5
TINJAUAN PUSTAKA Khitosan Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin
dan khitosan
merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak, yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal. Saat ini budidaya udang di tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25–40 %), kalsium karbonat (45–50 %), dan khitin (15–20 %), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15.60–23.90 %), kalsium karbonat (53.70–78.40 %), dan khitin (18.70– 32.20 %). Hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al. 1992). Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30 % –75 % dari berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolah udang cukup tinggi (Anonim 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain (Anonim 1994). Selama ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya diberbagai industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin
dan khitosan
serta turunannya
6
mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang 1995). Khitosan
adalah polimer linier berberat molekul tinggi dari 2-deoksi
2-amino-glukosa, merupakan produk deasetilasi dari khitin dengan alkali kuat, bersifat polimer kationik sehingga tidak larut dalam air atau alkali pada pH di atas 6.5, tetapi dapat larut cepat dalam asam organik cair seperti asam formiat, asam sitrat dan asam mineral kecuali sulfur. Khitosan disebut juga dengan mempunyai kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura 1995). Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polietrolitik (Hirano 1989). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan industri kesehatan (Muzarelli 1986). Sumber Khitosan Sumber utama khitin
dan khitosan
yang dapat digunakan dalam
pengembangan lebih lanjut di perairan Indonesia adalah limbah udang. Suptijah et al. (1992) menyatakan bahwa limbah udang dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu : a. Kepala udang yang biasanya merupakan hasil sampingan dari industri pembekuan udang tanpa kepala. b. Kulit udang yang biasanya merupakan hasil samping dari industri pembekuan udang atau industri pengalengan udang. c. Campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan udang. Johnson dan Peniston (1982) menyatakan bahwa kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang mencapai 50–60 % dari berat utuh. Kandungan khitin pada limbah udang sebesar 20–30 % (berat utuh).
7
Sifat-sifat Fisikokimia Khitin dan Khitosan Menurut Ornum (1992), khitin adalah suatu polimer linier yang tersusun oleh 2.000-3.000 monomer N-asetil D-glukosamin dalam ikatan β (1-4). Khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam anorganik encer, dan asam-asam organik tetapi larut dalam dimetil asitamida dan lithium klorida. Knorr (1982) menyatakan bahwa khitosan
merupakan polimer rantai
panjang glokosamin (2-amino-2 deoksiglukosa). Menurut Ornum (1992), khitosan mempunyai sifat-sifat tertentu yaitu: struktur molekulnya dalam keadaan cair sensitif terhadap kekuatan ion tinggi, daya refulsif antara fungsi amin menurun sesuai dengan fleksibelitas rantai khitosan, dan pendekatannya dalam ruang distabilkan oleh ikatan hidrogen menghasilkan suatu molekul resisten yang tahan terhadap stres mekanik dan kemampuan berkembang bertambah. Khitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya pada posisi C2. Hal ini menyebabkan khitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992). Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan khitosan berbentuk ion netral (Sandford 1989). Khitin dan khitosan
merupakan senyawa kimia yang mudah
menyesuaikan diri, hidrofobik (tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam), memiliki reaktivitas tinggi (karena mengandung gugus –OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar ion). Disamping itu, khitosan tidak larut dalam basa atau media campuran asam basa dan posisi silang khitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan khitin (Muzarelli, 1977 dalam Zeng 1997). Menurut Austin (1984), khitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH di atas 6.5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan khitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi dan rotasi spesifik yang dapat bervariasi dan tergantung dari sumber dan metode isolasinya.
