I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan Kota DKI Jakarta yang semakin pesat, ditambah dengan perkembangan kota-kota penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi telah membuat sistem transportasi jalan raya mengalami tingkat kompleksitas yang tinggi. Jumlah kendaraan yang semakin hari terus bertambah, sementara pembangunan infrastruktur berupa jalan dan fasilitasnya seperti terminal, persimpangan, petunjukpengatur lalu lintas, dan pengembangan jaringan jalan tidak bisa mengimbanginya, ditambah mobilitas warga yang semakin tinggi, menjadikan banyak persoalan dalam sistem transportasi. Persoalan transportasi ini selanjutnya menimbulkan masalah berupa tidak terpeliharanya ketertiban, keamanan, dan kesehatan. Di Jakarta, lalu lintas di jalan-jalan utama pada jam sibuk pagi dan sore hari hanya bergerak 12 km/jam. Dampak yang ditimbulkan fantastis, kerugian sosial yang diderita masyarakat lebih dari 17,2 triliun rupiah per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan (terutama bahan bakar). Belum lagi emisi gas buang diperkirakan sekitar 25.000 ton per tahun (PDAT, 2004). Dampak pada tahap selanjutnya adalah menurunnya produktivitas ekonomi kota dan merosotnya kualitas hidup warga kota akibat emisi transportasi kendaraan bermotor. Pemantauan kualitas udara yang telah dilakukan oleh KLH di Jakarta menunjukkan 70% dari total emisi yang dibuang ke udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor (KLH, 2002). Hal tersebut menjadi wajar jika melihat jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sampai akhir tahun 2007 mencapai 5,798,002 unit yang terdiri dari 1,547,336 unit mobil penumpang; 256,766 unit bus; 414,278 unit truk beban; dan 3,579,622 unit sepeda motor (Polda Metro Jaya, 2008). Kenaikan jumlah kendaraan tersebut tidak hanya menimbulkan permasalahan lalu lintas yang serius, tetapi menambah intensitas emisi bahan pencemar ke udara. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah berupaya untuk mengurangi laju pencemaran udara yang ditimbulkan akibat transportasi kendaraan bermotor di Jakarta. Upaya-upaya tersebut antara lain penerapan hari bebas kendaraan bermotor sekali dalam
setiap bulan dan pelaksanaan proyek koridor Trans-Jakarta yang tertuang sebagai usulan pola transportasi makro 2010. Sebagai upaya untuk mengetahui penyebaran konsentrasi polutan dari sektor transportasi, maka diperlukan analisa lebih lanjut mengenai tingkat emisi pencemar dari kendaraan bermotor. Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan penyebaran konsentrasi polutan adalah melalui model matematika. Pemodelan jenis ini menggunakan pendekatan teori berdasarkan pengamatan di lapang. Sehingga model matematis dinilai lebih baik dalam menjelaskan dan memisahkan proses dinamika atmosfer berdasarkan skala spasial dan temporal (Seinfeld dan Pandis, 2006). Salah satu pemodelan matematis penyebaran polutan sumber garis (transportasi) adalah model Finite Length Line Source (FLLS). 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memprediksi kualitas udara ambien menggunakan model FLLS. 2. Membandingkan konsentrasi pencemar hasil permodelan terhadap pemantauan kualitas udara roadside. 3. Mengidentifikasi konsentrasi polutan sumber garis pada berbagai kondisi stabilitas dan kecepatan angin menggunakan solusi analitik persamaan dispersi bentuk Gaussian. 1.4 Ruang lingkup Penelitian ini membatasi persoalan dengan ruang lingkup: 1. Studi kasus pemodelan dispersi polutan dilakukan sepanjang Jl. M.H. Thamrin 2. Parameter pencemar yang digunakan dalam pemodelan dan pemantauan adalah CO dan NOx.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pencemaran Udara Seinfeld (1986) mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer ketika suatu substansi konsentrasi pencemar melebihi batas konsentrasi udara ambien normal yang menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan, tumbuhan dan material. Lebih lanjut, substansi tersebut dapat berasal dari sifat alami atau aktivitas manusia maupun campuran diantara keduanya. Arya (1999) menambahkan bahwa pencemaran udara selain berdampak
1
pada manusia, tanaman, hewan, dan material juga berdampak pada atmosfer. Mengacu pada Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 ayat 12, polusi udara diartikan sebagai masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Jenis dan Karakteristik Sumber Polusi Udara Secara garis besar sumber polusi udara dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang bersifat alami dan bersifat antropogenik. Sumber polusi udara yang bersifat alami merupakan bagian yang ditimbulkan dari proses atau gejala alam yang menyebabkan perubahan kualitas udara sekitarnya. Contoh dari sumber alami adalah proses kimia bakteri dalam tanah maupun perairan, kebakaran hutan, erosi angin, letusan gunung berapi, emisi biogenic dan lainnya. Sumber polusi udara yang bersifat antropogenik dihasilkan dari aktivitas manusia yang menyertainya. Contoh dari sumber antropogenik adalah aktivitas transportasi kendaraan bermotor, pertanianperkebunan, industri (termasuk pembangkit listrik berbahan bakar fosil) dan rumah tangga. Arya (1999) membagi sumber polusi yang bersifat antropogenik menjadi dua yaitu sumber yang dihasilkan dari perkotaan dan industri serta yang dihasilkan dari pedesaan dan pertanian. Sumber polusi udara yang bersifat alami dan antropogenik dapat dibedakan lagi menjadi dua bagian berdasarkan perilakunya di atmosfer yaitu primer dan sekunder untuk masing-masing sumber. Polutan primer diemisikan secara langsung dari sumber pencemarnya ke atmosfer. Polutan primer memiliki waktu paruh yang tinggi karena sifatnya yang stabil secara kimia-fisik, misalnya CO, CO2, NO2, SO2, CFC, Cl2, debu dan sebagainya. Polutan sekunder merupakan pencemar udara dari proses fisikkimia di atmosfer dalam bentuk fotokimia yang bersifat reaktif dan mengalami transformasi menjadi molekul. Bentuknya pun berbeda dari saat diemisikan hingga setelah ada di atmosfer, misalnya ozon (O3), hujan asam, aldehida, dan sebagainya.
Seinfeld dan Pandis (2006) secara terperinci membagi sumber polutan alami dan antropogenik ke dalam kelas primer dan sekunder lengkap dengan polutan pernyusunnya. Pemahaman tentang karakteristik sumber polusi udara seperti jenis pelepasan, lokasi dan geometri sumber serta kekuatan emisi yang dikeluarkan juga dibutuhkan sebagai langkah awal untuk memperkirakan penyebaran polutan tersebut. Tabel 1 menyajikan karakteristik sumber polusi udara yang digunakan sebagai landasan dalam membangun pemodelan dispersi polutan.
2.2
Tabel 1. Pembagian karakteristik sumber polusi udara dalam pemodelan dispersi polutan Geometri sumber Titik atau volume Garis
Jenis pelepasan
Area
Kadangkadang
Seketika Berkelanjutan
Lokasi sumber Permukaan Bumi Batasan PBL Atmosfer bebas
Sumber: Arya (1999)
Dasar dari pemakaian atau pemilihan karakteristik sumber dapat dibagi menjadi dua garis besar, yaitu pemilihan kerangka acuan dalam menganalisa permasalahan dan perspektif pengguna dalam mengasumsikan bentuk geometri sumber polutan. Sebagai contoh kota industri dapat dipandang sebagai sumber titik dalam mengemisikan polutannya terhadap dampak pada kualitas udara regional dan pembukaan lahan persawahan dapat dipandang sebagai sumber area dalam skala yang lebih kecil. 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencemaran Udara Stull (2000) menjelaskan bahwa dispersi polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme utama, yaitu gerakan udara global; fluktuasi turbulensi dan difusi polutan terhadap lingkungan sekitar akibat perbedaan konsentrasi. Sedangkan menurut Oke (1987) dispersi polutan dari sumber emisi selain dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat.
