I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim global. Secara fisiologis, vegetasi hutan akan menyerap gas karbon melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2 dan O2 diatmosfer akan terganggu (Tuheteru F 2007). Karbon pada ekosistem hutan tersimpan dalam biomasa vegetasi, nekromasa dan bahan organik tanah (Hanafiah KA 2004). Tanah merupakan sumber utama dan penyerap CO2 yang berperan penting dalam mengatur konsentrasi CO2 atmosfer. Hampir 10% CO2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich & Schlesinger 1992). Respirasi tanah merupakan oksidasi biologi dari senyawa organik pada mikroorganisme, akar, organ atau bagian lain dari tumbuhan serta organisme yang hidup pada tanah dengan energi untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan pengambilan bahan nutrien aktif (Amstrong 1979; Drew 1990 diacu dalam Simojoki A 2001). Respirasi tanah merupakan indikator yang sensitif dan penting pada suatu ekosistem, termasuk aktivitas yang berkenaan dengan proses metabolisme di tanah, pembusukan sisa tanaman pada tanah, dan konversi bahan organik tanah menjadi CO2. Melalui respirasi tanah ini, karbon dilepas dari tanah ke atmosfer (Rochette et al. 1997). Raich & Tufekciogul (2000) menyatakan respirasi tanah merupakan suatu indikator yang baik terhadap mutu tanah. Kelembaban tanah dan suhu tanah merupakan dua faktor penentu yang penting pada proses respirasi tanah (Raich & Tufekciogul 2000). Hasil pengamatan Rochette et al. (1997) menunjukkan respirasi tanah yang lembab dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan tanah yang kering. Banyak peneliti melaporkan peningkatan respirasi tanah meningkat mengikuti suhu tanah. Respirasi tanah bervariasi terhadap jenis tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan data penelitian respirasi tanah, perbedaan respirasi tanah antara tanaman, lahan terbuka, padang rumput dan hutan tidak berbeda nyata (p<0.05). Akan tetapi, ratarata respirasi tanah pada padang rumput lebih tinggi dibandingkan respirasi tanah pada hutan (Raich & Tufekciogul 2000). Penelitian dan pengukuran emisi CO2 dari tanah dari hutan tropis masih
sangat kurang, oleh karena itu dilakukan pengukuran emisi CO2 dari tanah mineral pada beberapa tipe kerapatan kanopi di hutan tropis Babahaleka Desa Bariri Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Pengukuran parameter iklim mikro meliputi suhu permukaan tanah, suhu tanah, suhu udara, kelembaban tanah, dan kandungan bahan organik tanah dilakukan untuk melihat korelasinya terhadap besarnya emisi CO2 dari permukaan tanah. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengukur dan menentukan emisi CO2 dari permukaan tanah, iklim mikro serta kandungan bahan organik tanah hutan alam Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu. 2. Membuat korelasi antara parameter iklim mikro dan bahan organik tanah dengan besarnya emisi CO2 dari permukaan tanah hutan alam Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produksi dan Emisi CO2 dari Permukaan Tanah 2.1.1. Produksi CO2 Produksi CO2 dalam tanah dihasilkan melalui proses oksidasi bahan organik tanah oleh mikroorganisme dan organ lainnya melalui respirasi akar tanaman (Lassard et al. 1994). Proses oksidasi bahan organik oleh organisme dapat dilihat dari reaksi sebagai berikut : (C, 4 H) + 02
CO2 + 2H2O + Energi
Oksidasi bahan organik diatas disebut oksidasi enzimatik, yaitu oksidasi yang melibatkan mikroorganisme, hasil utamanya berupa CO2, air dan energi (Hanafiah KA 2004). Produksi CO2 akan menurun dengan adanya pengasaman, karena difusi gas terhambat dan penambahan pupuk N yang dapat menurunkan respirasi mikroorganisme dalam tanah (Sitaula et al. 1995 diacu dalam Taufik M 2003). Pada tanah mineral, emisi CO2 dari tanah akan semakin tinggi pada kedalaman tanah yang dangkal, hal ini disebabkan jumlah akar dan bahan organik akan berkurang dengan semakin dalamnya tanah (Simojoki A 2001).