8
Pernyataan di atas didukung oleh Ornum (1992) yang menyatakan bahwa khitosan dapat larut dalam suatu larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6.5. Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0.2–1.0 %, sedangkan pelarut yang umum digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1–2 %. Khitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi, menyebabkannya mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, khitosan
dapat
digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Menurut Sandford dan Hutchings (1987), khitosan
berbentuk tepung,
serpihan maupun larutan. Pada umumnya mutu khitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat deasetilasi (Ornum 1992). Tabel 1 Spesifikasi Khitosan Parameter Ukuran partikel Kadar air Kadar abu Derajat deasetilasi Warna larutan Viskositas (Cps) Rendah Medium Tinggi Ekstrak tinggi
Nilai Serpihan sampai bubuk < 10 % <2% > 70 % Jernih 1% khitosan (Cps) < 200 200 - 779 800 – 2.000 > 2.000
Sumber: Protan Laboratories (1987)
Ekstraksi Khitosan Khitosan adalah produk deasetilasi dari khitin dengan menggunakan larutan alkali (Johnson dan Peniston 1982), khitin di alam tidak berada dalam keadaan murni tetapi bergabung dengan unsur-unsur lain seperti: protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Khitin berikatan kovalen dengan sebagian protein dan berasosiasi dengan unsur mineral membentuk mokopolisakarida yang berfungsi sebagai material pelindung pada udang. Oleh sebab itu untuk mendapatkan khitin
dalam keadaan murni perlu dilakukan ekstraksi dengan
9
perlakuan yang sesuai dengan karakter asosiasi khitin
dengan protein dan
mineral. Khitin didapat dengan jalan ekstraksi bahan baku untuk memisahkan komponen-komponen mineral, protein, lemak dan lain-lain sebagai komponen pengotor. Proses-proses demineralisasi dan deproteinasi sangat perlu dilakukan dalam pemurnian khitin. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan menambahkan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak 1:7 (b/v) dipanaskan pada suhu 70-75 oC selama satu jam (Suptijah et al. 1992). Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Mineral utama yang terdapat pada kulit udang adalah kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)3 (Purwatiningsih 1993). Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dari limbah udang. Keefektivan proses tersebut tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Menurut Suptijah et al. 1992, bahwa penggunaan NaOH 3.5 % dengan pemanasan 60 oC selama dua jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi. Penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari khitin dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat (50 %) dengan perbandingan 1:20 b/v dipanaskan pada suhu 120-140 oC selama satu jam. OH
OH
OH O
O O HO
HO NH
NH
C O
C O
O O HO
O NH C O
CH3
CH3
CH3
Gambar 1 Struktur molekul khitin OH
OH
O
O O HO
HO NH2
OH
NH2
O O HO
Gambar 2 Struktur molekul khitosan
O NH2
10
Aplikasi Khitin dan Khitosan Khitosan
digunakan di dalam berbagai industri, antara lain sebagai
perekat kualitas tinggi, pemurnian air minum (mempunyai daya koagulasi/daya penghilangan partikel koloid), sebagai senyawa pengkelat, meningkatkan zat warna dalam industri kertas, tekstil dan pulp karena sifatnya yang baik untuk mencegah pengerutan. Khitosan
juga dapat digunakan sebagai pengangkut
(carrier) obat dan komponen alat-alat operasi seperti sarung tangan, benang operasi, membran pada operasi plastik (Angka dan Suhartono 2000). Dalam bidang pertanian, kompleks khitin
dengan protein dapat
dicampurkan ke dalam tanah untuk mengurangi resiko serangan cacing parasit terhadap tanaman dan dapat meningkatkan sekresi enzim khitinase pada tanaman. Dalam industri kosmetika, khitin dapat digunakan sebagai pengemulsi, bahan pelembab dan juga sebagai pencahar (Ditjen Perikanan 1989). Pada bidang industri pangan, senyawa komplek micro chrystalin chitin (mcc) merupakan salah satu turunan khitin yang banyak digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengental (pembentuk gel) yang sangat baik dan juga bermanfaat sebagai pengikat, penstabil, pembentuk tekstur, enkapsulasi dan film formatin (Stand dan Ali 1982). Dalam bidang industri, manfaat khitin dan khitosan paling luas dalam pengolahan limbah cair. Menurut Knorr (1984), terdapat tiga hal penting untuk aplikasi khitin dan khitosan dimasa yang akan datang, yaitu sebagai bahan fungsional yang digunakan dalam proses water treatment, sebagai bahan fungsional dalam industri pangan, dan sebagai polimer hasil turunan baru yang digunakan dalam bidang teknologi polimer. Di bidang kesehatan, khitin dan khitosan telah dimanfaatkan sebagai bahan anti tumor, sebab mempunyai kemampuan penggumpalan sel-sel leukemia dan mempunyai sifat anti bakterial dan anti koagulasi dalam darah. Khitosan dapat digunakan untuk membuat lensa dari polimer khitin, dan sebagai bahan anti kolesterol. Selain itu khitosan juga dapat digunakan sebagai pengganti tulang rawan, untuk bahan pembuat membran ginjal buatan (Brzeski 1987).