2
2.3.1 Emisi yang Dikeluarkan Emisi menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dalam suatu kegiatan yang masuk dan dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Tingginya nilai emisi, bila melebihi ambang batas akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Hal ini dapat dilihat pada kota-kota besar yang mempunyai tingkat mobilitas tinggi dan kawasan industri. Evaluasi tentang tingkatan kualitas udara di suatu wilayah perlu dipahami secara benar, baik dari segi kuantitas maupun karakteristik emisi sejumlah sumber pencemar yang berkontribusi langsung ke udara ambien. Emisi yang keluar dari proses kegiatan dihubungkan dengan jenis dan banyaknya polutan yang dikeluarkan untuk menjadi suatu indikator dari kapasitas produksi, banyak dan jenis bahan bakar yang terpakai, dan jarak tempuh kendaraan bermotor (Liu dan Lipták, 2000). 2.3.2 Kondisi Atmosfer Sesaat setelah polutan diemisikan ke dalam udara, selanjutnya atmosfer berperan dalam perpindahan, difusi, reaksi kimia dan pengangkutan polutan tersebut. Empat proses di atmosfer tersebut selanjutnya disebut dispersi. Proses dispersi polutan di atmosfer dipengaruhi oleh kondisi fisik meteorologi setempat seperti stabilitas atmosfer, distribusi angin, suhu udara, radiasi surya, dan kelembaban udara serta dipengaruhi oleh gejala cuaca seperti presipitasi, stabilitas atmosfer. Sedangkan bila proses pendispersian polutan tersebut telah mengalami interaksi dengan objek di bumi atau permukaan bumi maka topografi memainkan peranan hal yang penting dalam proses pendispersian polutan. Topografi wilayah setempat akan mempengaruhi keadaan kondisi meteorologi tersebut, yang selanjutnya mempengaruhi pola pendispersian polutan yang terjadi. a) Radiasi Matahari Radiasi matahari yang sampai di atmosfer maupun yang tiba di permukaan bumi merupakan energi utama dalam siklus cuaca termasuk persebaran polutan di atmosfer. Salah satunya reaksi kimia atmosfer yang melibatkan bagian molekul dengan jumlah elektron ganjil atau radikal (Visconti, 2001). Radikal ini terbentuk
melalui sederatan reaksi yang disebut sebagai proses fotodissosiasi, yaitu ketika molekul pecah karena absorbsi ultraviolet radiasi matahari. Proses fotodissosiasi yang terjadi membutuhkan panjang gelombang radiasi matahari yang berbeda satu dengan lainnya dalam setiap reaksinya. Keseluruhan proses tersebut menghasilkan bentuk hidroksil radikal (OH•), yang secara kimia merupakan keluarga hidrogen ganjil (odd hydrogen family). Hidroksil radikal selanjutnya memegang peranan utama dalam oksidasi metana dan hidrokarbon lainnya (Visconti, 2001). Pengaruh lainnya dari radiasi surya secara fisik dan dinamik dalam penyebaran polusi udara adalah sebagai sumber energi perpindahan massa udara. Hal ini disebabkan perbedaan pemanasan di permukaan bumi maupun di perairan yang menimbulkan angin dan turbulensi, sehingga mempengaruhi kondisi stabilitas atmosfer dan percampuran polutan dengan lingkungan sekitar. b) Suhu Udara dan Stabilitas Atmosfer Suhu mencerminkan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul sedangkan panas adalah salah satu bentuk energi yang dikandung oleh suatu benda (Handoko, 1993). Pada lapisan troposfer, laju suhu udara turun terhadap ketinggian (lapse rate). Namun pada waktu tertentu di lapisan permukaan (surface layer) laju suhu udara naik terhadap ketinggian (inversi). Hal ini dapat mempengaruhi efek stabilitas atmosfer yang berperan dalam pendispersian polutan secara vertikal. Pada suhu parsel udara yang lebih rendah dari lingkungan (kondisi stabil), massa udara polutan tidak dapat naik tapi tetap berada di atmosfer dan terakumulasi, sehingga menaikkan konsentrasi polutan. Sebaliknya bila suhu parsel udara lebih tinggi dari pada suhu lingkungan (kondisi tidak stabil), maka massa udara polutan naik dan menyebar, sehingga tidak membahayakan makhluk hidup dalam jangka pendek. Selain memiliki pengaruh yang nyata terhadap stabilitas atmosfer dalam pendispersian polutan, suhu udara bersama dengan radiasi matahari dapat mengubah NOx, HC, dan VOCs menjadi zat polutan sekunder lainnya, seperti ozon dan pembentukan kabut fotokimia di permukaan. Selain itu Connel (2005) menambahkan bahwa campuran dari ozon, PAN dan
3
substansi kimia lainnya menghasilkan kabut fotokimia. Kabut fotokimia merupakan masalah penting di wilayah perkotaan yang memiliki jumlah kendaraan bermotor tinggi dengan paparan radiasi matahari yang kuat. Dampak selanjutnya dari efek kabut fotokimia ini adalah penambahan jumlah partikel udara di perkotaan, sehingga membuat suhu udara diperkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya (Botkin dan Keller, 2005). Laju penurunan suhu dalam lapisan atmosfer dekat permukaan mempunyai pengaruh besar pada gerak vertikal polutan (Seinfeld dan Pandis, 2006). Faktor buoyancy turut menghambat atau mempercepat gerak vertikal suatu polutan. Laju penurunan suhu dan faktor buoyancy selanjutnya menciptakan berbagai macam stabilitas atmosfer. Kriteria kestabilan atmosfer dapat ditentukan oleh perbandingan laju penurunan temperatur laju penurunan suhu lingkungan (γ) terhadap laju penurunan suhu adiabatik (Γ). Pada kondisi laju penurunan superadiabatik (kondisi tidak stabil), suatu parsel udara akan bergerak ke atas dan mengalami pendinginan namun dengan suhu yang masih 49 50
rin ke g
Temperatur, F
tik
500
0
Pemanasan
53
Parsel udara ke atas
54
54,0
Parsel udara ke bawah
55 56
55,4
57
Pendinginan
56
Temperatur, F
b ia Ad ik at r in ke
500
52,4
52
Volume berlanjut ke asal
58
Temperature, F
1000
g
Ketinggian, m
Volume berlanjut ke atas
Kondisi tidak stabil
51
ba ia Ad
Ketinggian, m
1000
lebih hangat daripada udara di lingkungannya. Karena memiliki pengaruh gaya apung (buoyant), parsel udara tersebut akan tetap bergerak ke atas. Ketika parsel udara itu bergerak turun, maka parsel udara akan mengalami peningkatan temperatur dengan suhu yang masih lebih dingin dibandingkan dengan udara di lingkungannya. Selama kondisi netral, parsel udara akan bergerak baik ke atas maupun ke bawah dengan perubahan temperatur pada tingkat yang sama dengan udara di lingkungannya, dan pergerakannya baik ke atas atau kebawah tidak terpengaruh oleh gaya buoyant. Selama kondisi stabil, pergerakan parsel udara ke atas akan menghasilkan parsel udara yang lebih dingin dibandingkan dengan udara lingkungannya sehingga parsel tersebut akan kembali naik ke ketinggian sebelumnya. Demikian pula halnya dengan parsel udara yang bergerak ke bawah mengalami peningkatan temperatur yang kondisinya lebih hangat dibandingkan udara di sekitarnya, maka parsel udara akan bergerak kembali ke ketinggian awalnya. Penggambaran ketiga kondisi atmosfer tersebut divisualisasikan pada Gambar 1.
Kondisi stabil Pendinginan 55,3 Volume berpindah ke ketinggian dan temperatur awal
Parsel udara ke atas 57,0 Parsel udara ke bawah
57
56,7 Pemanasan 58
0
Temperatur, F 49 50
1000
Kondisi netral Volume tetap
ba ia tik rin ke
500
g
Temperatur, F
Ad
Ketinggian, m
51
53 54 55 56 57
0
53,3
52
Serupa dengan temperatur sekitar
Parsel udara ke atas 55,0 Parsel udara ke bawah 56,7
Volume tetap Serupa dengan temperatur sekitar
58
Temperatur, F
(Modifikasi dari Cooper dan Alley, 1994)
Gambar 1. Efek laju penurunan suhu aktual terhadap stabilitas vertikal
4
Pengaruh kestabilan atmosfer juga mempengaruhi bentuk kepulan dari cerobong (Gambar 2). Pada kondisi atmosfer stabil, kepulan cenderung menyempit dan tidak terdispersi ke sekelilingnya. kepulan seolah membentuk garis lurus searah angin, sehingga polutan berkumpul dan membentuk konsentrasi yang tinggi. Kondisi atmosfer yang tidak stabil ini menguntungkan dalam pendispersian polutan, karena polutan dengan segera terdispersi dengan lingkungan sekitar sehingga reseptor tidak mengalami paparan konsentrasi pencemar yang tinggi. Sebaliknya pada kondisi atmosfer tidak stabil, pencemar bergerak bebas pada daerah yang vertikal luas dan menghasilkan percampuran dengan udara ambien lebih baik, sehingga konsentrasi polutan yang terukur rendah. Kondisi atmosfer yang stabil bersifat tidak menguntungkan bagi reseptor, karena reseptor menerima paparan konsentrasi pencemar yang tinggi.
