adalah 25 ºC (Amarasekare et al. 2007). Stadia nimfa instar-1 memiliki panjang tubuh rata-rata 0,4 mm dengan kisaran 0,3-0,5 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,2 mm dengan kisaran 0,2-0,3 mm. Pada stadia nimfa instar-1 belum dapat dibedakan antara jantan dan betina. Stadia nimfa instar-2 betina memiliki panjang tubuh rata-rata sebesar 0,7 mm dengan kisaran 0,3-1,1 mm, dan tubuh berwarna kuning. Sedangkan nimfa instar-2 jantan biasanya berwarna merah muda tetapi tidak jarang juga ditemukan berwarna kuning dengan bentuk tubuh yang lebih lonjong dibandingkan yang betina. Panjang tubuh rata-rata mencapai 0,6 mm dengan kisaran 0,5-1,0 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,3 dengan kisaran antara 0,2-0,6 mm (Miller & Miller 2002).
5 Panjang tubuh nimfa instar-3 betina rata-rata adalah 1,1 mm dengan kisaran 0,7-1,8 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,7 mm dengan kisaran 0,3-1,1 mm. Stadia nimfa instar-3 jantan disebut prapupa, dengan panjang tubuh rata-rata 0,9 mm dengan kisaran 0,8-1,1 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,4 mm dengan kisaran 0,30,4 mm. Stadia nimfa instar-4 jantan disebut pupa, dengan panjang tubuh ratarata 1,0 mm dengan kisaran 0,9-1,0 mm dan lebar tubuh rata-rata 0,3 mm dengan kisaran 0,3-0,4 mm. Serangga betina stadia nimfa instar-3 memiliki panjang tubuh rata-rata 1,1 mm dengan kisaran 0,7-1,8 mm dan lebar tubuh rata-rata adalah 0,7 mm dengan kisaran 0,3-1,1 mm (Miller & Miller 2002). Miller dan Miller (2002) mendeskripsikan morfologi imago betina kutu putih pepaya, P. marginatus berwarna kuning yang sebagian besar permukaan tubuhnya dilapisi oleh lapisan lilin berwarna putih. Panjang tubuh imago betina berkisar antara 1,5-2,7 mm dengan panjang rata-rata 2,2 mm, lebar tubuh rata-rata 1,4 mm dengan kisaran 0,9-1,7 mm. Tubuh imago betina memiliki rangkaian filamen lilin pendek di sepanjang tepi tubuhnya. Kantung telur dibentuk pada bagian ventral posterior tubuhnya. Imago jantan memiliki bentuk tubuh oval memanjang dan sepasang sayap. Panjang tubuh rata-rata imago jantan 1,0 mm dengan kisaran antara 0,9-1,1 mm dengan lebar toraks rata-rata 0,3 dengan kisaran 0,2-0,3 mm. Terdapat dua karakteristik penting mengenai perbedaan morfologi imago P. marginatus dengan spesies lainnya, yaitu pada imago dapat dilihat pada saluran oral-rim yang terletak di bagian pinggir tubuh, dan ketiadaan pori-pori pada tibia belakang. Pada imago jantan dapat dibedakan dari bentuk dan karakter seta yang kuat serta antena dan tungkai yang tidak memiliki seta. Kutu putih termasuk ke dalam kelompok serangga dengan tipe alat mulut menusuk menghisap. Serangga ini akan memasukan alat mulutnya ke dalam jaringan tanaman dan menghisap cairan tumbuhan. Kutu putih sering ditemukan berasosiasi dengan organisme lain, seperti semut dan cendawan jelaga. Saat merasa terganggu atau terancam, serangga ini akan mengeluarkan cairan pertahanan dari lubang ostiol yang terdapat di permukaan tubuhnya (Walker et al. 2003). Tanaman Inang dan Penyebaran Kutu putih pepaya merupakan serangga polifag yang memilkiki 22 jenis (famili) tanaman inang termasuk tanaman yang bernilai ekonomi dan beberapa
6 gulma (Muniapan et al 2008). Tanaman inang yang penting secara ekonomi antara lain adalah pepaya, kembang sepatu, alpukat, jeruk, kapas, tomat, terong, lada, buncis dan kacang hijau, ubi jalar, mangga, cherry, dan delima (Walker et al. 2003).