11
Khitosan Larut Air Khitosan larut air adalah suatu senyawa turunan khitosan yang dapat larut dalam air, dan memiliki banyak potensi untuk diaplikasikan pada pembuatan obatobatan, kosmetik, pengawetan makanan dan kesehatan (Davies et al. 1989). Selanjutnya Davies et al. (1989) juga menyatakan bahwa khitosan larut air merupakan senyawa yang secara kimia lebih stabil, larut dalam air, biodegradable, biocompatible, non tosik dan dapat menyerap logam berat. Isolasi khitosan larut air dapat dilakukan dengan metode Bader dan Birkholz (1997) melalui penambahan monokloroasetat terhadap khitosan dalam suasana alkali. Proses tersebut disebut proses karboksimetilasi, yaitu proses pengubahan khitosan ke sifat basa, dimana khitosan dilarutkan dalam larutan asam asetat, diendapkan dengan penambahan natrium hidroksida dan terakhir direaksikan dengan asam monokloroasetat yang bertujuan untuk mengganti ion hidrogen (ion H) pada gugus hidroksil (OH) dan gugus amin (NH2). Pada kondisi alkali reaksi khitosan dengan monokloroasetat akan menghasilkan khitosan dengan reaksi sebagai berikut: a. Tahap pertama Khitosan dengan natrium hidroksida bereaksi membentuk alkoksida. ROH + NaOH
RO-Na+ + H2O
ROH = Khitosan Gugus hidroksil pada struktur khitosan merupakan asam lemah, sehingga apabila konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan semakin tinggi, maka akan semakin tinggi pula produksi alkoksida dan hasil reaksi. b. Tahap kedua Subsitusi klorida dari asam monokloroasetat ke dalam bentuk alkoksida khitosan menjadi khitosan larut air. RO-Na+ + CH2COOH Cl
CH2COOH + NaCl OR
12
Disamping reaksi tersebut terjadi kompetisi reaksi subsitusi dari OH- pada asam monokloroasetat.
2NaOH + CH2COOH
Cl
CH2COOH + NaCl + H2O
OH
Walaupun RO- merupakan alkali kuat jika dibandingkan dengan OH-, rantai R sangat panjang dan menyebabkan sulit bereaksi (Doan 2001). Khitosan larut air dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti kosmetika, pengawet makanan, kesehatan dan agrikultur. Pada buah-buahan dapat ditingkatkan umur simpannya dan tetap segar setelah keluar dari pendingin dengan menggunakan lapisan tipis (film) khitosan larut air. Selain itu, khitosan larut air juga berguna sebagai pengkhelat tembaga (Cu) pada air limbah, antikoagulan dan juga sebagai zat antimikroba (Angka dan Suhartono 2000).
Gambar 3 Struktur khitosan larut air
Hewan Percobaan Tikus putih sangat baik sebagai hewan percobaan, karena tikus dapat berkembangbiak sama seperti mencit. Dalam beberapa percobaan tikus lebih menguntungkan terutama karena tubuh tikus yang lebih besar bila dibandingkan dengan mencit. Tikus memiliki metabolisme tubuh tertentu yang membedakannya dengan mencit (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
13
Pada kenyataannya bila dibandingkan dengan tikus liar, tikus percobaan atau tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih cepat berkembangbiak. Berat badan tikus 4 minggu rata-rata mencapai 35–40 g dan bobot berat badan tikus dewasa rata-rata 200–250 g, tetapi dapat lebih atau kurang dari batas tergantung pada galur (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 18 %) yang mudah didapat di toko makanan ayam, karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12 % protein. Pengalaman menunjukkan bahwa pemberian kecambah kacang hijau dapat meningkatkan fertilitas tikus. Seekor tikus dewasa membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minuman per hari per 100 g berat badan. Tingkat konsumsi makanan dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan, dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari (Malole dan Pramono 1989).
Toksisitas Khitosan Struktur kimia dari khitin dan khitosan menghasilkan kadar toksisitas yang sangat rendah. Berat molekul yang tinggi dan kandungan enzim yang sangat rendah
untuk
mendegradasi
gastrointestinal manusia. Khitin
rangkaian
ß-glukosidik
dan khitosan
di
dalam
sistem
dapat diekskresikan tanpa
terjadinya perubahan pada feses dan tidak terjadinya absorpsi yang tinggi. Rendahnya absorpsi ini diharapkan dapat menghindari sistem toksisitas yang tinggi (Weiner 1988). Sangat rendahnya daya toksisitas dari khitosan telah diuji oleh Arai et al. (1968) dengan menggunakan tikus betina. Penambahan LD-50 secara oral > 10 g/kg mengindikasikan sangat rendahnya kadar toksisitas. Dalam laporan lainnya, ketika menggunakan khitosan sebagai makanan tambahan, Bough dan Landers (1976), memberikan makanan diet kepada tikus dari kasein, padatan air dadih (susu kerbau yang difermentasi) atau padatan air dadih yang terkoagulasi yang dihasilkan dengan menggunakan 2.15 % khitosan sebagai bahan pengendapan.