Sumber: Arya, 1999
Gambar 2. Kestabilan atmosfer terhadap bentuk kepulan polutan
Selain membandingkan laju penurunan suhu lingkungan terhadap laju penurunan suhu adiabatik, dalam batas PBL (Planetary Boundary Layer), stabilitas atmosfer dapat ditentukan melalui bilangan Richardson ( ) dan panjang Monin-Obukhov (L) (Shir dan Shieh, 1974). Menurut Waco (1970) parameter bilangan Richardson memiliki pengaruh yang paling nyata diantara parameter-parameter udara atas lainnya. Umumnya, penentuan stabilitas atmosfer melalui ketiga metode di atas memerlukan pengamatan kondisi meteorologi yang rutin. Seringkali ketiadaan data pengamatan yang lengkap memungkinkan hal tersebut sulit dilakukan. Sehingga Turner pada tahun 1964 membagi kestabilan atmosfer menjadi enam kategori yang sering disebut oleh Pasquill dengan tanda A hingga F (Pasquill, 1974). Kelas kestabilan A adalah kelas atmosfer paling tidak stabil dan F kelas atmosfer paling stabil. Pembagian kelas kestabilan tersebut didasarkan pada insolasi matahari, kecepatan angin dan penutupan awan. c) Distribusi Angin Angin memiliki peran utama dalam penyebaran polutan. Partikel polutan ini selanjutnya akan bergerak sesuai arah angin bergerak. Kekuatan angin turut pula mempengaruhi kecepatan penyebaran polutan dari sumbernya. Angin yang kuat mempercepat proses penyebaran polutan sedangkan angin yang bergerak relatif pelan, proses penyebarannya lebih banyak dilakukan melalui proses difusi dengan atmosfer sekitar. Akibat pengaruh dari arah gerak dan kecepatan angin ini konsentrasi polutan pada setiap titik aliran polutan (plume) bernilai lebih kecil dibandingkan sewaktu polutan tersebut keluar dari sumbernya, di luar aliran polutan tersebut konsentrasi polutan dapat diabaikan (Forsdyke, 1970). Arah dan kecepatan angin turut mempengaruhi dan menciptakan turbulen. Angin yang bergerak di suatu wilayah tidak selamanya bergerak secara teratur. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua gerakan udara adalah turbulen (Forsdyke, 1970). Besarnya nilai turbulen ini berbeda setiap keadaan. Turbulen skala kecil ditunjukkan dengan contoh pergolakan asap rokok dalam ruangan, turbulen skala menengah ditunjukkan aliran udara lemah dalam cuaca yang tenang, dan turbulen skala
5
besar ditunjukkan dengan adanya angin dan badai yang muncul secara tiba-tiba. Lemah kuatnya gerakan udara mempengaruhi konsentrasi polutan suatu wilayah. Pada gerakan angin yang kuat, turbulensi udara yang kuat tercipta dan membantu mencampurkan polutan dengan udara disekitarnya sehingga konsentrasi polutan akan lebih kecil. Sedangkan bila gerakan angin yang tercipta lemah, turbulensi yang tercipta juga lemah sehingga pencampuran polutan dengan udara sekitarnya juga lebih kecil sehingga membuat konsentrasi polutan yang terjadi tetap tinggi. Hal tersebut didukung oleh penelitian Sharan et al (1995) yang menyatakan angin dengan kecepatan kurang dari 2 m/s harus diwaspadai bila terjadi di wilayah aktivitas manusia yang cenderung menghasilkan polutan. Ditambah lagi dengan kenyataan penelitian tersebut di lakukan pada wilayah tropis. Sedangkan angin dengan kecepatan sedang hingga tinggi, proses difusi polutan dapat diabaikan dalam perbandingannya terhadap proses adveksi polutan itu sendiri. e) Kelembaban Relatif (RH) Kelembaban udara (RH) kaitannya terhadap polutan di atmosfer adalah pengaruh jarak pandang (visibility). Pola RH harian yang secara umum berlawanan dengan pola suhu harian memiliki pengaruh terhadap konsentrasi polutan di atmosfer. Pada siang hari, suhu udara relatif tinggi dibandingkan malam hari sehingga memiliki kandungan uap air jauh lebih rendah dibandingkan pada saat malam harinya. Perbedaan kandungan uap air ini selanjutnya yang dapat menjadi bahan tersuspensi bagi partikel-partikel polutan disekitarnya sehingga berpengaruh terhadap jarak pandang (Oke, 1987). Lebih lanjut Hill (2006) menerangkan, penambahan atau pengurangan kandungan uap air suatu parsel udara dapat membentuk susunan kimia pencemar baru. Sebagai contoh, NOx pada saat kandungan uap air tinggi dapat membentuk HNO3 sedangkan pada kandungan uap air rendah membentuk NO3. Pencemar lainnya seperti SO2, pada saat kandungan uap air tinggi membentuk H2SO4 sedangkan pada keadaan kering SO4. Baik HNO3 dan NO3 serta H2SO4 dan SO4 merupakan aerosol. Sehingga secara tidak langsung perbedaan kandungan uap air dalam parsel udara mempengaruhi jumlah
partikel di udara dan berpengaruh pada visibilitas. f) Presipitasi Presipitasi dapat membantu membersihkan polutan di atmosfer melalui proses pencucian, akumulasi, dan absorbsi (Liu dan Lipták, 2000). Proses pencucian melibatkan partikel-partikel berukuran besar untuk bergabung melalui butiran air hujan yang jatuh sebagai presipitasi. Sedangkan proses akumulasi melibatkan partikelpartikel ukuran kecil bergabung membentuk awan dan jatuh sebagai butiran air hujan. Terakhir, bila polutan tersebut berupa gas maka proses pemindahannya dilakukan secara absorbsi melalui molekul-molekul gas di sekitarnya. Efisiensi ketiga proses di atas tergantung dari sifat polutan itu sendiri dan karakteristik presipitasi (Liu dan Lipták, 2000). Selain proses pencucian dan perpindahan polutan di atmosfer, presipitasi juga memiliki peran penting dalam proses kimia atmosfer, radiasi atmosfer, dan dinamika atmosfer (Seinfeld dan Pandis, 2006). Kaitannya dalam kimia atmosfer adalah pembentukan hujan asam, yang banyak dipicu oleh gas SO2 dan NOx. Hujan asam seringkali disebut sebagai deposisi asam (Arya, 1999; Hill, 2006). Walaupun dalam kondisi alaminya uap air memiliki ion hidrogen (H+) dan ion hidroksida (OH-), namun sering kali sulit untuk mencapai keadaan demikian di lingkungan atmosfer, hal ini disebabkan pengaruh dari kandungan gas-gas, liquid, maupun partikel yang berada di atmosfer. Dampak selanjutnya adalah turunnya pH air yang mengakibatkan kerugian fisik dan material dalam skala luas. 2.3.3 Topografi Topografi setempat turut mempengaruhi kondisi meteorologi yang selanjutnya mempengaruhi pola dispersi polutan. Sebagai contoh perbedaan temperatur antara daratan dengan lautan menimbulkan sirkulasi angin lokal (daratlaut) dan lapisan batas internal termal. Bila polutan dilepaskan dekat daerah pantai, akumulasi konsentrasi pencemar cenderung tinggi pada daerah tersebut dan menurun ketika menuju daratan (Jin dan Raman, 1995). Sementara itu bila topografinya berupa daerah cekungan maka konsentrasi polutan akan terakumulasi akibat pola angin yang terbentuk di daerah tersebut. Seperti penelitian Sumaryati (2007) di cekungan
6
Bandung yang mendapatkan bahwa pencemar yang berasal dari daerah cekungan Bandung cenderung terdispersi dalam daerah cekungan saja dan sulit untuk bisa terdispersi keluar dari cekungan Bandung, akibat pengaruh pola angin dan mixing height setempat. Selanjutnya di daerah-daerah di bawah pengaruh angin lokal, penyebaran pencemar akan terjadi dengan beberapa kemungkinan diantaranya (PPPPL DKI Jakarta, 1990): 1. Pada kondisi lokal yang dipengaruhi angin darat dan laut dapat terjadi penyebaran yang semakin luas, dengan tingkat pencemaran yang semakin tinggi bila tidak terjadi proses deposisi kering atau basah. 2. Pada kondisi lokal yang dipengaruhi oleh angin lembah dan angin gunung di daerah lembah selalu terjadi peningkatan pencemar dan terjadi penyebaran pencemar seluas daerah lembahnya. Peningkatan dan penyebaran pencemar akan berlangsung terus hingga terjadinya pencucian udara. 3. Pada daerah yang dipengaruhi oleh angin jatuhan dan tidak ada inversi dipermukaan akan mampu mengendapkan polutan dengan baik. 2.4 Pencemaran Udara Akibat Sektor Transportasi Wilayah perkotaan dengan tingkat mobilitas penduduknya yang tinggi dan sektor transportasi sebagai peranan utamanya telah membuat kualitas udara ambien benar-benar tercemar. Menurut laporan KLH (2001), kualitas udara di Jakarta sudah dalam kategori bahaya dalam waktu-waktu tertentu dan akan semakin buruk jika mengacu pada proyeksi peningkatan jumlah kendaraan hingga tahun 2015. 2.4.1 Karakteristik Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor Menurut Wardhana (2004) beberapa parameter pencemar udara, yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah CO, NOx, SOx, VOCs, dan PM. Lebih lanjut, zat-zat pencemar tersebut merupakan polutan yang mencetus (prekursor) terbentuknya zat pencemar lainnya yang berbahaya bagi kesehatan.