1
2.1.2. Emisi CO2 Emisi CO2 dari tanah bervariasi pada beberapa kedalaman tanah, aerasi dan musim. Ishizuka et al. (2002) menyatakan fluks CO2 tertinggi terukur pada kedalaman 10-25 cm dari permukaan tanah dan minimum pada saat pagi hari dan setelah matahari terbenam (Dugas 1993 diacu dalam Taufik M 2003). Pada keadaan aerobik produksi CO2 dari tanah lebih besar dibandingkan keadaan anaerob. Sedangkan
pada musim panas fluks CO2 lebih besar dari musim dingin (Moren & Lindroth 2000). Hasil penelitian Lessard et al. (1994) di Ottawa menyatakan tanah hutan menghasilkan fluks CO2 yang lebih besar (Tabel 1) jika dibandingkan tanah pada lahan pertanian, tanah gundul, dan lahan perkebunan. Hal ini disebabkan ketersediaan bahan organik tanah pada hutan lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya.
Tabel 1. Fluks CO2 pada beberapa penggunaan lahan Tipe Lahan Lokasi Fluks CO2 (mgCm-2h-1) Tanah gundul Texas, USA 32.40-46.15 Jagung Ottawa, Kanada 3.07-80.34 Padi Ladang dan Barley Ibaraki, Jepang 3.41-177.27 Kelapa Sawit Jambi, Indonesia 47.73-70.90 Hutan Skotlandia 6.80-187.00 Hutan Ottawa, Kanada 25.80-168.41 Hutan tebang Habis Jambi, Indonesia 70.90-140.64 Sumber : Taufik M (2003)
Sumber Pustaka Dugas (1993) Lessard et al. (1994) Nakadai et al. (1996) Tsuruta et al. (2000) Chapman dan Thurlow (1996) Lessard et al. (1994) Tsuruta et al. (2000)
Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar CO2 udara tanah Kadar CO2 Faktor-faktor Penyebab Lebih tinggi Lebih rendah terhambatnya aktivitas akar dan (1) musim musim panas musim dingin mikroorganisme + pupuk kandang, terhambatnya aktivitas akar dan (2) perlakuan kapur, pupuk dan tanpa mikroorganisme ditanami (3) kadar air tanah basah tanah kering terbatasnya difusi terhambatnya difusi, akibat lebih (4) tekstur tanah tekstur halus tekstur kasar tingginya kelembaban terhambatnya difusi, akibat lebih agregasi lemah gembur (5) struktur tanah tingginya kelembaban atau masif sda, akibat lebih tingginya (6) kedalaman Tanah subsoil topsoil kelembaban, akibat adanya topsoil Sumber : Kohnke (1980) diacu dalam Hanafiah KA (2004) 2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Emisi CO2 dari Permukaan Tanah Produksi dan emisi CO2 dari tanah bergantung pada kandungan bahan organik tanah, suhu tanah, ketersediaan oksigen dan ketersediaan nutrient sebagai faktor eksternal, sedangkan faktor internal yang berpengaruh adalah biomassa akar dan populasi mikroorganisme (Moren & Lindroth 2000). Lessard et al. (1994) menyatakan kelembaban dan suhu tanah sangat berpengaruh terhadap produksi CO2, dan peningkatan suhu akan meningkatkan fluks CO2.
