TINJAUAN PUSTAKA
Kromium Kromium (Cr) merupakan unsur logam yang dapat ditemukan dalam bebatuan, hewan, tumbuhan, tanah serta abu dan gas vulkanik (Gomez & Callao 2006). Cr dapat berada dengan valensi antara -2 sampai +6 akan tetapi dalam lingkungan umumnya berada dalam bentuk kromium trivalen [Cr(III)] atau heksavalen [Cr(VI)]. Cr(III) terdapat dalam jumkah yang tidak terlalu banyak pada bebatuan dan tanah dalam bentuk senyawa Cr2O3. Sedangkan Cr(VI) secara alami jarang terdapat di alam. Kehadirannya dalam bentuk kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-) dalam lingkungan biasanya disebabkan oleh limbah maupun emisi dari kegiatan industri dan rumah tangga. Distribusi senyawa yang mengandung Cr(III) dan Cr(VI) bergantung pada potensial redoks, pH, adanya senyawa oksidator atau reduktor, kinetika reaksi redoksnya, pembentukan kompleks Cr(III) atau garam Cr(III) tak larut, dan konsentrasi kromium total (WHO 1996). Cr (VI) dalam lingkungan umumnya terdapat sebagai HCrO42- pada pH rendah dan CrO42- pada pH yang cukup tinggi (Tandon et al. 1984). Cr(III) umumnya terdapat sebagai kation (Cr3+) atau kompleks hidroksonya (Cr(OH)n(3-n)+) dan produk hidrolisisnya (Rai et al. 1987). Cr(III) dalam air terdapat sebagai kation maupun kompleks yang bermuatan positif, netral, atau anion bergantung kepada ligan yang mengikatnya serta pH. Pada pH dan potensial redoks yang rendah, Cr(III) berada sebagai kompleks hidrokso kationik (Cr(OH)2+, Cr(OH)2+). Cr(III) akan mengendap sebagai Cr(OH)3 pada kisaran pH 6,8-11,3 dan pada pH yang lebih tinggi lagi dapat membentuk kompleks hidrokso anionik (Cr(OH)4-, Cr(OH)52-). Cr cukup banyak digunakan dalam bidang-bidang industri. Cr(VI) banyak digunakan dalam industri logam seperti pembuatan logam Cr, aloi Cr, dan pelapisan logam serta industri kimia sebagai agen pengoksidasi dan produksi Cr dengan bilangan oksidasi yang lebih rendah. Cr(III) terutama sebagai garamnya umumnya digunakan dalam indukstri tekstil, industri penyamakan, industri keramik dan gelas, dan fotografi.
21
Metode Spesiasi dan Analisis Kuantitatif Kromium Beberapa teknik analisis telah dikembangkan untuk penetapan kadar Cr(III) dan Cr(VI) pada suatu contoh. Teknik spektrofotometri merupakan teknik yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 90% untuk penetapan Cr(VI) maupun Cr(III) secara individu maupun simultan dengan atau tanpa tahapan prekonsentrasi dan separasi secara tradisional maupun sistem alir. Proporsi penggunaan teknik spektrofotometri untuk SSA sebesar 65% dan spektrofotometri UV-Vis (absorbsi, fluoresens, dan kemiluminesens) sebesar 25% (Gomez & Callao 2006). Penentuan kadar Cr terutama Cr(VI) menggunakan spektrofotometri sinar tampak umumnya menggunakan reagen organik yang dapat dioksidasi dan pembentukan ion asosiasi. Pada spektrofotometri sinar tampak ini kadar Cr(VI) dan Cr(III) tidak dapat ditentukan secara simultan karena reagen yang diberikan hanya untuk spesi Cr tertentu saja. Untuk mengetahui kadar kedua spesi tersebut maka terdapat perlakuan oksidasi Cr(III) menjadi Cr(VI) atau sebaliknya reduksi Cr(VI) menjadi Cr(III) sehingga diperoleh kadar Cr total maka dengan pengurangan kadar Cr total dan Cr(VI) atau Cr(III) yang telah ditentukan dapat diperoleh kadar spesi Cr lainnya. Metode yang telah ada untuk menentukan kadar Cr(III) secara langsung yang didasarkan pada pembentukan kompleks Cr(III) dengan suatu reagen pengkompleks dalam larutan secara spektrofotometri tidaklah terlalu banyak. Dari beberapa metode yang ada selalu dilakukan pemanasan dengan cara refluks yang disebabkan oleh lambatnya reaksi pembentukan kompleks Cr(III) dengan reagen pengkompleksnya. Reagen yang telah dilaporkan untuk menentukan kadar Cr(III) secara spektrofotometri sinar tampak ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Reagen kromogenik untuk Cr(III) Reagen kromogenik