a) Karbonmonoksida (CO) Karbonmonoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah maupun dari kegiatan manusia (antropogenik). Karbonmonoksida yang berasal dari alam termasuk dari lautan, pegunungan, dan kebakaran hutan. Sedangkan yang berasal dari sumber antropogenik dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil atau material organik akibat kebutuhan oksigen yang tidak mencukupi untuk proses pembakaran. Bila jumlah udara (oksigen) yang tersedia sudah mencukupi, CO masih saja dapat terbentuk, hal ini disebabkan oleh kurangnya turbulensi sehingga udara dengan karbon tidak dapat bercampur dengan baik selama proses pembakaran serta proses dissosiasi CO2 menjadi CO pada pembakaran bertemperatur tinggi. Sehingga semua aktivitas yang melibatkan pembakaran bahan-bahan organik merupakan sumber karbonmonoksida. Seinfeld dan Pandis (2006) mengklasifikasikan oksida-oksida karbon menjadi beberapa bagian, yaitu Hidrokarbon (HC), metana (CH4), Volatile Organic Compound (VOC), Hidrokarbon Biogenik, karbonmonoksida (CO) dan karbondioksida (CO2). Bervariasinya bentuk ikatan kimia yang dimiliki oleh oksida-oksida karbon, disebabkan karbon memiliki empat elektron valensi yang dengan bebasnya membentuk satu hingga empat ikatan valensi. Seringkali konsentrasi tinggi CO didapatkan dari gas buangan kendaraan bermotor dan polusi dalam ruangan dengan ventilasi buruk. Pada pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, seluruh penggunaan bahan bakar tidak diubah seluruhnya menjadi CO2 dan H2O tetapi sebagian juga dilepaskan menjadi CO dan sebagian material partikulat karbon organik (Brimblecombe, 1986). Bersamaan dengan hadirnya hidroksil radikal (OH•), CO yang dihasilkan dari emisi kendaraan bermotor diubah menjadi CO2 di atmosfer (Arya,1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Karbonmonoksida merupakan polutan yang tidak berbau, tidak berwarna dan memiliki ikatan yang sangat kuat dengan haemoglobin bila masuk ke aliran darah (HbCO). Dampak yang dirasakan tentunya berbeda tergantung dari konsentrasi gas yang terhirup dan lamanya paparan. Pada level rendah CO akan memberikan dampak pada manusia, yaitu: 30 ppm dengan paparan 10 jam menimbulkan efek melemaskan tubuh, 50 ppm dengan paparan
7
90 menit menimbulkan efek sakit bagi tubuh, 250 ppm menimbulkan rasa pusing dan tak sadarkan diri (Brimblecombe, 1986).
membentuk ozon bersamaan dengan oksigen dan prekusor sejumlah reaksi berantai fotokimia kedua.
b) Nitrogen Oksida (NOx) Nitrogen dalam bentuk aslinya selalu membentuk dua ikatan atom nitrogen (N2), dimana dari ikatan tersebut elektron-elektron valensi terluar mempunyai tiga ikatan yang membuat molekul tersebut bersifat inert. Sifat inert inilah yang membuatnya stabil secara kimia dan tidak dipengaruhi oleh reaksi kimia di troposfer maupun di stratosfer (Seinfeld dan Pandis, 2006). Oksida-oksida nitrogen lainnya yang memegang peranan penting dalam kimia atmosfer adalah nitrous oksida (N2O), nitrat oksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), amonia (NH3), dan kelompok nitrogen reaktif lainnya (NOy). Dari kelima jenis oksida-oksida nitrogen tersebut, yang hadir di atmosfer dalam jumlah signifikan adalah N2O, NO, dan NO2. Kehadiran NO dan NO2 di bagian troposfer menjadi kontributor potensial bagi pencemaran udara. Nitrat oksida (NO) diemisikan baik dari sumber alami maupun antropogenik, sedangkan nitrogen dioksida (NO2) diemisikan dalam jumlah yang kecil (0.510%) dari proses selama pembakaran bersamaan dengan NO dan juga terbentuk di atmosfer melalui oksidasi NO. Tetapi di wilayah perkotaan, NOx (NO dan NO2) dihasilkan dari pembakaran hidrokarbon dan bahan organik. Konsentrasi gas NOx tertinggi di lingkungan perkotaan terutama berasal dari sektor transportasi dan penyebarannya dipengaruhi oleh topografi lokal berupa gedung-gedung tinggi (Qin dan Chan, 1993). Nitrogen oksida (NOx) merupakan polutan udara yang mengambil bagian penting dari proses pembentukan ozon dan kabut fotokimia (Arya, 1999). Nitrat oksida (NO) merupakan gas yang tidak berbau dan berwarna. Di udara gas ini beroksidasi kuat dengan ozon dan bereaksi lemah dengan oksigen membentuk NO2. Sedangkan NO2 merupakan gas yang berwarna merah kecoklatan yang menimbulkan iritasi dan pedas. Nitrogen dioksida (NO2) cepat menyerap radiasi matahari terutama pada gelombang tampak sinar kuning hingga biru dan ultraviolet dekat matahari. Melalui panjang gelombang tersebut NO2 diubah menjadi bentuk NO dan atom oksigen (O(1D)). Atom oksigen (O(1D)) merupakan gas yang sangat reaktif yang dapat
c) Sulfur Oksida (SOx) Sulfur oksida (SOx) terdiri dari gas sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang keduanya mempunyai sifat berbeda. Gas SO2 berbau tajam, tidak berwarna dan menimbulkan iritasi (Arya, 1999), sedangkan gas SO3 bersifat sangat reaktif (Wardhana, 2004). Gas SO3 mudah beraksi dengan uap air di udara membentuk asam sulfat (H2SO4) (Arya, 1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Asam sulfat ini sangat reaktif sehingga menimbulkan korosi pada struktur-struktur bangunan, pencemaran perairan dan proses kimiawi di troposfer. Selain sulfur oksida terdapat beberapa komponen sulfur utama di atmosfer lainnya yang memegang peranan penting dalam kimia troposfer, seperti H2S, CH3SH, CH3SCH3, CS2, dan OCS (Arya, 1999). Kelima komponen sulfur tersebut memiliki bilangan oksidasi sebesar S(-2). Menurut Seinfeld dan Pandis (2006) komponen sulfur dengan bilangan oksidasi S(-2) merupakan komponen sulfur yang cepat beroksidasi terhadap hidroksil radikal (OH•) dan lambat terhadap NO3. Pencemaran SOx di udara terutama berasal dari pemakaian batubara yang digunakan pada kegiatan industri, transportasi, dan kebakaran hutan. Hill (2006) menambahkan bahwa produksi SO2 dari sumber antropogenik lima kali lebih besar dari sumber alami. Selain itu persentase SO2 yang dihasilkan dari kegiatan transportasi memiliki persentase yang kecil, yaitu hanya 7% dengan sumber SO2 terbesar berasal dari instalasi pembangkit tenaga listrik berbahan batu bara sebesar 67%. Sulfur dioksida (SO2) yang berada dalam kondisi kelembaban yang rendah di dalam atmosfer dapat berubah menjadi partikulat sulfat yang merupakan bagian dari aerosol (Hill, 2006). Baik SO2 maupun partikulat sulfat yang terbentuk dapat berpindah dari dan ke atmosfer melalui deposisi basah dan kering (Botkin dan Keller, 2005). Seinfeld dan Pandis (2006) menambahkan bahwa SO2 merupakan sulfur oksida dominan yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Nilai mixing ratio untuk SO2 di daratan mencapai kisaran nilai 20 ppt – 1 ppb, sedangkan di atas perairan (lautan) yang tidak tercemar mencapai kisaran nilai 20-50 ppt). Paparan langsung gas SO2
8
terhadap membran mukosa tubuh manusia seperti mata, rongga hidung, dan paru-paru dapat menimbulkan iritasi, reaksi tersebut mampu memindahkan hampir 90% gas SO2 yang terhirup ke dalam saluran pernapasan atas sehingga timbul rasa alergi, nafas terengah-engah, dan asma pada sebagian manusia (Botkin dan Keller, 2005; Hill, 2006). d) Particulate Matter (PM) Particulate Matter (PM) merupakan pencemar udara yang dapat berada bersamasama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya (Wardhana, 2004). Walaupun secara kasat mata partikel merupakan bentuk padatan, sulit untuk mendapatkan definisi yang tepat untuk pencemar PM. Hal ini disebabkan komposisi PM yang selalu berubah-ubah secara spasial dan temporal. US EPA membagi PM menjadi dua jenis berdasarkan ukurannya, yaitu partikel dengan diameter ≤ 10µm ( PM10) dan partikel dengan diameter ≤ 2.5 µm (PM2.5.). Hill (2006) menerangkan bahwa PM10 bersumber dari debu pertanian, pertambangan, serta dari jalan beraspal dan tidak beraspal. Sedikitnya sekitar 6% PM10 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Sedangkan PM2.5 berasal dari pembakaran, khususnya kendaraan bermotor diesel, pembangkit tenaga listrik, dan aktivitas industri baja yang juga mengemisikan pencemar SO2. Seinfeld dan Pandis (2006) menerangkan bahwa partikel dapat berpindah dari dan ke atmosfer melalui dua mekanisme, yaitu mengendap ke permukaan bumi (deposisi kering) dan menyatu sebagai inti awan pada pembentukan peristiwa presipitasi (deposisi basah). Karena proses deposisi kering dan basah memiliki rentang waktu yang relatif sebentar di atmosfer dan topografi permukaan bumi yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya mengakibatkan konsentrasi dan komposisi partikel di troposfer bervariasi pula dari wilayah ke wilayah lainnya. Pada umumnya, udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan atau pneumokoniosis. Pneumokoniosis merupakan penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paruparu. Pneumokoniosis dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu silikosis, asbestosis,
bisinosis, antrakosis, (Wardhana, 2004).