Di Indonesia, kutu putih pepaya ditemukan menyerang 20 jenis
tanaman lain selain pada tanaman pepaya (Sartiami et al. 2009). P. marginatus dilaporkan berasal dari wilayah Neotropical terutama Meksiko dan wilayah Amerika Tengah (Miller & Miller 2002).
Spesimen
pertama dikoleksi dari Meksiko pada tahun 1955 dan pertama kali dideskripsikan oleh Williams dan Granara de Willink pada tahun 1992. Sejak tahun 1994, P. marginatus tercatat telah berada di 14 negara di Karibia, dan pada tahun 1998 telah ditemukan di Florida, AS, pada tanaman kembang sepatu (Muniapan et al. 2008). Serangan berat terjadi di Kepulauan Guam di Pasifik pada tahun 2002 (Walker et al. 2003) dan di Republik Palau pada 2003 (Muniappan et al. 2006). Pada bulan Mei 2004, P. marginatus ditemukan di Kepulauan Hawai, AS pada tanaman pepaya, kamboja, kembang sepatu dan jarak (Jatropa spp.) (Heu et al. 2007). Di Indonesia, hama ini dilaporkan pertama kali ditemukan pada tanaman pepaya di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat pada Mei 2008 dan pada Juli 2008. Serangga ini dilaporkan telah ditemukan juga di Coimbatore, India (Muniapan et al. 2008).
Sartiami et al. (2009) melaporkan bahwa P. marginatus sudah
menyebar di Kabupaten dan Kota Bogor, Cianjur, Sukabumi, Tanggerang dan DKI Jakarta. Serangga ini dapat menyebar oleh angin, terbawa bibit, terbawa manusia, terbawa serangga atau hewan lainnya. Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi Kutu putih pepaya menghisap cairan tumbuhan dengan memasukan stiletnya ke dalam jaringan epidermis daun, batang maupun buah. Pada saat yang bersaman, kutu putih mengeluarkan racun ke dalam daun, sehingga daun menjadi menguning (klorosis), kerdil dan dapat menyebabkan gugur pada daun dan buah (Hue et al. 2007).
7 (a)
(d)
(b)
(e)
(c)
(f)
Gambar 1 Gejala serangan kutu putih (P. marginatus) (a) P. marginatus berkolononi di atas permukaan daun pepaya, (b) Daun pepaya menguning dan keriting, (c) Buah pepaya ditutupi oleh koloni P. marginatus dan menghasilkan embun madu yang berwarna kehitaman. (d) pucuk daun singkong keriting, (e) dan (f) kutu putih yang berkoloni di bawah permukaan daun singkong. Pada tanaman yang sudah dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan serangan yang berat mengakibatkan daun akan gugur. Serangan pada buah yang belum matang menyebabkan bentuk buah yang tidak sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi permukaan buah hingga terlihat putih akibat tertutupi koloni kutu putih tersebut (Pantoja et al. 2002). Ivakdalam (2010) melaporkan bahwa serangan kutu putih dapat menyebabkan penurunan produksi sebanyak 58% dan kerugian ekonomi mencapai 88% karena tanaman mati saat mulai berbuah. Upaya Pengendalian Pengendalian terhadap kutu putih pepaya sudah banyak dilakukan oleh beberapa negara maju dan berkembang. Di negara-negara maju, pengendalian terhadap P. marginatus dilakukan melalui pengendalian secara biologi (hayati) dengan memanfaatkan beberapa musuh alami seperti parasitiod dan predator. Pada tahun 2003, di Republik Palau dilakukan pelepasan beberapa parasitoid. Parasitoid tersebut diimport dari Puerto Rico, diantaraya seperti Anagyrus loecki Noyes, Pseudleptomastix mexicana Noyes dan Schauff, dan Acerophagus papayae Noyes dan Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae).