Pustaka
3-thianaftenoiltrifluoroaseton
Johnston & Holland 1971
Kalium heksasianoferat(II)
Malik & Bembi 1975
4-(2-tiazolilazo)resorsinol
Subrahmanyam & Eshwar 1976
Asam etilendiaminatetraasetat
Rengasamy & Oades 1983
2-(5-bromo-2-piridilazo)-5-dietilaminofenol
Sheng et al. 1982
Tropolon
Rizvi 1983
22
Lanjutan Tabel 1 4-(-2-piridilazo)resorsinol
Anjaneyulu et al. 1986
2-(5-bromo-2-piridilazo)-5-
Zhao & Han 1994
dimetilaminofenol Kuersetin dengan adanya polivinilpirolidon
El-Sayed et al. 2000
N-metilanilin karboditioat
Rao et al. 2005
α-Benzoin oksim
Ghaedi et al. 2006
2-hidroksibenzaldiminoglisina
Kumar & Muthuselvi 2006
Reagen yang paling umum digunakan untuk menentukan kadar Cr(VI) secara spektrofotometri konvensional sinar tampak yaitu 1,5 difenilkarbazida (Marchart 1964) akan tetapi gangguan dari Fe(III), No(VI), Cu(II) dan Hg(II) sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh dan hanya membentuk kompleks yang stabil selama 30 menit dengan adanya bufer fosfat. Reagen lain juga telah diteliti untuk digunakan dalam menentukan kadar Cr(VI) seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Selain itu terdapat pula penggunaan reagen ion asosiasi yang akan membentuk kelat
dengan
Cr(VI)
seperti
nitrotetrazolium
biru
(Kamburova
1998),
tetrafenilarsonium klorida dan tetrafenilfosfonium bromida (El-Shahawi et al. 2005) Tabel 2 Reagen kromogenik untuk Cr(VI) Reagen kromogenik
Pustaka
Fenilarsenazo
Sun 1983
2-oksiminodimedon ditiosemikarbazon
Salinas et al. 1985
o-Nitrofenilfluoron
Qi & Zhu 1986
Kuersetin
Alvarez et al. 1989
Malasit hijau
Parkash et al. 1991
Metilen biru
Kamburova 1993
Pirogalol merah
Sicilia et al. 1993
Ferron
Arya & Bansal 1994
Tioridazina HCl
Raj & Gowda 1995
Bromopiragalol merah
Huang et al. 1997
Asam kromotropik
Zhao et al. 1998
N,N-dietil-1,4-fenilenediam
Zhang et al. 1999
23
Lanjutan Tabel 2 Ferpenazina
Mohammed & El-Shahat 2000
Asam sitrazinat
Revanasiddappa & Kumar 2001
Trifluoroperazina HCl
Revanasiddappa & Kumar 2002
Leukoxilena sianol FF
Revanasiddappa & Kumar 2003
Siklam
Zaitoun 2005
Variamin biru
Narayana & Cherian 2005
SSA merupakan teknik analisis yang paling banyak digunakan dalam analisis logam seperti kromium karena mempunyai sensitivitas dan selektivitas yang baik. Analisis kuantitatif Cr baik sebagai Cr(III) maupun Cr(VI) dengan SSA telah banyak dikembangkan terutama terhadappemilihan sumber eksitasi. Sumber eksitasi yang telah digunakan seperti nyala (Krishna et al. 2005), tungku grafit (Hu & Deming 2005), dan penguapan elektrotermal (Campillo et al. 2002). Untuk penentuan simultan kadar Cr(III) dan Cr(VI) kedua teknik di atas paling luas digunakan setelah adanya tahapan prekonsentrasi dan atau separasinya sebagai bagian dari spesiasi Cr. Metode prekonsentrasi maupun separasi untuk spesiasi Cr yang telah dikembangkan yaitu ekstraksi seperti ekstraksi cair-cair (Chen et al. 2005), ekstraksi fase padat (Chwatowska et al. 2005), ekstraksi ultrasonik (Wang et al. 1997), ektraksi cloud point (Zhu et al. 2005), adsorpsi (Dogutan et al. 2003), kopresipitasi (Krishna et al. 2004), kristalisasi (Eksperiandova et al. 2002), kromatografi ion (Thomas et al. 2002), dan sistem alir dengan adanya penjerapan pada kolom mikro (Maltez & Carasek 2005). Saat ini juga telah berkembang teknik-teknik lain untuk menentukan kadar Cr seiring dengan kemajuan instrumentasi untuk analisis kimia seperti ICP-AES (Sumida et al. 2006), KCKT dengan detektor larik diode (Cathum et al. 2002), KCKT-ICP-MS (Seby et al. 2003), elektroda selektif ion (Hassan et al. 2005), elektroforesis kapiler (CE) (Himeno et al. 1998), spektroskopi Raman (Kikuchi et al. 2005), spektroskopi reflektans baur (Steiner et al. 2006), spektroskopi absorpsi sinar X (Shaffer et al. 2006), voltammetri (Gevorgyan et al. 2004), dan CE-ICPMS (Lierde 2006). Selain teknik-teknik diatas masih terdapat pula penggunaan suatu teknik analisis konvensional yaitu titrimetri dalam menentukan kadar kromium (Sircar et al. 1996). Dalam hal untuk menentukan kadar spesi Cr yaitu
24
Cr(III) dan Cr(VI) teknik-teknik ini tetap memerlukan tahapan prekonsentrasi maupun separasi.
Reagen Kromogenik Reagen kromogenik merupakan suatu zat yang dapat mengkonversi suatu zat lainnya membentuk pigmen atau zat warna melalui reaksi redoks maupun pengkompleksan. Penentuan kadar logam maupun senyawa organik secara spektrofotometri sinar tampak banyak menggunakan reagen jenis ini karena produk yang dihasilkan dapat menyerap radiasi sinar tampak. Reagen kromogenik yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
yaitu
suatu
basa
Schiff
2-
hidroksibenzaldiminoglisina (Gambar 1a) untuk Cr(III). Untuk Cr(VI) digunakan suatu senyawa flavonoid yang termasuk ke dalam kelas flavonol yaitu kuersetin (Gambar 1b). O OH
OH
N O
HO
OH
OH OH OH
O
a
b
Gambar 1 Struktur Kimia 2-hidroksibenzaldiminoglisina (a) dan kuersetin (b) Basa Schiff yang disebut pula sebagai imina merupakan suatu gugus fungsi yang mengandung ikatan rangkap dua C=N dengan nitrogen terikat pada suatu gugus aril atau alkil (IUPAC 1997). Senyawa basa Schiff umumnya terbentuk melalui kondensasi suatu aldehida atau keton dengan amina primer seperti ditunjukkan pada skema reaksi berikut ini. O R R
NH2
+
R
C
R
N
R
+
H2O
R
Basa Schiff yang mengandung substituen aril lebih stabil dan proses sintesisnya tidak memerlukan waktu yang lama, sedangkan yang mengandung gugus alkil relatif tidak stabil (Lowry & Richardson 1976). Selain itu juga basa Schiff yang
25
terbentuk dari aldehida alifatik relatif tidak stabil dan mudah berpolimerisasi (Hine & Yeh 1967), sedangkan yang terbentuk dari aldehida aromatik lebih stabil karena adanya sistem konjugasi. Stabilisasi basa Schiff juga dapat ditingkatkan dengan membentuk senyawa koordinasi dengan suatu logam tertentu (Eichhorn & Marchand 1956). Salisilaldehida dan glisina dengan katalis basa (KOH) pada pemanasan dengan
suhu
50-60oC
digunakan
dalam
membentuk
basa
Schiff
2-
hidroksibenzaldiminoglisina. Mekanisme pembentukannya merupakan adisi nukleofilik pada suatu gugus karbonil. Pada kasus ini, nukleofilnya adalah gugus amina dari glisina. Pada tahap awal, reaksinya dimulai dengan pembentukan karbinolamina yang tidak stabil hasil dari reaksi gugus amina dan karbonil aldehida. Selanjutnya karbinolamina akan kehilangan air dengan katalis basa seperti yang digunakan atau dapat pula menggunakan katalisis asam. Secara keseluruhan pembentukan 2-hidroksibenzaldiminoglisina melalui reaksi bertahap yaitu reaksi adisi yang kemudian diikuti dengan eliminasi seperti ditunjukkan pada skema reaksi berikut ini. O