dan
Beriliosis
e) Volatile Organic Compounds (VOCs) Volatile Organic Compounds (VOCs) merupakan bagian dari satu atau lebih kimia organik yang mudah menguap (Hill, 2006) dan memiliki fase uap organik di atmosfer kecuali CO dan CO2 (Seinfeld dan Pandis, 2006). Berbeda halnya dengan CO dan CO2 yang merupakan bagian dari karbon anorganik, VOCs merupakan bagian dari karbon organik yang berisi dengan hidrokarbon (HC) dan oxygenated hidrokarbon (Arya, 1999). Beberapa VOCs yang bersumber dari kegiatan antropogenik antara lain toluena, benzena, formaldehida, etilbenzena, kloroform, fenol, dan aseton (Arya, 1999; Seinfeld dan Pandis, 2006). Beberapa diantara dari VOCs sumber antropogenik merupakan organik beracun yang disebut sebagai Hazardous Organic Compounds (HOCs) (Arya, 1999). Selain itu, VOCs diproduksi juga dari beberapa tumbuhan tertentu, seperti terpena yang dihasilkan dari tanaman konifer (pinus). Terpena merupakan zat yang digunakan secara komersil sebagai bahan baku wewangian. Sumber alami VOCs lainnya yang dihasilkan dari tumbuhan adalah isoprena, αpinena, β-pinena, d-limonena, teripinena (Seinfeld dan Pandis , 2006). Di daerah perkotaan dan wilayah industri, VOCs diemisikan dari sektor transportasi, pembakaran bahan bakar fosil pada instalasi pembangkit listrik, stasiun pengisian bahan bakar, dan pembakaran (Arya, 1999). Selain itu dihasilkan pula dari penguapan dari tangki bahan bakar, pada saat kendaraan bermotor beroperasi, pembakaran mesin dari pesawat (Hill, 2006). Volatile Organic Compounds (VOCs) bersamaan dengan NOx dapat menghasilkan polutan sekunder salah satunya adalah ozon di permukaan dengan bantuan sinar matahari yang kuat, suhu udara yang panas, dan aliran udara yang tenang (Arya, 1999; Hill, 2006). Bagian dari VOCs, yaitu HC dapat berupa gas apabila HC tersebut termasuk suku rendah, berupa cairan apabila HC termasuk suku sedang, dan berupa padatan apabila HC termasuk suku tinggi (Wardhana, 2004). Ketiga sifat HC ini bila bereaksi terhadap NOx akan membentuk peroxyacetyl nitrate (PAN). Selanjutnya PAN ini bersamaan
9
dengan CO dan ozon akan membentuk kabut fotokimia yang dapat mengurangi jarak pandang dan merusak tanaman (Wardhana, 2004). Toksisitas VOCs yang mengandung HC tergantung dari susunan HC tersebut. HC aromatik lebih beracun dibandingkan HC alifatik maupun HC alisiklik. VOCs yang mengandung HC suku rendah dapat menyebabkan iritasi pada membran mukosa, bila sampai masuk ke dalam paru-paru dapat menimbulkan luka dan infeksi (Wardhana, 2004).
Vol. 1:Air Pollution Control tahun 1980 mengemukakan penyebab tidak sempurnanya pembakaran ini disebabkan kadar oksigen yang rendah selama proses pembakaran, temperatur ruang bakar, lama waktu tinggal gas dan gejolak percampuran gas dalam ruang pembakaran. Bila diasumsikan bahwa bahan bakar (gasoline) yang digunakan adalah oktena, maka stoikiometri pembakaran oktena adalah sebagai berikut (Cooper dan Alley, 1994):
2.4.2 Faktor Emisi Kendaraan Bermotor Faktor emisi didefinisikan sebagai laju rata-rata emisi polutan yang dikeluarkan terhadap tingkat aktivitas dari kegiatan tersebut (Cooper dan Alley, 1994). Faktor emisi merupakan suatu faktor untuk memperkirakan besarnya emisi dari satu sumber polusi udara. Pada kebanyakan kasus, faktor ini merupakan rata-rata dari semua data tersedia yang menggambarkan kualitas udara dan umumnya diasumsikan sebagai data rata-rata representatif dalam jangka waktu lama untuk berbagai sumber kategori. Faktor emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor merupakan laju ratarata emisi polutan ketika kendaraan dikemudikan dalam kondisi tertentu. Secara matematis faktor emisi kendaraan bermotor diberikan sebagai satuan massa polutan per waktu tempuh, satuan massa polutan per jarak atau satuan massa polutan per jarak-waktu tempuh (Cooper dan Alley, 1994). Cooper dan Alley (1994) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besar-kecilnya emisi yang dihasilkan dari kendaraan bermotor, diantaranya: desain mesin dan perangkat pengoperasian; pengoperasian mesin selama berkendara; kandungan bahan bakar; penerapan teknologi pengatur emisi; dan kondisi lingkungan dimana mesin dioperasikan. Kadar CO hasil emisi kendaraan bermotor meningkat bila pembakaran bahan bakar tidak berlangsung secara sempurna. Para Peneliti Research and Education Association dari Madison Avenue melalui buku Modern Pollution Control Technology:
C8H16 + 12 O2 + 45.1 N2 Æ 8 CO2 + H2O + 45.1 N2 Skema stoikiometri pembakaran oktena lainnya dikemukakan juga oleh Heisketh (1979) sebagai bentuk: C8H17.5 + 12.375 O2 + 46.55 N2 Æ 8 CO2 + 8.75 H2O + 46.55 N2 Reaksi kimia di atas dapat menghasilkan produk yang berbeda-beda tergantung perbandingan antara bahan bakar yang digunakan terhadap udara secara keseluruhan. Konsep tersebut dikenal dengan konsep Air Fuel Ratio (AFR). Nilai AFR yang optimum pada pembakaran bahan bakar adalah 14.7 (Cooper dan Alley, 1994) dan 14.97 (Hesketh, 1979). Sehingga secara keseluruhan melalui dua stokiometri di atas, stoikiometri AFR optimum pembakaran ditunjukkan dengan garis putus-putus vertikal pada Gambar 3 dengan nilai sekitar 15. Pada nilai AFR sekitar 15, produksi NO hampir mencapai puncaknya, sedangkan kadar CO sudah menurun. Pada kandungan bahan bakar yang lebih kaya (AFR<15), oksigen yang dibutuhkan selama pembakaran tidaklah cukup, sehingga terjadi peningkatan kadar CO dan penurunan kadar NOx akibat sedikitnya energi yang dilepaskan. Ketika kandungan bahan bakar lebih sedikit (AFR>15) dan terjadi pada pembakaran yang lebih normal, oksigen yang diperlukan akan berlebih sehingga kadar CO dan NOx yang dihasilkan tetap rendah.
10
Stoikiometri CO Miskin bahan
Kaya bahan
NO
CO HC
AFR
15
(Modifikasi dari Hesketh, 1979)
Gambar 3. Pengaruh AFR pada komposisi gas buangan kendaraan bermotor Kendaraan yang dioperasikan pada kondisi standar (idle), berkecepatan rendah, dan mengalami perlambatan, nilai AFR yang dihasilkan rendah sehingga emisi CO yang dihasilkan tinggi. Sedangkan bila kendaraan dioperasikan pada kecepatan tinggi dan selalu mengalami percepatan, nilai AFR yang dihasilkan tinggi sehingga emisi CO yang dihasilkan rendah. Perilaku selama berkendara turut mempengaruhi pula kadar CO yang terbentuk. Berkemudi pada saat awal dimulai dari kecepatan rendah kemudian beranjak meningkat kecepatannya akan menghasilkan kadar CO yang lebih rendah dibandingkan dengan mengemudi pada saat awal sudah dimulai dengan kecepatan tinggi. Selain perilaku selama berkendara, kadar CO juga dipengaruhi secara langsung melalui kondisi jalan dan manajemen lalu lintas yang dilaluinya. Lalu lintas dengan kepadatan kendaraan yang tinggi akan memaksa katup-katup pada ruang pembakaran bekerja dengan ekstra untuk menyeimbangkan dengan percepatan kendaraan yang sering berubah-ubah.