Kadar CO2 pada udara tanah bervariasi antara 0.1-5% dan jika aerasi buruk dapai mencapai hampir 20% (Kohnke 1980 diacu dalam Hanafiah KA 2004). Faktor yang mempengaruhi kadar CO2 udara tanah tertera pada Tabel 2, yang secara umum merupakan konsekuensi terhambatnya aktivitas akar dan mikroorganisme tanah, serta difussi yang menyebabkan naiknya kadar CO2 dan turunnya kadar O2. 2.2.1. Suhu Tanah Suhu tanah secara mempengaruhi pertumbuhan kelembaban tanah, aerasi,
langsung tanaman, aktivitas
2
mikroorganisme tanah dalam proses enzimatik dan dekomposisi serasah atau sisa tanaman serta ketersediaan hara-hara tanaman. Aktivitas ini sangat terbatas pada suhu dibawah 10 0C, laju optimum aktivitas biota tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu 18-30 0C, seperti bakteri pengikat N pada tanah berdrainase baik. Pada proses kehidupan bebijian, akar tanaman dan mikroorganisme tanah secara langsung dipengaruhi oleh suhu tanah. Laju reaksi kimia meningkat dua kali lipat untuk setiap 100 oC kenaikan suhu (Hanafiah KA 2004). Suhu tanah sangat dipengaruhi oleh interaksi sejumlah faktor dengan sumber panas, yaitu sinar matahari dan langit, serta konduksi interior tanah. Faktor eksternal yang menyebabkan perubahan suhu tanah diantaranya adalah radiasi solar (jumlah panas yang mencapai permukaan bumi), radiasi dari langit, kondensasi, evaporasi, curah hujan, Insulasi (tanaman penutup tanah, mulsa, awan). Sedangkan faktor internal meliputi kapasitas panas tanah, konduktivitas dan difusivitas thermal, aktivitas biologis, struktur tanah, tekstur tanah dan kelembaban tanah serta garamgaram terlarut (Hanafiah KA 2004). 2.2.2. Kelembaban Tanah Kelembaban tanah adalah jumlah uap air yang terdapat dalam suatu massa tanah yang dinyatakan dalam % bobot kering atau volume (Soedarsono et al. 2006). Kandungan air tanah dan struktur tanah memegang peranan penting dalam menentukan aerasi tanah, potensial redoks tanah dan difusi transfer gas dalam tanah (Taufik M 2003). Kelembaban dan kadar air tanah mempengaruhi dominasi jenis mikroorganisme tanah yang aktif dalam proses dekomposisi bahan organik. Pada kelembaban dan kadar air yang tinggi, perkembangan dan aktivitas bakteri akan maksimum. Sebaliknya akan menurun pada kondisi kering (tekanan -3 bar) dan sangat tertekan pada kadar air titik layu permanen (tekanan -15 bar) (Hanafiah KA 2004). 2.2.3. Biomassa akar dan Populasi mikroorganisme Jumlah biomassa akar dan populasi mikroorganisme sangat berpengaruh terhadap percepatan proses dekomposisi bahan organik yang melepaskan gas CO2. Populasi mikroorganisme tanah yang banyak dapat mempermudah perombakan sisa-sisa
tanaman dan hewan yang telah mati menjadi bahan organik. Akibatnya produksi dan emisi CO2 dari tanah akan meningkat (Hanafiah KA 2004).
Gambar 1. Proses respirasi CO2 dari tanah
2..3. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawasenyawa anorganik hasil mineralisasi (biontik), termasuk mikroorganisme tanah heterotrofik dan ototrofik yang terlibat (biotic) (Soedarsono et al. 2006). Kononova (1966); Schnitzer (1978) diacu dalam Soedarsono et al. (2006) membagi bahan organik tanah menjadi 2 kelompok, yaitu bahan yang telah terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan humik (humic substances) dan bahan yang tidak terhumifikasi (nonhumic substances). Kelompok pertama merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik bersifat stabil dan tahan terhadap proses biodegradasi, terdiri atas fraksi asam humat, asam fulfat dan humin. Kelompok kedua meliputi senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, asam amino, peptida, lemak, lilin, lignin, asam nukleat, protein. Bahan organik tanah berperan secara fisik, kimia, maupun biologis sehingga menentukan status kesuburan suatu tanah. Bahan organik menjadi sumber energi karbon dan hara bagi biota heterotropik (penguna senyawa organik). Kandungan bahan organik tanah ditentukan oleh kesetimbangan antara laju pelonggokan dengan laju dekomposisinya (Soepardi G 1983). Faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik tanah adalah iklim, vegetasi, topografi, waktu, bahan induk dan pertanaman (cropping). Sebaran vegetasi berkaitan erat dengan pola tertentu dari perubahan temperatur dan curah hujan.