Tingkat parasitisasi
8 parasitoid A. loecki dan A. papayae terhadap P. marginarus mencapai 9-12%. Di wilayah Peurto Rico, Dominica dan Guam, pengendalian P. marginatus dengan menggunakan parasitoid dapat menurunkan populasi sebesar 97% setahun setelah introduksi parasitoid tersebut (Muniapan et al. 2006). Pada wilayah Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Tanggerang, ditemukan beberapa anthrophoda yang menjadi predator bagi P. marginatus, diantaranya yaitu serangga dari ordo Thysanoptera subordo Tubulifera, kumbang Cryptolaemus montrouzieri, dan Scymnus sp. (Coleoptera: Coccinellidae), larva Syrphidae, dan Chrysopha sp. (Neuroptera: Chrysopidae).
Beberapa musuh alami yang
ditemukan bersifat generalis dan potensinya masih rendah.
Selain itu juga
dilaporkan bahwa P. marginatus di wilayah Tanggerang, Cibeduk dan Menteng Asri, Bogor, terinfeksi cendawan Entomophthorales jenis Neozygites fumosa. Pengendalian lain yang dapat dilakukan adalah dengan menyemprotkan cairan sabun serta aplikasi insektisida imidakloprid atau ekstrak Tephrosia vogelii (Sartiami et al. 2009). Kutu Putih Singkong (Phenacoccus manihoti) Biologi dan Morfologi Kutu putih singkong (Phenacoccus manihoti) merupakan serangga yang termasuk dalam Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Superfamili Coccidea, dan Famili Pseudococcidae.
Serangga ini pernah menyebabkan
kerusakan serius pada pertanaman singkong di Afrika dan Amerika Selatan. Kutu putih ini biasanya berada di bawah permukaan daun dan berada di dekat pertulangan daun (Calatayud & Le Rü 2006). P. manihoti memiliki tubuh berwarna merah muda yang dilapisi oleh lapisan lilin putih. Serangga ini bersifat partenogenetik yang berarti dalam berkembang biak tidak perlu dibuahi oleh jantannya, sehingga semua keturunan yang dihasilkan akan menjadi betina (Williams & Granara de Willink 1992). P. manihoti memiliki empat instar dalam siklus hidupnya.
Siklus hidup serangga ini
berlangsung selama 21 hari. Imago betina mampu menghasilkan lebih dari 500 telur yang diletakkan berkelompok dalam kantung telur. Telur akan menetas menjadi nimfa instar-1 setelah 8 hari. Nimfa instar-1 bersifat aktif dan berperan
9 dalam migrasi untuk membentuk koloni baru.
Perkembangan nimfa instar-2
menjadi nimfa instar-2, dan nimfa instar-2 menjadi nimfa instar-3 memerlukan waktu selama 4 hari. Perkembangan nimfa instar-3 menjadi imago memerlukan waktu selama 5 hari. Setelah itu imago betina akan kembali meletakan telur (Calatayud & Le Rü 2006). Kutu putih P. manihoti mampu hidup pada temperatur udara yang rendah yaitu 14,7 ºC dan dapat berkembang secara optimal pada suhu 28 ºC serta mampu menghasilkan 500 butir telur. Serangga ini tidak dapat bertahan pada suhu di atas 35 ºC. Umur tanaman tidak mempengaruhi siklus hidup dari P. manihoti, namun siklus hidup serangga ini dapat dipengaruhi oleh varietas tanaman (Herren & Neuenschwander 1991). Kutu putih singkong (P. manihoti) memiliki 18 pasang seta serari yang masing-masing diperluas dengan seta yang berbentuk tumpul. Pada permukaan dorsal terdapat sedikit seta tumpul tanpa kelompok lubang trilokular di sekeliling setanya. Porus quinquelokular banyak terdapat pada permukaan ventral tubuhnya. Porus ini selalu berjumlah 32-68 di kepala, di area sekitar anterior lempengan klipeolabrum.