2.5 Pemodelan Matematis Dispersi Polutan Seinfeld dan Pandis (2006) menyatakan pemodelan atmosfer dibagi menjadi dua pendekatan utama, yaitu pendekatan secara fisik dan matematis. Pendekatan secara fisik nantinya menghasilkan model fisik yang dapat digunakan untuk mensimulasi dinamika atmosfer, contoh dari pemodelan jenis ini adalah penggambaran dinamika atmosfer skala kecil dalam kajian wilayah tertentu yang dimodelkan dalam saluran angin. Pendekatan kedua adalah pendekatan matematis yang selanjutnya menghasilkan model matematis dinamika atmosfer. Menurut Seinfeld dan Pandis (2006) ada dua pendekatan matematis yang dapat dipakai untuk menjelaskan difusi atmosfer. Pertama adalah pendekatan Eulerian, dalam pendekatan ini konsentrasi pencemar adalah relatif terhadap sistem koordinat tetap. Pendekatan kedua adalah Lagrangian, dalam pendekatan ini konsentrasi pencemar adalah relatif terhadap perpindahan fluida. Masingmasing pendekatan tersebut nantinya dapat diaplikasikan dalam semua pemodelan pendispersian polutan. Model-model yang kerap digunakan dalam pendugaan dispersi polutan antara lain, fixed-box model, metode grid tiga dimensi, dan Gaussian model. Model sederhana yang sering digunakan untuk menduga kualitas udara adalah fixed-box model. Model ini memasukkan sumber emisi dekat lapisan permukaan, laju adveksi masuk dan keluar dari dan ke sisi kotak, pemasukkan polutan dari atas karena ketinggian campuran yang meningkat dan proses transformasi kimia. Bila campuran polutan sempurna seragam dalam batasan wilayah kajian, model ini dapat memprediksi konsentrasi volume ratarata sebagai fungsi waktu. Prinsip matematis dari model ini dinyatakan sebagai laju perubahan massa dalam kotak khayal sebanding dengan jumlah laju massa ditambahkan semua sumber emisi dalam kotak, perubahan adveksi horizontal dan perubahan pemasukan dari lapisan atas dalam ketinggian campuran (Arya, 1999):
Lh
dc dh = LQa + uh(cb − c ) + L (cb − c ) dt dt __(1)
11
Jika kondisi laju emisi konstan dan atmosfer tenang persamaan di atas menjadi
ce =
L Qa h u __(2)
dengan: L
= Konsentrasi polutan (µg/m3) = Panjang wilayah kajian (m) = Laju emisi polutan wilayah kajian (gr/m2s) = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian H (m/s) = Ketinggian mixing height (m)
Difusi dari sumber-sumber individu tidak disarankan dalam pemakaian model ini, sehingga cocok untuk mengestimasi dari semua sumber polutan. Dengan perlakuan kondisi meteorologi sederhana dalam bentuk transpor efektif angin dan ketinggian campuran dapat digunakan dalam memperkirakan proses fotokimia dan kimia (Arya, 1999). Bentuk kedua dari model kualitas udara adalah model dispersi grid tiga dimensi. Model ini membagi kolom udara yang berada di atas kota atau daerah pengamatan ke dalam lapisan-lapisan sel. Tiap sel dipisahkan sel satu dengan yang lain. Arah horizontal mempunyai ukuran grid yang seragam sedang dalam arah vertikal dibagi menjadi (4-5 lapisan), yaitu setengah di atas ketinggian campuran dan setengahnya lagi di bawah ketinggian campuran (de Nevers, 1995). Data yang diperlukan berupa kecepatan angin dan arahnya pada pusat masing-masing sel (digunakan untuk menghitung laju masuk dan keluar melewati lapisan antar sel), estimasi emisi tip sel lapisan bawah (ground level), transformasi kimia, deposisi polutan dari sel lapisan bawah. Persamaan yang digunakan pada model ini secara umum di tuliskan sebagai:
__(3) dengan: _ _
= Akumulasi polutan = Aliran masuk polutan tiap sel = Aliran keluar polutan tiap sel = Reaksi kimia polutan = Peluruhan kimia polutan
Dua bentuk persamaan terakhir ditambahkan untuk mengestimasi konsentrasi dalam lapisan tiap sel pada tiap akhir waktu. Model ini memberikan manfaat dalam menghitung proses oksida fotokimia suatu polutan. Bentuk ketiga dari model kualitas udara adalah model dispersi bentuk Gauss. Model dispersi Gauss secara umum dinyatakan dalam persamaan: , ,
2
σ σ
2σ
2σ
__(4) dengan: , , = Konsentrasi polutan pada suatu titik (µg/m3) Q = Laju emisi (g/s) = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian 10 meter (m) = Posisi arah y dalam koordinat kartesius (m) = Posisi arah z dalam koordinat kartesius (m) Persamaan (4) menunjukkan persamaan Gaussian pada sumber titik berkelanjutan yang digunakan dalam menunjukkan konsentrasi polutan yang dilepaskan dekat permukaan bumi dan kemudian terdispersi dalam arah vertikal dan horizontal (Arya, 1999). Persamaan (4) digunakan dengan asumsi: kecepatan dan arah angin konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh kepulan tidak mengalami dry dan wash deposition, dispersi terjadi pada arah vertikal dan tegak lurus (horizontal) arah angin, serta polutan tidak mengalami transformasi kimia. 2.6 Model Dispersi Bentuk Gaussian Salah satu faktor utama yang mempengaruhi dispersi polutan adalah kecenderungan polutan-polutan tersebut untuk berdifusi. Proses difusi pada arah tertentu merupakan suatu fenomena statistika. Hal ini ditandai dengan perilaku molekul-molekul material sepanjang arah yang dipilih memiliki distribusi Gaussian. Selain itu, kurva konsentrasi material terhadap lokasi dari sumber material yang berdifusi berbentuk lonceng yang serupa dengan kurva distribusi Gaussian. Konsentrasi polutan maksimum berada dekat sumber dan konsentrasi semakin berkurang untuk lokasi yang jauh dari sumber. Hasil tersebut dapat digunakan
12
memodelkann proses dispersi poolutan, khususnya pada p sumber garis g (line sourrce). Lebih lanjut, diinamika atm mosfer dibangun olleh tiga landdasan hukum dasar, yaitu hukum m konservasi massa, energgi dan momentum (Arya, 19999). Pada kasus p polutan dallam permuudahan dispersi perhitungann dan input datta biasanya diidekati dengan huukum konserrvasi massa saja. Ketiga jenis model yanng telah disebbutkan makai hukum m ini. sebelumnyaa juga mem Dasar dari penerapan hukum konsservasi mosfer massa adaalah mengasumsikan atm bersifat incompreesible (tidak termampatkkan). Dasar teori dari persaman p difuusi ini d pernyaataan hukum Fick diberikan dalan (Arya, 19999). Hukum m ini menyaatakan bahwa fluxx difusi masssa (F) sebaanding dengan graddien konsentrasi dengan arrahnya berlawanan dengan fluux difusi terrsebut. Penjumlahann dari advekksi dan difussi dari tiap parsel udara selannjutnya meruupakan penerapan dari d konservassi massa. Disperrsi polutan dalam atm mosfer dikembangkkan dari hukum h kontiinuitas massa daan persamaaan difusi-addveksi atmosfer. Di D bawah konndisi non-isottropik, persamaan difusi yang memenuhi hukum h m dapat dituliskan d sebaagai: konservasi massa ∂c ∂c ∂ ∂c ∂c + u K + v + w = ∂y ∂z ∂t ∂x ∂t ∂ K ∂t
y
⎡ ∂c ⎤ ∂ ⎢ ∂y ⎥ + ∂t K ⎦ ⎣
z
x
2.6.1 Modeel Dispersi Polutan Su umber Titik (Point Sourcees) Bentuuk pertama dari solusi model dispersi Gaaussian adalaah untuk meenduga pendispersiaan polutann sumber titik. Persamaan ini mulanyya diturunkan n dari khirnya konsep konnservasi masssa, hingga ak diperoleh persamaan p diiferensial ord de dua dengan batas penyellesaian perssamaan D Gauussian berhub bungan terkait. Dispersi dengan tipe umum perrsamaan mattematis unntuk menjeelaskan yang diggunakan distribusi vertikal v dan horizontal polutan p pada arah angin yang bberasal dari sumber s emisi. Kepullan asap menyebar secara horizontal dan vertikall kemudian diikuti p dengan pengurangan kkonsentrasi polutan pada saat pergerakan aarah angin. Daerah D pencampuraan vertikal dan an horizontal dengan d jarak arah angin dari ssumber emisii pada umumnya teerjadi pada tinngkat yang beerbedabeda, diseebabkan perrgerakan-pergerakan turbulensi di atmosfer yang terjadii pada variasi. skala wakttu dan ruangg yang berv Ilustrasi unntuk sumber titik ini dissajikan pada Gambaar 4.
⎡ ∂c ⎤ ⎢ ∂x ⎥ + ⎣ ⎦
⎡ ∂c ⎤ ⎢ ∂z ⎥ + S + R ⎣ ⎦
__(5) Persam maan (5) meruupakan bentukk dasar dari pemoddelan disperssi polutan bentuk b Gaussian. Bentuk persamaan (5) seebelah p kiri merupakkan keadaan konsentrasi polutan yang dipenggaruhi oleh arah a dan keceepatan angin. Sedanngkan bentukk sebelah persaamaan (5) kanan menggambaarkan difusi eddy x z. dalam arah x,y,dan Penggunaan persam maan (5) mem menuhi asumsi sebaagai berikut: Pada kondisi k angiin yang teenang, komponeen kecepatan vertikal lebihh kecil dibandinngkan denngan kom mponen kecepataan horizontal sehingga addveksi dalam arah a vertikal diabaikan dalam perbandiingan arah horrizontal; Difusitass eddy bernilaai konstan; Tidak ada a konstituuen polutan yang dipindahhkan atau keluar k dari aliran sehinggaa R=0; Sumber m mengikuti b bentuk emisi .