O O
O OH
C
H HO
+
C OH
NH C
OH
N HC
H
NH2
Glisina
salisilaldehida
karbinolamina
2-hidroksibenzaldiminoglisina
Flavonoid telah secara luas dipelajari sebagai reagen dalam menentukan kadar suatu logam menggunakan spektrofotometri, fluorometri, dan gravimetri. Flavonoid merupakan turunan dari benzo-γ-piron sehingga memiliki sistem konjugasi dari cincin aromatiknya. Kuersetin termasuk ke dalam golongan senyawa ini yang termasuk dalam kelas flavonol. Alvarez et al. (1989) melaporkan bahwa Cr(VI) dapat bereaksi dengan kuersetin dan juga beberapa senyawa flavonoid lainnya seperti fisetin, mirisetin, morin, dan 3-hidroksiflavon. Selain itu juga dengan menggunakan sistem misel, reaksi pembentukan kompleks Cr(VI)-kuersetin menjadi lebih peka.
26
Cr(VI) merupakan oksidator kuat sehingga dapat mengoksidasi flavonoid (dengan membuka cincin γ-piron). Reaksi pembentukan kompleks Cr(VI)kuersetin diperkirakan menjalani reaksi seperti pada pembentukan kompleks Cr(VI)-difenilkarbazida. Pada reaksi dengan mekanisme tersebut, ion Cr(III) akan terbentuk dari proses oksidasi kuersetin oleh Cr(VI) yang kemudian akan membentuk kompleks dengan kuersetin yang telah teroksidasi (Alvarez et al. 1989).
Metode Penambahan Standar Titik-H Metode penambahan standar titik-H (HPSAM) yang dikembangkan oleh Bosch-Reig & Campins-Falco (1988) merupakan modifikasi dari metode penambahan standar yang dapat mentransformasi kesalahan yang tak dapat diperbaiki akibat adanya gangguan langsung pada penentuan suatu analat menjadi kesalahan sistematik yang konstan. Kesalahan ini kemudian dapat dievaluasi dan juga dihilangkan. Metode ini juga dapat memperbaiki secara langsung kesalahan proporsional dan konstan yang dihasilkan oleh matriks sampel. HPSAM menggunakan data sinyal analitik pada dua panjang gelombang terpilih. Dengan mengalurkan sinyal analitik vs konsentrasi analat yang ditambahkan, dua buah garis lurus akan dihasilkan yang akan saling berpotongan pada sebuah titik yang disebut sebagai titik H dengan koordinat -CH, AH (Gambar 2). Nilai pada titik -CH merupakan konsentrasi analat yang tak diketahui dan AH adalah sinyal analitik dari pengganggu (Bosch-Reig & Campins-Falco 1988)
Gambar 2 Plot HPSAM HPSAM dapat diaplikasikan untuk resolusi campuran dari dua komponen dalam suatu campuran yang tumpang tindih sebagian ataupun sempurna dengan
27
bentuk spektrum yang berbeda walaupun mempunyai panjang gelombang maksimum yang hampir sama. Oleh karena itu metode ini umumnya digunakan untuk analisis multikomponen. Metode ini telah digunakan untuk menghilangkan respon blangko saat menggunakan reagen kromogenik (Campins-Falco et al. 1992). Sebagai tambahan, metode ini telah diaplikasikan pula pada spesiasi logam seperti Fe dan V (Abdollahi et al. 2003), Co dan Ni (Afkhami & Bahram 2004), Fe dan Co (Safavi & Nezhad 2004) serta Zn dan Co (Arvand et al. 2007), penentuan simultan beberapa pewarna makanan/minuman (Hajimahmoodi et al. 2008;), analisis data kinetika dengan adanya tambahan variabel waktu untuk spesiasi logam seperti Sb(IV) dan Sb(III) (Abbaspour et al. 2004) dan Be dan Al (Afkhami & Zarei 2004), dan studi kesetimbangan kompleks pada sistem misel (Abdollahi & Zeinali 2004).
28