Biasanya pada permukaan dorsal ditemukan lempengan porus
multilokular yang berjumlah banyak dan terkadang terdapat juga pada bagian torak. Karakter penting lainnya yang terdapat pada P. manihoti adalah 9 segmen antena dan pada tarsus terdapat dentikel (Williams & Granara de Wilink 1992). Tanaman Inang dan Penyebaran Kutu putih singkong, P. manihoti merupakan serangga hama yang bersifat oligofag.
Serangga ini umumnya hanya menyerang tanaman singkong atau
tanaman dari famili Euphorbiaceae. Kutu putih singkong pertama kali ditemukan pada tahun 1973 menyerang pertanaman singkong di Kongo. Setelah melalui proses eksplorasi dan taksonomi yang intensif, pada tahun 1981 kutu putih singkong diketahui berasal dari wilayah Amerika Selatan.
Pada akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an secara tidak
sengaja terintroduksi ke wilayah Afrika dan berkembang secara cepat karena tidak adanya musuh alami (Herren 1990). Serangga ini juga ditemukan telah menyebar ke wilayah Amerika Selatan seperti Paraguay, Brazil dan Bolivia (Calatayud & Le
10 Rü 2006). Pada pertengahan tahun 2010, P. manihoti ditemukan di tanaman singkong di Bogor (Rauf 2010, komunikasi pribadi). Gejala Serangan dan Dampak Ekonomi Gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh P. manihoti adalah keriting pada bagian tunas daun, dan daun menguning, perubahan bentuk pada batang, roset pada titik tumbuh dan kematian pada tanaman muda (Belloti et al.
2003).
Serangan berat dapat mengakibatkan daun gugur (Calatayud & Le Rü 2006). Kehilangan hasil akibat serangan kutu putih singkong dapat mencapai 68-88% bergantung pada kultivarnya. Di daerah Afrika, kehilangan hasil akibat serangan kutu putih singkong mencapai 80% (Belloti 2002). Upaya Pengendalian Upaya pengendalian P. manihoti di beberapa negara dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami berupa predator dan parasitiod. Beberapa predator yang diketahui dapat menurunkan populasi P. manihoti diantaranya yaitu Hyperaspis notata Mulsant dan H. jucundan (Coleoptera: Coccinellidae). Predator ini diketahui mampu berkembang biak dengan baik dan menurunkan populasi P. mannihoti di Zaire, Burundi, dan Mozambik.
Selain itu, juga
ditemukan H. notata yang berasal dari Colombia mampu memangsa Phenacoccus herreni dan di wilayah Brazil predator ini memangsa P. manihoti. Beberapa predator lain yang berpotensi mengendalikan P. manihoti adalah Diomus hennesseyi Fürsch (Coleoptera: Coccinellidae) (Neuenschwander 2001). Beberapa parasitoid yang mampu memarasit P. manihoti, diantanya yaitu Apoanagyrus (Epidinocarsis) lopezi De Santis (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Allotropa sp. (Hymenoptera: Platygasteridae). Parasitoid Allotropa sp. diketahui pernah dilepaskan di beberapa Wilayah di Afrika, tetapi keberadaannya tidak ditemukan kembali di beberapa wilayah tempat parasitioid tersebut dilepaskan. Sedangkan A. lopezi mampu berkembang biak dengan baik dan mampu menurunkan populasi P. manihoti di 26 negara di Afrika (Neuenschwander 2001).