(Sumber : Moddern Pollution Coontrol Technology y, 1980)
P poolutan pada sumber s Gambar 4. Persebaran t titik dengan m model Gauss Persamaan umum yangg digunakan dalam Cooper dan Alley, sumber titiik adalah (C 1994): ⎡ y2 ⎤ Q exp ⎢ − c ( x, y, z ) = 2 ⎥ 2π u σ y σ z ⎢⎣ 2σ y ⎥⎦ ⎧⎪ ⎡ ( z − H )2 ⎤ ⎡ ( z + H ) 2 ⎤ ⎫⎪ ⎨ exp ⎢ − ⎥ + e xp ⎢ − ⎥⎬ 2 2σ z2 ⎦ ⎭⎪ 2σ z ⎦ ⎣ ⎣ ⎩⎪ __(6)
13
2.6.2 Model Dispersi Polutan Sumber Garis (Line Source) Solusi dispersi polutan sumber bergaris diperoleh dengan menjumlahkan tiap segmen-segmen penyusun sumber titik polutan. Sumber titik disini dapat dianggap sebagai satu atau lebih moda transportasi yang mengeluarkan emisi polutan dengan laju konstan pada sembarang waktu. US EPA dan lembaga penelitian lainnya telah mengembangkan sejumlah model sumber garis, diantaranya model Caline dan model terakhir yang dikembangkan adalah ISCST2. Keseluruhan model sumber garis beserta tahun perkembangannya disajikan dalam Lampiran 1. Secara umum model yang dihasilkan meliputi pendekatan determistik dan/atau stokastik, yang hingga kini lebih sering digunakan (Nagendra dan Khare, 2002). Namun berdasarkan karakteristik sumber emisi, dispersi polutan sumber garis dibedakan menjadi dua yaitu sumber garis tidak terbatas (infinite) dan terbatas (finite). a)
Sumber Garis Tidak Terbatas (infinite line source) Pendispersian polutan yang dikeluarkan dari kegiatan transportasi pada jalan raya sibuk dapat dimodelkan dengan sumber garis tidak terbatas. Pada perhitungannya arah angin dihitung tegak lurus terhadap sumber bergaris sehingga polutan hanya terdispersi pada sumbu z (vertikal) saja. Sedangkan pada sumbu y (memotong lintasan angin) konsentrasi polutan akan seragam untuk sumber garis tidak terbatas. Dilley and Yen (1971) menurunkan solusi analitik perpindahan dua dimensi dan persamaan difusi untuk menggambarkan konsentrasi polutan searah downwind dari sumber garis tegak lurus arah angin tidak terbatas. Baik angin dalam skala luas maupun menengah disertakan dalam perhitungan model. Lebih lanjut didapatkan analisis bahwa angin skala menengah tidak secara signifikan dalam mengurangi kosentrasi polutan. Persamaan umum yang digunakan dalam sumber garis tidak terbatas adalah (Arya, 1999): ,
2
b)
Sumber Garis Terhingga (Finite Line Source) Tidak semua sumber garis memiliki jarak yang panjang, ada kalanya polutan yang dikeluarkan moda transportasi berasal dari sumber garis yang pendek. Jika sudah demikian maka dibutuhkan modifikasi dari persamaan sumber bergaris tidak terbatas. Sehingga dikenal pendekatan finite length line source (FLLS) (Benson, 1979; Cooper dan Alley, 1994). Istilah FLLS sebenarnya berasal dari model kualitas udara sumber bergaris yang dikembangkan oleh Departemen Transportasi California yaitu CALINE. Hingga kini model CALINE yang telah dikembangkan telah mencapai versi 4. Metode FLLS ini merupakan metode yang ampuh dalam menentukan konsentrasi polutan dibandingkan dengan metode sumber bergaris tidak terbatas (Cooper dan Alley, 1994). Metode ini menentukan konsentrasi polutan termasuk penyebarannya dengan membagi ruas – ruas tiap sumber garis menjadi segmen-segmen terkecilnya. Setelah didapatkan segmen-segmen terkecil maka dilakukan perhitungan jarak dari reseptor (penerima polutan) sampai sumber bergaris (penghasil polutan) tersebut dengan tujuan menentukan besaran parameter dispersi tiap reseptor. Metode finite dalam pemodelan konsentrasi polutan sumber garis tidak selalu digunakan oleh model CALINE, sebagai contoh model HIWAY masih menggunakan metode finite dalam konsep pemakaiannya, yang membedakan hanyalah asumsi dalam perhitungannya yang menghitung secara keseluruhan sumber garis dalam semua ruas jalan, sedangkan CALINE menghitung konsentrasi setiap segmen jalan secara terpisah. Deskripsi tentang metode FLLS disajikan pada Gambar 5. Persamaan yang digunakan pada kasus tersebut adalah (Cooper dan Alley, 1994): c ( x, z ) =
K (G 2 − G1 ) ( 2π )1 / 2
__(8) dengan: K=
Q uσ z
⎧⎪ ⎡ ( z − H )2 ⎤ ⎡ ( z + H ) 2 ⎤ ⎫⎪ ⎨exp ⎢ − ⎥ + exp ⎢ − ⎥⎬ 2 2σ z ⎦ 2σ z2 ⎦ ⎭⎪ ⎣ ⎣ ⎩⎪
⎛ B2 ⎞ 1 exp ⎜ − ⎟ dB B1 (2π )1/ 2 ⎝ 2 ⎠ y2 y2 B2 = ; B2 =
G2 − G = ∫
/
2
__(7)
σy
B2
σy
14
Suumber: Modifikassi dari Cooper dann Alley, 1994
Gambarr 5. Deskripsii metode modeel FLLS dan N Neiburger ( (1971) Lamb menggunakaan persamaaan difusi untuk menghitungg konsentrassi polutan yang dihasilkan baik b dari sum mber titik maupun m garis. Model ini kemuudian diaplikasikan d model untuk terhadap kaarakteristik difusi menghitungg konsentrasi CO tiap jam m pada 760 lokasi lembah Los Angles. A Hasil model menunjukkaan nilai yanng sesuai terrhadap hasil observvasi. Calderr (1973) meengkaji pengaruh arah angin sembarang pada dispersi polusi sumber garis dekat jalan. Didapatkan bahwa konsentrasi pada reeseptor meningkat perlahan padda saat arah angin sejajar denggan jalan rayya. Penelitiaan lain tentang poluusi sumber garis dilakukann oleh Benson (11992) telah mengkaji model CALINE veersi terdahuluu, yaitu CAL LINE-3 dan CALIN NE-4. Dievvaluasi kemam mpuan prediksi daari CALINE--4 dan ditem mukan bahwa keteppatan yang lebih baik ditem mukan pada model ini dibaandingkan dengan d CALINE-3. uan Umum m Wilayah DKI 2.7 Tinjau Jakarta Permaasalahan penccemaran udaara di DKI Jakarta dari sektorr transportasi tidak terlepas daari aktivitass dan mobbililitas penduduk seehari-hari. Juumlah penduduuk dan pemakaian lahan yang bertambah setiap tahunnya tuurut mempenggaruhi kondissi lalu
lintas di DKI Jakartta yang ak khirnya mempengarruhi kualitas udara ambiien di DKI Jakartaa disi Demograffis DKI Jakarrta 2.7.1 Kond Pendudduk DKI JJakarta meng galami perubahan setiap tahunnnya. Berdaasarkan J data BPS, jumlah pendduduk DKI Jakarta d tahun 2006 mencapai 8,9961,680 jiwa dengan pat di jumlah peenduduk terbbesar terdap Kotamadya Jakarta Tiimur. Sedaangkan 6 luasnya tetaap sepanjang tahun, yaitu 661.52 km2 denggan kepadattan pendudu uk di beberapa baagian sangat tinggi, terutaama di Jakarta Pussat (18,618 jiiwa/km2). Analisis A BPS menuunjukkan tinngginya kep padatan penduduk tersebut t disebbabkan oleh migrasi m masuk, teruutama pada haari raya seperrti idul fitri. Selaama kurun waktu lima tahun terakhir, peendatang baruu yang tercataat pada masa hari raaya rata-rata 2230,000 jiwa/ttahun. Selamaa kurun wakttu tahun 2000 0-2006 angka pertuumbuhan pennduduk DKI Jakarta J mencapai 1.11%. Angka teersebut mbuhan menunjukkaan nilai llaju pertum penduduk yang sangaat signifikan n bila mbuhan dibandingkaan dengan laju pertum penduduk tahun 1990-2000, yang hanya bernilai 0.16 %. Berdassarkan analisiis BPS wa jumlah pennduduk DKI Jakarta J terlihat bahw selama enam m belas tahun terakhir meng galami peningkatann sebesar 0.955 % setiap tahu unnya.