3
Pada wilayah yang curah hujannya rendah dengan jumlah vegetasi yang sedikit akan menghasilkan akumulasi bahan organik yang rendah. Pada wilayah yang temperatur dingin, kegiatan mikroorganisme juga rendah sehingga proses dekomposisi lambat (Soedarsono et al. 2006). 2.4. CO2 Analyzer CO2 analyzer merupakan suatu alat yang digunakan untuk menganalisis besarnya emisi gas CO2 pada proses respirasi tanah. Secara umum, struktur komponen CO2 analyzer terdiri dari injection tube dan automatic tester CO2 analyzer. Prinsip kerja CO2 analyzer adalah contoh udara disambungkan pada bagian injection tube yang kemudian dibawa melewati saluran injection tube menuju instrument CO2 Analyzer dan langsung dideteksi dengan menggunakan tester (mV) sehingga terlihat besarnya emisi CO2.
(inseptisol) sampai sudah berkembang (alfisol) dan sebagian kecil ultisol. Berdasarkan tipe iklim Schmidt dan Ferguson, bagian utara kawasan Taman Nasional Lore Lindu mempunyai tipe iklim C/D (musiman) dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm/tahun dan bagian timur kawasan Taman Nasional Lore Lindu mempunyai tipe iklim B (agak musiman) dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm/tahun. Bagian barat Taman Nasional Lore Lindu mempunyai tipe iklim A (lembab permanen) dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 1200-2200 mm/tahun. Secara keseluruhan curah hujan di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari 2000-3000 mm/tahun dibagian utara dan 3000-4000 mm/tahun dibagian Selatan. Suhu udara berkisar antara 22-340 C, rata-rata kelembaban udara 98% dengan kecepatan angin rata-rata 3,6 km/jam (http://www.indonesia.go.id). 1 2 0° 0' 0 " E
'
1 20 °2 0 ' 0" E
M u tiar a P 0
3 ,2 5 06 ,5 0 0
1 3 ,0 0 0
1 9 ,5 0 0
2 6 ,0 0 0 M e te r s
1 °0' 0 "S
1° 0' 0 " S
'
'
Sig im p u
'
P a n d e re
Nopu
' '
R Ka tim b u R K a tim b u 1° 20 '0 " S
1 °20 ' 0" S
'
Hutan Babahaleka
To ro
'
'
W u as a
W a n ga
Gambar 2. CO2 analyzer '
Penggunaan CO2 Analyzer harus dilakukan dengan baik dan benar, Pastikan power switch CO2 Analyzer, dan pomp switch dalam keadaan ON, selain itu pemasangan contoh gas pada injection tube CO2 analyzer harus tepat agar contoh dapat dianalisis dan terukur pada tester (mV) CO2 analyzer. 2.5. Keadaan Hutan Alam Taman Nasional Lore Lindu Taman Nasional Lore Lindu terletak sekitar 60 kilometer selatan kota Palu dan terletak antara 1°03’ - 1°58’ LS, 119°57’ - 120°22’ BT. Secara administratif terletak dalam dua wilayah kabupaten yaitu sebagian besar di Kabupaten Donggala dan sebagian lagi di Kabupaten Poso (http://www.dephut.go.id). Keadaan tanah di Taman Nasional Lore Lindu bervariasi dari yang belum berkembang (entisol); sedang berkembang
G im pu
' '
1 °40 ' 0" S
Ta la b o s a
Ba riri 1° 40 '0 " S
® 12 0 ° 0 '0 "E
1 2 0 °20 ' 0 " E
Gambar 3. Lokasi Penelitian di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL)
Lokasi penelitian dilakukan pada hutan Babahaleka sebelah selatan Taman Nasional Lore Lindu. Sesuai dengan klasifikasi hutan berdasarkan elevasi (ENEP-CMC, 2004), hutan Babahaleka termasuk dalam kawasan lower montane forest (1200-1800 mdpl) (Ibrom Andreas et al. 2007). Karakteristik vegetasi pada hutan Babahaleka oleh Dietz J, Twele A dan Grote A (unpublished data) terdiri dari 88 spesies pohon per hektar. Diantaranya didominasi oleh spesies Castanopsis BL (29%), Canarium vulgare Leenh (18%) dan Ficus
4
spec (9.5%). Lebih dari 550 pohon berdiameter setinggi dada (DBH) > 0.1 m ditemukan per hektar dalam jumlah yang lebih 10 kali lipat dibandingkan pohon kecil. Luas jangkauan wilayah 50 m2 per hektar.