11 Cendawan Entomophthorales Taksonomi Cendawan dari ordo Entomophthorales termasuk ke dalam kelas Zygomycetes. Cendawan ordo ini memiliki 5 famili, yaitu: Acyliastaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristaceae, dan Neozygitaceae. bersifat
patogenik
termasuk
ke
dalam
famili
Cendawan yang
Ancyliastaceae
Conidiobolus), Entomophthoraceae dan Neozygitaceae.
(genus
Cendawan jenis
Mristacrum milkoi (Entomophthorales: Meristacraceae) diketahui menjadi patogen pada larva Tabanidae (Diptera). Spesies dari famili Completoriaceae bersifat parasit obligat intraselular, tetapi belum diketahui genus dan spesiesnya (Keller & Wegensteiner 2007). Pada Januari 2006, 223 spesies dari cendawan ordo Entomophthorales telah teridentifikasi.
195 spesies termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae,
17 spesies termasuk ke dalam famili Neozygitaceae, dan 10 spesies termasuk dalam famili Ancylistaceae.
Genus Conidiobolus dari famili Ancylistaceae
bersifat saprofitik ( Keller & Wegensteiner 2007). Identifikasi cendawan Entomphthorales dan deskripisi taksonominya dapat dilakukan berdasarkan pengetahuan akan struktur dan karakteristik cendawan. Hal penting lainnya dalam proses identifikasi adalah inang dari cendawan tersebut. Sebagian besar cendawan Entomophthorales bersifat spesifik, cendawan Entomophthorales jenis tertentu akan menginfeksi serangga hama dari spesies tertentu atau dalam famili tertentu.
Identifikasi cendawan Entomophthorales
dapat dilakukan dengan melihat bentuk dan ukuran dari konidiofor, konidia primer, dan konidia sekunder (ragam bentuknya). Proses identifikasi lebih lanjut dan lebih jelas dapat dilakukan dengan melihat struktur dari hyphal bodies, cystidia, rizoid, resting spores dan jumlah inti sel masing-masing struktur (Keller 2007). Biologi dan Ekologi Siklus hidup dari cendawan Entomophthorales cukup kompleks, biasanya terdiri dari dua tipe yaitu siklus hidup aseksual (konidia) dan siklus resting spores (Pell et al. 2001; Keller & Wegensteiner 2007). Konidia merupakan struktur
12 yang berperan dalam proses infeksi.
Konidofor dapat muncul dari membran
tubuh inang, terkadang muncul dari intersegmen membran. Lapisan himenium tubuh inang biasanya dipenuhi oleh konidia primer yang aktif memencar dengan bantuan tekanan hidrostatik. Puluhan ribu konidia dapat diproduksi dari satu tubuh inang (Pell et al. 2001).
Gambar 2 Identifikasi stadia cendawan patogen serangga (a) Oliarus dimidiatus dewasa sehat, (b) Cendawan Pandora sp. menginfeksi O. dimidiatus, (c) Primary conidia, (d) Bitunicate conidia dengan lapisan dinding luar terpisah dan secondary conidia (tanda panah), (e) Cystidia (tanda panah) dan (f) Hyphal bodies. Sumber : Toledo AV et al 2008. Cendawan Entomophthorales memiliki beberapa struktur.
Struktur ini
terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu struktur yang berkaitan dengan inang, yang berkaitan dengan fisiologi dan yang berkaitan dengan siklus reproduksi. Struktur cendawan yang berkaitan dengan inang antara lain adalah struktur yang berkembang di dalam tubuh inang (protoplas, hyphal bodies, dan resting spores) dan struktur yang berkembang di permukaan tubuh inang (konidiofor, konidia, cystidia dan rizoid). Resting spores terkadang dapat terbentuk di luar tubuh inang.