14
Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kelompok tikus selama 3 bulan pemberian makanan tambahan. Dalam penelitian selanjutnya dengan melakukan pengujian terhadap tikus jantan dengan memberikan makanan yang mengandung makanan diet dengan kandungan 1.0 %, 2.5 %, 5.0 %, 10.0 % dan 15.0 % khitosan yang mengandung sellulosa. Perkembangan yang sangat cepat akan meningkatkan dan menurunkan pemanfaatan makanan yang terdapat dalam khitosan pada dosis 10 % dan 15 %. Hal ini diharapkan untuk mengurangi kandungan nutrisi yang disebabkan oleh pertukaran porsi yang besar dari makanan tambahan yang tidak mengandung serat dan yang tidak dapat dicerna. Berat ginjal, hati dan limpa juga terjadi penurunan berat pada dosis 10 % dan 15 %, sesuai dengan yang diharapkan sebagai pembuka untuk tingkatan yang lebih tinggi dalam diet. Tidak ada sifat toksisitas yang lain yang berpengaruh sangat signifikan disini. Terjadinya toksisitas pada jaringan, yang pada pemeriksaan histologi tampak berupa degenerasi sel bersama-sama dengan pembentukan vakuola besar, penimbunan lemak dan nekrosis, patut mendapat perhatian yang besar. Kerja toksik jenis ini tidak mengubah fungsi sel (misalnya kandungan glikogen atau konsentrasi berbagai enzim), tetapi struktur sel langsung dirusak. Efek toksik yang demikian sering terlihat dalam jaringan hati dan ginjal, segera setelah senyawa toksik mencapai konsentrasi yang tinggi dalam organ ini. Ini memberikan petunjuk yang jelas bahwa disini terjadi lesi (luka) kimia pada biopolimer organel sel (Wattimena et al. 1986). Efek lain adalah terjadinya ketidak normalan fungsi hati dan ginjal yang dapat berpengaruh kepada kegagalan fungsi kedua organ tersebut. Parameter yang biasa digunakan adalah komposisi kimia darah seperti SGOT, SGPT, Kreatinin dan BUN. Salah satu kelebihan penelitian hewan ialah kita dapat menggunakan satu atau beberapa dosis yang relatif tinggi yang menginduksi tanda-tanda toksisitas. Tanda-tanda ini akan membantu menunjukkan secara tepat organ sasaran dan efek khusus yang kemudian dapat diperiksa secara kritis pada hewan yang diberi dosis yang lebih rendah. Penggunaan dosis tinggi semacam itu sebagian juga dapat menyingkirkan kebutuhan untuk memakai sejumlah besar hewan dalam penelitian. Selain itu, pada penelitian hewan, keadaan lingkungan percobaan dapat
15
dikendalikan secara ketat dan efek toksik dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai jenis pengukuran (Frank 1995). Hewan yang paling banyak digunakan adalah tikus dan mencit. Hewan ini digunakan karena mudah didapat, ukurannya kecil, harganya murah, mudah ditangani, dan data toksikologinya relatif banyak. Selain itu, penetapan toksisitas pada hati dan ginjal sering merupakan bagian penelitian jangka pendek dan jangka panjang yang biasanya dilakukan pada tikus dan mencit (Gray 1976).
Penurunan Berat Badan Kelompok tikus yang mendapatkan penambahan khitosan mengalami penurunan berat badan. Keberadaan khitosan
dapat
dan nutrisi lainnya
sebagai serat makanan diduga dapat mengganggu penyerapan lemak, karena serat makanan ini dapat mengikat asam empedu, sedangkan asam empedu berperan untuk mengemulsifikasi lemak sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh (Bari 2001). Selain itu serat makanan terbukti dapat mempengaruhi aktifitas enzimenzim protease dengan menggunakan hewan percobaan (Muchtadi 1989). Keberadaan serat makanan dapat mengganggu efisiensi penggunaan protein oleh tubuh sehingga penambahan berat badan akan terhambat. Kadar lemak yang cenderung menurun akibat pemberian tepung cangkang udang disebabkan TCU (True Color Unit) mengandung khitin
alami yang
memiliki kemampuan absorpsi lemak (Gallaher 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan Ikeda et al. (1989) yang dikutip oleh Sudibya (1999), bahwa tikus yang diberi pakan yang mengandung kolesterol, asam oleat dan serat yang terdiri dari selulosa dan khitosan, ternyata serat yang dikandung oleh khitosan mengabsorpsi lemak lebih efektif.
dapat