Pohon dengan BDH > 0.1 m, memeliki tinggi antara 12 sampai 36 m dan dengan rata-rata 21 m (Ibrom Andreas et al. 2007).
III. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat: 1. Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh tanah, data jenis tutupan berdasarkan kerapatan kanopi dan data iklim mikro hasil pengamatan. 2. Alat-alat yang digunakan adalah plastik contoh tanah, kantong penangkap contoh udara, CO2 Analyzer, digital thermometer, Voltcraft infrared thermometer, TDR (Time Domain Reflectometry) 100-t Soil Moisture Probe, GPS, stop watch, kamera digital, bor tanah, alat tulis, seperangkat PC (personal computer) dengan perangkat lunak (software) Microsoft Office (MS. Office dan MS. Excel), dan Minitab 14. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan lapangan penelitian ini dilaksanakan pada Mei 2008 yang dibagi menjadi 3 tahap yaitu (i) tahap I (17-18 Mei) pengukuran emisi CO2 dari permukaan tanah multy positions (pk. 10-00-14.00) (ii) tahap II (19 Mei) pengukuran emisi CO2 dari permukaan tanah diurnal 12 jam (pk. 06.0018.00) dan (iii) tahap III (20-21 Mei) pengukuran emisi CO2 dari permukaan tanah diurnal 24 jam. Penelitian dilakukan pada kawasan Taman Nasional Lore Lindu yaitu hutan Babahaleka Desa Bariri Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. Kawasan ini berada pada 1°39.476’ S - 120°10.409 E’, elevasi sekitar 1400 meter diatas permukaan
Bulan April Mei Juni
laut, dan di Laboratoriun Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. Kondisi musim pada saat penelitian adalah pancaroba yaitu perpindahan antara musim penghujan ke musim panas dengan suhu udara bulanan rata-rata sebesar 19.36 0C, kelembaban udara bulanan ratarata 82.19 %, kecepatan angin rata-rata bulanan pada ketinggian 48 m sebesar 1.73 m/s dengan kecepatan angin maksimum bulanan rata-rata 3.40 m/s dan kecepatan angin minimum bulanan rata-rata 0.54 m/s. Net radiasi bulanan rata-rata sebesar 129.85 W/m-2 dengan net radiasi maksimum ratarata 183.32 W/m-2, dan net radiasi minimum rata-rata 79.14 W/m-2. 3.3. Metode Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu : 3.3.1. Plot Contoh Penentuan plot contoh pengukuran emisi CO2 dari permukaan tanah, pengukuran unsur iklim mikro dan contoh tanah ditentukan berdasarkan tutupan kanopi yang berbeda kerapatannya: a. Kanopi tertutup (85%), high altitude. b. Kanopi tertutup (85%), low altitude. c. Kanopi menengah (65%). d. Kanopi terbuka (40%). Hal ini dilakukan agar data hasil pengukuran dan pengamatan dapat mewakili daerah kajian penelitian.
Tabel 3. Kondisi unsur iklim bulanan rata-rata selama pengukuran (3 April- 7 Juni 2009) Tair RH Net Rad Net Rad Net Rad W.Speed W.Speed W.Speed (0C) (%) (W/m2) (max) (min) (m/s) (max) (min) 129.85 183.32 79.14 19.36 82.19 120.83 176.16 67.17 1.73 3.40 0.54 18.81 89.68 100.23 146.65 60.63 1.30 2.54 0.41
W. Direction (0arah) 179.37 163.54
5