13 Struktur yang ditemukan biasanya berbentuk tunas miselium atau tunas konidia. Sedangkan sruktur yang berkaitan dengan fisiologi dan reproduksi antara lain adalah protoplas, hyphal bodies, konidiofor, konidia, resting spores, dan konidia infeksi. Sedangkan struktur yang tidak berkaitan dengan reproduksi diantaranya adalah cystidia dan rizoid (Keller 2007). Protoplas merupakan struktur dari cendawan Entomophthorales yang biasanya terdapat pada inang hidup yang terinfeksi. Protoplas tidak memiliki dinding sel. Hypal bodies merupakan struktur yang hampir ditemukan di semua spesies inang. Inang yang terinfeksi hypal bodies biasanya sudah dalam keadaan sekarat. Stuktur ini merupakan tahap pertama yang dibentuk di dalam tubuh inang yang terinfeksi dan merupakan fase perkembangan vegetatif dari cendawan Entomophthorales.
Hyphal bodies memiliki dinding sel sehingga beberapa
cendawan Entomophthorales memiliki bentuk hyphal bodies yang khas. Hal ini dapat dijadikan ciri pada proses identifikasi (Keller 2007). Konidia primer (primary conidia) diproduksi secara aktif dari pangkal konidiofor. Konidia primer yang dibentuk dari konidifor sederhana (tidak bercabang) memiliki dua atau lebih nukleus, sedangkan konidia primer yang dibentuk dari konidiofor yang bercabang biasanya memiliki satu nukleus (Keller 2007). Konidia primer umumnya berbentuk bulat seperti buah pir atau seperti lonceng dan memiliki papila (Humber & Steinkraus 1998). Secondary conidia (konida sekunder) dibagi ke dalam lima tipe menurut Ben-Ze’ev dan Kenneth (1982 di dalam Keller 2007). Tipe I, secondary conidia dihasilkan satu per satu kemudian dikeluarkan, biasanya dari cabang yang pendek dari konidia primer. Tipe ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu Tipe Ia mempunyai bentuk yang hampir sama dengan konidia primer. Tipe ini merupakan tipe normal yang dimiliki oleh hampir semua jenis cendawan Entomophthorales. Sementara itu, Tipe Ib mempunyai bentuk yang berbeda dengan konidia primer. Tipe Ib ini dimiliki oleh Erynia, Furia, Pandora, dan beberapa jenis Entomophaga (Keller & Eilenberg 1993 di dalam Keller 2007). Secondary conidia pada Tipe II disebut capilliconidia. Capilliconidia dihasilkan secara satu per satu, berukuran panjang, dan mempunyai tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer.
14 Secondary conidia pada Tipe III dikenal dengan nama microconidia. Konidia ini menghasilkan satu dari banyak perkembangan pipa tubular yang muncul dari konidia primer, bentuknya menyerupai konidia primer tetapi lebih kecil. Tipe ini banyak ditemukan pada beberapa jenis Conidiobolus. Tipe IV disebut dengan nama microspores. Tipe ini tidak ditemukan pada jenis cendawan entomopatogen. Tipe terakhir merupakan Tipe V yang dikenal dengan istilah aquatic secondary conidia, tetra-radiate propagules, tetra-radiate conidia, branched, stellate atau coronate conidia. Konidia sekunder ini dihasilkan di dalam air atau saat kontak dengan air (Keller 2007).
(a)
(d)
(b)
(c)
(e)
Gambar 3 Struktur (Stadia) Cendawan Entomophthorales (a) Resting spores berdinding tebal dan berwarna coklat, (b) Konidia primer/ kapilokonidia, (c) Konidia primer yang berbetuk seperti buah pir dengan papil diujungnya, (d) Resting spores yang dibentuk di dalam tubuh kutu daun saat kondisi epizootik, (e) Neozygite fresenii pada kutu daun kapas, kutu daun yang berwarna gelap mengandung stadia resting spore. Sumber : Carner 2008. Resting spores merupakan struktur bertahan yang dimiliki oleh cendawan Entomophthorales.
Struktur ini memiliki dinding sel yang ganda dan tebal.