15
2.7.2
Kondisi Penggunaan Lahan DKI Jakarta Penggunaan lahan kota Jakarta terdiri dari terbangun dan tidak terbangun. Berdasarkan data penduduk Jakarta Dalam Angka tahun 2006 (BPS), penggunaan lahan terdiri dari perumahan, industri, perkantoran, dan pergudangan, taman, dan lain-lain. Penggunaan lahan di DKI Jakarta tahun 2006 didominasi oleh perumahan, yaitu mencapai 64.16 % (42,440.61 ha) dari seluruh penggunaan lahan di DKI Jakarta. Kotamadya Jakarta Timur memiliki penggunaan lahan perumahan terbesar (13,351 ha). Sedangkan penggunaan lahan industri terbesar terdapat di Kotamadya Jakarta Utara yaitu mencapai 48.74 % (1,744.80 ha) dari total penggunaan lahan untuk industri. Penggunaan lahan perkantoran dan pergudangan terbesar terdapat di Kotamadya Jakarta Timur (1,997.55 ha) sedangkan untuk taman, penggunaan lahan terbesarnya terdapat di Kotamadya Jakarta Timur (262.14 ha). Berdasarkan perkembangannya, penggunaan lahan DKI Jakarta mengalami fluktuasi dari tahun 2000-2006 dengan luas lahan 661.52 ha. Penggunaan lahan perumahan selalu mendominasi sedangkan taman yang termasuk dalam lahan tidak terbangun dan ruang terbuka hijau selalu memiliki luas lahan paling kecil. Sebaliknya, penggunaan lahan terbangun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat terutama semenjak tahun 2000 sampai 2003 dimana rata-rata laju pertumbuhan luas lahan terbangun mencapai 29.12 % per tahun. 2.7.3
Kondisi Jaringan Jalan dan Karakteristik Lalu Lintas DKI Jakarta Jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta berkembang sesuai dengan otoritas wilayah yang menyangkut administratif jalan. Keutuhan wilayah Jabotabek dalam konteks sistem transportasi darat terhubungi baik melalui sistem jalan raya, sistem kereta api, dan sistem angkutan umum yang menghubungkannya. Total panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10 % dari total panjang jalan di Jawa. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di Jakarta hanya sekitar 4 %, dimana idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10-15% (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007).
Tabel 2.
Panjang jalan DKI Jakarta berdasarkan fungsi dan status, 2006
Fungsi Panjang (m) Luas (m2) Jalan Tol 112,960.00 2,472,680.00 Arteri 112,149.00 2,140,090.00 Primer Kolektor 51,631.75 671,384.50 Primer Arteri 502,64.00 8,299,089.00 Sekunder Kolektor 823,913.91 6,970,938.77 Sekunder Lokal 4,936,928.77 20,988,103.81 Jumlah 6,540,222.43 41,542,286.08 Sumber: BPS Pusat DKI Jakarta, 2007
Status Jalan Nasional Nasional Propinsi Propinsi Kotamadya -
Berdasarkan data yang diperoleh, kondisi existing (berlaku) panjang jalan di propinsi DKI Jakarta menurut fungsi dan kewenangannya disajikan pada Tabel 2. Pengembangan jaringan jalan saat ini di DKI Jakarta diarahkan untuk meningkatkan jalan arteri mengingat kondisi aksesibilitas dari hampir seluruh wilayah DKI Jakarta menuju pusat kota dirasakan masih sangat kurang. Hal ini ditandai dengan terjadinya antrian kendaraan pada daerah-daerah tertentu terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari. Selain itu program pengembangan jalan bebas hambatan yang juga merupakan jalan arteri terus dilakukan, sehingga beban arus lalu lintas pada jaringan jalan kota akibat lalu lintas regional dapat diminimumkan. Tingkat perjalanan penduduk DKI Jakarta dan wilayah BOTABEK mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi sejalan dengan pengembangan jaringan jalan. Tingkat perjalanan ini pada akhirnya akan mempengaruhi mobilitas penduduk dalam arti tingkat perjalanan yang dilakukan penduduk baik di wilayah DKI Jakarta, maupun BOTABEK juga mengalami peningkatan. Tingkat perjalanan yang tinggi juga mengidentifikasikan diperlukan pasokan sistem transportasi untuk menampung pertumbuhan lalu-lintas sejalan dengan peningkatan mobilitas penduduk. Tabel 3 menyajikan tingkat perjalanan wilayah DKI Jakarta dan BOTABEK menurut moda angkutan yang digunakan. Dari seluruh moda yang digunakan, perjalanan menggunakan transportasi kendaraan bermotor mempunyai komposisi tertinggi dibandingkan perjalan tanpa menggunakan transportasi kendaraan bermotor.
16
Tabel 3.
Komposisi perjalanan orang di Jabotabek menurut moda angkutan tahun 2000
Moda Seluruh Moda Non-Motorized of Transport Motorized of Transport Sepeda Motor Mobil Pribadi Bus KA
Perjalanan Orang Harian 29,168,330 8,402,771 20,765,559 2,954,512 6,404,503 10,938,646 416,426
Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007
Kondisi perjalanan baik di wilayah DKI Jakarta dan BOTABEK terlihat pada Tabel 4, yang menunjukkan panjang perjalanan rata-rata menurut maksud perjalanan dan kelompok pendapatan. Pada kondisi tersebut terlihat bahwa pertumbuhan tingkat perjalanan tersebut pada periode tahun 19851990 adalah 1.5 % pertahun. Tabel 4. Panjang perjalanan rata-rata menurut maksud perjalanan dan kelompok pendapatan Kelompok Bekerja Sekolah Pendapatan Tahun 1985 2000 1985 2000 Tinggi 8.98 10.22 4.36 7.43 Menengah 8.05 10.04 3.47 4.59 Atas Menengah 7.02 9.96 2.65 3.89 Bawah Rendah 5.58 5.95 2.14 1.96 Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007
2.8.4 Kualitas Udara Roadside DKI Jakarta Tingginya volume kendaraan bermotor terutama kendaraan pribadi yang beroperasi di jalan-jalan DKI Jakarta telah menimbulkan kemacetan lalu lintas, pencemaran udara dan kebisingan, serta tingginya konsumsi bahan bakar. Jika mengacu pada proyeksi peningkatan jumlah kendaraan hingga 2015 kualitas udara Jakarta akan semakin buruk jika tidak dikelola dengan baik (KLH, 2002). Bahkan dari analisa yang dilakukan oleh Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT, 2004) menunjukkan pada tahun 2014 sektor transportasi di Jakarta akan mati total bila tidak ada pembenahan sistem tranportasi untuk umum. Perkiraan tersebut didasarkan pada pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta yang mencapai 11% pertahun, sedangkan pertumbuhan panjang jalan-jalan di Jakarta tidak mencapai 1% (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2007).
Pengukuran kualitas udara roadside akibat pengaruh sumber kendaraan bermotor di sepanjang ruas jalan dan di kawasan industri di Provinsi DKI Jakarta juga sudah dilakukan oleh pihak Badan PengelolaanLingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta pada Tahun 2006. Pemantauan kualitas udara roadside dilakukan pada ruas jalan di wilayah DKI Jakarta, meliputi: Jl. Casablanca, Jl. Perintis Kemerdekaan, Jl. M.H. Thamrin, dan Jl. Pulo Kambing (Kawasan industri Pulo Gadung). Mencakup parameter pencemar PM10, SO2, CO, O3, NO2, dan NO. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut didapat bahwa kualitas udara roadside untuk nilai rata-rata harian seluruh lokasi pengukuran masih memenuhi baku mutu udara ambien. Konsentrasi parameter PM10 tertinggi terjadi di ruas Jl. Pulo Kambing, hal ini disebabkan karena wilayah ini sesuai untuk peruntukkannya yaitu kegiatan industri yang salah satu emisi terbesarnya adalah partikel debu. Parameter lainnya yang dipantau seperti SO2, konsentrasi tertinggi terdapat di ruas Jl. Perintis Kemerdekaan. Sedangkan parameter CO, konsentrasi tertinggi terjadi di ruas Jl. M.H. Thamrin hal ini disebabkan karena kepadatan volume lalu lintas yang tinggi dibandingkan ruas jalan lainnya. Kemudian untuk parameter O3, konsentrasi tertinggi terjadi pada ruas Jl. Pulo Kambing. Selanjutnya untuk parameter NO2 tertinggi terjadi di ruas Jl. Casablanca. Tingginya parameter NO2 dipicu oleh pembakaran kendaraan bermotor dalam keadaan macet. III.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2008. Lokasi yang menjadi tempat pengamatan adalah Jalan M.H. Thamrin. Jalan M.H Thamrin dipilih sebagai wilayah pengamatan karena bersinggungan dengan jalur Trans-Jakarta Koridor 1 yang dipandang sebagai rute tersibuk, yaitu Jakarta Pusat yang meliputi wilayah perkantoran pemerintah pusat dan swasta. Rute yang dilewati yaitu: Stasiun Kota, Glodok, Olimo, Mangga Besar, Sawah Besar, Harmoni, Monas, Bank Indonesia, Sarinah, Bundaran HI, Tosari, Dukuh Atas, Setiabudi, Karet, Bendungan Hilir, Polda Metro Jaya, Gelora Bung Karno, Bundaran Senayan, Al-Azhar, dan Terminal Blok M. Lokasi studi disajikan pada Gambar 6.
17