Struktur ini terbetuk secara aseksual dari suatu hyphal bodies (azygospora) atau terbentuk secara seksual dari proses konjugasi antara dua hyphal bodies (zygospora). Umumnya bentuk resting spores adalah bola dan hialin, beberapa ada yang dikelilingi oleh episporium. Bentuk resting spores pada genus Neozygites adalah bulat atau lonjong dengan warna gelap (coklat atau hitam) (Keller 2007). Resting spores dapat bertahan di tanah ataupun di serasah.
15 Cendawan Entomophthorales memiliki 4 famili yang anggotanya bersifat entomopathogenik, yaitu Ancylistaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae dan Neozygitaceae. Jumlah total yang telah teridentifikasi adalah sebanyak 16 genus dan 233 spesies. Sebagian besar cendawan entomopathogenik termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae (87,4%), sisanya termasuk ke dalam famili Neozygitaceae dan Ancylistaceae yang masing-masing memiliki persentasi sebesar 7,6% dan 4,4%. Sedangkan anggota dari famili Meristacraceae hanya memiliki satu jenis spesies cendawan entomopathogenik. Spesies dari famili Neozygitaceae umumnya menyerang serangga dari ordo Thysanophtera dan sebagian Hemipetra (kutu-kutuan), sedangkan spesies dari famili Entomophthoraceae umumnya menyerang sebagian Hemimptera (termasuk jenis wereng) dan beberapa serangga dari ordo Diptera, Lepidoptera dan Coleoptera (Keller 2007; Pell et al. 2001). Famili Neozygitaceae Cendawan Entomophthorales dari famili Neozygites memiliki ciri-ciri stadia vegetatif (hyphal bodies) berbentuk globose atau batang dengan atau tanpa dinding sel. Hyphal bodies memiliki nukleus dengan ukuran 3-5 µm. Konidiofornya berbentuk sederhana.
Primary conidia tidak memiliki membran luar dan
memencar secara paksa dengan papilar eversion. Primary conidia memiliki 3-10 nuklea. Cendawan Entomophthorales dari famili Neozygitaceae memiliki 2 tipe konidia sekunder, yaitu berbentuk seperti konidia primer dan berbentuk kapilokonidia. Resting spores biasanya zygospora yang terbentuk dari proses konjugasi 2 hyphal bodies dengan satu nukleus pada masing-masing gametangiumnya.
Bentuk resting spores adalah bulat atau lonjong berwarna
coklat sampai kehitaman, kadang-kadang ditemukan juga yang hialin, episporium datar (rata) atau memiliki ornamen (Keller 2007). Famili Neozygitaceae memiliki 2 genus (Neozygites dan Apterivorax) dan 18 spesies yang mampu menginfeksi serangga maupun tungau (Keller 2007). Cendawan dari genus Neozygites telah menyebar secara luas hampir di seluruh belahan dunia. Neozygites fresenii ditemukan menginfeksi Aphididae di Afrika, Australia, Eropa, India, Israel, dan Amerika Utara, serta ditemukan mampu menginfeksi Aphididae di beberapa wilayah tropik.
Neozygites floridana
16 dilaporkan keberadaanya di wilayah India, Polandia, Afrika bagian Barat, Amerika Serikat dan Brazil (Pell et al. 2001). Kisaran inang dari famili Neozygitaceae merupakan jenis artropoda kecil seperti tungau (Acarina), trips (Thysanoptera), Colembola dan beberapa serangga dari ordo Hemiptera (Pell et al. 2001). Beberapa spesies yang diketahui menyerang tungau antara lain adalah Apterivorax acaricida, Neozygites abacaridis, N. acaridis, N. tetranychi, N. floridana dan N. tanajoae. Spesies yang diketahui menginfeksi serangga dari ordo Thysanoptera antara lain adalah N. parvispora dan N. cucumeriformis. Spesies yang menyerang Colembola adalah A. sminthuri. Sedangkan spesies yang menyerang serangga dari ordo Hemiptera antara lain adalah N. fresenii yang diketahui menyerang kutu daun (Aphis spp.), N. heteropsyllae dilaporkan menyerang Heteropsylla cubana (Hemiptera: Psyllidae), N. fumosa yang dilaporkan menyerang serangga dari famili Pseudococcidae (Keller 2007). Neozygites fumosa (Speare) Remaudiére & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales) pertama kali dilaporkan pertama kali menginfeksi P. herreni pada pertanaman singkong di wilayah Brazil pada tahun
1994.
Tingkat infeksi
cendawan ini mencapai 9,3-64% yang ditemukan di wilayah Cruz das Almas dan São Gonҫalo, Bahia. N. fumosa memproduksi hyphal bodies yang berbentuk globose (9,5–14,2 µm diameter) dan berbentuk lonjong yang sedikit melebar. Selain itu, memiliki tetranucleate primary conidia (16,5±0,5 x 8,1±0,9 µm). Di lapangan, ditemukan beberapa kapilokonidia dan tidak ditemukan adanya resting spores.
Cendawan N. fumosa sedang dipelajari sebagai musuh alami yang
potensial untuk digunakan sebagai musuh alami kutu putih singkong di Brazil (Delalibera 1997). Interaksi dengan Inang Interaksi antara cendawan dengan inang merupakan karakteristik yang dibutuhkan oleh keduanya untuk meningkatkan potensi reproduktif masing-masing. Inang akan meningkatkan ketahanan ketika cendawan menginfeksi. Cendawan Entomophthorales merupakan cendawan yang terspesialisasi dengan baik, mempunyai cakupan inang yang cukup luas dan mampu beradaptasi dengan tingkah laku inang. Oleh karena itu, cendawan Entomophthorales mempunyai
17 nilai tinggi dari sisi pengurangan inang serangga secara selektif yang berarti bahwa cendawan ini tidak akan membahayakan organisme bukan sasaran (Keller & Wegwnsteiner 2007). Cendawan Entomophthorales membutuhkan kondisi lembab untuk bersporulasi dan berkecambah. Banyak spesies yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi dan menyebabkan kematian inang pada sore hari hingga malam hari, saat kelembapan udaranya cukup tinggi (Keller & Wegensteiner 2007). Cendawan menginfeksi inang dengan menembus kutikula inang. Hal ini merupakan prinsip dari cendawan entomopatogen, karena cendawan tidak dapat masuk secara aktif ke dalam alat mulut serangga dan menyerang sistem pencernaannya. Selain itu, beberapa cendawan entomopathogen juga mengeluarkan senyawa metabolit untuk menembus tubuh inang saat inang mengaktifkan sistem pertahanannya. Cendawan entomopatogen berasosiasi dengan berbagai macam habitat serangga, termasuk di dalam air dan tanah, permukaan tanah, serta di zona aerial. Setelah proses penetrasi, cendawan akan berpoliferasi di dalam tubuh inang, sering kali terus bertahan di dalam tubuh inang karena sifatnya yang obligat. Hasil infeksi patogen sangat bergantung pada genetik patogen untuk berkembang secara cepat, untuk berpenetrasi ke dalam tubuh inang dan menghasilkan senyawa metabolit yang dapat meracuni inang (Hajek & Leger 1994). Cendawan Entomophthorales sangat berpotensi sebagai musuh alami beberapa serangga hama karena cendawan ini memiliki kemampuan epizootik (Hajek 2004).
Epizootik merupakan keadaan dimana terjadi kejadian penyakit yang
meluas dan menyerang hampir semua level pada suatu populasi serangga hama dalam waktu yang cukup singkat. Infeksi oleh cendawan pada berbagai serangga terjadi secara meluas dan dapat menurunkan populasi serangga hama pada kejadian epizootik yang luar biasa. Tiga kondisi utama yang dapat meyebabkan epizootik adalah penyebaran patogen, populasi patogen dan populasi inang (Tanada & Kaya 1993; Fuxa & Tanada 1987).